laporan puskesmas
-
Upload
alam-martadipura -
Category
Documents
-
view
48 -
download
9
description
Transcript of laporan puskesmas
JUDUL SKENARIO
Tingginya Angka Kasus TB (BTA+) di Desa Kebonagung Berkaitan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Sekelompok dokter muda yang sedang bertugas di puskesmas Sukodono-
Sidoarjo selama satu bulan ditugaskan untuk meneliti kinerja puskesmas tersebut
selama empat bulan terakhir dari data yang telah diperoleh dari masing-masing
program puskesmas didapatkan pada program pemberantasan penyakit menular
tuberkulosis memiliki angka kejadian tuberkulosis yang masih cukup tinggi di
wilayah Sukodono. Dari 19 desa yang ada di kecamatan Sukodono, desa
Kebonagung merupakan salah satu desa yang memiliki angka kejadian
tuberkulosis tertinggi. Disamping itu berdasarkan data profil dinas kesehatan
Kabupaten Sidoarjo angka kesembuhan penderita TB Paru di Puskesmas
Sukodono tahun 2014 sebesar 45% (27 dari 60 penderita dinyatakan sembuh).
Para Dokter muda bekerja sama dengan pemegang program dan bidan
desa setempat mengadakan pemberdayaan masyarakat desa yang bertujuan untuk
mencari penyebab tingginya angka kejadian dan menanggulangi kejadian
tuberkulosis di desa Kebonagung.
Dokter muda juga melakukan diskusi dengan staf puskesmas diperoleh
keterangan bahwa sebagian besar wilayah desa Kebonagung terdiri dari
perumahan padat penduduk dan sebagian besar warga memiliki sikap yang kurang
peduli terhadap kesehatan lingkungan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangPenyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit kronis menular yang masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
World Health Organization (WHO) dalam annual report on global TB control
2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai highburden countries
terhadap TBC. Indonesia tiap tahun terdapat 557.000 kasus baru TBC.
Berdasarkan jumlah itu, 250.000 kasus (115/100.000) merupakan penderita TBC
menular. Dengan keadaan ini Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah
penderita TBC di dunia, setelah India (1.762.000) dan China (1.459.000). TBC
telah membunuh tiga juta orang pertahun.
Diperkirakan, kasus TBC meningkat 5-6 persen dari total kasus. Penyakit
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium tuberkulosis. Kuman ini dapat menular lewat percikan ludah yang
keluar saat batuk, bersin atau berbicara. Umumnya kuman TBC menyerang paru
karena penularannya melalui udara yang mengandung kuman TBC dan terhirup
saat bernapas (Rachmawati, 2007).
Indeks pembangunan manusia (human development indexs) di Indonesia
masih menempati urutan 102 dari 162 negara. Tingkat pendidikan, pendapatan
serta kesehatan penduduk Indonesia belum memuaskan. Peranan keberhasilan
pembangunan kesehatan sangat menentukan tercapainya tujuan pembangunan
nasional, karena dalam menghadapi makin ketatnya persaingan pada era
globalisasi, tenaga kesehatan yang sehat akan menunjang keberhasilan program
pelayanan kesehatan dan juga akan mendorong peningkatan produktivitas serta
pendapatan penduduk (Martono, 2006).
Visi Indonesia sehat 2010 adalah gambaran masyarakat Indonesia dimasa
depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan yaitu masyarakat,
bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan
dengan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil, merata, serta memiliki derajat kesehatan
2
setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sehat meliputi sehat
jasmani, rohani, serta sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat
dan kelemahan. Masyarakat Indonesia yang dicita-citakan adalah masyarakat
Indonesia yang mempunyai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup
sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai salah
satu unsur dari pembangunan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya
(Martono, 2006).
Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001,
estimasi prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk
berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Hasil survei SKRT tahun
2001, didapatkan bahwa TBC menduduki rangking ketiga sebagai penyebab
kematian (9,4% dari total kematian), setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem
pernafasan pada semua golongan usia (Depkes RI, 2002). Sejak tahun 1995,
program pemberantasan TBC telah dilaksanakan dengan strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang direkomendasi oleh WHO
merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Program ini menekankan pada diagnosis yang benar dan tepat
dilanjutkan dengan pengobatan jangka pendek yang efektif serta pengawasan,
angka keberhasilan pengobatan mencapai 85%. Pelaksanaan DOTS di klinik
perusahaan merupakan peran aktif dan kemitraan yang baik dari pengusaha serta
masyarakat pekerja untuk meningkatkan penanggulangan TBC di tempat kerja.
