PTERYGIUM EDMN10

27
PTERYGIUM Disusun oleh : ESTER DINA MARANATA NAINGGOLAN (210 210 137) Pembimbing : dr. JANUAR SITORUS, Sp.M FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH

description

edmn10

Transcript of PTERYGIUM EDMN10

PTERYGIUM

Disusun oleh :ESTER DINA MARANATA NAINGGOLAN(210 210 137)

Pembimbing :dr. JANUAR SITORUS, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARABAGIAN ILMU KESEHATAN MATARSUD DR. DJASAMEN SARAGIHPEMATANG SIANTAR2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dapat menyelesaikan tulisan tentang Pterygium. Adapun tulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan kepaniteraan klinik senior di SMF Ilmu Mata RSUD dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar.Pada kesempatan ini, izinkan penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Januar Sitorus, Sp.M yang telah membimbing dan mendidik penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior. Selain itu, penulis juga hendak menyampaikan terimakasih kepada dokter dan tenaga medis lainnya di bagian ini.Penulis mendapatkan manfaat yang besar selama mengumpulkan dan memahami materi tulisan serta pada saat menyusun tulisan ini hingga selesai. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan memberikan informasi yang minimal. Untuk itu, masukan yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita semua dan marilah kita budayakan membaca sejak dini.

Pematangsiantar, Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iiSTATUS PASIEN PTERYGIUM 1PENDAHULUAN 1DEFINISI 3EPIDEMIOLOGI 3ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO 4JENIS-JENIS PTERYGIUM 5STADIUM PTERYGIUM 5GEJALA KLINIK 5HISTOLOGIS 6DIAGNOSIS BANDING 6TERAPI 7KEKAMBUHAN SETELAH DILAKUKANNYA EKSISI BEDAH 9DAFTAR PUSTAKA 11

BAB ISTATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIENNama : Ny. YUmur: 53 tahunAgama: IslamPekerjaan: PNSAlamat: WonosocoTanggal Pemeriksaan: 26 Februari 2015II. ANAMNESISAnamnesis secara: Autoanamnesis Keluhan Utama: Mata kanan perih dan terasa ada yang mengganjalRiwayat Penyakit Sekarang:Keluhan mata kanan perih dialami pasien sejak kira-kira 3 bulan yang lalu dan sifatnya hilang timbul. Rasa perih ini timbul terutama bila mata kena cahaya matahari, debu atau angin. Pasien juga merasakan seperti ada sesuatu yang mengganjal ketika menutup mata kanannya. Awalnya pasien merasa gatal pada mata kanannya, lama kelamaan rasa gatal menghebat sehingga pasien sering mengucek-ngucek matanya. Rasa gatal kemudian diikuti dengan rasa perih yang disertai pengeluaran air mata yang berlebihan dan mata menjadi merah. Keluhan ini timbul saat pasien beraktifitas di luar rumah yaitu saat mata pasien terkena debu, angin atau sinar matahari. Pasien juga merasakan penglihatan mata kananny terganggu sejak 1 minggu terakhir.Pasien sehari-hari banyak beraktifitas di luar rumah dan jarang memakai kacamata pelindung sehingga sering terpapar sinar matahari dan debu.Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Trauma Pada Mata (-) Riwayat Penyakit Mata Yang Lain (-) Riwayat Hipertensi (-) Riwayat Diabetes Melitus (-) Riwayat Alergi Obat (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit serupa.

Riwayat Sosial Ekonomi:Pasien seorang PNS. Biaya pengobatan ditanggung Jamkesmas.

III. PEMERIKSAAN FISIKA. VITAL SIGNTekanan darah:120/80 mmHgNadi:84x/menitSuhu:Afebris Pernafasan:20x/menitKeadaan Umum:BaikKesadaran:Compos mentisStatus Gizi:Cukup

B. STATUS OFTALMOLOGIOCULI DEXTRA(OD)PEMERIKSAANOCULI SINISTRA(OS)

6/12Visus6/12

S+ 0,50 6/6Add S+ 3KoreksiS+ 0,50 6/6Add S+ 3

Gerak bola mata normal

Bulbus okuliGerak bola mata normal

NormalPalpebraNormal

Bagian nasal terdapat membran segitiga dengan puncak sudah melewati limbus kornea namun belum mencapai setengah jarak antara limbus dengan pupilKonjungtiva

