TINJAUAN PUSTAKA pterygium
Embed Size (px)
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA pterygium

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Anatomi Mata
2. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi 2
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya
sehingga bola mata mudah bergerak
3. Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih;
satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis
sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
-epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-
kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. membrane descement
- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membran basalnya.
- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.
5. Endotel
- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel melekat
pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk

sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
B. PTERIGIUM
1. Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya
terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini
mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan
patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi
geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden
tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah
umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda
dibandingkan dengan pasien usia tua.

2. Etiologi dan Faktor Resiko
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi.
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet
sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter .
- Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan
sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan
kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
- Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.
- Faktor lain.
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang juga menunjukkan adanya
“pterygium angiogenesis factor“ dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

3. Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan
tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan
oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau
degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang
degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

4. Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
mata sering berair dan tampak merah
merasa seperti ada benda asing
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut
pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.
Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.
5. Pemeriksaan Fisik dan Klasifikasi
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada
limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput
lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah
kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
Cap, bagian belakang pterygium

A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterygium.
Keterangan: A) Cap, B) Head, C) Body
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterygium
Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ):
Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
Pembagian lain pterygium, yaitu :
Tipe 1 : Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan besi (ditunjukkan
dengan Stocker’s line) dapat terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan
pterygium. Lesi/jejas ini asimtomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat

meradang (intermittently inflamed). Jika memakai soft contact lens, gejala
dapat timbul lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada
ujung kepala pterygium yang sedikit naik/terangkat dan ini dapat
menyebabkan iritasi.
Tipe 2 : Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recurrent) sehingga perlu
tindakan pembedahan. Dapat mengganggu precorneal tear film dan
menyebabkan astigmatisme.
Tipe 3 : Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual
axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan
dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornik yang terkadang
dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata.
Perbedaan pterygium dan pinguecula serta klasifikasi pterygium
6. Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing

dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.11
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh.
Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut.11
Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde
seperti pada pseudopterigium.
7. Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan. Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang
dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar
ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.
2. Pseudopterigium
Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan
dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea. Pertumbuhannya
mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau Terriens marginal
degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva
bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium
merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma,
trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada

pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing dengan
muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada
limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak
didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang
interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.
8. Terapi
a. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
b. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama
untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan
parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan
Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan
orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah
dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion

ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu
adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan
fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada
studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik
ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap
ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion
menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam
autografts konjungtiva.
c. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi
medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi
telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk
menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6
minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6
minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.
11. Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Dry Eye sindrom
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki
angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi
12. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang
banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar
matahari.
13. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali
setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang
dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi
pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti
riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 – 117
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia: Butterworth
Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ; 1996. p.142
Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit Airlangga
Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17 Jakarta :
EGC, 2009 Hal 119