leukimia
-
Upload
harlan-simarmut -
Category
Documents
-
view
604 -
download
0
Transcript of leukimia
1. Pendahuluan
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi
leukosit ganas dalam sumsum tulang dan darah[1]. Selain itu ada juga yang
mendefinisikan leukimia sebagai keganasan hematologik akibat proses neoplastik
yang disertai gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel
induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas
tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukimia beredar secara sistemik [2].. Sel-
sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena.:
a. Kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, netropenia,trombositopenia)
b. Infiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meninges, otak kulit,
atau testis.). [1,2]
Di bawah ini ada suatu gambaran sistematik brtbagai jenis leukimia yang timbul dari
sel induk hemopoetik beserta turunannya[2]..
Gambar 1. Bagan jenis leukimia yang dapat timbul dari berbagai tingkatan sel induk
hemopoetik[2].
Page 1
Pre-B ALL Thy ALL
CLL/B-ALL
Limfosit B
Acute Megakariosit (M7)
Erythroleukimia (M6)
Common ALL
Limfosit-T
AML (M1-5)
Prekursor Megakariosit
Prekusor Eritroid
Prekursor Granulosit monosit
Sel Induk Pluripoten CML
Sel Induk Myeloid
Sel Induk Limfoid
Prekursor sel-B
Prekursor sel-T
Penggolongan utama dibagi menjadi empat tipe-leukemia akut dan kronik, yang lebih
lanjut dibagi menjadi limfoid atau mieloid. [1,2]
Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif, dengan
transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoetik
sumsum tulang dini, disebut sel blas. Gambaran klinis dominan penyakit-penyakit ini
biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang disebabkan akumulasi sel blas
walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan. Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya
cepat bersifat fatal, tetapi, secara paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan
leukimia kronik. Dalam referat ini akan dibahas tentang leukimia myeloid kronik atau
leukimia myelositik kronis [1]
2. Definisi
Leukimia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukimia (CML)
merupakan leukimia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukimi a berasal dari transformasi sel induk mieloid[1].. CML termasuk kelainan
klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan tergolong sebagai salah satu
kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative disorders). Nama lain untuk leukimia
mieloid kronik adalah.:
a. Chronic Myelogenous Leukimia
b. Chronic Myelocytic Leukimia [2].
3. Etiologi
Penyebab leukimia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi 21, sindrom “Bloom’s, anemia “Fanconi’s dan ataksia telangiektasia) mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk menderita leukimia dan kembar monozigot. Leukemogenic dan radiasi.
4. Epidemiologi
- Penyakit ini terjadi pada dua jenis kelamin (rasio pria: wanita sebesar 1,4:1 ),
paling sering terjadi antara usia 40 dan 60 tahun. Walaupun demikian, penyakit ini
dapat terjadi pada anak, neonatus dan orang yang sangat tua. Pada sebagian besar
kasus, tidak terdapat faktor predisposisi, tetapi insidensinya meningkat pada
orang-orang yang selamat pada pajanan bom atom di jepang [1]..
Page 2
- CML merupakan 15-20% dari kasus leukimia dan merupakan leukimia kronik
yang paling sering dijumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat leukimi
kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL [2].
- Insiden CML di negara Barat mencapai 1-1,4/100.000/tahun [2].
- Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur 40-50
tahun. Pada anak-anal dapat dijumpai dalam bentuk Juvenile CML [2].
5. Klasifikasi Leukemia
Leukemia mieloid kronik mencakup enam tipe leukemia yang berbeda. Keenam
jenis leukimia tersebut adalah
1. Leukimia Mieloid Kronik, Ph positif (CML, Ph+) (Chronic granulocytic
Leukmia, CGL) [1,2].
2. Leukimia Mieloid Kronik, Ph negatif (CML, Ph-)[1,2].
Kurang dari 5% pasien yang memiliki gambaran mengesankan CML, tidak
mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL. Pasien-pasien ini biasanya
mempunyai gambaran hematologik yang khas untuk mielodisplasia dan prognosis
tampaknya lebih buruk dibandingkan CML Ph positif. [1]
3. Juvenile Chronic Myeloid Leukimia[1,2].
Penyakit yang jarang terjadi ini mengenai anak kecil dan menpunyai gambaran
klinis yang khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan
infeksi rekuren. Sediaan hapus darah memperlihatkan adanya monositosis. Kadar
HbF yang tinggi merupakan ciri diagnostik yang berguna, kadar fosfatase alkali
netrofil normal dan hasil uji kromosom Philadelpia negatif. Prognosisnya buruk
dan SCT adalah pengobatan yang terpilih[1].
