Difteri Word

47
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Hal ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam rendah, dan suatu pseudomembrane pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit menular yang menular melalui kontak fisik langsung atau terhirup droplet dari napas individu yang terinfeksi. Difteri umumnya telah diberantas di negara-negara industri dan beberapa negara berkembang. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi 1

description

pengertian difteri

Transcript of Difteri Word

Page 1: Difteri Word

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,

Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di

negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau

5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular

yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

Difteri adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Hal ini ditandai dengan sakit

tenggorokan, demam rendah, dan suatu pseudomembrane pada tonsil, faring, dan / atau rongga

hidung. Difteri adalah penyakit menular yang menular melalui kontak fisik langsung atau

terhirup  droplet dari napas individu yang terinfeksi. Difteri umumnya telah diberantas di negara-

negara industri dan beberapa negara berkembang.

Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan

penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan

dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman

difteri menurun dengan drastis.

Penyebaran atau penularan bakteri ini melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula

melalui benda atau makanan yang terkontaminasi, dan yang sering terjangkit penyakit ini adalah

anak-anak. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,

konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan

sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada

tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak

dengan penderita maupun carrier. 2

1

Page 2: Difteri Word

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir

biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6

bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti

mengurangi insidensi penyakit tersebut. 5

Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang terdapat pada

daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan

berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil. Perdarahan

dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan membran.

Diagnosa dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi

epidemic difteri. Sediaan apus nasofaring dan tonsil diperoleh dan diletakkan dalam medium

transport yang kemudian dibiakkan pada agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang

diduga kemudian diuji untuk toksigenitas.1

Penanganan penyakit terdiri dari dua fase : (1) Penggunaan antitoksin spesifik dan (2)

eliminasi organisme penyebab dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, sebaiknya dilakukan

uji sensitivitas terhadap serum.

Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan membutuhkan

trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan peradangan dapat menyebar

ke telinga, menyebabkan otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan

pneumonia.

I.2. TUJUAN

Setelah mempelajari makalah ini diharapkan dapat mengetahui tinjauan pustaka dari difteri

ini sehingga nantinya jika menemui kasus di tempat praktek dapat melakukan tata laksana yang

baik mengenai penyakit tersebut dan penyakit lain pada telinga, hidung, dan tenggorok.

2

Page 3: Difteri Word

BAB II

ANATOMI, FISIOLOGI TENGGOROKAN

II.1. ANATOMI

Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring

dan laring.Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan

dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan

batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.Bibir dan pipi terutama

disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion

berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian

dalam dan gigi adalah vestibulum oris.

Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal prosesus

nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk oleh

gabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah belakang

tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan terutama

berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan cabang korda

timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf

glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari

miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh

sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf penting. Duktus

sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.2

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu

kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di

bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi

vertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,

3

Page 4: Difteri Word

ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring

dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan esophagus.

Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas centimeter; bagian

ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding farinf dibentuk oleh (dari dalam

keluar) selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring ( hipofaring).2

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian

bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka

kearah depan kehidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap

naso faring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang

disebut fosa rosentmuler. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum

dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.

Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam

kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arcus faring

anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh

otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua

dipersarafi oleh pleksus faringeus.2

Vaskularisasi.

Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari

cabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine superior.2

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.

Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis.

Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar

untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang

n.glossofaringeus.2

4

Page 5: Difteri Word

Kelenjar Getah Bening

Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran superior, media dan inferior.

Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah beninhg

servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening Jugulodigastrik dan

kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening

servikal dalam bawah.2

Atap nasopharynx sesuai dengan dasar dari corpus ossis sphenoidalis yang mengandung

sinus sphenoidalis. Batas depan dari nasopharynx adalah choana yang merupakan muara dari

cavum nasi. Dinding belakangnya sesuai dengan vertebra sevikalis I dan II. Batas bawahnya

dibentuk oleh palatum molle dan rongga nasofaring terpisah dari orofaring pada waktu menelan

oleh kontraksi otot-otot palatum malle (m.tensor veli palatini dan m.levator veli palatini)

bersama dengan m.constrictor faringis superior.

Nasofaring relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan struktur seperti adenoid,

jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan ressesus faring yang disebut fossa

Rosenmuller. Kantong Rathke yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri.

