kasus LGK dengan ansietas
-
Upload
guptaja-kusumah-nagara -
Category
Documents
-
view
54 -
download
1
description
Transcript of kasus LGK dengan ansietas
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK
DEFINISI
Leukemia granulositik kronik (LGK) atau disebut juga leukemia mielositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan
sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. Penyakit ini timbul pada tingkat sel
induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-
ABL. Penyakit mieloproliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi
dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi
dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, meta
mielosit, mielosit sampai granulosit.1,2,3
EPIDEMIOLOGI
Leukemia granulositik kronis merupakan 15 % dari seluruh kasus
leukemia dan merupakan leukemia kronis yang paling sering dijumpai di
Indonesia. Sedangkan di negara barat leukemia kronis lebih banyak dijumpai
dalam bentuk leukemia limfositik kronis. Insiden LGK di Negara barat: 1-
1,4/100.000/ tahun. Umumnya LGK mengenai usia pertengahan dengan puncak
umur 40- 45 tahun.1,2
ETIOLOGI
Menurut Markman (2009), leukemia mielositik kronik adalah salah satu
kanker yang diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih
dari 90% kasus. Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah
translokasi respirokal dari gen BCR pada kromosom 22 dan gen ABL pada
kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang dijuluki kromosom
Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen tersebut, meningkatkan
proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas.3,5
KLASIFIKASI
Leukemia granulositik kronis terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :4,6
1. Leukemia myeloid kronis, Ph positif.
2. Leukemia myeloid kronis, Ph negatif.
3. Juvenile chronic myeloid leukemia1
4. Chronic netrofilik leukemia.
5. Eosinophilic leukemia
6. Chronic myelomonocytic leukemia.
PATOGENESIS
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang
dari kromosom 22, yaitu kromosom Philadelphia (Ph). Kromosom ini dihasilkan
dari translokasi t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian
dari protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan
bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph, ekson 5’ BCR
berfusi dengan ekson 3’ ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu
protein fusi berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase
melebihi produk ABL 145 kDa yang normal. Dengan kemajuan teknologi
dibidang biologi molekular, didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada
dilengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR
(break cluster region). Yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11).
Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL.3,5,6
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten
pada sistem hematopoiesis. Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis
sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel
normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang mendesak
sistem hematopoiesis.3,4,5
TANDA DAN GEJALA KLINIK
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik dibagi menjadi 3 fase yaitu
fase kroik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa
cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri
seperti diremas diperut kanan atas akibat peregangan kapsul limpa. Keluhan lain
sering tidak spesifik, misalnya rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit
berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran
hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan
2
berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka seperti terlihat pada Tabel
1.1,2,3,4
Tabel 1. Urutan Keluhan dan Gejala Pasien Berdasarkan Frekuensi
Keluhan dan Gejala Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
Penurunan berat badan 80
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut 30
Demam 10
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau
mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase
kronis, maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas
fase akselerasi adalah leukositosis yang sulit di kontrol oleh obat-obat
mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan
trombosit<100.000/mm3. Secara klinis , fase ini dapat diduga bila limpa yang
tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia
bertambah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada
infeksi.3,5,6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit
antara 20-60.000/mm3. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam
darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat 500-600.000/mm3, tetapi dalam
beberapa kasus dapat normal atau menurun.2,3
2. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan
adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan
3
diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.3
3. Apus Sum-sum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel
leukemia, sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga
meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sum-sum
tulang mengalami fibrosis.2,3
4. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization),
beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid
kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17).1,2,3
PENGOBATAN
Terapi LGK tergantung dari fase penyakit, yaitu :3,4
1. Fase kronis :
a. Busulfan
b. Hydroxyurea
c. Interferon alfa
2. Fase akselerasi : sama dengan leukemia akut, tetapi respon sangat rendah.
3. Transplantasi sumsum tulang.
4. Terapi memakai prinsip biologi molekuler dengan menggunakan obat baru
Imatinib mesylate.
A. Hydroxyurea (Hydrea)
Hydroxyurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim
ribonukleotida reduktase sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida
trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis DNA. Obat ini diberikan per oral dan
menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100%. Merupakan terapi terpilih
untuk induksi remisi pada leukemia mielositik kronik.1,3,5
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun
dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai
maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mm3 atau
trombosit <100.000/mm.1,4,5
4
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis,
sakit kepala, letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus.
B. Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik.
Pada dosis rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada
dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan
depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah harus sering dilakukan.6,8,9
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik
dosisnya sebanyak 2-6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari.
Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai <10.000/mm3, kemudian
pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit mencapai
>50.000/mm3.7
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah
asthenia, hipotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan. Selain itu juga
dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga
dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal.6
C. Imatinib mesylate
Imatinib mesylate merupakan penghambat tirosin kinase pada
onkoprotein BCR-ABL dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat
ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel
hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan
translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan
per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada
protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan
feses.5,6
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi
penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi
maka dapat diberikan dasatinib 140 mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi
800mg.5,6
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat
ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3
bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb 5
menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah
trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mm3) atau
trombositopeni (<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.
Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari.1,4
D. Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian
obat ini untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like
syndrome. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik,
biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian di
Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari.3,6
E. Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang
masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik.
Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-
ABL negatif.3
PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3- 5 tahun
setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya obat- obat baru,
median kelangsungan pasien dapat diperpanjang secara signifikan.
Faktor-faktor yang dapat memperburuk prognosis pasien LGK, antara
lain :
Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan berat badan, demam, keringat malam.
Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,
eosinophilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negative.2,6
ANSIETAS
PENDAHULUAN
Ansietas maupun depresi merupakan penyakit umum dan banyak
dijumpai, dapat menyerang siapa saja, di mana saja dan kapan saja, tetapi paling
sering dilupakan oleh klinisi dan dokter. Hal ini biasanya disebabkan karena 6
dokter dalam praktiknya lebih mengedepankan mencari kelainan fisis daripada
menelusuri penyebab keluhan-keluhan yang penyebabnya non fisis. Kebanyakan
pasien depresi dan ansietas meminta pertolongan untuk keluhan-keluhan
somatisnya. Inilah antara lain yang perlu mendapatkan perhatian dan
menyebabkan ansietas dan depresi menjadi masalah di bidang penyakit dalam ,
karena keadaan depresi dan ansietas menjadi terselubung oleh keluhan fisis yang
beraneka ragam.8
MENGENAL ANSIETAS DAN DEPRESI
Sindrom ansietas dan depresi merupakan penyakit yang termasuk
gangguan psikosomatis dengan catatan depresi psikotik tidak termasuk di
dalamnya. Untuk menentukan diagnosis ansietas dan depresi dipakai kriteria yang
merujuk kepada DSM IIIR dan DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Dysorder, Revised Third Edition).8
Keluhan-keluhan fisis yang umum dijumpai pada pasien ansietas dan
depresi antara lain sakit kepala, anoreksia, cepat lelah (fatigue), konstipasi,
insomnia, palpitasi, berkeringat, libido menurun (impotensi), sakit perut, nyeri ulu
hati, sesak nafas dan sebagainya. Sedangkan keluhan psikisnya jarang
dikemukakan secara langsung dan baru terungkap melalui anamnesis yang lebih
teliti dan terarah.8
Sindrom ansietas menurut DSM IIIR dibedakan menjadi beberapa macam
yaitu:
Ansietas GAD (Generalized Anxiety Disorder)
Ansietas panic (Panic Dysorder)
Ansietas OCD (Obsessive Compulsive Dysorder)
Fobia
PTSD (Post Traumatic Stress Dysorder)
Yang paling banyak dijumpai adalah ansietas GAD.8
Pada umumnya sindroma ansietas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
cemas, kuatir dan tak bisa relaks atau tegang yang berlangsung lebih dari 3 bulan
disertai gejala-gejala fisis dan psikis akibat adanya ketidakseimbangan system
7
saraf otonom. Gejala awal sindrom ansietas dapat dikenali dengan memperhatikan
adanya keluhan psikis dan keluhan somatic sebagai berikut:8
Gejala psikis: Penampilan berubah, sulit konsentrasi, mood berubah,
mudah marah, cepat tersinggung, gelisah, tidak bisa diam dan timbul rasa
takut
Gejala somatis: sakit kepala, gangguan tidur, impotensi, keluhan berbagai
system, missal system kardiovaskular, system pernapasan, gastrointestinal,
dan sebagainya
PATOFISIOLOGI
Telah diketahui bahwa patofisiologi penyakit-penyakit psikosomatis
bersumber pada adanya ketidakseimbangan saraf autonom vegetative. Sedangkan
penyebab ketidakseimbangan vegetative (pada gangguan psikosomatik) sebagian
besar adalah faktor psikis seperti konflik emosional, frustrasi, ketegangan yang
berlangsung lama dan berbagai stress psikis lainnya.8
Akhir-akhir ini gangguan vegetatif autonom dihubungkan dengan adanya
gangguan konduksi impuls saraf di celah-celah sinaps antara neuron-neuron.
