CRS Pterygium Saya
-
Upload
ferry-ghifari -
Category
Documents
-
view
96 -
download
13
Embed Size (px)
Transcript of CRS Pterygium Saya

BEDSIDE TEACHING
Pterygium
Disusun oleh :
Ferry Ghifari G 1301-1212-0547
Citra Sari Dewi 1301-1212-0527
Preceptor :
DR. dr. Bambang Setiohadji, SpM(K), MH.Kes
DEPARTEMEN KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2013

I. KETERANGAN UMUM
Nama : Tn.P
Umur : 46tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : supir
Status : menikah
Alamat : Majalaya
Tanggal Pemeriksaan : 20 Desember 2013
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Selaput putih pada mata kiri
Anamesis Khusus :
Sejak 2 tahun yang lalu, pasien mengeluhkan munculnya selaput berwarna
keputihan pada mata kiri. Selaput semakin lama semakin meluas . Keluhan
disertai dengan mata perih seperti kelilipan apabila terkena cahaya matahari
Riwayat berobat untuk keluhan diatas tidak ada. Keluhan yang sama
sebelumnya tidak ada. Keluhan sakit mata sebelumnya tidak ada.
Riwayat trauma pada mata (-), riwayat operasi mata dan pengobatan
sebelumnya (-). Riwayat darah tinggi, kencing manis, maupun jantung tidak
diketahui.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis :
T: 120/80 mmHg
N:80 x/m
R:20x/m
S:Afebris
Status Oftamologis
1. Pemeriksaan Subjektif
Visus
VOD SC : 6/ 6 VOS SC : 3/6
Koreksi : - Koreksi : -

2. Pemeriksaan Objektif
a. Inspeksi
OD OS
Muscle Balance Ortotropia Ortotropia
Pergerakan bola mata Duksi: Baik
Vesi: Baik
Duksi: Baik
Versi: Baik
Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Palpebra superior Tenang Tenang
Palpebra inferior Tenang Tenang
Apparatus lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva tarsalis
superior
Tenang Tenang
Konjungtiva tarsalis
inferior
Tenang Tenang
Konjungtiva bulbi Tenang Selaput (+)
Kornea Tenang Selaput (+)
COA Sedang Sedang
Pupil Tenang Tenang
Iris Tenang Tenang
Lensa Jernih Jernih
IV. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Slit Lamp
- Pemeriksaan lapang pandang
- Biopsi PA
VI. DIAGNOSIS BANDING
Pterygium gr II OS
Pinguecula

VI. DIAGNOSIS KERJA
Pterygium gr II OS
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
- Steroid topikal
- NSAID topikal
2. Operatif
- Eksisi pterygium
3. Observasi selama dirawat
4. Pencegahan
Untuk menghindari kekambuhan memakai kaca mata pelindung,
Menghindari paparan debu, sinar matahari secara langsung.
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

Pterigium
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea.
Pterigium berhubungan dengan ultraviolet dan lingkungan yang panas dan
kering. Angka kejadian pterigium lebih tinggi di daerah beriklim tropis dan
subtropis. Menurut survei kesehatan indera penglihatan dilaporkan bahwa di
Indonesia angka kesakitan pterigium adalah 13,9% dan merupakan angka
kesakitan tersering.
Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan
pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan, terdapat periode klinis yang
tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat
lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea
sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan.
Walaupun pterigium jarang menimbulkan kebutaan, tetapi dapat
menimbulkan gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme iregular atau
pterigium yang telah menutupi media penglihatan, sehingga perlu tindakan
operasi.
Definisi Pterigium
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterigium.