4. Chronic Neutrophilic Leukimia[1,2].
Ini adalah penyakit yang sangat jarang dijumpai dengan terdapatnya proliferasi sel
matur yang relatif murni. Mungkin didapatkan splenomegali, dan secara umum
prognosisnya baik. [1]
5. Eosinophilic Leukimia[2].
6. Chronic Myelomonocytic Leukimia (CMML) [1,2]..
Leukemia mielomonositik kronik (CMML) menggambarkan daerah yang
bertumpang tindih antara penyakit mieloproliferatif dan mielodisplasia, tetapi
digolongkan ke dalam kelompok mielodisplasia[1].
Page 3
Namun sejauh ini tipe yang paling umum adalah leukemia mieloid kronik yang
disertai dengan kromosom philadelpia (Ph), dengan kasus lebih dari 95%. Diagnosis
CML kadangkala sulit ditegakkan dan dibantu oleh adanya kromosom philadelpia
yang khas. [2].
6. Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelpia Chromosome, suatu reciprocal translocation
9,22 (t 9;22). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22) (q23;q11) antara
kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL dipindahkan
pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9.
Kromosom 22 yang abnormal itu adalah kromosom Ph. [1,2].
Gambar 2. Translokasi Kromosom Philadelphia
Pada translokasi Ph, ekson 5’ BCR berfusi dengan ekson 3’ ABL. Gen khimerik
BCR-ABL yang dihasilkannya mengode suatu protein fusi berukuran 210 kDa (p210).
Protein ini mempunyai aktivitas tirosin kinase yang lebih dari produk ABL 145 kDA
yang normal. Translokasi Ph juga ditemukan pada sejumlah kecil kasus leukemia
limfoblastik akut (ALL), dan pada beberapa di antaranya, pemutusan pada BCR
terjadi jauh di atas , pada intron antara ekson pertama dan kedua, meninggalkan hanya
ekson BCR pertama yang utuh. Gen khimerik BCR-ABL ini diekspresikan sebagai
Page 4
protein p190 seperti p210 yang mempunyai aktivitas tirosin kinase yang lebih
tinggi[1,2]..
Gambar 3. Patogenesis gangguan fungsi BCR/ABL
Pada sebagian kecil pasien , kelainan Ph tidak terlihat dengan menggunakan
analisis kariotipe mikroskopik tetapi susunan molekular yang sama dapat terdeteksi
menggunakan teknik yang lebih sensitif. CML Ph negatif BCR-ABL positif ini secara
klinis sama dengan CML Ph positif. Kelainan ini ditemukan pada sel-sel dari jalur
mieloid ( granulositik, eritroid, dan megakariositik) serta limfoid (sel B dan T) karena
kromosom Ph ini adalah suatu kelainan sel induk hemopoetik yang didapat. [1,2]
Peningkatan massa sel mieloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab
terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%, terjadi
suatu metamorfosis terminal menjadi leukemia akut yang seringkali didahului oleh
suatu fase akselerasi. [1]
7. Patofisiologi
Proses patofsiologi dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologgik atau
turunannya. Proliferasi sel ganas induk ini menghasilkan sel leukimia dan akan
mengakibatkan[2]
1. Penekanan hemopoesis normal sehingga terjadi bone marrow failure
Penekanan hemopoesis normal disebabkan karena adanya proliferasi sel ganas dan
menyebabkan adanya sel leukimia. Hal ini dapat menyebabkan penekanan sel-sel
Page 5
darah lainnya seperti eritrosit dan trombosit. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya anemia dan trombositopenia pada kasus leukimia[2].