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan/kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-
reseptor post sinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui berupa amin
biogenic antara lain noradrenalin, dopamin dan serotonin.8
PENGOBATAN
Pengobatan sindrom ansietas dan depresi harus selalu memperhatikan
prinsip holistik dan ekliktik yaitu meliputi aspek-aspek organo biologic, aspek
psiko-edukatif dan aspek psikokultural. Obat-obatan diberikan sesuai dengan
keluhan medis internis yang ditemukan dan simptomatis sesuai gejala yang ada
termasuk pemberian obat-obatan psikofarmaka. Untuk ansietas GAD obat pilihan
adalah buspiron dengan titrasi dosis yang semakin ditingkatkan. Pada tahap awal
pengobatan kadang-kadang perlu digabung dengan golongan benzodiazepine.
Sedangkan untuk ansietas PD alprazolam memberikan efek yang lebih baik.
8
Kemudian pada pasien dianjurkan untuk melakukan kebiasaan hidup sehat seperti
makan, tidur, olahraga dan menjalankan hobi dengan teratur.8
Psikoterapi (superfisial) dimulai dengan menciptakan hubungan baik
antara dokter-pasien, memberikan kesempatan mengutarakan konfliknya,
mengeluarkan isi hatinya. Dengan demikian akan mengurangi ketegangannya.
Melakukan reedukasi yaitu mengubah pendapat-pendapat pasien yang salah atau
kurang tepat dan memberi keyakinan, pengertian tentang sebab-sebab
penyakitnya. Yang tidah kalah penting adalah menekankan kembali komitmen
agama dan pengalamannya.8
Pengobatan pendukung adalah dalam segi sosio-kultural yaitu dengan
memeperbaiki kondisi social ekonomi, kesulitan rumah tangga dan pekerjaan.
Menolong menunjukkan jalan keluar dengan saran dan pandangan-pandangan
sesuai kemampuan pasien serta meningkatkan kemampuan penyesuaian diri
terhadap lingkungannya.8
9
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 31 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang mulai tanggal 23 April 2014 dengan:
Alloanamnesis
Keluhan Utama: Perut yang semakin terasa penuh sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Perut yang semakin terasa penuh sejak 1 minggu yang lalu, terasa
menyesak, tidak dapat diisi dengan makanan, apabila diisi dengan
makanan pasien akan merasa mual dan kemudian muntah.
Perut bagian kiri yang semakin membengkak sejak 4 bulan yang lalu.
Keluhan perut membengkak ini telah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien kemudian berobat ke dokter di Muko-muko, dijelaskan bahwa
kemungkinan pasien menderita suatu keganasan dan disarankan untuk
membeli obat yang harganya tidak mampu dibeli oleh pasien. Pasien
akhirnya memilih berobat alternatif, namun tidak ada perubahan.
Penurunan berat badan sejak 4 bulan yang lalu, namun pasien tidak tahu
berapa berat badan yang turun
Badan terasa letih dan lesu sejak 2 bulan yang lalu
Mual dan muntah sejak 1 minggu yang lalu, frekuensi > 5x/hari, berisi
makanan dan minuman, darah tidak ada, tidak menyemprot.
Pendarahan dari gusi dan hidung tidak ada
Demam tidak ada
Batuk dan sesak nafas tidak ada
Riwayat memar pada tubuh tidak ada
Buang air kecil dan buang air besar seperti biasa
Rasa pahit di kerongkongan tidak ada.
Riwayat berbaring setelah makan tidak ada.
Rasa panas terbakar di dada tidak ada.
