Difteri Word
-
Upload
hernita-situmorang -
Category
Documents
-
view
180 -
download
10
Embed Size (px)
description
Transcript of Difteri Word

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau
5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Difteri adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Hal ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam rendah, dan suatu pseudomembrane pada tonsil, faring, dan / atau rongga
hidung. Difteri adalah penyakit menular yang menular melalui kontak fisik langsung atau
terhirup droplet dari napas individu yang terinfeksi. Difteri umumnya telah diberantas di negara-
negara industri dan beberapa negara berkembang.
Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan
dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman
difteri menurun dengan drastis.
Penyebaran atau penularan bakteri ini melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi, dan yang sering terjangkit penyakit ini adalah
anak-anak. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan
sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada
tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak
dengan penderita maupun carrier. 2
1

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir
biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6
bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti
mengurangi insidensi penyakit tersebut. 5
Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang terdapat pada
daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan
berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil. Perdarahan
dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan membran.
Diagnosa dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi
epidemic difteri. Sediaan apus nasofaring dan tonsil diperoleh dan diletakkan dalam medium
transport yang kemudian dibiakkan pada agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang
diduga kemudian diuji untuk toksigenitas.1
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase : (1) Penggunaan antitoksin spesifik dan (2)
eliminasi organisme penyebab dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, sebaiknya dilakukan
uji sensitivitas terhadap serum.
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan membutuhkan
trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan peradangan dapat menyebar
ke telinga, menyebabkan otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan
pneumonia.
I.2. TUJUAN
Setelah mempelajari makalah ini diharapkan dapat mengetahui tinjauan pustaka dari difteri
ini sehingga nantinya jika menemui kasus di tempat praktek dapat melakukan tata laksana yang
baik mengenai penyakit tersebut dan penyakit lain pada telinga, hidung, dan tenggorok.
2

BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI TENGGOROKAN
II.1. ANATOMI
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring
dan laring.Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan
dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan
batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.Bibir dan pipi terutama
disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion
berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian
dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal prosesus
nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk oleh
gabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah belakang
tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan terutama
berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan cabang korda
timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf
glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari
miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh
sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf penting. Duktus
sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.2
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di
bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
3

ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring
dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas centimeter; bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding farinf dibentuk oleh (dari dalam
keluar) selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring ( hipofaring).2
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian
bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka
kearah depan kehidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap
naso faring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang
disebut fosa rosentmuler. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum
dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam
kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arcus faring
anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh
otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua
dipersarafi oleh pleksus faringeus.2
Vaskularisasi.
Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari
cabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine superior.2
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis.
Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar
untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang
n.glossofaringeus.2
4

Kelenjar Getah Bening
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran superior, media dan inferior.
Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah beninhg
servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening Jugulodigastrik dan
kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening
servikal dalam bawah.2
Atap nasopharynx sesuai dengan dasar dari corpus ossis sphenoidalis yang mengandung
sinus sphenoidalis. Batas depan dari nasopharynx adalah choana yang merupakan muara dari
cavum nasi. Dinding belakangnya sesuai dengan vertebra sevikalis I dan II. Batas bawahnya
dibentuk oleh palatum molle dan rongga nasofaring terpisah dari orofaring pada waktu menelan
oleh kontraksi otot-otot palatum malle (m.tensor veli palatini dan m.levator veli palatini)
bersama dengan m.constrictor faringis superior.
Nasofaring relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan struktur seperti adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan ressesus faring yang disebut fossa
Rosenmuller. Kantong Rathke yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri.
Torus tubarius merupakan suatu refleksi mukosa faring, di atas penonjolan kartilago tuba
eustachius, koana, foramen jugulare yeng dilalui oleh n. Glosofaring, n.vagus, dan n.asecorius
spinal saraf cranial dan v. jugularis intema, bagian atas petrosus os temporalis dan foramen
laserum serta muara tuba eustachius.2
Gambar 2: anatomi faring dan stuktur sekitarnya
5

