Makalah Blok 18

24
Pertusis Dan Penatalaksanaanya Pada Anak Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Pendahuluan Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670; istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”, karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop=berteriak). Nama lain pertusis adalah Tussis Quinta, Whoopping Cough, Batuk rejan, Batuk 100 hari. 1 Penyebab pertusis adalah Bordetellah pertusis atau Haemophilus pertussis. Bordetella pertussis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan di dapatkan dengan cara melakukan pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam pada media Bordet–gangou, tes antibodi fluoresensi (FA), biakan, serologi, dan ELISA. Pengobatan dapat dilakukan lewat pemberian eritromisin selama stadium kataral, atau pemberian imunisasi DPT. Sesuai dengan skenario, seorang anak perempuan 4 tahun datang dengan keluhan batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk pasien menjadi kesulitan bernafas akibat batuk terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan. Maka dari

description

pertusis

Transcript of Makalah Blok 18

Page 1: Makalah Blok 18

Pertusis Dan Penatalaksanaanya Pada Anak

Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Pendahuluan

Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada

tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.

Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670;

istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”, karena kebanyakan individu

yang terinfeksi tidak berteriak (whoop=berteriak). Nama lain pertusis adalah Tussis Quinta,

Whoopping Cough, Batuk rejan, Batuk 100 hari.1

Penyebab pertusis adalah Bordetellah pertusis atau Haemophilus pertussis. Bordetella

pertussis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan di dapatkan dengan cara

melakukan pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam

pada media Bordet–gangou, tes antibodi fluoresensi (FA), biakan, serologi, dan ELISA.

Pengobatan dapat dilakukan lewat pemberian eritromisin selama stadium kataral, atau

pemberian imunisasi DPT.

Sesuai dengan skenario, seorang anak perempuan 4 tahun datang dengan keluhan

batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk pasien menjadi kesulitan bernafas akibat batuk

terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan. Maka dari itu, untuk mengetahui

secara lengkap dan jelas, penulis akan membahas tentang pertusis mulai dari anamnesa,

pemeriksaan fisik, diagnosis dan lain sebagainya.

Anamnesa

Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘Anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lagi’,

‘kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta

bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan

yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.

Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian perkembangan

gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas untuk

penyakit bersangkutan.2 Selain itu tujuan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah

Page 2: Makalah Blok 18

mengembangkan pemahaman mengenai masalah medis pasien dan membuat diagnosis

banding. Selain itu, proses ini juga memungkinkan dokter untuk mengenal pasiennya, juga

sebaliknya, serta memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan latar belakang

sosial pasien.

Anamnesa yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan,

keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, kondisi lingkungan

tempat tinggalnya, apakah bersih atau kotor, dirumahnya terdapat berapa orang yang tinggal

bersamanya, yang memungkinkan dokter untuk mengetahui apakah penyakitnya tersebut

merupakan penyakit bawaan atau ia tertular penyakit tersebut.

Anamnesis yang dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut:

1. Anamnesa Umum

Nama, umur, alamat, pekerjaan (bisa secara alloanamnesis).

2. Keluhan Utama

Batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk pasien menjadi kesulitan bernafas

akibat batuk terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan.

Pelengkap: demam tidak terlalu tinggi dan naik turun.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Apakah sedang mengalami suatu penyakit tertentu atau tidak

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Sebaiknya, ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama seperti

sekarang.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Apakah di keluarganya pernah ada yang mengalami hal yang sama.

6. Riwayat Pengobatan

Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat pengobatan apa dan

apakah keadaan membaik atau tidak.

7. Apakah anak tersebut pernah kontak dengan penderita lainnya

Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan terkait dengan batuk si

anak:3

1. Batuknya sudah berapa lama?

2. Batuknya paroksismal, keras, jarang, sering?

Page 3: Makalah Blok 18

3. Apakah batuknya produktif atau tidak?

4. Jika produktif apa warna cairan/sputum? Apakah purulen?

5. Adakah alergi obat atau antigen lingkungan?

6. Apakah pasien sebelumnya punya riwayat alergi?

7. Bagaimana riwayat imunisasi pasien?

Pemeriksaan

Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan pada

pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik.

Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak

memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan

pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium).

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik (Physical Examination) juga sering disebut sebagai diagnosis fisik.

Untuk keperluan pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk melepas baju sehingga dada dan

perut dapat diperiksa dengan leluasa. Diperlukan sinar yang cukup untuk penerangan,

kadang-kadang diperlukan sinar dari arah samping atau tangensial. Mula-mula pasien

diperiksa dalam posisi duduk, kemudian berbaring atau berbaring setengah duduk dengan

sudut 30º-45º. Ada komponen dasar pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan

auskultasi.4

Inspeksi

Pemeriksaan dengan cara melihat objek yang diperiksa disebut inspeksi. Inspeksi

merupakan fase awal pemeriksaan yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang

gejala penyakit. Inspeksi yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah observasi dada,

bentuknya simetris atau tidak, gerak dada, pola napas, frekuensi napas, irama, apakah

terdapat ekshalasi yang panjang (sighing), apakah terdapat penggunaan otot pernapasan

tambahan, gerak paradoks, retraksi antara iga, retraksi di atas klavikula, apakah terdapat parut

luka yang kemungkinan bekas operasi. Penghitungan frekuensi napas jangan diketahui oleh

pasien karena akan mengubah pola napasnya. Lakukan penghitungan frekuensi napas seolah-

olah seperti menghitung frekuensi detak nadi.4

Palpasi

Page 4: Makalah Blok 18

Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen.

Tekanan vena jugularis diperlukan untuk mengetahui tekanan pada atrium kanan.

Pemeriksaan leher bertujuan untuk menentukan apakah trakea tetap di tengah atau bergeser

dari tempatnya, apakah terdapat penonjolan nodus limfa. Pemeriksaan palpasi dada akan

memberikan informasi tentang penonjolan di dinding dada, nyeri tekan, gerakan pernapasan

yang simetris atau asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk menentukan tactile vocal

fremitus. Pemeriksaan gerak dada dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan

secara simetris pada punggung. Kedua ibu jari diletakkan di samping linea vertebralis dengan

jarak yang sama. Pasien diminta untuk melakukan inspirasi dalam. Jika gerak dada simetris,

jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap linea vertebralis akan berbeda. Sisi ulnar telapak tangan

diletakkan dengan ringan pada dinding dada kemudian pasien diminta untuk mengucapkan

kata ninety nine (bukan sembilan puluh sembilan) atau tujuh puluh tujuh.4

Perkusi

Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ paru di

bawahnya yang akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada dan

kerasnya bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi perkusi .

Perkusi di atas organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi

dengan amplitudo rendah dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dul).

Perkusi di atas organ yang berisi udara akan menimbulkan bunyi resonansi, hiperresonansi

dan timpani.4

Auskultasi

Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan cara

menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau agar lebih mudah dengan menggunakan

stetoskop. Stetoskop mempunyai tiga ujung yaitu satu ujung kepala yang diletakkan di atas

kulit dada atau perut dan dua ujung yang lain ditempelkan di lubang telinga pemeriksa.

Auskultasi dilakukan mulai dari leher, dada, dan kemudian abdomen. Urutan melakukan

auskultasi sebaiknya sistemik. Untuk keperluan ini dinding dada anterior dibagi menjadi

enam (6) lobus sedangkan punggung posterior dibagi menjadi dua belas (12) lokus.4

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis

pertusis adalah sebagai berikut: (1) Bahan; lebih disukai bahan dari bilasan hidung dengan

Page 5: Makalah Blok 18

salin. Digunakan usapan nasofaring, kemudian ditanam pada media Bordet–gangou atau

droplet batuk yang dikeluarkan ke “lempeng batuk” yang dipegang di depan mulut penderita

waktu stadium paroksismal, (2) Tes Antibodi Fluoresensi; reagen FA (Fluoresensi Antibodi)

dapat digunakan untuk memeriksa bahan dari usapan nasofaring. Tetapi, dapat ditemukan

hasil negatif-palsu. Tes FA paling bermanfaat untuk mengidentifikasi B. Pertussis setelah

dibiakkan pada perbenihan padat, (3) Biakan; cairan bilasan hidung dengan salin dibiak pada

perbenihan agar padat. Lendir atau droplet yang terkumpul dibiak pada perbenihan agar

padat. Antibiotika dalam perbenihan cenderung menghambat flora pernapasan lain, tetapi

memungkinkan pertumbuhan B. Pertussis. Organisme diidentifikasi dengan pewarnaan

imunofluoresensi atau dengan aglutinasi sediaan mikroskopik dengan antiserum spesifik, (4)