10
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sakit kuning tidak ada
Riwayat transfusi darah tidak ada
Riwayat keganasan tidak ada
Riwayat minum obat-obatan/zat kimia dalam jangka waktu yang lama
tidak ada
Riwayat mendapat penyinaran tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti pasien.
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keganasan
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:
Pasien lahir di Boyolali, tumbuh besar di Sragen dengan neneknya dan
setelah tamat SMU ikut orangtua merantau ke Muko-Muko
Pasien telah menikah, mempunyai 1 orang istri dan 2 orang anak berusia 7
tahun dan 5 bulan
Pasien membuka usaha konter hp di rumahnya
Pasien mempunyai kesulitan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari
Pemeriksaan Fisik
KU : sedang Tinggi Badan : 165 cm
Kesadaran : CMC Berat Badan : 52 kg
Tekanan Darah: 110/70 mmHg IMT : 19,11 (normoweight)
Nadi : 70x/menit, regular Sianosis : (-)
pengisian cukup Anemis : (+)
Nafas : 16x/menit Ikterus : (-)
Suhu : 36,5˚ C Edema : (-)
Kulit : tidak ada kelainan, turgor normal
KGB : tidak ditemukan pembesaran KGB
Kepala : normocephal, massa (-), sutura tidak melebar, hidrosefalus (-)
11
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : auricula dan meatus acusticus tidak ada kelainan
Hidung : deviasi septum dan polip tidak ada
Tenggorokan : tonsil dan faring tidak hiperemis
Gigi&mulut : karies (+), candida (-), oral hygiene baik
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak teraba
Thoraks
Paru depan:
Inspeksi: normochest, simetris, statis dan dinamis
Palpasi: fremitus kiri = kanan
Perkusi: sonor, batas pekak hepar di RIC VI
Auskultasi: vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Paru belakang
Inspeksi: normochest, simetris, statis dan dinamis
Palpasi: fremitus kiri = kanan
Perkusi: sonor, batas peranjakan paru-hepar 2 jari
Auskultasi: vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung:
Inspeksi: iktus tidak terlihat
Palpasi: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V seluas kuku ibu jari, tidak
kuat angkat
Perkusi: batas atas: RIC II, batas kanan: LSD, batas kiri: 1 jari medial
LMCS RIC, pinggang jantung (+)
Auskultasi: irama teratur, bising jantung (-), gallop (-) M1>M2, P2<A2
Abdomen:
Inspeksi: tidak tampak membuncit
Palpasi: hepar teraba 1 jari di bawah arkus kostarum, tepi tajam,
permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), limpa teraba di
Schuffner 6
12
Auskultasi: bising usus (+) normal
Punggung : CVA: nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anggota gerak: reflek fisiologis (+/+) normal, reflek patologis (-/-), edema (-/-),
akral teraba hangat.
Laboratorium
Darah : Urin :
Hb : 8 gr/dl Protein : (-)
Leukosit : 619880/mm3 Glukosa : (-)
Hematokrit : 22% Leukosit : 1-2/LPB
Trombosit : 208000/mm3 Eritrosit : 0-1/LPB
Hit.Jenis : 0/9/3/57/3/0 Silinder : (-)
Blast : 2% Kristal : (-)
Promielosit : 5% Epitel : (-)
Mielosit : 18% Bilirubin : (-)
Metamielosit : 3% Urobilinogen : (+)
LED : 80 mm/jam
Gambaran darah tepi:
Eritrosit: normokrom anisositosis, polikromasi, ditemukan eritrosit berinti 1/100
leukosit
Leukosit: jumlah meningkat dengan blast 2%, promielosit 5%, mielosit 18%,
metamielosit 3%
Trombosit: jumlah cukup, morfologi normal
Feses :
Makroskopis :
Warna : coklat
Konsistensi : lunak
Mikroskopis :
Leukosit : 0-1/LPB
13
Eritrosit : 0-1/LPB
Daftar Masalah:
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik
Diagnosis Kerja:
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Differensial Diagnosis
Leukemia limfositik kronik
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec non auto-imun
Terapi:
Istirahat/ML 2300 kkal (karbohidrat 1400 kkal, protein 60 gr, lemak 660
kkal)
NTR 3x1 tab p.o
Pemeriksaan Anjuran:
Darah perifer lengkap : jumlah eritrosit, MCV, MCH, MCHC, retikulosit
Faal Hemostasis : PT, aPTT
Faal hepar : Bilirubin I & II, SGOT, SGPT, albumin dan globulin
Coomb’s test
Bone Marrow Puncture (BMP)
Screening antibody
Follow-up
24 April 2014
S: perut terasa penuh dan cepat kenyang setelah makan (+), mual (-), muntah (-),