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya
adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus
limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di
bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.(2,4)
Gambar 3: Cincin Waldeyer
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama
dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu
segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Jaringan adenoid terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa, yang menunjang massa limfoid.
Jaringan ini terisi pembuluh darah dan penbuluh limfe, sedangkan di beberapa tempat terdapat
kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa yang bermuara kearah permukaan. Kelenjar
mukosa sering terdapat di dalam adenoid pada permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan
ikat halus terdapat kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid , bergabung menjadi jaringan
6

limfoid yang membentuk adenoid. (2)
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fossa Rosenmuller dan
orifisium tuba eustachius.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi
Gambar 4 dan 5: adenoid dan letaknya
Struktur anatomis yang penting dalam klinik :
Pada dinding lateral nasofaring di belakang concha nasi inferior terdapat muara dari tuba
auditiva yang disebut ostium tubae yang dibatasi di dorsal dan kranialnya oleh tonjolan yang
disebabkan oleh m.levator veli palatini yang melekat pada cartilago tubae auditiva dan disebut
torus tubarius atau levatorwurst. Pada bayi muara tuba ini terletak setinggi dasar cavum nasi
sehingga selalu dilewati sekret hidung yang mengalir ke nasofaring karena itu mudah teejadi
infeksi telinga tengah melalui tuba ini pada bayi yang pilek.(2)
Di dorsal torus tubarius terdapat lekukan ke lateral dari rongga nasofaring yang didebut fossa
Rosenmuller (recessus faringeus), jaringan limfoid di sekitar muara tuba dan di fossa
Rosenmuller ini disebut tonsil tubaria. Sering terjadi pendangkalan fossa ini olch pertumbuhan
tumor ganas nasofaring. (2)
Pada pertemuan antara atap dan dinding dorsal nasofaring terdapat adenoid (tonsillla faringeal)
yang terdiri dari jaringan limfoid berbentuk lipatan-lipatan vertikal. (2)
Pada bagian atas dari dinding dorsal ini kadang-kadang ada suatu cekungan atau kantong yang
disebut bursa faringeal yang jinak meradang menyebabkan penyakit Thornwaldt (bursitis
nasofaringeal) dengan gejala utama postnasal discharge. (2)
7

II. 2. FISIOLOGI
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk
artikulasi.
Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan limfoid bersama
dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting
system pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman
mikroorganisme dan molekul asing.2
8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. DEFINISI
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Infeksi
biasnya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan
telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik, efek sistemik terutama karena
eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.3
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri.
Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa
laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran
nafas.
III.2. ETIOLOGI
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae ( basil Klebs-Loeffler) merupakan
basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang
pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung
penghambat tertentu yang menghambat pertumbuhan organism lain (telurit).koloni-koloni api
corneybacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loffler.
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan
dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan
palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif
dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar
darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan
9

media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat
konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada
medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat
hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. 4
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun
dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen
dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada
seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas
C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)
atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi
polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh
C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. 1
Pada media telurit dapat dibedakan tiga tipe koloni:
a.Koloni nitis yang halus, bewarna hitam dan cembung
b. Koloni gafis yang bewarna kelabu dan setengah kasar
c.Koloni intemedius berukuran kecil,halus serta memiliki pusat bewarna hitam.
10

Gambar Sel. Corynebacterium, penampilan ini disebabkan oleh adanya inklusi polifosfat
yang disebut butiran metachromatic. Perhatikan juga susunan sel "karakteristik huruf Cina"
Tidak semua orang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes schick.
III.3. EPIDEMIOLOGI
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok serta
pepenggunaan tosoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi pada individu-individu yang
berusia kurang dari 15 tahun ( yang tidak mendapatkan imunisasi primer ). Bagaimanapun , pada
setiap insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering
terjadi , mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang
tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas..Kematian
umumnya terjaddi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.
III.4. PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman
dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel,
kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman
mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD),
11

kemudian mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar
ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Sehingga sintesa protein terputus
karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang
rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan
membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah
infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran
yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari
pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya
menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas
sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah
sehingga terjadi intoleransi aktifitas.8
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2
transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan
biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan
transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui
proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2
yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. 1
12

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas.
Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau
cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada
setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,.
Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. 4
III.5. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin
yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya
2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu.
Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan,
panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3
Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-
mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung
jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika
diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya
tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-
hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3
13

Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan
membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri.
Bentuk ini timbul dengan gejala – gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi
faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai
nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga
ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala local, yang tamapak
berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putihkotor yang makin lama makin
meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya
14

sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari
jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur
darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas
ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.4
III.6. KLASIFIKASI
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang
rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis
(radang ginjal).
Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri
berdasarkan lokasi anatomi adalah:
1.Nasal diphtheria
2.Tonsillar [faucial] diphtheria
3.Pharyngeal diphtheria
4.Laryngeal atau laryngotracheal diphtheriadan
15

