Pertusis Dan Penatalaksanaanya Pada Anak
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Pendahuluan
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada
tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670;
istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”, karena kebanyakan individu
yang terinfeksi tidak berteriak (whoop=berteriak). Nama lain pertusis adalah Tussis Quinta,
Whoopping Cough, Batuk rejan, Batuk 100 hari.1
Penyebab pertusis adalah Bordetellah pertusis atau Haemophilus pertussis. Bordetella
pertussis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan di dapatkan dengan cara
melakukan pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam
pada media Bordet–gangou, tes antibodi fluoresensi (FA), biakan, serologi, dan ELISA.
Pengobatan dapat dilakukan lewat pemberian eritromisin selama stadium kataral, atau
pemberian imunisasi DPT.
Sesuai dengan skenario, seorang anak perempuan 4 tahun datang dengan keluhan
batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk pasien menjadi kesulitan bernafas akibat batuk
terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan. Maka dari itu, untuk mengetahui
secara lengkap dan jelas, penulis akan membahas tentang pertusis mulai dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, diagnosis dan lain sebagainya.
Anamnesa
Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘Anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lagi’,
‘kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta
bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan
yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.
Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian perkembangan
gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas untuk
penyakit bersangkutan.2 Selain itu tujuan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah
mengembangkan pemahaman mengenai masalah medis pasien dan membuat diagnosis
banding. Selain itu, proses ini juga memungkinkan dokter untuk mengenal pasiennya, juga
sebaliknya, serta memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan latar belakang
sosial pasien.
Anamnesa yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan,
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, kondisi lingkungan
tempat tinggalnya, apakah bersih atau kotor, dirumahnya terdapat berapa orang yang tinggal
bersamanya, yang memungkinkan dokter untuk mengetahui apakah penyakitnya tersebut
merupakan penyakit bawaan atau ia tertular penyakit tersebut.
Anamnesis yang dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa Umum
Nama, umur, alamat, pekerjaan (bisa secara alloanamnesis).
2. Keluhan Utama
Batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk pasien menjadi kesulitan bernafas
akibat batuk terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan.
Pelengkap: demam tidak terlalu tinggi dan naik turun.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Apakah sedang mengalami suatu penyakit tertentu atau tidak
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebaiknya, ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama seperti
sekarang.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah di keluarganya pernah ada yang mengalami hal yang sama.
6. Riwayat Pengobatan
Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat pengobatan apa dan
apakah keadaan membaik atau tidak.
7. Apakah anak tersebut pernah kontak dengan penderita lainnya
Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan terkait dengan batuk si
anak:3
1. Batuknya sudah berapa lama?
2. Batuknya paroksismal, keras, jarang, sering?
3. Apakah batuknya produktif atau tidak?
4. Jika produktif apa warna cairan/sputum? Apakah purulen?
5. Adakah alergi obat atau antigen lingkungan?
6. Apakah pasien sebelumnya punya riwayat alergi?
7. Bagaimana riwayat imunisasi pasien?
Pemeriksaan
Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak
memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium).
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik (Physical Examination) juga sering disebut sebagai diagnosis fisik.
Untuk keperluan pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk melepas baju sehingga dada dan
perut dapat diperiksa dengan leluasa. Diperlukan sinar yang cukup untuk penerangan,
kadang-kadang diperlukan sinar dari arah samping atau tangensial. Mula-mula pasien
diperiksa dalam posisi duduk, kemudian berbaring atau berbaring setengah duduk dengan
sudut 30º-45º. Ada komponen dasar pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.4
Inspeksi
Pemeriksaan dengan cara melihat objek yang diperiksa disebut inspeksi. Inspeksi
merupakan fase awal pemeriksaan yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang
gejala penyakit. Inspeksi yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah observasi dada,
bentuknya simetris atau tidak, gerak dada, pola napas, frekuensi napas, irama, apakah
terdapat ekshalasi yang panjang (sighing), apakah terdapat penggunaan otot pernapasan
tambahan, gerak paradoks, retraksi antara iga, retraksi di atas klavikula, apakah terdapat parut
luka yang kemungkinan bekas operasi. Penghitungan frekuensi napas jangan diketahui oleh
pasien karena akan mengubah pola napasnya. Lakukan penghitungan frekuensi napas seolah-
olah seperti menghitung frekuensi detak nadi.4
Palpasi
Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen.