Serologi; tes serologi pada penderita tidak banyak membantu diagnosis, karena kenaikan

antibodi aglutinasi atau presipitasi tidak terjadi sebelum minggu ketiga masa sakit, (5)

ELISA; pemeriksaan kadar IgA terhadap pertusis dengan cara ELISA telah dibandingkan

dengan cara isolasi kuman mikroaglutinasi menunjukan hasil positif yang lebih tinggi. Cara

ini dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosa pertuis.4

Differential Diagnose

Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang

dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis

penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien

bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti:

Tuberkulosis Paru

Agen tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,

Mycobacterium africanum, merupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili

Mikrobakteriaseae. Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik,

tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2-4 µm. Pada orang dewasa, dua

pertiga kasus terjadi pada orang laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberkulosis pada

wanita di masa anak. Pada populasi kulit berwarna tuberkulosis paling sering pada orang

dewasa muda dan anak-anak umur kurang dari 5 tahun.5

Gejala-gejala dan tanda-tanda fisik tuberkulosis primer paru pada anak secara

mengherankan sangat kurang mengingat tingkat perubahan radiografi yang sering ditemukan.

Lebih dari 50% bayi dan anak dengan tuberkulosis paru sedang sampai berat secara

Page 6: Makalah Blok 18

radiografis, tidak mempunyai tanda-tanda fisik dan ditemukan hanya dengan penelusuran

kontak. Batuk non-produktif dan dispnea ringan merupakan gejala yang paling lazim.

Keluhan sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, dan aktivitas berkurang, kurang

sering terjadi. Beberapa bayi mempunyai kesukaran penambahan berat badan atau

berkembang sindrom gagal-tumbuh yang sebenarnya sering tidak membaik secara bermakna

sampai beberapa bulan dilakukan pengobatan efektif. Manifestasi klinis yang mungkin terjadi

adalah pneumonia lobaris, penyakit paru primer progresif, reaktivasi tuberkulosis, dan efusi

pleura. Obat-obat antituberkulosis pada anak misalnya, Isoniazid (INH), Rifampin,

Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol, dan Etionamid. Selain itu, vaksinasi Bacile Calmette-

Guérin (BCG) juga penting diberikan sebagai imunisasi dasar untuk pencegahan, karena

merupakan satu-satunya vaksin terhadap tuberkulosis yang tersedia.5

Asma Bronkial

Asma adalah penyebab utama penyakit kronik pada anak, yang menyebabkan

sebagian besar hilangnya hari sekolah akibat penyakit kronik. Tidak ada definisi asma yang

dapat diterima secara universal; asma mungkin dianggap sebagai penyakit paru obstruktif

difus dengan (1) hiperreaktivitas jalan udara terhadap berbagai rangsangan dan (2)

reversibilitas yang baik dari proses obstruktif, yang dapat terjadi spontan maupun sebagai

hasil pengobatan. Asma mungkin mempunyai awitan pada setiap usia; sekitar 80-90% anak

asma mendapat gejala pertama sebelum usai 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang menderita

hanya kadang-kadang terserang ringan sampai sedang, yang mudah diatasi. Sebagian kecil

akan menderita asma berat yang sulit diobati, biasanya lebih bersifat menahun daripada

musiman, yang menyebabkan ketidakberdayaan dan secara nyata mempengaruhi hari-hari

sekolah, aktifitas bermain, dan fungsi sehari-hari. Walaupun hubungan usia awitan dengan

prognosis tidak menentu, penyelidikan Williams dan McNichol di Australia menunjukan

anak yang paling berat terserang mempunyai awitan “wheezing” selama tahun pertama

kehidupan dan riwayat asma keluarga dan penyakit alergi lain (terutama dermatitis atopik).6

