Lapsus Difteri
-
Upload
risma-adista-sari -
Category
Documents
-
view
54 -
download
7
Embed Size (px)
description
Transcript of Lapsus Difteri

LAPORAN KASUS
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DIFTERI
Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF
Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Sukowono
Disusun oleh:
Cynthia Parasetiayu Ariesty
NIM. 092011101019
Dokter Pembimbing:
dr. Andy Maulana
SMF/LAB ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2015

BAB 1. PENDAHULUAN.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit
ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini1.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal
dan sistemik. Efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari.
Penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier2.
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di
vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut5.
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk
dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal
dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis3.

BAB 2. LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Penderita
Nama : Chandra Erza F
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Perumahan Pinus Raya blok A-11, Sukowono
Pendidikan : SD
Suku : Madura
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
Heteroanamnesis dilakukan kepada Ibu pasien pada tanggal 4 Agustus
2015 di Perumahan Pinus Raya blok A-11, Sukowono.
2.2.1 Keluhan Utama
Demam dan diare
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien demam dan diare sejak kurang
lebih 3 hari, kemudian pasien periksa ke bidan dan diberi obat penurun
panas. Tetapi pasien mengatakan tidak sembuh dan masih muntah serta
diare. Saat adik pasien MRS di Bondowoso karena muntaber ternyata
pasien tiba-tiba demam tinggi. Selain itu pasien juga mengeluhkan hidung
buntu sehingga pasien sulit bernafas dan harus bernafas lewat mulut, selain
itu leher juga dirasa membengkak. Pasien juga mengeluh sulit menelan.
Pasien tidak mimisan. Kemudian pasien disarankan untuk MRS di
Bondowoso.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Disangkal

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
2.2.5 Riwayat Pengobatan
Obat penurun panas
2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi
Pasien adalah seorang anak pertama dari dua bersaudara. Ibu pasien
bekerja sebagai karyawan swasta di Bondowoso dan Ayah pasien bekerja
sebagai karyawan di Bank Artha Jaya. Pasien tinggal di Perum Pinus Raya
blok A-11, Sukowono bersama kedua orang tua, nenek, dan adiknya yang
berusia 6 bulan.
Kesan : Riwayat sosial lingkungan ekonomi cukup.
2.2.7 Riwayat Sanitasi Lingkungan
Rumah pasien berukuran kira-kira 5 x 6 meter, terdiri dari 2 kamar tidur,
ruang tamu dan dapur. Pasien dan keluarga menggunakan sumur untuk
kebutuhan mandi dan mencuci serta sebagai sumber air untuk dikonsumsi.
Air minum sehari-hari yang berasal dari sumur selalu dimasak hingga
mendidih sebelum dikonsumsi. Untuk kebutuhan kakus, pasien dan
keluarga menggunakan kamar mandi sendiri.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan cukup.
2.2.8 Riwayat Gizi
Sehari pasien makan 3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah nasi,
tempe, tahu, kadang-kadang sayur, ikan, daging, dan jarang sekali makan
buah-buahan.
2.2.9 Anamnesis Sistem
- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), demam (+),
kejang (-), nyeri kepala (-)

- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
- Sistem pernapasan : sesak (+), batuk (-), pilek (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), diare (+), nafsu
makan menurun (+), nyeri perut (-), BAB normal, sulit menelan (+)
- Sistem urogenital : BAK normal
- Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik
(-), purpura (-), ptekie (-)
- Sistem muskuloskeletal : edema (-), atrofi (-), deformitas (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : compos mentis, GCS 4-5-6
Vital Sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,6 oC
Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-), purpura
(-), ptekie (-)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : edema (-), atrofi (-)
Tulang : deformitas (-)
2.3.2 Pemeriksaan Khusus
a. Kepala
- Bentuk : bulat lonjong, simetris
- Rambut : hitam, lurus
- Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+

- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (+)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-), terdapat pseudomembran pada tonsil.
b. Leher
- KGB : ada pembesaran
- Tiroid : tidak membesar
- JVP : tidak meningkat
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
2.Pulmo :
Inspeksi: Simetris, retraksi (-)
Palpasi: Fremitus raba normal
Perkusi: Sonor
Auskultasi: Ves +/+, Rho -/-, Whe -/-
d. Abdomen
- Inspeksi : flat
- Auskultasi : bising usus (+)
- Palpasi : soepel, tidak ada pembesaran organ
- Perkusi : timpani
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema-/-
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Swab Nasofaring
Hasil: negatif difteri