Torus tubarius merupakan suatu refleksi mukosa faring, di atas penonjolan kartilago tuba

eustachius, koana, foramen jugulare yeng dilalui oleh n. Glosofaring, n.vagus, dan n.asecorius

spinal saraf cranial dan v. jugularis intema, bagian atas petrosus os temporalis dan foramen

laserum serta muara tuba eustachius.2

Gambar 2: anatomi faring dan stuktur sekitarnya

5

Page 6: Difteri Word

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya

adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus

limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di

bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.(2,4)

Gambar 3: Cincin Waldeyer

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama

dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu

segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun

mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus.

Jaringan adenoid terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa, yang menunjang massa limfoid.

Jaringan ini terisi pembuluh darah dan penbuluh limfe, sedangkan di beberapa tempat terdapat

kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa yang bermuara kearah permukaan. Kelenjar

mukosa sering terdapat di dalam adenoid pada permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan

ikat halus terdapat kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid , bergabung menjadi jaringan

6

Page 7: Difteri Word

limfoid yang membentuk adenoid. (2)

Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama

ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fossa Rosenmuller dan

orifisium tuba eustachius.

Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai

ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi

Gambar 4 dan 5: adenoid dan letaknya

Struktur anatomis yang penting dalam klinik :

Pada dinding lateral nasofaring di belakang concha nasi inferior terdapat muara dari tuba

auditiva yang disebut ostium tubae yang dibatasi di dorsal dan kranialnya oleh tonjolan yang

disebabkan oleh m.levator veli palatini yang melekat pada cartilago tubae auditiva dan disebut

torus tubarius atau levatorwurst. Pada bayi muara tuba ini terletak setinggi dasar cavum nasi

sehingga selalu dilewati sekret hidung yang mengalir ke nasofaring karena itu mudah teejadi

infeksi telinga tengah melalui tuba ini pada bayi yang pilek.(2)

Di dorsal torus tubarius terdapat lekukan ke lateral dari rongga nasofaring yang didebut fossa

Rosenmuller (recessus faringeus), jaringan limfoid di sekitar muara tuba dan di fossa

Rosenmuller ini disebut tonsil tubaria. Sering terjadi pendangkalan fossa ini olch pertumbuhan

tumor ganas nasofaring. (2)

Pada pertemuan antara atap dan dinding dorsal nasofaring terdapat adenoid (tonsillla faringeal)

yang terdiri dari jaringan limfoid berbentuk lipatan-lipatan vertikal. (2)

Pada bagian atas dari dinding dorsal ini kadang-kadang ada suatu cekungan atau kantong yang

disebut bursa faringeal yang jinak meradang menyebabkan penyakit Thornwaldt (bursitis

nasofaringeal) dengan gejala utama postnasal discharge. (2)

7

Page 8: Difteri Word

II. 2. FISIOLOGI

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk

artikulasi.

Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan limfoid bersama

dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting

system pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman

mikroorganisme dan molekul asing.2

8

Page 9: Difteri Word

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DEFINISI

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Infeksi

biasnya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan

telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik, efek sistemik terutama karena

eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.3

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri.

Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa

laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran

nafas.

III.2. ETIOLOGI

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae ( basil Klebs-Loeffler) merupakan

basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang

pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung

penghambat tertentu yang menghambat pertumbuhan organism lain (telurit).koloni-koloni api

corneybacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loffler.

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak

bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan

dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan

palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif

dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar

darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.

diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan

9

Page 10: Difteri Word

media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat

konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada

medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat

hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,

sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara

fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. 4

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun

dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen

dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada

seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas

C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,

toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)

atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi

polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000

dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)

dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau

memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh

C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. 1

Pada media telurit dapat dibedakan tiga tipe koloni:

a.Koloni nitis yang halus, bewarna hitam dan cembung

b. Koloni gafis yang bewarna kelabu dan setengah kasar

c.Koloni intemedius berukuran kecil,halus serta memiliki pusat bewarna hitam.

10

Page 11: Difteri Word

Gambar Sel. Corynebacterium,   penampilan ini disebabkan oleh adanya inklusi polifosfat

yang disebut butiran metachromatic. Perhatikan juga susunan sel "karakteristik huruf Cina" 

Tidak semua orang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung

pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah

dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes schick.

