LAPORAN AKHIR KEGIATAN KAJIAN EFEKTIVITAS...
Transcript of LAPORAN AKHIR KEGIATAN KAJIAN EFEKTIVITAS...
1
LAPORAN AKHIR KEGIATAN
KAJIAN EFEKTIVITAS TRICHODERMA SPDALAM PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK
BUAH KAKAO (Phytophthora palmivora)DI KABUPATEN ACEH TIMUR
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ACEHBALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIANKEMENTERIAN PERTANIAN
2014
FENTY FERAYANTI
2
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP :
:
Kajian Efektivitas Trichoderma sp DalamPengendalian Penyakit Busuk BuahKakao (Phytophthora palmivora) diKabupaten Aceh Timur
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian(BPTP) Provinsi Aceh
3. Alamat Unit Kerja : Jalan P. Nyak Makam No. 27Lampineung Banda Aceh - 23125
4. Sumber Dana : DIPA BPTP Aceh 20145. Status Penelitian : Baru6. PenanggungJawab :
A. Nama : Fenty Ferayanti, SPB. Pangkat/ Golongan : Penata Muda Tk.I/IIIbC. Jabatan Peneliti Muda
7. Lokasi : Kabupaten Aceh Timur8. Agroekosistem : Lahan Kering9. Tahun Mulai : 201410. Tahun Selesai : 201411. Output Tahunan : -12. Output Akhir Diperoleh data tentang efektivitas
agensia hayati dalam pengendalianhama dan penyakit utama tanamankakao di Kab. Aceh Timur
13. Biaya : 80.000.000,- (Delapan Puluh JutaRupiah)
Mengetahui,KepalaBalai
Ir. Basri AB, M.SiNIP. 19600811 198503 1 001
Koordinator Program,
Ir. T. Iskandar, M.SiNIP. 19580121 198303 1 003
Penanggungjawab Kegiatan,
Fenty Ferayanti, SPNIP. 19770331 200221 2 001
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas terlaksananya
penyusunan laporan akhir dari hasil pelaksanaan kegiatan kajian Efektivitas
Trichoderma sp Dalam Pengendalian Penyakit Busuk Buah Kakao (Phytophthora
palmivora) di Kabupaten Aceh Timur yang telah dilaksanakan dari bulan Maret –
Desember 2014.
Terlaksananya kegiatan ini tidak terlepas dari dukungan dan peran aktif
seluruh Dinas/Instansi yang terkait, petani kooperator dan penyuluh/peneliti
yang ada di BPTP Aceh. Namun demikian kami menyadari dalam pelaksanaan
kegiatan ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya
kegiatan ini mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan yang
dilanjutkan dengan penyusunan laporan akhir ini, kami ucapkan terimakasih dan
semoga laporan ini memberikan manfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, Desember 2014Penanggungjawab,
Fenty Ferayanti, SPNIP. 19770331 200221 2 001
4
RINGKASAN
1. Judul RPTP :Kajian Efektivitas Trichoderma sp DalamPengendalian Penyakit Busuk Buah Kakao(Phytophthora palmivora) di Kabupaten AcehTimur
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian(BPTP) Provinsi Aceh
3. Lokasi : Kabupaten Aceh Timur
4. Agroekosistem : Lahan Kering
5. Status : Baru
6. Tujuan :- Untuk mengkaji efektivitas agensia hayati
(Trichoderma sp) dalam pengendalian
penyakit busuk buah kakao di Kabupaten
Aceh Timur
- diadopsinya penggunaan agensia hayati
sebagai komponen PHT, sehingga dapat
diterapkan petani kakao untuk
mengendalikan busuk buah kakao.
7. Keluaran : - Diperoleh data tentang efektivitas agensia
hayati dalam pengendalian hama dan
penyakit utama tanaman kakao di
Propinsi Aceh
- Teradopsinya penggunaan agensia hayati
sebagai komponen PHT, sehingga dapat
diterapkan petani kakao untuk
mengendalikan busuk buah kakao.
5
8. Hasil : - Intensitas serangan yang terendah
dijumpai pada perlakuan Th3
(Trichoderma harzianum) 25.63 % diikuti
oleh Ta3 (Trichoderma asperellum)
28.75 % dan Tv3 (Trichoderma viren)
31.25%. Pada perlakuan kontrol di semua
ulangan menunjukkan perbedaan yang
signifikan dengan perlakuan lainnya yaitu
68.75 %.
- Aplikasi perlakuan Trichoderma
harzianum dan Trichoderma asperellum
lebih efektif digunakan dalam
mengendalikan penyakit busuk buah
kakao (Phytophthora palmivora)
dibanding dengan perlakuan Trichoderma
viren
9. Prakiraan Manfaat : - Memberikan informasi tentang teknologi
pengendalian busuk buah dengan
memanfaatkan agensia hayati
Trichoderma sp serta dapat
diimplementasikan oleh petani untuk
pengendalian yang ramah lingkungan.
- Petani mampu memperbanyak
Tricoderma sp secara mandiri untuk
pengendalian penyakit busuk buah kakao
10. Prakiraan Dampak : - Terjadi penurunan intensitas serangan
penyakit busuk buah kakao
- Meningkatkan pendapatan petani melalui
peningkatan produksi tanaman serta
produksi biaya tinggi dapat ditiadakan
(pengurangan penggunaan pestisida
sintetis).
6
11. Prosedur : Pengkajian ini akan dilaksanakan pada lahan
pertanaman kakao milik petani di Kabupaten
Aceh Timur yang akan dimulai pada bulan
Mei hingga Desember 2014. Percobaan ini
menggunakan tanaman eksis milik petani
dengan luasan 1 ha dengan umur tanaman
± 5-6 tahun. Pengkajian yang akan
dilaksanakan menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) non faktorial yang terdiri
atas 9 (sembilan) perlakuan dan control
yang terdiri dari :
K0 = Kontrol
Th1=aplikasi Trichoderma harzianum
konsentrasi 50 gr/liter air
Th2=aplikasi Trichoderma harzianum
konsentrasi 100 gr/liter air
Th3=aplikasi Trichoderma harzianum
konsentrasi 150 gr/liter air
Tv1=aplikasi Trichoderma virens konsentrasi
50 gr/liter air
Tv2=aplikasi Trichoderma virens konsentrasi
100 gr/liter air
Tv3=aplikasi Trichoderma virens konsentrasi
150 gr/liter air
Ta1=Trichoderma asperellum konsentrasi 50
gr/liter air
Ta2=Trichoderma asperellum konsentrasi
100 gr/liter air
Ta3=Trichoderma asperellum konsentrasi
150 gr/liter air
Masing – masing perlakuan diulang
sebanyak 5 kali. Setiap perlakuan terdiri dari
8 tanaman sehingga jumlah tanaman
7
seluruhnya yaitu 6 x 3 x 10 = 180 tanaman.
Parameter yang diamati adalah intensitas
serangan penyakit pada buah kakao, dan
produksi
12. JangkaWaktu : 1 Tahun
13. Biaya : Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah)
8
SUMMARY
1. Title :Effectivity Study of Trichoderma sp onCocoa Black Pod Disease Control(Phytophthora palmivora) in AcehTimur District
2. Implementation Unit :Assessment Institute for AgricultureTechnology (AIAT)
3. Location :Aceh Timur District
4. Agroecosystem :Dryland
5. Status :NEW6. Objectives :- To assess the effectiveness of
biological agents (Trichoderma sp)on cocoa black pod disease controlin Aceh Timur District- To Adopt of the use of biological
agents as a IPM component, so itcan be applied by cocoa farmers tocontrol the cocoa black pod disease.
7. Output : Obtained the effectiveness ofbiological agents in the control ofmajor pests and diseases of cocoaplants in the province of Aceh
Adopted use of biological agents asa IPM component, so it can beapplied to cocoa farmers to controlthe cocoa fruit rot.
8. Outcome : The intensity of the lowest commonattacks on Th3 treatment(Trichoderma harzianum) 25.63%followed by TA3 (Trichodermaasperellum) 28.75% and TV3(Trichoderma viren) 31.25%. In thecontrol treatment in all replicatesshowed a significant difference withother treatments is 68.75%.