Tekanan vena jugularis diperlukan untuk mengetahui tekanan pada atrium kanan.
Pemeriksaan leher bertujuan untuk menentukan apakah trakea tetap di tengah atau bergeser
dari tempatnya, apakah terdapat penonjolan nodus limfa. Pemeriksaan palpasi dada akan
memberikan informasi tentang penonjolan di dinding dada, nyeri tekan, gerakan pernapasan
yang simetris atau asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk menentukan tactile vocal
fremitus. Pemeriksaan gerak dada dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan
secara simetris pada punggung. Kedua ibu jari diletakkan di samping linea vertebralis dengan
jarak yang sama. Pasien diminta untuk melakukan inspirasi dalam. Jika gerak dada simetris,
jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap linea vertebralis akan berbeda. Sisi ulnar telapak tangan
diletakkan dengan ringan pada dinding dada kemudian pasien diminta untuk mengucapkan
kata ninety nine (bukan sembilan puluh sembilan) atau tujuh puluh tujuh.4
Perkusi
Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ paru di
bawahnya yang akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada dan
kerasnya bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi perkusi .
Perkusi di atas organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi
dengan amplitudo rendah dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dul).
Perkusi di atas organ yang berisi udara akan menimbulkan bunyi resonansi, hiperresonansi
dan timpani.4
Auskultasi
Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan cara
menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau agar lebih mudah dengan menggunakan
stetoskop. Stetoskop mempunyai tiga ujung yaitu satu ujung kepala yang diletakkan di atas
kulit dada atau perut dan dua ujung yang lain ditempelkan di lubang telinga pemeriksa.
Auskultasi dilakukan mulai dari leher, dada, dan kemudian abdomen. Urutan melakukan
auskultasi sebaiknya sistemik. Untuk keperluan ini dinding dada anterior dibagi menjadi
enam (6) lobus sedangkan punggung posterior dibagi menjadi dua belas (12) lokus.4
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
pertusis adalah sebagai berikut: (1) Bahan; lebih disukai bahan dari bilasan hidung dengan
salin. Digunakan usapan nasofaring, kemudian ditanam pada media Bordet–gangou atau
droplet batuk yang dikeluarkan ke “lempeng batuk” yang dipegang di depan mulut penderita
waktu stadium paroksismal, (2) Tes Antibodi Fluoresensi; reagen FA (Fluoresensi Antibodi)
dapat digunakan untuk memeriksa bahan dari usapan nasofaring. Tetapi, dapat ditemukan
hasil negatif-palsu. Tes FA paling bermanfaat untuk mengidentifikasi B. Pertussis setelah
dibiakkan pada perbenihan padat, (3) Biakan; cairan bilasan hidung dengan salin dibiak pada
perbenihan agar padat. Lendir atau droplet yang terkumpul dibiak pada perbenihan agar
padat. Antibiotika dalam perbenihan cenderung menghambat flora pernapasan lain, tetapi
memungkinkan pertumbuhan B. Pertussis. Organisme diidentifikasi dengan pewarnaan
imunofluoresensi atau dengan aglutinasi sediaan mikroskopik dengan antiserum spesifik, (4)
Serologi; tes serologi pada penderita tidak banyak membantu diagnosis, karena kenaikan
antibodi aglutinasi atau presipitasi tidak terjadi sebelum minggu ketiga masa sakit, (5)
ELISA; pemeriksaan kadar IgA terhadap pertusis dengan cara ELISA telah dibandingkan
dengan cara isolasi kuman mikroaglutinasi menunjukan hasil positif yang lebih tinggi. Cara
ini dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosa pertuis.4
Differential Diagnose
Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang
dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis
penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien
bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti:
Tuberkulosis Paru
Agen tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, merupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili
Mikrobakteriaseae. Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik,
tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2-4 µm. Pada orang dewasa, dua
pertiga kasus terjadi pada orang laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberkulosis pada
wanita di masa anak. Pada populasi kulit berwarna tuberkulosis paling sering pada orang
dewasa muda dan anak-anak umur kurang dari 5 tahun.5
Gejala-gejala dan tanda-tanda fisik tuberkulosis primer paru pada anak secara
mengherankan sangat kurang mengingat tingkat perubahan radiografi yang sering ditemukan.