III.3. EPIDEMIOLOGI

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok serta

pepenggunaan tosoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi pada individu-individu yang

berusia kurang dari 15 tahun ( yang tidak mendapatkan imunisasi primer ). Bagaimanapun , pada

setiap insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering

terjadi , mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang

tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas..Kematian

umumnya terjaddi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.

III.4. PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman

dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel,

kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman

mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD),

11

Page 12: Difteri Word

kemudian mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar

ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh

manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Sehingga sintesa protein terputus

karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang

rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan

membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah

infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran

yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari

pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya

menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas

sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah

sehingga terjadi intoleransi aktifitas.8

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2

transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini

akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan

biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan

transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan

enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan

selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui

proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2

yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian

polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah

kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan

nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin

banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu

membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang

terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa

melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa

penyembuhan. 1

12

Page 13: Difteri Word

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya

Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas.

Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau

cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada

setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada

toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah

melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,

manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok

adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada

jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,.

Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak

neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala

hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. 4

III.5. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin

yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya

2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu.

Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan,

panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya

hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3

Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-

mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung

jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai

batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika

diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya

tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-

hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3

13

Page 14: Difteri Word

Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan

membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri.

Bentuk ini timbul dengan gejala – gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi

faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai

nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga

ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3

Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

a. Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,

badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.

b. Gejala local, yang tamapak

berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putihkotor yang makin lama makin

meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada

dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini

infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya

14

Page 15: Difteri Word

sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari

jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur

darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas

ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.

c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan

kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.4

III.6. KLASIFIKASI

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :

- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala

hanya nyeri menelan.

- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang

rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi

seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis

(radang ginjal).

Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri

berdasarkan lokasi anatomi adalah:

1.Nasal diphtheria

2.Tonsillar [faucial] diphtheria

3.Pharyngeal diphtheria

4.Laryngeal atau laryngotracheal diphtheriadan

15

Page 16: Difteri Word

5.Nonrespiratory diphtheria.7

Nasal diphtheria

Gejala permulaan dari nasal diphtheria sukar dibedakan dari commoncold. Tanda

karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti gejala lain. Demam bila

ada biasanya rendah.

Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous, pada

beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal dari salah satu

lubang hidung ataupun dari keduanya .Lama kelamaan sekresi hidung ini bisa menjadi

mucopurulent dan dijumpai exkoriasi pada lobang hidung sebelah luar dan bibir bagian atas,

terlihat seperti impetigo.

Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane yang putih pada sekat

hidung. Karena absorpsi toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala hanya ringan

tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan

berlangsung untuk beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.

Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.3

16

Page 17: Difteri Word

Tonsillar dan pharyngeal diphtheria

Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda, malas, anorexia, sakit tenggorokan,

dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau membrane dijumpai pada

daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membran, yang bervariasi dari hanya melibatkan

sebagian dari tonsil sampai menjalar ke kedua tonsil, uvula, palatum molle dan dinding dari

faring. Membran ini rapuh, lengket dan berwarna putih atau abu-abu, dan bila dijumpai

perdarahan bisa berwarna hitam. Pengangkatan dari membrane akan mudah menimbulkan

perdarahan.

17

Page 18: Difteri Word

Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran kelenjar, cervical adenitis dan

periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan disebut dengan"bullneck".

Berat ringannya penyakit tergantung pada berat tidaknya toxemia. Pada keadaan ini

temperature bisa normal atau sedikit meninggi..

Pada kasus yang ringan, membrane akan lepas pada hari ke-7 sampai hari ke-10, dan

penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus yang sangat berat,

ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toxemia, yaitu; kelemahan yang amat

sangat, pucat sangat menonjol, nadi halus dan cepat,stupor, koma dan meninggal dalam 6-10

hari. Pada keadaan penyakit yang sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya

sering diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis.2

Laryngeal diphtheria

Laryngeal diphtheria lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal diphtheria, jarang

sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya demam, suara serak dan batuk.

Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh membrane menimbulkan gejala; inspiratory stridor,

retraksi suprasternal, supra clavicular dan subcostal.

Pada keadaan yang berat laryngeal diphtheria belanjut sampai ke percabangan

tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh pemberian

antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membrane dikeluarkan dengan batuk pada hari ke- 6-10.