Epidemiologi
Pterigium lebih sering muncul pada area tropis, ditempat lain
prevalensinya rendah, dizona beriklim sedang prevalensi populasinya kurang lebih
2 %, sedangkan zona tropis prevalensinya mencapai minimal 6 % s.d 20%.
Pterigium paling sering terjadi pada zona equator antara 30th Northern dan
Southern paralles. Selain zona ini prevalensi berkurang.
Persentasi terendah antara 0% s.d. 1,9% di Scandinavia, Jerman, Rusia,
UK, Prancis utara, Kanada, Amerika Utara. Persentasi sedang Spanyol utara, Ilalia
selatan, Afrika utara, Amerika tengah. Persentasi tinggi 5-10 % di Amerika
selatan, Mesir dan Cina. Persentasi sangat tinggi >10% di Australia, India,
Pakistan, equatorial afrika, Amerika tengah.
Penelitian epidemiologi pada populasi dengan area geografi yang luas ini
dipengaruhi oleh faktor lingkungan pada patogenesis dari pterigium yang dapat
diidentifikasikan menjadi faktor resiko mayor dan minor.
Hubungan antara pemaparann sinar UV dengan kejadian pterigium telah
disetujui. Pterigium dapat berkembang karena pemaparan sinar UV, setiap hari
dan terus menerus selama bertahun-tahun. Dewasa muda berusisa 20 tahunan
berisiko tinggi terhadap pemaparan UV. Sinar UV berhubungan dengan patologi
hiperplastik dan degeneratif serta tumor pada permukaan kulit.
Faktor risiko utama pterigium dapat diidentifikasikan berdasarkan gaya
hidup dan pekerjaan pasien.
Pterigium dapat ditransmisikan dengan faktor puri-hereditary dengan
penetrasi inkomplit dan ekpresi yang bervariasi.
Faktor risiko dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik meliputi faktor herediter, perubahan kuantitatif dan
kualitatif dari lakrimal film dan konjungtivitis iritan kronis. Beberapa
defisiensi, misalnya defisiensi vitamin A, bertanggung jawab terhadap
perubahan mukosa lakrimal dan pergantian sel epitel kornea-konjungtiva
dan dipertimbangkan sebagai faktor intrinsik.
2. Faktor Ekstrinsik

Faktor ekst rinsik karena terpapar dengan sinar UV dan mikrotrauma
kronis pada permukaan mata yang sering disebabkan oleh pekerjaan
pasien. Pengaruh pemaparan mikrotrauma di lingkungan kerja misal
seperti alergen, angin, debu, rokok dan stimuli toksik lain, petani, pelaut,
tukang kayu termasuk dalam kelompok beresiko tinggi terhadap
pemaparan.
Infeksi mikroba dan virus tidak signifikan tetapi pada populasi tertentu
misalnya seperi trakhoma berpengaruh terhadap perubahan sekunder dari
lakrimal film dan predisposisi kerusakan konjungtiva.
Etiologi
Teori etiologi dan patogenesis terbagi atas :
1. Faktor herediter : Pterigum ditransmisikan oleh gen dominan dari
penetrasi inkomplit. Faktor herediter dicurigai karena terdapatnya
insidensi yang tinggi pada keluarga tertentu yang menurun dari generasi ke
generasi. Komponen herediter sebagai faktor predisposisi dari konjuntiva
yang bereaksi abnormal karena adanya stimuli lingkungan.
2. Pinguekula : Teridentifikasinya lesi pterigium primer pada pingeukula,
mikrolesi pada limbus dikarenakan lingkungan atau faktor lakrimal yang
memprovokasi konjungtiva dan menyebabkan reaksi pertahanan sel untuk
bermigrasi ke konjungtiva lalu dengan spontan meliputi konjungtiva. Lesi
saat melibatkan kornea akan menyebabkan edema dan mendorong migrasi
dari keratoblas limbal yang terlihat di stroma kornea sebagai selular islet.
Fuchs berdasarkan hipotesisnya bahwa pterigium berasal dari transformasi
pinguekula karena mempunyai gambaran histopatologi yang mirip satu
sama lain. Dan dipengaruhi rangsangan dari luar, seperti sinar matahari,
panas, angi, debu yang dapat menyebabkan terjadinya pinguekula dan
pterigium.
3. Inflamasi : mikrolesi pada limbus yang diprovokasi oleh lingkungan dan
stimuli pekerjaan menyebabkan aktivasi konjungtiva dengan inflamasi
subklinis untuk memperbaiki lesi tersebut.