Lebih dari 50% bayi dan anak dengan tuberkulosis paru sedang sampai berat secara
radiografis, tidak mempunyai tanda-tanda fisik dan ditemukan hanya dengan penelusuran
kontak. Batuk non-produktif dan dispnea ringan merupakan gejala yang paling lazim.
Keluhan sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, dan aktivitas berkurang, kurang
sering terjadi. Beberapa bayi mempunyai kesukaran penambahan berat badan atau
berkembang sindrom gagal-tumbuh yang sebenarnya sering tidak membaik secara bermakna
sampai beberapa bulan dilakukan pengobatan efektif. Manifestasi klinis yang mungkin terjadi
adalah pneumonia lobaris, penyakit paru primer progresif, reaktivasi tuberkulosis, dan efusi
pleura. Obat-obat antituberkulosis pada anak misalnya, Isoniazid (INH), Rifampin,
Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol, dan Etionamid. Selain itu, vaksinasi Bacile Calmette-
Guérin (BCG) juga penting diberikan sebagai imunisasi dasar untuk pencegahan, karena
merupakan satu-satunya vaksin terhadap tuberkulosis yang tersedia.5
Asma Bronkial
Asma adalah penyebab utama penyakit kronik pada anak, yang menyebabkan
sebagian besar hilangnya hari sekolah akibat penyakit kronik. Tidak ada definisi asma yang
dapat diterima secara universal; asma mungkin dianggap sebagai penyakit paru obstruktif
difus dengan (1) hiperreaktivitas jalan udara terhadap berbagai rangsangan dan (2)
reversibilitas yang baik dari proses obstruktif, yang dapat terjadi spontan maupun sebagai
hasil pengobatan. Asma mungkin mempunyai awitan pada setiap usia; sekitar 80-90% anak
asma mendapat gejala pertama sebelum usai 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang menderita
hanya kadang-kadang terserang ringan sampai sedang, yang mudah diatasi. Sebagian kecil
akan menderita asma berat yang sulit diobati, biasanya lebih bersifat menahun daripada
musiman, yang menyebabkan ketidakberdayaan dan secara nyata mempengaruhi hari-hari
sekolah, aktifitas bermain, dan fungsi sehari-hari. Walaupun hubungan usia awitan dengan
prognosis tidak menentu, penyelidikan Williams dan McNichol di Australia menunjukan
anak yang paling berat terserang mempunyai awitan “wheezing” selama tahun pertama
kehidupan dan riwayat asma keluarga dan penyakit alergi lain (terutama dermatitis atopik).6
Anak ini mungkin mengalami retardasi pertumbuhan yang tidak berhubungan dengan
pemberian kortikosteroid, deformitas toraks sekunder akibat hiperinflamasi kronik, dan
abnormalitas persisten pada tes fungsi paru. Awitan serangan asma mungkin akut atau
tersembunyi. Episode akut paling sering disebabkan oleh kontak dengan iritan seperti udara
dingin atau uap berbahaya (asap tembakau, cat basah) atau kontak dengan alergen. Diagnosis
pada penderita asma biasanya dapat mengalami episode batuk berulang dan wheezing,
terutama menonjol sesudah latihan. Setiap anak yang dicurigai asma harus mendapat foto
toraks postero-anterior dan lateral. Corakan paru biasanya bertambah pada asma. Prinsip
menghindari alergen yang telah dijelaskan di atas juga berlaku pada anak dengan asma.