Application of Trichodermaharzianum and Trichodermaasperellum treatment moreeffectively used in controlling cocoablack pod disease (Phytophthorapalmivora) compared withTrichoderma viren treatment
9
9. Expected benefit :- Provide information on fruit rotcontrol technology by utilizingbiological agents Trichoderma sp andcan be implemented by farmers tocontrol environmentally friendly.- Farmers are able to reproduceTricoderma sp independently forcontrol of black pod disease of cocoa
10. Expected impact :- A decrease in the intensity of thecocoa fruit rot disease- Increasing farmers' income throughincreased crop production and highproduction costs can be eliminated(reduced use of synthetic pesticides)
11. Procedure :This assessment will be carried out onland owned by farmers cocoaplantations in East Aceh District whichwill begin in May to December 2014.This experiment uses a farmer'sexisting plant with an area of 1 ha withplant age ± 5-6 years. Assessment tobe carried out using a randomizedblock design (RBD) non factorialconsisting of 9 (nine) and a controltreatment consisting of :
K0=ControlTh1=Trichoderma harzianum
application concentration of 50 g/liter of water
Th2=Trichoderma harzianumapplication concentration of 100
g/liter of water
Th3=Trichoderma harzianumapplication concentration of 150
g/liter of water
Tv1=Trichoderma virens applicationconcentration of 50 g / liter ofwater
Tv2=Trichoderma virens applicationconcentration of 100 g / liter ofwater
TV3=Trichoderma virens applicationconcentration of 150 g / liter ofwater
TA1=Trichoderma asperellumconcentration of 50 g / liter ofwater
TA2=Trichoderma asperellum
10
concentration of 100 g /liter ofwater
TA3=Trichoderma asperellumconcentration of 150 g/liter ofwater
Each - each treatment was repeated 5times. Each treatment consisted of 8plants so that the number of wholeplant is 6 x 3 x 10 = 180 plants.Parameters measured were theintensity of the disease in cacao, andproduction
12. Duration :1 Year
13. Budget :IDR. 70.000.000,- (seventy millionrupiah)
11
DAFTAR ISI
Hal
HALAMANPENGESAHAN.......................................................................
i
KATAPENGANTAR................................................................................
ii
RINGKASAN.........................................................................................
iii
DAFTARISI..........................................................................................
x
DAFTARTABEL………………………………………………………………………………….
xi
DAFTARLAMPIRAN……………………………………………………………………………
xii
I. PENDAHULUAN.............................................................................1.1 Latar
Belakang...................................................................1.2 Tujuan........................................................................
.......1.3 Keluaran Yang
Diharapkan..................................................1.4 Perkiraan Manfaat dan
Dampak...........................................
11444
II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Tanaman
Kakao..................................................................2.2 Trichoderma,
sp..................................................................2.3 Morfologi Trichoderma,
sp...................................................2.4 Mekanisme Antagonis Tricoderma,
sp...................................
66889
III. METODOLOGI…………………………………………………………………………….3.1 Pendekatan………………………………………………………………
……..3.2 Ruang Lingkup
Kegiatan……………………………………………………3.3 Bahan dan Metode Pelaksanaan
12121212
12
Kegiatan…………………………..
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Gambaran Umum Lokasi
Pengkajian…………………………………..4.2 Pelaksanaan
Penelitian……………………………………………………..4.3 Kegiatan Temu
Lapang……………………………………………………..
15151720
V. KESIMPULAN DANSARAN……………………………………………………………
21
VI. DAFTARPUSTAKA………………………………………………………………………
22
13
DAFTAR TABEL
Hal
1. Nilai Skala Berdasarkan Skoring Penyakit Busuk BuahKakao…………
14
2. Data Curah Hujan Di Kecamatan Peunaron Tahun2013………………..
16
3. Data Penyebaran Penduduk Tiap Desa Di KecamatanPeunaron Tahun2013………………………………………………………………………………
17
4. Data Intensitas Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao(Phytophthorapalmivora)…………………………………………………………..
17
5. Rata – rata Produksi Kakao Pada Kegiatan Kajian EfektivitasAgensia Hayati Dalam Pengendalian Penyakit Busuk BuahKakao Di Kabupaten AcehTimur………………………………………………………………
19
14
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1. DenahPerlakuan…………………………………………………………….…………
27
2. DaftarPersonalia…………………….………………………………………………..
28
3. Daftar Resiko dan PenangananResiko…………………………………………
29
4. Foto – fotoKegiatan……..…………………………………………………………..
30
15
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar belakang
Kakao (Theobromae cacao. L) merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang memiliki peranan cukup penting bagi perekonomian nasional,
khususnya sebagai sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao
juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan
agroindustri. Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia
setelah negara Pantai Gading (1.276.000 ton) dan Ghana (586.000 ton).
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak tahun 1980.
Luas areal tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1,19 juta ha.
dengan total produksi mencapai 779,5 ribu ton. Dari luas areal tersebut 92,9 %
adalah perkebunan rakyat (Ditjenbun, 2007).
Kondisi tersebut sangat menguntungkan Indonesia, karena animo
masyarakat untuk mengembangkan perkebunan kakao beberapa tahun terakhir
sangat besar, sumberdaya lahan masih tersedia dan keinginan masyarakat
tersebut dapat terwujud dengan mengandalkan pendanaan sendiri. Areal
perkebunan kakao berkembang rata-rata hampir 10% per tahun selama lima
tahun terakhir dan hal tersebut merupakan suatu tingkat pertumbunhan yang
sangat besar pada posisi areal perkebunan kakao mendekati sejuta hektar.
Pengembangan usaha perkebunan kakao membutuhkan ketersediaan
lahan yang luas, tenaga kerja yang cukup, modal dan sarana serta prasarana
yang memadai. Indonesia masih memiliki lahan yang cukup luas untuk
pengembangan perkebunan kakao.
Pengembangan agribisnis kakao ke depan lebih diprioritaskan pada upaya
rehabilitasi dan peremajaan untuk meningkatkan produktivitas kebun kakao, di
samping terus melakukan perluasan. Pengembangan agribisnis kakao difokuskan
terutama di sentra-sentra perkebunan kakao yang ada saat ini yaitu Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara
Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Maluku dan Irian Jaya. Lahan yang
tersedia dan sesuai untuk pengembangan kakao masih sangat besar yaitu sekitar
6,23 juta ha yang tersebar di 10 propinsi, salah satunya adalah Propinsi Aceh.
16
Di Provinsi Aceh, tanaman kakao telah diusahakan sejak awal tahun 1956,
akan tetapi tehnik budidaya pada kakao secara intensif baru dimulai sejak pelita
III, khususnya menjadi sasaran utama bagi pengembangan kakao rakyat dalam
rangka peningkatan produksi serta dapat meningkatan pendapatan petani yang
ditempuh melalui beberapa kegiatan antara lain intensifikasi, peremajaan,
perluasan areal dan diversifikasi tanaman.
Dalam rangka melaksanakan revitalisasi perkebunan Gubernur Provinsi
Aceh menetapkan wilayah pesisir timur Aceh mulai dari Aceh Tamiang sampai
Kabupaten Pidie sebagai sentra produksi kakao bahkan sampai Aceh Tenggara
dan Aceh Barat Daya.
Luas tanaman kakao di masing – masing kabupaten tersebut adalah
sebagai berikut : Kabupaten Pidie 7000 Ha, Pidie Jaya 6210 Ha, Bireun 6412 Ha,
Aceh Utara 6127 Ha, Aceh Timur 4916 Ha, Aceh Tamiang 1760 Ha, Aceh
Tenggara 8196 Ha, Aceh Barat Daya 5806 Ha, jumlah total luas tanaman kakao
di Aceh adalah 46.427 Ha dengan produksi sebesar 27.000 ton. Persentase
kenaikan produksi pertahunnya yang masih rendah dengan rata-rata baru
mencapai 300-400 kg per hektar, ini sangat jauh dibandingkan dengan produksi
petani kakao di Sulawesi yang nilai produksinya mencapai 700 kg per
hektar/tahun.
Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi kakao yaitu
Kabupaten Aceh Timur yang diusahakan hampir diseluruh kecamatan dalam
Kabupaten Aceh Timur. Tiga kecamatan yang memiliki areal pertanaman terluas
yaitu : Kecamatan Peunaron 1.770 ha dengan produksi 1.051,83 ton, Kecamatan
Rantau Peureulak 3.733 ha dengan produksi 2.125,20 ton dan Kecamatan
Peudawa 1.467 ha dengan produksi 843,74 ton.
Kondisi umum dari perkebunan kakao rakyat yang ada di Propinsi Aceh
Timur adalah kurang perawatan, umur tanaman sudah tua, bahan tanam yang
digunakan rata-rata dari klon tidak unggul. Kondisi ini menyebabkan tingginya
tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), sehingga
produktivitas kakao yang dihasilkan cukup rendah serta mutu kakao yang rendah
(Susanto, 1994 ; Direktorat Jendral Perkebunan, 2008).
OPT utama yang menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan agribisnis
kakao adalah penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella), penghisap
buah kakao (Helopeltis antonii), dan busuk buah kakao (Phytophthora palmivora).
17
OPT utama yang saat ini menjadi prioritas utama untuk dikendalikan adalah
penggerek buah kakao dan busuk buah, mengingat kecenderungan intensitas
dan luas serangannya yang semakin meningkat (Direktorat Jendral Perkebunan,
2008 ; Sulistyowati dkk. 2003).
Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora
merupakan penyakit paling penting saat ini di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Gejala serangan penyakit ini adalah buah kakao berbercak coklat kehitaman,
biasanya dimulai dari pangkal buah. Intensitas serangan patogen ini dapat
mencapai 85% pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan tinggi, dan
menyebabkan kerugian hasil lebih dari 20-40%, dan kematian pohon lebih dari
10% per tahun (Beding at. al., 2002; dan Soemomarto, 1972; Flood et. al.,
2004; Junianto, 1993; Pawirosumardjo dan Purwantara, 1992 dalam Sulistyowati
et. al., 2003; Sukamto, 2003).
Hingga saat ini, pengendalian penyakit busuk buah kakao dilakukan
dengan cara memadukan komponen-komponen pengendalian yaitu memetik
semua buah busuk kemudian dibenamkan ke dalam tanah (sanitasi kebun),
pengaturan pohon pelindung dan pemangkasan tanaman (kultur teknis),
penyemprotan buah dengan fungisida berbahan aktif tembaga (kimiawi), dan
penanaman klon unggul seperti DRC 16, Sca 6, Sca 12, dan klon hibrida
(Sukamto, 1998).
Namun demikian, pengendalian secara terpadu di perkebunan rakyat
belum berkembang. Petani lebih menyukai menggunakan fungisida untuk
mengendalikan penyakit busuk buah kakao karena aplikasinya yang praktis dan
hasilnya dapat dilihat dengan cepat. Penggunaan fungisida kimiawi secara
intensif dalam waktu yang lama menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan
baik fisik dan biotik.
Untuk mengurangi efek samping yang merugikan ini, maka pengendalian
dengan fungisida dapat disubtitusi dengan pestisida hayati (agensia antagonis).
Penggunaan agensia antagonis tidak mempunyai efek samping yang
membahayakan lingkungan hidup dan dapat efektif mengendalikan patogen
penyakit dalam periode yang cukup lama.
Salah satu mikroorganisma antagonis yang berpotensi dalam
pengendalian hayati adalah jamur Trichoderma spp. Jamur ini dapat digunakan
untuk mengendalikan potogen tular tanah dan udara (Papavizas, 1985).
18
Pemanfaatan Trichoderma sp sebagai bioinsektisida untuk pengendalian
penyakit busuk buah kakao dapat dilakukan oleh petani, karena cendawan ini
sudah ada secara alami di alam, mudah diperbanyak pada media buatan dengan
biaya yang tergolong murah serta mudah dalam penggunaannya di lapangan.
Akan tetapi cendawan ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh petani
kakao. Peluang keberhasilan penyakit menggunakan cendawan pathogen pada
pertanaman kakao cukup besar. Penggunaan agensia hayati diyakini memiliki
kelebihan karena sesuai dengan prinsip keseimbangan ekosistem. Memanfaatkan
musuh alami dari hama dan penyakit pengganggu tanaman pertanian.
1.1. Tujuan
Tujuan dari kajian ini yaitu :
- Untuk mengkaji efektivitas agensia hayati (Trichoderma sp) dalam
pengendalian penyakit busuk buah kakao di Kabupaten Aceh Timur
- diadopsinya penggunaan agensia hayati sebagai komponen PHT,
sehingga dapat diterapkan petani kakao untuk mengendalikan busuk
buah kakao.
1.4. Keluaran yang diharapkan
Keluaran yang diharapkan yaitu :
- Diperoleh data tentang efektivitas agensia hayati dalam pengendalian
hama dan penyakit utama tanaman kakao di Propinsi Aceh
- teradopsinya penggunaan agensia hayati sebagai komponen PHT,
sehingga dapat diterapkan petani kakao untuk mengendalikan busuk
buah kakao.
1.5. Perkiraan Manfaat Dan Dampak
Kegiatan yang akan dilakukan ini diharapkan akan memberi manfaat dampak
antara lain :
- Memberikan informasi tentang teknologi pengendalian busuk buah
dengan memanfaatkan agensia hayati Trichoderma sp serta dapat
diimplementasikan oleh petani untuk pengendalian yang ramah
lingkungan.
19
- Terjadi penurunan intensitas serangan penyakit busuk buah kakao
- Meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi tanaman
serta produksi biaya tinggi dapat ditiadakan (pengurangan penggunaan
pestisida sintetis).
20
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
A. Tanaman Kakao
Tanaman kakao termasuk golongan tanaman tahunan yang tergolong
dalam kelompok tanaman caulofloris, yaitu tanaman yang berbunga dan berbuah
pada batang dan cabang. Tanaman ini pada garis besarnya dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu bagian vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan bagian
generatif yang meliputi bunga dan buah (Siregar et al., 1989). Menurut
Tjitrosoepomo (1981), tanaman kakao dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Anak Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Jenis : Theobroma cacao L.
Tanaman kakao dahulunya diberi nama “Arborea cacavifera americana”
juga sering disebut dengan nama “Amygdalus similis guamalensis” yang akhirnya
oleh LINIEUS diberi nama Theobroma cacao L., termasuk ke dalam salah satu
anggota genus Theobroma dari familia Sterculiaceae yang banyak dibudidayakan
oleh masyarakat.
Selain Theobroma cacao L masih ada satu anggota lain yang mempunyai
nilai ekonomis yaitu Theobroma pentagona Bern. Jenis terakhir ini kurang
populer karena coklat yang dihasilkan mempunyai mutu yang kurang baik atau
bermutu rendah dibandingkan dengan jenis yang pertama. Jenis kakao yang
banyak dibudidayakan adalah jenis/varietas :
a. Criollo (Criollo Amerika Tengah dan Amerika Selatan)
Menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao
mulia, fine flavour cocoa, choiced cocoa atau edel cocoa. Varietas ini dibagi
21
menjadi beberapa tipe yaitu : tipe Venezuela, tipe Nicaragua, tipe Jawa, tipe
Ceylon/Sri Langka, tipe Samoa, tipe Madagaskar dan tipe Porselin.
b. Forastero
Menghasilkan biji kakao bermutu sedang dan dikenal sebagai ordinary
cocoa atau bulk cocoa. Varietas Forastero mempunyai sub varietas yaitu : sub
varietas Angoleta, sub varietas Cundeamor, sub varietas Amelonado dan sub
varietas Colabascillo.
c. Trinitario
Merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga menghasilkan
biji kakao yang dapat termasuk fine flavour cocoa atau bulk cocoa. Jenis
Trinitario yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan
Uppertimazone Hybrida (Kakao Lindak).
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang
berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan
yang dikenal sebagai cokelat. Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial )
berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m.
Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih
dari 5 m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk
memperbanyak cabang produktif. Bunga kakao, sebagaimana anggota
Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga
sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3cm), tunggal, namun nampak
terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas.
Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil (midge)
Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang biasanya
terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu beberapa
hari. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki
sistem inkompatibilitas-sendiri. Walaupun demikian, beberapa varietas kakao
mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan jenis komoditi dengan
nilai jual yang lebih tinggi.
Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih besar
dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah terdiri dari 5 daun
buah dan memiliki ruang dan di dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-
22
ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit luar buah
biasanya berwarna kuning. Biji terangkai pada plasenta yang tumbuh dari
pangkal buah, di bagian dalam. Biji dilindungi oleh salut biji (aril) lunak berwarna
putih. Endospermia biji mengandung lemak dengan kadar yang cukup tinggi.
Dalam pengolahan pascapanen, pulp difermentasi selama tiga hari lalu biji
dikeringkan di bawah sinar matahari.
B. Trichoderma, sp
Menurut Streets (1980) dalam Tindaon (2008), Trichoderma sp.
diklasifikasikan dalam Kingdom Plantae,Devisio Amastigomycota,Class
Deutromycetes,Ordo Moniliales, Famili Moniliaceae,Genus Trichoderma, Spesies
Trichoderma sp. Cendawan marga Trichoderma terdapat lima jenis yang
mempuyai kemampuan untuk mengendalikan beberapa patogen yaitu
Trichorderma harzianum, Trichorderma koningii, Trichorderma viride,
Trichoderma hamatum dan Trichoderma polysporum. Jenis yang banyak
dikembangkan di Indonesia antara lain Trichorderma harzianum, Trichorderma
koningii, Trichoderma viride (Anonim, 2010).
Trichoderma sp. memiliki konidiofor bercabang – cabang teratur, tidak
membentuk berkas, konidium jorong, bersel satu, dalam kelompok – kelompok
kecil terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru (Semangun, 1996).
Trichoderma sp juga berbentuk oval, dan memiliki sterigma atau phialid tunggal
dan berkelompok (Barnet, 1960 dalam Nurhaedah,2002).
C. Morfologi Trichoderma sp.
Koloni Trichoderma sp pada media agar pada awalnya terlihat berwarna
putih selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat
sebagian besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikelilingi miselium yang
masih berwarna putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau
(Umrah, 1995 dalam Nurhayati, 2001).
Koloni pada medium OA (20oC) mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam
waktu 9 hari, semula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan dan
selanjutnya hijau redup terutama pada bagian yang menunjukkan banyak
terdapat konidia. Konidifor dapat bercabang menyerupai piramida, yaitu pada
bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan kearah ujung
23
percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang
terutama apeks dari cabang, dan berukuran (2,8-3,2) μm x (2,5-2,8) μm,
danberdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari
koloni yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal, umumnya bulat,
berwarna hialin, dan berdinding halus (Gandjar,dkk., 1999 dalam Tindaon,2008).
D. Mekanisme Antagonis Trichoderma sp.
Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai
pengaruh yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan
berasosiasi dengannya. Antagonis meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu
yang lain dalam jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis
sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh
mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT, dan (c) predasi, hiperparasitisme, dan
mikroparasitisme atau bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT
oleh mikroorganisme yang lain (Istikorini, 2002 dalam Gultom, 2008).
Trichoderma sp merupakan salah satu jamur antagonis yang telah
banyak diuji coba untul mengendalikan penyakit tanaman (Lilik,dkk., 2010). Sifat
antagonis Cendawan Trichoderma sp telah diteliti sejak lama. Inokulasi
Trichoderma sp ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang
menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang
dihasilkan cendawan ini (Khairul, 2000).
Selain itu Trichoderma sp mempunyai kemampuan berkompetisi dengan
patogen tanah terutama dalam mendapatkan Nitrogen dan Karbon (Cook dan
Baker, 1983 dalam Djatmiko dan Rohadi, 1997). Menurut Harman (1998) dalam
Gultom (2008), mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat
tular tanah dengan menggunakan cendawan Trichoderma sp dapat melalui
mikoparasitisme, antibiosis, kompetisi nutrisi, melarutkan nutrisi anorganik,
menginaktivasi enzim patogen, dan menginduksi resistensi (Elad dan Freeman
2002; Harman 2006).
Mikoparasit dan Antibiosis. Mikoparasit adalah kemampuan cendawan
memarasit cendawan lainnya. Mikoparasit oleh Trichoderma terjadi melalui
parasitisasi hifa Trichoderma terhadap cendawan lainnya. Trichoderma
memproduksi senyawa ekstraseluler eksokitinase yang menghasilkan fungitoksik
24
yang mampu mendegradasi dinding sel patogen (Harman et al. 2004). Selain itu,
hifa Trichoderma mampu memproduksi enzim yang dapat mendegradasi dinding
sel.
Jamur Trichoderma sp digunakan sebagai jamur atau cendawan
antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses
mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi (Mukerji dan Garg, 1988 dalam Rifai,
et. al., 1996).
Bendahmane et al. (2012) menyatakan Trichoderma sp yang telah
masuk ke dalam sel akan menggunakan bahan yang ada di dalam sitoplasma.
Pertumbuhan miselia Botrytis cinerea secara in vitro hanya berkisar 11,87 - 26,93
mm, namun jika diberi Trichoderma, hifa berkembang lebih cepat dibandingkan
kontrol, mencapai 39,81 mm. Trichoderma mampu menghambat pertumbuhan
Fusarium oxysporum pada krisan (Hartal et al. 2010), Alternaria porri pada
bawang merah (Muksin et al. 2013), dan Fusarium spp. pada cabai (Mukarlina et
al. 2010). Trichoderma juga mampu memarasit nematoda parasit pada tanaman
tomat (Meloidogyne javanica) (Sharon et al. 2001). Parasitisasi terjadi melalui
kolonisasi miselia Trichoderma pada telur maupun juvenil. Parasitisasi
Trichoderma pada tanaman tomat menurunkan indeks bengkak akar (0,5) dan
populasi nematoda betina (8,3) dibandingkan dengan tanaman kontrol yang
memiliki indeks bengkak akar 3,5 dan populasi nematoda betina 35,5. Howell
(2002) melaporkan bahwa Trichoderma dapat menghasilkan zat mudah menguap
seperti asetaldehida, npropanol, propional, isobutanol, n-butiraldehida, etil
asetat, isobutil asetat, dan aseton yang dapat menghambat pertumbuhan R.
solani, Fusarium annosus, Fusarium oxysporum, Penicillium domesticum, Mucor
hiemalis, dan Phytium ultimum. Beberapa enzim proteolitik yang dihasilkan
Trichoderma berperan penting dalam menghancurkan cendawan Sclerotium
rolfsii. Menurut Elad dan Freeman (2002), Trichoderma virens menghasilkan dua
antibiotik yaitu gliotoksin (toksik terhadap R. solani) dan gliovirin (toksik
terhadap Phytium spp.).
Kompetisi. Cendawan Trichoderma spp. mampu berkompetisi dengan
cendawan patogen terutama dalam pengambilan nutrisi di dalam tanah seperti
karbon, nitrogen, serta elemen makro dan elemen mikro lainnya. Kemampuan
25
kompetisi yang dimiliki Trichoderma akan menghambat pertumbuhan patogen
tanaman (Elad dan Freeman 2002).
Induksi Resistensi. Induksi resistensi merupakan ekspresi peningkatan
ketahanan alami terhadap serangan patogen (Edreva, 2004). Meningkatnya
ketahanan alami menyebabkan
tanaman dapat bertahan dari serangan patogen. Tanaman yang resisten
dapat diperoleh melalui induksi resistensi sistemik dengan bahan penginduksi
eksternal (Suganda, 2008), baik secara fisik, kimia maupun biologi (Agrios,
1998). Mekanisme induksi resistensi menyebabkan kondisi fisiologis yang
mengatur sistem ketahanan menjadi aktif atau menstimulasi mekanisme resisten
yang dimiliki oleh tanaman. Mekanisme ini tidak menghambat pertumbuhan
tanaman, bahkan dapat meningkatkan produksi dengan cara menghambat
pertumbuhan patogen dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman
lingkungan (Tombe, 2009).
