Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

28

Click here to load reader

Transcript of Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Page 1: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 3 BLOK NEUROLOGI

“MIGRAIN”

Kelompok 20 :

Annisa Susilowati G0011030 Lauraine WS G0011126

Astridia Maharani PD G0011042 Ratu Siti KS G0011166

Bayu Prasetyo G0011050 Rina Dwi P G0011174

Dyah Rohmi N G0011076 Rizal Nur R G0011180

Hernowo Setyo U G0011108 Zakiatunnisa G0011216

Johanna Tania G0011122

TUTOR : Isdaryanto, dr, PHK, MARS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2012

Page 2: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sakit kepala adalah salah suatu keluhan yang sering dikemukakan dalam praktek

ilmu penyakit saraf. Menurut International Headache Society, sakit kepala dibagi

menjadi dua kategori utama, yaitu sakit kepala primer dan sakit kepala sekunder. Sakit

kepala primer adalah sakit kepala tanpa penyebab yang jelas dan tidak berhubungan

dengan penyakit lain. Contohnya adalah sakit kepala tipe tension, migraine, dan cluster.

Sedangkan sakit kepala sekunder adalah sakit kepala yang disebabkan oleh penyakit lain

seperti akibat infeksi virus, adanya massa tumor, cairan otak, darah, serta stroke.

Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72

jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,

bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan/atau

fotofobia dan fonofobia. Migraine secara umum dibagi menjadi 2 yaitu migraine klasik

dan migraine umum dimana migraine umum 5 kali lebih sering terjadi daripada migraine

klasik.

Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang

hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul pada

11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. Migraine lebih sering

terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun,

tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada

kelompok umur 25-44 tahun.

Berikut adalah kasus dalam skenario kali ini:

Ny. Rini seorang guru usia 27 tahun menderita migraine sejak 3 tahun yang

lalu. Serangan migraine dirasakan setiap 3 sampai 4 kali dalam sebulan, terutama bila

kurang tidur atau menghadapi stress pekerjaannya. Serangan migraine didahului aura

sebelum terjadi nyeri kepala cekot-cekot. Ny. Rini saat ini memiliki seorang anak usia 2

tahun dan memakai KB suntik 3 bulanan.

Saat ini Ny. Rini telah berobat ke dokter karena selama 24 jam terakhir

merasakan nyeri kepala hebat (VAS: 7-8), disertai fotopobia, mual,muntah (empat kali

dalam 24 jam). Tekanan darahnya 120/80, HR 70 kali per menit, pucat dan lemah. Pada

Page 3: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

pemeriksaan hanya didapatkan fotopobia dan refleks hoffman tromer positif di kedua

tangan, selain itu tidak ditemukan deficit neurologis yang lainnya. Dokter memberikan

obat terapi abortif dan terapi preventif kepada Ny. Rini. Dokter juga memberikan

edukasi tentang adanya komplikasi yang mungkin muncul serta bagaimana Ny. Rini

harus menjaga pola hidupnya dengan baik, mulai pengaturan makan (diet), olah raga

yang cocok, mengelola stress dan pola tidurnya. Dokternya juga menyarankan agar

mengganti alat kontrasepsi yang saat ini dipakainya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Patofisiologi gejala pada kasus?

2. Mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menyebabkan migrain?

3. Interpretasi hasil hofmann tromer?

4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui patofisiologi gejala pada kasus.

2. Mengetahui mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menyebabkan migrain.

3. Mengetahui interpretasi hasil dari refleks hofmann.

4. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada kasus.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi gejala pada kasus.

2. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme faktor pemicu yang dapat menyebabkan

migrain.

3. Mahasiswa mengetahui interpretasi hofmann tromer.

4. Mahasiswa mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada kasus.

Page 4: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

BAB II

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Struktur kepala yang sensitif terhadap nyeri dalam kranium adalah sinus venosus

contohnya sinus sagitalis, arteri meningea media dan anterior, dura pada basal tengkorak,

trigeminal, nervus vagus dan glosofaringeal, arteri carotid interna proksimal dan cabang-

cabang dekat sirkulus willisi, periaqueductal gray matter batang otak, nukleus sensori

dari thalamus. Thalamus bertindak sebagai pusat sensori yang primitif dimana individu

dapat secara samar merasakan nyari, tekanan, raba, getar, dan suhu yang ekstrim, tetapi

tidak dapat ditentukan tempatnya. Sedangkan parenkim otak sendiri tidak sensitif

terhadap nyeri. Aliran darah yang menuju otak berasal dari dua buah arteri karotis dan

sebagian berasal dari arteri vertebralis.