Terapi farmakologi adalah cara utama pengobatan asma. Oksigen diberikan dengan masker
atau kateter hidung sebanyak 2-3 liter/menit pada hampir semua anak selama serangan asma
akut. Pada bayi dan anak kecil, epinefrin diberikan dengan dosis 0,05 ml, dosis ini sering
terlihat efektif. Pada anak yang cukup tua untuk penanganan efektif, inhalasi aerosol
bronkodilator, secara efektif cepat meredakan gejala dan tanda asma.6
Croup (Laringotrakeobronkitis)
Croup, atau laringotrakeobronkitis akut adalah infeksi virus yang mengenai laring dan
trakea. Croup bisa disebabkan oleh semua virus yang berhubungan dengan infeksi saluran
napas atas. Agen penyebab tersebut antara lain adalah virus parainfluenza, ditandai tipe 1-4.
Pada umur 3 tahun, kebanyakan anak mengalami infeksi dengan tipe 1, 2, dan 3. Tipe 3
adalah endemik dan dapat menyebabkan penyakit pada bayi sebelum umur 6 bulan. Tipe 1
dan 2 lebih musiman, meerka terjadi pada musim panas dan gugur dan yang selang setahun
serotipnya paling lazim. Parainfluenza tipe 4 lebih sukar tumbuh pada biakan jaringan. Gejala
dari croup yang sering muncul antara lain koryza, batuk, iritabilitas, anoreksia, suara parau,
ronki basah dan mengi. Gambaran klinis croup, bronkitis dan pneumonia.1
Penelitian sedang berjalan dengan vaksin hidup maupun subunit parainfluenza tipe 3.
Vaksin hidup termasuk virus asal manusia dan virus parainfluenza sapi yang beradaptasi-
dingin yang dilemahkan karena kisaran adaptasi hospes. Selanjutnya, kelembaban dan
pemajanan terhadap udara dingin secara klasik disertai dengan penggurangan edema mukosa
dan pencairan sekresi yang dapat melegakan obstruksi. Epinefrin rasemik yang diaerosol
mungkin memperbaiki aerasi sementara tetapi kita harus yakin bahwa perbaikan akan tetap
sebelum pemulangan anak. Penelitian baru-baru ini memberi kesan bahwa aerosolisasi atau
steroid sistemik bermanfaat pada menejemen croup dalam suasana ruang gawat darurat dan
sesudah rawat inap. Indikasi untuk antibiotik dibatasi pada infeksi bakteri sekunder telinga
tengah atau saluran pernafasan atas yang terdokumentasi dengan baik.1
Working diagnosis
Working Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa
hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejala-gejala
yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat ditarik kesimpulan kalau
pasien tersebut menderita pertusis.
Pertusis adalah Merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat
menular, ditandai oleh sindrom batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai
dengan nada tinggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga di akhir
batuk sering disertai bunyi khas (whoop). Prevalensi diseluruh dunia sekarang berkurang
hanya karena imunisasi aktif. Sy –Denham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis
(batuk kuat) pada tahun 1670. Namun terdapat juga nama lain yang menjadi ciri khas dari
penyakit ini, yaitu whooping cough7
Etiologi
Penyebab Pertusis adalah Bordetella pertussis. Merupakan Gram negatif dengan ciri
berbentuk ovoid, pendek (panjang 0,5-1 mm, diameter 0,2-0,3 mm), mempunyai kapsul, tidak
dapat bergerak, dapat menimbulkan hemolisis dan dengan pewarnaan toluidin biru dapat
terlihat granula bipolar metakromatik. Bakteri ini aerob murni dan membentuk asam tapi
tidak membentuk gas dari glukosa dan laktosa. Untuk biakan isolasi primer B pertussis dapat
digunakan Bordet Gengou (agar kentang-darah-gliserol) yang mengandung Penisilin 0,5
µg/mL. Kuman ini dapat mati dalam suhu 55° C selama setengah jam. Kuman ini dapat
menghasilkan dua macam toxin, yaitu heat labile toxin dan endotoksin.