Pada kasus yang sangatberat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat, diikuti dengan adanya

anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianose, kelemahan yang sangat, koma dan berakhir

18

Page 19: Difteri Word

dengan kematian. Kematian yang mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang

disebabkan oleh karena penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membrane yang lepas.

Gambaran klinik dari laryngeal diphtheria, serupa dengan gambaran mekanikal obstruksi

dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membran, dan dijumpai kongesti, oedem,

sedang tanda toxemia adalah minimal pada saat pemulaan terinfeksinya laring,hal ini disebabkan

karena absorpsi dari toxin sangat kecil sekali di daerah laring. Terlibatnya laring biasanya

bersamaan dengan tonsil dan pharyngeal diphtheria, dengan kosekwensi gejala klinik adalah

gambaran obstruksi dan toxemia yang berat,yang dijumpai secara serentak.9

Tipe difteri yang jarang

Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain diluar tempat yang lazim [saluran

pernafasan] yaitu pada kulit,conjunctiva, auricular dan vulvovaginal.

Pada cutaneous diphtheria, kelainan yang terjadi adalah khas, berbentuk ulkus, dengan

batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membran.

Pada conjunctival diphtheria, yangmula-mula terlibat adalah kelopak mata, dimana kelopak

mata menjadi merah, cedem dan dijumpai membran.

Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan yang purulent

yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk ulkus yang mengelompok.8

19

Page 20: Difteri Word

III.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Schick test

Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk

diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini

digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah

diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel

pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer

antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah

kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada

tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang

tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan

menghilang dalam 72 jam.

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin

ringan.

Pemeriksaan Diagnostik

• Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis, penurunan

jumlah eritrosit dan kadar albumin.

• Pada urine terdapat albuminuria ringan.

PENULARAN

Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah

menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya

terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain

itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.

Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan

20

Page 21: Difteri Word

melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak

dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.8

III. 8. DIAGNOSIS

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala

klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan

dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnose dapat

ditegakkan dengan melihat adanya membrane yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip

seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.8

Diagnosa banding

Nasal diphtheria, diagnosa banding adalah

Common cold

Bila sekret yang dihasilkan serosanguinous atau purulent harus dibedakan dari:

Benda asing dalam hidung

Sinusistis

Adenoiditis

Congenital syphilis.7

Tonsillar atau dan pharyngeal diphtheria,

diagnosa banding adalah:

Pharyngitisolehstreptococcus

Pada keadaan ini biasanya diikuti dengan rasa sakit yang hebat pada saat menelan, temperature

tubuh yang tinggi,dan membrane yang tidak lengket pada lesi.

Infeksimononucleosis

Biasanya diikuti lymphadenopathy dan splenomegali

Blood dyscrasia

Post tonsillectomy faucial membranous.7

21

Page 22: Difteri Word

Laryngeal diphtheria, diagnosa banding adalah:

Spasmodik dan non spasmodik croup

Acute epiglotitis

Laryngo-tracheo bronchitis

Aspirasi benda asing .

Pharyngeal dan retropharyngeal abscess

Laryngeal papiloma

Hemangioma atau lymphangioma.7

III. 9. PENGOBATAN

Pengobatan Dan Penatalaksanaan.

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.

diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

A. Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2

kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat

tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat,

makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita

diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan

EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di

jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan

nebulizer. 3

22

Page 23: Difteri Word

B. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan

pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.

Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat

sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /

Intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular /

Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular /

Intravena

Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena

Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh

karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan

larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml

ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20

menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan

serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.

Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan

23

Page 24: Difteri Word

lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka).

Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara

intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama

sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti

tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau

100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping

obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula

perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). 1

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh

bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada

kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,

eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap

eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang

dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada

penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.

Dosis :

Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau

bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.

Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam

4 dosis.

Amoksisilin.

Rifampisin.

Klindamisin.

24

Page 25: Difteri Word

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari.

Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-

turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai

terapi. 8

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.

Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala

obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat

penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata

tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14

hari.

C. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit

yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan,

iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan

trakeostomi.

D. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative

tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan

adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari

selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. 4

25

Page 26: Difteri Word

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi

dasar diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari

selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau

eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan

status imunisasi

PENCEGAHAN

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan

tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,

kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan

karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi

terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan

demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau

menderita difteri ringan. 5

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya

dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat

toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran

kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid

difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit

toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk

dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan

reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan

26

Page 27: Difteri Word

untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup

imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang

semakin tinggi.