Bocckman berpendapat bahwa pterigium terjadi karena ada jaringan
sub/konjungtiva melekat pada sklera. Friede berpendapat konjungtivitis
menahun sebagai faktor predisposisi dari terjadinya pterigium. Kamel
menganggap pterigium sebagai suatu inflamasi yang dimulai di
konjungtiva bulbi daerah fisura intrapalpebra berupa konjungtivitis kronik.
4. Muskular : pterigium berasal dari reaksi degeneratif tendon muskulus
rektus medialis.
5. Anomali dari Lakrimal Film : diskontinuitas dari lakrimal film dengan
pembentukan lembah kecil dan epitel mikrolesi. Hal ini dapat
menyebabkan stimulasi awal dari proliferasi jaringan fibrovaskular
subkonjungtival. Perubahan keunatitatif dan kualitatif dari lakrimal film
oleh karena itu selalu ada pada pterigium.
6. Tumoral : Pterigium adalah tumor ganas yang terlokalisasi di jaringan
subkonjungtival. Jaringan hiperplastik fibrilar kelihatan menginvasi
kornea dengan destruksi aktif epithelium, bowman’s dan stroma.
Von Artha menduga bahwa pterigium merupakan neoplasma kornea
dengan ciri hipertropi lamella subepitelial. Christiansen berpendapat
bahwa pterigium merupakan tumor jinak pada konjungtiva.
7. Neurotropik : iritasi kronis dari limbus menyebabkan neuritis pada saraf
corneal di bagian nasal sehingga terjadi ulserasi tropic. Perbaikan dari lesi
limbus melalui konjungtiva bulbi dapat menumbulkan lesi primer, dan
retraksi jaringan parut menimbulkan diskontinuitas terlokalisasi dengan
ulserasi limbus.
Lamoine (dalam Priyanto.TH) bahwa iritasi menahun pada kornea dan
konjungtiva di daerah fisura intrapalpebralis mengakibatkan gangguan
saraf yang menuju ke kornea sehingga terjadi gangguan neurotropik pada
kornea sehingga timbul ulkus kecil pada kornea dan pembuluh darah akan
menuju kornea disertai lipatan konjungtiva yang akan menutupi ulkus
tersebut.

8. Diet/Gizi : pterigium disebabkan oleh modifikasi tropic epitel, karena
defisiensi kolin dan vitamin A. Pterigium merupakan defisiensi yang
berhubungan dengan dysplasia epitel.
9. Faktor jaringan angiogenetik : iritasi berulang dari limbus dapat
memproduksi faktor angiogenetik yang meningkatkan kejadian pterigium.
Faktor angiogenetik diperoleh dari denaturasi protein kolagen dipengaruhi
oleh efek UV
10. Virus : Pada area geografik dimana tidak terjadi endemis pterigium,
Papova virus dapat diisolasi pada pasien dengan pterigium.
11. Immunitas : ketidakseimbangan sel imun mediated di konjungtiva. Pada
jaringan pterigium didapatkan populasi sel imunologis dengan prevalensi
sel limfosit CD3. Pada konjungtiva normal, rasio sel helper dan sel
suppressor adalah 1;1,5. Pada pterigium rasio sel helper dan sel supresor
adalah 1;2,7. Adanya IgE, IgG, dan sel imunologis, mengindikasikan
adanya reaksi hipersensitivitas pada pterigium.
12. Pemaparan sinar UV : merupakan teori yang diakui. Hipotesis terjadinya
pterigum adalah karena efek kumulatif sinar UV yang diabsorbsi oleh
permukaan mata. Pemaparan sinar UV, menyebabkan perubahan dari
jaringan epitel kornea dan jaringan submukosal konjungtiva. Selain itu
juga bertanggung jawab terhadap patologis kronis konjungtiva dan kornea.
Radiasai UV antara 290-320 nm diabsorbsi selektif oleh lapisan epitel dan
subepitel permukaan mata. Efek fototoksik sinar UV, lebih besar untuk
UVA, kerusakan karena UVA dapat ditambah oleh substansi psoralenic
endogen dan eksogen. UV dosis tunggal yang tinggi menyebabkan akut
aktinik keratokonjungtivitis, dengan gambaran klinis pengelupasan epitel
kornea dan konjungtiva. Dosis harian kronis sinar UV dapat menyebabkan
kerusakan permanen dari permukaan mata, degenerasi membrane bowman
dan lamella stromal superfisial dapat pula memprovokasi neovaskularisasi
di stromal.
13. Teori Limbal : Pengobatan pada komponen konjungtiva sering
mengakibatkan rekurensi, sebaliknya pengobatan limbus memberikan
hasil pengobatan yang baik. Imunohistokimia menggunakan antibody