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertussis :
Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor,
Islet activating protein (IAP).
Adenilat siklase luarsel.
Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-HA).
Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Epidemiologi
Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta
meninggal. Penggunaan vaksin pertusis yang meluas menyebabkan penurunan kasus yang
dramatis. Insiden penyakit yang tinggi di negara-negara sedang berkembang dan maju,
seperti Itali dan daerah-daerah tertentu Jerman, dimana cakupan vaksin rendah. Pertusis
adalah endemik, dengan ditumpangi siklus epidemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi
kelompok rentan yang cukup besar. Sebagian besar kasus terjadi dari bulan Juli sampai
dengan Oktober. Pertusis sangat menular, dengan angka serangan setinggi 100% pada
individu rentan yang terpajan pada tetes-tetes aerosol pada rentangan yang rapat. B. pertussis
tidak tahan hidup untuk masa yang lama dalam lingkungannya.5
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana
penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat
penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :
Droplet
Bahan droplet
Memegang benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.
Pada kelompok masyarakat yang tidak diimunisasi, khususnya mereka dengan kondisi dasar
kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernafasan, pertusis dapat
menjadi penyakit yang mematikan pada bayi dan anak-anak.
Patofisiologi
Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik8,9.
Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar
keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping
cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada
daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke
daerah infeksi5,8,9,10.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos
akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya
apnue saat terserang batuk.8,9.
Manifestasi Klinik
Masa inkubasi pertusis 6 – 20 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit
ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu
stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,
spasmodik), dan stadium konvalesens.
1. Stadium kataral (1-2 minggu)
Menyerupai gejala ISPA : rinore dengan lendir cair, jernih, terdapat injeksi
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu
tinggi, dan droplet sangat infeksius.
2. Stadium paroksimal atau spasmodic (1-6 minggu)
Frekuensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk kuat, selama
expirasi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi
melengking (whoop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit.
Muka merah (sianosis), mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia
diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis, penurunan berat badan, batuk
mudah dibangkitkan oleh stress emosional dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak-
berak dan terkencing-kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak
pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
3. Stadium konvalesens (1-2 minggu)
Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian
tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ini akan
berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran
nafas bagian atas yang berulang.
Penatalaksanaan
Pengobatan dibagi atas atas medica mentosa (menggunakan obat–obat yang di
minum) dan juga non-medica mentosa (tidak mengonsumsi obat).
a) Medica mentosa5
1. Eritromisin, 40-50 mg/kgBB/hari, secara oral dalam dosis terbagi empat
(maksimum 2g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.5
2. Trimethoprim-sulfametoksasol, 6-8 mg/kgBB/hari, secara oral dalam dosis
terbagi dua (maksimum 1g/24jam) sebagai alternatif.
3. Salbutamo, 0,3 – 0,5mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
b) Non-medica mentosa
Terapi suportif juga dapat diberikan berupa:
a. Lingkungan perawatan yang tenang
b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan
makanan yang berbentuk cair.
c. Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit
secara parenteral.
d. Pembersihan jalan nafas.
e. Oksigen, terutama pada serangan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.