Anak ini mungkin mengalami retardasi pertumbuhan yang tidak berhubungan dengan

pemberian kortikosteroid, deformitas toraks sekunder akibat hiperinflamasi kronik, dan

abnormalitas persisten pada tes fungsi paru. Awitan serangan asma mungkin akut atau

tersembunyi. Episode akut paling sering disebabkan oleh kontak dengan iritan seperti udara

dingin atau uap berbahaya (asap tembakau, cat basah) atau kontak dengan alergen. Diagnosis

pada penderita asma biasanya dapat mengalami episode batuk berulang dan wheezing,

Page 7: Makalah Blok 18

terutama menonjol sesudah latihan. Setiap anak yang dicurigai asma harus mendapat foto

toraks postero-anterior dan lateral. Corakan paru biasanya bertambah pada asma. Prinsip

menghindari alergen yang telah dijelaskan di atas juga berlaku pada anak dengan asma.

Terapi farmakologi adalah cara utama pengobatan asma. Oksigen diberikan dengan masker

atau kateter hidung sebanyak 2-3 liter/menit pada hampir semua anak selama serangan asma

akut. Pada bayi dan anak kecil, epinefrin diberikan dengan dosis 0,05 ml, dosis ini sering

terlihat efektif. Pada anak yang cukup tua untuk penanganan efektif, inhalasi aerosol

bronkodilator, secara efektif cepat meredakan gejala dan tanda asma.6

Croup (Laringotrakeobronkitis)

Croup, atau laringotrakeobronkitis akut adalah infeksi virus yang mengenai laring dan

trakea. Croup bisa disebabkan oleh semua virus yang berhubungan dengan infeksi saluran

napas atas. Agen penyebab tersebut antara lain adalah virus parainfluenza, ditandai tipe 1-4.

Pada umur 3 tahun, kebanyakan anak mengalami infeksi dengan tipe 1, 2, dan 3. Tipe 3

adalah endemik dan dapat menyebabkan penyakit pada bayi sebelum umur 6 bulan. Tipe 1

dan 2 lebih musiman, meerka terjadi pada musim panas dan gugur dan yang selang setahun

serotipnya paling lazim. Parainfluenza tipe 4 lebih sukar tumbuh pada biakan jaringan. Gejala

dari croup yang sering muncul antara lain koryza, batuk, iritabilitas, anoreksia, suara parau,

ronki basah dan mengi. Gambaran klinis croup, bronkitis dan pneumonia.1

Penelitian sedang berjalan dengan vaksin hidup maupun subunit parainfluenza tipe 3.

Vaksin hidup termasuk virus asal manusia dan virus parainfluenza sapi yang beradaptasi-

dingin yang dilemahkan karena kisaran adaptasi hospes. Selanjutnya, kelembaban dan

pemajanan terhadap udara dingin secara klasik disertai dengan penggurangan edema mukosa

dan pencairan sekresi yang dapat melegakan obstruksi. Epinefrin rasemik yang diaerosol

mungkin memperbaiki aerasi sementara tetapi kita harus yakin bahwa perbaikan akan tetap

sebelum pemulangan anak. Penelitian baru-baru ini memberi kesan bahwa aerosolisasi atau

steroid sistemik bermanfaat pada menejemen croup dalam suasana ruang gawat darurat dan

sesudah rawat inap. Indikasi untuk antibiotik dibatasi pada infeksi bakteri sekunder telinga

tengah atau saluran pernafasan atas yang terdokumentasi dengan baik.1

Working diagnosis

Page 8: Makalah Blok 18

Working Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa

hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejala-gejala

yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat ditarik kesimpulan kalau

pasien tersebut menderita pertusis.