Normal

Hiperemis (+)SkleraNormal

Jernih, bagian nasal tidak rata ditutupi membran.KorneaNormal

NormalCamera Oculi Anterior(COA)Normal

NormalIrisNormal

bulat, diameter : 3mm, letak sentral, refleks pupil langsung (+),refleks pupil tak langsung (+)Pupilbulat, diameter 3 mm, letak sentral, refleks pupil langsung (+), refleks pupil tak langsung (+)

IOL, letak sentral, PCO (-)LensaIOL, letak sentral, PCO (-)

JernihVitreusJernih

NormalRetinaNormal

(+) cemerlangFundus Refleks(+) cemerlang

NormalTIO digitalNormal

Epifora (-), lakrimasi (+)Sistem LakrimasiEpifora (-), lakrimasi (+)

IV. RESUMESeorang pasien wanita usia 53 tahun dating ke Poliklinik Mata RSUD Dr. Djasamen Saragih dengan keluhan utama : mata kanan perih dan terasa seperti terganjal sesuatu, gatal (+), hiperemis (+), lakrimasi (+).Pemeriksaan Fisik : Status Generalisata : DBN Status Oftalmikus : Subjektif : VOD : 6/12, VOS : 6/12 Objektif : konjungtiva bulbi OD : hiperemis (+), terdapat membrane berbentuk segitiga pada bagian nasal dengan puncak melewati limbus tapi belum melewati setengah jarak limbus dan pupil. Pemeriksaan Tambahan : TIOD : 17,3 mmHg ; TIOS : 14,9 mmHgDiagnosa Pterigium Stadium II Okulus Dekstra

Penanganan Tetes mata kortikosteroid Direncanakan ekstirpasi Pterigium

PrognosisCenderung membaik (Dubia ad Bonam)

PreventifPasien dianjurkan memakai kacamata atau topi pelindung bila sedang beraktifitas di luar rumah.

1

BAB IIPTERYGIUM

PENDAHULUANPterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas kedaerah kornea

Anatomi KonjungtivaKonjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.Anatomi KorneaKornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis: Epitel : Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.Membran Bowman. Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.Stroma. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.Membran Descemet. Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan bening, mempunyai tebal 40 m; terletak di bawah stroma, lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.Endotel. Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. Endotel melekat pada membrane descemet melalui hemidesmosom dan zonula okluden.Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V (N.Trigeminus), saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane Bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada keua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan olah kornea.

DEFINISIPterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas kedaerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau didaerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata.Timbulnya pterygium kadang-kadang bersamaan dengan pinguekula. Pinguekula terletak dalam fissura interpalpebral di meridian horizontal. Pinguekula sendiri merupakan suatu penonjolan berwarna putih kekuningan yang tumbuh di dekat kornea, diduga pinguekula adalah degenarasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka disekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Ukurannya bisa semakin besar, penyebabnya tidak diketahui tetapi pertumbuhannya didukung oleh pemaparan sinar matahari dan iritasi mata. Pinguekula tidak enak dilihat tetapi biasanya tidak menyebabkan masalah yang serius dan tidak perlu dibuang/diangkat.

EPIDEMIOLOGIBeberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi pterygium paling tinggi terdapat di daerah khatulistiwa. Pterygium juga sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita dan umumnya mengenai orang-orang yang memiliki aktivitas di luar ruangan. Prevalensi pterygium juga meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden pterygium paling banyak ditemukan pada usia 20-40 tahun.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKOTerdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan displasia.Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut.Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif.

JENIS-JENIS PTERYGIUMVaskuler : pterygium tebal, merah, progresif, ditemukan pada anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah. Membrannaceus : pterygium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah, terdapat pada orang tua.

STADIUM PTERYGIUMStadium I :Belum melewati limbusStadium II:Sudah melewati limbus dan belum mencapai pupilStadium III :Sudah menutupi pupilStadium IV :Sudah melewati pupil

GEJALA KLINIKPterygium dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Pterygium dapat hanya terdiri atas sedikit vaskular dan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan. Pterygium dapat aktif dengan tanda-tanda hiperemia serta dapat tumbuh dengan cepat.Pasien yang mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa iritasi, perubahan tajam penglihatan, sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila pterygium menyeberang axis visual atau menyebabkan meningkatnya astigmatisme. Efek lanjutnya yang disebabkan membesarnya ukuran lesi menyebabkan terjadinya diplopia yang biasanya timbul pada sisi lateral. Efek ini akan timbul lebih sering pada lesi-lesi rekuren (kambuhan) dengan pembentukan jaringan parut.

