PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

56
Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Dewasa Andy Santoso Hioe 102011314 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat [email protected] Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terpadat di dunia. Dengan populasi yang banyak, rakyat Indonesia banyak mengalami masalah-masalah kesehatan, salah satunya penyakit pernapasan. Polusi udara, asap rokok, pajanan terhadap bahan-bahan yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia. salah satu penyakit pernapasan yang ada adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). PPOK merupakan penyakit paru dimana terjadi sumbatan pada jalan napas yang berlangsung lama. Terdiri dari empat penyakit yaitu asma bronkialee, bronkiektasis emfisema, dan bronkitis kronis. Pada tinjauan pustaka ini penulis akan menjelaskan PPOK. Anamnesis Dalam anamnesis pasien dengan gangguan pernapasan dilakukan wawancara terhadap identitas pasien terlebih dahulu seperti nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama, dan alamatnya. Tanyakan keluhan utama pasien 1

description

PPOK

Transcript of PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Page 1: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Dewasa

Andy Santoso Hioe

102011314

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat

[email protected]

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terpadat di dunia. Dengan

populasi yang banyak, rakyat Indonesia banyak mengalami masalah-masalah kesehatan, salah

satunya penyakit pernapasan. Polusi udara, asap rokok, pajanan terhadap bahan-bahan yang

berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia.

salah satu penyakit pernapasan yang ada adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

PPOK merupakan penyakit paru dimana terjadi sumbatan pada jalan napas yang berlangsung

lama. Terdiri dari empat penyakit yaitu asma bronkialee, bronkiektasis emfisema, dan

bronkitis kronis. Pada tinjauan pustaka ini penulis akan menjelaskan PPOK.

Anamnesis

Dalam anamnesis pasien dengan gangguan pernapasan dilakukan wawancara terhadap

identitas pasien terlebih dahulu seperti nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, jenis

kelamin, agama, dan alamatnya. Tanyakan keluhan utama pasien datang berobat ke dokter

dan sudah berapa lama keluhan utama ini terjadi.1,2

Pada riwayat penyakit sekarang, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan seperti:3

o Sudah berapa lama pasien merasa sesak napas ?

o Kapan pasien merasa sesak napas : saat istirahat atau aktivitas ? (gunakan skala

sesak napas dan keluhan menurut aktivitas, dapat dilihat pada Tabel 1)

o Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas ?

o Berapa jauh pasien dapat berjalan ?

o Apakah pasien batuk ? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa

warnanya?

1

Page 2: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

o Apakah terdapat mengi ? Jika ya, kapan ?

o Berapa lama pasien mengalami keadaaan seburuk ini ?

o Kira-kira apa pemicunya ?

o Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring?

o Pernahkah pasien mendapat ventilasi ?

o Pernahkah pasien di rawat di rumah sakit ? (Jika ya, berapa hasil spirometri dan

gas darah awal )

Tabel 1 .Skala sesak dan Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas4

Skala Arti Skala

Skala 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

Skala 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga satu

tingkat

Skala 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

Skala 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

Skala 4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Pada riwayat penyakit dahulu, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan seperti:1-3

o Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, karsinoma bronkus,

bronkiektasis, atau emfisema)

o Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain

o Pernahkah ada episode pneumonia ?

o Tanyakan gejala apnoe saat tidur (mengantuk di siang hari, mendengkur).

o Adakah kemunduran dimusim dingin ?

o Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya ? Jika ya, apakah sudah

berobat ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan ?

Riwayat obat-obatan perlu ditanyakan pula untuk mengetahui sampai dimana

perkembangan pasien dan dapat mengetahui efek-efek yang diberikan oleh obat yang

diminum oleh pasien. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan sebagai berikut: 1-3

o Tanyakan respons pasien terhadap kortikosteroid, nebulizer, oksigen dirumah ?

2

Page 3: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

o Apakah pasien menggunakan oksigen di rumah ? Jika ya, selama berapa jam

sehari digunakan ?

Riwayat Status Sosial Ekonomi1-3

Menanyakan :

o Bagaimana riwayat pekerjaan pasien ?

o Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga ?

o Dimana kamar tidur/kamar mandi pasien, dan sebagainya ?

o Siapa yang berbelanja, memasak, mencuci dan sebagainya ?

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan1-3

Adakah riwayat merokok pasien, jika ada tanyakan berapa bungkus perhari ?

Bagaimana keadaan lingkungan rumah maupun pekerjaannya? Apakah sering

terpapar dengan zat-zat yang bersifat allergen?

Bagaiman hygieni pribadi?

Bagaimana rumahnya? Apakah cukup ventilasi?

Pemeriksaan Fisik

Pada pasien dengan gangguan pernapasan perlu diketahui status tanda-tanda vital

pasien, pemeriksaan paru meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tekanan darah,

temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan tingkat keparahan penyakit.

Seorang pasien dengan sesak napas dengan tanda-tanda vital normal biasanya hanya

menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya

perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita gangguan akut yang memerlukan

evaluasi dan pengobatan segera.3-5

Temperatur di bawah 35°C atau diatas 41°C atau tekanan darah sistolik dibawah

90mmHg menandakan keadaan gawat darurat.

Pulsus paradoksus-pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan arterial lebih besar

dari 10mmHg-tanda ini bermanfaat dalam menentukan adanya kemungkinan udara

terperangkap (air trapping) pada keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika

obstruksi napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi membaik,

pulsus paradoksus menurun.

3

Page 4: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan

kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari 35 kali/menit menunjukkan

gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum

otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.

Pada pemeriksaan fisik paru dilakukan pemeriksaan dada bagian anterior dan dada

bagian posterior. Pemeriksaan harus urut dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. 3-5

1. Inspeksi3-5

Amatilah bentuk dada pasien dan gerakan dinding dada Perhatikan adanya deformitas

atau asimetri, retraksi abnormal ruang sela iga bawah pada saat inspirasi,

tertinggalnya atau terganggunya bagian dada yang bersifat lokal pada gerakan

respirasi.

2. Palpasi3-5

Palpasi memiliki empat manfaat yang potensial yaitu :

Identifikasi daerah-daerah yang nyeri ketika ditekan.

Penilaian terhadap abnormalitas yang terlihat.

Penilaian lebih lanjut terhadap ekspansi dada.

Penilaian fremitus taktil.

3. Perkusi3-5

Lakukan perkusi pada bagian anterior dan lateral, serta posterior, dengan

sekali lagi membandingkan kedua sisi dada. Jantung dalam keadaan normal akan

menghasilkan daerah redup di sebelah kiri os sternum dari sela iga ke-3 hingga ke-5.

Lakukan perkusi paru kiri di sebelah lateral daerah redup ini. Kenali dan tentukan

lokasi setiap daerah dengan bunyi perkusi yang abnormal.

Dengan jari pleksimeter Anda berada di atas dan sejajar dengan daerah yang

diperkirakan sebagai batas atas pekak hati tepi bawah, lakukan perkusi dengan

langkah-langkah progresif ke arah kanan bawah pada linea midclavicularis kanan.

4. Auskultasi3-5

Auskultasi paru merupakan teknik pemeriksaan yang paling penting dalam menilai

aliran udara melalui percabangan trakeobronkhial. Auskultasi meliputi :

mendengarkan bunyi yang dihasilkan pernpasan, mendengarkan setiap bunyi

tambahan, dan jika terdapat kecurigaan akan abnormalitas, mendengarkan bunyi yang

ditimbulkan oleh suara atau bisikan pasien ketika suara tersebut ditransmisikan

melalui dinding dada. Bunyi napas paru yang normal adalah vesikuler atau pelan dan

4

Page 5: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

bernada rendah, bronkovesikuler dengan bunyi inspirasi dan ekspirasi yang lebih

kurang sama panjangnya, dan bronkiale atau bunyi yang keras dan bernada lebih

tinggi.

Dengarkan dada di sebelah anterior dan lateral ketika pasien melakukan

pernapasan dengan mulut terbuka yang agak lebih dalam daripada pernapasan normal.