Seiring dengan pembentukan gerakan terpadu nasional penanggulangan TBC,
maka pemberantasan penyakit tuberkulosis paru berubah menjadi program
penanggulangan TBC. Tujuan jangka pendek penanggulangan TBC adalah
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TBC dengan cara
memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TBC tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia (Fahrudda, 2005).
Pengobatan pada penderita TBC dapat dilakukan dengan beberapa
kombinasi obat yang memang ditujukan untuk membasmi kuman. WHO
merekomendasikan strategi pengobatan DOTS, yaitu penderita minum obat
dengan diawasi pengawas menelan obat. Pengawas ini bisa anggota keluarga,
kader, petugas kesehatan atau relawan. Umumnya penderita minum obat selama 6
3
bulan untuk memastikan kesembuhannya, namun pada beberapa keadaan dapat
berbeda dapat lebih lama (Rachmawati, 2007).
Kasus penyakit TBC sangat terkait dengan faktor perilaku dan lingkungan.
Faktor lingkungan, sanitasi dan higiene terutama sangat terkait dengan keberadaan
kuman, dan proses timbul serta penularannya. Faktor perilaku sangat berpengaruh
pada kesembuhan dan bagaimana mencegah untuk tidak terinfeksi kuman TBC.
Dimulai dari perilaku hidup sehat (makan makanan yang bergizi dan seimbang,
istirahat cukup, olahraga teratur, hindari rokok, alkohol, hindari stress),
memberikan vaksinasi dan imunisasi baik pada bayi, balita maupun orang dewasa.
Penderita dengan berperilaku tidak meludah sembarangan, menutup mulut apabila
batuk atau bersin, dan terutama kepatuhan untuk minum obat dan pemeriksaan
rutin untuk memantau perkembangan pengobatan serta efek samping (Nova,
2007).
Penatalaksanaan lingkungan, terutama pada pengaturan syarat-syarat
rumah sehat diantaranya pencahayaan, ventilasi, luas hunian dengan jumlah
anggota keluarga, kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal. Melalui
pemberdayaan keluarga sehingga anggota rumah tangga yang lain dapat berperan
sebagai pengawas menelan obat (PMO), sehingga tingkat kepatuhan minum obat
penderita dapat ditingkatkan yang pada gilirannya kesembuhan dapat dicapai
(Nova, 2007).
Dalam menyukseskan upaya pemberantasan TBC, maka peran petugas
kesehatan dalam surveillance dan pencatatan pelaporan yang baik merupakan
suatu keharusan. Tidak menutup kemungkinan peran kader serta masyarakat
lainnya dapat berperan aktif melalui kunjungan rumah bersama petugas kesehatan,
tokoh masyarakat untuk melakukan pendidikan di masyarakat melalui
penyuluhan, konseling atau pemantauan secara terpadu, terintegrasi dengan
upaya-upaya lain termasuk peningkatan ekonomi keluarga. Pasien TBC perlu
mendapatkan pengawasan langsung agar meminum obat secara teratur sampai
sembuh. Orang yang mengawasi penderita TBC dikenal dengan istilah PMO.
Pengawas menelan obat (PMO) sebaiknya orang yang disegani dan dekat dengan
pasien TBC, misalnya keluarga, tetangga, atau kader kesehatan. Pengawas
4
menelan obat PMO bertanggung jawab untuk memastikan pasien TBC meminum
obat sesuai anjuran petugas puskesmas atau UPK (Nova, 2007).
Mengingat tingginya kasus tuberkulosis serta resiko penularan terhadap
orang lain yang cukup tinggi maka penatalaksanaan penyakit tuberkulosis paru
harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan kebijaksanaan program
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru. Peran pengawas menelan obat sangat
penting dalam rangka penyembuhan penderita tuberkulosis paru, sehingga
pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB (P2TB) sangat diperlukan
evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilannya (Gerdunas 2007).
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan pada
permasalahan untuk mengambil suatu keputusan. Untuk membuat suatu
keputusan diperlukan suatu pertimbangan dan perbandingan dari berbagai pilihan
alternatif yang dapat dipilih melalui suatu mekanisme tertentu untuk
menghasilkan sebuah tindakan atau keputusan yang terbaik. Setiap masalah akan
memiliki penyelesaian yang berbeda-beda dengan sebuah keputusan yang
bermacam-macam dari sejumlah alternatif keputusan yang melibatkan beberapa
variabel.