1. Arteria Karotis

Arteria karotis komunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna.

Arteri karotis eksterna mendarahi wajah, tiroid, lidah, dan faring. Cabang dari arteri

karotis eksterna adalah arteri meningea media yang memperdarahi srtuktur-struktur

dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke dura mater. Arteri

karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan menjadi arteri serebri anterior dan media.

Arteri karotis interna juga mempercabangkan arteri oftalmika yang masuk ke dalam

orbita dan mendarahi mata dan isi orbita lainnya, bagian-bagian hidung dan sinus-sinus

udara.

Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis,

dan frontalis korteks serebri dan membentuk penyebaran pada permukaan lateral. Arteri

ini merupakan sumber darah utama girus pre-sentralis dan post-sentralis. Korteks

audiotorius, somestetik, motorik, dan pramotorik disuplai oleh arteri ini seperti juga

korteks asosiasi yang berkaitan dengan fungsi integrasi yang lebih tinggi pada lobus

sentralis tersebut.

Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus

kaudatus dan putamen ganglia basalis, bagian-bagian kapsula interna dan korpus

kalosum, dan bagian-bagian lobus frontalis dan perietalis serebri, termasuk korteks

somestetik dan korteks motorik.

2.Arteri vertebralis

Page 5: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang masuk rongga

tengkorak melalui foremen magnum. Kedua arteri vertebralis kanan dan kiri nantinya

akan bersatu membentuk arteri basilaris yang terus berjalan sampai setinggi otak tengah

dan bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-

cabang sistem vertebrobasiliaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum,

midbrain, dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya

mendarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus

koklearis, dan organ-organ vestibular. Arteri karotis interna setelah masuk rongga

tengkorak akan memberi cabang yaitu arteri serebri anterior, arteri serebri media, arteri

komunikans posterior, arteri khoroidea, arteri hipofise superior dan arteri hipofise

inferior. Kedua arteri vertebralis bergabung membentuk arteri basilaris otak belakang

dan arteri ini berhubungan dengan kedua arteri karotis interna yang juga berhubungan

satu dengan lainnya membentuk suatu sirkulus Willisi.

EPIDEMIOLOGI

Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang

hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul pada

11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang.2 Prevalensi migraine ini

beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine dapat tejadi

dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine lebih sering terjadi pada anak laki-

laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering

ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44

tahun. Onset migraine muncul pada usia di bawah 30 tahun pada 80% kasus. Migraine

jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Wanita hamil pun tidak luput dari serangan

migraine yang biasanya menyeang pada trimester I kehamilan. Risiko mengalami

migraine semakin besar pada orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita

migraine.

ETIOLOGI

Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70-80% penderita migraine

memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena

migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine dengan

aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik yang

mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara riwayat migraine

Page 6: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada orang-orang dengan

kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy, encephalopathy, lactic

acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien dengan kelainan genetik CADASIL

(cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and

leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane dengan aura.

KLASIFIKASI

Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Migraine dengan aura

Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali dengan adanya

gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala unilateral, mual,

dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan dan manifestasi nyeri kepala

biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit.

2. Migraine tanpa aura

Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit kepalanya hampir

sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian sisi kepala dan

bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala

berlangsung selama 4-72 jam.

PATOFISIOLOGI

1. Teori vaskular

Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migren

dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut

yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama

terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat.

Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial

mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan

menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian,

vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan

vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.

2. Teori Neurovaskular dan Neurokimia

Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh para

neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus trigeminus

mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal

Page 7: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga

menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota

keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin.

Seperti calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid.

Namun CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer,

sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika

CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek

seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke

sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi dan takikardia.

CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten. Aksi

keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2. Pada

prinsipnya, penderita migraine yang sedang tidak mengalami serangan

mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks

oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi magnetik

transkranial.

Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine menjadi rentan mendapat

serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap epilepsi. Pendapat ini

diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migraine, sering terjadi alodinia

(hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat

episode migraine.

Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang tidak

stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang

memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada

kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada pembuluh

darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.

3. Teori cortical spreading depression (CSD)

Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading

depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra

yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan

gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk irama

vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah

pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural

sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.

Page 8: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Patofisiologi gejala pada kasus

1. Mual dan Muntah

Mual didefinisikan sebagai sensasi subjektif tidak nyaman untuk muntah. Muntah

adalah suatu refleks paksa untuk mengeluarkan isi lambung melalui esophagus dan

keluar dari mulut.

Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa

mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui.

Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di

medulla oblongata. Saraf -saraf ini menerima input dari :

• Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema

• Sistem vestibular (yang berhubungan dg mabuk darat dan mual karena penyakit

telinga tengah)

• Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

• Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera

fisik)

• Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus

berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

a. Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan

distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

b. Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap

stimulus kimia.

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks

muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema.

Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan

sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,

mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral

dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus

solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga

merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah

otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang

CTZ

Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan

dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman.

Page 9: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan

simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna

dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba

yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah.

Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat

dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada

enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini

mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga

dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus,

frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks

muntah.

Mekanisme faktor pencetus nyeri kepala

Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling

awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow(CBF) yang

dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan2 ke depan sebagai seperti suatu

gelombang ("spreading oligemia'; dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3

mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses

hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif

hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi set saraf

menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas set safar menurun

menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical

spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam

duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC

(trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut

mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri

kepala. Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem

trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti

peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti

misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses

tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada

penderita migren.

Page 10: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menimbulkan migren:

Stress : respon seseorang akan stressor dapat bertipe Canon (reaksi emosional,

stimulasi sistem saraf simpatik, stimulasi medula adrenal) atau tipe Seyle (depresi

emosional, stimulasi hipofisis anterior, stimulasi korteks adrenal). Akibat dua

reaksi tersebut dapat timbul perubahan- perubahan pada sistem cardiovaskuler

berupa kelainan irama jantung, perubahan tekanan darah, dilatasi dan konstriksi

pembuluh darah, perubahan korpuskular darah dan perubahan komposisi

biokimiawi dalam darah.

Makanan : berbagai zat makanan dapat memicu timbulnya serangan migren.

Pemicu migren tersering adlah alkohol berdasarkan efek vasodilatasinya dimana

anggur merah dan bir merupakan pemicu terkuat. Makanan yang mengandung

tiramin, yang berasal dari asam amino tirosin, seperti keju, makanan yang

diawetkan atau diragi, hati, anggur merah, yagurt, dll. Makanan lain yang pernah

dilaporkan dapat mencetuskan migren adalah coklat (karena mengandung

feniletilamin), telur, kacang, bawang, piza, alpokat, pemanis buatan, buah jeruk,

pisang, daging babi,teh, kopi, dan coca- cola yang berlebihan.

Monosodiun glutamat adalah pemicu migren yang sering dan penyebab dari

sindrom restoran cina yaitu nyeri kepala disertai kecemasan, pusing, parestesia

leher dan tangan, serta nyeri perut dan nyeri dada.

Hormonal : fluktuasi hormonal merupakan faktor pemucu pada 60% wanita, 40%

wanita hanya mendapat serangan haid. Nyeri kepala migren dipicu oleh turunnya

17-β kadar estradiol plasma saat akan haid. Serangan migren berkurang selama

kehamilah karena kadar estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya

minggu pertama postpartum. Pemakaian pil kontrasepsi juga meningkatkan

serangan migren.

Meenopause : umumnya nyeri kepala migren akan meningkat frekuensi dan

beratnya pada saat menjelang menopause. Tetapi, beberapa kasus membaik

setelahmenopause. Terapi hormonal dengan estrogen dosis rendah dapat

diberikan untuk mengatasi serangan migren pasca menopause.

Lingkungan : perubahan lingkungan dalam tubuh yang meliputi fluktuasi

hormonal pada siklus haid dan perubahan irama bangun- tidur dapat

menimbulkan serangan akut migren. Perubahan lingkungan eksternal meliputi

Page 11: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

cuaca, musim, tekanan udara, ketinggian dari permukaan laut, dan terlambat

makan.