Bandingkan daerah-daerah paru yang simetris, dengan menggunakkan pola yang

dianjurkan untuk perkusi dan lanjutkan pemeriksaan auskultasi ini ke daerah-daerah

sekitarnya sebagaimana diperlukan.

Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperlihatkan intensitasnya dan

mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya bunyi

pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas. Bunyi pernapasan

bronkoversikuler dapat terdengar pada salurang napas yang besar, khusunya pada sisi

sebelah kanan.

Kenali setiap bunyi tambahan, tentukan waktu terdengarnya dalam siklus

respiratory, dan tentukan lokasi bunyi tersebut pada dinding dada. Apakah bunyi

tambahan menghilang pada saat pasien bernapas dalam?

Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat ditemukan hal-hal

sebagai berikut: 3-5

1) Inspeksi3-5

a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)

b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)

c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas

d) Pelebaran sela iga

2) Perkusi3-5

a) Ditemukan suara hipersonor

3) Palpasi3-5

a) Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran organ-organ.

4) Auskultasi3-5

a) Fremitus melemah,

b) Suara napas vesikuler melemah atau normal

c) Ekspirasi memanjang

d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

e) Ronki

5

Page 6: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan

diagnosis, antara lain :

1) Tes Fungsi Paru

PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa dalam 1

detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju

aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya reversible sebagian bila

diterapi dengan bronkodilator (atau obat lain).5-6

2) Uji bronkodilator

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada dapat menggunakan APE

meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit

kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%

nilai awal dan < 200 ml. 5-6

3) Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan

tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit

paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Seperti : 5-6

a) Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan

garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang

bertambah. 5-6

b) Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran

diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta

gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung : Jantung pendulum / tear

drop / eye drop appearance.) 5-6

4) Analisis Gas Darah

Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal napas akut pada gagal

napas kronik. 5-6

5) Computed Tomography

Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X untuk menghasilkan gambar

tomografi atau potongan dari daerah tertentu pada tubuh. Computed Tomography ini

digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Dengan bantuan computed tomography ini

kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa. 5-6

6

Page 7: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

6) Uji Provokasi Bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat

hipereaktiviti bronkus derajat ringan. 5-6

7) Mikrobiologi Sputum

Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi). 5-6

Diagnosis

Working Diagnosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai

dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif yang bersifat non

reversibel atau reversibel parsial.1,5

Differential diagnosis

Bronkiektasis

Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan bronkiolus

yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas ini.7 Bronkiektasis

juga dapat dikatakan adalah kelainan morfologis yang terdiri dari; pelebaran bronkus yang

abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding

bronkus. Bronkiektasis diklasifikasikan dalam bronkiektasis silindris, fusiform, dan kistik

atau sakular.

Etiologi dari bronkiektasis secara umum adalah:7

1. Infeksi

Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang

sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan

komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis

paru, dan sebagainya. Penyebab infeksi tersering adalah H. influenza dan P.

aeruginosa.

2. Kelainan Herediter atau Kelainan Kongenital

Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak dalam kandungan. Faktor genetik atau

faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting. Biasanya

7

Page 8: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

memiliki ciri mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau dua paru.

Biasanya disertai dengan penyakit kongenital lainnya.

3. Obstruksi Bronkus

Obstruksi yang dimaksud seperti karsinoma bronkus dan tekanan dari luar lainnya

terhadap bronkus.

Secara epidemiologi, prevalensi terjadinya bronkiektasis saat ini sudah sangat

menurun. Secara umum, penyakit ini semakin berkurang seiring dengan ditemukannya terapi

antibiotic yang tepat.5

Patofisiologi dari bronkiektasis dimulai dari infeksi merusak dinding bronkiale,

menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang

akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkiale menjadi teregang secara permanen

akibat batuk hebat, infeksi melebar sampai ke peribronkiale, sehingga dalam kasus

bronkiektasis sekular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang

eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Brokiektasis biasanya setempat, menyerang

lobus segmen paru. Lobus yang paling bawah sering terkena.8

Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan

alveoli disebelah distal obstruksi mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut atau fibrosis

akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien

mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi,

dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan

campuran gas yang di inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.8

Tanda dan gejala dari penyakit bronkiektasis sangat beragam, sebagian tanpa gejala

atau tanda sama sekali.5 Gambaran klinisnya secara umum meliputi batuk-batuk, demam dan

produksi sputum purulen yang berlebihan. Berdasarkan gejalanya, bronkiektasis dapat

dikelompokkan menjadi :

1. Batuk

Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik,

jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah

ada posisi tidur atau bangun dari tidur. 8 Sputum terdiri atas tiga lapisan :

a. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus

b. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva

8

Page 9: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

c. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus

yang rusak

2. Hemoptisis

Terjadi akibat nekrosis atau dekstruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh

darah (pecah) dan timbul pendarahan.8

3. Sesak napas (dispnea)

Timbulnya sesak napas tergantung pada luasnya bronkiektasis, kadang-kadang

menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus. 8

4. Demam berulang

Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi

berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam

berulang). 8

5. Kelainan fisis, seperti: 8

a. Sianosis

b. Jari tabuh (Clubbing Finger)

c. Ronki basah

d. Wheezing

Beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada pasien Bronkiektasis,

antara lain:

1. Bronkitis kronik

2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis4

Bronkiektasis sering mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi

pada saluran napas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka yang draenase

sputumnya kurang baik.

3. Pleuritis5-8

Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya

merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

4. Efusi pleura atau empiema (jarang)

5. Abses metastasis di otak

Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering

terjadi penyebab kematian. 5-8

6. Hemoptisis lanjut

9

Page 10: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri

(arteri brankialis) atau anastomosis pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis hebat dan

tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat (indikasi pembedahan). Sering

juga hemoptisis masih yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian utama pasien

bronkiektasis. 5-8

7. Sinusitis5-8

8. Kor pulmonal kronik (KPK)4,5,7

Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau

mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi anastomosis cabang-cabang

arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis), akan terjadi arerio-

venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul seanosis sentral, selanjutnya

terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor-polmonal

kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung kanan.

9. Kegagalan pernapasan5-8

Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan

luas.

10. Amiloidosis5-8

Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik dan jarang

terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis ini sering ditemukan

pembesaran hati dan limpa serta proteinuria.

Tujuan dari pengobatan adalah mengendalikan infeksi dan pembentukan dahak,

membebaskan penyumbatan saluran napas serta mencegah terjadinya komplikasi. Yang dapat

dilakukan adalah : 5-8

1. Pemberian antibiotik dengan spekrum luas ( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin )

selama 5- 7 hari pemberian.

2. Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk pernapasan.serta batuk yang efektif untuk

mengeluarkan sekret secara maksimal (2 kali sehari).

Pada saat dilakukan drainage perlu diberikan bronkodilator untuk mencegah

bronkospasme dan memperbaiki drainage sekret. Serta dilakukan hidrasi yang adekuat

untuk mencegah sekret menjadi kental dan dilengkapi dengan alat pelembab serta

nebulizer untuk melembabkan secret. Sedangkan, bila penderita tidak memberikan respon

terhadap kedua langkkah diatas dan apabila disertai dengan pendarahan, maka dapat

dilakukan pengangkatan paru.

