laringitis difteri

35
BAB I PENDAHULUAN Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular. Penyakit ini disebabkan oleh toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. 1,2 Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur, Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa Timur dinyatakan berstatus kejadian luar biasa (KLB). Laringitis difteri biasanya merupakan perluasan dari faringitis difteri. Penderita dengan laringitis difteri sangat sesak karena edema 1

Transcript of laringitis difteri

Page 1: laringitis difteri

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular. Penyakit

ini disebabkan oleh toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan

pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.

Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae, dimana manusia

merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada

faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga.

Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efeksistemik terutama

karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.

Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak

dengan penderita maupun carrier.1,2

Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,

Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)

11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan

jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa

Timur dinyatakan berstatus kejadian luar biasa (KLB). Laringitis difteri biasanya

merupakan perluasan dari faringitis difteri. Penderita dengan laringitis difteri

sangat sesak karena edema jaringan lunak dan penyumbatan saluran pernapasan

dan bekuan nekrotik. Oleh karena banyaknya kasus laringitis yang terjadi, maka

penulis mencoba memaparkan referat mengenai laringitis difteri, dimulai dari

anatomi laring, pengertian, penyebab, gambaran klinis hingga penatalaksanaan.1,3

1

Page 2: laringitis difteri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan

suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi

vertebra servikalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya

relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-

kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. Batas-batas laring berupa

sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan dengan

hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan

berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra

servikalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring, serta

di sebelah anterior ditutupi oleh fasia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di

sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahioid, dan

lobus kelenjar tiroid.4,5

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan

beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang

permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak

oleh tendo dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah

kartilago epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata

dan kartilago tiroid.4-6

Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan

artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring

adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum

krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum

kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial,

ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokal yang

menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum

tiroepiglotika. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding

kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya.

2

Page 3: laringitis difteri

Tulang hioid dihubungkan dengan laring oleh membran tiroidea. Tulang ini

merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamen serta akan mengalami

osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.4,5

Gambar 1. Anatomi laring 5

Anatomi Bagian Laring Dalam

Kavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas pita

suara palsu dan inlet laring.

2. Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan

pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring

Morgagni.

3. Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi

bawah kartilago krikoidea. 4

3

Page 4: laringitis difteri

Beberapa bagian penting dari dalam laring:

1. Aditus laringeus merupakan pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di

anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung

kartilago kornikulata dan tepi atas otot aritenoideus.

2. Rima vestibuli merupakan celah antara pita suara palsu.

3. Rima glotis, di bagian depan merupakan celah antara pita suara sejati, di

belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

4. Valekula, terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,

dibentuk oleh plika glosoepiglotika medial dan lateral.

5. Plika ariepiglotika, dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang

berjalan dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago

kornikulata.

6. Plika piriformis (hipofaring), terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan

dalam kartilago tiroidea.

7. Insisura interaritenoidea merupakan suatu lekukan atau takik diantara

tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.

8. Vestibulum laring adalah ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membran

kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas prosesus vokalis kartilago

aritenoidea dan otot interaritenoidea.

9. Plika ventrikularis (pita suara palsu) merupakan pita suara palsu yang

bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glotis

dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir

dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.

10. Ventrikel laring Morgagni (sinus laringeus) adalah ruangan antara pita suara

palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu

divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan

dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa

kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati,

disebut apendiks atau sakulus ventrikel laring.

11. Plika vokalis (pita suara sejati), terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima

bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut

4

Page 5: laringitis difteri

intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus

vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.

Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervi laringeales

superior dan nervi laringeales inferior (nervi laringeales rekuren) kiri dan kanan.

1. Nervi laringeales superior.

Meninggalkan nervus vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung

ke depan dan medial di bawah arteri karotis interna dan eksterna yang

kemudian akan bercabang dua, yaitu cabang interna bersifat sensoris,

mempersarafi valekula, epiglotis, sinus piriformis dan mukosa bagian dalam

laring di atas pita suara sejati. Cabang eksterna bersifat motoris, mempersarafi

otot trikotiroid dan otot konstriktor inferior.

