bahan difteri
-
Upload
riyan-budianor -
Category
Documents
-
view
259 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of bahan difteri
-
7/27/2019 bahan difteri
1/55
REFERAT DIFTERI dari :
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/referat-difteri_18.html
FAKULTAS KEDOKTERAN
2005
BAB I
PENDAHULUAN.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin daribakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya
melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan
salah satu reservoir dari bakteri ini. (1)
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan
telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena
eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini
antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. (2)
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya
membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena
itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi
penyakit tersebut. (5)
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang
terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan
keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difterimeninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur
rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis. (3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
-
7/27/2019 bahan difteri
2/55
DIFTERI
2.1. Etiologi
SpesiesCorynebacteriumDiphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak,pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan
beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V,
atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,
isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat
pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni
menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang
mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul
yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid
saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (4)
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun
dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan
mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien
biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan
dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan
teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini
merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal).
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene. (1)
2.2. Patogenesis dan patofisiologis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan
mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam
sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati
kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino
lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
-
7/27/2019 bahan difteri
3/55
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke
kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya
fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2
(aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini
menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat
yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan
pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-
bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam
sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi
hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot
dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal
dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)
2.3. Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala
sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas
pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman
membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas
2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.
Demam jarang melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
-
7/27/2019 bahan difteri
4/55
difteria. (3)
2.3.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun 1954,focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat
berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-
gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39C.
2.3.1.1. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa
atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis
erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir
sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat. (4)
2.3.1.2 Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi
hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari
kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan
pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai
uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak
dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Selanjutnya gejala
tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10
-
7/27/2019 bahan difteri
5/55
hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna. (6)
2.3.1.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring
sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan
tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa
laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe
infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk
kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada
kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi
sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia.
2.3.2. Difteri Kulit
-
7/27/2019 bahan difteri
6/55
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan
cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan
ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi
difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka
biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau
impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau
kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi
saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita
dengan difteri kulit.
2.3.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain,
seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital
(vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan
submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. (7)
2.4. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi
prognosa penderita.(3) Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu
hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan
-
7/27/2019 bahan difteri
7/55
membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas
secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek). (1)
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit
lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran
penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya
dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. (4)
2.5. Diagnosis Banding
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis,
adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh
streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa
non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang
lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus
atau stafilokokus. (1)
2.6. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin, maka
komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan
nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke ototjantung, syaraf, dan ginjal. (3)
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya sehingga
menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman
streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi
tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada
dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. (7)
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh karena
edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical.
-
7/27/2019 bahan difteri
8/55
Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis
sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa
negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik.
Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa
dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai
kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. (5)
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60%
kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita,
terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung
dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.
Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring
membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall 1minggu bila berkemungkinan hasil akhir
meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi
demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom.
Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative
merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung
kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase
aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian.
Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons
radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran
permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulainya
yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia
dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat
menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena aspirasi.
Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis
siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati
simetris mulainya 1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit
motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal
dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan
dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis
diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit
jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung. (1)
2.7. Pengobatan Dan Penatalaksanaan.
-
7/27/2019 bahan difteri
9/55
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak
yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas
kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7
dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.
Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai
30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan
adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
-
7/27/2019 bahan difteri
10/55
indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata
positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut
diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien,
berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness) (1)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C.
diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada
populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin
atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan
pengidap nasofaring.
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila
hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4
dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari.
Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari
-
7/27/2019 bahan difteri
11/55
hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkankorikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative tetapi
mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (4)
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
imunisasi
2.8. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi,
kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. (8)
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya, keadaan
-
7/27/2019 bahan difteri
12/55
demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat
membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh
karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan
sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang
menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan
leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring
(56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) (1).