Rencana (Jadwal) :

Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri

(D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah

bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.

Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan

pada umur 4 tahun).

Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang

mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan

dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.

Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus

mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.

Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis

0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,

kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. 4

Test Kekebalan:

Schick test: Menentukan kerentanan ( suseptibilitas) terhadap diftery. Tes dilakukan dengan

menyuntikkan toksin diftery (dilemahkan) secara intra kutan bila tidak terdapat kekebalan anti

toksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga tes menjadi positif.3

Moloney Test: Menentukan sensitifitas terhadap produk kuman diftery. Tes dilakukan dengan

memberikan 0,1 ml larutan fluid diftery toksoid secara suntikan intra dermal. Reaksi positif bila

dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa pernah terpapar pada basil difteri

sebelunnya sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas.

27

Page 28: Difteri Word

III. 10. KOMPLIKASI

Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin,

maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain,

obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin

terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. 3

Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya sehingga

menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh

kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan

infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih

waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. 7

Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh

karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus septikemi yang

jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan

kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah

tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis

piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-

anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai

kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. 5

Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan

50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan

penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi

secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan

pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3

sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall 1minggu bila

berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-

6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung

atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang

28

Page 29: Difteri Word

ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal

atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi

atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara

tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan

keparahan mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati

dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan

hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang

lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.

Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada

mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering

terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan

fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan

resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan

menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,

pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3

bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya

refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih sering.

Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-

tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis

diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah

mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau

gagal jantung. 1

Jenis tindakan terhadap komplikasi :

1. Tirah baring minimal 2 minggu

2. Hindari kerja jantung yang berlebihan

3. Kortikosteroid : dexametason 1 mg/kgBB/hari secara IV

4. Digitalis diberikan secara hati-hati untuk mengatasi payah jantung

5. Atasi renjatan yang timbul dengan :

- Pemberian cairan IVFD (tergantung derajat renjatan)

- Berikan obat-obat inotropik (+) : dopamine 5-20 kg/BB/menit per drips.

29

Page 30: Difteri Word

- Permberian oksigen

6. Bila perlu pasang pacemaker untuk mengatasi aritmia yang berat.

PEMULANGAN PENDERITA

a. Bila kelainan klinis dan fisis telah hilang

b. Biakan 2 kali berturut-turut negatif (bila keadaan memungkinkan).

c. EKG normal 3 kali berturut-turut.

d. Tidak ada kesulitan dalam pemberian makanan dan defekasi

e. Sebelum dipulangkan, penderita dan keluarganya yang serumah diberi vaksinasi dasar difteri

dan booster.4

III. 11. PROGNOSA

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status

imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. 8

Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,

keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4

tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat

disebabkan oleh karena :

(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,

(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,

(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya

akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung

yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia

amegakariositik dan leukositosis > 25.000 prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri

faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) 1

30

Page 31: Difteri Word

BAB IV

KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu

bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit

tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih

ada yang terkena penyakit ini.

Penyebab dari penyakit difteri ini adalah Corynebacterium diphteriae yang merupakan kuman

gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk

seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit

tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC.

Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring,

difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi

yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat

mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae

dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).

Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan

antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.

diphtheriae.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,

status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan

tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL

intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk

anak lebih dari 7 tahun.

31

Page 32: Difteri Word

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, GL. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES : Buku Ajar

Penyakit THT. Edisi Enam. EGC : Jakarta.

2. Dr. T.H.Rampengan, Sp. A (K) dan Dr. I.R. Laurentz, Sp.A. 1992. Penyakit Infeksi

Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18. Surabaya.

3. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2008. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI SMF ILMU

KESEHATAN ANAK Edisi III. Surabaya.

4. Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2001.

5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. 2001. BUKU KULIAH 2 ILMU

KESEHATAN ANAK. Jakarta.

6. Soepardi E., Iskandar N. 2004. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Edisi

Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

7. Sudoyo, Aru, dkk. 2004. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Jilid III Edisi Kelima.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta

8. http.www.medicastore.com

9. http.www.pediatric.com

10. http://www.salz-medicine.blogspot.com/2008/09/community-medicine

11. http://www.manipulative-people.com/on/diphtheria-symptoms

12. http://nursing-resource.com/tag/mode-of-transmission-of-diphtheria

32