10

Page 11: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Pencegahan untuk bronkiektasis secara umum adalah : 5-8

Imunisasi lengkap

Imunisasi yang diwajibkan adalah campak dan pertusis pada masa kanak-kanak, dimana

ini dapat membantu menurunkan angka kejadian bronkiektasis

Melakukan vaksinasi

Menghindari rokok serta minuman beralkohol

Menghindari udara beracun, asap (termasuk asap rokok) dan serbuk yang berbahaya

(seperti bedak atau silica)

Prognosis tergantung dari penyebab, lokasi, luas, proses, drajat ganguan faal paru dan

adanya penyulit. Penggunaan antibiotika yang tepat dan tindakan bedah sangat berpengaruh

terhadap prognosis. Tanpa pengobatan penderita bronkiektasis jarang dapat hidup melewati

umur 10-15 tahun. Kebanyakan penderita meninggal pada umur kurang dari 40 tahun,karena

adanya penyulit (komplikasi). 5-8

Asma Bronkiale

Asma bronkiale adalah satu hiper-reaksi dari bronkus dan trakea yang mengakibatkan

penyempitan saluran napas yang bersifat reversible.1 Asma ini merupakan kelainan inflamasi

kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang paroksismal tapi

reversibel pada saluran napas trakeobronkial; serangan ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas

otot polos.9

Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja, terutama diperkirakan

jika terkena alergen dan lingkungan pemicu.1 Sebenarnya penyebab pasti asma bronkialee

masih belum diketahui secara pasti. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas klinik,

respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara patofisiologi dikenali 2 tipe yang utama:9

1) Asma atopik (alergik;reagin-mediated) Merupakan tipe yang sering ditemukan. Tipe asma ini dipicu oleh antigen lingkungan

(misalnya debu, serbuk sari, makanan), perubahan cuaca, aktivitas dan sering disertai

riwayat atopi dalam keluarga. Lenih sering terjadi pada anak-anak.

2) Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun)

Kerapkali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan,

pengaruh isiologis seperti stress dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan tanpa

11

Page 12: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas tidak

diketahui. Lenih sering mengenai orang dewasa di atas usia 40 tahun.

Asma bronkiale merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering dijumpai pada

anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita, prasekolah, sekolah atau

remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%, sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada

anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah.9

Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada

suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang

lebih banyak terkena daripada anak wanita, setelah itu insiden menurut jenis kelamin sama. 9

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,

sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama

ekspirasi, karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini

mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa di ekspirasi.

Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien

akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan

hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.

Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang

berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi

Paksa detik pertama) dan APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP

(Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas

dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi

menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang

kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.5,9,10

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-

daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut

mengalami hiposekmia. Penurunan O2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub klinis.

Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuan tubuh

terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan, sehingga tekanan CO2

menurun, yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih

berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus, sehingga tidak mungkin

lagi terjadinya pertukaran gas. 5,9,10

Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat

serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan

12

Page 13: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

penurunan ventilasi alveolus, menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis

respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis

metabolik dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu,

peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk

hiperkapnia. Dengan demikian penympitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-

hal sebagai berikut: 5,9,10

1) Gangguan ventilasi berupa hiperventilasi

2) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara

dengan sirkukasi darah paru.

3) Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis

respiratorik pada tahap yang lanjut. 5,9,10

Gejala-gejala dari penyakit asma bronkiale, antara lain sebagai berikut:

1. Sesak napas yang diikuti suara mengi.

2. Pada umumnya disertai batuk dengan dahak yang lengket dan kental.

3. Gelisah dan cemas.

4. Napas terengah-engah akibat kejang dan rasa berat pada dada.

5. Sulit untuk berbicara.

Komplikasi terjadi akibat :

1. Keterlambatan penanganan.

2. Penanganan yang tidak adekuat.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :9

1) Akut

- Dehidrasi

- Gagal napas

- Infeksi saluran napas

2) Kronis

- Kor-pulmonale

- PPO kronis

- Pneumotorak.

Pengobatan penyakit asma dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu jangka pendek dan

jangka panjang.

13

Page 14: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

1. Pengobatan jangka pendek

Pengobatan jangka pendek dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk mengatasi

penyempitan saluran pernapasan, produksi dahak yang berlebihan, dan sembab pada

selaput lendir jalan napas.4-7

2. Pengobatan jangka panjang

Pengobatan jangka panjang dikenal dengan sebutan immunoterapi, yakni penyuntikan

bahan alergi terhadap pengidap alergi yang dosisnya terus dinaikkan secara bertahap.

Pengobatan ini bertujuan mengurangi atau menghilangkan kepekaan orang tersebut

terhadap bahan itu.

Pencegahan pada pasien asama adalah sebagai berikut:9

1. Penyuluhan

Penyuluhan tentang bahaya dan berbagai faktor penyebab penyakit asma bronchial

sangat penting bagi masyarakat agar mereka bisa terhindar dari penyakit ini.

2. Menghindari faktor pencetus

Jika sudah tahu berbagai faktor pencetus penyakit ini (seperti yang telah disebutkan

di atas), maka sebaiknya menghindari berbagai faktor tersebut, terutama sekali jika

orang tersebut memiliki kerabat yang memiliki penyakit asma, maupun jika pasien

sendiri sudah ternjangkit penyakit asma bronchial ini, untuk menghindari penyakit

ini semakin parah.

3. Fisioterapi

4. Pemberian Cairan

5. Pengobatan

6. Obat-obatan seperti orsiprenalin, aminofilin, teofilin

Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik. Apabila

asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya

lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Prognosis dan angka kematian akan

meningkat, bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai serta tidak ada penanganan yang

tepat. 9

Bronkhitis kronik

Bronkhitis kronik adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus

trakeobronkiale yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan

ekspetorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.

14

Page 15: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Terdapat beberapa subklasifikasi, diantaranya bronkitis kronik simpleks, bronkitis

mukopurulen kronik, dan bronkitis kronik dengan obstruksi. Bronkitis kronik simpleks

menjelaskan suatu keadaan yang ditandai dengan pembentukan sputum mukoil. Bronkitis

mukopurulen kronik ditandai dengan sputum purulent yang persisten maupun berulang pada

keadaan tidak ditemukannyapenyakit supuratif setempat seperti bronkiektasis. Karena

mungkin ada dan mungkin juga tidak ditemukan obstruksi yang dinilai dengan penggunaan

maneuver kapasitas vital ekspirasi paksa (force expiration capacity, FEC), bronkitis kronik

dengan obstruksi memerlukan klasifikasi yang terpisah. Selanjutnya ditemukan kelompok

pasien dengan bronkitis kronik dan obstruksi yang mengalami dyspnea berat dan mengi,

berkaitan dengan iritan yang terhirup atau sewaktu infeksi pernapasan akut. Pasien seperti ini

disebut menderita asma infektif kronik atau bronkitis asmatik kronik. Karena obstruksi jalan

napas dapat pulih kembali walau tidak menyeluruh melalui terapi bronkodilator dan

pengurangan inflamasi dan karena hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan

nonspesifik dapat dijumpai pada kelompok pasien ini, keraguan ditemukan pada pasien

keadaan ini dengan pasien asma yang juga mengalami obstruksi jalan napas kronik.

Perbedaan didasarkan terutama pada riwayat perjalanan penyakit. Pasien dengan bronkitis

asmatik kronik memiliki riwayat batuk lama dan pembentukan sputum dengan awitan

selanjutnya yaitu mengi , sedangkan pasien asma dengan obstruksi kronik memiliki riwayat

mengi yang lama dan awitan selanjutnya yaitu batuk produktif kronik.10,11

Epidemiologi

Kurang lebih 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun hanya

sejumlah kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua survey, laki-laki

lebih sering menderita dibandingkan perempuan. Akan tetapi, dengan meningkatnya

jumlah perokok perempuan, prevalensi bronkitis pada kelompok perempuan

meningkat. Walaupun perokok merupakan faktor etiologi tunggal yang paling

penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan sekarang ini cukup banyak, terutama

sebagai unsur penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok. 10,11

Patologi

Bronkitis kronik berhubungan dengan hyperplasia atau hipertrofi kelenjar pembentuk

mukus yang ditemukan di dalam lapisan submukosa jalan napas kartilaginosa besar.