Pterygium memiliki tiga bagian : Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala. Bagian badan atau ekor. Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

HISTOLOGISSecara histologis, pterygium menujukkan perubahan yang sama dengan pinguekula. Epitel dapat saja normal, akantotik, hiperkeratosis atau bahkan displasia. Pemeriksaan sitologi pada permukaan sel pterygium terlihat abnormal dan menunjukkan peningkatan densitas sel goblet dengan metaplasia squamosa juga menunjukkan adanya permukaan sitologi yang abnormal pada area lain di konjungtiva bulbi pada area tanpa adanya pterygium8. Substansia propria menunjukkan degenerasi elastotik jaringan kolagen seperti yang dilaporkan oleh Austin dkk2 seperti elastodisplasia dan elastodistropi. Kolagen selanjutnya menghasilkan maturasi dan degenarasi abnormal. Sumber serat atau fiber kemungkinan berasal dari fibroblast yang mengalami degenerasi.

DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding pterygium adalah pseudopterygium. Pseudopterygium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterygium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterygium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk obliq. Sedangkan pterygium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.

TERAPIa. Terapi KonservatifTerdapat beberapa terapi untuk pterygium. Secara umum pterygium primer diterapi secara konservatif dan hal ini merupakan rekomendasi pertama pada kebanyakan orang. Air mata buatan dapat membuat perasaan nyaman pada penderita dan menyingkirkan adanya sensasi adanya benda asing pada mata. Biasanya proses inflamasi pada lesi menjadi berkurang, pada kasus ini pemberian dekongestan optik ringan atau yang lebih jarang, obat anti inflamasi juga dapat diresepkan oleh dokter.Pterygium atrofik yang berukuran kecil dapat diobservasi secara teratur. Cairan pelumas dapat digunakan untuk mengatasi iritasi. Pterygium aktif dapat diterapi awal dengan vasokonstriktor, obat-obat anti inflamasi non steroid atau tetes mata steroid. Semua hal ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau sebelum dilakukan eksisi bedah.

b. Terapi BedahPembedahan merupakan tindakan terbaik untuk mengatasi pterygium ataupun pinguekula, namun hasilnya seringkali mengecewakan. Bahkan dengan tehnik modern ini, angka kekambuhan cukup tinggi, yaitu antara 50-60%.

Pembedahan tidak direkomendasikan selama pterygium ataupun pinguekula tidak terlalu menimbulkan masalah berat bagi penderita.Tiga tipe masalah yang merupakan indikasi dilakukannya pembedahan segera :Tajam penglihatan terganggu. Hal ini dikarenakan pterygium berukuran cukup besar sehingga mengenai zona penglihatan di bagian tengah kornea. Pembedahan dapat digunakan untuk menjernihkan media penglihatan dan membatasi astigmatisma yang cepat dan irregular.Pterygium (kadang pinguekula) sangat mengganggu secara kosmetik. Pembedahan biasanya dapat mengurangi ukuran pterygium, namun eliminasi secara menyeluruh kadang sulit dilakukan.Baik pterygium maupun pinguekula menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman karena adanya kekeringan atau sensasi adanya benda asing yang kronik. Pembedahan biasanya dapat meningkatkan rasa nyaman, namun gejala iritasi juga dapat muncul.

Cara operasi terbagi tiga :1. Bar sklera : sklera dibiarkan terbuka.2. Eksterpasi pterigium : Pterigium digunting, kemudian dijahit kebawah konjungtiva.3. Operasi plastik : ditutup oleh mukosa mulut.

Indikasi Operasi McReynold1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular.3. Mata terasa mengganjal.4. Visus menurun, terus berair.5. Mata merah sekali.6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.7. Alasan kosmetik.

