CRS Pterygium Saya

31
BEDSIDE TEACHING Pterygium Disusun oleh : Ferry Ghifari G 1301-1212-0547 Citra Sari Dewi 1301-1212-0527 Preceptor : DR. dr . Bambang Setiohadji , SpM (K), MH. Kes DEPARTEMEN KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Transcript of CRS Pterygium Saya

Page 1: CRS Pterygium Saya

BEDSIDE TEACHING

Pterygium

Disusun oleh :

Ferry Ghifari G 1301-1212-0547

Citra Sari Dewi 1301-1212-0527

Preceptor :

 DR. dr. Bambang Setiohadji, SpM(K), MH.Kes

DEPARTEMEN KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG

2013

Page 2: CRS Pterygium Saya

I. KETERANGAN UMUM

Nama : Tn.P

Umur : 46tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan : supir

Status : menikah

Alamat : Majalaya

Tanggal Pemeriksaan : 20 Desember 2013

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Selaput putih pada mata kiri

Anamesis Khusus :

Sejak 2 tahun yang lalu, pasien mengeluhkan munculnya selaput berwarna

keputihan pada mata kiri. Selaput semakin lama semakin meluas . Keluhan

disertai dengan mata perih seperti kelilipan apabila terkena cahaya matahari

Riwayat berobat untuk keluhan diatas tidak ada. Keluhan yang sama

sebelumnya tidak ada. Keluhan sakit mata sebelumnya tidak ada.

Riwayat trauma pada mata (-), riwayat operasi mata dan pengobatan

sebelumnya (-). Riwayat darah tinggi, kencing manis, maupun jantung tidak

diketahui.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis :

T: 120/80 mmHg

N:80 x/m

R:20x/m

S:Afebris

Status Oftamologis

1. Pemeriksaan Subjektif

Visus

VOD SC : 6/ 6 VOS SC : 3/6

Koreksi : - Koreksi : -

Page 3: CRS Pterygium Saya

2. Pemeriksaan Objektif

a. Inspeksi

OD OS

Muscle Balance Ortotropia Ortotropia

Pergerakan bola mata Duksi: Baik

Vesi: Baik

Duksi: Baik

Versi: Baik

Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)

Palpebra superior Tenang Tenang

Palpebra inferior Tenang Tenang

Apparatus lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)

Konjungtiva tarsalis

superior

Tenang Tenang

Konjungtiva tarsalis

inferior

Tenang Tenang

Konjungtiva bulbi Tenang Selaput (+)

Kornea Tenang Selaput (+)

COA Sedang Sedang

Pupil Tenang Tenang

Iris Tenang Tenang

Lensa Jernih Jernih

IV. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Slit Lamp

- Pemeriksaan lapang pandang

- Biopsi PA

VI. DIAGNOSIS BANDING

Pterygium gr II OS

Pinguecula

Page 4: CRS Pterygium Saya

VI. DIAGNOSIS KERJA

Pterygium gr II OS

VIII. PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

- Steroid topikal

- NSAID topikal

2. Operatif

- Eksisi pterygium

3. Observasi selama dirawat

4. Pencegahan

Untuk menghindari kekambuhan memakai kaca mata pelindung,

Menghindari paparan debu, sinar matahari secara langsung.

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Page 5: CRS Pterygium Saya

Pterigium

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah

kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di

daerah kornea.

Pterigium berhubungan dengan ultraviolet dan lingkungan yang panas dan

kering. Angka kejadian pterigium lebih tinggi di daerah beriklim tropis dan

subtropis. Menurut survei kesehatan indera penglihatan dilaporkan bahwa di

Indonesia angka kesakitan pterigium adalah 13,9% dan merupakan angka

kesakitan tersering.

Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan

pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan, terdapat periode klinis yang

tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat

lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea

sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan.

Walaupun pterigium jarang menimbulkan kebutaan, tetapi dapat

menimbulkan gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme iregular atau

pterigium yang telah menutupi media penglihatan, sehingga perlu tindakan

operasi.

Definisi Pterigium

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di

bagian sentral atau di daerah kornea.

Pterigium.

Page 6: CRS Pterygium Saya

Epidemiologi

Pterigium lebih sering muncul pada area tropis, ditempat lain

prevalensinya rendah, dizona beriklim sedang prevalensi populasinya kurang lebih

2 %, sedangkan zona tropis prevalensinya mencapai minimal 6 % s.d 20%.

Pterigium paling sering terjadi pada zona equator antara 30th Northern dan

Southern paralles. Selain zona ini prevalensi berkurang.

Persentasi terendah antara 0% s.d. 1,9% di Scandinavia, Jerman, Rusia,

UK, Prancis utara, Kanada, Amerika Utara. Persentasi sedang Spanyol utara, Ilalia

selatan, Afrika utara, Amerika tengah. Persentasi tinggi 5-10 % di Amerika

selatan, Mesir dan Cina. Persentasi sangat tinggi >10% di Australia, India,

Pakistan, equatorial afrika, Amerika tengah.

Penelitian epidemiologi pada populasi dengan area geografi yang luas ini

dipengaruhi oleh faktor lingkungan pada patogenesis dari pterigium yang dapat

diidentifikasikan menjadi faktor resiko mayor dan minor.

Hubungan antara pemaparann sinar UV dengan kejadian pterigium telah

disetujui. Pterigium dapat berkembang karena pemaparan sinar UV, setiap hari

dan terus menerus selama bertahun-tahun. Dewasa muda berusisa 20 tahunan

berisiko tinggi terhadap pemaparan UV. Sinar UV berhubungan dengan patologi

hiperplastik dan degeneratif serta tumor pada permukaan kulit.

Faktor risiko utama pterigium dapat diidentifikasikan berdasarkan gaya

hidup dan pekerjaan pasien.

Pterigium dapat ditransmisikan dengan faktor puri-hereditary dengan

penetrasi inkomplit dan ekpresi yang bervariasi.

Faktor risiko dapat dibagi menjadi 2 kelompok :

1. Faktor intrinsik

Faktor intrinsik meliputi faktor herediter, perubahan kuantitatif dan

kualitatif dari lakrimal film dan konjungtivitis iritan kronis. Beberapa

defisiensi, misalnya defisiensi vitamin A, bertanggung jawab terhadap

perubahan mukosa lakrimal dan pergantian sel epitel kornea-konjungtiva

dan dipertimbangkan sebagai faktor intrinsik.

2. Faktor Ekstrinsik

Page 7: CRS Pterygium Saya

Faktor ekst rinsik karena terpapar dengan sinar UV dan mikrotrauma

kronis pada permukaan mata yang sering disebabkan oleh pekerjaan

pasien. Pengaruh pemaparan mikrotrauma di lingkungan kerja misal

seperti alergen, angin, debu, rokok dan stimuli toksik lain, petani, pelaut,

tukang kayu termasuk dalam kelompok beresiko tinggi terhadap

pemaparan.

Infeksi mikroba dan virus tidak signifikan tetapi pada populasi tertentu

misalnya seperi trakhoma berpengaruh terhadap perubahan sekunder dari

lakrimal film dan predisposisi kerusakan konjungtiva.

Etiologi

Teori etiologi dan patogenesis terbagi atas :

1. Faktor herediter : Pterigum ditransmisikan oleh gen dominan dari

penetrasi inkomplit. Faktor herediter dicurigai karena terdapatnya

insidensi yang tinggi pada keluarga tertentu yang menurun dari generasi ke

generasi. Komponen herediter sebagai faktor predisposisi dari konjuntiva

yang bereaksi abnormal karena adanya stimuli lingkungan.

2. Pinguekula : Teridentifikasinya lesi pterigium primer pada pingeukula,

mikrolesi pada limbus dikarenakan lingkungan atau faktor lakrimal yang

memprovokasi konjungtiva dan menyebabkan reaksi pertahanan sel untuk

bermigrasi ke konjungtiva lalu dengan spontan meliputi konjungtiva. Lesi

saat melibatkan kornea akan menyebabkan edema dan mendorong migrasi

dari keratoblas limbal yang terlihat di stroma kornea sebagai selular islet.

Fuchs berdasarkan hipotesisnya bahwa pterigium berasal dari transformasi

pinguekula karena mempunyai gambaran histopatologi yang mirip satu

sama lain. Dan dipengaruhi rangsangan dari luar, seperti sinar matahari,

panas, angi, debu yang dapat menyebabkan terjadinya pinguekula dan

pterigium.

3. Inflamasi : mikrolesi pada limbus yang diprovokasi oleh lingkungan dan

stimuli pekerjaan menyebabkan aktivasi konjungtiva dengan inflamasi

subklinis untuk memperbaiki lesi tersebut.

Page 8: CRS Pterygium Saya

Bocckman berpendapat bahwa pterigium terjadi karena ada jaringan

sub/konjungtiva melekat pada sklera. Friede berpendapat konjungtivitis

menahun sebagai faktor predisposisi dari terjadinya pterigium. Kamel

menganggap pterigium sebagai suatu inflamasi yang dimulai di

konjungtiva bulbi daerah fisura intrapalpebra berupa konjungtivitis kronik.

4. Muskular : pterigium berasal dari reaksi degeneratif tendon muskulus

rektus medialis.

5. Anomali dari Lakrimal Film : diskontinuitas dari lakrimal film dengan

pembentukan lembah kecil dan epitel mikrolesi. Hal ini dapat

menyebabkan stimulasi awal dari proliferasi jaringan fibrovaskular

subkonjungtival. Perubahan keunatitatif dan kualitatif dari lakrimal film

oleh karena itu selalu ada pada pterigium.

6. Tumoral : Pterigium adalah tumor ganas yang terlokalisasi di jaringan

subkonjungtival. Jaringan hiperplastik fibrilar kelihatan menginvasi

kornea dengan destruksi aktif epithelium, bowman’s dan stroma.

Von Artha menduga bahwa pterigium merupakan neoplasma kornea

dengan ciri hipertropi lamella subepitelial. Christiansen berpendapat

bahwa pterigium merupakan tumor jinak pada konjungtiva.

7. Neurotropik : iritasi kronis dari limbus menyebabkan neuritis pada saraf

corneal di bagian nasal sehingga terjadi ulserasi tropic. Perbaikan dari lesi

limbus melalui konjungtiva bulbi dapat menumbulkan lesi primer, dan

retraksi jaringan parut menimbulkan diskontinuitas terlokalisasi dengan

ulserasi limbus.

Lamoine (dalam Priyanto.TH) bahwa iritasi menahun pada kornea dan

konjungtiva di daerah fisura intrapalpebralis mengakibatkan gangguan

saraf yang menuju ke kornea sehingga terjadi gangguan neurotropik pada

kornea sehingga timbul ulkus kecil pada kornea dan pembuluh darah akan

menuju kornea disertai lipatan konjungtiva yang akan menutupi ulkus

tersebut.

Page 9: CRS Pterygium Saya

8. Diet/Gizi : pterigium disebabkan oleh modifikasi tropic epitel, karena

defisiensi kolin dan vitamin A. Pterigium merupakan defisiensi yang

berhubungan dengan dysplasia epitel.

9. Faktor jaringan angiogenetik : iritasi berulang dari limbus dapat

memproduksi faktor angiogenetik yang meningkatkan kejadian pterigium.

Faktor angiogenetik diperoleh dari denaturasi protein kolagen dipengaruhi

oleh efek UV

10. Virus : Pada area geografik dimana tidak terjadi endemis pterigium,

Papova virus dapat diisolasi pada pasien dengan pterigium.

11. Immunitas : ketidakseimbangan sel imun mediated di konjungtiva. Pada

jaringan pterigium didapatkan populasi sel imunologis dengan prevalensi

sel limfosit CD3. Pada konjungtiva normal, rasio sel helper dan sel

suppressor adalah 1;1,5. Pada pterigium rasio sel helper dan sel supresor

adalah 1;2,7. Adanya IgE, IgG, dan sel imunologis, mengindikasikan

adanya reaksi hipersensitivitas pada pterigium.

12. Pemaparan sinar UV : merupakan teori yang diakui. Hipotesis terjadinya

pterigum adalah karena efek kumulatif sinar UV yang diabsorbsi oleh

permukaan mata. Pemaparan sinar UV, menyebabkan perubahan dari

jaringan epitel kornea dan jaringan submukosal konjungtiva. Selain itu

juga bertanggung jawab terhadap patologis kronis konjungtiva dan kornea.

Radiasai UV antara 290-320 nm diabsorbsi selektif oleh lapisan epitel dan

subepitel permukaan mata. Efek fototoksik sinar UV, lebih besar untuk

UVA, kerusakan karena UVA dapat ditambah oleh substansi psoralenic

endogen dan eksogen. UV dosis tunggal yang tinggi menyebabkan akut

aktinik keratokonjungtivitis, dengan gambaran klinis pengelupasan epitel

kornea dan konjungtiva. Dosis harian kronis sinar UV dapat menyebabkan

kerusakan permanen dari permukaan mata, degenerasi membrane bowman

dan lamella stromal superfisial dapat pula memprovokasi neovaskularisasi

di stromal.

13. Teori Limbal : Pengobatan pada komponen konjungtiva sering

mengakibatkan rekurensi, sebaliknya pengobatan limbus memberikan

hasil pengobatan yang baik. Imunohistokimia menggunakan antibody

Page 10: CRS Pterygium Saya

monoclonal spesifik untuk sitokeratine sel epitel konjungtiva dan kornea

memperlihatkan bahwa pterigium berasal dari stem sel limbus. Sel ini

normalnya terfiksasi, tetapi dibawah efek sinar UV dan melalui efek

mediator jaringan, menyebabkan sel anak bermigrasi dibawah membrane

basalis dari epitel konjungtiva dan kornea. Selama perluasannya ke kornea,

sel dapat merusak dan menghancurkan membran bowman dan berinfiltrasi

ke lamella stromal superficial. Selama migrasinya, keratoblas tidak

memiliki aktivitas fibroblastic, tapi aktivitas itu akan dimiliki pada akhir

migrasi.

Histopatologi

Pterigium mempunyai gambaran histopatologi yang khas yaitu terdapatnya

jaringan ikat fibrovaskular yang abnormal. Epitel di atasnya dapat menebal atau

menipis, tetapi biasanya normal.

Kolagen dari jaringan subepitel konjungtiva mengalami degenerasi

elstotik. Istilah ini diambil karena jaringan ini meskipun bukan jaringan elstin

tetapi dapat terwarnai oleh zat pewarna elastin serta tidak lisis oleh enzim elatase.

Bagian apeks ditutupi oleh epitel konjungtiva dan terdiri dari sel fibroblas

avaskular yang akan menyebar ke kornea, membagi epitel dan lapisan Bowman

dengan substansia propia. Pada pterigium yang menyebar ke kornea, lapisan

Bowman diganti oleh Pannus fibrovaskular dan terjadi degenerasi hialin pada

daerah stroma.

Pterigium yang mengalami tumbuh ulang mempunyai gambaran

histopatologi yang berbeda dari pterigium primer, yaitu terdapatnya parut

fibrovaskular yang tumbuh dari tempat eksisi dan komposisinya mengandung

fibroblas dan banyak mengandung pembuluh darah sehingga gambaran ini mirip

keloid pada kulit.

Gambaran klinis dan klasifikasi

Gambaran morfologis dari pterigium dan keterlibatan kornea,

menimbulkan klasifikasi dari beberapa bentuk klinis. Ada tiga tipe utama.

Klasifikasi dibagi berdasarkan evolusi dan keparahan gambaran klinis (dari

stadium awal sampai stadium lanjut.

Page 11: CRS Pterygium Saya

Gambaran klinis untuk klasifikasi adalah berdasarkan ukuran,

vaskularisasi dan perluasan ke permukaan kornea, keterlibatan optical zone dan

komplikasi.

Small Primary Pterigium (type 1)

Meliputi stadium awal dari pterigium primer. Lesi hanya terbatas pada

limbus dan menginvasi kornea marginal. Pada bentuk ini, gejala dan komplikasi

jarang terjadi. Bentuk stasioner dengan perkembangan klinis yang sangat lambat.

Morfologi dengan slitlamp menunjukkan tiga tipe pterigium yang berbeda.

a. Fibrous

b. Pingeucular

c. Classical

Advanced primary or recurrent pterygium with no optical zone involvement (Type

II)

Tipe yang paling sering terjadi, meliputi bentuk primer dan rekuren. Pada

jenis pterigium ini memungkinkan dibedakan semua struktur anatominya dengan

jelas. Menginvasi kornea sampai ke optic zone, infiltrasi ke sekeliling dapat

dilihat oleh mata. Badan disilang oleh kapiler yang berdilatasimembentuk

vaskularisasi yang menyebar sampai ke internal canthus. Iritasi terjadi terus

menerus dan penurunan visus yang disebabkan karena astigmatisme terinduksi

oleh fenomena difraksi cahaya.

Advanced primary atau rekurensi Pterygium dengan keterlibatan zone optical

(Type 3)

Bentuk paling lanjut dari pterigium. Berinvasi sampai ke zona optikal.

Pertumbuhan pterigium, dengan apex menginvasi lapang pupil dan menginfiltrasi

stroma kurang lebih 30% dari ketebalan kornea. Penurunan penglihatan biasanya

terjadi dan disebabkan oleh astigmatisme dan keterlibatan zone optic. Gambaran

morfologi dari tipe III pterigium adalah : collarate yang jelas meluas 8-10 mm di

Page 12: CRS Pterygium Saya

limbus. Tubuh pterigium meluas ke seluruh medial canthus. Fibrosis

subkonjungtival yang meluas sampai ke forniks.

GEJALA

Keparahan gejala dari pterigium bersamaan dengan gambaran klinisnya.

Pada pterigium tipe I, gejala hampir tidak ada. Tetapi pada bentuk lanjut

dilaporkan adanya iritasi dan gangguan visus.

Penurunan visus sangat mengganggu, bervariasi antara pterigium tipe II

dan III, pada kasus ini, kepala pterigium menyebabkan astigmatisme ireguler atau

berinvasi ke zona optikal.

Iritasi nonspesifik ; photophobia, sensasi terbakar pada pemaparan dingin

dan panas, sensasi benda asing dengan sporadik atau mata berair secara terus

menerus.

Gejala sangat menonjol selama fase inflamasi dari pterigium dan

berhubungan dengan nyeri yang diprovokasi oleh mikroulserasi kornea yang

meliputi seluruh kepala pterigium.

Penurunan dari visus diobservasi saat pertumbuhan pterigium pada kornea

mencapai 3-4 mm.

Sebelum terjadi penurunan visus, pasien mengeluhkn gangguan generic

berupa kesilauan yang dideskripsikan sebagai kesulitan menyetir malam hari atau

efek cahaya radiasi. Gangguan ini sering terjadi, bahkan dapat terjadi pada

pterigia dengan dimensi kecil dan disebabkan oleh penurunan sensitivitas kontras.

Tidak ada hubungan antara derajat kesilauan dengan perluasan pterigium ke

kornea.

Pada pterigium, karena opasitas kornea perifer dan perubahan lakrimal

film, terdapat difraksi yang besar dari cahaya dan sensitivitas terhadap kontras

berkurang.

Difraksi dan perubahan penglihatan muncul dan dapat diobservasi saat

diameter upil mencapai 6 mm.

Penurunan penglihatan pada pterigium di provokasi oleh dua faktor

astigmatisme terinduksi dan invasi ke zona optik. Astigmatisme pada pterigium

dikarenakan oleh beberapa faktor yang dapat berdiri sendiri atau berhubungan.

Page 13: CRS Pterygium Saya

Pertumbuhan kepala pterigium ke kornea selalu menimbulkan deformasi

pada kelengkungan kornea.

Diagnosa Banding

Pterigium mempunyai gambaran tipikal dengan slit lamp, sehingga tidak

sulit menentukan diagnosa. Tetapi ada beberapa kelainan patologi dari perifer

kornea dan limbus yang memberikan gambaran sama seperti pterigium, karena itu

perlu dilakukan diagnosis banding. Diagnosis banding diantara kelaianan patologi

adalah :

1. Phlyctenular keratokonjungtivitis

Neoformasi dari konjungtiva, kecil, berbatas tegas. Dengan gambaran

seperti gel, dikelilingi oleh twisted capillary. Berhubungan dengan hiperemi

konjungtival. Pathogenesis berhubungan dengan reaski hipersensitivitas tipe

lambat dari bakteri atau protein makanan. Kelaianan patologi ini umumnya

terlokalisasi, tetapi pada beberapa kasus dapat menimbulkan pembentukkan

pembuluh darah baru di kornea, menyebabkan opasitas permukaan. Biasanya

terdapat pada bayi atau anak-anak.

2. Squamous cell carcinoma of the limbus

Kelainan patologis yang sangat jarang, tetapi diagnosis bandingnya sangat

sulit dibedakan dari kelainan patologis lain pada limbus termasuk pterygium.

Seperti pterigium, muncul setelah pemaparan kronis sinar UV. Tempat paling

umum terjadi adalah di zona infero temporal dari limbus. Diagnosis pasti

didapatkan dari pemeriksaan histology.

3. Pinguekula

Kelainan patologi jinak yang sangat umum. Bentuknya bulat, berwarna

keputihan atau kekuningan. Tempat paling umum terjadi di limbus. Twisted

capillary dapat ditemukan didalamnya. Dari pemeriksaan histology pingeukula

adalah degenerasi hyaline dari jaringan konektif konjungtiva. Normalnya

asimtomatik tapi dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan iinflamasi, dengan

gejala terbakar, lakrimasi dan foreign body sensation. Diagnosis bandingnya

dengan pterigium tipe I dengan gambaran pinguecular.

Page 14: CRS Pterygium Saya

Pinguekula iritan

4. Pseudo pterigium

Gambaran klinis pseudopterigium dengan pterigium adalah sama, tetapi

pathogenesis dari keduanya berbeda. Pseudopterigium dihasilkan dari perbaikan

ulkus kornea purifier. Atau inflamasi limbus karena berbagai penyebab ( kimia,

panas, mikrobiologikal, autoimun). Dapat didefinisikan sebagai konjungtivalisasi

dari permukaan kornea dan muncul pada semua zona kornea. Tidak terdapat

perkembangan lesi. Tetapi apabila kerusakan mencapai limbus maka akan meluas.

Lapisan fibrovaskular dapat menutupi seluruh kornea. Tidak dibutuhkan untuk

menghilangkan pseudopterigium, kecuali kerusakan telah mencapai zona optikal.

Pada beberapa kasus pseudopterigium adalah komplikasi dari dilakukannya

operasi pterigium.

5. Lymphoma dari konjungtiva.

Lesi yang sangat jarang terjadi meliputi bagian inferior dn nasal dari

konjungtiva. Lesi subkonjungtival salmon pink ini memperoleh sedikit

vaskularisasi dan hamper datar. Diagnosa pasti diperoleh dari pemeriksaan

histology.

6. Bowen’s epithelioma

Page 15: CRS Pterygium Saya

Merupakan proliferasi neoplastic limbus dengan keganasan local.

Cenderung menginfiltrasi kornea dan konjungtiva. Diagnosis pasti diperoleh dari

pemeriksaan histology.

7. Dermoid Limbal.

Merupakan kelaianan patologi congenital yang jarang terjadi.

Memperlihatkan neoformasi bulat merah kekuningan antara limbus dan tepi

kornea. Tidak ada vaskularisasi yang abnormal. Tempat yang sering terjadi adalah

dermoid bagian inferotemporal.

8. The papiloma

Merupakan neovaskularisasi kecil aktif berbentuk kembang kol kecil.

Vaskularisasi tinggi dan mudah berdarah. Dibandingkan dengan pterigium

diagnosis banding sangat mudah tetapi diagnosis pasti diperoleh setelah

pemeriksaan histologi berasal dari virus.

9. Nodular episcleritis

Inflamasi episklera dan konjungtiva, dalam bentuk nodular akan

terlokalisasi. Sering terjadi pada wanitadewasa muda, kelainan patologi

memperlihatkan merah terang, hamper berupa nodul datar. Terdiri dari twisted,

injeksi konjungtiva dan pembuliuh darah kapiler episklera. Ketika pertama kali

muncul, episkleritis berhubungan dengan nyeri tetapi lama kelamaan menghilang

setelah beberapa minggu pengobatan dengan obat antiinflamasi. Terdapat

kecenderungan rekurensi.

Pengobatan Pterigium

1 Tindakan non bedah

Tindakan non bedah meliputi pemberian lubrikasi dengan tetes mata

buatan atau tetes mata dekongestan untuk mengurangi keluhan iritasi, tetes mata

dan salep steroid juga dapat di berikan untuk mengurangi reaksi peradangan,

tetapi tidak dapat diberikan dalam jangka panjang, karena dapat menimbulkan

Page 16: CRS Pterygium Saya

komplikasi. Tetes mata vasokonstriktor juga dapat diberikan untuk mengurangi

keluhan mata merah. Obat-obat ini tidak menghambat progresifitas pterigium.

2 Tindakan bedah

Pengobatan pterigium tipe progresif yang merah, tebal dan meradang lebih

sulit bila dibandingkan dengan tipe nonprogresif yang putih, tipis dan avaskular.

Beberapa peneliti menganjurkan pemberian obat-obat, seperti obat steroid topikal

sebelum tindakan bedah.

Tindakan bedah dapat dilakukan bila pterigium menyebabkan gangguan

vissu, keluhan iritasi kronik, gangguan pergerakan bulbus okuli yang

mengakibatkan diplopia dan gangguan kosmetik.

Pembedahan pterigium dilakukan menurut enam cara yaitu : Avulsi,

Trasposisi apeks pterigium, Rotasi flep konjungtiva, Bare sclera, Cangkok

konjungtiva otologus dan cangkok membran amnion homologus.

A. Avulsi

Avulsi adalah suatu cara untuk mengangkat pterigium sebelum

berkembangnya teknik dan instrument bedah mikro, keuntungan teknik ini adalah

sederahana dan cepat.

Setelah dilakukan anestesi local dengan epinefrin di bawah korpus

pterigium, dilakukan diseksi dari sklera sampai limbus denagnn gunting wescott

secara tumpul. Kemudian apeks pterigium di pegang dengan penjepit bergigi dan

selanjutnya ditarik dari kornea di bawahnya. Bila terdapat sisa pterigium harus

diangkat dengan bantuan pisau beaver. Teknik ini tidak dianjurkan untuk

pterigium yang mengalami tumbuh ulang, karena jaringan pterigium sangat tebal

sehingga ketebalan kornea di bawahnya tidak dapat di nilai dan jaringan pterigium

melekat erat pada kornea, sehingga resiko perforasi kornea tinggi.

B. Transposisi apeks pterigium

Desmarres yang pertama kali memperkenalkan teknik ini. Dibuat insissi

konjungtiva di sebelah bawah, apeks pterigium dilepaskan dari kornea kemudian

ditanamkan pada celah tersebut, lalu dijahit seperti flep pedikel.

Page 17: CRS Pterygium Saya

Knapp melakukan modifikasi teknik, yaitu dibuat insisi secara horizontal

pada apeks sehingga menjaaadi 2 bagian, kemudian bagian atas dijahit pada

konjungtiva sebelah atas sedang bagian bawah dijahit ke konjungtiva sebelah

bawah.

Mcreynold membelokkan dan menanam apeks pterigium di bawah

konjungtiva inferior. Blakovics melakukan modifikasi dengan melipat apeks

pterigium kemudian dibawah korpus pterigium.

C. Rotasi flep konjungtiva

Bangeretr, melakukan insisi konjungtiva superior dan inferior secara radier

kemudian ke dua sisi konjungtiva didekatkan dengan jahitan kromik 8-0 atau

nilon 10-0.

Bila sklera yang terpapar diperkirakan tidak dapat tertutup dengan cara

seperti itu, Atatoon melakukan teknik conjundtival pedicle flap yaitu setelah

dilakukan eksisi pterigium dibuat flep di atas limbus berbentuk trpesium dengan

ukuran panjang sama dengan diameter kornea dan lebarnya sepertiga diameter

kornea. mulai dari bagian lateral, flep konjungtiva dipisahkan dari subkonjungtiva

dengan gunting tumpul. Flep tersebut dipindahkan ke luka operasi pterigium,

kemudian dilakukan penjahitan sebanyak 8-10 buah.

D. Teknik Bare Sclera

D’Ombrain mengajukan teknik bare sclera. Setelah dilakukan eksisi apeks,

leher dan korpus pterigium dilakukan eksisi jaringan subkonjungtiva sampai

sklera. Tepi konjungtiva yang bebas dijahitkan ke episklera di bawahnya dan

sklera dibiarkan terbuka denagn harapan dapat menghambat tumbuh ulang.

E. Cangkok konjungtiva otologus

Pada teknik ini pterigium dieksisi dengan teknik bare sclera. Setelah

jaringan subkonjungtivitis bersih, dilakukan pengambilan jaringan konjungtiva

donor dari konjungtiva supertemporal, yang luasnya disesuaikan dengan daerah

pterigium. Jaringan konjungtiva donor kemudian dijahitkan pada daerah tadi

dengan jahitan terputus.

Page 18: CRS Pterygium Saya

F. Cangkok membran anmnion homologus

Penggunaan membran amnion homologus sebagai pencakokan alternatif

setelah di eksisi pterigium. Luas daerah pterigium yang di eksisi diukur dan

disesuaikan luasnya denagn donor membran amnion yang sudah diawetkan.

Kemudian donor dijahitkan pada daerah tersebut dengan vikril 8-0 atau nilon 9-0

secara terputus.

3 Pengobatan pasca bedah pterigium

Upaya untuk menurunkan angka tumbuh ulang pterigium pasca bedah,

antara lain dengan radiasi sinar β, laser argon, tio-tepa, kortikosteroid, mitomisin

C atau dilakukan cangkok konjungtiva dengan melibatkan jaringan limbus.

A. Radiasi sinar β

Pembetukan jaringan granulasi memegang peranan penting untuk

terjadinya tumbuh ulang pasca pterigium. Tanda terjadinya jaringan granulasi

ialah terbentuknya kapiler baru. Radiasi sinar β dengan dosis 7-10 ribu rep (rotgen

equivalent phycal) dapat menghancurkan pembuluh darah yang sudah terbentuk. 9

Pemberian radiasi sinar β dapat menurunkan angka tumbuh ulang dari

30%-50% menjadi 0,5%-33%. Komplikasi pasca radiasi sinar β antara lain

teleangiektasi pembuluh darah konjungtiva dan episklera, keratitis, jaringan parut

pada kornea, dan katarak.

B. Laser Argon

Laser argon digunakan untuk mengablasi neovaskular yang tumbuuh ke

arah kornea pasca bedah pterigium. Tujuan penggunaan laser ini adalah untuk

mengablasi pembuluh darah tanpa menyebabkan kerusakan akibat suhu yang

panas di sekitar jaringan yang diablasi sehingga tidak menambah jaringan fibrosis

dan peradangan. Pengobatan dengan laser argon dilakukan setelah keadaan mata

cukup tenang dan dapat diulang setelah 1-2 minggu.

C. Tio-tepa

Page 19: CRS Pterygium Saya

Tio-tepa (triethylenethiophosphoramide) adalah obat radiomimetic,

mempunyai efek terhadap proses penyembuhan jaringan seperti radiasi sinar β.

Komplikasi yang pernah dilaporkan meliputi iritasi dan infeksi

konjungtiva, granuloma, reaksi alergi, infeksi bakteri dan depigmentasi palpebra

yang permanen.

D. Kortiksteroid

Pemberian kortikosteroid topical pasca bedah pterigium akan menurunkan

terbentuknya jaringan sikatrik, seperti simblefaron dan restriksi pergerakan bulbus

okuli juga akan menghambat terjadinya edema kornea dengan memelihara

stabilitas permeabilits pembuluh darah dan menurunkan pembentukan

neovaskularisasi dengan menghambat reaksi inflamsasi. Tetapi sulit untuk

menetapkan peran kortikosteroid dalam menekan tumbuh ulang pasca bedah

pterigium.

E. Mitomisin C

Mitimisin C (MMC) merupakan suatu antibiotik yang di isolasi dari

streptomises caespitosus dan pertama kali diisolasi oleh Waikiki dkk tahun 1058.

Mempunyai khasiat onkostatik dan dapat menekan pembentukan jaringan

garanulasi pada kornea dan konjungtiva. Obat ini stabil dalam panas dan larut

dalam pelarut organik. Obat ini tersedia dalam bentuk bubuk sehingga harus

dilarutkan terlebih dahulu. MMC secara selektif menghambat sintesa DNA dan

proliferasi fibroblast.

Kunitomo dan Mori berhasil mengurangi angka tumbuh ulang petrigium

dengan menggunakan tetes mata MMC 0,4mg/ml pasca bedah, 3 kali sehari

selama 2 minggu. Dengan diberikannya MMC pasca bedah petrigium, akan

menghambat fase aktif penyembuhan jaringan konjungtiva dan subkonjungtiva,

sehingga fase aktif penyembuhan jaringan konjungtiva dan subkonjungtiva,

sehingga akan membantu reepitalisasi kornea yang adekuat dan terbentuknya

jaringan parut yang halus pada limbus sehingga akan menghambat tumbuh ulang.

F. Cangkok konjungtiva dengan melibatkan jaringan limbus

Page 20: CRS Pterygium Saya

Jaringan limbus yang mengandung SC (Stem cell) merupakan sumber

utama regerasi epitel kornea dan juga berfungsi sebagai junctional barrier antara

kornea dan epitel konjugntiva. Oleh karena itu cangkok konjungtiva dengan

melibatkan jaringan limbus pada aksisi ptrigium, mempunyai tujuan bahwa SC

limbus akan menciptakan suatu barier limbus yang sehat, sehingga dapat

menurunkan tumbuh ulang pterigium.

Tumbuh Ulang

Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya tumbuh

ulang pasca bedah adalah pterigium dengan ukuran besar, pertumbuhannya cepat

atau progresif, pernah tumbuh ulang, pasien usia muda, tinggal di daerah tropis

dan operasi yang kurang adekuat.

Hayasaka menyatakan bahwa tumbuh ulang adalah setiap pertumbuhan

jaringan fibrovaskular yang mirip dengan pterigium asli, dari limbus ke kornea

pada daerah yang sebelumnya ada pterigium atau terlihat adanya neovaskularisasi

di daerah limbus.

Pterigium yang mengalami tumbuh ulang cenderung lebih besar, lebih

tebal, lebih hiperemis dan lebih agresif daripada lesi primernya. Sering

menyebabkan simblefaron sehingga terdapat gangguan pergerakan bulbus okuli. 8

Secara histopatologi pterigium yang tumbuh ulang berbeda dengan

pterigium asli, terdapat jaringan parut fibrovaskular yang tebal, mengandung

fibroblas dan pembuluh darah.

Komplikasi Pterigium

Komplikasi intraoperasi :

A. Perforasi kornea, dapat terjadi bila pembedahan menggunakan

pisau yang ujungnya tajam atau bila dilakukan pembedahan pada

pterigium dengan apeks dan korpus yang tebal dan melekat erat

pada kornea. Bila terjadi perforasi, maka apeks yang sudah

terlepas harus dijahit kembali pada tempat semula

B. Rusaknya otot rektus horizontal, sebaiknya pada saat melakukan

pembuangan jaringan subkonjungtiva harus hati-hati dimana

tendo otot rektus harus dapat diidentifikasi dulu sebelum

melakukan eksisi.

Page 21: CRS Pterygium Saya

Komplikasi pasca operasi :

Infeksi, granula piogenik, dellen sklera/dellen kornea. Infeksi pasaca

bedah jarang terjadi bila sterilitas terjamin.

Dellen tampak sebagai jaringan ireguler dan terdapat lekukan. Dapat

terjadi pada orang tua dan pada pterigium yang sangat tebal.

Pengobatan dilakukan dengan menutup mata sehingga dellen

mengalami rehidrasi. Penutupan mata dilakukan sampai konjungtiva

dan episklera di sekitar dellen menjadi rata kembali dan menutupi

dellen.