Penilaian perubahan ini dikenal sebagai indeks Reid, didasarkan pada rasio ketebalan

kelenjar submukosa dengan dinding bronkus. Pada pasien tanpa riwayat bronkitis

kronik, rasio rata-rata adalaj 0,44 dengan standar baku ± 0,09, sedangkan pada pasien

dengan riwayat bronkitis kronik rasio rata-rata adalah 0,52 ± 0,08. Walaupun indeks

15

Page 16: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

yang rendah jarang sekali berhubungan dengan gejala dan indeks yang tinggi pada

umumnya berhubungan dengan gejala sewaktu hidup, masih ditemukan adanya

tumpang tindih. Oleh karena itu, banyak pasien mengalami perubahan morfologik

dalam jalan napas besar tanpa disertai bronkitis kronik. 10,11

Mungkin yang jauh lebih penting daripada kelainan yang ditemukan dalam

jalan napas besar adalah perubahan yang sering ditemukan di dalam jalan napas kecil

yang tidak mempunya tulang rawan. Hyperplasia sel goblet, sel radang mukosa dan

submukosa, edema, fibrosis peribronkiale, kumpulan mukus intraluminal dan

peningkatan otot polos merupakan penemuan khas dalam jalan napas kecil. Frekuensi

ditemukan hal tersebut dalam hubungannya dengan status klinis pascamati dan

fungsional masih belum dapat ditemukan. Akan tetapi, pada pasien dengan PPOM

yang telah diamati pascamati, obstruksi aliran udara yang utama telah ditunjukkan

pada jalan napas kecil. 10,11

Etiologi

Bronkitis kronik diduga terjadi karena merokok, terpajan polusi udara, debu, infeksi,

bahkan faktor genetik.

- Merokok

Merokok merupakan temuan paling umum berhubungan dengan bronkitis

kronik selama kehidupan. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa

aktivitas merokok yang lama mengganggu pergerakan silia, mengahmbat

fungsi makrfag alveolus dan akhirnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia

kelenjar pengsekresi mukus. Disamping efek kronik ini, kemungkinan

merokok menghambat antiprotease dan menyebabkan sel PMN melepaskan

enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menghasilkan

peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot polos

melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan submukosa.

Hubngan antara episode konstriksi bronkiale akut berulang dengan

perkembangan dan kemajuan obstruksi jalan napas berhubungan dengan

kemajuan yang lebih cepat pada pasien dengan obstruksi jalan napas kronik. 10,11

Sekarang telah diketahui secara pasti bahwa beberapa perokok muda

asimtomatik mengalami perubahan anatomic dan fungsional dalam jalan napas

kecil tanpa adanya pengurangan volume ekspirasi paksa dalam satu detik.

Akan tetapi, nilai kecepatan di atas atau di bawah rentang kapasitas vital-

16

Page 17: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

pertangahan sering tidak ditemukan pada individu dengan obstruksi jalan

napas ringan. Telah diperlihatkan bahwa obstruksi jalan napas kecil

merupakan cacat mekanik yang paling cepat ditunjukkan pada perokok muda

dan obstruksi dapat hilang secara menyeluruh bila berhenti merokok.

Walaupun berhenti merokok tidak dapat menyebabkan berulangnya seluruh

obstruksi yang lebih berat, ditemukan penurunan fungsi paru secara perlahan

yang bermakna pada semua perokok yang berhenti merokok. 10,11

- Polusi udara

Insidensi dan angka kematian akibat bronkitis kronik dapat lebih tinggi di

daerah urban yang padat industrialisasi, eksaserbasi bronkitis jelas

berhubungan dengan periode polusi berat dengan sulfur dioksida (SO2) dan

unsur yang sangat kecil. Sementara nitrogen oksida (NO2) dapat menimbulkan

obstruksi jalan napas kecil (bronkitis) pada binatang percobaan yang terpajan

dengan konsentrasi, tidak ada data yang secara pasti melibatkan NO2 pada

proses pathogenesis atau perburukan obstruksi jalan napas pada manusia,

bahkan pada kadar polutan yang sangat tinggi sekalipun.10,11

- Pekerjaan

Bronkitis kronik lebih serinng ditemukan pada pekerja yang berhubungan

dengan pekerjaan yang terpajan dengan debu anorganik, organic, ataupun

terhadap gas beracun. Penelitian epidemiologik telah berhasil menunjkkan

percepatan penurunan fungsi paru pada banyak pekerja tersebut. Misalnya

pada pekerja di pabrik plastic yang terpapar oleh toluene diisosianida dan

pekerja pemintal kapas.10,11

- Infeksi

Morbiditas, mortalitas, dan frekuensi penyakit pernapasan akut lebih tinggi

pada pasien dengan bronkitis kronik. Banyak usaha telah dilakukan untuk

menghubungkan penyakit ini dengan infeksi virus, mikoplasma dan bakteri.

Akan tetapi, hanya rhinovirus yang lebih sering menyebabkan eksaserbasi.

Berdasarkan intuisi sangat menarik menentukan beberapa peran infeksi

saluran napas dalam pathogenesis dan progresi PPOm dan walaupun

pertanyaan ini masih dipelajari, masih belum ada kesepakatan sampai saat ini.

Akan tetapi, penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit

pernapasan akut merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

etiologi, demikian juga dengan perkembangan obstruksi jalan napas kronik.

17

Page 18: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Telah ditunjukkan bahwa perokok secara transien dapat menderita atau

memperburuk obstruksi jalan napas kecil yang berhubungan dengan infeksi

virus pernapasan yang ringan sekalipun. Juga ditemukan bukti bahwa

pneumonia berat akibat virus pada awal masa kehidupan dapat mengarah pada

obstruksi kronik, terutama pada jalan napas kecil. 10,11

- Faktor familial dan genetik

Kumpulan bronkitis kronik yang bersifat familia telah diperlihatkan dengan

baik di masa lalu. Penelitian baru-baru ini menujukkan bahwa anak dari orang

tua perokok dapat menderita penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat

dan prevalensi terhadap gejala gangguan pernapasan kronik lebih tinggi.

Selain itu, pasien yang tidak merokok yang tinggal dengan perokok (perokok

pasif) mengalami peningkatan kadar karbon monoksida darah yang

menunjukkan bahwa pasien juga secara bermakna terpajan oleh asap rokok.

Bentuk polusi udara dalam ruangan yang terdokumentasi dengan baik

berhubungan dengan penggunaan gas alam untuk memasak. Akan tetapi,

beberapa penelitian terhadap kembar monozigot menyatakan bahwa beberapa

faktor predisposisi genetik terhadap perkembangan bronkitis kronik tidak

bergantung pada kebiasaan individu atau familial perokok dan polusi udara

rumah lainnya. Model transmisi genetik yang sesungguhnya, bila ada, masih

belum dapat dipastikan.10,11

Patofisiologi

Kondisi yang terlihat pada bronkitis kronik adalah hipersekresi mukus,

dimulai dari jalan napas besar. Iritan-iritan lingkungan seperti asap rokok, SO2, dan

NO2, menginduksi hipertrofi kelenjar mukus pada trakea dan cabang utama bronkus

dan berkembang menuju peningkatan populasi sel goblet pengsekresi-musin pada

permukaan epitel bronkus kecil dan bronkiolus. Selai itu, zat-zat irirtan ini

menyebabkan peradangan dangen inflitrasi sel T CD8+, makrofag, dan netrofil.

Berbeda dengan asma, eosinophil jarang ditemukan pada bronkitis kronis kecuali

pasien mengalami bronkitis asmatik. Meskipun penampang dari bronkitis kronik

merupakan bayangan dari gangguan bronkus primer, landasan morfologis dari

obstruksi jalan napas pada bronkitis kronik lebih perifer dan berasal dari (1) small

airway disease, yang diinduksi oleh metaplasia sel goblet dengan sumbatan mukus

pada lumen bronkiolus, peradangan, dan fibrosis dinding bronkiolus. (2) emfisema

koeksis. Secara umum dipercaya bahwa ketika small airway disease adalah komponen

18

Page 19: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

penting dalam obstruksi ringan dini, bronkitis kronik dengan obstruksi jalan napas

yang asignifikan selalu berkomplikasi menjadi emfisema. Dipostulasikan bahwa

banyak efek epithelial respirasi yang dicetuskan iritan lingkungan dimediasi oleh

pelepasan local sitokin sel T seperti IL-13. Trasnkripsi gen musin, dan netrofil

elastase MUC5AC, dimana bertambah sebagai konsekuensi dari terpajan terhadap

asap rokok secara in vitro maupun in vivo. Infeksi mikroba sering terjadi sebagai

infeksi sekunder, terjadi karena peradangan dan gejala eksaserbasi. 10,11

Manifestasi Klinis

Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi sputum yang

mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan kebiasaan merokok

yang cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di musim dingin dan pasien

cenderung untuk minta pertolongan dokter paling tidak pada saat sering terdapat

relaps mukopurulen yang semakin berat. Dalam beberapa tahun, gejala batuk

berlanjut dari hibernal menajdi perennial dan frekuensi, durasi serta intensitas relaps

mukopurulen semakin bertambah. Setelah mulai mengalami gejala dyspnea

pengerahan tenaga, pasien sering mencari pertolongan dokter dan derajat obstruksi

paru yang cukup berat akan ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang pasien

tersebut akan memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang

terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak

medis yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien dengan

gejala sianosis berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai insufisiensi

respirasi akut. 10,11

Pasien ini seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak sianotik.