2. Nervi laringeales inferior (nervi laringeales rekuren).

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di

belakang artikulasio krikotiroidea. Nervus laringeus yang kiri mempunyai

perjalanan yang panjang dan dekat dengan aorta sehingga mudah terganggu.

Merupakan cabang nervus vagus setinggi bagian proksimal arteri subklavia

dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,

selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea

dan memberikan persarafan:

Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea

Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali otot trikotiroidea 4-6

Pendarahan

Laring mendapat perdarahan dari cabang arteri tiroidea superior dan inferior

sebagai arteri laringeus superior dan inferior.

1. Arteri laringeus superior

Berjalan bersama ramus interna nervus laringeus superior menembus

membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus

piriformis.

5

Page 6: laringitis difteri

2. Arteri laringeus inferior

Berjalan bersama nervus laringeus inferior masuk ke dalam laring melalui area

Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah otot konstriktor faringeus

inferior, di dalam laring beranastomosis dengan arteri laringeus superior dan

memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.

Gambar 2. Sistem arteri pada laring 5

Darah vena dialirkan melalui vena laringeus superior dan inferior ke vena tiroidea

superior dan inferior yang kemudian akan bermuara ke vena jugularis interna.4,5

Gambar 3. Sistem Vena pada Laring 5

6

Page 7: laringitis difteri

Sistem Limfatik

Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:

1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk

saluran yang menembus membran tiroidea menuju kelenjar limfe servikal

superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan nodus jugular

medius.

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,

nodus jugular medius, dan nodus jugular inferior.

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem

limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase

karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 4. Sistem limfatik pada laring 5

2.2. Fisiologi Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi

disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:

1. Fungsi fonasi

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara

dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya

interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh

adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya

ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring,

7

Page 8: laringitis difteri

dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai

cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada

dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita

suara sejati.

2. Fungsi proteksi.

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot

yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,

pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang

ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah

interaritenoid melalui serabut aferen nervus laringeus superior. Sebagai

jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke

depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur

ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus

piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi respirasi.

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga

dada dan otot krikoaritenoideus posterior terangsang sehingga kontraksinya

menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial

CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat

pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang

pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan

pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan

hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah

dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi sirkulasi.

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian

tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan

dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-

kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari

laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta.

Impuls dikirim melalui nervus laringeus rekurens dan ramus komunikans

8

Page 9: laringitis difteri

nervus laringeus superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring

dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

5. Fungsi fiksasi.

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,

misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi menelan.

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat

berlangsungnya proses menelan, yaitu pada waktu menelan faring bagian

bawah (otot konstriktor faringeus superior, otot palatofaringeus dan otot

stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan

kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian

makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring

menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran

pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh

epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup

aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral

menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi batuk.

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,

sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak

menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi

benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi

pada mukosa laring.

8. Fungsi ekspektorasi.

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha

mengeluarkan benda asing tersebut.

9. Fungsi emosi.

Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada

waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

9

Page 10: laringitis difteri

2.3 Pengertian Laringitis Difteri

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat

terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi

mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila

gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Laringitis difteri

adalah suatu peradangan laring karena infeksi Corynebacterium diphteriae.

Biasanya dimulai dengan invasi lokal diikuti nekrosis jaringan. Bakteri

batang gram positif ini akan memproduksi eksotoksin menyebabkan

timbulnya gambaran klinis.1,4

Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheriae yaitu tipe

garvis, intermedius dan mitis namun dipandang dari sudut antigenitas

sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan

mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin dapat menjelaskan

penyebab pada seorang pasien dapat mempunyai kolonisasi lebih dari satu

jenis Corynebacterium diphtheriae. Ciri khas Corynebacterium diphtheriae

adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik invivo maupun invitro,

toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin invivo pada marmut

(uji kematian) atau diperagakan invitro dengan teknik imunopresipitin agar

(uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase. Eksotoksin ini merupakan suatu

protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,

mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B

(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau

memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa

diproduksi oleh Corynebacterium diphtheriae yang terinfeksi oleh

bakteriofag yang mengandung toksigen.1,4

2.4 Patofisiologi

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit,

melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian

atas dan mulai memproduksi toksin yang menembus ke sekeliling serta

selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan

pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan

10

Page 11: laringitis difteri

pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari

penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang

mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini

akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai

dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini

merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A

ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase

(elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteri mula-mula menempel pada

membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan

masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses

NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid

ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak

berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,

dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi

kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan

jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.

Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan

terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat

berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung.

Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila

dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan

terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1,4

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder

dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan

yang edema dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi

bisa terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-

bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan

pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria

hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel,

tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam

sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi

11

Page 12: laringitis difteri

sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-

14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan

patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada

bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,

infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien

tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak

neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati

biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal

dan nekrosis tubular akut pada ginjal.1,4

2.5 Manifestasi Klinis

Penularan terutama melalui saluran napas dengan gejala bervariasi dari

asimtomatis (dan penderita bertindak sebagai karier) sampai berat yang

ditandai dengan obstruksi jalan nafas atau adanya komplikasi (miokarditis

yang dapat menyebabkan complete heart block, neuritis (paralisis palatum

mole, paralisis okular, paralisis diafragma, atau paralisis ekstremitas), gagal

ginjal). Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat

perlahan-lahan dimulai dengan gejala yang tidak spesifik seperti demam, lesu,

nafsu makan menurun sampai kemudian muncul gejala klinis yang khas

diantaranya; sekret hidung bercampur darah (serosanguinus) dan kemudian

mukopurulen, membran putih keabu-abuan di tonsil/faring/laring

(psudomembran) yang bila dilepaskan akan mengakibatkan perdarahan,

limfadenitis servikalis dan submandibula disertai dengan edema jaringan

lunak leher (bullneck), serta stridor akibat obstruksi jalan nafas atas.1,3

Gejala klinis laringitis difteri sukar dibedakan dari tipe sindrom Croup

yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan

batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,

interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang

menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,

membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila laringitis

12

Page 13: laringitis difteri

difteri terjadi sebagai perluasan dari faringitis difteri, maka gejala yang

tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.2,3

2.6 Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian

antitoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus

ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil

mikrobiologi. Karena preparat hapusan kurang dapat dipercaya, sedangkan

untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat

adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun

untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi

Corynebacterium diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler

dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes

Elek). Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk

difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.

Namun, membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,

warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai

dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila

diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke

uvula.1,2

2.7 Diagnosis Banding

Beberapa penyakit menunjukkan gejala yang mirip dengan laringitis difteri.

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan, dokter perlu mencantumkan

diagnosis banding yang akan disingkirkan melalui pemeriksaan penunjang.

Gejala laringitis difteri menyerupai laringitis lain, dapat menyerupai

infectious croup yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada

laring, dan benda asing dalam laring. Tanda patognomonik untuk laringitis

difteri adalah adanya pseudomembran berwarna abu-abu kehitaman. Hal ini

sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding tersebut. 1,3

13

Page 14: laringitis difteri

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penderita difteri adalah:

menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,

mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,

mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan

serta

mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.1,2

a. Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3

minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang

mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi

ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan

pemeriksaan ekokardiogram (EKG) pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu

selama 5 minggu. Khusus pada laringiis difteri di jaga agar nafas tetap

bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.1,3

b. Pengobatan Khusus

1) Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.

Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada

penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-

6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. ADS yang dipakai

untuk laringitis difteri adalah dengan dosis 40.000 KI yang dapat

diberikan intramuskular ataupun intravena. Sebelum Pemberian ADS

harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada

pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus

disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan

dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000

14

Page 15: laringitis difteri

secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10

mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10

dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam

fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis

pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS

diberikan dengan cara desentisasi. Bila uji hipersensitivitas tersebut

diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis

ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama

sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-

120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis

atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap

kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin

dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya

reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).1,3

2) Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan

untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga

mencegah penularan organisme pada kontak. Corynebacterium

diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in-vitro, termasuk

penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada

resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah

digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau

eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk

pemberantasan. Terapi diberikan selama 14 hari. Beberapa penderita

dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus

didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari

hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah

selesai terapi. Dosis penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m.,

tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o., tiap 6 jam selama

15

Page 16: laringitis difteri

14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m.

atau i.v., dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin

dapat juga diberikan.1,3

3) Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini

pada difteria. Kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang

disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai

atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian

kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Kortikosteroid yang sering diberikan adalah prednison. Dosis prednison

yang diberikan adalah 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada

kasus berat selama 14 hari.1,3

c. Pengobatan penyulit dan karier

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap

baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila

tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif

merupakan indikasi tindakan trakeostomi. Karier adalah mereka yang tidak

menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil

difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin

100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu

minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.1,3

16

Page 17: laringitis difteri

Tabel 1. Pengobatan terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan

booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau

eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40

mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi

2.9 Prognosis

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran

membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan

perawatan umum. Prognosis difteri setelah ditemukan ADS dan antibiotik,

lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-

negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat

membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria

dapat disebabkan oleh karena obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan

oleh terlepasnya difteri, adanya miokarditis dan gagal jantung, paralisis

difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita

miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteri, pada umumnya akan

sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan

kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk.

Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/mm3

prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada faringitis-laringingitis difteri

(56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%).1,3

2.10 Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pada umumnya setelah

seseorang anak menderita difteri, kekebalan terhadap penyakit ini sangat

17

Page 18: laringitis difteri

rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak

yang telah mendapat imunisasi difteri lengkap, mempunyai antibodi

terhadap toksin difteri tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap

organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi

pengidap difteri dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,

kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang

memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai

dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid.

Preparat pediatrik (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit

toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung

tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid

potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan

booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan

reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih

tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid

difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar

toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

Rencana (Jadwal) :

Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun, beri 0,5 mL dosis vaksin

mengandung-difteri (D). Seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan

6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian integral seri pertama dan

diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster

diberikan umur 4-6 tahun (kecuali jika dosis primer ke empat diberikan

pada umur 4 tahun).

Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis

0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis

yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis

kedua.

Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau

Td.

18

Page 19: laringitis difteri

Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun

harus mengalami lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL

pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1

tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri,

dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali jika dosis

ketiga diberikan setelah umur 4 tahun.3,6

19

Page 20: laringitis difteri

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Laringitis difteria adalah suatu peradangan laring karena infeksi

Corynebacterium diphteriae. Biasanya dimulai dengan invasi lokal diikuti

nekrosis jaringan. Bakteri batang gram positif ini akan memproduksi eksotoksin

menyebabkan timbulnya gambaran klinis. Diagnosis dini difteri sangat penting

karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosis

penderita. Diagnosis pasti dari penyakit ini adalah isolasi Corynebacterium

diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur). Dasar

dari terapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi Corynebacterium

diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif

untuk kebanyakan strain Corynebacterium diphtheriae. Prognosis umumnya

tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status

imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi

pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian

imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak kurang dari 7 tahun dan

pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih dari 7 tahun.

20

Page 21: laringitis difteri

DAFTAR PUSTAKA

1. Rampengan,T.H dan Laurentz,I.R. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak : Difteri.

1992. Hal 1-18

2. Garna Herry, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Edisi

kedua : Difteri. Bandung :Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 2000.

Hal 173-176

3. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Unit Kerja Kordinasi Infeksi dan

Penyakit Tropis. Difteri Pada Anak. IDAI 2009; 1(1): [1 screen]. Diunduh dari:

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912. Diakses

tanggal: 9 September 2012.

4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi keenam.

Jakarta: EGC. 1999. Hal 369-377.

5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring,

Edisi keenam. Jakarta: EGC. 2006. Hal 805-813.

6. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher: Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal 238-241.

7. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta:

Penerbit Media Aesculapius. 2006. Hal 126-127.

21