Pertusis adalah Merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat

menular, ditandai oleh sindrom batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai

dengan nada tinggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga di akhir

batuk sering disertai bunyi khas (whoop). Prevalensi diseluruh dunia sekarang berkurang

hanya karena imunisasi aktif. Sy –Denham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis

(batuk kuat) pada tahun 1670. Namun terdapat juga nama lain yang menjadi ciri khas dari

penyakit ini, yaitu whooping cough7

Etiologi

Penyebab Pertusis adalah Bordetella pertussis. Merupakan Gram negatif dengan ciri

berbentuk ovoid, pendek (panjang 0,5-1 mm, diameter 0,2-0,3 mm), mempunyai kapsul, tidak

dapat bergerak, dapat menimbulkan hemolisis dan dengan pewarnaan toluidin biru dapat

terlihat granula bipolar metakromatik. Bakteri ini aerob murni dan membentuk asam tapi

tidak membentuk gas dari glukosa dan laktosa. Untuk biakan isolasi primer B pertussis dapat

digunakan Bordet Gengou (agar kentang-darah-gliserol) yang mengandung Penisilin 0,5

µg/mL. Kuman ini dapat mati dalam suhu 55° C selama setengah jam. Kuman ini dapat

menghasilkan dua macam toxin, yaitu heat labile toxin dan endotoksin.

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertussis :

Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor,

Islet activating protein (IAP).

Adenilat siklase luarsel.

Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-HA).

Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

Epidemiologi

Page 9: Makalah Blok 18

Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta

meninggal. Penggunaan vaksin pertusis yang meluas menyebabkan penurunan kasus yang

dramatis. Insiden penyakit yang tinggi di negara-negara sedang berkembang dan maju,

seperti Itali dan daerah-daerah tertentu Jerman, dimana cakupan vaksin rendah. Pertusis

adalah endemik, dengan ditumpangi siklus epidemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi

kelompok rentan yang cukup besar. Sebagian besar kasus terjadi dari bulan Juli sampai

dengan Oktober. Pertusis sangat menular, dengan angka serangan setinggi 100% pada

individu rentan yang terpajan pada tetes-tetes aerosol pada rentangan yang rapat. B. pertussis

tidak tahan hidup untuk masa yang lama dalam lingkungannya.5

Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana

penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat

penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :

Droplet

Bahan droplet

Memegang benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Pada kelompok masyarakat yang tidak diimunisasi, khususnya mereka dengan kondisi dasar

kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernafasan, pertusis dapat

menjadi penyakit yang mematikan pada bayi dan anak-anak.

Patofisiologi

Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian

melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella

pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme

pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik8,9.

Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar

keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada

pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan

menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping

cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis

toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya

berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada

Page 10: Makalah Blok 18

daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke

daerah infeksi5,8,9,10.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid

peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia

sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh

Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos

akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan

sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya

apnue saat terserang batuk.8,9.

Manifestasi Klinik

Masa inkubasi pertusis 6 – 20 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit

ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu

stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,

spasmodik), dan stadium konvalesens.

1. Stadium kataral (1-2 minggu)

Menyerupai gejala ISPA : rinore dengan lendir cair, jernih, terdapat injeksi

konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu

tinggi, dan droplet sangat infeksius.

2. Stadium paroksimal atau spasmodic (1-6 minggu)

Frekuensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk kuat, selama

expirasi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi

melengking (whoop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit.

Muka merah (sianosis), mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia

diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis, penurunan berat badan, batuk

mudah dibangkitkan oleh stress emosional dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak-

berak dan terkencing-kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak

pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.

3. Stadium konvalesens (1-2 minggu)

Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian

tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ini akan

berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran

nafas bagian atas yang berulang.

Page 11: Makalah Blok 18

Penatalaksanaan

Pengobatan dibagi atas atas medica mentosa (menggunakan obat–obat yang di

minum) dan juga non-medica mentosa (tidak mengonsumsi obat).

a) Medica mentosa5

1. Eritromisin, 40-50 mg/kgBB/hari, secara oral dalam dosis terbagi empat

(maksimum 2g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.5

2. Trimethoprim-sulfametoksasol, 6-8 mg/kgBB/hari, secara oral dalam dosis

terbagi dua (maksimum 1g/24jam) sebagai alternatif.

3. Salbutamo, 0,3 – 0,5mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.

b) Non-medica mentosa

Terapi suportif juga dapat diberikan berupa:

a. Lingkungan perawatan yang tenang

b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan

makanan yang berbentuk cair.

c. Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit

secara parenteral.

d. Pembersihan jalan nafas.

e. Oksigen, terutama pada serangan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.