Pemacu Pertumbuhan Tanaman. Selain mampu menekan patogen secara
langsung, cendawan Trichoderma dapat meningkatkan ketahanan tanaman
melalui aktivitas memacu pertumbuhan tanaman. Trichoderma mampu
meningkatkan tinggi dan berat basah tanaman 5 - 60% (Muslim et al. 2006).
Pemberian Trichoderma pada bibit tomat mampu meningkatkan tinggi tanaman,
berat basah akar, dan berat kering tanaman (Ozbay et al., 2004). Perlakuan
Trichoderma spp. pada tanaman tomat dan tembakau juga meningkatkan berat
kering akar dan pucuk masing-masing 21,327,5% dan 25,931,8%
dibandingkan kontrol (Windham et al. 1986). Tinggi tanaman krisan meningkat
pada media tanam yang diberi Trichoderma (Hartal et al. 2010). Trichoderma
meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara merangsang tanaman untuk
mensintesis hormon pertumbuhan (Baker, 1985). Asosiasi antara isolat
Trichoderma dan akar membantu tanaman dalam menyerap mineral dari media
(Shivanna et al. 1995). Trichoderma dapat menyediakan hara bagi tanaman
sehingga tanaman tumbuh normal (Hartal et al. 2010). Selain itu Trichoderma
dapat mendekomposisi bahan organik yang ada pada media tanam.
26
III. METODOLOGI
3.1. Pendekatan (Kerangka Pikir)
Dalam pelaksanaan pengkajian / penelitian dilakukan pertemuan dengan
petani, untuk memberikan arahan teknologi yaitu pada waktu perbanyakan jamur
Trichoderma sp, cara aplikasi, pengamatan dan panen. Persiapan lapangan
berupa penentuan petak percobaan (ploting) untuk menentukan batas perlakuan
yang dikaji. Adapun pendekatan dalam kegiatan ini meliputi :
- Koordinasi dan sosialisasi kegiatan dengan dinas terkait dalam hal ini Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur
- Penentuan lokasi dan calon petani kooperator
- Penentuan petak/plot perlakuan sesuai dengan perlakuan yang sudah
ditetapkan
- Perbanyakan jamur Trichoderma sp dengan media padat/media jagung
- Aplikasi perlakuan 15 hari sekali
- Pengamatan intensitas serangan dan produksi yang dilakukan setiap panen
sampai panen keempat
- Pertemuan petani kakao dengan peneliti dan penyuluh perkebunan seperti
yang direncanakan di atas.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
- Fokus identifikasi dilakukan terhadap : Karakterisasi lokasi, mencakup validasi
peta desa, peta topografi dan hidrologi, peta usaha industri rumah tangga,
peta sumberdaya, kalender musim, rangking matriks, sejarah kakao,
penggunaan tenaga kerja berdasarkan gender, dan arus sumberdaya.
- Identifikasi dan analisa permasalahan.
- Penentuan cara pengendalian.
- Persepsi petani mengenai permasalahan dan akar permasalahan.
- Peluang mengatasi permasalahan
3.3. Bahan dan metode pelaksanaan kegiatan
A. Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam pengkajian ini adalah beberapa jenis
jamur Trichoderma sp., sedangkan alat yang akan digunakan yaitu antara lain
handsprayer, kertas label.
27
B. Metode Pelaksanaan Kegiatan
Pengkajian ini akan dilaksanakan pada lahan pertanaman kakao milik
petani di Kabupaten Aceh Timur yang akan dimulai pada bulan Mei hingga
Desember 2014. Percobaan ini menggunakan tanaman eksis milik petani dengan
luasan 1 ha dengan umur tanaman ± 5-6 tahun. Pengkajian yang akan
dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial yang
terdiri atas 9 (sembilan) perlakuan dan control yang terdiri dari :
K0=Kontrol
Th1=aplikasi Trichoderma harzianum konsentrasi 50 gr/liter air
Th2=aplikasi Trichoderma harzianum konsentrasi 100 gr/liter air
Th3=aplikasi Trichoderma harzianum konsentrasi 150 gr/liter air
Tv1=aplikasi Trichoderma virens konsentrasi 50 gr/liter air
Tv2=aplikasi Trichoderma virens konsentrasi 100 gr/liter air
Tv3=aplikasi Trichoderma virens konsentrasi 150 gr/liter air
Ta1=Trichoderma asperellum konsentrasi 50 gr/liter air
Ta2=Trichoderma asperellum konsentrasi 100 gr/liter air
Ta3=Trichoderma asperellum konsentrasi 150 gr/liter air
Masing – masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Setiap perlakuan
terdiri dari 8 tanaman sehingga jumlah tanaman seluruhnya yaitu 6 x 3 x 10 =
180 tanaman.
Parameter yang diamati adalah intensitas serangan penyakit pada buah
kakao, dan produksi. Intensitas penyakit diamati pada empat tanaman sampel
yang pertumbuhannya seragam pada setiap perlakuan. Pada setiap tanaman
sampel ditetapkan 8 buah kakao sebagai sampel tetap yang diberi label sampel
pengamatan. Pengamatan intensitas serangan penyakit busuk buah (diambil 100
kolpen secara acak kemudian dibelah dan dilihat persentase intensitas serangan),
dilakukan setiap panen (7 hari sekali). Cara menghitung intensitas serangan
penyakit busuk buah kakao adalah memberi skoring pada buah yang diamati,
dengan menggunakan nilai skala seperti pada Tabel 1 :
28
Tabel 1. Nilai skala berdasarkan skoring penyakit busuk buah kakao
Nilai skala Tingkat kerusakan buah (%)
0
1
2
3
4
Tidak ada gejala serangan
> 0 – 25
> 25 – 50
> 50 – 75
> 75
Sumber : modifikasi Lukito, 2008
Untuk menghitung intensitas serangannya, maka hasil pengamatan nilai
skala disubtitusi ke dalam rumus:
Keterangan :
I = intensitas serangan
U = jumlah tanaman yang terserang untuk setiap tingkat kerusakan buah
V = Nilai skala dari setiap tingkat kerusakan daun
Z = nilai skala tertinggi, dan N = jumlah tanaman yang diamati.
Analisis data untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap intensitas
serangan busuk buah kakao menggunakan analisis varians (ANOVA) dengan uji F
pada taraf 0.05%, dilanjutkan uji beda nyata terkecil (BNT).
I =Σ ( U x N )
ZNX 100%
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengkajian
4.1.1. Kabupaten Aceh Timur
Kabupaten Aceh Timur terletak pada koordinat 4°09 5°16 Lintang Utara
dan 97°13 98°02 Bujur Timur. Batas batas wilayah Aceh Timur adalah sebagai
berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Selat Malaka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues
- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Langsa, dan Aceh
Tamiang
- Sebelah Barat berbatasan Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener
Meriah.
Kabupaten Aceh Timur Memiliki Luas wilayah sebesar 6.040,60 Km²,
secara administratif Kabupaten Aceh Timur terdiri dari 24 Kecamatan, 54 Mukim,
512 Desa / Gampong, 1 Kelurahan dan 1596 Dusun. Secara umum Kabupaten
Aceh Timur merupakan dataran rendah, perbukitan, sebagian berawa-rawa dan
hutan mangrove, dengan ketinggian berada 0-308 m diatas permukaan laut.
Keadaan tofografi daerah Kabupaten Aceh Timur dikelompokan atas 4 kelas
lereng yaitu : 0-2%, 2-15%, 5-40% dan > 40%. Dilihat dari penyebaran lereng
tersebut yaitu memiliki kemiringan lereng >40% hanya sebesar 6,7% yaitu
meliputi Kecamatan Birem Bayeun dan Serbajadi. Sedangkan wilayah yang
memiliki kemiringan lereng 0-2%,2-15% dan 5-40% meliputi seluruh Kecamatan.
4.1.2. Kecamatan Peunaron
Kegiatan kajian efektivitas agensia hayati dalam pengendalian penyakit
busuk buah kakao di Kabupaten Aceh Timur dilaksanakan di Dusun Cinta
Kecamatan Peunaron Baru yang dilaksanakan dari bulan maret – desember 2014.