Biasanya pada saat istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi pernapasan tampak

normal atau hanya sedikit meningkat dan juga tidak dijumpai penggunaan otot-otot

aksesorius. Perkusi dada akan memberikan suara sonor yang normal dan dengan

auskultasi, kita biasanya dapat mendengar suara ronki kasar serta mengi yang lokasi

dan intensitasnya berubah-ubah setelah batuk yang dalam serta produktif. Pulsasi

yang menetap mungkin terlihat di sepanjang margo sternalis kiri bawah yang

menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal ventrikel kanan

kerapkali terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang-kadang bising

holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang

disebutkan terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional tricuspid

yang sering disertai dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan terdapatnya gagal

19

Page 20: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

ventrikel kanan, gejala sianosis makin bertambah dan edema perifer semakin nyata. 10,11

Desaturasi serta eritrositosis secara bersama-sama akan menyebabkan sianosis

dan vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik dan menambah berat gagal jantung kanan.

Karena sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat gagal jantung, pasien tersebut

pernah disebut “blue bloaters”. Blue bloaters terjadi akibat serangan berulang

desaturasi oksigen nokturnal yang berat dengan disertai serangan apnea waktu tidur

atau periode hipoventilasi yang bertambah buruk. Kejadian respirasi yang

berhubungan dengan tidur semacam itu akan memperberat derajat hipertensi

pulmonal dan eritropoiesis sekunder. 10,11

Nilai kapasitas paru total seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai volume

residual yang sedang. Kapasitas vital sedikit menurun dan kecepatan aliran ekspirasi

yang maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru tetap normal atau hanya

sedikit terganggu dan kapasitas patu untuk mengalihkan karbon monoksida dapat

normal atau sedikit menurun. 10,11

Pada pemeriksaan radiologic terlihat lengkungan diafragma yang baik,

corakan bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan hitam

jantung agak melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan, bayangan hitam

jantung lebih melebar lagi, gambaran arteri pulmonalis menjadi lebih nyata dan

distribusi perfusi yang melawan gaya berat terlihat jelas.10,11

Meskipun penanganan sudah direncanakan dengan baik, pasien bronkitis

kronik dapat mengalami episode gagal napas yang kesembuhannya seringkali terjadi

setelah dilakukan terapi yang tepat. Akhirnya, paru pasien pada pemeriksaan

pascamati akan memperlihatkan perubahan bronkitis yang berat baik pada jalan napas

yangbesar maupun yang kecil dan hanya menunjukkan emfisema yang sedang.10,11

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari bronkitis kronis antara lain menghentikan kebiasaan merokok,

penggunaan antibiotic terutama untuk H. influenza dan S. pneumonia 7-10 hari,

pemberian nutrisi yang adekuat dan latihan, obat bronkodilator, serta kortikosteroid

yang diberikan setelah pemberian adekuat bronkodilator. 10,11

Prognosis

Angka kematian di rumah sakit rata-rata 30% untuk satu episode dan nilai ketahan

hidup 5-tahun setelah episode pertama rata-rata hanya 15-20%10,11.

Emfisema

20

Page 21: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Emfisema adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal menetap

ruang udara di sebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding-dindingnya

tanpa fibrosis yang nyata.12

PPOK mengenai lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat; bronkitis kronik adalah

diagnosisnya pada sekitar 75% kasus dan emfisema sisanya. Insidens, prevalensi, dan angka

kematian PPOK meningkat seiring pertambahan usia dan lebih tinggi pada pria, orang

berkulit putih, dan golongan social ekonomi lemah.10-12

Merokok masih menjadi kausa utama penyakit pada hampir 90% pasien dengan

bronkitis kronik dan emfisema. Namun, hanya 10-15% perokok mengalami PPOK. Penyebab

perbedaan pada kerentanan penyakit ini belum diketahui tetapi mungkin mencakup factor

genetik. Satu factor resiko penting untuk timbulnya PPOK yang berhasil diidentifikasi-selain

merokok-adalah defisiensi inhibitor α1-protease. Ketiadaan zat ini menyebabkan emfisema

berat awitan dini. Inhibitor α1-protease adalah suatu protein darah yang mampu menghambat

jenis protease, termasuk elastase neutrofil, yang diperkirakan berperan dalam pembentukan

emfisema.10-12

Mutasi autosomal dominan, terutama pada orang Eropa Utara, menyebabkan kadar

inhibitor ini dalam serum dan jaringan menjadi sangat rendah, dan mengubah keseimbangan

sintesis dan proteolisis jaringan. Mutasi homozigot (genotype ZZ) menyebabkan kadar

inhibitor 10-15% kadar normal. Risiko emfisema, terutama pada perokok yang membawa

mutasi ini, sangat meningkat.10-12

Studi-studi pada populasi mengisyaratkan bahwa pajanan debu (termasuk silica dan

kapas) atau uap zat kimia yang terus-menerus dapat menyebabkan PPOK, tetapi kontribusi

factor-faktor ini tampaknya kecil dibandingkan dengan pemakaian tembakau. 10-12

Proses patologis utama pada emfisema dianggap sebagai proses perusakan

berkelanjutan yang terjadi akibat ketidak seimbangan jejas oksidan dan ativitas proteolitik

local (terutama elastolitik) akibat defisiensi inhibitor protease. Berbagai oksidan, baik yang

endogen (superoksida anion) maupun eksogen (mis.,asap rokok); dapat menghambat fungsi

protektif normal inhibitor protease sehingga terjadi destruksi jaringan yang progresif.10-12

Berbeda dari bronkitis kronik, emfisema adalah penyakit yang bukan terutama

mengenai saluran napas tetapi parenkim paru di sekitarnya. Konsekuensi fisiologis adalah

21

Page 22: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

hasil dari kerusakan unit-unit respiratorik terminal dan hilangnya jaringan kapiler alveolus,

serta yang sangat penting, stuktur-struktur penunjang paru, termasuk jaringan ikat elastic.10-12

Hilangnya jaringan ikat elastic menyebabkan paru kehilangan daya recoil elastic dan

mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis yang normal, saluran napas yang

tidak mengandung tulang rawan tidak lagi mendapat topangan. Saluran napas mengalami

kolaps premature saat ekspirasi, disertai gejala obstruktif dan temuan fisiologis yang khas. 10-

12

Gambaran patologis emfisema adalah gambaran kerusakan progresif unit-unit

respiratorik terminal atau parenkim paru di sebelah distal dari bronkiolus terminal.