Dalam penyelesaian kasus ini menggunakan suatu metode analisis. Salah
satu metode analisis yang digunakan pada kasus ini adalah diagram tulang ikan
atau fish bone.
1. 2 Rumusan Masalah
Apakah angka kejadian Tuberkulosis di desa Kebonagung, Kecamatan
Sukodono-Sidoarjo bisa diturunkan?
1. 3 Tujuan
1. 3. 1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kejadian Tuberkulosis di desa Kebonagung,
Kecamatan Sukodono-Sidoarjo.
5
1. 3. 2. Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
penyakit tuberkulosis.
2. Mengidentifikasi perilaku hidup bersih dan sehat pada desa Kebonagung
kecamatan Sukodono.
3. Mengidentifikasi kondisi lingkungan desa Kebonagung kecamatan
Sukodono.
6
BAB II
ANALISA KASUS
2. 1. Analisis Secara Epidemiologis
A. Etiologi
Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis sebagian besar menyerang Paru
dan dapat mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan disebut
pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman Tuberkulosis Paru cepat
mati apabila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup
dalam beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2002).
B.Epidemiologi
Cara penularan
Sumber penularan penyakit TB Paru dikarenakan oleh kuman yang
berterbangan di udara dan ada juga yang jatuh pada lantai sehingga dapat
terhirup oleh setiap orang, pada paru-paru kuman atau basil TB Paru akan
bersarang dan basil berkembang biak juga menggerogoti Paru-paru.
Tidak semua orang yang dimasuki basil TB Paru pasti sakit TB paru
karena badannya kuat dan daya tahan tubuhnya kuat orang mungkin
terhindar dari sakit TB Paru. Daya tahan tubuh yang kuat jika gizi makanan
yang cukup, bergerak badan dan istirahat yang cukup. Atau jika sejak bayi
semua anak harus diberi Imunisasi Basillus Calmatto Guenin (BCG) yang
berfungsi untuk mencegah tertular TB Paru (Nadesul, 2006).
7
Patofisiologi
Kuman dibatukkan / bersin (droplet nudei inidinborne)
Terisap orang sehat
Menempel di jalan nafas / paru-paru
Menetap / berkembang biak
Membentuk sarang TB
(sarang primer / efek primer)
Radang saluran pernafasan
(limfangitis regional)
Komplek primer
Sembuh Sembuh dengan bekas Komplikasi
Paru merupakan portd’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan
segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus
8
akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer,
kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional,
yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak
di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional
yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit.
Gejala dan tanda TB Paru
Departemen kesehatan menyebutkan gejala dan tanda penyakit TB Paru
BTA Positif adalah : a) gejala umum : nyeri dada, batuk lebih dari tiga
minggu atau lebih. b) gejala lain : nyeri dada batuk dahak atau dahak
bercampur darah, keringat malam, demam lebih dari sebulan, sesak nafas,
nafsu makan menurun dan berat badan menurun (Depkes RI, 2003).
Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada penderita berstadium lanjut menurut Nadesul
(2006) antara lain: 1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas
bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersambungnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat kontraksi bronkiat.
3) Bronkiestasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan)
9
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktiti pada paru. 4) Penyebaran
infeksi organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 5)
Insufisiensi kardio pulmoner (Cardio pulmonery insuffiency)
Diagnosis
Bahwa seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru apabila
melakukan serangkain pemeriksaan menurut Depkes RI (2002) sebagai
berikut:
1) Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling
dapat diandalkan (paling murah) dan harus diupayakan tiga buah
spesimen untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan 3x dengan
sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) paling baik dipastikan dengan hasil
positif berikutnya.
2) Pemeriksaan semua pasien dengan kronis khususnya batuk
perokok atau batuk lebih dari 4 minggu, mereka yang turun berat
badannya, nyeri dada dan lainnya yang mengakibatkan TB Paru.
3) Foto rontgen, pemeriksaan rontgen diperlukan bila pasien yang
memiliki masalah-masalah yang sulit terutama para tersangka TB
Paru yang positif Human Immunodeficiency Virus (HIV). Hal ini
tidak dilakukan untuk kasus secara massal di negara-negara dengan
prevalensi tinggi.
4) Tes tuberkulin, tes ini kurang dapat diandalkan dalam menegakan
diagnosis di negara miskin karena gizi buruk, dan penyakit lain.
Seperti infeksi HIV atau TB Paru yang sangat parah dapat
menghasilkan tes yang lemah meskipun pasien dewasa atau anak
berpenyakit TB Paru aktif. Tes pada anak dapat berubah karena
Basillus Calmatto Guenin (BCG) (Harun, 2002).