Kecamatan Peunaron dengan ibukota Arul Pinang berjarak ± 90 km dari ibukota
kabupaten Idi, mempunyai luas wilayah 79,74 km2 dengan jumlah penduduk
9.331 jiwa, terdiri dari 2 mukim dengan 5 desa/kelurahan. Batas - batas wilayah
Kecamatan Peunaron yaitu sebagai berikut :
30
- Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Pante Bidari, Indra Makmur dan
Ranto Peureulak
- Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi
- Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Simpang Jernih
- Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi
A. Topografi, Karakteristik Tanah dan Curah Hujan
Secara topografi wilayah kecamatan Peunaron dapat digolongkan atas :
- Lereng dengan kemiringan 0 – 8 % meliputi 35 % luas wilayah kecamatan
Peunaron
- Lereng dengan kemiringan 8 – 18 % meliputi 20 % luas wilayah kecamatan
Peunaron
- Lereng dengan kemiringan 15 – 36 % meliputi 15 % luas wilayah kecamatan
Peunaron
- Lereng dengan kemiringan 40 – 59 % meliputi 15 % luas wilayah kecamatan
Peunaron
Sedangkan data curah hujan dapat di lihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Curah Hujan Di Kecamatan Peunaron Tahun 2013
NNo. Bulan Tahun 2013 Rata-rata 10 tahun
hari hujan jumlah mm hari hujan jumlah mm1 Januari 11 125 69 13262 Februari 7 243 47 9323 Maret 3 164 72 12534 April 10 261 91 1621.55 Mei 19 507 136 2830.56 Juni 15 190 100 19507 Juli 11 234.5 97 19148 Agustus 16 275 126 23869 September 12 236 104 239410 Oktober 21 321.5 152 3215.511 November 6 231 156 265912 Desember 16 353 165 4555.5
Jumlah 147 3141 1315 27037Rata-rata 12.25 261.75 109.6 2253.1
31
B. Data Penduduk
Data penduduk di Kecamatan Peunaron berjumlah 9.331 jiwa yang terdiri
dari 4.780 orang laki-laki dan 4.464 orang wanita, dengan penyebaran tiap desa
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Data Penyebaran Penduduk Tiap Desa Di Kecamatan Peunaron Tahun2013
No. Desa Laki-laki(orang)
Wanita(orang)
Jumlah(Orang)
1. Peunaron I 887 874 17612. Peunaron II 683 667 13503. Peunaron III 244 198 4424. Peunaron IV 132 128 2605. Peunaron V 883 781 16646. Peunaron VI 678 665 13437. Peunaron VII 755 732 14878. Peunaron VIII 518 506 1024
Jumlah 4780 4464 9331Sumber Data : Kantor BPP Kecamatan Peunaron
4.2. Pelaksanaan Penelitian
Aplikasi Trichoderma sp Dalam Pengendalian Penyakit Busuk
Buah Kakao (Phytophthora palmivora) .
a. Intensitas Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao (Phytophthora palmivora)
Pertanaman kakao di Dusun Cinta Kecamatan Peunaron Kabuupaten Aceh
Timur merupakan wilayah yang endemik serangan penyakit busuk buah kakao
karena itu serangan penyakit ini selalu hadir fluktuatif sepanjang tahun. Luas
serangan meningkat seiring dengan tingginya curah hujan. Curah hujan yang
tinggi yang disertai dengan hembusan angin mempercepat penyebaran
sporangium dan klamidospora ke pertanaman lain dan selanjutnya melakukan
infeksi pada tanaman tersebut (Sukamto dan Pujiastuti, 2004).
Tabel 4. Data Intensitas serangan penyakit busuk buah kakao (Phytophthorapalmivora).
Perlakuan Rata- rata Intensitas Serangan (%)
K 68,75 d
Th1 30,63 abc
Th2 31,88 bc
Th3 25,63 a
Tv1 36,25 c
32
Tv2 33,13 bc
Tv3 31,25 abc
Ta1 31,00 abc
Ta2 28,13 ab
Ta3 28,75 ab
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbedanyata pada taraf 0,05
Dari Tabel 4 menunjukkan bahwa intensitas serangan penyakit busuk
buah kakao (Phytophthora palmivora) terendah akibat aplikasi Trichoderma sp
setelah aplikasi terdapat pada perlakuan Th3 (Trichoderma harzianum) 25.63 %
diikuti oleh Ta3 (Trichoderma asperellum) 28.75 % dan Tv3 (Trichoderma viren)
31.25%. Berdasarkan dari analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan Th1
tidak berbeda nyata dengan perlakuan Th2 dan Th3. Perlakuan Tv1, Ta1 berbeda
dengan perlakuan Tv2,Tv3 dan dengan perlakuan Ta2,Ta3. Sedangkan pada
perlakuan kontrol memperlhatkan perbedaan yang sangat nyata dengan
perlakuan lainnya. Selanjutnya jumlah buah terserang meningkat terus seiring
dengan bertambahnya pembentukan buah pada semua perlakuan karena
menurut Sukamto (2003) bahwa penularan patogen P. palmivora melalui
sporangiumnya yang terpercik oleh air hujan atau terbawa angin dari buah sakit
ke buah yang belum terserang. Intensitas serangan dari perlakuan-perlakuan
tersebut nyata lebih rendah daripada intensitas serangan penyakit pada
perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan senyawa antibiotik sebagai anti jamur, lytic,
viridin dan trichomidin yang dihasilkan oleh Trichoderma spp. menghambat dan
bahkan mematikan jamur lain (Papavizas, 1985 ; Kucuk dan Kivanc, 2003).
Penelitian terdahulu menggunakan T. asperellum ART-4/G.J.S.09-1559
menunjukkan bahwa cendawan ini dapat mengolonisasi batang dan daun kakao
melalui aplikasi akar dan sambungan pucuk (Aziz et al. 2014; Rosmana et al.
2014). Pada penelitian ini ditunjukkan pula bahwa isolat yang sama dapat
mengolonisasi buah setelah aplikasi melalui permukaan buah kakao dan
keberadaannya dalam buah relatif lama sampai buah dipanen. Belum ada
informasi tentang mekanisme penetrasi Trichoderma pada buah kakao. Bailey et
al. (2008) mengamati adanya kolonisasi trikoma batang oleh Trichoderma dan
hifanya keluar dari ujung trikoma setelah inokulasi bibit kakao melalui akar
(Ishida et al. 2008).
33
Buah kakao terutama buah muda memiliki banyak trikoma (Susilo et al.
2009) dan ujung trikoma yang merupakan tempat eksresi eksudat mungkin
menjadi tempat masuk Trichoderma yang disemprotkan pada permukaan buah.
Diketahui bahwa Trichoderma dapat menembus secara langsung pada rambut
akar (Yedidia, 2000).
T. harzianum, T. viren dan T. asperellum yang diaplikasikan berhubungan
dengan besarnya kesempatan inokulum awal untuk menembus dan
mengolonisasi buah kakao sehingga memberikan proteksi yang lebih besar.
Mekanisme Trichoderma menghambat patogen Phytophthora spp. ialah melalui
cara langsung, yaitu dengan mikoparasitisme atau antibiosis (Bailey et al. 2008;
Bae et al. 2011; Atanasova et al. 2013). Namun, penelitian ini menunjukkan
bahwa buah kakao yang tampak sehat di lapangan sudah terinfeksi oleh busuk
buah kakao. Semakin tinggi konsentrasi Trichoderma sp yang diaplikasikan akan
memberikan perlindungan semakin besar terhadap terjadinya busuk buah. Hasil
yang sama dilaporkan juga oleh Rosmana (2013, tidak dipublikasikan). Hal ini
memberikan hipotesis adanya mekanisme tidak langsung yang diberikan oleh
Trichoderma sp untuk pertahanan buah terhadap P. palmivora yang terbawa
buah dari lapangan. Sejumlah galur Trichoderma di antaranya DIS 70a, DIS 219b,
DIS 219f, dan DIS 172ai telah dipelajari secara detail untuk asosiasi endofitiknya
dengan jaringan kakao di atas
b. Produksi Kakao
Produksi kakao dihitung Jumlah produksi buah kakao per tanaman sampel
dihitung dengan cara menimbang semua buah per panen. Rata – rata produksi
dapat dilihat padaTtabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Rata – rata produksi kakao pada kegiatan Kajian efektivitas agensiahayati dalam pengendalian penyakit busuk buah kakao di KabupatenAceh Timur
Perlakuan Rata - rata produksi (Kg)
K 33,00Th1 74,23Th2 72,92Th3 80,73Tv1 66,07Tv2 70,36
34
Tv3 79,29Ta1 71,62Ta2 71,62Ta3 72,92
Berdasarkan Tabel 5 jumlah produksi kakao tertinggi dijumpai pada
perlakuan Trichoderma harzianum dengan rata – rata 75.95 kg, diikuti pada
perlakuan Trichoderma asperellum 72.05 kg dan Trichoderma viren 71.90 kg.