Peradangan saluran napas, jika terjadi, akan minimal, meskipun dapat terlihat hyperplasia

kelenjar mukosa di saluran napas penghubung yang besar. Interstisium unit-unit respiratorik

mengandung beberapa sel radang, tetapi temuan utama adalah hilangnya dinding alveolus dan

membesarnya ruang-ruang udara. Kapiler alveolus juga lenyap, yang dapat menyebabkan

penurunan kapasitas difusi dan hipoksemia progresif, terutama saat berolahraga.10-12

Kerusakan alveolus tidak merata di semua kasis emfisema. Berbagai varian anatomis

telah dilaporkan berdasarkan kerusakan unit respiratorik terminal (atau asinus). Pada

emfisema sentriasinar, kerusakan berpusat di tengah unit respiratorik terminal, dengan

bronchioles respiratorius dan ductus alveolaris yang relative tidak terkena. Pola ini paling

sering berkaitan dengan kebiasaan merokok. Emfisema parasinar adalah kerusakan unit-unit

respiratorik terminal secara umum disertai pelebaran ruang udara difus. Pola ini biasanya,

meskipun tidak khas, dijumpai pada defisiensi inhibitor α1-protease. Penting diperhatikan

bahwa perbedaan antara kedua pola ini umumnya bersifat patologis;tidak terdapat perbedaan

bermakna dalam gambaran klinis. Pola emfisema lain yang penting secara klinis adalah

emfisema bulosa. Bula adalah konfluensi luas ruang-ruang udara yang terjadi akibat

kerusakan local yang lebih besar atau peregangan progresif unit-unit paru. Bula penting

karena efek kompresif yang dapat ditimbulkannya pada jaringan paru sekitar dan

terbentuknya ruang mati fisiologis yang besar. 10-12

Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non peradangan berupa dispnea, obstruksi

progresif saluran napas yang irreversible, dan gangguan pertukaran gas, terutama saat

berolahraga. 10-12

22

Page 23: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

1. Bunyi napas. Intensitas bunyi napas pada emfisema biasanya berkurang intensitasnya,

yang mencerminkan berkurangnya aliran udara, memanjangnya waktu ekspirasi, dan

hiperinflasi paru yang berat. Mengi, jika ada, tidak terlalu jelas. Bunyi napas, termasuk

ronki basah dan kering, jarang terdengar tanpa adanya proses lain seperti infeksi. 10-12

2. Pemeriksaan jantung. Mungkin terjadi takikardia seperti pada bronkitis kronik, khususnya

pada eksaserbasi atau hipoksemia. Hipertensi pulmonal adalah konsekuensi umum dari

obliterasi vaskular paru dan hipoksemia yang menyertainya. Pemeriksaan jantung dapat

memperlihatkan penutupan katup pulmonal yang mencolok (peningkatan P2, komponen

pulmonl bunyi jantung kedua) atau peningkatan tekanan vena jugularis serta edema

perifer akibat gagal jantung kanan. 10-12

3. Pencitraan. Hiperinflasi sering terlihat, dengan diafragma yang mendatar dan

pertambahan garis tengah toraks anteroposterior. Kerusakan parenkim menyebabkan

corakan vaskuler perifer paru yang berkurang, seiring dengan pelebaran arteri pulmonalis

proksimal akibat hipertensi pulmonal sekunder. Kelainan kistik atau bulosa juga dapat

terlihat. 10-12

4. Uji fungsi paru. Kerusakan parenkim paru dan hilangnya recoil elastis merupakan kausa

mendasar kelainan yang ditemukan pada uji fungsi paru. Hilangnya daya recoil elastis di

jaringan paru yang menunjang saluran napas menyebabkan peningkatan kompresi

dinamis saluran napas, terutama saat ekspirasi paksa; semua laju aliran berkurang.

Dengan kolapsnya saluran napas secara premature, FEV, FVC, dan rasio FEV1/FVC

(FEV1%) semuanya menurun. Seperti pada bronkitis kronik dan asma, kurva aliran

volume eskpirasi memperlihatkan penurunan substansial aliran. Memanjangnya waktu

ekspirasi, penutupan dini saluran napas, dan terperangkapnya udara menyebabkan

peningkatan RV dan FRC. TLC meningkat, meskipun sebagian peningkatan kapasitas ini

berasal dari gas yang terperangkap di unit-unit paru yang terisolasi atau sulit diakses,

termasuk bula. DLCO umumnya menurun seiring dengan bertambahnya luas emfisema,

yang mencerminkan kerusakan progresif alveolus dan jaringan kapilernya. 10-12

5. Gas darah arteri. Emfisema adalah penyakit dengan destruksi dinding alveolus.

Berkurangnya kapiler alveolus menciptakan daerah-daerah dengan ventilasi yang relative

tinggi terhadap perfusinya. Biasanya, pasien dengan emfisema akan beradaptasi dengan

rasio V/Q yang tinggi dengan meningkatkan ventilasi minornya. Mereka dapat

mempertahakan kadar PO2 dan PCO2 yang mendekati normal, meskipun penyakitnya

sudah lanjut. Pemeriksaan gas darah arteri hampir selalu memperlihatkan peningkatan A-

a∆ PO2. Pada tingkat keparahan penyakit yang lebih besar dan semakin berkurangnya

23

Page 24: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

perfusi kapiler, DLCO menurun, yang menyebabkan desaturasi hemoglobin arteri yang

semula hanya timbul saat berolahraga tetapi akhirnya juga pada saat istirahat.

Hiperkapnia, asidosis respiratorik, dan alkalosis metabolic kompensatorik sering dijumpai

pada penyakit berat. 10-12

6. Polisitemia. Seperti pada bronkitis kronik, hipoksemia kronik sering berikatan dengan

peningkatan hematokrit. 10-12

Pada emfisema, prinsip penatalaksanaan dan komplikasi hampir mirip dengan

bronkitis kronik. Prognosis pada emfisema lebih berat daripada bronkitis kronik. 10-12

Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebebkan terjadinya PPOK, baik faktor

eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini faktor host atau

faktor dari penderita sendiri).4,5

Faktor Lingkungan : 4,5

Merokok

Asap tembakau

Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota

Faktor Host : 4,5

1. Genetik

Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang

ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1

antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana

berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk

menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzin ini rendah sedangkan asupan

rokok tinggi maka akan mengganggu system kerja enzim tersebut, yang bisa

mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan

emfisema pada usia muda, yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar

usia 53 tahun) dan bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.

2. Hipereaktifitas Bronkus

Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor resiko yang

memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok maka

24

Page 25: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan

fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi

akibat dari peradangan pada saluran napas atas.

Epidemiologi

PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan 26.000

kematian per tahun di Inggris. Prevalensinya > 600.000. Angka ini lebih tinggi di daerah

maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, perokok berat dan pada

manula. Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat

dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita. 4,5

Patofisiologi

Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim

paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan

makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan

mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF yang dapat merusak

struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2

proses lain yang juga penting yaitu; imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan

stres oksidatif. 4,5

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar (central

airway), saluran napas kecil (peripheral airway), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Pada

saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-

kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini

menyebabkan hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang

menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini

akan menghasilkan structural remodeling dari dinding saluran napas dengan peningkatan

kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat, yang menyebabkan penyempitan lumen

dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas

terjadi pada emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan

, namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary

capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh

darah ,yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama

kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding

pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos,

proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.6

25

Page 26: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas.

Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis

kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2 mm) menjadi lebih sempit dan

berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga

menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru,

penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.13-16

Pembagian anatomi bronkus adalah sebagai berikut:

Bronchus Primer

Struktur dasar bronkus primer tersusun atas epitel pernapasan yang kurang tinggi dan

mengandung sedikit sel goblet. Lamina propria bronkus primer padat dengan jumlah elastin

yang banyak pada lapisan superfisial. Lamina propria dipisahkan dari submukosa oleh lapisan

otot polos tidak utuh yang menjadi lebih menonjol pada jalan napas yang lebih kecil. 13-16

Bronchus Tersier

Dengan mengecilnya diameter bronchi, maka strukturnya secara progresif berubah

menjadi lebih mirip dengan bronkiolus besar. Bronchus tersier tersusun atas sel-sel bertingkat

kolumnar tinggi dan jumlah sel-sel goblet yang sangat berkurang. Lamina proprianya tipis,

elastis, dan dikelilingi oleh otot polos yang tersusun sirkular. Susunan otot polos ini

memungkinkan kontraksi bronchi baik memanjang maupun menurut diameter selama

ekspirasi. 13-16

Pada lapisan submukosa, ditemukan sedikit sekali kelenjar sero-mukosa. Kerangka

kartilago yang menyusun cincin C susunannya sudah mulai tidak teratur dan tidak biasa

terdapat sampai lebih distal dari bronchi tersier. Lapisan submukosa dan adventisia menyatu

dan kemudian dengan parenkim paru. Pada lapisan adventisia terdapat sekelompok kecil

limfosit yang merupakan bagian dari jaringan mukosa limfoid difus. 13-16

Bronchiolus

Bronchiolus merupakan jalan napas dengan diameter kurang dari 1 mm dan tidak

bertulang rawan, sehingga jaringan ini sangat mudah kolaps. Epitel pernapasannya selapis

kolumnar bersilia dengan sedikit sel goblet. Ciri khas dari bronkiolus adalah lapisan otot

polos yang tersusun melingkar. Otot polos bronkiolus sangat efektif mengontrol tahanan

terhadap aliran udara dalam pulmo. Ketidakstabilan otot polos bronkiolus menyebabkan

kontraksi dan berakibat penyempitan jalan napas yang merupakan ciri utama penyakit asma. 13-16