Tehnik pembedahan dengan menggunakan tandur atau graft sklera : Pembedahan ini dilakukan di bawah anastesi lokal sehingga pasien tidak akan merasakan sakit. Dalam pembedahan, pterygium dipindahkan dan bagian kecil konjungtiva yang berupa kulit tipis transparan yang menutupi bagian putih pada mata diletakkan ke tempat tersebut dari kelopak mata bagian bawah. Operasi hanya berlangsung selama setengah jam. Setelah pembedahan, seringkali pasien mengalami nyeri mata selama beberapa minggu sehingga diperlukan pemberian tetes mata topikal selama beberapa hari. Pada awal fase nyeri ini, biasanya mata juga mengalami sedikit pembengkakan dan memerah.

KEKAMBUHAN SETELAH DILAKUKANNYA EKSISI BEDAHPterygium dapat mengalami kekambuhan walaupun telah dilakukan pembedahan. Kambuhnya pterygium setelah dilakukan pembedahan telah lama menjadi masalah tersendiri bagi para ahli bedah walaupun tehnik yang digunakan termasuk baru. Autograf konjungtiva pada sel benih limbus adalah tehnik pembedahan yang paling banyak digunakan saat ini untuk mengatasi adanya kekambuhan pterygium, namun seringkali tehnik ini saja tidak cukup untuk mengatasi seringnya kekambuhan setelah dilakukannya pembedahan10. Salah satu cara yang paling banyak direkomendasikan adalah dengan tehnik intraoperatif dengan menggunakan Mitomycin C.Mitomycin C, adalah antimetabolit yang telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai pengobatan glaukoma. Ternyata bahan ini juga dapat mengatasi pterygium yang kambuh setelah pembedahan.Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Frucht-Pery dkk (1999) dilakukan untuk mengetahui efektifitas pemberian Mitomycin C secara intraoperatif dalam pembedahan pterygium. Metode penlitian : Efektifitas pemberian Mitomycin C secara intraoperatif dan kekambuhan post-operatif dinilai pada 17 pasien dengan dua pasien diantaranya mengalami kekambuhan pterygium. Para peneliti menggunakan tehnik bar-sclera dan meletakkan spons steril yang dicelupkan ke dalam larutan Mitomycin C 0,02% intraoperatif dalam ruangan episklera selama 3 menit. Kelompok kontrol (15 pasien) hanya menjalani eksisi bedah saja. Pasien kemudian dimonitor selama 21 sampai 30 bulan. Hasil penelitian adalah peterygium menglami kekambuhan pada satu (5,9%) dari 17 pasien dalam kelompok pertama dan sebanyak 6 pasien (40%) juga mengalami kekambuhan pada kelompok kontrol. Analisis statistik dengan menggunakan test Fisher menunjukkan adanya pengurangan angka kekambuhan yang signifikan (p=0,027) pada kelompok yang diberikan Mitomycin C intraopertif. Tidak terdapat komplikasi atau efek samping selama periode follow-up. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Mitomycin C dapat diberikan secara intraoperatif dan merupakan tehnik yang efektif untuk meningkatkan angka keberhasilan eksisi bedah pada pterygium 10.

Tehnik intraoperatif dengan Mitomycin C :Tehnik ini dimulai dengan melakukan tindakan bedah konvensional.Kemudian sebuah spons yang dicelupkan dalam larutan (solution) Mitomycin C kemudian diletakkan di bawah flap konjungtiva dan di belakang limbus.Selanjutnya 0,1 cc dari 0.4 mg/mL (0.04%) Mytomitocin C diaplikasikan pada ruangan subkonjungtiva selama 3 menit.Langkah selanjutnya adalah dengan membasuh sklera selama kurang lebih 5 menit dengan menggunakan larutan fisiologis. Dengan dosis Mitomycin-C yang tepat, persentase kekambuhan pterygium menjadi semakin rendah dan komplikasi terhadap penglihatan tidak ditemukan.

DAFTAR PUSTAKAAminlari, A., Singh, R., liang, D., 2010. Management of Pterygium 3738.Erry, Mulyani, U.A., Susilowati, D., 2011. Distribusi dan Karakterisitik Pterigium di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 14, 8449.Fisher, J.P., 2009. Pterygium. Medscape.Francisco J, Garcia-Ferrer, Ivan R. Schwab, Debra J. Shetlar, 2010. Konjungtiva, in: Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. EGC, Jakarta, p. 119.G Gazzard, S-M Saw, M Farook, D Koh, D Widjaja, S-E Chia, C-Y Hong, D T H Tan, 2002. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. bjophthalmol 86, 13411346.Ilyas, S., 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

1