2. Infiltrasi sel leukimia ke dalam organ sehingga menimbulkan organomegali
Infiltrasi sel leukimia ke RES (Retikulo Endothelial System) menyebabkan
gangguan pada beberapa organ dan menyebabkan limfadenopati, hepatomegali,
dan splenomegali. Selain itu akibat adanya infliltrasi sel leukimia dalam darah
dapat terjadi sindrom hiperviskositas. Bila yang terkena adalah tulang maka dapat
menyebabkan nyeri pada tulang, sementara bila tempat ekstrameduler maka dapat
terjadi meningitis, pembesaran testis, dan lesi kulit.[2]
3. Katabolisme sel meningkat sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik
Terjadinya hiperkatabolik menyebabkan kaheksia, keringat malam (untuk
menurunkan suhu tubuh), dan juga peningkatan asam urat. Akibat peningkatan
asam urat yang terlalu tinggi, pasien leukimia biasanya juga mengalami gagal
ginjal dan penyakit gout. [2]
Gambar 4. Bagan patofisiologi leukimia[2]
Page 6
DarahSindrom Hiperviskositas
Gagal ginjal, Gout
HiperkatabolikKaheksia, Peningkatan
asam urat, Keringat malam
Faktor Predisposisi, Faktor Etiologi, Faktor Peencetus
Mutasi Somatik sel induk
Proliferasi neoplastik dan differentiation arrest
Akumulasi sel muda dalam sumsum tulang
GAGAL SUMSUM TULANG
AnemiaPendarahan dan infeksi
Inhibisi Hemopoeis NormalSel Leukimia
Infiltrasi ke organ
RESLimfadenopati, Hepatomegali, Splenomegali
Tempat Ekstrameduler lainnya
Meningitis, Lesi Kulit, Pmbesaran Testis
TulangNyeri Tulang
8. Fase Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi dua fase yaitu
1. Fase Kronik, fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap kemoterapi
2. Fase akselerasi atau transformasi akut
a. Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukimia akut
b. Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk ke dalam “blast crisis”atau
krisis blastik
c. Sekitar 2/3 menunjukkan sel blast myeloid, sedangkan 1/3 menunjukkan seri
limfoid.[2]
Transformasi akut (30% blas dalam sumsum tulang) dapat terjadi dengan cepat
dalam beberapa hari atau minggu. Yang lebih sering terjadi, pasien mengalami fase
akselerasi dengan anemia, trombositopenia, dan peningkatan basofil, eosinofil, atau
sel blas dalam darah dan sumsum tulang. Ukuran limpa mungkin membesar walaupun
jumlah sel darah terkendali dan sumsum tulang dapat menjadi fibrotik. Pasien dapat
berada dalam fase ini selama beberapa bulan; pada fase ini penyakit lebih sulit
dikendalikan daripada fase kronik. Pada fase akut atau fase akselerasi, seringkali
ditemukan kelainan kromosom baru (misalnya kromosom Ph ganda).
Pada sekitar seperlima kasus, transformasi akut bersifat limfoblastik dan pasien
dapat diobati dengan cara yang sama seperti pengobatan leukemia limfoblastik akut,
dan sejumlah pasien kembali ke fase kronik selama beberapa bulan atau bahkan satu
atau dua tahun. Pada sebagian besar pasien, terjadi transformasi menjadi leukemia
mieloid akut atau tipe campuran. Jenis ini lebih sulit diobati. Sel induk sumsum tulang
atau darah tepi yang disimpan selama fase kronik dapat digunakan untuk memulihkan
hemopoiesis setelah kemoterapi intensif dengan atau tanpa radioterapi seluruh tubuh.[1].
9. Gambaran Klinis
Page 7
Gambaran klinis CML tergantung dari fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut,
antara lain: [1,2]
1. Fase Kronik terdiri atas
a. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya
penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, atau keringat malam . [1]
b. Splenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa
pasien, pembesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau
gangguan pencernaan. [1]
c. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardi. [2]
d. Memar, epistaksis, menorhagia, atau perdarahan dari tempat-tempat lain
akibat fungsi trombosit yang abnormal. [2]
e. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah. [1,2].
f. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priaspismus.[1]
2. Fase Transfortmasi Akut, terdiri atas .[2]
a. Perubahan secara perlahan dengan prodormal selama 6 bulan disebut sebagai
fase akselerasi. Timbul keluhan baru: demam, lelah, nyeri tulang (sternum)
yang semakin progresif. Respon terhadap kemoterapi menurun dan akhirnya
menjadi gambaran leukimia akut. [2]
b. Pada sekitar sepertiga penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodromal, keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis).
Tanpa pengobatan adekuat penderita akan meninggal dalam 1-2 bulan. [2]
10. Temuan Laboratorium
1. Darah tepi [1,2].
a. Leukositosis biasanya berjumlah >50 x 109 / l dan kadang-kadang >500 x
109 / Spektrum lengkap sel-sel mieloid ditemukan dalam darah tepi.