pendarahan (-)
14
O:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 70x/menit
Nafas : 16x/menit
T : 36,5 C
Laboratorium:
-Bilirubin total : 0,34 mg/dL
- Bilirubin I : (-)
- Bilirubin II : (-)
- Albumin : 4 g/dL
- Globulin : 3,4 g/dL
- SGOT : 36 u/l
- SGPT : 47 u/l
- Eritrosit : 2,51 juta/uL
- PT : 13,2 detik
- APTT : 48,8 detik
- MCV : 87,6 fL
- MCH : 31,9 pg
- MCHC : 36,4 %
- Retikulosit : 4,63 %
Kesan:
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec auto imun
DD/ ec hemolitik ec non auto-imun
A:
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Konsul Konsultan Hematologi-Onkologi Medis
Kesan:
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Rencana:
Coomb’s test
BMP
15
26 April 2014
S: perut membengkak dan terasa penuh (+), mual (-), muntah (-), pendarahan (-)
O:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 76x/menit
Nafas : 18x/menit
T : 36,7 C
Laboratorium:
Coomb’s test : (+)
A:
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
P:
Screening antibody
29 April 2014
S:
Pasien mengakui bahwa dirinya sering merasa cemas akan penyakitnya
dan takut bahwa penyakitnya ini tidak bisa disembuhkan. Pasien telah
merasakan rasa cemas sejak 4 bulan yang lalu setelah pasien berobat
dengan dokter di Muko-muko, dijelaskan oleh dokter bahwa penyakitnya
tidak bisa sembuh dan harga obatnya mahal, sehingga saat itu pasien
enggan berobat dan memilih pengobatan tradisional
Sering merasa lupa dan sukar untuk konsentrasi (+)
Merasa mudah tersinggung (+)
Sakit kepala (+)
Sukar tidur (+)
Pasien masih suka menjalani hobbinya yaitu mendengar musik selama
sakit
16
O:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Nafas : 20x/menit
T : 36,7 C
Hospital Anxiety Depression Scale:
Ansietas: 11 (≥ 8)
Depresi: 4
Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)
Skor: 18 (ansietas ringan)
Hasil Pemeriksaan BMP :
Sediaan dipulas Wright Giemsa
Partikel ditemukan
Kepadatan sel: selularitas meningkat
Sel lemak sedikit
Jumlah megakariosit cukup
Hitung Jenis :
Sel Mieloblas : 2% Sel Promielosit : 6%
Sel Mielosit : 25% Sel Metamielosit : 8,5%
Sel Batang : 11% Sel Segmen : 33,5%
Sel Basofil : 0% Sel Eosinofil : 7%
Sel Rubriblas : 0% Sel Prorubrisit : 0%
Sel Rubrisit : 1% Sel Metarubrisit : 1%
Sel Promonosit : 0% Sel Monosit : 0%
Sel Limfosit : 5% Sel Megakariosit : 0,2%
Sel Histiosit : 0% ME Rasio : 46 : 1
17
Kesan: partikel ditemukan, hiperseluler, megakariosit ditemukan,
pancaran cukup, aktivitas eritropoietik tertekan, aktivitas granulopoietik
meningkat, ditemukan semua tahap pematangan dengan mieloblast 2%,
promielosit 6%, mielosit 25%, metamielosit 8,5% dengan M:E ratio =
46:1
Kesimpulan: gambaran sumsum tulang sesuai dengan leukemia granulositik
kronik
A:
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik-normokrom ec hemolitik ec autoimun
Ansietas ringan
Konsul Konsultan Hematologi-Onkologi Medis
Kesan:
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik-normokrom ec hemolitik ec autoimun
Terapi:
Terapi sesuai dengan protokol LGK dan anemia hemolitik autoimun
Rencana:
Cek kromosom Philadelphia dan gen BCR-ABL
Cek PT-aPTT dan D-dimer
Konsul Konsultan Psikosomatis
Kesan:
Generalized anxiety disorder (GAD)
Terapi:
Clobazam 2x10 mg p.o
Terapi biofeedback
Terapi relaksasi ketika pasien merasa cemas dan sebelum tidur
Terapi reliji
18
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki, berumur 31 tahun di Bangsal
Penyakit Dalam RSUP dr.M.Djamil Padang dengan diagnosis akhir :
Leukemia granulositik kronik
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
Gangguan ansietas menyeluruh (GAD)
Diagnosis leukemia granulositik kronik pada pasien ini ditegakkan
berdasarkan adanya keluhan perut sebelah kiri yang semakin membengkak,
penurunan berat badan, badan letih lesu, perut cepat penuh dan ditemukannya
hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis
dengan 2% sel blast dan hasil BMP gambaran hiperseluler dengan perbandingan
mieloid dan eritroid meningkat (M : E = 46 : 1) dengan kesan leukemia
granulositik kronik.