Klasifikasi penyakit
Pada penyakit TB Paru dapat diklasifikasikan yaitu TB Paru dan TB
ekstra paru. Tuberkulosis Paru merupakan batuk yang paling sering
dijumpai dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-
paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB Paru yang mudah tertular.
10
Tuberkulosis ekstra Paru merupakan bentuk penyakit TB Paru yang
menyerang organ tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limfe,
persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan saraf pusat (Herdin,
2007).
1. Program Pemberantasan TB Paru
a. Tujuan Program
Tujuan jangka panjang : memutuskan rantai penularan sehingga
penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tujuan jangka pendek : a) tercapainya kesembuhan minimal 85%
penderita baru BTA positif yang ditemukan, b) tercapainya
cakupan penemuan penderita secara bertahap hingga mencapai
70% dari semua penderita TB paru, c) tercapainya resistensi obat
tuberkulosis di masyarakat, d) menanggulangi penderita akibat
penyakit TB paru.
b. Kebijakan Operasional
1) Penanggulangan TB paru di Indonesia dilaksanakan dengan
desentralisasi sesuai dengan kebijakan Departemen Kesehatan.
2) Penggulangan TB paru dilaksanakan oleh seluruh unit pelayanan
kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, Pemerintah dan
swasta, BP4 serta praktik dokter swasta, politeknik umum,
politeknik perusahaan dengan melibatkan peran serta
masyarakat secara paripurna dan terpadu.
3) Peningkatan mutu pelayanan, penanggulangan obat rasional dan
kombinasi obat sesuai dengan strategi directly observed
treatment shortcourse (DOTS).
4) Target program adalah konversi pada akhir pengobatan tahap
intensif minimal 80%, angka kesembuhan sediaan dahak yang
benar (angka kesalahan 5%).
11
5) Pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh Balai
Laboratorium Kesehatan (BLK) atau laboratorium rujukan yang
ditunjuk untuk mendapatkan pemeriksaan dahak yang bermutu
6) Penanggulangan TB paru nasional diberikan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) pada penderita secara cuma-cuma dan
jaminan ketersediaannya.
7) Pengembangan sistem pemantauan, supervisi dan evaluasi
program untuk mempertahankan kualitas pelaksanaan program.
8) Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program terkait,
sektor pemerintah dan swasta.
c. Strategi
Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO (2004), yaitu :
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk
dukungan dana.
2) Diagnosis TB paru dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopik
3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB paru.
2. Pengobatan Penyakit TB Paru
a. Tatalaksana Pengobatan TB Paru
Pengobatan diberikan dalam dua tahap Depkes RI (2007), yaitu :
1) Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi
terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama
Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat pasien menular
menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar
12
TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir
pengobatan ini.
2) Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang
lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah
kekambuhan. Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah
penyembuhan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan
dan menurunkan resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan
gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian
pada pasien, mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi
yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah
kuman menjadi resisten dan melindungi keluarga dan masyarakat
penderita terhadap infeksi (Crofson, 2001). Jenis obat yang
digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain:
1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan.
2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman
semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.
3) Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman
yang berada dalam sel suasana asam
4) Streptomycine (S), bersifat bakterisid
5) Etambutol (E), bersifat bakteriotatik.
b. Program Obat Anti Tuberkulosis
Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO
(World Health Organization) dan IUAT-LD (International Union
Againts Tuberculosis and Lung Disease) dengan jangka 6 (enam)
bulan yaitu :
1) Kategori I (2HRZA / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirazanamid (Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari
selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap
13
lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 (tiga)
kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3).
Panduan OAT kategori I diberikan untuk :
a. Pasien baru TB – Paru BTA Positif (+)
b. Pasien baru TBC – Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang
sakit berat.
c. Penyakit paru ekstra berat
2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan
suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan
dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali
dalamseminggu.
Kategori III (2HR2/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2
bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4
bulan diberikan 3 kali seminggu.
OAT kategori ini diberikan untuk :
a) Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif
(+) sakit ringan.
b) Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar
limfe (limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral,
Tuberkulosis kulit, Tuberkulosis tulang (kecuali tulang
belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal).
c. Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan menurut Harun (2002) diklasifikasikan antara lain:
1) Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow -
14
up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negatif (yaitu
pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow
up sebelumnya.
2) Pengobatan lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut
negatif. Tindak lanjut : Penderita diberi tahu apabila muncul
kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur
tetap.