Obat- obatan : seperti nitrogliserin, nifepidin sublingual, isosorbid dinitrat,

tetrasiklin, vitamin A dosis tinggi, fluoksetin.

Aspartam : merupakan komponen utama pemanis buatan dapat menimbulkan

nyeri kepala pada orang tertentu.

Interpretasi Hoffman Tromer

Gerak otot reflektorik dapat ditimbulkan pada tiap orang yang sehat, dinamakan

refleks fisiologik. Pada kerusakan di lintasan piramidalis dapat dijumpai refleks-refleks

yang tidak dapat ditimbulkan pada orang-orang sehat. Maka dari itu, refleks tersebut

dinamakan refleks patologik. Hingga kini mekanismenya belum dapat diberikan. Pada

tangan gerak reflektorik yang patologik berupa fleksi dari jari-jari, terutama jari telunjuk

dan ibu jari, sebagai jawaban atas perangsangan (yang berupa goresan-goresan) terhadap

kuku jari tengah penderita. Refleks patologik tersebut dinamakan refleks dari Tromner-

Hoffman (Mardjono & Sidharta, 1997).

Tes Hoffman-Tromner sedikit lebih spesifik untuk mengetahui ada tidaknya lesi

di atas nervus cervical V atau VI (Lisa Emrich, 2011). Oleh karena itu, pasien pada

skenario dilakukan tes tersebut, sebab ada kemungkinan migrain yang dideritanya

disebabkan akibat adanya lesi di nervus cervical II. Namun, hasil positif pada

pemeriksaan ini tidak selalu menunjukkan adanya kerusakan pada jaras piramidalisnya.

Pada orang sehat pun dapat dijumpai hasil positif (positif palsu). Sebagai kesimpulan,

pemeriksaan Hoffman-Tromner bukanlah alat skrining yang dapat diandalkan untuk

memprediksi adanya kompresi pada nervus cervical medulla spinalis. Namun, ada

kemungkinan bahwa, setidaknya pada beberapa pasien, tes Hoffmann lebih sensitif untuk

menemukan disfungsi sumsum tulang belakang lebih awal dibandingkan dengan studi

pencitraan (John A. Glaser. et all, 2001).

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh penyakit

struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir sama dengan

migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan apakah ada penyakit

komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan mempersulit pengobatannya.

Page 12: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

2. Pencitraan

CTscan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien baru

pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta derajat

keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala persisten,

adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon terhadap pengobatan,

sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai gejala neurologis kontralateral.

3. Pungsi Lumbal

Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, sakit

kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala rekuren,

onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum dilakukan LP seharusnya

dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk menyingkirkan adanya massa lesi yang

dapat meningkatkan tekanan intracranial.

Tatalaksana

Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko,

terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi

atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi

pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan

pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang

bertujuan untuk meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan

menghentikan progresivitas. Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama

bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala.

1. Mengurangi faktor risiko/pencetus

Stres dan kecemasan

Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.

Hipoglikemia (terlambat makan)

Kelelahan

Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal

Kadar estrogen yang berfluktuasi atau dapat dilakukan dengan

menghentikan pil KB atau obat-obat pengganti estrogen

Diet

Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30%

penderita migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari

Page 13: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

adalah: MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot,

sherry, scotch, bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere,

cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault, Romano), coklat, dan

aspartame.

Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak

membaik, berarti modifikasi diet tidak bermanfaat. Apabila makanan

menjadi pencetus gejala, maka jenis makanan tersebut harus

diidentifikasi dengan cara menambahkan satu jenis makanan sampai

gejala muncul. Sebaiknya dibuat diari makanan selama

mengidentifikasi makanan apa yang menjadi pencetus migrain, karena

beberapa jenis makanan dapat langsung menimbulkan gejala (anggur

merah, MSG), sementara makanan lain baru menimbulkan gejala

setelah 1 hari (coklat, keju).

2. Terapi farmako migrain

a. Terapi Abortif

Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang

dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia

spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat

dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong

pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang

sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik

lebih bermanfaat.

Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat

serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal.

Fase prodromal migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui

neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu

penyerapan lambung di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan

muntah. Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan

parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan.

Analgesik nonspesifik

Page 14: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin

dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia

opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain

antara lain adalah:

Diklofenak.