Pemeriksaan kromosom Philadelphia pada pasien ini bertujuan untuk
mengetahui terapi dan prognosis, dimana Fadjari, 2006 mengatakan bahwa pasien
LGK dengan kromosom Philadelphia (+) pada fase kronik dapat diberikan
Imatinib mesylate dengan dosis 400 mg/hari, sedangkan pada fase krisis blas
dapat langsung diberikan dosis 800 mg/hari.1,4
Pasien adalah pengguna surat jaminan kesehatan, sehingga pada pasien ini
diberikan hidroxyurea dengan dosis 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis,
karena untuk dapat menggunakan terapi sel target imatinib mesylate yang
berfungsi sebagai inhibitor tirosin kinase, pasien harus melalui prosedur
pemeriksaan gen BCR-ABL. Selain itu pemeriksaan kromosom Philadelphia dan
BCR-ABL juga dapat menjadi suatu prognosis pada LGK, dimana hasil
kromosom Philadelphia dan gen BCR-ABL yang negatif menunjukkan prognosis
LGK yang buruk.2,6
Anemia hemolitik autoimun pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
adanya keluhan badan letih-letih dan ditemukannya konjungtiva anemis dengan
hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai hemoglobin
8 g/dL, adanya gambaran darah tepi dengan polikromasi, retikulositosis dan
Coomb’ test yang positif.
20
Pada jurnal-jurnal epidemiologi disebutkan bahwa AIHA biasanya sebagai
prediktor untuk terjadinya Leukemia Granulositik Kronik. Namun hubungan
secara langsung antara AIHA dengan LGK sampai saat ini masih belum bisa
dijelaskan. Askling (2005) dan Zheng (1993) menyebutkan bahwa penyakit-
penyakit autoimun berhubungan dengan peningkatan resiko keganasan mieloid
termasuk leukemia mielositik akut & leukemia mielositik kronik. Laporan terakhir
oleh Anderson (2009) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan resiko LGK pada
pasien dengan penyakit-penyakit autoimun seperti pada AIHA, coeliac disease,
dermatomyositis/polymyositis, dan polymyalgia rheumatika.9
Pada pasien dilakukan skrining antibodi untuk menentukan apakah anemia
hemolitik autoimun yang diderita pasien adalah tipe hangat atau tipe dingin. Hal
ini penting untuk menentukan terapi yang terbaik. Tipe hangat disebabkan adanya
antibody IgG yang berikatan dengan dinding sel darah merah pada suhu 37 C.
Pada 50-90% kasus AIHA ditemukan suatu tipe hangat. Lini pertama untuk terapi
AIHA tipe hangat adalah dengan pemberian steroid prednisone 1 mg/kgBB/hari.
Sementara itu untuk yang tipe dingin, disebabkan oleh suatu antibody IgM yang
berikatan dengan sel darah meraha pada suhu di bawah 37 C. Lini pertama terapi
adalah rituximab dengan dosis 375 mg/m2 perminggu selama 4 minggu.10
Setelah beberapa hari rawatan, pasien mengaku bahwa dirinya merasa
cemas dan takut akan penyakitnya. Rasa cemas dan takut ini muncul setelah
pasien dinyatakan menderita suatu penyakit yang diduga suatu keganasan oleh
dokter di Muko-muko. Pasien semakin cemas oleh karena biaya pengobatan untuk
penyakit keganasan ini harganya mahal sehingga pasien lebih memilih untuk
berobat tradisional. Namun setelah menjalani pengobatan tradisional, pasien
merasa tidak ada perkembangan, perut pasien dirasakan semakin membengkak
dan terasa penuh dan pasien akhirnya mengurus surat jaminan kesehatan untuk
berobat di RS.