monoclonal spesifik untuk sitokeratine sel epitel konjungtiva dan kornea
memperlihatkan bahwa pterigium berasal dari stem sel limbus. Sel ini
normalnya terfiksasi, tetapi dibawah efek sinar UV dan melalui efek
mediator jaringan, menyebabkan sel anak bermigrasi dibawah membrane
basalis dari epitel konjungtiva dan kornea. Selama perluasannya ke kornea,
sel dapat merusak dan menghancurkan membran bowman dan berinfiltrasi
ke lamella stromal superficial. Selama migrasinya, keratoblas tidak
memiliki aktivitas fibroblastic, tapi aktivitas itu akan dimiliki pada akhir
migrasi.
Histopatologi
Pterigium mempunyai gambaran histopatologi yang khas yaitu terdapatnya
jaringan ikat fibrovaskular yang abnormal. Epitel di atasnya dapat menebal atau
menipis, tetapi biasanya normal.
Kolagen dari jaringan subepitel konjungtiva mengalami degenerasi
elstotik. Istilah ini diambil karena jaringan ini meskipun bukan jaringan elstin
tetapi dapat terwarnai oleh zat pewarna elastin serta tidak lisis oleh enzim elatase.
Bagian apeks ditutupi oleh epitel konjungtiva dan terdiri dari sel fibroblas
avaskular yang akan menyebar ke kornea, membagi epitel dan lapisan Bowman
dengan substansia propia. Pada pterigium yang menyebar ke kornea, lapisan
Bowman diganti oleh Pannus fibrovaskular dan terjadi degenerasi hialin pada
daerah stroma.
Pterigium yang mengalami tumbuh ulang mempunyai gambaran
histopatologi yang berbeda dari pterigium primer, yaitu terdapatnya parut
fibrovaskular yang tumbuh dari tempat eksisi dan komposisinya mengandung
fibroblas dan banyak mengandung pembuluh darah sehingga gambaran ini mirip
keloid pada kulit.
Gambaran klinis dan klasifikasi
Gambaran morfologis dari pterigium dan keterlibatan kornea,
menimbulkan klasifikasi dari beberapa bentuk klinis. Ada tiga tipe utama.
Klasifikasi dibagi berdasarkan evolusi dan keparahan gambaran klinis (dari
stadium awal sampai stadium lanjut.

Gambaran klinis untuk klasifikasi adalah berdasarkan ukuran,
vaskularisasi dan perluasan ke permukaan kornea, keterlibatan optical zone dan
komplikasi.
Small Primary Pterigium (type 1)
Meliputi stadium awal dari pterigium primer. Lesi hanya terbatas pada
limbus dan menginvasi kornea marginal. Pada bentuk ini, gejala dan komplikasi
jarang terjadi. Bentuk stasioner dengan perkembangan klinis yang sangat lambat.
Morfologi dengan slitlamp menunjukkan tiga tipe pterigium yang berbeda.
a. Fibrous
b. Pingeucular
c. Classical
Advanced primary or recurrent pterygium with no optical zone involvement (Type
II)
Tipe yang paling sering terjadi, meliputi bentuk primer dan rekuren. Pada
jenis pterigium ini memungkinkan dibedakan semua struktur anatominya dengan
jelas. Menginvasi kornea sampai ke optic zone, infiltrasi ke sekeliling dapat
dilihat oleh mata. Badan disilang oleh kapiler yang berdilatasimembentuk
vaskularisasi yang menyebar sampai ke internal canthus. Iritasi terjadi terus
menerus dan penurunan visus yang disebabkan karena astigmatisme terinduksi
oleh fenomena difraksi cahaya.
Advanced primary atau rekurensi Pterygium dengan keterlibatan zone optical
(Type 3)
Bentuk paling lanjut dari pterigium. Berinvasi sampai ke zona optikal.
Pertumbuhan pterigium, dengan apex menginvasi lapang pupil dan menginfiltrasi
stroma kurang lebih 30% dari ketebalan kornea. Penurunan penglihatan biasanya
terjadi dan disebabkan oleh astigmatisme dan keterlibatan zone optic. Gambaran
morfologi dari tipe III pterigium adalah : collarate yang jelas meluas 8-10 mm di

