CRS - Krisis Hipertensi
-
Upload
mutia-lailani -
Category
Documents
-
view
145 -
download
35
description
Transcript of CRS - Krisis Hipertensi
BAB IPENDAHULUAN
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular
yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat.[1] Hipertensi krisis ditandai
dengan peningkatan tekanan darah secara akut dan sering berhubungan dengan
gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini
merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan
menyebabkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa.[2]
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien
hipertensi krisis. Dari 60 juta penduduk Amerika Serikat 30% diantaranya
menderita hipertensi dan hampir 1 – 2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis
disertai kerusakan organ target. Data mengenai hipertensi krisis di Indonesia
masih belum banyak diteliti, namun studi Multinational Monitoring of Trends and
Determinants in Cardiovacular Disease (Monica) yang dilakukan di Jakarta pada
tahun 1988 menempatkan hipertensi sebagai faktor risiko utama kejadian
kardiovaskular.[1]
The Seventh Report Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tidak menyertakan
hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi
krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang
memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.[1]
1
Tabel 01. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7.[3,4]
Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
1. Normal2. Pre-hipertensi3. Hipertensi Stage 14. Hipertensi Stage 2
≤ 120120 – 139140 – 159
≥ 160
≤ 8080 – 8990 – 99≥ 100
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Terdapat perbedaan beberapa penulis mengenai terminologi peningkatan
darah secara akut. Terminologi yang paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat), yaitu peningkatan tekanan darah sistolik >
180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan
organ terget. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi intravena.
[1,5,6]
2. Hipertensi urgensi (mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti
pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target.
Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam
dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi oral.[1,5,6]
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter: respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan
darah > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif
(triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.[5]
2. Hipertensi akselerasi: peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg
disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat
berlanjut ke fase maligna.[5]
3
3. Hipertensi maligna: penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah
diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai
papiledema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari
vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak
mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita
dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang pada
penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.[5]
4. Hipertensi ensefalopati: kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai
dengan keluhan sakit kepala yang hebat, perubahan kesadaran dan keadaan
ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.[5]
2.2. Etiologi dan Patofisiologi
Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi
vaskular dipercaya menjadi penyebab.[6,7] Peningkatan tekanan darah yang
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol
kemudian berdampak pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi.[1]
Tabel 02. Penyebab Hipertensi Emergensi.[6]
4
5
Gambar 01. Patofisiologi Hipertensi Emergensi.[6]
2.3. Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi
6
pembuluh darah. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada
fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60 – 70 mmHg.[8] Bila MAP turun di
bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak
dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini
gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkop.[5] Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan
bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi
pada tekanan darah yang lebih inggi (lihat gambar 02).[5]
Gambar 02. Kurva autoregulasi pada tekanan darah.[7,9]
Straagaard pada penelitiaanya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada
13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan 73 mmHg pada orang
normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
7
group normotensi dan hipetensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.[5]
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun
hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira –
kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi
krisis, penurunan MAP sebanyak 20 – 25% dalam beberapa menit atau jam,
tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada
penderita diseksi aorta akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15 – 30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan
darah 25% dalam 2 – 3 jam. Untuk pasien dengan infak serebri akut ataupun
perdarahn intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6 – 12
jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170 – 180/100
mmHg.[5]
2.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubunga dengan kerusakan organ
target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda – beda setiap pasien.
Sakit kepala, perubahan tingkat kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa
terjadi pada pasien dengan hipertensi ensefalopati. Pada pemeriksaan fisik pasien
bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan
eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial
8
infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal
akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.[7]
Gambar 03. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc
dengan margin kabur.[10]
Tabel 03. Hipertensi emergensi (darurat).[5]
9
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg disertai
dengan satu atau lebih kondisi akut berikut:
1. Perdarah intra kranial atau perdarahan subaraknoid
2. Hipertensi ensefalopati
3. Diseksi aorta akut
4. Oedema paru akut
5. Eklamsi
6. Feokhromositoma
7. Funduskopi KW III atau IV
8. Insufisiensi ginjal akut
9. Infark miokard akut
10. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain: sindrom withdrawal obat
anti hipertensi.