3) Pindah
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini
dan penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB –09)
4) Drop Out (DO)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA Positif.
5) Gagal
Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif
Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan.
6) Meninggal
Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun.
15
2. 2. Kausa dan Alternatif Kausa
Gambar 1. Fish bone tentang Kausa Rendahnya Mutu Pelayanan Kesehatan
Primer di Puskesmas (Khususnya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Menular Tuberkulosis)
A. Faktor Petugas
Petugas puskesmas dituntut untuk memiliki kompetensi yang
memadai. Tentunya hal ini berkaitan dengan kinerja dari puskesmas
tersebut. Jika kompetensi dan kemampuan para petugas memadai, maka
tentunya segala pekerjaan mengenai masalah kesehatan pada puskesmas
tersebut akan dapat terselesaikan dengan baik.
Untuk dapat terlaksananya kinerja puskesmas yang baik, tentunya
akan dapat terwujud apabila kehadiran dan ketersediaan para petugas di
puskesmas itu sendiri tercukupi. Jarak puskesmas dan rumah petugas
yang jauh, dapat menjadi kendala bagi petugas. Kurangnya jumlah
petugas di puskesmas juga dapat menyebabkan puskesmas kurang bisa
16
Tingginya angka kejadian TB (BTA +) di desa Kebon Agung
melayani masyarakat dengan optimal. Dan juga karena kurangnya
koordinasi lintah sektor dan program untuk penanggulangan penyakit TB
B. Faktor Masyarakat
Selain faktor petugas, faktor masyakat sendiri juga dapat
menyebabkan tingginya angka kejadian tuberkulosis. Faktor yang paling
menonjol disini adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sekitar
puskesmas tersebut. Pendidikan masyarakat yang rendah berpengaruh
terhadap pengetahuan akan pentingnya berobat secara teratur dan minum
obat yang tidak boleh putus. Juga pengetahuan mengenai penularan
kuman TB dimana pasien cenderung tidak menggunakan masker
sehingga gampang untuk menular ke keluarga atau lingkungan sekitar.
Banyak diantara mereka yang belum sadar dan tidak peduli terhadap
kesehatan lingkungan. Kemudian tingkat ekonomi yang rendah juga
mempengaruhi kesejahteraan mereka. Meskipun terdapat lembaga
pemerintah yang menjamin kesehatan masyarakat kurang mampu, namun
banyak dari masyarakat sendiri yang masih memiliki anggapan bahwa
melakukan pemeriksaan kesehatan atau berobat itu membutuhkan biaya
yang banyak. Masyarakat sendiri banyak yang kurang tahu akan
adanyanya lembaga tersebut, atau kalaupun masyarakat tahu, banyak dari
mereka yang tidak mengerti bagaimana menggunakan fasilitas yang
disediakan dari negara tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat
pendidikan masyarakat yang banyak masih rendah. Ketidak fahaman dan
ketidak sadaran akan pentingnya menjaga kesehatan juga menjadi
kendala bagi puskesmas daerah tersebut.
C. Faktor Lingkungan
Jarak rumah pasien dengan puskesmas yang jauh, atau kondisi
pasien yang memerlukan kendaraan untuk pergi ke puskesmas, juga
dapat menyebabkan kendala. Artinya tidak sedikit masyarakat yang
menggunakan transportasi untuk menuju ke puskesmas, baik itu
transportasi pribadi maupun transportasi umum. Tentunya hal ini akan
memerlukan biaya tambahan bagi masyarakat itu sendiri. Bagi
17
masyarakat yang memiliki transportasi pribadi, kendala dapat berupa
tambahan biaya yang digunakan untuk membeli bahan bakar. Sedangkan
bagi masyarakat yang tidak memiliki kendaraan, maka tentu akan lebih
menyulitkan karena mereka memerlukan tambahan biaya untuk
menyewa kendaraan umum. Tidak sedikit dari masyarakat yang tidak
memiliki cukup tambahan biaya untuk menyewa kendaraan umum, dan
akhirnya pemeriksaan atau kunjungan ke puskesmas tidak dilakukan.
Sedangkan untuk pengobatan TB, penderita wajib untuk berobat dan
periksa dahak secara teratur ke Puskesmas.