2. 9. Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang
bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang
anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria
tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang
menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. (5)
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan,
dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri
dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat
pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat
dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid
potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6
tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun
dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri
yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi
reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
-
7/27/2019 bahan difteri
13/55
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D).
seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral
seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan
umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis
ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima
dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang
mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis
ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. (4)
BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu bayi-
bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut,
walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang
terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler,tidak
bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa
inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9C.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring,
difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang
paling terseringa adalah difteri tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi
prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan
pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
-
7/27/2019 bahan difteri
14/55
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang
bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak
kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada
Anak, Difteri, 1-182.Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
3.http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm
4.http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
5.http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
6.http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
7.http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
dari : http://tomajehari.blogspot.com/2011/05/makalah-difteri.html
DIFTERI
A. Definisi
Difteri adalah penyakit, berpotensi fatal menular yang biasanya melibatkan
hidung, tenggorokan, dan saluran udara, tetapi juga dapat menginfeksi kulit. Fiturnyayang paling mencolok adalah pembentukan membran kelabu yang menutupi tonsil
dan bagian atas tenggorokan.
B. Deskripsi
Seperti banyak penyakit lain saluran pernapasan bagian atas, difteri paling
mungkin untuk keluar selama musim dingin. Pada suatu waktu itu adalah pembunuh
masa kecil besar, tetapi sekarang jarang terjadi di negara-negara maju karena
imunisasi luas. Sejak tahun 1988, semua dikonfirmasi kasus di Amerika Serikat telah
-
7/27/2019 bahan difteri
15/55
terlibat pengunjung atau imigran. Di negara-negara yang tidak memiliki imunisasi
rutin terhadap infeksi ini, angka kematian bervariasi 1,5-25%.
Orang yang belum diimunisasi mungkin mendapatkan difteri pada usia apapun.
Penyakit ini paling sering menyebar melalui tetesan dari batuk atau bersin dari orang
yang terinfeksi atau carrier. Masa inkubasi 2-7 hari, dengan rata-rata tiga hari. Sangat
penting untuk mencari bantuan medis sekaligus ketika difteri diduga, karena
pengobatan memerlukan tindakan darurat untuk orang dewasa maupun anak-anak.
C. Penyebab dan gejala
Gejala difteri yang disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh basil difteri,
Corynebacterium diphtheriae (dari bahasa Yunani untuk "membran karet"). Bahkan,
produksi toksin berkaitan dengan infeksi basil sendiri dengan virus bakteri tertentu
disebut fag (dari bakteriofag, sebuah virus yang menginfeksi bakteri). Keracunan
yang merusak jaringan sehat di daerah atas tenggorokan di sekitar amandel, atau luka
terbuka di kulit. Cairan dari sel-sel mati kemudian menggumpal untuk membentuk
membran tanda hijau abu-abu atau keabu-abuan. Di dalam membran, bakteri
menghasilkan eksotoksin, yang merupakan sekresi beracun yang menyebabkan gejala
mengancam nyawa difteri. Eksotoksin ini dilakukan ke seluruh tubuh dalam aliran
darah, menghancurkan jaringan sehat di bagian lain dari tubuh.
Komplikasi yang paling serius yang disebabkan oleh eksotoksin adalah radang
dari otot jantung (miokarditis) dan kerusakan sistem saraf. Risiko komplikasi serius
meningkat sebagai waktu antara timbulnya gejala dan administrasi meningkat
antitoksin, dan sebagai ukuran membran yang terbentuk meningkat. Miokarditis ini
bisa menyebabkan gangguan pada irama jantung dan bisa berujung pada gagal
jantung. Gejala keterlibatan sistem saraf bisa berupa melihat ganda (diplopia), pidato
menyakitkan atau sulit menelan, dan cadel atau kehilangan suara, yang semuanya
indikasi efek eksotoksin terhadap fungsi saraf. Eksotoksin juga dapat menyebabkan
parah pembengkakan di leher ("bull leher").
Tanda-tanda dan gejala difteri bervariasi sesuai dengan lokasi infeksi:
a. Sengau
Difteri hidung menghasilkan sedikit gejala selain debit berair atau berdarah.
Pada pemeriksaan, mungkin ada membran terlihat kecil di bagian hidung. Infeksi
hidung jarang menyebabkan komplikasi dengan sendirinya, tetapi merupakan masalahkesehatan masyarakat karena penyakit menyebar lebih cepat dibandingkan bentuk-
-
7/27/2019 bahan difteri
16/55
bentuk difteri.