Tabel 04. Hipertensi Urgensi (mendesak).[5]
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi
dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai
keadaan pada tabel 03.
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif.
10
2.5. Pendekatan Diagnosis
Kemampuan membedaan antara hipertensi emergensi dan urgensi harus
dapat dilakukan dengan cepat dan segera agar dalam penatalaksaan tidak
terlambat yang berakibat peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien.
[1]
Catatan riwayat penyakit harus dilaporan untuk mengetahui kegawatan
hipertensi, obat – obatan yang diminum terakhir baik yang diresepkan oleh
dokter maupun tidak terutama obat – obatan monoamine oxidase inhibitors,
kokain, amfetamin dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang menyertai dan
penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda – tanda
neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala dan kejang.[1]
Pemeriksaan laboratorium seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan
urinalisa harus disertakan pada pasien hipertensi krisis. Foto thorax, EKG dan
CT-scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak
nafas, nyeri dada atau perubahan neurologis. Pada keadaan gagal jantun kiri dan
hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan.[1] Berikut
adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:
11
Gambar 04. Alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi.[1,6]
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Hipertensi Urgensi
2.6.1.1. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral
aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24
jam awal (Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari
25%). Pada fase awal goal standar penurunan tekanan darah dapat diturunkan
sampai 160/110 mmHg.[1,6]
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral mauun oral bukan
tanpa resiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat
oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan
mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi
12
obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.[1,6]
2.6.1.2. Obat – obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor dengan onset mulai 15 – 30 menit. Captopril dapat diberikan 25
mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50 – 100 mg setelah
90 – 120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan
stenosis pada arteri renal bilateral).[6]
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada psien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random
terhadap penggunaan nicardipin atau plasebo. Nicardipin memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan plasebo yang mencapai 22%
(P=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang
setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping
yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.[6]
Labetolol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerja mulai antara 1 – 2 jam. Dalam penelitian labetolol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam
penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap group
ada yang diberikan dosis 100, 200 dan 300 mg secara oral dan
menghasilkan penurunan tekan darah sistolik dan diastolik secara
signifikan. Secara umum labetolol dapat diberikan mulai dari dosi 200 mg
secara oral dan dapat diulangi setiap 3 – 4 jam kemudian. Efek samping
13
yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.[6]
Clonidin adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergic
receptor agonist) yang memiliki onset kerja antara 15 – 30 menit dan
puncaknya antara 2 – 4 jam. Doasi awal bisa diberikan 0,1 – 0,2 mg
kemudian berikan 0,05 – 0,1 setiap jam sampai tercapainya tekanan darah
yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. efek samping yang sering
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.[6]
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki
pucak kerja antara 10 – 20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan
oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi kerana dapat menurunkan
tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diperidisikan sehingga
berhungan dengan kejadian strok. Pada tahun 1995 National Heart, Lung,
and Blood Institute meninjau kembali bukti keamanan tentang
penggunaan obat golongan Ca channel blocker terutama nifedipine kerja
cepat harus digunakan secara hati-hati terutama pada penggunaan dosis
besar untuk terapi hipertensi.[6]
2.6.2. Hipertensi Emergensi
2.6.2.1. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung
pada kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-
obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan
ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang
tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi
Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15%
14
pada 2 – 3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan
berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami
hipoperfusi.[6]
2.6.2.2. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
Neurologic emergency. Kegawat daruratan neurologi sering terjadi pada
hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan strok iskemik akut. American Heart Association
merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hepertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan
di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan strok iskemik tekanan darah
harus dipantau secara hati-hati 1 – 2 jam awal untuk menentukan apakah
tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahakan > 130 mmHg.[6]
Cardiac emergency. Kegawat daruratan yang utama pada jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien
dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung
dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah
dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah
pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-
obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada
terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi
seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan
darah sampai target tekan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120
mmHg) dalam waktu 20 menit.[6]
15
Kidney failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai
dengan proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang
diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan
secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan
sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat
menghindari petensi keracunan sianida akibat dari pemberian
nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.[6]
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena
pengaruh obat – obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over
dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
Pada orang – orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma,
tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprussid
(vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent).
Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan
darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidin
terapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagai
dosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti-hipertensi yang
telah dijelaskan di atas.[6]
2.7. Prognosis
16
Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi yang efektif harapan hidup
penderita hipertensi maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab kematian
tersering adalah strok, gagal ginjal dan gagal jantung.[11] Kematian disebabkan
oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular acciden.
(20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infark miokard (1%) dan
diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang
efektif dan penanggulangan yang tepat pada dekade terakhir.[5]
17
BAB IIIPENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular
yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi emergensi (darurat),
yaitu peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg
secara mendadak disertai kerusakan organ terget sedangkan hipertensi urgensi
(mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi
namun tanpa disertai kerusakan organ target.
Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas
endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada kerusakan
vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi
tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat
akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
(Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Terapi
hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral
secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring
tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal
penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam berikutnya.
18
3.2. Saran dan Kritik
Dengan kerendahan hati penulis, penulis sadar bahwa dalam artikel ini
masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan keritik yang bersifat
membangun dari pembaca, penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis di
masa-masa yang akan datang.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan Hipertensi
Urgensi. BIK Biomed. [database on the internet] 2007. [cited February 2013,
21]. Vol.3, No.4 :163-8. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3408163168.pdf.
2. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study. Am J
Hypertens [database of Nature Publishing Group] 2010. [cited February 2013,
21]. 23:775-780. Available from: http://ajh.oxfordjournals. org/content
/23/7/775. full.pdf.
3. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. [database on the internet] 2012.
[cited February 2013, 21]. Vol.3, No.4 :163-8. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241381overview?pa=g9YPJFBPkOn
%2FxeT6PfGOhnN48mGJ4tbjfnC6TtgPW0i5S6p0rRh8mklVRUL
%2B1hDX56MI7dGTgNawPfsOtJla9Q%3D%3D#showall.
4. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al. Harrison's
Principles of Internal Medicine. Seventeenth Edition. [text books of internal
medicine] 2008. United States of America: The McGraw-Hill Companies.
20
5. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU Digital Library
[database on the internet] 2004. [cited February 2013, 21]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/ fisiologi-abdul % 20
majid.pdf.
6. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital
Physician Article [article on the internet] 2007. [cited February 22, 2013]. pp.
43 – 50. Available from: http://www.turner-white.com/memberfile. php?
PubCode=hp_mar07_hypertensive.pdf.
7. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensive crises.
Critical Care Journals [data base on the internet] 2003. [cited on February 21,
2003]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
articles/PMC270718/pdf/cc2351.pdf.
8. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, et al.
Impaired Cerebral Autoregulation in Pasient with Malignant Hypertension.
Journal of the American Heart Association [database on the internet] 2004.
[cited February 24, 2013]. 110:2241-2245. Available from:
http://circ.ahajournals.org/content/110/15/2241.full.pdf.
9. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can Fam Physician
[article on the internet] 2011. [cited February 2013, 22]. 57:1137-41.
21
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3192077/pdf/0571137.pdf.
10. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. Medscape
Article [data base on the internet] 2011. [cited on February 22, 2003].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1952052overview?
pa=3QEKRWRb083C64sgKB3xlATWV3tEcYgMKwy9Z49iwNgDq
%2FiI01G9ar41BQtDWBtiLCEJNCrbkqLWYvqLrhntWA%3D
%3D#showall.
11. Bisognano JD. Malignant Hypertension. Medscape Article [data base on the
internet] 2013. [cited February 22, 2013]. pp. 43 – 50. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241640-overview#showall.
22