Kegiatan Temu Lapang
Kegiatan temu lapang yang dilakukan dengan melibatkan petani kakao
dan juga penyuluh BPP di Kecamatan Peunaron. Dalam temu lapang ini dilakukan
kegiatan pelatihan yaitu cara aplikasi suspensi Trichoderma sp dan sambung
samping untuk meningkatkan produksi dan ketahanan tanaman kakao dari
serangan OPT. Kegiata pelatihan ini diikuti oleh ± 60 petani kakao dan penyuluh
yang dilaksanakan selama 2 (dua) hari. Pelatihan ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani kakao dan penyuluh di
Kecamatan Peunaron.
Teknisi BPTP sedang mengajarkan teknik sambung samping
35
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
- Intensitas serangan yang terendah dijumpai pada perlakuan Th3 (Trichoderma
harzianum) 25.63 % diikuti oleh Ta3 (Trichoderma asperellum) 28.75 % dan
Tv3 (Trichoderma viren) 31.25%. Pada perlakuan kontrol di semua ulangan
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan lainnya yaitu
68.75 %.
- Aplikasi perlakuan Trichoderma harzianum dan Trichoderma asperellum lebih
efektif digunakan dalam mengendalikan penyakit busuk buah kakao
(Phytophthora palmivora ) dibanding dengan perlakuan Trichoderma viren
Saran
- Perlu di lanjutkan penelitian-penelitian lanjutan yang berkaitan dengan
penggunaan agen hayati lainnya dalam pengendalian penyakit busuk buah
kakao
- Perlu dilakukan pelatihan-pelatihan kepada petani untuk memperbanyak
Trichoderma sp sehingga mereka akan mampu menghasilkan Trichoderma sp
untuk mengendalikan penyakit busuk buah kakao di lahan mereka
36
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1998. Plant Pathology. Third Ed. New York: Academic Press.
Anonim.2012. Pemanfaatan Trichoderma, sp Dengan Pembuatan Kompos(Trichokompos) Diakses dari http://epetani.deptan.go.id (10 Juli 2012)
Atanasova L, Le Crom S, Gruber S, Coulpier F, Seidl-Seiboth V, Kubicek CP,Druzhinina IS. 2013. Comparative transcriptomics reveals differentstrategies of Trichoderma mycoparasitism. BMC Genomics. 14:121. DOI:http://dx.doi.org/10.1186/1471-2164- 14-121.
Aziz AI, Rosmana A, Dewi VS. 2014. Pengendalian penyakit hawar daunphytophthora pada bibit kakao dengan Trichoderma asperellum. JFitopatol Indones. 9:15–20. DOI: http://dx.doi. org/10.14692/jfi.9.1.15.
Bailey BA, Bae H, Strem MD, Crozier J, Thomas SE, Samuels GJ, Vinyard BT,Holmes KA. 2008. Antibiosis, mycoparasitism, and colonization successfor endophytic Trichoderma isolates with biological control potential inTheobroma cacao. Biol Control. 46:24–35.
Baker, K.F. 1985. The U.C. system for producing healthy containergrown plants.Surrey Beatty & Sons, Chipping Norton, Australia.
Beding, P.A., Alimuddin, dan M.Z. Kanro. 2002. Tanggapan Petani Terhadap PHTHama Penggerek Buah dan Penyakit Busuk Buah Kakao di KabupatenSorong. Warta Pusat Penelitian kopi dan Kakao Indonesia 18(3):100-107.
Bendahmane, B.S., D. Mahiout, I.E. Benzohra, and M.Y. Benkada. 2012.Antagonism of three Trichoderma species against Botrytis fabae and B.cinerea, the causal agents of chocolate spot of faba bean (Vicia faba L.)in Algeria. World Appl. Sci. J. 17(3) : 278-283.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat.Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat.Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Djatmiko, H.A., dan Rohadi, S.S., 1997. Efektivitas Trichoderma harzianum HasilPerbanyakan dalam Sekam Padi dan Bekatul Terhadap PatogenesitasPlasmodiophora brassicae pada Tanah latosol dan Andosol. MajalahIlmiah UNSOED, Purwokerto 2 : 23 : 10-22.
DOI: h t t p : / / d x . d o i . o rg/10.1016/j. biocontrol.2008.01.003.
Edreva, A. 2004. A novel strategy for plant protection: Induced resistance. J. CellMol. Biol. 3: 6169
37
Elad Y and Freeman S (2002) Biological control of fungal plant pathogens. In:Kempken F (ed) The Mycota, A Comprehen- sive Treatise on Fungi asExperimental Systems for Basic and Applied Research. XI. AgriculturalApplications. Springer, Heidelberg, Germany, pp. 93–109.
Flood, J., D. Guest, K.K. Holmes, P. Keane, B. Padi., E. Sulistywati. 2004. CocoaUnder Attack. Ed : J. Flood ang R. Murphy. Ccoa Futures. USDA, CABI:33-53.
Gultom, J.M., 2008. Pengaruh Pemberian Beberapa Jamur Antagonis denganBerbagai Tingkat Konsentrasi Untuk Menekan Perkembangan JamurPhytium sp Penyebab Rebah Kecambah pada Tanaman Tembakau(Nicotiana tabaccum L.) http://repository.usu.ac.id.pdf Akses 10 Agustus2010
Harman, G.E. 2006. Trichoderma spp., including T. harzianum, T. viride, T.koningii, T. hamatum, and Other spp. Deuteromycetes, Moniliales(asexual classification system)http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/pathogens/trichoderma.html. [12 May 2007].
Harman, G.E., R.H. Charles, A. Viterbo, I. Chet, and M. Lorito. 2004. Trichodermaspecies-opportunistic, avirulent plant symbionts. Nature Rev. 2: 4354.
Hartal, Misnawaty, dan I. Budi. 2010. Efektivitas Trichoderma sp. dan Gliocladiumsp. dalam pengendalian layu fusarium pada tanaman krisan. JurnalIlmu-ilmu Pertanian Indonesia 12(1): 7-12.
Herman Tindaon, 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum DanPupuk Organik Untuk
Howell, C.R. 2002. Mechanism employed by Trichoderma species in the biologicalcontrol of plant diseases: the history and evolution of current concepts.Plant Dis. 87(1): 410.
Ishida T, Kurata T, Okada K, Wada T. 2008. A genetic regulatory network in thedevelopment of trichomes and root hairs. Annu Rev Plant Biol. 59:365–386. DOI: http://dx.doi.org/10.1146/annurev. arplant.59.032607.092949
Junianto, 1993, Teknik Pengendalian Penyakit Utama pada Kakao Mulia(Theobroma cacao L.)di Kaliwining. Pelita Perkebunan.
Kucuk, C. and M. Kivanc, 2003. Isolation of Trichoderma spp. and determinationtheir antifungal and biochemical, physiological features. Turk. J. Biol.,27: 247-253.
Lilik, R., Wibowo, B.S., Irwan, C., 2010. Pemanfaatan Agens Antagonis dalamPengendalian Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura.http://www.bbopt.litbang.deptan.go.id akses 30 Agustus 2010.
Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium rolfsii Sacc. Pada TanamanKedelai (Glycine max L.) Di Rumah Kasa.
38
Mukarlina, S. Khotimah, dan R. Rianti. 2010. Uji antagonis Trichodermaharzianum terhadap Fusarium spp. Penyebab penyakit layu padatanaman cabai (Capsicum annum) secara in vitro. J. Fitomedika 7(2):8085.