26

Page 27: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Bronchiolus Terminalis

Bronkiolus terminalis adalah saluran berdiameter terkecil dari bagian yang merupakan

penghubung dari bronchiolus; setelah ini, percabangan selanjutnya makin terlibat dalam

pertukaran gas. Setiap bronkiolus terminalis pecah menjadi cabang-cabang berdinding tipis

yang disebut bronkiolus repiratorius. Bronkiolus respiratorius sudah terdapat alveoli tidak

utuh, sehingga di bronchiolus respiratorius sudah mulai terjadi proses ventilasi atau

pertukaran udara luar dengan udara alveol. Epitel bronkiolus respiratorius tidak mengandung

sel goblet dan sebagian besar terdiri atas sel-sel kuboid bersilia dan sel-sel tak bersilia yang

jumlahnya lebih sedikit disebut sel Clara. 13-16

Bagian paling distal bronkiolus respiratorius, epitelnya mengalami transisi menjadi sel

yang lebih menonjol. Tiap bronkiolus respiratorius akan bercabang menjadi beberapa lorong

berkelok panjang yang disebut duktus alveolaris yang sepanjang lorongnya membuka ke

dalam yang disebut kantong alveolar dan alveoli. Pada dinding duktus alveolar terdapat

agregasi kecil sel-sel otot polos dan kolagen terkait, serta serabut elastin yang membentuk

cincin mengelilingi duktus alveolar dan ostium sakus alveolar dan alveoli. Otot polos

bronkiolus respiratorius dan duktus alveolar mengatur gerakan udara alveolar. 13-16

Alveoli

Dinding alveolus terdiri atas tiga komponen jaringan, yaitu: 13-16

o Epitel Permukaan

Sebagian besar permukaan alveolus dilapisi oleh sel-sel gepeng besar yang

disebut pneumosit tipe I (sel pelapis alveolus). Sel ini memiliki sitoplasma yang

menutupi area luas alveol. Sel-sel epitel jenis kedua adalah pneumosit tipe II yang

berbentuk bulat dan hanya menempati ruang yang lebih kecil dari permukaan

alveolus. Pneumosit tipe II memiliki inti bulat, besar, dengan nukleolus menonjol dan

sitoplasma bervakuola. 13-16

Pneumosit tipe I merupakan bagian sawar pertukaran gas yang amat tipis,

sementara pneumosit tipe II mensekresi surfaktan yang berfungsi mengurangi tekanan

permukaan dalam alveoli agar alveol tidak kolaps selama ekspirasi. Pneumosit tipe II

mampu bermitosis dan dapat berkembang menjadi pneumosit tipe I sebagai respon

terhadap kerusakan lapisan alveol. 13-16

27

Page 28: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

o Jaringan Penyokong

Membentuk suatu lapisan tipis di bawah epitel dan mengelilingi pembuluh

darah dari dinding alveolus. Lapisan ini terutama terdiri atas serabut retikulin halus,

serabut kolagen dan elastin, serta kadang-kadang terdapat fibroblas. 13-16

o Pembuluh Darah

Sebagian besar kapiler membentuk plexus luas di sekitar setiap alveolus.

Sebagian besar dinding alveolus, terdapat membran basal yang memperkuat kapiler

endotel. Pada dinding alveoli dan pada rongga bebas alveol dapat ditemukan

makrofag yang berfungsi untuk ‘menelan’ partikel-partikel mikro, seperti karbon,

yang mencapai alveol. Makrofag ini disebut sebagai sel-sel debu yang merupakan

derivat dari monosit darah. 13-16

Mekanisme Pernapasan secara Umum

Secara garis besar, mekanisme pernapasan terjadi karena adanya udara luar yang

masuk melalui lubang hidung, berlanjut ke trakea, kemudian mengarah ke bronkus primer

dextra dan sinistra. Pada masing-masing bronkus primer, udara kemudian diteruskan ke

kedua pulmo, kemudian ke bronkus kecil, dan ke bronkiolus terminalis. Lubang hidung

sampai dengan bronkiolus terminalis merupakan sistem respiratorius bagian konduksi karena

bagian-bagian tersebut hanya berfungsi sebagai saluran pernapasan dan belum terjadi adanya

pertukaran gas (belum adanya alveol). Pertukaran gas mulai terjadi pada bronkiolus

respiratorius karena pada bagian ini sudah mulai terdapat alveoli, walaupun bentuknya belum

utuh. Pertukaran gas berlanjut sampai ke duktus alveolaris, kemudian duktus alveolaris dan

sakus alveolaris, selanjutnya berakhir pada alveolus. Dari bronkiolus sampai dengan alveolus,

disebut sistem respiratorius bagian respirasi karena pada bagian-bagian ini, selain berfungsi

sebagai saluran, juga terjadi pertukaran gas. 13-16

Udara masuk (kaya O2) yang telah mencapai alveol akan berdifusi masuk ke dalam

kapiler-kapiler darah pada permukaan alveol. Hal ini dapat terjadi karena tekanan pada O 2

pada alveol jauh lebih besar daripada tekanan O2 pada pembuluh kapiler alveol. O2 yang telah

berdifusi dalam kapiler, kemudian akan diteruskan ke seluruh jaringan tubuh melalui Vena

Pulmonalis. Vena Pulmonalis berjalan dari paru menuju atrium sinistra jantung, kemudian

dilanjutkan ke ventrikel sinistra jantung, sampai akhirnya dipompakan ke seluruh tubuh. 13-16

28

Page 29: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Ketika telah mencapai jaringan-jaringan tubuh yang dituju, O2 akan dilepaskan ke

jaringan tersebut. Tekanan O2 arteri lebih besar daripada tekanan O2 jaringan, sehingga O2

berdifusi dari arteri ke jaringan. Pada saat yang sama, tekanan CO2 dalam jaringan lebih besar

daripada tekanan CO2 di dalam , sehingga CO2 berdifusi dari jaringan ke darah. Darah kaya

akan CO2 ini kemudian dibawa oleh pembuluh darah vena menuju atrium dextra jantung

untuk selanjutnya dialirkan ke ventrikel dextra jantung. Dari ventrikel dextra, melalui Arteri

Pulmonalis, darah kaya CO2 dibawa ke jaringan kapiler alveol di pulmo dan kemudian

dilepaskan ke luar tubuh. 13-16

Mekanisme Pernapasan (Inspirasi)

Mekanisme inspirasi diawali oleh adanya kontraksi otot-otot inspirasi utama. Pada

inspirasi tenang, otot yang berperan adalah M. Intercostales Externus dan diaphragma.