limbus. Tubuh pterigium meluas ke seluruh medial canthus. Fibrosis
subkonjungtival yang meluas sampai ke forniks.
GEJALA
Keparahan gejala dari pterigium bersamaan dengan gambaran klinisnya.
Pada pterigium tipe I, gejala hampir tidak ada. Tetapi pada bentuk lanjut
dilaporkan adanya iritasi dan gangguan visus.
Penurunan visus sangat mengganggu, bervariasi antara pterigium tipe II
dan III, pada kasus ini, kepala pterigium menyebabkan astigmatisme ireguler atau
berinvasi ke zona optikal.
Iritasi nonspesifik ; photophobia, sensasi terbakar pada pemaparan dingin
dan panas, sensasi benda asing dengan sporadik atau mata berair secara terus
menerus.
Gejala sangat menonjol selama fase inflamasi dari pterigium dan
berhubungan dengan nyeri yang diprovokasi oleh mikroulserasi kornea yang
meliputi seluruh kepala pterigium.
Penurunan dari visus diobservasi saat pertumbuhan pterigium pada kornea
mencapai 3-4 mm.
Sebelum terjadi penurunan visus, pasien mengeluhkn gangguan generic
berupa kesilauan yang dideskripsikan sebagai kesulitan menyetir malam hari atau
efek cahaya radiasi. Gangguan ini sering terjadi, bahkan dapat terjadi pada
pterigia dengan dimensi kecil dan disebabkan oleh penurunan sensitivitas kontras.
Tidak ada hubungan antara derajat kesilauan dengan perluasan pterigium ke
kornea.
Pada pterigium, karena opasitas kornea perifer dan perubahan lakrimal
film, terdapat difraksi yang besar dari cahaya dan sensitivitas terhadap kontras
berkurang.
Difraksi dan perubahan penglihatan muncul dan dapat diobservasi saat
diameter upil mencapai 6 mm.
Penurunan penglihatan pada pterigium di provokasi oleh dua faktor
astigmatisme terinduksi dan invasi ke zona optik. Astigmatisme pada pterigium
dikarenakan oleh beberapa faktor yang dapat berdiri sendiri atau berhubungan.

Pertumbuhan kepala pterigium ke kornea selalu menimbulkan deformasi
pada kelengkungan kornea.
Diagnosa Banding
Pterigium mempunyai gambaran tipikal dengan slit lamp, sehingga tidak
sulit menentukan diagnosa. Tetapi ada beberapa kelainan patologi dari perifer
kornea dan limbus yang memberikan gambaran sama seperti pterigium, karena itu
perlu dilakukan diagnosis banding. Diagnosis banding diantara kelaianan patologi
adalah :
1. Phlyctenular keratokonjungtivitis
Neoformasi dari konjungtiva, kecil, berbatas tegas. Dengan gambaran
seperti gel, dikelilingi oleh twisted capillary. Berhubungan dengan hiperemi
konjungtival. Pathogenesis berhubungan dengan reaski hipersensitivitas tipe
lambat dari bakteri atau protein makanan. Kelaianan patologi ini umumnya
terlokalisasi, tetapi pada beberapa kasus dapat menimbulkan pembentukkan
pembuluh darah baru di kornea, menyebabkan opasitas permukaan. Biasanya
terdapat pada bayi atau anak-anak.
2. Squamous cell carcinoma of the limbus
Kelainan patologis yang sangat jarang, tetapi diagnosis bandingnya sangat
sulit dibedakan dari kelainan patologis lain pada limbus termasuk pterygium.
Seperti pterigium, muncul setelah pemaparan kronis sinar UV. Tempat paling
umum terjadi adalah di zona infero temporal dari limbus. Diagnosis pasti
didapatkan dari pemeriksaan histology.
3. Pinguekula
Kelainan patologi jinak yang sangat umum. Bentuknya bulat, berwarna
keputihan atau kekuningan. Tempat paling umum terjadi di limbus. Twisted
capillary dapat ditemukan didalamnya. Dari pemeriksaan histology pingeukula
adalah degenerasi hyaline dari jaringan konektif konjungtiva. Normalnya
asimtomatik tapi dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan iinflamasi, dengan
gejala terbakar, lakrimasi dan foreign body sensation. Diagnosis bandingnya
dengan pterigium tipe I dengan gambaran pinguecular.

Pinguekula iritan
4. Pseudo pterigium
Gambaran klinis pseudopterigium dengan pterigium adalah sama, tetapi
pathogenesis dari keduanya berbeda. Pseudopterigium dihasilkan dari perbaikan
ulkus kornea purifier. Atau inflamasi limbus karena berbagai penyebab ( kimia,
panas, mikrobiologikal, autoimun). Dapat didefinisikan sebagai konjungtivalisasi
dari permukaan kornea dan muncul pada semua zona kornea. Tidak terdapat
perkembangan lesi. Tetapi apabila kerusakan mencapai limbus maka akan meluas.
Lapisan fibrovaskular dapat menutupi seluruh kornea. Tidak dibutuhkan untuk
menghilangkan pseudopterigium, kecuali kerusakan telah mencapai zona optikal.
Pada beberapa kasus pseudopterigium adalah komplikasi dari dilakukannya
operasi pterigium.
5. Lymphoma dari konjungtiva.
Lesi yang sangat jarang terjadi meliputi bagian inferior dn nasal dari
konjungtiva. Lesi subkonjungtival salmon pink ini memperoleh sedikit
vaskularisasi dan hamper datar. Diagnosa pasti diperoleh dari pemeriksaan
histology.
6. Bowen’s epithelioma