b. Faring
Difteri faring mendapatkan namanya dari faring, yang merupakan bagian
dari tenggorokan bagian atas yang menghubungkan mulut dan saluran hidung dengan
kotak suara. Ini adalah bentuk paling umum dari difteri, menyebabkan karakteristik
membran tenggorokan. Membran sering berdarah jika tergores atau dipotong. Hal ini
penting untuk tidak mencoba untuk menghapus trauma membran karena dapat
meningkatkan penyerapan tubuh eksotoksin tersebut. Tanda-tanda lain dan gejala
difteri faring ringan termasuk sakit tenggorokan, demam 101-102 F (38,3-38,9 C),
denyut nadi menjadi cepat, dan kelemahan tubuh secara umum.
c. Berhubung dengan pangkal tenggorokan
Difteri laring, yang melibatkan kotak suara atau laring, adalah bentuk yang
paling mungkin untuk menghasilkan komplikasi serius. Demam biasanya lebih tinggi
dalam bentuk difteri (103-104 F atau 39,4-40 C) dan pasien sangat lemah. Pasien
mungkin memiliki batuk parah, mengalami kesulitan bernapas, atau kehilangan suara
mereka sepenuhnya. Pengembangan "leher banteng" menunjukkan tingkat tinggi
eksotoksin dalam aliran darah. Obstruksi jalan napas dapat menyebabkan kompromi
pernapasan dan kematian.
d. Kulit
Bentuk difteri, yang kadang-kadang disebut difteri kulit, menyumbang
sekitar 33% kasus difteri. Hal ini ditemukan terutama di antara orang dengan
kebersihan yang buruk. Setiap istirahat di kulit dapat menjadi terinfeksi dengan
difteri. Jaringan yang terinfeksi mengembangkan daerah ulserasi dan membran difteri
bisa terbentuk atas luka namun tidak selalu hadir. Luka atau ulkus lambat untukmenyembuhkan dan mungkin mati rasa atau tidak sensitif bila disentuh.
D. Diagnosa
Karena difteri harus diperlakukan secepat mungkin, dokter biasanya membuat
diagnosis berdasarkan gejala terlihat tanpa menunggu hasil tes.
Dalam membuat diagnosis, dokter mata memeriksa pasien, telinga, hidung, dan
tenggorokan dalam rangka untuk menyingkirkan penyakit lain yang dapat
menyebabkan demam dan sakit tenggorokan, seperti mononukleosis menular, infeksi
-
7/27/2019 bahan difteri
17/55
sinus, atau radang tenggorokan. Gejala yang paling penting yang menunjukkan difteri
adalah membran. Ketika seorang pasien infeksi kulit yang berkembang selama wabah
difteri, dokter akan mempertimbangkan kemungkinan difteri kulit dan mengambil
smear untuk mengkonfirmasikan diagnosis.
E. Tes laboratorium
Diagnosis difteri dapat dikonfirmasikan oleh hasil budaya yang diperoleh dari
daerah yang terinfeksi. Bahan dari spons diletakkan di slide mikroskop dan
pewarnaan dengan menggunakan prosedur yang disebut Gram stain. Basil difteri
disebut Gram-positif karena memegang dye setelah slide dibilas dengan alkohol. Di
bawah mikroskop, basil difteri terlihat seperti sel-sel batang berbentuk manik-manik,
yang dikelompokkan dalam pola-pola yang menyerupai karakter China. Lain uji
laboratorium melibatkan tumbuh basil difteri pada bahan khusus yang disebut
medium Loeffler's.
F. Pengobatan
Difteri adalah penyakit serius yang membutuhkan perawatan rumah sakit di unit
perawatan intensif jika pasien telah mengembangkan gejala-gejala pernafasan.
Perawatan termasuk kombinasi obat-obatan dan perawatan suportif:
* Antitoksin
Langkah yang paling penting adalah administrasi segera antitoksin difteri,
tanpa menunggu hasil laboratorium. antitoksin ini dibuat dari serum kuda dan bekerja
dengan menetralkan setiap eksotoksin beredar. Dokter harus terlebih dahulu menguji
pasien untuk kepekaan terhadap serum hewan. Pasien yang sensitif (sekitar 10%)
harus peka dengan antitoksin diencerkan, karena antitoksin adalah satu-satunya
substansi spesifik yang akan melawan eksotoksin difteri. Tidak antitoksin manusia
yang tersedia untuk pengobatan difteri.
Dosis berkisar antara 20,000-100,000 unit, tergantung pada tingkat
keparahan dan lamanya waktu gejala terjadi sebelum perawatan. Difteri antitoksin
biasanya diberikan infus.
