KRISIS HIPERTENSI
-
Upload
dannyaisya -
Category
Documents
-
view
14 -
download
1
description
Transcript of KRISIS HIPERTENSI
Definisi
Menurut guidelines JNC VII, Pasien dengan peningkatan tekanan darah digolongkan
pada 3 tingkatan, yaitu: prehipertensi (120-139/80-89), hipertensi stage 1 (140-
159/90-99) dan hipertensi stage 2 (>160/100). Krisis hipertensi dikarakteristikkan
dengan peningkatan tekanan darah mencapai >180/120. Jika peningkatan tekanan
darah tersebut dengan disertai adanya keterlibatan kerusakan organ seperti otak, mata,
jantung dan ginjal maka disebut dengan hipertensi emergency, namun jika
peningkatan tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ tersebut maka disebut
dengan Hipertensi urgensi (Fauci et al., 2008).
Etiologi dan Patomekanisme
Peningkatan drastis tekanan darah dapat terjadi secara de novo atau sebagai
komplikasi dari hipertensi esensial atau hipertensi sekunder. Noncompliance terapi
hipertensi pada pasien dengan hipertensi kronis sangat berperan dalam kejadian
hipertensi emergensi/urgensi. Faktor yang menginisiasi hipertensi emergensi dan
urgensi masih belum cukup dimengerti (Varon et al., 2013).
Terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat akibat peningkatan
resistensi vaskuler sistemik salah satu kemungkinan faktor yang mencetuskan
hipertensi emergensi. Dalam homeostasis tekanan darah, endotelium merupakan
aktor utama dalam mengatur tekanan darah. Dengan mengeluarkan nitrit oxide dan
prostacyclin yang dapat memodulasi tekanan vaskuler. Disamping itu peran renin –
angiotensin sistem juga sangat berpengaruh dalam terjadinya hipertensi emergensi.
Saat tekanan darah meningkat dan menetap dalam waktu yang lama, respon
vasodilatasi endotelial akan berkurang, yang akan memperparah peningkatan tekanan
darah. Keadaan ini akan berujung pada disfungsi endotel dan peningkatan resistensi
vaskuler yang menetap.
Tatalaksana
Tatalaksana pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi didasarkan pada
seberapa capat dan target tekanan darah berapa yang akan dilakukan.
1. Hipertensi Urgensi
Prinsipnya, keadaan hipertensi urgensi dapat ditangani dengan anti-hipertensi
oral dengan perawatan rawat jalan. Namun keadaan ini sulit untuk memonitor
tekanan darah setelah pemberian obat. Obat yang diberikan dimulai dari dosis
yang rendah untuk menghindari terjadinya hipotensi mendadak terutama pada
pasien dengan resiko komplikasi hipotensi tinggi seperti geriatri, penyakit
vaskuler perifer dan atherosclerosis cardiovaskuler dan penyakit intrakranial.
Target inisial penurunan tekanan darah 160/110 dalam jam atau hari dengan
konvensional terapi oral.
Beberapa pilihan obat yang dapat diberikan (Vaidya et al., 2007) :
a. ACE inhibitor (Captopril), dengan pemberian inisial dosis oral 25 mg,
onset aksi mulai dalam 15 – 30 menit dan maksimum aksi antara 30 – 90
menit. Jika tekanan darah belum turun dosis dilanjutkan 50 mg – 100 mg
pada 90 – 120 menit kemudian.
b. Calcium-channel blocker (Nicardipine), dosis oral awal pemberian 30 mg,
dan dapat diulangi setiap 8 jam sampai target tekanan darah tercapai.
Onset aksi dimulai ½ – 2 jam.
c. Beta blocker (Labetalol), non selektif beta blocker, dosis oral awal 200
mg, dan diulang 3-4 jam. Onset kerja dimulai pada 1 – 2 jam.
d. Simpatolitik (Clonidine), dengan dosis oral awal 0.1 – 0.2 mg dosis
loading dilanjutkan 0.05 – 0.1 mg setiap jam sampai target tekanan darah
tercapai. Dosis maksimum 0.7 mg.