Jumlah netrofil dan mielosit melebihi jumlah sel blas dan promielosit.
b. Apusan darah tepi menunjukkan sprektum lengkap seri granulosit mulai
dari mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah
segmen netrofil dan mielosit. Stab, metamielosit, promielosit, dan mielosit
blast juga dijumpai. Sel blast <95%
Page 8
c. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut, bersifat
normokromik normositer
d. Trombosit bisa meningkat, normal, menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat
e. Fosfatase alali netrofil (neutrophil alkaline phospatase [NAP] score selalu
rendah.
2. Sumsum tulang [1,2]
Hiperseluler dengan granulosit dominan, gambarannya mirip dengan apisan darah
tepi. Menunjukkan sprektum lengkap seri mieloid, dengan komponen paling
banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%. Megakariosit pada
fase kronik normal atau meningkat
3. Sitogenik; dijumpai adanya kromosom Philadelphia (Ph1) pada 95% kasus. [2]
4. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat. [2]
5. Pemeriksaan PCR (Polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric
protein bcr-abl pada 95% kasus [2]
6. Kadar asam urat serum meningkat [1,2]
11. Pengobatan
Kemoterapi hidroksiurea bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya perlu
diberikan seumur hidup. Regimen biasanya dimulai dengan 1,0-2,0 g / hari dan
kemudian menurunkannya tiap minggu sampai mencapai dosis rumatan sebesar 0,5-
1,5 g/hari. Zat pengalkil busulfan juga efektif dalam mengendalikan penyakit tetapi
mempunyai efek samping yang cukup berat dan sekarang disisihkan untuk pasien
yang tidak toleran terhadap pemberian hidroksiurea. Alopurinol seringkali dipakai di
fase awal pengobatan untuk mencegah terjadinya serangan gout. [1]
Inhibitor tirosin kinase, obat ini sekarang sedang diteliti dalam percobaan klinis
dan tampaknya hasilnya menjanjikan. Zat STI 571 adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tirosin kinase dan mampu menghasilkan respons
hematologik yang lengkap pada hampir semuapasien yang berada dalam fase kronik
dengan tingkat konversi sumsum tulang yang tinggi dari Ph positif menjadi Ph
negatif. Obat ini mungkin menjadi pengobatan lini pertama pada CML, baik
digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat lain. [1,2]
Page 9
Imatinib mesylate (Gleevec , Novartis) merupakan inhibitor dari multiple tyrosine
kinase, termasuk ABL, BCR-ABL, sebuah platelet derived factor receptor (PDGFR),
dan c-kit. Dengan mencegah fosforilasi dari BCR-ABL, Imatinib secara selektif
menghambat sinyal downstream dan pertumbuhan BCR-ABL positif cell yang
menyebabkan apoptosis sel. Nucleotid tunggal dari gen BCR-ABL menyebabkan
perubahan formasi dari Protein BCR-ABL yang dapat menyebabkan pengikatan dari
imatinib aktifasi spesific atau sisi kinasenya, dapat dideteksi pada setengah pasien
yang resisten terhadap imatinib. Pada pasien dengan fase kronis CML, Imatinib
diberikan 400 mg oral perhari dan segera diberikan setelah didiagnosa. Pasien yang
mengalami fase akselerasi atau krisis blast diberikan 600 mg perhari. Dosis tidak
dianjurkan pada pasien yang mengalami gangguan ginjal atau gangguan hepar.
Imatinib harus diberikan setelah makan dan minum banyak untuk mencegah
terjadinya nausea. Imatinib merupakan substansi dari CYP3A4 metabolic pathway
dan menghambat cytochromes P-450 pathway. [4]
CYP3A4 dapat meningkatkan tingkat imatinib termasuk diltiazem, verapamil,
itraconazole, ketonazole, clarithromycin, erythromycin, dan jus anggur, dimana
rifampin, phenobarbital, phenytoin dapat menurunkan tingkat imatinib dalam darah.