5.Nonrespiratory diphtheria.7
Nasal diphtheria
Gejala permulaan dari nasal diphtheria sukar dibedakan dari commoncold. Tanda
karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti gejala lain. Demam bila
ada biasanya rendah.
Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous, pada
beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal dari salah satu
lubang hidung ataupun dari keduanya .Lama kelamaan sekresi hidung ini bisa menjadi
mucopurulent dan dijumpai exkoriasi pada lobang hidung sebelah luar dan bibir bagian atas,
terlihat seperti impetigo.
Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane yang putih pada sekat
hidung. Karena absorpsi toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala hanya ringan
tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan
berlangsung untuk beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.
Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.3
16

Tonsillar dan pharyngeal diphtheria
Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda, malas, anorexia, sakit tenggorokan,
dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau membrane dijumpai pada
daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membran, yang bervariasi dari hanya melibatkan
sebagian dari tonsil sampai menjalar ke kedua tonsil, uvula, palatum molle dan dinding dari
faring. Membran ini rapuh, lengket dan berwarna putih atau abu-abu, dan bila dijumpai
perdarahan bisa berwarna hitam. Pengangkatan dari membrane akan mudah menimbulkan
perdarahan.
17

Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran kelenjar, cervical adenitis dan
periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan disebut dengan"bullneck".
Berat ringannya penyakit tergantung pada berat tidaknya toxemia. Pada keadaan ini
temperature bisa normal atau sedikit meninggi..
Pada kasus yang ringan, membrane akan lepas pada hari ke-7 sampai hari ke-10, dan
penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus yang sangat berat,
ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toxemia, yaitu; kelemahan yang amat
sangat, pucat sangat menonjol, nadi halus dan cepat,stupor, koma dan meninggal dalam 6-10
hari. Pada keadaan penyakit yang sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya
sering diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis.2
Laryngeal diphtheria
Laryngeal diphtheria lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal diphtheria, jarang
sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya demam, suara serak dan batuk.
Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh membrane menimbulkan gejala; inspiratory stridor,
retraksi suprasternal, supra clavicular dan subcostal.
Pada keadaan yang berat laryngeal diphtheria belanjut sampai ke percabangan
tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh pemberian
antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membrane dikeluarkan dengan batuk pada hari ke- 6-10.
Pada kasus yang sangatberat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat, diikuti dengan adanya
anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianose, kelemahan yang sangat, koma dan berakhir
18

dengan kematian. Kematian yang mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang
disebabkan oleh karena penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membrane yang lepas.
Gambaran klinik dari laryngeal diphtheria, serupa dengan gambaran mekanikal obstruksi
dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membran, dan dijumpai kongesti, oedem,
sedang tanda toxemia adalah minimal pada saat pemulaan terinfeksinya laring,hal ini disebabkan
karena absorpsi dari toxin sangat kecil sekali di daerah laring. Terlibatnya laring biasanya
bersamaan dengan tonsil dan pharyngeal diphtheria, dengan kosekwensi gejala klinik adalah
gambaran obstruksi dan toxemia yang berat,yang dijumpai secara serentak.9
Tipe difteri yang jarang
Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain diluar tempat yang lazim [saluran
pernafasan] yaitu pada kulit,conjunctiva, auricular dan vulvovaginal.
Pada cutaneous diphtheria, kelainan yang terjadi adalah khas, berbentuk ulkus, dengan
batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membran.
Pada conjunctival diphtheria, yangmula-mula terlibat adalah kelopak mata, dimana kelopak
mata menjadi merah, cedem dan dijumpai membran.
Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan yang purulent
yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk ulkus yang mengelompok.8
19

III.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk
diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini
digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah
diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel
pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer
antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang
tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin
ringan.
Pemeriksaan Diagnostik
• Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis, penurunan
jumlah eritrosit dan kadar albumin.
• Pada urine terdapat albuminuria ringan.
PENULARAN
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah
menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya
terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain
itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan
20

melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak
dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.8
III. 8. DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala
klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan
dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnose dapat
ditegakkan dengan melihat adanya membrane yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip
seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.8
Diagnosa banding
Nasal diphtheria, diagnosa banding adalah
Common cold
Bila sekret yang dihasilkan serosanguinous atau purulent harus dibedakan dari:
Benda asing dalam hidung
Sinusistis
Adenoiditis
Congenital syphilis.7
Tonsillar atau dan pharyngeal diphtheria,
diagnosa banding adalah:
Pharyngitisolehstreptococcus
Pada keadaan ini biasanya diikuti dengan rasa sakit yang hebat pada saat menelan, temperature
tubuh yang tinggi,dan membrane yang tidak lengket pada lesi.
Infeksimononucleosis
Biasanya diikuti lymphadenopathy dan splenomegali
Blood dyscrasia
Post tonsillectomy faucial membranous.7
21