Pencegahan
Jenis Imunisasi
Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah (imunisasi
dasar) dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah
diwajibkan oleh WHO ditambah dengan hepatitis B. Sedangkan imunisasi yang hanya
dianjurkan oleh pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa
atau penyakit endemik atau untuk kepentingan tertentu (bepergian) misalnya jemaah haji
yang disuntikkan imunisasi meningitis.11
Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, di
antaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi antigen
yang disuntikkan, waktu antara pemberian imunisasi, dan status nutrisi terutama kecukupan
protein karena protein diperlukan untuk menyintesis antibodi. Mengingat efektif dan tidaknya
imuisasi tersebut dapat bergantung pada berbagai faktor yang memengaruhinya, sehingga
kekebalan tubuh tersebut dapat diharapkan dari diri anak. Beberapa imunisasi dasar
diwajibkan oleh pemerintah (program imunisasi PPI), adalah misalnya: imunisasi BCG,
imunisasi hepatitis B, imunisasi polio, imunisasi DPT, dan imunisasi campak. Sedangkan
jenis imunisasi yang hanya dianjurkan adalah seperti: imunisasi HiB, imunisasi PVC,
imunisasi influenza, imunisasi MMR, imunisasi typhus abdominalis, imunisasi hepatitis A,
dan imunisasi varicella. Karena pada skenario kali ini pasien di diagnosa menderita pertusis,
dan ada riwayat imunisasi dasar tidak lengkap, maka yang akan dibahas adalah hanya
imunisasi DPT.11
Imunisasi DPT
Imunisasi DPT (diphteria, pertussis, tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan
vaksin yang mengandung racun kuman diffteri yang telah dihilangkan sifat racunnya, namun
masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi
DPT, diberikan pada usia > 6 minggu, secara terpisah atau secara kombinasi dengan Hepatitis
B atau HiB. Booster DPT diberikan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Usia 12 tahun mendapat
TT saat program BIAS SD kelas 6.11
Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan)
terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian
kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui
intramuskular. Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan
misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat
misalnya terjadi meningitis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun,
terjadi kejang, ensefalopati, dan syok. Upaya pencegahan penyakit difteri, pertusis, dan
tetanus perlu dilakukan sejak dini melalui imunisasi karena penyakit tersebut sangat cepat
serta dapat meningkatkan kematian bayi dan anak balita.11
Hasil penelitian Muchlastriningsih (2005) menunjukan bahwa jumlah kasus differi
rawat jalan di Indonesia selama 3 tahun paling banyak dari golongan usia 15-44 tahun
(47,42%). Pasien pertusis yang dirawat inap paling banyak dari kalangan bayi dan anak-anak
(60,28% dari seluruh pasien rawat inap). Hal ini mendukung pendapat bahwa bayi dan anak-
anak merupakan golongan usia yang rentan terhadap penyakit pertusis. Pasien tetanus yang
dirawat inap paling banyak dari goongan usia di atas 45 tahun (44,16%).11
Komplikasi
Frekuensi komplikasi sukar ditentukan karena hasil akhir berat yang terutama
dilaporkan, tetapi bayi sebelum umur 6 bulan mempunyai mortalitas dan morbiditas
berlebihan. Mereka yang berumur sebelum 2 bulan mempunyai frekuensi yang dilaporkan
tertinggi kasus rawat inap karena pertusis (82%), pneumonia (25%), kejang-kejang (4%),
ensefalopati 1% dan kematian 1%.1
Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (seperti otitis media dan
pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan perawatan intensif dan ventilasi
artifisial biasanya terbatas pada bayi sebelum umur 36 bulan. Apnea, sianosis, dan
pneumonia bakteri sekunder merupakan kejadian-kejadian yang mempercepat intubasi dan
ventilasi. Pneumonia bakteri dan/atau sindrom distres pernapasan dewasa merupakan
penyebab kematian yang lazim pada setiap umur; perdarahan paru terjadi pada neonatus.