Namun, pada inspirasi kuat, terdapat kontraksi otot-otot tambahan, seperti Mm. Pectoralis,

M. Sternocleidomastoideus, Mm. Scalenus, M. Serratus anterior, M. Latissimus dorsi, dan M.

Iliocostalis superior.13-16

Ketika M. Intercostales Externus berkontraksi, bagian sternum dada akan terangkat

meluas ke arah supero-anterior dan os. Costae terangkat ke arah lateral. Perluasan rongga

dada terjadi pada area costae 7. Hal ini disebabkan oleh karena costae 7 adalah iga yang

paling panjang dan memiliki kemiringan paling besar diantara os. Costae lainnya. Kontraksi

otot-otot dinding dada ini meningkatkan volume dada hingga 25%.13-16

Di sisi lain, diaphragma yang mendapatkan perangsangan oleh N. Phrenicus,

mengalami kontraksi, sehingga memiliki kedudukan ke arah inferior (arah rongga abdomen)

dan bentuknya yang semula melengkung menjadi tampak datar. Kontaksi diaphragma ini

meningkatkan volume dada hingga 75%. Pulmo yang dipengaruhi oleh persarafan simpatis,

mengalami bronkodilatasi, sehingga volume paru meningkat. Peningkatan volume rongga

dada dan pulmo mengakibatkan tekanan intra alveol jauh lebih rendah daripada tekanan udara

atmosfer di luar tubuh. Akibatnya, udara dari atmosfer masuk ke dalam pulmo. 13-16

Mekanisme Pernapasan (Ekspirasi)

Mekanisme ekspirasi tenang diawali oleh adanya relaksasi pada otot-otot inspirasi

utama. Namun, pada expirasi kuat, ada otot-otot expirasi yang berkontraksi, antara lain M.

Intercostales Internus, M. Iliocostalis Inferior, M. Longissimus, M. Rectus Abdominis, M.

Obliquus Abdominis Externus, dan M. Obliquus Abdominis Internus. Ketika otot-otot

inspirasi relaksasi atau otot-otot ekspirasi berkontraksi, kedudukan tulang-tulang thorax akan

29

Page 30: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

kembali pada kedudukannya semula, sehingga rongga dada akan mengempis. Kemudian,

diaphragma juga akan berelaksasi, sehingga ia akan kembali pada kedudukannya semula,

melengkung ke arah superior (arah rongga dada), menyebabkan volume rongga dada

mengecil.13-16

Pulmo yang dipengaruhi oleh persarafan parasimpatis, melalui N. Vagus (N. X),

mengalami bronkokonstriksi, sehingga volume pulmo menurun. Penurunan volume rongga

dada dan pulmo mengakibatkan tekanan intra alveol jauh lebih tinggi daripada tekanan udara

atmosfer luar tubuh. Akibatnya, udara dari dalam pulmo dilepaskan ke atmosfer. 13-16

Manifestasi Klinik

Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu, sesak napas dan batuk. Adapun

gejala yang terlihat seperti :7

a)      Sesak Napas

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih

lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat

mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

b)      Batuk Kronis

Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi hari.

Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.

a) Wheezing

Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus

menyebabkan pengurangan kaliper saluran napas dan tuberlensi aliran darah

yang berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat didengar langsung

atau dengan stetoskop. Intesitas mengi tidak berkolerasi baik dengan keparahan

penyempitan saluran napas; contohnya, pada obtruksi saluran napas ektrem,

aliran udara dapat sedemikian berkurang, sehingga mengi mungkin sama sekali

tidak terdengar. Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini

menunjukan komponen reversibel penyakitnya.8

d)     Batuk Darah

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas

yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.

e)      Anoreksia dan berat badan menurun

Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

30

Page 31: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko selain

penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun  eksaserbasi. Harus ada peningkatan bertahap

pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa dikelompokkan sebagai

berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia/PDPI) : 9-12

Stadium 0 (beresiko)

Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis

Stadium 1 (ringan)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %

Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala

- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

Stadium 2 (sedang)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %

Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala

- sesak napas derajat sesak 2

Stadium 3 (berat)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %

Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi

- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik

- Disertai dengan komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:

1. Pemberian obat obatan9-12

a) Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat yang mengendurkan otot polos di sekitar saluran udara,

meningkatkan kaliber saluran udara dan meningkatkan aliran udara. Mereka dapat

mengurangi gejala sesak napas, mengi dan pembatasan latihan, sehingga

peningkatan kualitas hidup orang dengan PPOK.  Mereka tidak memperlambat

laju perkembangan penyakit yang mendasarinya.  Bronchodilators biasanya

diberikan dengan inhaler atau melalui nebulizer. Ada dua jenis utama

bronkodilator, β 2 agonis dan antikolinergik.

31

Page 32: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Antikolinergik tampaknya unggul β 2 agonis di PPOK. Antikolinergik mengurangi

kematian pernapasan, sementara β 2 agonis tidak berpengaruh pada pernapasan

kematian.  Masing-masing jenis dapat berupa long-acting (dengan efek yang

berlangsung 12 jam atau lebih) atau short-acting (dengan onset cepat efek yang

tidak terakhir sebagai panjang). Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi

kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.5

b) Anti Inflamasi

Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan

jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada

eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.

c) Antibiotik

Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.

Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.

d) Mukolitik

Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan

simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.

e) Antitusif

Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan

secara rutin merupakan kontraindikasi.

2. Pengobatan Penunjang9-12

a) Rehabilitasi

b) Edukasi

c) Berhenti merokok

d) Latihan fisik dan respirasi

e) Nutrisi

Menjadi baik berat badan atau kegemukan dapat mempengaruhi gejala, tingkat

kecacatan dan prognosis PPOK. Orang-orang dengan PPOK yang berat badannya

dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan mereka dengan meningkatkan

asupan kalori mereka.  Ketika dikombinasikan dengan olahraga teratur atau

program rehabilitasi paru, hal ini dapat mengakibatkan peningkatan gejala PPOK.

3. Terapi Oksigen

Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang

atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati - hati dapat menyebabkan

32

Page 33: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada

PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi

mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan

lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.

5. Operasi Paru

Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru

(masih dalam proses penelitian di negara maju).

6. Vaksinasi Influenza

Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influenza

diberikan pada:

a) Usia di atas 60 tahun

b) PPOK sedang dan berat

Prognosis

PPOK biasanya secara bertahap semakin memburuk dari waktu ke waktu dan dapat

menyebabkan kematian. Tingkat di mana parahnya bervariasi antara individu. Faktor-faktor

yang memprediksi prognosis yang lebih buruk adalah: 9-12

- Parah obstruksi aliran udara (FEV rendah)

- Sesak napas terus menerus

- Komplikasi seperti kegagalan pernapasan atau pulmonale cor

- Lanjutan merokok

Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara

lanjut antara lain:

1. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,

dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan

mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis. 9-12

2. Asidosis respiratorik

33

Page 34: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara

lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea. 9-12

3. Infeksi pernapasan

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan

rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan

meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea. 9-12

4. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi

terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan

dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami

masalah ini. 9-12

5. Cardiac disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratory. 9-12

6. Status asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit

ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon

terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi

vena leher seringkali terlihat.9-12

Pencegahan

Mencegah kebiasaan merokok, menghindari polusi udara, serta menjaga kesehatan

kerja. Dan yang paling penting adalah menjaga kualitas gaya hidup.11-12

Kesimpulan

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang terjadi karena

adanya sumbata pada jalan napas yang berlangsung lama. PPOK terdiri dari 4 jenis, yaitu

bronkiektasis, asma bronkiale, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejalanya terdiri dari sesak

napas dan batuk produktif yang cukup lama. Penyebab dari penyakit ini adalah terutama

karena terpajan asap rokok, polusi, dan faktor genetik. Penanganannya dapat diberikan obat

bronkodilator dan pemberian oksigen.

Daftar Pustaka

1. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta:EGC, 2009. h. 52-125.

34

Page 35: PBL Blok 18 Sistem Respirasi II

2. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta :Erlangga;

2007.h.1-17.

3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke- 8. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.245-48.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

2006. h. 994-6.

5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga. 2003. h. 181-5.

6. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :

Erlangga .2008. h. 52-72.

7. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta:EGC. 2009. h.434-

5.

8. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi-2 .Jakarta:EGC.

2003. h.689-697.

9. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta : EGC;2007.h.255-9.

10. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit

Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.

11. Asdie AH. editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisisi ke-13. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. h.1347-56.

12. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.

Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. 2007. p. 480-500.

13. Faiz O, Moffat D. At a glance anatomi. Jakarta : Erlangga; 2004.h.2-13.

14. Eroschenko VP. Atlas histologi Di Fiore. Edisi ke-11. Jakarta : EGC;2012.h.352-362.

15. Sherwood L. Fisiologi manusia. Edisi ke-6. Jakarta : EGC;2009.h.277-289.

16. Tambayong J.Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. h. 96-9.

35