Muksin, R., Rosmini, dan J. Panggeso. 2013. Uji antagonisme Trichoderma sp.terhadap jamur patogen Alternaria porri penyebab penyakit bercak ungupada bawang merah secara in vitro. e-Jurnal Agrotekbis 1(2): 140144.
MuslimA, Suwandi, Hamidson H. 2006.Evaluasi cendawan rizosfer asal lahanrawa lebak sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Agria. 2:26–33.
Nurhaedah, 2002, Mikrobiologi Pangan, Departemen Pendidikan dan kebudayaanDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Nurhayati, 2011, Penggunaan Jamur dan Bakteri dalam Pengendalian PenyakitTanaman secara Hayati yang Ramah Lingkungan, Jurusan Hama danPenyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya KampusUnsri, Sumatera Selatan.
Ozbay, N., S.E. Newman, and W.M. Brown. 2004. The Effect of the Trichodermaharzianum strains on the growth of tomato Seedlings. In A. Vanachter(Ed.). Proc. XXVI IHC-Managing Soil-Borne Pathogens Acta Hort. 635:131135.
Papavizas, C.G.. 1985. Trichoderma and Gliocladium: Biology Ekology andPotential for Biological Control. Ann. Rev. Phytophatology 23:23-54.
Rifai, M., Mujim, S., dan Aeny, T.N., 1996. Pengaruh Lama InvestasiTrichodermaviride Terhadap Intensitas Serangan Pythium sp. PadaKedelai. JurnalPenelitian Pertama VII : 8 : 20-25
Rosmana A, Samuels GJ, Ismaiel A, Ibrahim ES, Chaverri P, Herawati Y, Asman,A. 2014. Trichoderma asperellum, a dominant endophyte species incacao grown in Sulawesi with potential for controlling vascular streakdieback disease. Trop Plant Pathol. (in press).
Sharon, E., M. Bar-Eyal, I. Chet, A. Herrera-Estrella, O. Kleifeld, and Y. Spiegel.2001. Biological control of the root-knot nematode Meloidogyne javanicaby Trichoderma harzianum. Phytopathology 91(7): 687693.
Shivanna, M.B., M.S. Meera, K. Kageyama, and M. Hyakumachi. 1995.Mechanism of induced systemic resistance of cucumber to anthracnoseby plant growth promotion fungi. Annal. Phytopathol. Soc. Japan 61:267.
Siregar, Tumpal H.S, Slamet R. dan Laeli N. 1999. Budidaya Pengolahan danPemasaran Cokelat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soemangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press.Yogyakarta. Hal : 98-103.
39
Soemomarto S. 1972. Studies om chemical control of cocoa pod rot in CentralJava. In: Southeast Asia Reg Symp Pl Dis Tropics. Yogyakarta(Indonesia)
Sri-Sukamto dan Pujiastuti, D. 2004. Keefektifan beberapa bahan pengendalipenyakit busuk buah kakao Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan20(3):132-142.
Suganda, T. 2008. Penginduksian resistensi tanaman kacang tanah terhadappenyakit karat (Puccinia arachidis Speg.) dengan pengaplikasian asamsalisilat, asam asetat etilendiamintetra, kitin asal kulit udang, air perasandaun melati, dan dikaliumhidrogenfosfat. http://digilib.biologi.lipi.go.id.[10 Mei 2013].
Suganda, T. 2008. Penginduksian resistensi tanaman kacang tanah terhadappenyakit karat (Puccinia arachidis Speg.) dengan pengaplikasian asamsalisilat, asam asetat etilendiamintetra, kitin asal kulit udang, air perasandaun melati, dan dikaliumhidrogenfosfat. http://digilib.biologi.lipi.go.id.[10 Mei 2013].
Sukamto, S. 2003. Trichoderma spp. Sebagai Agensia Pengendalian PenyakitBusuk Buah Kakao. Laporan Hasil Penelitian Balitkoka. 5 Hlm.
Sulistyowati, E. 2003. Keefektifan Beuveria bassiana isolat Bby-725 terhadappenggerek buah kakao, Conopomorpha cramerella Snell. PelitaPerkebunan Wardoyo, S. 1981. Metode pengamatan penggerek buahcokelat. Prosiding lokakarya hama penggerek buah cokelat. TanjungMorawa. Hlm. 59 – 64.
Sulistyowati, E., Y.D. Junianto, S. Sukamto, S. Wiryadiputra, L. Winarto, dan N.Primawati. 2003. Analisis Status Penelitian Dan Pengembangan PHTPada Pertanaman Kakao. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHTPerkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2003.
Susanto,F.X.1994. Tanaman Kakao : Budidaya dan Pengolahan Hasil.Kanisius.Yogyakarta. Hal : 20, 34 – 69
Susilo AW, Mangoendidjojo W, Witjaksono, Mawardi S. 2009. Pengaruhperkembangan umur buah beberapa klon kakao terhadap keragaan sifatketahanan hama penggerek buah kakao. Pelita Perkebunan. 25:1–11.
Syahri dan R.U. Somantri. 2013. Peningkatan ketahanan tanaman dalammenekan serangan penyakit melalui mekanisme induksi resistensi. hlm.275282. Dalam J. Purnomo, M. Harisudin, D. Praseptiangga, A. Magna,Rahayu, Widiyanto, R. Indreswari, Y. Yanti, dan B.S. Hertanto (Ed.).Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pembangunan PertanianBerkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi, Solo, 17 April2013.
40
Tjitrosoepomo, G (1981), Taksonomi Tumbuhan ( Taksonomi Khusus ).Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tombe, M. 2009. Meningkatkan Antibodi Tanaman melalui Teknologi Imunisasi.Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.http://ditjenbun.deptan.go.id/perbenpro/index.php/[3 Februari 2014].
Windham, M.T., Y. Elad, and R. Baker. 1986. A mechanism for increased plantgrowth induced by Trichoderma spp. Phytopathology 76: 518521.
Yedidia I, Benhamou N, Kapulnik Y, Chet I, 2000. Induction and accumulation ofPR protein activity during early stages of root colonization by themycoparasite Trichoderma harzianum strain T-203. Plant Physiol Bioch.38:863–873. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0981- 9428(00)01198-0.
41
Lampiran 1
DENAH PERLAKUAN
Tv2
Th3
Tv1
Ta1
Ta3
Th1
Ta2
K
Tv3
Th2
ULANGAN I
Tv3
Th1
Tv2
Ta2
K
Th2
Ta3
Ta1
Tv1
Th3
ULANGAN IV
Tv2
K
Tv1
Ta3
Th1
Th3
Ta3
Th2
Tv3
Ta2
ULANGAN III
K
Th1
Tv1
Ta1
Tv3
Th2
Ta2
Tv2
Ta3
Th3
ULANGAN II
Ta3
Th3
Tv2
Ta1
Th2
Ta2
Th1
Tv3
K
Tv2
ULANGAN V
42
Lampiran 2
DAFTAR PERSONALIA
No Nama Lengkap Pendidikan Disiplin IlmuJabatan
FungsionalWaktu
1 Fenty Ferayanti, SP S-1 HPT Peneliti 30
2 Idawanni,SP S-1 Agronomi Peneliti 20
3 M. Ramlan, SP S-1 Agronomi PNK 10
4 Eka Fitria,SP S-1 Sosek PNK 10
5 Husaini,SP S-1 Sosek PNK 10
6 Sarianto SLTA SPMA Teknisi 10
43
Lampiran 3
ANALISIS RESIKO
RESIKO PENYEBAB DAMPAK UPAYA PENANGANAN
Terjadi penurunanproduksi kakaorakyat
Serangan penyakitbusuk buah(Phytophthorapalmivora)
Terjadi kegagalanpanen dipertanaman kakaorakyat
- Pengendaliansecara hayatidenganpenggunaanagensia hayatiTrichoderma sp
44
Lampiran 4
FOTO – FOTO KEGIATAN
Persiapan Ploting Perlakuan
Persiapan Suspensi Perlakuan
45
Trichoderma sp dalam Media Jagung
Suspensi Trichoderma sp
46
Penyemprotan Trichoderma sp
47
Buah Setelah 2 bulan
48
Buah Setelah 3 bulan
49
Perlakuan Kontrol
50
Temu Lapang Dan Pelatiahan