Laryngeal diphtheria, diagnosa banding adalah:
Spasmodik dan non spasmodik croup
Acute epiglotitis
Laryngo-tracheo bronchitis
Aspirasi benda asing .
Pharyngeal dan retropharyngeal abscess
Laryngeal papiloma
Hemangioma atau lymphangioma.7
III. 9. PENGOBATAN
Pengobatan Dan Penatalaksanaan.
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat,
makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita
diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di
jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer. 3
22

B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.
Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat
sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20
menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
23

lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka).
Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti
tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). 1
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada
kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,
eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada
penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau
bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam
4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
24

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari.
Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-
turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai
terapi. 8
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. 4
25

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan
status imunisasi
PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteri ringan. 5
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat
toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran
kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid
difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit
toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan
26

untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup
imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang
semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri
(D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah
bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.
Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis
0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. 4
Test Kekebalan:
Schick test: Menentukan kerentanan ( suseptibilitas) terhadap diftery. Tes dilakukan dengan
menyuntikkan toksin diftery (dilemahkan) secara intra kutan bila tidak terdapat kekebalan anti
toksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga tes menjadi positif.3
Moloney Test: Menentukan sensitifitas terhadap produk kuman diftery. Tes dilakukan dengan
memberikan 0,1 ml larutan fluid diftery toksoid secara suntikan intra dermal. Reaksi positif bila
dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa pernah terpapar pada basil difteri
sebelunnya sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas.
27

III. 10. KOMPLIKASI
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin,
maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain,
obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin
terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. 3
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya sehingga
menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan
infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih
waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. 7
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus septikemi yang
jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan
kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah
tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis
piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-
anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai
kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. 5
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan
50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan
penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi
secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan
pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3
sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall 1minggu bila
berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-
6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung
atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang
28

ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal
atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi
atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara
tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan
keparahan mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati
dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan
hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang
lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada
mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering
terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan
fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan
resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan
menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3
bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya
refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih sering.
Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-
tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis
diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau
gagal jantung. 1
Jenis tindakan terhadap komplikasi :
1. Tirah baring minimal 2 minggu
2. Hindari kerja jantung yang berlebihan
3. Kortikosteroid : dexametason 1 mg/kgBB/hari secara IV
4. Digitalis diberikan secara hati-hati untuk mengatasi payah jantung
5. Atasi renjatan yang timbul dengan :
- Pemberian cairan IVFD (tergantung derajat renjatan)
- Berikan obat-obat inotropik (+) : dopamine 5-20 kg/BB/menit per drips.
29

- Permberian oksigen
6. Bila perlu pasang pacemaker untuk mengatasi aritmia yang berat.
PEMULANGAN PENDERITA
a. Bila kelainan klinis dan fisis telah hilang
b. Biakan 2 kali berturut-turut negatif (bila keadaan memungkinkan).
c. EKG normal 3 kali berturut-turut.
d. Tidak ada kesulitan dalam pemberian makanan dan defekasi
e. Sebelum dipulangkan, penderita dan keluarganya yang serumah diberi vaksinasi dasar difteri
dan booster.4
III. 11. PROGNOSA
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. 8
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,
keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4
tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena :
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya
akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung
yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia
amegakariositik dan leukositosis > 25.000 prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri
faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) 1
30

BAB IV
KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu
bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit
tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih
ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah Corynebacterium diphteriae yang merupakan kuman
gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk
seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit
tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring,
difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi
yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae
dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan
antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.
diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan
tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL
intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk
anak lebih dari 7 tahun.
31

DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, GL. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES : Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi Enam. EGC : Jakarta.
2. Dr. T.H.Rampengan, Sp. A (K) dan Dr. I.R. Laurentz, Sp.A. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18. Surabaya.
3. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2008. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI SMF ILMU
KESEHATAN ANAK Edisi III. Surabaya.
4. Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2001.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. 2001. BUKU KULIAH 2 ILMU
KESEHATAN ANAK. Jakarta.
6. Soepardi E., Iskandar N. 2004. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Edisi
Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Sudoyo, Aru, dkk. 2004. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Jilid III Edisi Kelima.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta
8. http.www.medicastore.com
9. http.www.pediatric.com
10. http://www.salz-medicine.blogspot.com/2008/09/community-medicine
11. http://www.manipulative-people.com/on/diphtheria-symptoms
12. http://nursing-resource.com/tag/mode-of-transmission-of-diphtheria
32