2.5 Resume
Anamnesis:
Pasien laki-laki, 7 th, dengan keluhan demam dan diare sejak kurang
lebih 3 hari, kemudian pasien periksa ke bidan dan diberi obat jalan. Tetapi
pasien tidak sembuh dan masih muntah dan diare. Saat adik pasien MRS di
Bondowoso karena muntaber ternyata pasien tiba-tiba demam tinggi.
Selain itu pasien juga mengeluhkan hidung buntu sehingga pasien sulit
bernafas dan harus bernafas lewat mulut, selain itu leher juga dirasa
membengkak. Pasien juga mengeluh sulit menelan. Kemudian pasien
disarankan untuk MRS di Bondowoso.
Pemeriksaan Fisik:
Didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran compos mentis,
pembengkakan pada leher dan pseudomembran pada tonsil dan dinding
faring. Thorax (cor, pulmo) dalam batas normal.
Pemeriksaan Penunjang:
Pada swab nasofaring didapatkan hasil negatif difteri.
2.6 Diagnosis Banding
Tonsilitis pseudomembran
Tonsilitis difteri
2.7. Diagnosis Kerja
Tonsilitis Difteri
2.8. Planning
2.8.1 Planning Diagnostik
Swab nasofaring
Pemeriksaan Laboratorium
2.8.2 Planning Monitoring
Vital Sign

2.8.3 Planninng Terapi
ADS 100.000 unit
Eritromisin 4x1 selama 2 minggu
Zircum kid 3x1
Vita-Fit 1x1
2.8.4 Planning Edukasi
Istirahat yang cukup
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
(penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi)
Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung penyembuhan
pasien
2.9 Prognosis
Dubia ad bonam

BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu yang menghambat
pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae
akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam. Atau dapat pula dengan
menggunakan media loeffler, yaitu medium yang mengandung serum yang sudah
dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang
berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan
berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa4.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae yaitu tipe garvis,
intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil
ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C. diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa

diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene1.
2.2 Patogenesis dan patofisiologis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom.
Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan1.

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous
dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan
perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang
bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat
masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system
konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal4.
2.3 Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteria3.

2.3.1 Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC.
Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior
(lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis
dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah
dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah
septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat4.
Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat
berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan
membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah
glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat
menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat
peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang
penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-
10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna6.

Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita
dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak
dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada
difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis
difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas
biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan
dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
2.3.2 Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit.
2.3.3 Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta
dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud

klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu
membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain7.
2.4 Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita3. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media
loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro
(tes Elek)1.
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula4.
2.5 Diagnosis Banding
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues
congenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis
infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat
menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic
edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus1.
2.6 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal3.
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala
kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan.
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi
terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan
streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada
dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak7.
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum
mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-
kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit
adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain
nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang
diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan
tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti5.
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri
dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,
tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya
dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian
antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3

sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall
1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan
dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf
otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada
elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung
tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II
dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung
kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis.
Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat
menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang
bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran
permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya
sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi
primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah
mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,
menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya
1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit
motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai
menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal
pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma
dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan
hipotensi atau gagal jantung1.

2.7 Pengobatan Dan Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
2.7.1 Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi
ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)
2.7.2 Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit
tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji
kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka).
Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada
tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga
mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara
luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit
lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap
nasofaring.

Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama
14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o., tiap 6 jam
selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. ,
dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri
kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi
sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok
(atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
2.7.3 Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2.7.4 Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (4)
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan
status imunisasi
2.8 Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum8.
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik
daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain.
Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh
karena:
1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain
gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan
leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-
laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)1.
2.9 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan5.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT, DT, DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6

bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan
sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6
tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5
mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang
berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia
6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri
pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan
booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga
diberikan sesudah umur 4 tahun4.

BAB 4. KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan divaksinasi. Dan ini telah terbukti
dapat mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di
berbagai tempat di dunia tetapi terkadang masih ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
Dasar dari teerapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan
pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun
dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. T.H.Rampengan, Sp. A (K) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176
3. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm
4. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
5. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
6. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
7. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299