Merupakan proliferasi neoplastic limbus dengan keganasan local.
Cenderung menginfiltrasi kornea dan konjungtiva. Diagnosis pasti diperoleh dari
pemeriksaan histology.
7. Dermoid Limbal.
Merupakan kelaianan patologi congenital yang jarang terjadi.
Memperlihatkan neoformasi bulat merah kekuningan antara limbus dan tepi
kornea. Tidak ada vaskularisasi yang abnormal. Tempat yang sering terjadi adalah
dermoid bagian inferotemporal.
8. The papiloma
Merupakan neovaskularisasi kecil aktif berbentuk kembang kol kecil.
Vaskularisasi tinggi dan mudah berdarah. Dibandingkan dengan pterigium
diagnosis banding sangat mudah tetapi diagnosis pasti diperoleh setelah
pemeriksaan histologi berasal dari virus.
9. Nodular episcleritis
Inflamasi episklera dan konjungtiva, dalam bentuk nodular akan
terlokalisasi. Sering terjadi pada wanitadewasa muda, kelainan patologi
memperlihatkan merah terang, hamper berupa nodul datar. Terdiri dari twisted,
injeksi konjungtiva dan pembuliuh darah kapiler episklera. Ketika pertama kali
muncul, episkleritis berhubungan dengan nyeri tetapi lama kelamaan menghilang
setelah beberapa minggu pengobatan dengan obat antiinflamasi. Terdapat
kecenderungan rekurensi.
Pengobatan Pterigium
1 Tindakan non bedah
Tindakan non bedah meliputi pemberian lubrikasi dengan tetes mata
buatan atau tetes mata dekongestan untuk mengurangi keluhan iritasi, tetes mata
dan salep steroid juga dapat di berikan untuk mengurangi reaksi peradangan,
tetapi tidak dapat diberikan dalam jangka panjang, karena dapat menimbulkan

komplikasi. Tetes mata vasokonstriktor juga dapat diberikan untuk mengurangi
keluhan mata merah. Obat-obat ini tidak menghambat progresifitas pterigium.
2 Tindakan bedah
Pengobatan pterigium tipe progresif yang merah, tebal dan meradang lebih
sulit bila dibandingkan dengan tipe nonprogresif yang putih, tipis dan avaskular.
Beberapa peneliti menganjurkan pemberian obat-obat, seperti obat steroid topikal
sebelum tindakan bedah.
Tindakan bedah dapat dilakukan bila pterigium menyebabkan gangguan
vissu, keluhan iritasi kronik, gangguan pergerakan bulbus okuli yang
mengakibatkan diplopia dan gangguan kosmetik.
Pembedahan pterigium dilakukan menurut enam cara yaitu : Avulsi,
Trasposisi apeks pterigium, Rotasi flep konjungtiva, Bare sclera, Cangkok
konjungtiva otologus dan cangkok membran amnion homologus.
A. Avulsi
Avulsi adalah suatu cara untuk mengangkat pterigium sebelum
berkembangnya teknik dan instrument bedah mikro, keuntungan teknik ini adalah
sederahana dan cepat.
Setelah dilakukan anestesi local dengan epinefrin di bawah korpus
pterigium, dilakukan diseksi dari sklera sampai limbus denagnn gunting wescott
secara tumpul. Kemudian apeks pterigium di pegang dengan penjepit bergigi dan
selanjutnya ditarik dari kornea di bawahnya. Bila terdapat sisa pterigium harus
diangkat dengan bantuan pisau beaver. Teknik ini tidak dianjurkan untuk
pterigium yang mengalami tumbuh ulang, karena jaringan pterigium sangat tebal
sehingga ketebalan kornea di bawahnya tidak dapat di nilai dan jaringan pterigium
melekat erat pada kornea, sehingga resiko perforasi kornea tinggi.
B. Transposisi apeks pterigium
Desmarres yang pertama kali memperkenalkan teknik ini. Dibuat insissi
konjungtiva di sebelah bawah, apeks pterigium dilepaskan dari kornea kemudian
ditanamkan pada celah tersebut, lalu dijahit seperti flep pedikel.