D. Faktor Management
Seperti yang telah kita ketahui , sejatinya penyuluhan dapat
memberikan kontribusi besar terhadap perubahan perilaku penduduk ke
arah yang lebih baik . Salah satu contohnya , dengan adanya penyuluhan
dapat meningkatkan kesadaran penduduk akan betapa pentingnya berobat
secara teratur ke Puskesmas. Sebagian penduduk mungkin saja pernah
mendapat dan mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh tenaga
kesehatan pada daerah domisili mereka tersebut. Namun demikian,
mungkin penyampaian materi yang diberikan kurang mengena bagi
sebagian besar dari mereka. Penyampaian materi yang kurang mengena
ini disebabkan karena bahasa yang tidak praktis, tidak populer, materi
kurang berisi ataupun pembicara kurang komunikatif sehingga penduduk
kurang dapat mencerna dan mengaplikasikan materi tersebut. Hal ini juga
dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan penduduk yang rendah.
Selain itu, koordinasi lintas sektor juga dapat dianggap sebagai salah
satu penyebab tingginya angka kejadian tuberkulosis di desa
Kebonagung. Sektor-sektor yang terkait dengan masalah penyakit
menular antara lain sektor kesehatan, sektor organisasi lingkungan
tempat tinggal, sektor budaya dan pendidikan, serta sektor kesehatan.
Perlu komunikasi lebih lanjut dan kerja sama yang baik antara lintas
sektor tersebut dengan penduduk desa, sehingga tujuan akhir yang
18
diinginkan dapat tercapai yaitu menurunkan angka kejadian tuberkulosis
di desa Kebonagung.
2. 3. Alternatitif Penyelesaian Masalah dan Prioritas Pemecahan Masalah yang Dipilih
Melakukan penyuluhan terhadap penderita TB dan keluarga tentang
pentingnya pengobatan secara teratur dan pencegahan penularan penyakit TB
sehingga angka kejadian TB dapat diturunkan.
19
BAB III
RENCANA PROGRAM
3.1 Lima Tahap Pencegahan ( Five Level Prevention ) TBC
Ada 5 tahap pencegahan penyakit atau yang lebih dikenal dengan five level
prevention yaitu :
1. Health Promotion ( Peningkatan kesehatan )
yaitu upaya - upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan.
Upaya ini dilakukan pada saat tubuh masih dalam keadan sehat.
Upaya ini termasuk dalam pencegahan yang bersifat umum untuk
semua jenis penyakit.
Contoh kegiatan yang termasuk dalam pencegahan tahap pertama ini
antara lain :
Mandi memakai sabun- sikat gigi sebelum tidur
20
Tidak merokok
Buang sampah pada tempatnya
Memakai helm dan masker saat berkendara
Olah raga secara rutin
Makan makanan bergizi
Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan
2. Health Prevention and health protection ( Pencegahan dan perlindungan kesehatan ) adalah upaya - upaya yang dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh dari
suatu penyakit tertentu.
Upaya ini masih sama dengan pencegahan tahap pertama yaitu
dilakukan pada saat tubuh masih dalam keadaan sehat. Tetapi upaya
yang kedua ini lebih ditujukan untuk mencegah suatu penyakit
tertentu.
Yang termasuk dalam upaya pencegahan tahap kedua ini antara lain
a. imunisasi BCG yang ditujukan untuk mencegah penyakit TB
b. penyemprotan untuk membunuh nyamuk malaria / demam
berdarah yang ditujukan untuk mencegah penyakit malaria /
demam berdarah
c. tidak merokok yang ditujukan untuk mencegah penyakit paru –
paru
3. Early diagnosis and Prompt Treatment ( pengobatan cepat dan tepat )
Yaitu upaya yang dilakukan pada saat tubuh sudah mulai merasakan
tidak sehat ( sudah ada suatu penyakit ) dan ditujukan untuk mencegah
penyakit berkembang lebih serius / lebih parah.
Yang termasuk dalam kategori pencegahan tahap tiga ini antara lain :
screening ( general check up ) untuk menemukan suatu penyakit
setelah penyakit ditemukan, dilakukan pengobatan yang cepat dan tepat
supaya penyakit dapat disembuhkan, tidak menyebabkan kematian atau
menyebabkan kecacatan.
21
Contoh :
- Pergi ke RS / puskesmas / BKPM
4. Disabiliti limitation ( Pembatasan kecacatan )
yaitu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kecacatan setelah
seseorang terjangkit suatu penyakit.
5. Rehabilitasi
Yaitu upaya yang dilakukan untuk memulihkan kondisi tubuh setelah
terjadinya suatu penyakit dan mencegah terjadinya kecacatan. Tujuannya
adalah supaya pasien dapat bekerja lagi secara produktif.