Pada pasien dilakukan penapisan menggunakan Hospital Anxiety
Depression Scale (HADS), yang merupakan suatu kuisioner untuk membantu
menentukan apakah keluhan psikosomatik yang dirasakan pasien adalah suatu
ansietas atau depresi. Didapatkan hasil bahwa skor ansietas nilainya 11, sehingga
dapat ditegakkan bahwa pasien mengalami ansietas. Setelah itu pada pasien
21
dilakukan penilaian menggunakan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)
untuk menilai derajat ansietas pasien dan didapatkan skor HRS-A 58 yang
termasuk kategori ansietas berat.
Diagnosis gangguan ansietas menyeluruh (GAD) ditegakkan berdasarkan
kriteria DSM IV-TR dimana minimal 3 dari 6 kriteria terpenuhi, yaitu:
Rasa cemas yang berlebihan yang berlangsung paling kurang 6 bulan
Pasien sukar mengkontrol rasa cemas
Rasa cemas dihubungkan dengan paling kurang 3 dari 6 keluhan berikut
ini:
o Sukar beristirahat
o Mudah lelah
o Sukar konsentrasi
o Mudah tersinggung
o Otot terasa tegang
o Gangguan tidur
Bukan merupakan gambaran serangan panik
Keluhan cemas ini mengganggu aktivitas sehari-hari
Keluhan yang ada bukan disebabkan dari efek langsung dari zat/bahan
kimia/obat-obatan.
Pada pasien ini ditemukan 4 dari 6 kriteria, sehingga dapat ditegakkan
diagnosis gangguan ansietas menyeluruh (GAD).11
Penting bagi kita untuk menatalaksana pasien ansietas dengan keganasan.
Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan “coping”
terhadap diagnosis kanker atau pengobatannya. Ansietas dapat menyebabkan
pasien melewatkan check-up ataupun menunda pengobatan. Ansietas dapat
meningkatkan rasa nyeri, mengganggu tidur, menyebabkan mual dan muntah.
Semua hal tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
dari pasien kanker.12
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Fadjari H. Leukemia granulositik kronis. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Editor. Sudoyo A.W dkk. Ed 4. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2006;698-7001.
2. Bakta IM. Leukemia dan penyakit mieloproliperatif. Dalam: Hematologi
ringkas. Editor. Khastifah dan Purba DL. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2007; 137-44.
3. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Leukemia myeloid chronic dan
mielodisplasia. Dalam : Kapita selekta hematologi, ed 4. Penerbit buku
kedokteran EGC, 2002 .p.167- 76
4. Ramadan S.M, Fauad T.M, Summa V, Hasan, S.KH. Acute myeloid
leukemia developing in patients with autoimmune disease. Haematologica
2012 ; 97 (6) : 805-817.
5. Robinowitz I, Larson RS. Chronic myeloid leukemia in Wintrobe Clinical
Haematology. Ed. Greer JP et al, 7 th edition. Lippincontt Williams and
Wilkins, Philadelpia. 2004.p.2235-53
6. Price S.A, Wilson L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.2006.
7. Vardiman J.W, 2009. Chronic myelogenous leukemia, BCR-ABL1+,
American Journal Clinical Pathology, 132, 248-9.
8. Mudjaddid, E. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan
Ansietas dan Depresi Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Editor. Sudoyo A.W dkk. Ed 4. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2006;913-15
9. Anderson L, Pfeiffer R, Landgren O. Risks of myeloid malignancies in
patients with autoimmune conditions. British journal of cancer. 2009;
100(5):822-28
10. DeLoughery T. Autoimmune Hemolytic Anemia. Hematology.
2013;8(1):2-10
23
11. Elizabeth A, Julia E, Naomi M. Generalized Anxiety Disorder. The
Journal of Lifelong Learning in Psychiatry. 2004;(3):346-359
12. Anonim. Anxiety and distress can affect the quality of life of patients with
cancer and their families. 2013. Diunduh dari http://www.cancer.gov
24