Pencegahan

Jenis Imunisasi

Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah (imunisasi

dasar) dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah

diwajibkan oleh WHO ditambah dengan hepatitis B. Sedangkan imunisasi yang hanya

dianjurkan oleh pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa

atau penyakit endemik atau untuk kepentingan tertentu (bepergian) misalnya jemaah haji

yang disuntikkan imunisasi meningitis.11

Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, di

antaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi antigen

yang disuntikkan, waktu antara pemberian imunisasi, dan status nutrisi terutama kecukupan

protein karena protein diperlukan untuk menyintesis antibodi. Mengingat efektif dan tidaknya

imuisasi tersebut dapat bergantung pada berbagai faktor yang memengaruhinya, sehingga

Page 12: Makalah Blok 18

kekebalan tubuh tersebut dapat diharapkan dari diri anak. Beberapa imunisasi dasar

diwajibkan oleh pemerintah (program imunisasi PPI), adalah misalnya: imunisasi BCG,

imunisasi hepatitis B, imunisasi polio, imunisasi DPT, dan imunisasi campak. Sedangkan

jenis imunisasi yang hanya dianjurkan adalah seperti: imunisasi HiB, imunisasi PVC,

imunisasi influenza, imunisasi MMR, imunisasi typhus abdominalis, imunisasi hepatitis A,

dan imunisasi varicella. Karena pada skenario kali ini pasien di diagnosa menderita pertusis,

dan ada riwayat imunisasi dasar tidak lengkap, maka yang akan dibahas adalah hanya

imunisasi DPT.11

Imunisasi DPT

Imunisasi DPT (diphteria, pertussis, tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan

untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan

vaksin yang mengandung racun kuman diffteri yang telah dihilangkan sifat racunnya, namun

masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi

DPT, diberikan pada usia > 6 minggu, secara terpisah atau secara kombinasi dengan Hepatitis

B atau HiB. Booster DPT diberikan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Usia 12 tahun mendapat

TT saat program BIAS SD kelas 6.11

Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan)

terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian

kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui

intramuskular. Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan

misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat

misalnya terjadi meningitis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun,

terjadi kejang, ensefalopati, dan syok. Upaya pencegahan penyakit difteri, pertusis, dan

tetanus perlu dilakukan sejak dini melalui imunisasi karena penyakit tersebut sangat cepat

serta dapat meningkatkan kematian bayi dan anak balita.11

Hasil penelitian Muchlastriningsih (2005) menunjukan bahwa jumlah kasus differi

rawat jalan di Indonesia selama 3 tahun paling banyak dari golongan usia 15-44 tahun

(47,42%). Pasien pertusis yang dirawat inap paling banyak dari kalangan bayi dan anak-anak

(60,28% dari seluruh pasien rawat inap). Hal ini mendukung pendapat bahwa bayi dan anak-

anak merupakan golongan usia yang rentan terhadap penyakit pertusis. Pasien tetanus yang

dirawat inap paling banyak dari goongan usia di atas 45 tahun (44,16%).11

Page 13: Makalah Blok 18

Komplikasi

Frekuensi komplikasi sukar ditentukan karena hasil akhir berat yang terutama

dilaporkan, tetapi bayi sebelum umur 6 bulan mempunyai mortalitas dan morbiditas

berlebihan. Mereka yang berumur sebelum 2 bulan mempunyai frekuensi yang dilaporkan

tertinggi kasus rawat inap karena pertusis (82%), pneumonia (25%), kejang-kejang (4%),

ensefalopati 1% dan kematian 1%.1

Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (seperti otitis media dan

pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan perawatan intensif dan ventilasi

artifisial biasanya terbatas pada bayi sebelum umur 36 bulan. Apnea, sianosis, dan

pneumonia bakteri sekunder merupakan kejadian-kejadian yang mempercepat intubasi dan

ventilasi. Pneumonia bakteri dan/atau sindrom distres pernapasan dewasa merupakan

penyebab kematian yang lazim pada setiap umur; perdarahan paru terjadi pada neonatus.

