laporan kasus pterygium
-
Upload
titis-ummi-nur-jannati -
Category
Documents
-
view
652 -
download
105
description
Transcript of laporan kasus pterygium
Presentasi Kasus
ILMU KESEHATAN MATA
Oleh:
Titis Ummi Nur Jannati G99112135
Pembimbing :
dr. Djoko Susianto, Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Gemolong, Sragen, Jawa Tengah
Tanggal Masuk : 9 Oktober 2013
Tanggal Pemeriksaan : 9 Oktober 2013
No. CM : 01222741
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Mata kiri terasa mengganjal
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang
mengganjal. Pasien juga mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih
yang tumbuh di mata kiri dan semakin meluas ke arah bola matanya.
Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu.
Pasien juga merasakan pandangan semakin berkurang sejak saat itu.
Pandangan kabur (+), pusing (-), mata cekot-cekot (-), nrocos (-), keluar
blobok (-), mata merah (-), mata gatal (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
4. Riwayat asma : disangkal
2
5. Riwayat alergi : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Gizi kesan cukup
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi tegangan cukup, simetris
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6oC (per axiler)
B. Pemeriksaan subyektif
OD OS
Visus Sentralis Jauh 6/20 5/60
Pinhole : tidak dilakukan tidak dilakukan
Koreksi : tidak dilakukan tidak dilakukan
Refraksi : tidak dilakukan tidak dilakukan
Visus Sentralis Dekat
Koreksi : tidak dilakukan tidak dilakukan
Visus Perifer
a. Konfrontasi test : tidak dilakukan tidak dilakukan
b. Proyeksi sinar : tidak dilakukan tidak dilakukan
c. Persepsi warna :
Merah tidak dilakukan tidak dilakukan
Hijau tidak dilakukan tidak dilakukan
3
C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
Tanda radang : tidak ada tidak ada
Luka : tidak ada tidak ada
Parut : tidak ada tidak ada
Kelainan warna : tidak ada tidak ada
Kelainan bentuk : tidak ada tidak ada
2. Supercilium
Warna : hitam hitam
Tumbuhnya : normal normal
Kulit : sawo matang sawo matang
Pasangannya : dalam batas normal dalam batas normal
Geraknya : dalam batas normal dalam batas normal
3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita
Heteroforia : tidak ada tidak ada
Strabismus : tidak ada tidak ada
Pseudostrabismus : tidak ada tidak ada
Exophthalmus : tidak ada tidak ada
Enophthalmus : tidak ada tidak ada
Anophthalmus : tidak ada tidak ada
4. Ukuran bola mata
Mikrophthalmus : tidak ada tidak ada
Makrophthalmus : tidak ada tidak ada
Ptosis bulbi : tidak ada tidak ada
Atrofi bulbi : tidak ada tidak ada
Bufthalmus : tidak ada tidak ada
Megalokornea : tidak ada tidak ada
Mikrokornea : tidak ada tidak ada
5. Gerakan Bola Mata
Temporal Superior: dalam batas normal dalam batas normal
Temporal Inferior : dalam batas normal dalam batas normal
4
Temporal : dalam batas normal dalam batas normal
Nasal Superior : dalam batas normal dalam batas normal
Nasal Inferior : dalam batas normal dalam batas normal
6. Kelopak Mata
Gerakan : dalam batas normal dalam batas normal
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada ada
Lebar Rima : 10 mm 10 mm
Tepi Kelopak Mata
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemi : tidak ada tidak ada
Entropion : tidak ada tidak ada
Ekstropion : tidak ada tidak ada
7. Sekitar saccus lakrimalis
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemi : tidak ada tidak ada
8. Sekitar Glandula lakrimalis
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
9. Tekanan Intra Okuler
Palpasi : tidak dilakukan tidak dilakukan
Tonometer Schiotz: tidak dilakukan tidak dilakukan
10. Konjungtiva
Konjungtiva palpebra superior
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
Sekret : tidak ada tidak ada
Konjungtiva palpebra inferior
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
Sikatrik : tidak ada tidak ada
5
Konjungtiva Fornix
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
Sekret : tidak ada tidak ada
Konjungtiva Bulbi
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
Sekret : tidak ada tidak ada
Injeksi Konjungtiva: tidak ada tidak ada
Injeksi Siliar : tidak ada tidak ada
Pterigium : tidak ada ada
11. Sklera
Warna : putih putih
Penonjolan : tidak ada tidak ada
12. Kornea
Ukuran : 12 mm 12 mm
Limbus : normal normal
Permukaan : rata terdapat
selaput
Sensibilitas : tidak dilakukan tidak dilakukan
Keratoskop : tidak dilakukan tidak dlakukan
Flourescin Test : tidak dilakukan tidak dlakukan
Arcus Senilis : ada ada
13. Kamera Okuli Anterior
Isi : jernih jernih
Kedalaman : dalam dalam
14. Iris
Warna : hitam hitam
Bentuk : bulat bulat
Sinekia anterior : tidak ada tidak ada
Sinekia posterior : tidak ada tidak ada
6
15. Pupil
Ukuran : 3mm 3 mm
Letak : sentral sentral
Bentuk : bulat bulat
Reaksi terhadap
Cahaya Langsung : (+) (+)
Cahaya tak langsung: (+) (+)
Konvergensi : tidak dilakukan tidak dilakuakan
16. Lensa
Ada/tidak : ada ada
Kejernihan : jernih jernih
Letak : sentral sentral
Shadow test : (-) (+)
17. Corpus vitreum
Kejernihan : tidak dilakukan tidak dilakukan
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD OS
Visus sentralis jauh 6/20 5/60
Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal
Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Kelopak mata lebar rima 10 mm lebar rima 10 mm
Kornea arcus senilis tampak pterigium
Camera oculi anterior dalam batas normal dalam batas normal
Iris dalam batas normal dalam batas normal
Pupil dalam batas normal dalam batas normal
Lensa jernih jernih
7
V. GAMBAR
OD OS
VI. DIAGNOSIS BANDING
- OS Pterigium
- OS Pseudopterigum
- OS Pinguekula
VII. DIAGNOSIS KERJA
OS Pterigium
VIII. PENATALAKSANAAN
Ekstirpasi pterigium dengan lokal anestesi
IX. PLANNING
Pemeriksaan darah lengkap
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad kosmetikum : dubia ad bonam
8
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA DAN KORNEA
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya.
3. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.
Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan
menebal secara bertahap dari forniks ke limbus dengan membentuk
epithelium berlapis tanpa keratinisasi pada daerah marginal kornea.
Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang
lebih tipis. Dibawah epitel tersebut terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari
jaringan ikat longgar yang terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis
melekat kuat pada tarsus, sedangkan bagian bulbar bergerak secara bebas
pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea. Berikut adalah gambaran
anatomi dari konjungtiva.
9
Gambar 3. Anatomi Konjungtiva
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh
limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus
dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus
limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi
mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi
dua grup besar yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak
ditemukan pada daerah inferonasal.
10
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari
konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah
dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar
Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam
dibawah substansi propria.
Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun
karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai
darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak.
Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.
Anatomi Kornea
Kornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata,
bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis:
1. Epitel : Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman : Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma : Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
11
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet : Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal,
kuat, tidak berstruktur dan bening, mempunyai tebal 40 µm, terletak di
bawah stroma, lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan
masuknya pembuluh darah.
5. Endotel : Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. Endotel melekat pada membrane descemet melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Berikut adalah gambaran anatominya:
Gambar 4. Anatomi Kornea
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V (N.Trigeminus),saraf siliar
longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus
membrane Bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma
atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
12
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea.
II. PTERYGIUM
A. Definisi
Gambar 5. Mata dengan Pterygium
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap
Pterygium adalah keadaan patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan
penebalan yang merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat
degeneratif dan invasif, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva dan menjalar ke dalam kornea pada daerah interpalpebra,
dengan puncak segitiganya di kornea, dan kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke arah puncak pterygium. Kebanyakan pterygium ditemukan di
bagian nasal dan biasanya bilateral. Pada stadium dini, bagian puncak
pterygium terlihat bercak-bercak kelabu yang dikenal dengan sebutan pulau-
pulau Fuchs. Pterygium memiliki tiga bagian:
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
13
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
2. Bagian whitish, langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler
tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor. Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan
area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting
untuk dilakukannya koreksi pembedahan
B. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga
merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium
banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah
dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor risiko terjadinya pterigium
adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang
berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum adalah
exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata.
Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai
konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula
dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat alergen, kimia dan zat pengiritasi
lainnya. Pterigium Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang
yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.
Faktor risiko :
1. Radiasi ultraviolet
Radiasi UV adalah penyebab tersering timbulnya pterygium. Faktor
resiko radiasi sinar UV bisa dikaitkan dengan pekerjaan.
2. Faktor genetik
Penelitian case control yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan
kemungkinan diturunkan autosom dominan pada riwayat keluarga
dengan pterygium.
3. Faktor lain
14
Iritasi kronik atau inflamasi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu (pasir, debu, angin, asap rokok, bahan iritan), dry eye
dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
Ultraviolet B adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan pengaturan berlebihan
pada sistem kolagenase, migrasi seluler, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi
perubahan degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan subepitelial
fibrovaskular yang menembus kornea dan seringkali disertai dengan
inflamasi. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
dan epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Akibat dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.
Lapisan fibroblast pada bagian pterygium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa
pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi
fibrovaskular dan inflamasi.
15
C. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang
terletak antara 37o Lintang Utara dan Selatan. Prevalensi tinggi sampai 22 %
di daerah dekat ekuator. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1 %. Prevalensi pterygium meningkat
dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3. Insiden tinggi pada umur antara
20 dan 49 tahun. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda
daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan.
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar
rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering
terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial
dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan
penglihatan kabur.
D. Klasifikasi Pterygium
a. Berdasarkan lokasi:
1. Pterygium Simpleks, jika terjadi hanya di nasal atau temporal saja
2. Pterygium Dupleks, jika terjadi di nasal dan temporal
b. Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,
yaitu :
1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
depan kepala pterygium (disebut cap pterygium).
2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi 4
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
c. Klasifikasi yang lain :
1. Vaskuler : pterygium tebal, merah, progresif, ditemukan pada anak
muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah).
16
2. Membrannaceus : pterygium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah
terdapat pada orang tua
E. Derajat Pterygium
Pterygium dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
F. Predileksi
Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea. Pertumbuhan pterigium ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungitva yang meluas ke daerah
kornea.
G. Gejala Klinis
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Pada fase awal pterygium
tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterygium
mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan
fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan
terbatasnya pergerakan mata.
Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
1. Mata sering berair dan tampak merah (apabila terjadi iritasi)
2. Merasa seperti ada benda asing atau fotofobia
17
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan
pterygium tersebut, biasanya astigmatisme “with the rule” ataupun
astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan
4. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil
dan aksis visual sehingga tajam penglihatan juga menurun.
5. Diplopia karena membesarnya ukuran lesi. Efek diplopia akan lebih
sering pada lesi-lesi rekuren dengan pembentukan jaringan parut.
H. Diagnosis
Pemeriksaan Dalam Penegakan Diagnosis :
1. Anamnesis
Gejala hingga keluhan seperti mata kemerahan, membengkak, gatal,
iritasi, pandangan kabur yang berhubungan dengan lesi yang meninggi
pada satu atau kedua mata
2. Pemeriksaan Fisik
Pterigium muncul dengan perubahan fibrovaskular yang beragam pada
permukaan konjungtiva dan kornea. Lebih sering muncul dari daerah
konjungtiva nasal dan meluas hingga ke kornea nasal, walaupun bisa juga
bisa dari lokasi lain misal temporal. Tampilan klinis bisa dibedakan
menjadi dua kategori umum, yaitu:
a. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik. Pterigia
pada grup ini tampak lebih datar dan tumbuh lambat dan memiliki
insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.
b. Grup kedua datang dengan riwayat pertumbuhan cepat dan
komponen fibrovaskular yang meninggi secara signifikan. Pterigium
pada grup ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi setelah
dieksisi.
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pterygium adalah pseudopterygium.
Pseudopterygium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
18
cacat. Sering pseudopterygium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak
kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterygium juga sering
dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.
Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan
biasanya berbentuk obliq. Sedangkan pterygium ditemukan secara horizontal
pada posisi jam 3 atau jam 9. Diagnosis banding lainnya adalah pinguekula
dan pannus.
J. Penatalaksanaan
Terapi Konservatif
Terdapat beberapa terapi untuk pterygium. Secara umum pterygium primer
diterapi secara konservatif dan hal ini merupakan rekomendasi pertama pada
kebanyakan orang. Air mata buatan dapat membuat perasaan nyaman pada
penderita dan menyingkirkan adanya sensasi adanya benda asing pada mata.
Biasanya proses inflamasi pada lesi menjadi berkurang, pada kasus ini
pemberian dekongestan optik ringan atau yang lebih jarang, obat anti
inflamasi juga dapat diresepkan oleh dokter.
Pterygium atrofik yang berukuran kecil dapat diobservasi secara teratur.
Cairan pelumas dapat digunakan untuk mengatasi iritasi. Pterygium aktif
dapat diterapi awal dengan vasokonstriktor, obat-obat anti inflamasi non
steroid atau tetes mata steroid. Semua hal ini dapat digunakan sebagai terapi
tunggal atau sebelum dilakukan eksisi bedah.
Terapi Bedah
Pembedahan merupakan tindakan terbaik untuk mengatasi pterygium ataupun
pinguekula, namun hasilnya seringkali mengecewakan. Bahkan dengan tehnik
modern ini, angka kekambuhan cukup tinggi, yaitu antara 50-60%.
Pembedahan tidak direkomendasikan selama pterygium ataupun pinguekula
tidak terlalu menimbulkan masalah berat bagi penderita.
Tiga tipe masalah yang merupakan indikasi dilakukannya pembedahan segera
:
19
1. Tajam penglihatan terganggu. Hal ini dikarenakan pterygium berukuran
cukup besar sehingga mengenai zona penglihatan di bagian tengah
kornea. Pembedahan dapat digunakan untuk menjernihkan media
penglihatan dan membatasi astigmatisma yang cepat dan irregular.
2. Pterygium (kadang pinguekula) sangat mengganggu secara kosmetik.
Pembedahan biasanya dapat mengurangi ukuran pterygium, namun
eliminasi secara menyeluruh kadang sulit dilakukan.
3. Baik pterygium maupun pinguekula menyebabkan perasaan yang sangat
tidak nyaman karena adanya kekeringan atau sensasi adanya benda asing
yang kronik. Pembedahan biasanya dapat meningkatkan rasa nyaman,
namun gejala iritasi juga dapat muncul.
Cara operasi terbagi tiga :
1. Bar sklera : sklera dibiarkan terbuka.
2. Eksterpasi pterigium : Pterigium digunting, kemudian dijahit kebawah
konjungtiva.
3. Operasi plastik : ditutup oleh mukosa mulut.
Indikasi Operasi McReynold
1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular.
3. Mata terasa mengganjal.
4. Visus menurun, terus berair.
5. Mata merah sekali.
6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.
7. Alasan kosmetik.
Teknik pembedahan dengan menggunakan tandur atau graft sklera :
Pembedahan ini dilakukan di bawah anastesi lokal sehingga pasien tidak akan
merasakan sakit. Dalam pembedahan, pterygium dipindahkan dan bagian
kecil konjungtiva yang berupa kulit tipis transparan yang menutupi bagian
putih pada mata diletakkan ke tempat tersebut dari kelopak mata bagian
bawah. Operasi hanya berlangsung selama setengah jam. Setelah
pembedahan, seringkali pasien mengalami nyeri mata selama beberapa
20
minggu sehingga diperlukan pemberian tetes mata topikal selama beberapa
hari. Pada awal fase nyeri ini, biasanya mata juga mengalami sedikit
pembengkakan dan memerah
K. Prognosis
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada
beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, namun
kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya.
Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini
biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga
beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi
dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI.
Ilyas, S., Mailangkay, HHB., Taim, H., Saman, R., Simarwata, M., Widodo,
PS. (eds). 2010. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.
Putra AK. Penatalaksanaan pterygium Atmajaya. 2003 : 2 : 137 – 147
Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002. OftalmologiUmum, Edisi ke-14.
WidyaMedika: Jakarta.
22