* Antibiotik
-
7/27/2019 bahan difteri
18/55
Antibiotik diberikan untuk melenyapkan bakteri, untuk mencegah
penyebaran penyakit, dan untuk melindungi pasien dari berkembang pneumonia.
Mereka bukan pengganti pengobatan dengan antitoksin. Baik orang dewasa dan anak-
anak dapat diberikan penisilin, ampisilin, atau eritromisin. Eritromisin tampaknya
lebih efektif daripada penisilin dalam memperlakukan orang-orang yang pembawa
karena penetrasi yang lebih baik ke daerah yang terinfeksi.
Cutaneous difteri biasanya dirawat dengan membersihkan luka secara
menyeluruh dengan sabun dan air, dan memberikan antibiotik pasien selama 10 hari.
G. Mendukung perawatan
Pasien Difteri perlu istirahat dengan perawatan intensif, termasuk cairan
tambahan, oksigenasi, dan pemantauan untuk masalah jantung mungkin, sumbatan
saluran napas, atau keterlibatan sistem saraf. Pasien dengan difteri laring ini disimpan
dalam sebuah tenda croup atau lingkungan kelembaban tinggi, mereka juga mungkin
perlu pengisapan tenggorokan atau operasi darurat jika saluran napas mereka diblokir.
Pasien pulih dari difteri harus beristirahat di rumah selama minimal dua sampai
tiga minggu, terutama jika mereka mengalami komplikasi jantung. Selain itu, pasien
harus diimunisasi terhadap difteri setelah pemulihan, karena mempunyai penyakit
yang tidak selalu merangsang pembentukan antitoksin dan melindungi mereka dari
reinfeksi.
H. Pencegahan komplikasi
Pasien difteri yang mengalami miokarditis dapat diobati dengan oksigen dan
dengan obat-obat untuk mencegah irama jantung yang tidak teratur. Sebuah alat pacu
jantung buatan mungkin diperlukan. Pasien dengan kesulitan menelan bisa diberi
makan melalui tabung dimasukkan ke dalam perut melalui hidung. Pasien yang tidakbisa bernapas biasanya memakai respirator mekanik.
I. Prognosa
Prognosis tergantung pada ukuran dan lokasi membran dan perawatan dini
dengan antitoksin, semakin lama menunda, semakin tinggi tingkat kematian. Para
pasien yang paling rentan adalah anak-anak di bawah usia 15 dan mereka yang
mengembangkan pneumonia atau miokarditis. Hidung dan difteri kulit jarang fatal.
J. Pencegahan
-
7/27/2019 bahan difteri
19/55
Pencegahan difteri memiliki empat aspek:
* Imunisasi
Universal imunisasi adalah cara paling efektif mencegah difteri. Kursus
standar imunisasi bagi anak-anak yang sehat adalah tiga dosis DPT (difteri-tetanus-
pertussis) persiapan diberikan antara dua bulan dan enam bulan usia, dengan dosis
penguat diberikan pada 18 bulan dan pada masuk ke sekolah. Orang dewasa harus
diimunisasi pada interval 10 tahun dengan Td (tetanus-difteri) toksoid. toksoid adalah
toksin bakteri yang diperlakukan untuk membuatnya tidak berbahaya tapi masih dapat
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit.
* Isolasi pasien
Pasien difteri harus diisolasi selama satu sampai tujuh hari atau sampai dua
budaya berturut-turut menunjukkan bahwa mereka tidak lagi menular. Anak-anak
ditempatkan dalam isolasi biasanya ditugaskan seorang perawat utama untuk
dukungan emosional.
* Identifikasi dan pengobatan kontak
Karena difteri adalah sangat menular dan memiliki masa inkubasi yang
singkat, anggota keluarga dan kontak lainnya pasien difteri harus mengamati gejala
dan diuji untuk melihat apakah mereka adalah pembawa. Mereka biasanya diberikan
antibiotik selama tujuh hari dan suntikan booster imunisasi difteri / tetanus toksoid.
* Pelaporan kasus kepada pihak berwenang kesehatan masyarakat
Pelaporan diperlukan untuk melacak potensi epidemi, untuk membantu
dokter mengidentifikasi strain spesifik difteri, dan untuk melihat apakah resistensi
terhadap penisilin atau eritromisin telah dikembangkan.