Knapp melakukan modifikasi teknik, yaitu dibuat insisi secara horizontal
pada apeks sehingga menjaaadi 2 bagian, kemudian bagian atas dijahit pada
konjungtiva sebelah atas sedang bagian bawah dijahit ke konjungtiva sebelah
bawah.
Mcreynold membelokkan dan menanam apeks pterigium di bawah
konjungtiva inferior. Blakovics melakukan modifikasi dengan melipat apeks
pterigium kemudian dibawah korpus pterigium.
C. Rotasi flep konjungtiva
Bangeretr, melakukan insisi konjungtiva superior dan inferior secara radier
kemudian ke dua sisi konjungtiva didekatkan dengan jahitan kromik 8-0 atau
nilon 10-0.
Bila sklera yang terpapar diperkirakan tidak dapat tertutup dengan cara
seperti itu, Atatoon melakukan teknik conjundtival pedicle flap yaitu setelah
dilakukan eksisi pterigium dibuat flep di atas limbus berbentuk trpesium dengan
ukuran panjang sama dengan diameter kornea dan lebarnya sepertiga diameter
kornea. mulai dari bagian lateral, flep konjungtiva dipisahkan dari subkonjungtiva
dengan gunting tumpul. Flep tersebut dipindahkan ke luka operasi pterigium,
kemudian dilakukan penjahitan sebanyak 8-10 buah.
D. Teknik Bare Sclera
D’Ombrain mengajukan teknik bare sclera. Setelah dilakukan eksisi apeks,
leher dan korpus pterigium dilakukan eksisi jaringan subkonjungtiva sampai
sklera. Tepi konjungtiva yang bebas dijahitkan ke episklera di bawahnya dan
sklera dibiarkan terbuka denagn harapan dapat menghambat tumbuh ulang.
E. Cangkok konjungtiva otologus
Pada teknik ini pterigium dieksisi dengan teknik bare sclera. Setelah
jaringan subkonjungtivitis bersih, dilakukan pengambilan jaringan konjungtiva
donor dari konjungtiva supertemporal, yang luasnya disesuaikan dengan daerah
pterigium. Jaringan konjungtiva donor kemudian dijahitkan pada daerah tadi
dengan jahitan terputus.

F. Cangkok membran anmnion homologus
Penggunaan membran amnion homologus sebagai pencakokan alternatif
setelah di eksisi pterigium. Luas daerah pterigium yang di eksisi diukur dan
disesuaikan luasnya denagn donor membran amnion yang sudah diawetkan.
Kemudian donor dijahitkan pada daerah tersebut dengan vikril 8-0 atau nilon 9-0
secara terputus.
3 Pengobatan pasca bedah pterigium
Upaya untuk menurunkan angka tumbuh ulang pterigium pasca bedah,
antara lain dengan radiasi sinar β, laser argon, tio-tepa, kortikosteroid, mitomisin
C atau dilakukan cangkok konjungtiva dengan melibatkan jaringan limbus.
A. Radiasi sinar β
Pembetukan jaringan granulasi memegang peranan penting untuk
terjadinya tumbuh ulang pasca pterigium. Tanda terjadinya jaringan granulasi
ialah terbentuknya kapiler baru. Radiasi sinar β dengan dosis 7-10 ribu rep (rotgen
equivalent phycal) dapat menghancurkan pembuluh darah yang sudah terbentuk. 9
Pemberian radiasi sinar β dapat menurunkan angka tumbuh ulang dari
30%-50% menjadi 0,5%-33%. Komplikasi pasca radiasi sinar β antara lain
teleangiektasi pembuluh darah konjungtiva dan episklera, keratitis, jaringan parut
pada kornea, dan katarak.
B. Laser Argon
Laser argon digunakan untuk mengablasi neovaskular yang tumbuuh ke
arah kornea pasca bedah pterigium. Tujuan penggunaan laser ini adalah untuk
mengablasi pembuluh darah tanpa menyebabkan kerusakan akibat suhu yang
panas di sekitar jaringan yang diablasi sehingga tidak menambah jaringan fibrosis
dan peradangan. Pengobatan dengan laser argon dilakukan setelah keadaan mata
cukup tenang dan dapat diulang setelah 1-2 minggu.
C. Tio-tepa

Tio-tepa (triethylenethiophosphoramide) adalah obat radiomimetic,
mempunyai efek terhadap proses penyembuhan jaringan seperti radiasi sinar β.
Komplikasi yang pernah dilaporkan meliputi iritasi dan infeksi
konjungtiva, granuloma, reaksi alergi, infeksi bakteri dan depigmentasi palpebra
yang permanen.
D. Kortiksteroid
Pemberian kortikosteroid topical pasca bedah pterigium akan menurunkan
terbentuknya jaringan sikatrik, seperti simblefaron dan restriksi pergerakan bulbus
okuli juga akan menghambat terjadinya edema kornea dengan memelihara
stabilitas permeabilits pembuluh darah dan menurunkan pembentukan
neovaskularisasi dengan menghambat reaksi inflamsasi. Tetapi sulit untuk
menetapkan peran kortikosteroid dalam menekan tumbuh ulang pasca bedah
pterigium.
E. Mitomisin C
Mitimisin C (MMC) merupakan suatu antibiotik yang di isolasi dari
streptomises caespitosus dan pertama kali diisolasi oleh Waikiki dkk tahun 1058.
Mempunyai khasiat onkostatik dan dapat menekan pembentukan jaringan
garanulasi pada kornea dan konjungtiva. Obat ini stabil dalam panas dan larut
dalam pelarut organik. Obat ini tersedia dalam bentuk bubuk sehingga harus
dilarutkan terlebih dahulu. MMC secara selektif menghambat sintesa DNA dan
proliferasi fibroblast.
Kunitomo dan Mori berhasil mengurangi angka tumbuh ulang petrigium
dengan menggunakan tetes mata MMC 0,4mg/ml pasca bedah, 3 kali sehari
selama 2 minggu. Dengan diberikannya MMC pasca bedah petrigium, akan
menghambat fase aktif penyembuhan jaringan konjungtiva dan subkonjungtiva,
sehingga fase aktif penyembuhan jaringan konjungtiva dan subkonjungtiva,
sehingga akan membantu reepitalisasi kornea yang adekuat dan terbentuknya
jaringan parut yang halus pada limbus sehingga akan menghambat tumbuh ulang.
F. Cangkok konjungtiva dengan melibatkan jaringan limbus

Jaringan limbus yang mengandung SC (Stem cell) merupakan sumber
utama regerasi epitel kornea dan juga berfungsi sebagai junctional barrier antara
kornea dan epitel konjugntiva. Oleh karena itu cangkok konjungtiva dengan
melibatkan jaringan limbus pada aksisi ptrigium, mempunyai tujuan bahwa SC
limbus akan menciptakan suatu barier limbus yang sehat, sehingga dapat
menurunkan tumbuh ulang pterigium.
Tumbuh Ulang
Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya tumbuh
ulang pasca bedah adalah pterigium dengan ukuran besar, pertumbuhannya cepat
atau progresif, pernah tumbuh ulang, pasien usia muda, tinggal di daerah tropis
dan operasi yang kurang adekuat.
Hayasaka menyatakan bahwa tumbuh ulang adalah setiap pertumbuhan
jaringan fibrovaskular yang mirip dengan pterigium asli, dari limbus ke kornea
pada daerah yang sebelumnya ada pterigium atau terlihat adanya neovaskularisasi
di daerah limbus.
Pterigium yang mengalami tumbuh ulang cenderung lebih besar, lebih
tebal, lebih hiperemis dan lebih agresif daripada lesi primernya. Sering
menyebabkan simblefaron sehingga terdapat gangguan pergerakan bulbus okuli. 8
Secara histopatologi pterigium yang tumbuh ulang berbeda dengan
pterigium asli, terdapat jaringan parut fibrovaskular yang tebal, mengandung
fibroblas dan pembuluh darah.
Komplikasi Pterigium
Komplikasi intraoperasi :
A. Perforasi kornea, dapat terjadi bila pembedahan menggunakan
pisau yang ujungnya tajam atau bila dilakukan pembedahan pada
pterigium dengan apeks dan korpus yang tebal dan melekat erat
pada kornea. Bila terjadi perforasi, maka apeks yang sudah
terlepas harus dijahit kembali pada tempat semula
B. Rusaknya otot rektus horizontal, sebaiknya pada saat melakukan
pembuangan jaringan subkonjungtiva harus hati-hati dimana
tendo otot rektus harus dapat diidentifikasi dulu sebelum
melakukan eksisi.

Komplikasi pasca operasi :
Infeksi, granula piogenik, dellen sklera/dellen kornea. Infeksi pasaca
bedah jarang terjadi bila sterilitas terjamin.
Dellen tampak sebagai jaringan ireguler dan terdapat lekukan. Dapat
terjadi pada orang tua dan pada pterigium yang sangat tebal.
Pengobatan dilakukan dengan menutup mata sehingga dellen
mengalami rehidrasi. Penutupan mata dilakukan sampai konjungtiva
dan episklera di sekitar dellen menjadi rata kembali dan menutupi
dellen.