3.2 Upaya pencegahan penyakit TBC
Beberapa upaya yang dapat dilakukan sebelum terkena TBC antara lain :
1. Perilaku hidup bersih dan sehat ( PHBS )
PHBS merupakan upaya dini yang dilakukan untuk mencegah TBC.
Kita tidak tau kapan kuman TBC akan masuk ke tubuh kita. Untuk itu kita
harus selalu menjaga supaya tubuh senantiasa dalam keadaan sehat. Cara
yang paling ampuh, mudah dan murah adalah dengan membiasakan diri
berperilaku hidup bersih dan sehat. Ada banyak sekali perilaku yang
termasuk dalam PHBS, antara lain :
Makan makan yang bergizi. Makanan bergizi penting untuk
menjaga daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Ingat, sayur
dan buah penting dikonsumsi setiap hari. Jika tahan dahan tubuh
kuat, kuman TBC yang masuk tidak akan menyebabkan kita sakit
TBC.
Berolah raga ( beraktifitas fisik ) minimal 30 menit setiap hari.
Berolah raga tidak harus berlari atau berenang dll. Lakukan
kegiatan apapun yang penting tubuh dapat berkeringat. Olah raga
secara rutin dapat membuat tubuh menjadi sehat dan bugar.
Tidak merokok.Penting diketahui bahwa satu batang rokok
mengandung lebih dari 4000 zat kimia yang berbahaya terutama
22
bagi paru - paru. Jika setiap hari ribuan zat kimia masuk ke paru -
paru melalui rokok, tentunya lama kelamaan paru - paru akan
mengalami kerusakan. Rokok juga menyebabkan kerusakan pada
sistim pertahanan tubuh yang ada di saluran pernapasan. Zat kimia
rokok meyebabkan bulu bulu halus disaluran napas rusak, padahal
bulu / rambut halus mempunyai fungsi penting sebagai penyaring
untuk mencegah kotoran / debu halus masuk ke paru - paru.
Mencuci tangan dengan sabun.Cuci tangan pakai sabun terbukti
mampu mencegah berbagai macam penyakit. Sering - seringlah
mencuci tangan dengan sabun terutama sebelum dan sesudah
makan, sesudah buang air besar / kecil, dan setiapkali merasa
tangan kotor. Kuman TBC dapat menempel dimanapun. Oleh
karena itu untuk mencegah penyakit TBC, sering-seringlah cuci
tangan pakai sabun.
Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar
Rumah dan lingkungan yang sehat dapat mencegah penularan
penyakit TBC. Syarat rumah sehat :
1. Bersih dari kotoran
2. Lantai tidak dari tanah,Lantai dari tanah akan meningkatkan
kelembaban dalam rumah. Kuman TBC dapat bertahan hidup
di ruangan yang gelap dan lembab.
3. Tidak padat huni.Satu kamar tidak lebih dari 3 orang
4. Ada jamban sehat ( jamban yang dilengkapi septitank )
5. Ada saluran pembuangan air limbah.
6. Ada jendela ( ventilasi udara dan ventilasi cahaya ).
Usahakan udara dari luar dapat masuk ke dalam rumah, supaya
selalu ada pergantian udara di dalam ruangan.
Usahakan juga cahaya matahari bisa masuk ke semua ruangan,
karena cahaya matahari langsung mampu membunuh kuman
TBC.Ingat, kuman TBC dapat berkembang dengan cepat di
ruangan yang kotor, gelap dan lembab.
7. Ada tempat sampah
23
2. Imunisasi BCG untuk bayi baru lahir
3. Hindari hal - hal yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
Hindari : Bergadang ( tidur sampai larut malam ). Bergadang dapat
menyebabkan turunnya daya tahan tubuh, sehingga orang yang sering
bergadang lebih mudah terserang penyakit.
4. Sembuhkan semua penderita TBC.
Kita semua dapat berperan untuk membantu mencegah TBC. Anjurkan
setiap orang dengan batuk berdahak yang tidak sembuh - sembuh untuk
segera memeriksakan diri ke Puskesmas / BKPM. Waspadai batuk
berdahak yang tidak sembuh- sembuh, karena bisa jadi itu TBC. Kita
juga bisa membantu penyembuhan penderita TBC, caranya dengan
menjadi PMO ( Pendamping Minum Obat ). Dampingi penderita sampai
dinyatakan sembuh oleh dokter. Dengan menyembuhkan penderita TBC,
berarti kita sudah ikut mencegah penyakit TBC. Karena satu satunya
sumber penularan penyakit TBC adalah penderita TBC yang belum
mendapat pengobatan.