Demam, takipnea atau distress pernapasan antara paroksimal, dan neutrofilia absolut

merupakan kunci terhadap pneumonia. Patogen yang diharapkan adalah Staphylococcus

aureus, S. pneumoniae dan bakteri flora mulut. Bronkiektasis dilaporkan jarang

pascapertusis. Kelainan fungsi paru mungkin menetap selama 12 bulan pascapertusis tidak

berkomplikasi pada anak sebelum umur 2 tahun.1

Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan

perdarahan konjungtiva dan sklera, petekie pada tubuh bagaian atas, epistaksis, perdarahan

pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan emfisema subkutan, dan hernia

umbilikalis serta inguinalis. Luka robek frenulum lidah tidak jarang. Prolaps rektum, pernah

dilaporkan sebagai komplikasi pertusis yang lazim, mungkin karena pertusis pada anak

malnutrisi atau salah diagnosis dengan kistik fibrosis. Sangat tidak lazim dan akan

memerlukan evaluasi untuk keadaan yang mendasari. Terutama pada bayi di negara yang

sedang berkembang, dehidrasi dan malnutrisi pascamuntah-pascabatuk dapat mempunyai

dampak yang berat. Tetani telah disertai dengan alkalosis pasca-batuk berat.1

Kelainan sistem saraf sentral terjadi relatif sangat sering dan hampir selalu akibat

hipoksemia atau perdarahan akibat batuk atau apnea pada bayi muda. Apnea atau bradikardi

atau keduanya dapat terjadi karena laringospasme atau rangsangan vagus tepat sebelum

episode batuk, dari obstruksi selama episode, atau dari hipoksia pasca-episode. Tidak adanya

tanda-tanda yang menyertai pada beberapa bayi muda dengan apnea menaikan kemungkinan

pengaruh primer pada sistem saraf sentral. Kejang-kejang biasanya akibat hipoksemia, tetapi

Page 14: Makalah Blok 18

hiponatremia karena sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat selama pneumonia dapat

terjadi. Walaupun hipoglikemia, pengaruh langsung TP, atau infeksi sekunder karena virus

neurotropik merupakan mekanisme gejala-gejala neurologis yang telah disimpulkan, tidak

ada data binatang yang mendukung teori demikian, dan satu-satunya neutopatologi yang

terdokumentasi pada manusia adalah perdarahan parenkim dan nekrosis iskemia.1

Prognosis

Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya

terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.

Angka kematian telah menurun menjadi <10/1000> Kebanyakan kematian disebabkan oleh

ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain. Sekuele pernapasan yang lama

sesudah infeksi pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur <> 2 tahun.

Kesimpulan

Hipotesis diterima. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, gejala-gejala klinis yang

disampaikan maupun diperiksa dapat disimpulkan pasien tersebut menderita penyakit

pertussis. Difteri adalah Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan

dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena

imunisasi aktif. Pertussis disebabkan oleh Bordetella pertussis yang sangat patogen dan

menular.

Daftar Pustaka

Page 15: Makalah Blok 18

1. Long Sarah S. Pertusis. Croup. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson

textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 960-5, 1111-2.

2. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104.

3. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Respirasi. Jakarta; Penerbit Erlangga:

h.164-5,175.

4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Haemophilus, bordetella,

brucella, & Francisella. Edisi 23. Jakarta; EGC: 2008. h.287-9.

5. Starke Jeffrey S. Tuberkulosis. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson

textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 1028-41.

6. Behrman, C Victor, Vaughan. Asma. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-IV.

Jakarta: EGC; 2000. h. 859-64

7. Djojodibroko RD. Respirologi. Penyakit parenkim paru, penyakit pleura. Edisi 1. ECG;

2009: 131, 143, 151, 173, 182-3, 209.

8. Hindra I, Sri R, Zarkasih A. Buku ajar infeksi dan pediatrik tropis. Edisi 2, Cetakan I.

Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2008. h. 331-7.

9. Cherry JD. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May

2005,h.1422-1427.http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422

10. Rampengan TH , Laurents IR, Penyakit infeksi tropik pada anak. Edisi 1, Cetakan VI.

Jakarta: EGC; 2004. h.20-33.

11. Hidayat Alimul Aziz A. Imunisasi. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-1. Jakarta:

Salemba Medika; 2008. h. 55-7.