Imatinib merupakan obat dengan efek teratogenic baik pada wanita maupun pria,
khususnya pada wanita hamil, pengobatan ini menjadi dilemma. Tujuan dari terapi
imatinib adalah untuk menurunkan jumlah sel yang mengandung Ph chromosom,
menurunkan kemungkinan dari pengembangan mutasi yang baru yang menyebabkan
krisis blast. Pengobatan dengan dasatinib yang merupakan BCR-ABL kinase inhibitor
menunjukkan tingkat respon cytogenik yang lengkap dan peningkatan free survival
pada pasien dengan CML (Chronic Myeloid Leukimia) pada fase kronis setelah
kegagalan terapi dengan imatinib. Pengobatan dengan dasatinib dan imatinib menjadi
first line gold standar (pilihan pertama pada baku emas) pada pengobatan fase kronik
CML. Imatinib (Gleevec) merupakan inhibitor BCR-ABL kinase merupakan first line
teraphy untuk CML, sementara dasatinib yang merupakan generasi kedua inhibitor
BCR-ABL kinase merupakan second line teraphy bila pengobatan dengan imatinib
gagal. Terapi dasatinib menyebabkan respon cytogenic sempurna hingga 50% pada
pasien yang tidak ada efek terhadap imatinib atau tidak mampu mentolerir imatinib. [4]
Interferon alfa. Biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh
hidroksiurea dan saat ini merupakan obat terpilh untuk fase kronik walaupun mungkin
Page 10
akan digantikan oleh inhibitor tirosin kinase. Regimen yang lazim digunakan adalah 3
sampai 9 megaunit yang diberikan antara tiga sampai tujuh kali setiap minggu sebagai
injeksi subkutan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah leukosit tetap
rendah (sekitar 4 x 109 / l). Hampir semua pasien menderita gejala penyakit mirip flu
pada beberapa hari pertama pengobatan yang berespons tehadap parasetamol dan
perlahan-lahan hilang. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan
sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka
panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenetik walaupun gen fusi
BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. [1]
Transplantasi sel induk (SCT). Transplantasi ini dapat bersifat alogenik atau
autolog. Transplantasi sumsum tulang (BMT) alogen adlah satu-satunya pengobatan
kuratif CML yang tersedia. Hasilnya lebih baik biladilakukan pada fase kronik
dibandingkan fase akut atau akselerasi. Hanya pasien yang berusia kira-kira di bawah
60 tahun yang dapat mentoleransi prosedur ini dan hanya 30% di antaranya yang
mempunyai saudara kandung yang sesuai. Ketahanan hidup 5 tahun adalah sekitar 50-
70%. SCT alogenik hanya dapat ditawarkan ke sebagian kecil pasien meskipun panel
donor sumsum tulang internasional makin berperan penting dalam penyediaan donor
tidak berkerabat yang sesuai dengan antigen leukosit manusianya (HLA). Relaps
leukemia pascatransplantasi adalah masalah yang signifikan, tetapi infus leukosit
donor sangat efektif pada CML terutama bila relaps terdiagnosis dini melalui deteksi
molekular transkrip BCR-ABL. BMT autolog adalah suatu pendekatan eksperimental
dan sedang diteliti untuk menilai peranannya. [1,2]
12. Perjalanan penyakit dan prognosisnya
CML biasanya memperlihatkan suatu respons yang sangat baik terhadap
kemoterapi pada fase kronik. Ketahanan hidup rata-rata adalah 5-6 tahun. Kematian
biasanya terjadi akibat transformasi akut terminal atau perdarahan atau infeksi yang
menyelingi. Dua puluh persen pasien dapat hidup hingga 10 tahun atau lebih. Pasien
dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok prognostik berdasarkan usia, ukuran
Page 11
limpa, jumlah trombosit, sel blas pada saat presentasi penyakit, dan mudahnya
respons terhadap terapi; hal-hal tersebut hanya merupakan petunjuk dasar mengenai
prognosis. [1]
DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffbrand A.V, Pettit J.E, Moss P.A.H, Kapita Selekta Hematologi, Bab 13 Leukimia
Mieloid Kronik dan Mielodisplasia, Hal 167-176. Jakarta, 2002, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
2. Bekta I. Made, Hematologi Klinik Ringkas, Bab 9, Leukimia dan Penyakit
Mieloproliferatif, Hal 120-146. Jakarta,2002, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Page 12
3. Kumar, Cotran, Robbins, Buku Ajar Patologi Volume 2, Bab 12 Sistem
Hematopeoitik dan Limfoid, Gangguan Sel Darah Putih, Leukimia Mielogenous
Kronis, Hal 492-493, Jakarta 2004, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Charles A. Schiffer, M.D, BCR-ABL Tyrosine Kinase Inhibitors for Chronic
Myelogenous Leukemia, Downloaded from www.nejm.org on December 5, 2010.
Copyright © 2007 Massachusetts Medical Society.
Page 13