2. Hipertensi Emergensi
Prinsip penanganan hipertensi emergensi ditentukan pada organ mana
yang terlibat. Penanganan dilakukan dengan pemeberian obat-obatan secara
parenteral. Ideal rate penurunan tekanan darah masih belum cukup jelas,
namun telah banyak yang merekomendasikan goal penurunan mean arterial
pressure 10% pada 1 jam pertama dan 15% dalam 2 – 3 jam berikutnya
(Vaidya et al., 2007).
Neurologic emergency. Keadaan neurologic emergency yang tersering
adalah hipertensi ensefalopati, perdarahan intracerebral, dan stroke iskemik
akut. Pada stroke iskemik akut, target penurunan tekanan darah masih
kontroversial. Hipertensi pada intracerebral bleeding direkomendasikan oleh
American Heart Association diberikan penanganan jika tekanan darah lebih
dari 180/105 mmHg (Varon et al., 2013).
Tabel Terapi Hipertensi emergency (Varon et al., 2013).
Pasien dengan stroke iskemik membutuhkan tekanan sistemik yang cukup untuk
mempertahankan perfusi di distal obsktruksi. Oleh karena itu tekanan darah harus
dimonitor ketat dalam 1 – 2 jam pertama.
Cardiac emergency. Keadaan hipertensi emergency dengan cardiac emergency
diantaranya iskemik miocard akut, atau infark miocard, pulmonary edema, dan aortic
dissection. Pasien dengan temuan myocardial ischemia atau infarction, dapat
diberikan nitroglycerin, jika tanpa heart failure bisa ditambahkan beta blocker
(labetalol, esmolol) untuk menurunkan tekanan darah. Pasien dengan aortic
dissection, intra vena (IV) beta blocker harus diberikan pertama, diikuti dengan
vasodilating agent, dan IV nitroprusside. Target tekanan darah kurang dari 120
mmHg dalam 20 menit, sedangkan penanganan pada edema pulmo diawali dengan IV
diuretik dilanjutkan IV ACE inhibitor (enalaprilat) dan nitroglycerin. Sodium
nitroprusside dapat digunakan jika obat diatas tidak cukup menurunkan tekanan darah
(Varon et al., 2013).
Hyperadrenergic states. Pasien dengan kelebihan cathecholamine pada over dosis
amphetamine, monoamine oxidase inhibitor-induced hipertensi atau clonidine
withdrawal syndrome dapat bermanifestasi hipertensi krisis sindrom.
Pheochromocytoma, kontrol initial tekanan darah dapat diberikan Sodium
Nitroprusside atau IV phentolamine. Beta blockers bisa diberikan tapi tidak boleh
dipakai tunggal sampai alfa blokade tercapai. Hipertensi disebabkan clonidine
withdrawal penanganan terbaik adalah dengan dilanjutkan pemberian clonidine
disertai pemberian obat-obatan diatas. Benzodiazepine merupakan agen pertama
untuk penanganan intoksikasi cocaine (Hopkins, 2011).
Kidney failure. Acute Kidnet Injury (AKI) bisa merupakan penyebab maupun
akibat dari hipertensi emergensi. AKI termanifestasi dengan proteinuria, mikroskopik
hematuria, oliguria dan anuria. Penanganan yang optimal masih kontroversial.
Walaupun IV nitroprusside sering digunakan, namun dapat mengakibatkan keracunan
cyanida atau thiocyanate. Parenteral fenoldopam mesylate lebih menjanjikan hasil
yang baik dan lebih safety. Penggunaannya mampu mencegah terjadinya keracunan
cyanida atau thiocyanate (David et al., 2006).
Referensi
1. David LS, Sharon EF, Colgan R. 2006. Hypertensive Urgencies and
Emergencies. Prim Care Clin Office Pract. 33:613-23.
2. Vaidya CK, Ouellette CK. 2007. Hypertensive Urgency and Emergency.
Hospital Physician. 43-50.
3. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine. Seventeenth Edition.
4. Varon J, Marik PE. 2013. Clinical Review: The Management of
Hypertensivecrises. Critical Care Journals.
5. Thomas L. 2011. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can
FamPhysician.57:1137-41.
6. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. 2011.