Sumber :
Chambers, Henry F. "Infectious Diseases:. Bakteri & klamidia" Pada saat ini Medis Diagnosa
dan Pengobatan, 1998, diedit oleh Stephen McPhee, et al., 37 ed. Stamford: Appleton
& Lange, 1997.
dari : http://dianalmira.blogspot.com/2013/04/askep-difteri-makalah-
-
7/27/2019 bahan difteri
20/55
kelompok.html
ASKEP DIFTERI MAKALAH KELOMPOK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh
bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan
nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek
Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak)
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu
hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi,
berkisar antara 37,8 C 38,9C. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi
kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3
Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi
umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin
protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan
satu-satunya cara pengendalian efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong
jenis penelitian analitik observasional yang bertujuan untuk mengetahui adanya
hubungan antara status imunisasi difteri dengan meningkatnya kasus difteri di
Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam
penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster beserta
cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Bagaimana anatomi fisiologi saluran nafas atas ?
-
7/27/2019 bahan difteri
21/55
1.2.2 Bagaimana definisi difteri ?
1.2.3 Bagaimana etiologi difteri ?
1.2.4 Bagaimana Patofisiologi difteri ?
1.2.5 Bagaimana klasifikasi difteri ?
1.2.6 Bagaimana Manifestasi difteri ?
1.2.7 Bagaimana Penatalaksanaan difteri ?
1.2.8 Bagaimana Pencegahan difteri ?
1.2.9 Bagaimana komplikasi difteri ?
1.2.10Bagaimana hasil penelitian difteri ?
1.2.11Bagaimana system pelayanan kesehatan difteri ?
1.2.12Bagaimana legal etis difteri ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mempelajari difteri
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi traktus respiratorius atas
b. Untuk mengetahui Definisi difteri
c. Untuk mengetahui etiologi difteri
d. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC difteri
e. Untuk mengetahui Klasifikasi difteri
f. Untuk mengetahui Manifestasi difteri
g. Untuk mengetahui Penatalaksanaan difteri
h. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic
i. Untuk mengetahui Pencegahan difteri
j. Untuk mengetahui komplikasi difteri
k. Untuk mengetahui hasil penelitian difteri
l. Untuk mengetahui system pelayanan kesehatan difteri
m. Untuk mengetahui legal etis difteri
BAB II
PEMBAHASAN
-
7/27/2019 bahan difteri
22/55
2.1 Anatomi dan Fisiologi saluran nafas atas
2.1.1 Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra.
Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah
epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju
ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah,
otot faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu
tulang tenggorokan untuk mamalia.2
a. Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak
di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan
pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh
saraf fasilais. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel
skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum
oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.2
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar
maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan
dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi
premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai
pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai
permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan
bawah dikenal dengan trigonum retromolar.2
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian
besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk
faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole
menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan
menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian
dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi
frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut
menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada
beberapa pasien.2
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat
digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf
-
7/27/2019 bahan difteri
23/55
hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf
glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.2
b. Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi,
kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong
fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di
bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,
sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring,
orofaring dan laringofaring (hipofaring).2
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior,
adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius
kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur
ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli
palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius,
masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar
hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi
oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.2
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan
tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus
faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya
orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.2
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan
otot:
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring
-
7/27/2019 bahan difteri
24/55
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan
tidak bersilia.2
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh
karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.2
2. Palut Lendir (Mucous Blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk
menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini
mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.2
3. Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga
dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari
otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan
menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan
makanan ke dalam cabang trakeobronkial.2
4. Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan
cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.2
5. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik.
Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring
kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).2
6. Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar
getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran
-
7/27/2019 bahan difteri
25/55
limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah. 2
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa
rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba
eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.2
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2
a. Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang
akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.2
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang
sebena-benarnya.2
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya.2
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer.
-
7/27/2019 bahan difteri
26/55
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada
kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong
faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.2
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan.2
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina
ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis
dorsal.2
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus
tiroglosus.2
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan
dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.2
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah
lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus. 2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil
-
7/27/2019 bahan difteri
27/55
( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan
tersangkut disitu.2
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring
dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.2
2.1.2 Fisiologi
a.Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-
fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
1. Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut
ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap
ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang
sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah.
Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod
berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan
seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian
belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh
kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus
esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus
berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui
esofagus dan masuk ke lambung.2
2. Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-
mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-
-
7/27/2019 bahan difteri
28/55
sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu
bersamaan.2
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.2
2.2 Definisi
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh
bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan
nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek
Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak)
Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman
Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu
Kesehatan Anak)
2.3 Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan
langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan
sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan
palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf
cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik
dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran
mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid
saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-
kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
-
7/27/2019 bahan difteri
29/55
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler,
basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular,
berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya
dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravisialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi
eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-
kadang ada bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia.
Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian
bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan suatu strain untuk
membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya
bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai
saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3
jam, lebih singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu
24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan
dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya
-
7/27/2019 bahan difteri
30/55
basil Hoffman, danCorynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-
abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada
otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah
0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50
dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak
pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat
kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7
hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10
menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang
telah mengering.
2.4 Pathofisiology dan WOC
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA
yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan
cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan
pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif)
-
7/27/2019 bahan difteri
31/55
+ H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan
akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran
yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel.
Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan. (1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan
penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam
tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam
10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap
hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut
pada ginjal. (4)
2.4 Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a) Infeksi ringan bilapseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
b) Infeksi sedang bilapseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
-
7/27/2019 bahan difteri
32/55
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung),paralisis(kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan
pasien, yaitu:
a) Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati
akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b) Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c) Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d) Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip
sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun
tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung
tidak terasa apa-apa.
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa
inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8
hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung,
misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara
37,8 C 38,9C. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan
sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3
Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle,
uvula. Mula-mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal,
abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke
dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan
dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika diangkat secara paksa
menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak
-
7/27/2019 bahan difteri
33/55
membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada
hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3
Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan
menghilang dan membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk
Bullneck atau malignant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala gejala yang lebih
berat dan membrane secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung.
Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar
leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga ke telinga yang lain
dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
a. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak
putihkotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas.
Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ).
Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang
timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari
pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian
tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
b. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.4
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Isolasi dan karantina
Penderita di isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah
masa akut terlampoi. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana:
a) Biakan hidung dan tenggorok
b) Seyogyanya dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)
c) Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.3
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diftery.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
-
7/27/2019 bahan difteri
34/55
Bila kultur + / SCHICK test - : pengobatan karier
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery + penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif). 3
2.6.2 Pengobatan
a. Tindakan Umum
1. Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
2. Jenis Tindakan :
a) Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b) Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi,
untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung
jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot
faring).
c) Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma,
laksansia,
d) stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
e) Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
f) Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
g) Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
h) Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
1. Berikan Oksigen
2. Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut
Jackson :
i) Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
j) Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
k) Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
l) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga,
lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
b. Tindakan Spesifik
1. Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
-
7/27/2019 bahan difteri
35/55
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
2. Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
a) 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil
secara unilateral/bilateral.
b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil,
meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring
dan faring,
komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam),
lokasi dimana saja
80.000-120.000 IV
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara
melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam
(sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx
anafilaktik ini maka harus dilakukan :
1. Uji Kepekaan
a. Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan
sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
b. Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg
BB im,
maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
c.
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
-
7/27/2019 bahan difteri
36/55
a) Tes kulit
a. SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah
15-20 menit.
b. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
b) Tes Mata
1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak
mata bagian bawah
1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat
setelah 15 20 menit kemudian
Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single
dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-
lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9%
dengan dosis sebagai berikut:
0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik
segera berikan
adrenalin 1:1000.
2. Antibiotik
a. Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari
b. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid
a. Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
b. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
c. Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. Schick test
-
7/27/2019 bahan difteri
37/55
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini
tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak
mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah
beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji
schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin
yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin
yang akan menghilang dalam 72 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada
urin terdapat albumin
ringan.
2.8 Komplikasi
1. Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah
hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan
(psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran
ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan
lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi
seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis
muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal
jantung kongestif dan kematian mendadak.
3.Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di
mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf
pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika
racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini
dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.
-
7/27/2019 bahan difteri
38/55
2.9 Pencegahan
a. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
b. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama
7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka
penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka
diberi imunisasi terhadap difteri.
c. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian
imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan.
Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6
tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3
dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan
menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus
dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi
yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai
kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml
tiap kali pemberian.
Cara Pencegahan
1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari
difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan
anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan
imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).
Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular
pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin
yang mengandung whole cell pertusis (DTP). Vaksin yang
mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen
whole cell pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib)
-
7/27/2019 bahan difteri
39/55
saat ini juga telah tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di
Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadw