Laporan Kasus Besarnandini Print!!

download Laporan Kasus Besarnandini Print!!

of 54

Transcript of Laporan Kasus Besarnandini Print!!

LAPORAN KASUS BESAR SEORANG ANAK PEREMPUAN 8 TAHUN 2 BULAN DENGAN SPONDILITIS TUBERKULOSA, GIZI KURANG, dan ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh: Nandini Phalita laksmi

Pembimbing: dr. Novi Handayani

Penguji: DR. Dr. Mexitalia Setiawati, Sp.A(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2011

0

HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : NANDINI PHALITA LAKSMI NIMFakultas Judul

: G6A010104: Kedokteran : Seorang anak perempuan dengan spondilitis tuberculosa, gizi kurang, dan anemia mikrositik hipokromik

Bagian Penguji Pembimbing

: Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro : DR. Dr. Mexitalia Setiawati, Sp.A (K) : dr. Novi Handayani

Semarang, Penguji

Februari 2011 Pembimbing

DR. Dr. Mexitalia Setiawati, Sp.A (K)

Dr. Novi Handayani

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh organisme patogen maupun saprofit, berbentuk batang aerobik dan tahan asam. Organisme tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis (MTB). Sebagian besar infeksi MTB menyebar lewat udara dalam bentuk droplet berisi organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi yang terhirup individu lain. Selain melalui saluran pernafasan, MTB tersebut dapat masuk melalui saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. 1 Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih

menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan penderita TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun.2 Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, TB paru

merupakan penyebab kematian nomor satu untuk penyakit infeksi di Indonesia, dan merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit

kardiovaskuler. Penemuan penderita TB paru menurut Profil kesehatan Jawa Tengah tahun 2003 sebanyak 10.390 . Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 1.742 kasus. 2,3 Spondilitis tuberkulosa merupakan salah satu komplikasi TB paru ke tulang. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Komplikasi berupa defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosis yang merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Fakta-fakta inilah yang menyebabkan spondilitis tuberkulosis masih menjadi salah satu masalah kesehatan hingga saat ini, dan merupakan salah satu sumber morbiditas dan mortalitas utama pada

2

negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama. Adanya interaksi yang sinergis antara infeksi dan malnutrisi telah lama diketahui. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Berikut ini adalah sebuah laporan kasus spondilitis tuberkulosis dan gizi kurang pada seorang anak perempuan umur 8 tahun 2 bulan yang dirawat di bangsal pulmonologi anak RSUP Dr. Kariadi Semarang.

1.2 Tujuan Penulisan 1. Mahasiswa mampu mengetahui cara menegakkan diagnosis, melakukan pengelolaan penderita spondilitis tuberkulosis tindakan pengobatan yang akan diberikan sesuai serta dengan

kepustakaan dan prosedur yang ada 2. Mahasiswa mampu mengetahui cara penanganan gizi kurang pada anak. 3. Mahasiswa mampu mengetahui akibat dari adanya penyakit tuberkulosis dan gizi kurang terhadap tumbuh kembang anak

1.3 Manfaat Penulisan Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan media belajar bagi mahasiswa agar dapat mendiagnosis dan mengelola spondilitis tuberkulosis dan gizi kurang secara tepat.

3

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita Nama Jenis kelamin Umur /Tanggal lahir Pendidikan Alamat : An. S N A : Perempuan : 8 tahun 2 bulan/ 18 Februari 2011 : Kelas 2 SD : Mindahan Kidul, Bate Alit, Jepara

Identitas Orang Tua Nama ayah Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat : Tn. P : 46 tahun : SD : Buruh Tani : Mindahan Kidul, Bate Alit, Jepara

Nama ibu Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat

: Ny. F : 42 tahun : SLTP : Ibu Rumah Tangga : Mindahan Kidul, Bate Alit, Jepara

Masuk Rumah Sakit Keluar Rumah Sakit No. Catatan Medik

: 18 Februari 2011 :: C275712

4

2.2 Data Dasar 1. Anamnesis (Alloanamnesis) Anamnesis diperoleh dari orang tua pasien dan data dari catatan medis. Anamnesis dilakukan di Bangsal C1L2 RSUP Dr. Karyadi pertama kali tanggal 24 Februari 2010.

a. Keluhan Utama : Benjolan di punggung b. Riwayat Penyakit Sekarang : 2,5 tahun yang lalu anak mulai sering batuk, disertai dahak selama 3 bulan, tidak berdarah. Anak mulai sering panas nglemeng, terus menerus, tidak menggigil, tidak kejang, tidak sesak, tidak mual, tidak muntah, tidak mencret, tidak ada bintik-bintik seperti digigit nyamuk, buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Anak dibawa berobat ke mantri dekat rumah, diberi obat penurun panas. Setelah minum obat penurun panas, panas turun, namun kemudian naik lagi. Nafsu makan turun, berat badan berkurang, dan anak nampak makin kurus. Di punggung juga timbul benjolan sebesar kelereng, tidak nyeri, tidak kemerahan, keras, tidak dapat digerakkan, tidak berdarah, teraba hangat, warna seperti kulit sekitarnya, riwayat trauma (-). Anak berobat ke RS, didiagnosa TBC, minum obat rutin selama 6,5 bulan. Setelah 6,5 bulan minum obat, anak mulai sering muntah-muntah. Karena anak muntah-muntah, dan orang tua merasa anak sudah tidak batuk pemberian obat dikurangi oleh orang tua, dan setelah minum obat 8 bulan obat dihentikan sendiri oleh orang tua. 3 bulan terakhir benjolan di punggung makin membesar, tidak nyeri, teraba panas, teraba keras, tidak dapat digerakkan, tidak berdarah, warna seperti kulit sekitarnya. Selain itu, muncul pembengkakan di lipatan paha kanan, warna seperti sekitar, tidak nyeri, dapat digerakkan, tidak panas. Anak demam nglemeng naik turun, turun bila diberi obat Nafsu

penurun panas. Anak batuk disertai dahak , tidak berdarah.

5

makan turun, berat badan turun. BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Anak dibawa ke Rumah Sakit dr. Kariadi

c. Riwayat Penyakit Dahulu Anak belum pernah menderita sakit seperti ini. Penyakit lain yang pernah di derita anak yaitu: 3 tahun yang lalu anak pernah jatuh dari becak dengan posisi miring, keluhan (-). Diare, batuk, pilek, sembuh dengan berobat ke Puskesmas dan tidak sampai dirawat di Rumah sakit.

Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita Morbili : belum pernah Pertusis : belum pernah Varisela : belum pernah Difteri : belum pernah Malaria : belum pernah Tetanus : belum pernah Fraktur : belum pernah Pneumoni: belum pernah Bronkhitis: belum pernah Kejang : belum pernah Pilek dan batuk : (+) Diare : (+) Alergi obat/makanan: belum pernah Demam berdarah: belum pernah Hepatitis :belum pernah

Disentri basiler : belum pernah Disentri amoeba: belum pernah Demam tifoid : belum pernah

Cacingan : belum pernah Operasi : belum pernah : (+)

Tuberkulosis

6

d. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga yang tinggal dengan pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang serupa dengan pasien. Ayah pasien menderita diabetes mellitus Tetangga pasien ada yang menderita batuk-batuk lama, tinggal di sebelah rumah pasien, sering bermain bersama pasien, Obat anti Tuberculosis (+), meninggal 1 tahun yang lalu.

e. Riwayat Perinatal Periksa kehamilan ke bidan. Riwayat penyakit selama kehamilan disangkal. Darah tinggi (-). Minum obat selama kehamilan: vitamin dan obat penambah darah.

f. Riwayat persalinan dan kehamilan Anak perempuan lahir dari ibu G2P1A0 berusia 34 tahun, hamil aterm (9 bulan), lahir secara spontan ditolong oleh bidan, bayi langsung menangis, tidak ada biru-biru, berat lahir 2700 gram, panjang badan saat lahir lupa. No Kelahiran dan Persalinan Umur Meninggal Penyebab meninggal 1 Laki-laki, aterm, spontan, 24 tahun BBL: 3000 gram, PB: lupa 2 Abortus, usia kehamilan 6 bulan 3 Perempuan, aterm, BBL: 2900 gram, PBL: lupa 4 Perempuan, aterm, 13 -

spontan, BBL: 2700 gram, PBL: lupa

7

g. Riwayat Pemeliharaan Postnatal Setelah lahir, anak di periksakan di posyandu, dinyatakan sehat.

h. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Pertumbuhan Berat badan lahir 2700 gram, panjang badan lahir ibu lupa, berat badan bulan lalu 16 kg, berat badan sekarang 15,5 kg, tinggi badan sekarang 106 cm, arm span 112 cm. Usia saat ini 8 tahun 2 bulan.

Menurut grafik CDC BB ideal menurut tinggi badan (dianggap arm span ~ TB) = 18 kg Status gizi : BB/BB ideal menurut tinggi badan x 100% = 15,5/18 x 100% = 86,11 %

Tinggi badan menurut grafik CDC: dibawah persentil 3 Mid parental height: TB ayah = 155 cm TB ibu = 150 cm ( TB ibu + (TB ayah 13) ) x = 146 Mid parental height= 146 8,5 = 137,5 154,5 Tinggi badan anak masih dalam rentang tinggi badan orangtuanya.

Berdasarkan status antropometri WHO anthro: WAZ = -3,49

8

HAZ = -2,69

Arah Garis Pertumbuhan Loss of growth

9

Kesan : Gizi kurang, perawakan pendek (namun tinggi badan anak masih dalam rentang tinggi badan orangtuanya) , arah garis pertumbuhan loss of growth

Perkembangan Anak mulai bisa tersenyum umur 2 bulan, miring umur 3 bulan, tengkurap umur 4 bulan, duduk umur 6 bulan, gigi keluar umur 7 bulan, merangkak umur 8 bulan, berdiri umur 12 bulan, mulai berjalan umur 16 bulan. Menurut ibu perkembangan anak semasa balita sama dengan anakanak lainnya yang sebaya, tidak ada keluhan. Anak mulai sekolah usia 7 tahun (SD). Saat ini anak berada di kelas 2 SD. Anak tidak pernah tinggal kelas, namun sejak sakit prestasi anak menurun. Sejak dirawat di Rumah sakit anak tidak masuk sekolah. Pergaulan dan hubungan dengan teman sekolah maupun di lingkungan rumah baik. Kesan: Perkembangan anak sesuai dengan usia

i. Riwayat Makan dan Minum anak ASI : diberikan sejak lahir hingga usia 3 tahun, berhenti karena anak sudah besar. Nasi ulek dengan lauk sayur : diberikan mulai usia 7 bulan-1 tahun, 3x1 mangkuk kecil/hari, tidak ditambah minyak, sering tidak habis. Buah: Sejak usia 1 tahun sampai sekarang diberikan buah jeruk, 1 buah/ hari, kadang-kadang. Makanan keluarga: Mulai umur 1 tahun sekarang diberikan nasi putih piring, dengan lauk tempe/tahu,/ikan laut, sayur sop bayam, kacang panjang, sop sayuran, sering tidak habis. susu formula : 10

Diberikan susu bendera mulai usia 3 tahun- 5 tahun, 1 gelas/hari, @3 sendok makan dalam 100 cc air, diberikan kadang-kadang, kadang habis. Diberikan susu milo mulai usia 5 tahun sekarang, 1 gelas / hari @ 3 sendok makan dalam 100 cc susu, diberikan kadang-kadang, kadang habis. Kesan : ASI eksklusif (+), penyapihan dini (-) Kualitas kurang, kuantitas kurang

j. Riwayat Imunisasi BCG DPT Polio Hepatitis B Campak Kesan : 1x (1 bulan, scar(+)) : 3x (2,4,6 bulan) ulangan (18 bulan) bias 1 x (5 tahun) : 4x (0,2,4,6 bulan) ulangan (18 bulan) bias 1 x (5 tahun) : 4x (0,2,4,6 bulan) : 1x (9 bulan) bias (6 tahun) : imunisasi dasar, ulangan dan bias lengkap sesuai umur

j. Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien memakai KB pil (kontrasepsi oral), lalu berganti KB suntik. Sikap terhadap KB yang dipilih adalah yakin dan percaya.

k. Riwayat Sosial Ekonomi Ayah bekerja sebagai buruh tani, ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan sebulan Rp 300.000,-. Tanggungan dua orang anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan ditanggung Jamkesmas. Kesan: Sosial ekonomi kurang

11

2. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pada tanggal 25 Januari 2011 pukul 14.30 WIB di bangsal C1L2 RSUP Dr. Kariadi Semarang Perempuan, 8 tahun 2 bulan, BB: 15,5 kg, PB: 106 cm, arm span : 112 cm Kesan Umum : Sadar, kurang aktif, nafas spontan (+) adekuat, tidak pucat, tampak benjolan di punggung dan inguinal kanan. Tanda vital HR RR TD Suhu Status Internus Turgor Tonus Rambut Kulit Edema Serebral Dispneu Kepala Mata : Kembali cepat : Normotonus : Hitam, tidak mudah dicabut : Ikterik (-), sianosis (-) :: Kejang (-) :: Lingkar kepala 46,5 cm, mesosefal : Konjungtiva palpebra anemis (-), pupil isokor 3mm/3mm, refleks kornea, reflek bulu mata, dan reflek cahaya normal Telinga Hidung Mulut Gigi geligi Leher Tenggorok Dada : discharge (-) : nafas cuping (-), discharge (-) : mukosa kering (-), bibir sianosis (-) : karies (+) pada premolar 2 kiri : pembesaran kelenjar limfe leher (-), skrofuloderma (-) : T1-1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) : Simetris statis dinamis, retraksi (-) 12 : 102 x / menit, nadi : reguler, isi dan tegangan cukup : 24 x / menit : 110/70 mmHg : 36,6C (Aksiler)

Paru paru Inspeksi

: : simetris statis dinamis, retraksi (-), iga gambang (-), barrel chest (-), pectus carinatus (-), pectus excavatum (-), kifosis (+)

Palpasi Perkusi Auskultasi

: stem fremitus kanan = kiri : sonor seluruh lapangan paru : Suara dasar : vesikuler

Suara Tambahan : Ronkhi basah halus -/-; Wheezing -/- ; Hantaran -/Jantung Inspeksi Palpasi : : Iktus kordis tidak tampak : Iktus kordis teraba sela iga ke IV 2 cm sebelah medial linea medioclavikula sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar. Perkusi Auskultasi : Konfigurasi jantung dalam batas normal. : BJ I-II normal reguler, M1 > M2, A1< A2, P1 < P2, Bising (-), Gallop (-). Abdomen Inspeksi Palpasi : : datar, lemas : supel, hepar - BH, tajam, kenyal,rata lien S0 Perkusi Auskultasi : pekak sisi (+) normal, pekak alih (-) : bising usus (+) normal.

Vertebra lumboscral : massa (+) dengan ukuran +/- 10x10x5 cm, terfixir, nyeri (-), hiperemis (-), panas (+)

Ekstremitas superior Sianosis -/inferior -/-

13

Akral dingin Capillary refill Pucat Tonus Klonus Kekuatan otot Refleks fisiologis: Refleks bisep Refleks trisep Refleks patella Refleks tendon achilles Refleks patologis: Hoffman Trommer Babinski Oppenheim Gordon Schaefer Gonda Chaddok

-/ 1,5 cm, mobile, nyeri (-), hiperemis (-)

15

3. Pemeriksaan Khusus

Skoring TB: Riwayat kontak TB Demam 2 minggu Batuk 3 minggu Berat badan/keadaan gizi Pembesaran kelenjar limfe colli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang/sendi Uji tuberkulin Foto thoraks Total Kesan :9 : positif TB :3 :1 :1 :1 :1 :1 ::1

Hasil Konsul Bagian Rehabilitasi Medik Usul : Rontgen Pelvis Program :

Fisioterapi : Alih baring dengan log rollling, passive range of movement (PROM), exercise ekstremitas inferior, latihan penguatan ekstremitas inferior setelah ada toracho-lumbo-sacral orthosis (TLSO) Orthotic prosthetic: TLSO Psikologi : support mental

Hasil Konsul Bagian Neurologi Kesan: Spondilitis TB dengan deficit neurologis Saran: Imobilisasi, fiksasi eksterna rehab medik Contact tracing untuk diterapi Vit. B kompleks 3 x 1 MRI vertebrae yang terkena (untuk keperluan tindakan bedah) Konsul bedah ortopaedi dan bedah saraf Pembengkakan ekstremitas kanan apakah suatu edema? (statis limfatik) 16

Ukur sudut kifosis untuk pemantauan progresifitas penyakit dan indicator tindakan operasi ( X foto densitas tulang sentrasi vertebra)

Hasil konsul Sub.bagian Hematologi Kesan : Trombositosis Saran : Pemberian aspilet 1 x 80 mg evaluasi tanda perdarahan dan efek samping obat lainnya, cek darah rutin evaluasi Banyak minum

Hasil Konsul Bagian THT Kesan : THT tenang , dari pemeriksaan tidak ditemukan tanda fokal infeksi.

Hasil Konsul Bagian Bedah Ortopedi Program: Operasi Pedicle Screw Sub-Lamina Wireing (PSSW) Myelo CT

17

4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium HematologiNilai Normal 18-02-2011 21-02-2011 22-02-2011 26-03-2011 03-03-2011

Hemoglobin 10.50 15.00 Hematokrit Eritrosit 36.0 44.0 4.00 5.20

8.90 gr% 28.0 % 4.60 juta/mmk

8.73 28.1 4.39

9.00 29.1 4.68

8.92 29.50 4.58

8.53 28.20 4.39

MCH MCV MCHC Leukosit

23.00-31.00

19.30 pg

19.90 64.00 31.10 8.48

19.20 62.10 31.00 9.10

19.50 64.40 30.20 8.89

19.50 64.30 30.30 7.80

77.00 101.00 60.90 fL 29.00 36.00 4.50 13.00 31.60 d/dL 9.30 ribu/mmk

Trombosit

150.0 400.0 11.60 14.80 4.00 11.00

836.0 ribu/mmk

733.0

770.0

723.0

645.0

RDW

16.20%

17.80

16.00

19.90

17.20

MPV

7.20 fL

7.50

7.20

7.36

7.56

18

Hitung jenis dan darah tepi

Nilai normal Eosinofil 15

19-02-2011

26-02-2011

4%

2%

Basofil

00

0%

0%

Batang

25

2%

2%

Segmen

25 70

66 %

57 %

Limfosit

30 40

25 %

36 %

Monosit

48 Eritrosit

3% Eritrosit berinti 4/100 Lekosit Normositik Poikilositosis Ringan (Tear Drop ell, Pear Shape cell. Ovalosit) eritrosit muda + Jumlah Trombosit meningkat Bentuk normal Leukosit Trombosit Eritrosit

3% Anisositosis sedang Poikilositosis Ringan (Tear Drop cell, Ovalosit)

Jumlah meningkat Bentuk normal Jumlah tampak normal, limfosit

19

Leukosit

Jumlah tampak normal Kimia Klinik TIBC

teraktivasi (+)

230 ug / dl N: 250-450 ug/dl

Laju endap darah LED 1 jam 51.0 mm (N: 3.0 14.0) 86.0 mm LED 2 jam

Pemeriksaan Kimia Darah

Ureum Creatinin SGOT (AST) SGPT (ALT) Elektrolit Natrium Kalium Chlorida Calcium

28 0.30 24 8

Mg/dl Mg/dl u/l u/l

15 39 0.60-1.30 15-37 30-65

137 3.4 95 2.10

mmol/L mmol/L mmol/L mmol/L

136-145 3.5-5.1 98-107 2.12-2.52

20

Urine Lengkap BJ pH Protein Reduksi Urobilinogen Bilirubin Aseton Nitrit Lekositesterase: neg Blood : 25/ul Sedimen: Epitel Lekosit Eritrosit Kristal Silinder Hyalin Silinder Pathologi - Granula kasar - Granula halus - Epitel - Eritrosit - Lekosit Mucus Yeast cell Epitel tubulus Bakteri Sperma Kepekatan 5.0 / ul 7.8 / ul 6.3 / ul 0.0 / ul 1.20 / ul 0.24/ ul Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1.44 / ul 0.0 / ul 3.3 / ul 20.3 / ul 0.0 / ul 22.0 / mS/cm 0.00 -0.50 0.0 25.0 0.00-6.0 0.0 100.0 0.0-3.0 0.0 40.0 0.0 20.0 0.0 25.0 0.0 10.0 0.00- 1.20 0.00-0.50 1.020 6.00 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Kesan : Anemia mikrositik hipokromik Trombositosis

21

Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan X Foto Toraks PA/Lat Tanggal: 21 Februari 2011 Hasil: Tampak opasitas bentuk bulat, batas tegas, tepi reguler pada paratracheal sampai perihiller kanan COR : CTR = 47 % Bentuk dan letak jantung normal Retrosternal space dan retrokardial space tidak menyempit PULMO : Corakan bronkovaskuler meningkat Tampak infiltrate pada perihiler kiri, paracardial kanan dan kiri Hilus kiri tampak menebal Hemidiafragma kanan setinggi costa X posterior Sinus costofrenicus kanan kiri lancip Kesan : Cor tidak membesar Penebalan hilus kiri disertai infiltrate pada perihiler kiri, paracardial kanan dan kiri mendukung gambaran proses spesifik

Pemeriksaan X Foto vertebra lumbosacral AP/lat

Tampak destruksi corpus vertebra L2 dan L3 yang menyebabkan hilangnya discus intervertebralis dan penyempitan foramen intervertebralis serta kifotik lumbal yang bertambah (gambaran gibbus).

Tidak tampak jelas densitas massa paravertebra. Tampak lesi litik pada corpus vertebra L4 column posterior dan pada vertebra L1 Sendi sacroiliaca kanan-kiri tidak menyempit 22

Kesan : gambaran spondilitis lumbal cenderung e.c tuberculosis

5. STATUS ANTROPOMETRI

Anak perempuan 8 tahun 2 bulan, BB saat ini = 15.5 kg, BB bulan lalu= 16 kg TB = 106 cm, arm span = 112 cm, LILA = 15 cm

WAZ = -3,49 HAZ = -2,69

Menurut kurva CDC BB ideal menurut tinggi badan (dianggap arm span ~ TB) = 18 kg Status gizi : BB/BB ideal menurut tinggi badan x 100% = 15,5/18 x 100% = 86,11 %

Tinggi badan menurut grafik CDC: dibawah persentil 3 Mid parental height: TB ayah = 155 cm TB ibu = 150 cm ( TB ibu + (TB ayah 13) ) x = 146 Mid parental height= 146 8,5 = 137,5 154,5

Menurut kurva CDC, tinggi anak masih dalam rentang tinggi orang tuanya.

Kesan : Perawakan pendek, gizi kurang Garis pertumbuhan loss of growth

23

6. KEBUTUHAN 24 JAM BB anak saat ini = 15,5 kg. BB ideal anak ini menurut tinggi badan adalah 18

kg. Sedangkan menurut kurva CDC, tinggi badan anak sesuai dengan umur 5,5 tahun, sehingga anak membutuhkan 90 kal/kg BB. Perhitungan gizi menurut RDA (Recommended Daily Allowance) adalah sebagai berikut:

Jenis Pemberian

3 x nasi 3 x 200 cc susu vitaplus 1 x snack modisco Total Persentase kecukupan 2.3 Daftar MasalahNo Problem Aktif 1 Gibbus setinggi Vertebrae L2-3 5 2 Gambaran paru 5 3 Pembesaran 5, 6 kelenjar radiologis

Cairan (cc) 1000 cc + 800 cc = 1800 cc 300 600 100 1000 cc 61,72%

Kalori 90 Kal/kg bb ideal = 1620 kal 1770.76 kal 1770.76 kal 120.22 %

Protein 2 g/kg bb ideal = 36 gram 62.5 gram 62.5 gram 173.61 %

Tanggal No Problem Pasif 1 Sosial kurang

Tanggal

ekonomi 4-1-2011

dengan kesan curiga TB

limfe inguinal kanan (+)

4 5 6 7

Trombositosis Spondilitis Tuberkulosis Observasi limfadenitis Anemia hipokromik mikrositik

8 9

Gizi Kurang Perawakan pendek

24

10

Loss of growth

2.4 Diagnosis Kerja I. Spondilitis Tuberkulosis DD/ Keganasan Trauma Infeksi: Spondilitis purulenta Spondilitis tuberculosis II. Observasi limfadenitis DD: Keganasan Tuberculosis III. Anemia mikrositik hipokromik DD: Perdarahan Defisiensi Fe Infeksi kronis IV. Gizi kurang V. Loss of Growth VI. Perawakan pendek

2.5 Rencana Pemecahan Masalah 1. Spondilitis Tuberculosis

Rencana Pemeriksaan Objective: CT- Myelografi Contact tracing: skrining TB pada kedua orang tua, saudara, dan tetangga lingkungan sekitar, rujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit setempat.

Rencana Pengobatan Streptomisin inj. 1x 500 mg IM

25

Per oral: INH 1x 150 mg Rifampisin 1x250mg Pirazinamid 1x300 mg Parasetamol 4-6x150 mg (380C) Vit. B complex 3x1 tab vit.B6 1x10 mg

Rehabilitasi Medis: Positioning, alih baring, range of movement (ROM) exercise ekstremitas inferior, penguatan ekstremitas inferior Orthotic prosthetic: TLSO

Rencana Pemantauan Evaluasi Keadaan Umum, tanda vital Kepatuhan minum obat dan efek samping obat Evaluasi tanda perdarahan Pemantauan secara berkala terhadap komplikasi (defisit neurologis, kifosis, skoliosis, deformitas vertebra, atau organ-organ lain yang mungkin terlibat) Pemantauan rehabilitasi medik dan konsul rehabilitasi medik untuk program fisioterapi dan terapi okupasi paska operasi Rujuk ke bedah ortopedi untuk program operasi Pemantauan akseptabilitas diet, nafsu makan, pertumbuhan Pemantauan perkembangan, pendidikan, psikososial, masalah mental emosional Pemantauan penyakit lain yang mungkin timbul

Rencana Edukasi

26

Penjelasan kepada orang tua mengenai diagnosis, prosedur Pengobatan, dan perlunya pengobatan yang teratur. Penjelasan kepada orang tua tentang perlunya pemasangan stagen sambil menunggu TLSO Penjelasan mengenai efek samping obat. Penjelasan kepada orang tua mengenai perlunya nutrisi yang adekuat untuk mendukung penyembuhan. Ditekankan untuk menghindari sumber penularan. Memberi penjelasan tentang prognosis, pencegahan penyakit, dan cara penularan penyakit.

2. Asessment : Observasi Limfadenitis DD : Keganasan Infeksi DD: Infeksi kronis DD: Tuberculosis

Rencana Pemeriksaan Subjektif : Objektif : Biopsi, pemeriksaan histopatologi Rencana Pengobatan : Monitoring Keadaan umum, tanda vital Edukasi Menjelaskan kepada orang tua tentang pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis, dan rencana pengobatan setelah ditemukan penyebabnya.

27

3. Asessment : Anemia mikrositik hipokromik DD/ Perdarahan Infeksi Nutrisi : Defisiensi besi 1. Rencana pemeriksaan : S: O : Preparat darah hapus, retikulosit, serum iron, ferritin serum, TIBC 2. Rencana Pengobatan : Vitamin C 3 x 25 mg Vitamin B complex 3 x 1 tab 3. Rencana Monitoring : Keadaan umum, tanda vital, darah rutin. 4. Rencana Edukasi : Menjelaskan kepada orang tua penderita bahwa anaknya sakit anemia sehingga perlu dicari penyebabnya sehingga dapat segera diberikan terapi yang sesuai.

4. Assessment : Gizi kurang (antropometri) Rencana pemeriksaan Subjektif : Objektif : pemeriksaan elektrolit, GDS, pemeriksaan feses

Rencana Pengobatan Kebutuhan Cairan, Kalori, Protein: Usia 8 tahun 2 bulan, BB 15,5 kg, tinggi badan 106 cm, arm spain 112 cm, berat badan ideal menurut tinggi badan 18 kg.

Diet: 3 x nasi 28

3 x 200 cc susu vitaplus 1 x snack modisco Dengan nilai gizi : Energi 1770,76 kkal, protein 62,5 gram.

Rencana Monitoring

:

Perubahan berat badan setiap hari, pemantauan akseptabilitas makanan

Rencana Edukasi

:

Penjelasan kepada orang tua bahwa anak mengalami kekurangan gizi yang berat yang harus segera diatasi oleh karena kondisi tersebut akan membuat tubuh rentan terhadap infeksi dan membuat infeksi yang ada bertambah buruk yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembang anak

Meningkatkan nafsu makan anak Menjaga kebersihan dan kesehatan jasmani anak Mengigatkan orang tua untuk terus memantau pertumbuhan anak dengan penimbangan secara rutin

5. Asessment : Loss of growth 1. Rencana Pemeriksaan : 2. Rencana Terapi :

Diet catch up growth dengan perhitungan kalori : berat badan ideal menurut tinggi badan x RDA menurut umur 3. Rencana Monitoring Pengukuran berat badan 4. Rencana Edukasi : :

Menjelaskan kepada orang tua agar anak dapat meningkatkan konsumsi makanannya agar berat badan anak dapat kembali naik.

29

Minta anak untuk selalu menghabiskan makanan yang disediakan oleh rumah sakit dan tetap lanjutkan minum susu yang biasa diberikan Menjelaskan kepada orangtua agar rutin memeriksakan berat badan anak agar pertumbuhannya dapat dipantau. Menjelaskan kepada orang tua agar lebih meningkatkan ketahan tubuh anak terhadap penyakit, seperti makan makanan bergizi, tidak jajan sembarangan, menghindari anak terhadap stress. Menjelaskan kepada orangtua agar segera membawa ke puskesmas atau rumah sakit jika berat badan anak tidak naik walau telah diberikan terapi gizi yang memadai. Menjelaskan kepada orang tua agar membiasakan pola hidup sehat di lingkungan rumah agar anak dapat tumbuh kembang dengan optimal.

6. Asessment : Perawakan Pendek DD : Gangguan Hormon Infeksi Kronis Nutrisi Genetik (familial)

1. Rencana Pemeriksaan: S:O : - Pemeriksaan fungsi tiroid - Pemeriksaan umur tulang (bone age)

2. Rencana Pengobatan - Anak dengan variasi normal perawakan pendek tidak memerlukan pengobatan - Anak dengan kelainan patologis, terapi disesuaikan dengan etiologinya

30

3. Rencana Monitoring Pemantauan tumbuh kembang

4. Rencana Edukasi o Menjelaskan kepada orang tua bahwa perawakan anak pendek, yang bisa disebabkan karena kurangnya nutrisi, infeksi kronik, karena genetic (familial), karena gangguan pada hormone pertumbuhan, dan lain-lain o o Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan yang dan pengobatan yang diperlukan Menjelaskan kepada orang tua tentang perlunya pemantauan

tinggi badan anak, dengan mengukur tinggi badan anak setiap 6 bulan sekali.

2.6 Hasil Kunjungan Rumah Kunjungan rumah tanggal 27 Februari 2011 pukul 14.00 15.00 Keadaan Rumah Status Penghuni Ukuran Halaman rumah Teras rumah Dinding rumah Lantai rumah Ruangan : rumah milik orang tua : 1 kepala keluarga (4 orang) : 8 x 8 m2 : ada : ada, 1x6 m2 , bersih : anyaman bambu : tanah : 1 ruang tamu ukuran 2x6 m2 2 kamar tidur ukuran 3 x 3 m2 1 ruang keluarga ukuran 3 x 4 m2 1 dapur (didalam rumah) ukuran 2 x 2 m2 Ventilasi Pencahayaan : kurang memadai, tidak ada jendela : pencahayaan kurang Sinar matahari hanya sedikit yang dapat masuk ke

31

dalam rumah Tidak ada genting kaca Kebersihan Sumber air minum : cukup, rumah disapu dua kali sehari : air sumur (untuk mandi, memasak dan minum), jumlah air cukup, kualitas cukup Kamar mandi : Kamar mandi menumpang dengan tetangga, di luar rumah. Dibersihkan 1 minggu sekali, selokan mengalir lancar Jamban tidak satu ruangan dengan kamar mandi Fungsi kamar mandi sebagai MCK

Kebiasaan Sehari-hari dan Perilaku Kesehatan Asuh: Perawatan sehari-hari oleh ayah, ibu, dan kakak Makan nasi dengan lauk dan sayur 3 x sehari 1 piring dengan sayur dan lauk ikan laut, telur, ayam, daging, sering tidak habis Bila sakit penderita berobat ke mantri Asih: kasih sayang diberikan oleh ayah, ibu, dan kakak Asah: Stimulasi mental diperoleh terutama dari ayah, ibu, dan kakak. Bermain dengan keluarga dan tetangga penderita.

Rumah ditempati oleh 4 orang. Penderita sekamar dengan orang tuanya. Ayah bekerja sebagai buruh tani, ibu sebagai ibu rumah tangga. Anak diasuh oleh ibu, ayah dan kakaknya. Makanan dan minuman dimasak dahulu sebelum dimakan. Alat makan dicuci bersih dengan sabun. Makanan di meja ditutup dengan tudung saji. Pakaian kotor dicuci tiap 1 minggu sekali. Rumah disapu 2 kali sehari.

32

Sampah dibuang di tempat sampah tetangga dekat rumah. Tetangga ada yang menderita batuk lama dan penderita sering main ke tempat tetangga tersebut.

Lingkungan Rumah penderita terletak di Mindahan Kidul, Bate Alit, Jepara. Rumah penderita berdinding bambu, lantai tanah, tidak terdapat jendela, pencahayaan kurang. Jarak antar rumah tidak berdempetan. Sekitar rumah bersih, tidak terdapat sampah berserakan maupun genangan air. Jalanan di depan rumah adalah tanah dan kerikil yang langsung berhadapan dengan rumah tetangga.

Denah Rumah

Keterangan: : pintu

33

34

BAB III PEMBAHASAN

Kasus seorang anak perempuan dengan umur 8 tahun 2 bulan, berat badan 15,5 kg, tinggi badan 106 cm, arm span 111 cm. Anak kedua dari dua bersaudara dengan spondilitis tuberculosis, anemia mikrositik hipokromik, perawakan pendek, dan gizi kurang. Pada penderita didapatkan benjolan pada punggung dengan diameter 5 cm setinggi Vertebra L2-L3, panas (+), keras, tidak nyeri, tidak kemerahan, tidak dapat digerakkan. Terdapat riwayat trauma kurang lebih 3 tahun sebelum benjolan muncul. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan paravertebra setinggi V.L2-3 dan kifosis. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di inguinal kanan sebanyak 2 benjolan masing-masing berdiameter 5 cm dengan tanda radang (+). Skoring TB memiliki total nilai 9 berdasarkan terdapatnya kontak dengan penderita TB, Gizi kurang, adanya demam berkepanjangan, batuk yang berkepanjangan, adanya gibbus pada tulang belakang, adanya pebesaran kelenjar limfe, serta hasil x foto thoraks yang menunjukkan gambaran TB paru. Pemeriksaan X foto thorax menunjukkan adanya peningkatan corakan bronkovaskuler yang meningkat, penebalan hilus kiri, dan terdapat infiltrate pada perihiler kiri, dan paracardial kanan-kiri, menunjukkan gambaran proses spesifik. X foto vertebra lumbosacral AP/lat menunjukkan destruksi corpus vertebra L2 dan L3 yang menyebabkan hilangnya discus intervertebralis dan penyempitan foramen intervertebralis serta kifotik lumbal yang bertambah ( gambaran gibbus ), menunjukkan gambaran spondilitis lumbal cenderung et causa tuberculosis. Spondilitis tuberculosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh Mycobacterium tuberculosa yang mengenai satu atau lebih tulang belakang. Spondilitis tuberculosa selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungka dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut

35

oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.(2,3,4)

Lesi yang terjadi pada Pott disease merupakan kombinasi dari osteomyelitis dan arthritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari corpus vertebra merupakan daerah yang biasanya terkena. Tuberculosis dapat menyebar dari area tersebut ke discus intervertebralis. Destruksi progresif dari tulang menyebabkan vertebral collapse dan kyphosis. Canalis spinalis juga dapat menyempit karena adanya abses, jaringan granulasi, atau invasi dural, menyebabkan terjadinya kompresi spinal cord dan defisit neurologis. Kyphosis terjadi karena collapse pada spina anteriorn vertebra. Lesi lebih sering terjadi pada vertebra thoracalis dibandingkan vertebra lumbalis. Abses dingin dapat terjadi bila infeksi berkembang ke ligamen dan jaringan lunak. 4 Tuberkulosis tulang dan sendi merupakan penyebaran dari tuberkulosis paru yang didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin dan x foto thoraks. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan x-foto thoraks yang mengarahkan pada TB merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis dari spesimen (sputum). Namun karena sulitnya pengambilan spesimen pada anak, maka dibuatlah sistem skoring dengan diagnosis TB ditegakkan jika total nilai 6. Pada penderita ini jumlah skor adalah 9 sehingga didiagnosis positif TB.5 Perjalanan alamiah tuberkulosis paru hingga berkembang menjadi TB tulang/sendi ditunjukkan oleh time table wallgreen berikut:

36

Kompleks primer sebagian sembuh sendiri (3-24 bulan) Pleural effusion (3-6 bulan)

Erosi bronkus (3-9 bulan) Meningitis TB milier (dalam 12 bulan)

TB tulang (dalam 3 tahun) TB ginjal (dalam 5 tahun)

INFEKSI

Hipersensitivitas

Kekebalan didapat Tes Tuberkulin Positif

2-12 minggu (6-8Gar 1. minggu) Risiko tertinggi untuk komplikasi lokal dan diseminasi

1 tahun

Risiko menurun

Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer 5

Adapun mekanisme perkembangan penyakitnya adalah sebagai berikut: 1. Kompleks primer Lesi primer biasanya pada paru-paru, faring, atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodus regional dan disebut sebagai primer kompleks. 2. Penyebaran sekunder Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri di deposit pada jaringan ekstrapulmoner. 3. Lesi tersier Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 7% dari tuberkulosis paru akan menyebar dan berakhir sebagai tuberkulosis tulang dan sendi. Pada saat ini kasus-kasus tuberkulosis paru masih sangat tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi diperkirakan masih tinggi. Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian

37

bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. 3 Tuberkulosis sendi dan tulang terutama mengenai daerah tulang belakang (50-70%) dan sisanya pada sendi-sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, sendi bahu, dan daerah persendian kecil.7,8 Spondilitis tuberkulosis sering menyerang vertebrae segmen thoracal bawah (T8-T12) dan lumbal atas (L1-L3). Sangat jarang ditemukan pada bagian cervical. Terdapat tiga macam penyebaran infeksi pada tulang belakang: 6 1. Sentral (11,6%): destruksi awal berada pada sentral corpus vertebrae, sering ditemukan pada anak-anak 2. Paradiskus(33%): Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus ( di daerah metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal. 3. Anterior(52,8%): destruksi awal pada corpus vertebrae bagian anterior, biasanya merupakan penjalaran infeksi vertebra di atas dan di bawahnya (perkontinuatum). Destruksi progresif tulang di bagian anterior da kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra , sehingga akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks da berakumulasi di bawah lgamentum longitudinal anterior. Cold abcess ini kemudian berjalan sesuai pengaruh gaya gravitasi. Di regio lumbal abcess

38

berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha dibawah ligamentum inguinale. Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberklosa. Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Potts paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Secara klinis, gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu malaise, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler (reffered pain) yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang makin lama makin berat, spastisitas, klonus, hiperreflexia, dan reflex Babinski bilateral. Pada tahap awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum ditemukan nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan diantaranya adalah gibbus, bengkak paravertebra dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang telah disebutkan diatas.7,8,9 Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.8 Dalam kasus ini, berdasarkan anemnesis ditemukan gibbus pada tulang belakang setinggi VL.2-3, tidak terasa nyeri, ada riwayat trauma sebelumnya. Terdapat keluhan pada ekstremitas inferior yang berupa kelemahan otot, tanpa

39

adanya keluhan gangguan sensoris memungkinkan bahwa lesi hanya mengenai bagian anterior medula spinalis sehingga manifestasi klinis yang muncul terutama gangguan motorik dan belum mengenai sensorik. Kumar membagi patofisiologi spondilitis tuberculosa dalam lima stadium9

:

1. Stadium implantasi: setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan penderita menurun maka bakteri akan membentuk koloni selama 6-8 minggu, biasanya terjadi pada daerah paradiskus dan sentral. 2. Stadium dekstruksi awal: berlangsung selama 3-6 minggu setelah stadium implantasi. Terjadi destruksi corpus vertebrae dan penyempitan yang ringan pada diskus. 3. Stadium destruksi lanjut: terjadi selama 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Pada stadium ini terjadi kerusakan yang berat, seperti halnya kolaps vertebrae dan terbentuk masa kaseosa serta pus yang dapat membentuk abses dingin, pada stadium ini juga terbentuk gambaran baji pada corpus vertebrae karena kerusakan pada bagian anterior dari corpus sehingga dapat terlihat kifosis pada penderita. 4. Stadium gangguan neurologis: stadium ini tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosis. Vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Konstam membagi gangguan neurologis pada spondilitis TB menjadi 4 derajat: I) Spastik tapi masih dapat berjalan, II) Tidak dapat berjalan tetapi masih ada gerakan volunter, III) Tidak ada gerakan volunter, paraplegi pada gerakan ekstensi, IV) Paraplegia flaksid. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis

40

spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberculosa. Paraplegia Pott terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. 5. Stadium deformitas residual: stadium ini terjadi 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Gibbus bersifat permanen karena kerusakan corpus vertebrae yang masif pada bagian anterior. Pada kasus ini proses penyakit sampai pada stadium 4, didapatkan defisit neurologis berupa kelemahan tungkai tetapi masih dapat berjalan sehinggga gangguan neurologis dapat digolongkan dalam derajat I. Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak spesifik dan tidak membantu dalam menegakkan diagnosis. Pada tuberkulosis laju endap darah pada umumnya meningkat, tetapi biasanya tidak spesifik, terjadi peningkatan kadar serum CRP yang berkaitan dengan pembentukan pus, hitung leukosit umumnya normal, namun dapat pula meningkat, uji Mantoux biasanya positif, sedangkan spesimen sputum hanya positif pada pasien dengan Tb paru aktif. Pada pasien ini ditemukan adanya peningkatan laju endap darah, jumlah leukosit dalam batas normal dan uji mantoux yang positif. Pemeriksaan pencitraan x-foto polos pada spondilitis TB merupakan tes awal, namun seringkali negatif pada fase awal penyakit pada fase awal penyakit sebelum proses dekstruksi meluas. Pembentukan abses paravertebra tampak sebagai gambaran foto polos sebagai pembengkakan jaringan lunak sepanjang kolumna vertebralis. Pemeriksaan x foto thoraks juga penting untuk melihat adanya tuberkulosis paru, baik aktif maupun tidak aktif.10 Pada kasus ini,

pemeriksaan x foto thoraks menunjukkan hasil terdapat penebalan hilus kiri disertai infiltrat pada perihiler kiri, paracardial kanan dan kiri dengan kesan curiga TB paru. Pada pemeriksaan x foto polos vertebra lumbosacral didapatkan kesan gambaran spondilitis lumbal cenderung et causa tuberculosis. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka pada penderita dapat ditegakkan diagnosis spondilitis tuberkulosis. Tatalaksana spondilitis TB pada anak merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara pemberian medika mentosa, penanganan gizi, dan pengobatan

41

penyakit penyerta. Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Indonesia menetapkan tatalaksana TB tulang dan sendi adalah dengan obat anti tuberkulosis rifampisin (RIF), isoniazid (INH), pirazinamid (PZA), dan ethambutol (EMB) atau streptomisin (STREP). RIF dan INH dberikan selama 12 bulan, PZA dan EMB/STREP selama 2 bulan pertama.5 Pada penderita ini diberikan terapi sesuai dengan pedoman nasional tuberkulosis anak di Indonesia yaitu 2 bulan pertama dengan pemberian INH 5-10 mg/kgBB/hari (1 x 75 mg), RIF 10-20

mg/kgBB/hari (1 x 150 mg), PZA 15-40 mg/kgBB/hari (1 x 200 mg) dan STREP secara injeksi 1 x 500 mg, dan untuk 10 bulan selanjutnya diberikan 2 OAT: INH dan RIF. Perhitungan dosis OAT disesuaikan dengan berat badan pasien. Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk kasus-kasus lanjut dengan dekstruksi tulang yan meluas, terbentuk abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk mencegah defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga membantu keberhasilan terapi jika ruang abses menyebabkan lingkungan yang avaskuler yang melindungi kuman dari antibiotika sistemik. Pembedahan dengan hasil terbaik didapatkan pada awal proses sebelum berkembang menjadi fibrosis dan jaringan parut. Respon klinis terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih baik pada pasien saat awal penyakit dibanding dengan penyakit yang sudah kronik dan deformitas. Pertimbangan umum untuk pembedahan adalah: 1) adanya defisit neurologis, 2) instabilitas tulang belakang atau kifosis > 300, 3) tidak berespon terhadap OAT, 4) biopsi non diagnostik, 5) abses paraspinal besar sehingga perlu drainase, 6) debridemen jaringan yang terinfeksi.15 Secara keseluruhan, pembedahan direkomendasikan sekitar 5% dari kasus tanpa komplikasi, dan 60% diantaranya disertai defisit neurologis. Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan operasi karena adanya defisit neurologis dan instabilitas tulang belakang. Terapi rehabilitasi medik juga diperlukan dalam rangka menunjang keberhasilan terapi OAT dan operatif. Pemberian alat bantu berupa TLSO

42

(Thoracolumbosacral orthosis) bertujuan sebagai fiksasi eksternal sebelum dilakukan operasi. Disamping itu rehabilitasi medik juga berperan dengan adanya fisioterapi dan terapi okupasi setelah dilakukan operasi untuk menghilangkan defisit neurologis yang ada dan mendapatkan kembali kekuatan otot normal untuk ekstremitasnya. Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. a. Mortalitas Mortalitas pasien spondilitis tuberculosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5% jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi da pengawasan ketat). b. Relaps Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat unu dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0% c. Kifosis Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Pada kelainan yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien. Penelitian dari The British Medical Research Council menunjukkan perubahan lebih lanjut pada gambaran radiologi bahkan setelah terapi OAT dihentikan namun kifosis tetap bisa memburuk. Risiko perburukan kifosis paling banyak ditemukan pada: 1) anak di bawah usia 15 tahun dimana 3 vertebra thorakal terkena, 2) pada pasien yang penyakitnya meluas dari 1-2 vertebra menjadi 3-4 vertebra, dan 3) pasien dengan sudut kifosis > 300.12 d. Defisit neurologis

43

Defisit neurologis pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik sengan dilakukannya operasi dini. e. Usia Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. Malnutrisi energy protein (MEP) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia. Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energy dan protein, MEP diklasifikasikan menjadi MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang), dan MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus. Pada gizi buruk, di samping gejala klinis didapatkan kelainan biokimia sesuai dengan bentuk klinis. Adanya interaksi yang sinergis antara infeksi dan malnutrisi telah lama diketahui. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Pada infeksi terjadi peningkatan kebutuhan energi, peningkatan katabolisme, nafsu makan menurun, serta penurunan absorbsi gizi oleh usus. Malnutrisi, walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kurang gizi menyebabkan gangguan integritas epitel, sekresi asam lambung dan lisosim, penurunan fungsi imunitas seperti penurunan fungsi sel T, dan penurunan aktivitas mikrosidal. Hubungan ini sinergis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar dari pada sendiri-sendiri. Adanya intake makanan dan nutrisi yang inadekuat dapat menyebabkan kegagagalan pertumbuhan (growth failure ). Oleh karenanya kegagalan pertumbuhan menggambarkan tingkat malnutrisi yang terjadi. Pada penderita malnutrisi primer dapat terjadi gangguan pertumbuhan fisik yang disertai gangguan psikomotor milestone dan menurunnya kemampuan psiko biologik berupa fungsi dasar mekanisme belajar. Kegagalan pertumbuhan ini dapat menyebabkan anak menjadi pendek (stunted ) yang menunjukkan defisit perbandingan tinggi badan dan umur ataupun kurus (wasted) yang menunjukkan defisit perbandingan berat badan dan tinggi badan.

44

Pada kasus ini, anak status gizi anak digolongkan ke dalam gizi kurang, dengan perhitungan berat badan aktual dengan berat badan idealnya sekitar 86%. Malnutrisi energy protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial. Pada kasus ini, anak perlu diberikan diet dengan perhitungan : kebutuhan energy dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan berat badan ideal. Perlu ditindaklanjuti juga dengan mengobati infeksi yang terjadi apada anak, karena malnutrisi juga berhubungan dengan infeksi yang terjadi. Menurut grafik CDC, tinggi badan anak berada dibawah persentil 3, yang berarti perawakan anak pendek. Perawakan pendek atau short stature adalah tinggi badan yang berada di bawah persentil ke 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut atau kurva baku NCHS. Perawakan pendek dapat disebabkan oleh berbagai kelainan endokrin maupun non-endokrin. Penyebab terbanyak adalah kelainan non endokrin seperti penyakit infeksi kronik, gangguan nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit jantung bawaan, dan lainlain. Namun terdapat pula variasi normal perawakan pendek yang fisiologis, yaitu familial short stature. Hal ini dapat diketahui dengan tinggi badan anak yang masih berada dalam rentang tinggi orang tuanya. Tanda familial short stature: pertumbuhan selalu di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, umur tulang (bone age) normal, tinggi badan kedua orangtua pendek, dan tinggi akhir di bawah persentil 3. Pada kasus ini, tinggi badan anak masih dalam rentang tinggi badan orangtuanya. Anemia adalah suatu keadaan yang menggambarkan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit dibawah nilai standar normal sesuai umur dan jenis kelamin. Keluhan anemia pada umumnya yaitu pucat, pusing, palpitasi, mudah lelah, mudah tersinggung dan kreativitas kurang. Berdasarkan morfologinya anemia dibagi menjadi; anemia mikrositik, anemia normositik dan anemia makrositik. Berdasarkan etiologinya anemia dibagi menjadi anemia pasca perdarahan, anemia hemolitik, anemia defisiensi, anemia aplastik. Anemia hipokrom mikrositik yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah anemia defisiensi besi yaitu anemia yang secara primer disebabkan oleh

45

kekurangan zat besi dengan ciri-ciri berupa gambaran darah beralih secara progresif dari normositik normokromik menjadi mikrositik hipokromik dan memberikan respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kurangnya masukan, kurangnya absorbsi contohnya pada diare kronis, sintesisnya terganggu, atau karena kebutuhannya bertambah yaitu pada keadaan infeksi dan pertumbuhan cepat, dapat pula karena pengeluaran yang bertambah yaitu pada amoebiasis menahun dan hemolisis. Etiologi yang paling mungkin dari kasus ini adalah anemia defisiensi,

karena saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi masih merupakan masalah gizi yang penting. Selain itu, saat ini pasien dalam keadaan infeksi dan pertumbuhan, jadi penggunaan zat besi lebih banyak. Tetapi pada pasien ini belum dapat dipastikan karena belum dilakukan pemeriksaan Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) untuk menentukan anemia defisiensi besi. Dasar pengobatan anemia defisiensi besi adalah pemberian senyawa besi. Namun karena sekarang penderita sedang dalam keadaan sakit, maka pemberian senyawa besi ini ditunda dulu sampai anak sembuh dari sakit. Dietetik berupa makanan yang bergizi, terutama mengandung zat besi, seperti daging, hati, sayursayuran. Edukasi dilakukan dengan menjelaskan kepada ibu penderita, agar anak menghabiskan diet yang diberikan rumah sakit. Menjelaskan kepada orang tua penderita bahwa anak membutuhkan asupan makanan yang bergizi (banyak mengandung zat besi contohnya daging, ikan, bayam ).

46

DAFTAR PUSTAKA 1. Suyana, Ketut. Pengaruh Koreksi Kifosis terhadap Perbaikan Defisit Neurologis pada Penderita Spondilitis Tuberkulosis Vertebra Thorakal dan Thorakolumbal [homepage on the Internet]. c2005 [cited 2011 Jan 17]. Available from: http://www.ui.ac.id 2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87. 3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-54 4. Nastiti R, Darfioes B, Makmuri M, Cissy K. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak edisi kedua. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2007. 5. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151 6. World Health Organization. Diagnosis of TB in children. Dalam: World Health Organization Guidance for National Tuberculosis Programes on the Management of Tuberculosis in Children. WHO; 2006.p.4-9 7. Golden MP, Vikram HR. Extrapulmonary Tuberculosis: an overview. American Academy of Familial Physician. 2005; 72: 1761-8 8. Leibert E, Haralambou G. Spinal Tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay S, editor. Tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia: Lippincort William & Wilkins; 2004.p.565-76 9. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91 10. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders, 1995 : 615-32. 11. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :

47

Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York : Thieme, 2001 : 150, 334-36 12. Sherwood, Laurale. Fisiologi Manusia edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001; p.501-502 13. Pedoman

48

Foto Pasien

Benjolan di punggung

49

Benjolan di punggung Tampak samping

Foto Kunjungan Rumah

Tampak Depan

Kamar tidur pasien bersama orang tuanya

50

Dapur Langit-langit rumah

51

Kamar mandi

Sumber air

Tempat Mencuci piring

Tempat Mencuci pakaian

Jarak antar rumah

52

53