Demam, takipnea atau distress pernapasan antara paroksimal, dan neutrofilia absolut
merupakan kunci terhadap pneumonia. Patogen yang diharapkan adalah Staphylococcus
aureus, S. pneumoniae dan bakteri flora mulut. Bronkiektasis dilaporkan jarang
pascapertusis. Kelainan fungsi paru mungkin menetap selama 12 bulan pascapertusis tidak
berkomplikasi pada anak sebelum umur 2 tahun.1
Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan konjungtiva dan sklera, petekie pada tubuh bagaian atas, epistaksis, perdarahan
pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan emfisema subkutan, dan hernia
umbilikalis serta inguinalis. Luka robek frenulum lidah tidak jarang. Prolaps rektum, pernah
dilaporkan sebagai komplikasi pertusis yang lazim, mungkin karena pertusis pada anak
malnutrisi atau salah diagnosis dengan kistik fibrosis. Sangat tidak lazim dan akan
memerlukan evaluasi untuk keadaan yang mendasari. Terutama pada bayi di negara yang
sedang berkembang, dehidrasi dan malnutrisi pascamuntah-pascabatuk dapat mempunyai
dampak yang berat. Tetani telah disertai dengan alkalosis pasca-batuk berat.1
Kelainan sistem saraf sentral terjadi relatif sangat sering dan hampir selalu akibat
hipoksemia atau perdarahan akibat batuk atau apnea pada bayi muda. Apnea atau bradikardi
atau keduanya dapat terjadi karena laringospasme atau rangsangan vagus tepat sebelum
episode batuk, dari obstruksi selama episode, atau dari hipoksia pasca-episode. Tidak adanya
tanda-tanda yang menyertai pada beberapa bayi muda dengan apnea menaikan kemungkinan
pengaruh primer pada sistem saraf sentral. Kejang-kejang biasanya akibat hipoksemia, tetapi
hiponatremia karena sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat selama pneumonia dapat
terjadi. Walaupun hipoglikemia, pengaruh langsung TP, atau infeksi sekunder karena virus
neurotropik merupakan mekanisme gejala-gejala neurologis yang telah disimpulkan, tidak
ada data binatang yang mendukung teori demikian, dan satu-satunya neutopatologi yang
terdokumentasi pada manusia adalah perdarahan parenkim dan nekrosis iskemia.1
Prognosis
Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya
terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.
Angka kematian telah menurun menjadi <10/1000> Kebanyakan kematian disebabkan oleh
ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain. Sekuele pernapasan yang lama
sesudah infeksi pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur <> 2 tahun.
Kesimpulan
Hipotesis diterima. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, gejala-gejala klinis yang
disampaikan maupun diperiksa dapat disimpulkan pasien tersebut menderita penyakit
pertussis. Difteri adalah Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan
dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena
imunisasi aktif. Pertussis disebabkan oleh Bordetella pertussis yang sangat patogen dan
menular.
Daftar Pustaka
1. Long Sarah S. Pertusis. Croup. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson
textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 960-5, 1111-2.
2. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104.
3. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Respirasi. Jakarta; Penerbit Erlangga:
h.164-5,175.
4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Haemophilus, bordetella,
brucella, & Francisella. Edisi 23. Jakarta; EGC: 2008. h.287-9.
5. Starke Jeffrey S. Tuberkulosis. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson
textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 1028-41.
6. Behrman, C Victor, Vaughan. Asma. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-IV.
Jakarta: EGC; 2000. h. 859-64
7. Djojodibroko RD. Respirologi. Penyakit parenkim paru, penyakit pleura. Edisi 1. ECG;
2009: 131, 143, 151, 173, 182-3, 209.
8. Hindra I, Sri R, Zarkasih A. Buku ajar infeksi dan pediatrik tropis. Edisi 2, Cetakan I.
Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2008. h. 331-7.
9. Cherry JD. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May
2005,h.1422-1427.http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
10. Rampengan TH , Laurents IR, Penyakit infeksi tropik pada anak. Edisi 1, Cetakan VI.
Jakarta: EGC; 2004. h.20-33.
11. Hidayat Alimul Aziz A. Imunisasi. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-1. Jakarta:
Salemba Medika; 2008. h. 55-7.