Ketorolak.

Ketoprofen.

Indometasin.

Ibuprofen.

Naproksen.

Golongan fenamat.

Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi

antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein

dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat

yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme

kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase

sehingga sintesa prostaglandin dihambat.

Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat

harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak

efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping pemberian OAINS perlu

dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita hamil

hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak

dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.

Analgesik spesifik

Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin,

dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif

reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di

samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, α1dan α

2- nonadrenergik dan dopamin.

Page 15: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai

berat. Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia

spesifik ini, walaupun golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren. Ergot

lebih murah dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar.

Penyebab lain yang menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya

tersedia dalam bentuk oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan.

Ergotamin dan DHE diberikan pada migrain sedang sampai berat apabila

analgesia nonspesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Dosis

dan cara pemberian ergotamin dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi

ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin selain

sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali,

penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit pembuluh perifer (hati-

hati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal, gagal hati dan sepsis. Efek

samping yang mungkin timbul antara lain mual, dizziness, parestesia, kramp

abdominal. Ergotamin biasanya diberikan pada episode serangan tunggal. Dosis

dibatasi tidak melebihi 10 mg/minggu.

Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga

memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang

tidak memberikan respon dengan analgesia nonspesifik dengan atau tanpa

kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal dalam

24 jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit

jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol,

migrain tipe basiler. Efek samping berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri

dada non kardial, disforia.

Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan, naratriptan, rizatriptan)

yang tidak ada di Indonesia sebenarnya mempunyai respons yang lebih baik,

rekurensi nyeri kepala yang lebih rendah dan lebih dapat ditoleransi.

Nama obat CaraPemberian NNT (95% Cl) :

Sumatriptan 6 mg SC

Rizatriptan 10 mg oral

Eletriptan 80 mg oral

Page 16: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Zolmitriptan 5 mg oral

Eletriptan 40 mg oral

Sumatriptan 20 mg intranasal

Sumatriptan 100mg oral

Rizatriptan 2,5 mg oral

Zolmitriptan 2,5 mg oral

Sumatriptan 50 mg oral

Naratriptan 2,5 mg oral

Eletriptan 20 mg oral

b. Terapi preventif

Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak.

Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut)

atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri

kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi

preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah

dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual. Terapi

preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung

respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga bulan.

BAB III

PENUTUP

Page 17: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

1. KESIMPULAN

1. Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72

jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,

bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea

dan/atau fotofobia dan fonofobia. Migraine secara umum dibagi menjadi 2 yaitu

migraine dengan aura dan tanpa aura.

2. Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas:

Mengurangi faktor resiko.

Terapi farmakologi.

Terapi nonfarmakologi.

Terapi farmako dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan

terapi preventif (terapi pencegahan). Walaupun terapi farmako merupakan terapi

utama migren, terapi nonfarmako tidak bisa dilupakan.

2. SARAN

1. Sebaiknya mahasiswa untuk memahami materi terlebih dahulu sebelum kegiatan

tutorial.

2. Sebaiknya tutor mendorong mahasiswa untuk lebih berfikir kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Neurologi

Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta :

Media Aesculapius FK UI.

Aru W. Sudoyo, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta:

Interna Publishing.

Bendtsen L. Central sensitization in tension type headache-possible pathophysiological

mechanisms. Cephalalgia 2000;20:486-508

Edvinsson L. Sensory nerves in man and their role in primary headaches. Cephalalgia

2001;21:761-764

Glaser, John A. et all. 2001. Cervical Spinal Cord Compression and the Hoffman Sign. The

Lowa Orthopaedic Journal. 21 : 49-52.

http://www.healthcentral.com/multiple-sclerosis/c/19065/129802/reflex (14 Desember 2012)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29669/4/Chapter%20II.pdf (diakses 16

Desember 2012)

Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna. 1997. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Russel MB, Olesen J. 1995. Increased Familial Risk and Evidence of Genetic Factor in

Migraine. BMJ. 311: 541-544.

Sjahrir H, Nasution D, Rambe H. Prevalensi nyeri kepala paroksismal pada mahasiswa

FK.USU Medan. dibacakan di Biennieal Meeting PNPNCh, Surabaya 1978