Jika sudah terlanjur terkena TBC, maka upaya pencegahan yang
dilakukan ditujukan untuk :
1. Mencegah supaya penyakitnya tidak menular ke orang lain
2. Mencegah penyakitnya berkembang lebih parah
3. Mencegah kematian
Upaya yang harus dilakukan penderita jika terlanjur terken TBC :
1. Minum obat secara rutin selama 6 bulan
Penderita TBC tidak boleh lupa minum obat, untuk menjaga supaya
di dalam darahnya selalu ada obat TBC.
2. Rajin kontrol untuk memantau kemajuan pengobatan.
Selama pengobatan, penderita harus periksa dahak minimal 3 kali
yaitu 2 bulan awal pengobatan, 1 bulan sebelum akhir pengobatan
dan pada akhir pengobatan.
3. Menutup mulut dan hidung saat batuk / bersin dengan tisu.
24
Tidak dianjurkan menutup mulut langsung dengan tangan, karena
ribuan kuman TBC dapat menempel di tangan dan akan menjadi
sumber penularan buat orang lain.
4. Tidak membuang riak / dahak di sembarang tempat
Di dalam riak / dahak penderita TBC mengandung ribuan kuman
TBC. Buanglah dahak / riak ke tempat khusus ( ember / pot ) yang
sudah diberi air sabun / minyak tanah / lisol.
5. Makan makanan bergizi untuk mempercepat penyembuhan.
6. Cukup istirahat
7. Pada awal pengobatan ( 2 minggu pertama ) sebaiknya penderita
tinggal di rumah, karena pada masa tersebut risiko penularan masih
sangat tinggi.
8. Penderita sebaiknya tidur sendirian
9. Penderita sebaiknya tinggal di rumah yang mempunyai cukup
ventilasi, supaya udara dalam kamar dapat berganti dengan udara
yang bersih.
10. Menjemur selimut, bantal dan guling yang dipakai penderita
dibawah sinar matahari. Sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman TBC.
25
BAB IV
REKOMENDASI DAN SARAN
4. 1. Bagi Masyarakat Desa dan Seluruh Sektor
- Masyarakat diharapkan lebih aktif mengikuti penyuluhan tentang
tuberkulosis untuk mencegah tingginya angka penyeberanan demam
berdarah dalam masyarakat.
- Melaksanakan program-program yang telah dijalankan dari puskesmas
Puskesmas.
4. 2. Bagi Tenaga Kesehatan
- Meningkatakan motivasi staf puskesmas professional dengan cara
mengikuti seminar- seminar motivasi.
- Pimpinan puskesmas dalam rangka menumbuhkan motivasi staf
administrasi dalam bekerja, harus memperhatikan kebutuhan fundamental
para staf, dan dalam proses selanjutnya tentu saja pimpinan puskesmas
dapat melakukan proses motivasi dengan menggunakan teori-teori
motivasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi para staf dalam
pemenuhan kebutuhannya secara hirarkis dan simultan, yang tentu saja
diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan
produktivitas kerja sekaligus indikator dari peningkatan kinerja staf
administrasi di Puskesmas.
4. 3. Bagi Pemerintah
- Membuat dan menjalankan program monitoring terhadap petugas
kesehatan di puskesmas.
- Melakukan upaya penyuluhan kepada masyarakat agar lebih
memperhatikan kesehatan diri sendiri dan lingkungan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Arifin N, 1990, Diagnosis Tuberkulosis Paru, Cermin Dunia Kedokteran No. 63.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2013.
BKM Pekalongan, Pencegahan TBC 2013. http://bkpmpekalongankota. blogspot. com/2013/11/5-tahap-pencegahan-tbc.html, diakses tanggal 18 juni 2015
Depkes RI, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI, Jakarta.2002.
Depkes.RI. 2003. Pedoman Penemuan dan Pengobatan Penderita TB Paru. Jakarta. Depkes.
Munijaya, A.Gde.2004. “Manajemen Kesehatan Edisi 2”. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Profil data kesehatan indonesia tahun 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. hlm 125-208.
Sulistiyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Gaya Media, Yogyakarta. 2004
Tjandra Yoga Aditama. 2002. Tuberkulosis, diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Penerbitan IDI.
WHO. 1995. “Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer”.Jakarta: Buku Kedokteran EGC
WHO. TB Control in the Workplace, Report of an Intercontry Consultan, New Delphi. 2004. Depkes 2002, http://www.depkes.go.id/index.php?option2 articles&arcid=154&item=3, 20 Mei 2004.
27