Jurnal Prin

15
Tinjauan kepustakaan pemilihan pengobatan non-antibiotik pada vaginosis bakteri Vaginosis bakteri (BV) adalah infeksi vagina yang terjadi ketika terjadi perubahan keseimbangan bakteri pada vagina. Kondisi ini yang secara umum mempengaruhi jutaan wanita. Meskipun sindrom ini dapat disembuhkan dengan obat standar seperti metronidazole dan klindamisin, tingkat kekambuhannya cukup tinggi. Banyak pasien tanpa gejala dan kekambuh yang berulang sulit untuk dibedakan dari kegagalan pengobatan. Selain itu, penyakit ini berhubungan dengan transmisi infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV / AIDS. Tinjauan ini mengacu pada epidemiologi, etiologi, diagnosis, komplikasi dan pengobatan BV, dengan penekanan pada pilihan pengobatan non-antimikroba. Gambaran umum yang diberikan dari penggunaan asetat dan gel asam laktat, supositoria asam borat, serta studi yang dilaporkan pada penggunaan pembilas dan tampon. Setelah itu, peran Lactobacillus (probiotik) suplementasi sebagai pengobatan akan dibahas. Sumber literatur merekomendasikan bahwa lebih banyak dilakukan penelitian tentang vaginosis bakteri. Meskipun terapi farmakologis standar yang efektif, ada batasan pilihan pengobatan yang tersedia. Penelitian terbaru menunjukkan adanya struktur polymicrobial Gardnerella vaginalis biofilm yang melekat pada endometrium yang memungkinkan memiliki implikasi besar bagi masa depan penelitian patogenesis dan pengobatan pada vaginosis bakteri. Kata kunci: vaginosis bakteri (BV), pH vagina, gel vagina asam, Lactobacillus, Gardnerella vaginalis, anaerob, pengobatan non-antibiotik.

description

Putri ayu puspasari

Transcript of Jurnal Prin

Tinjauan kepustakaan pemilihan pengobatan non-antibiotik pada vaginosis bakteriVaginosis bakteri (BV) adalah infeksi vagina yang terjadi ketika terjadi perubahan keseimbangan bakteri pada vagina. Kondisi ini yang secara umum mempengaruhi jutaan wanita. Meskipun sindrom ini dapat disembuhkan dengan obat standar seperti metronidazole dan klindamisin, tingkat kekambuhannya cukup tinggi. Banyak pasien tanpa gejala dan kekambuh yang berulang sulit untuk dibedakan dari kegagalan pengobatan. Selain itu, penyakit ini berhubungan dengan transmisi infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV / AIDS. Tinjauan inimengacu pada epidemiologi, etiologi, diagnosis, komplikasi dan pengobatan BV, dengan penekanan pada pilihan pengobatan non-antimikroba. Gambaran umum yang diberikan dari penggunaan asetat dan gel asam laktat, supositoria asam borat, serta studi yang dilaporkan pada penggunaan pembilas dan tampon. Setelah itu, peran Lactobacillus (probiotik) suplementasi sebagai pengobatan akan dibahas. Sumber literatur merekomendasikan bahwa lebih banyak dilakukan penelitian tentang vaginosis bakteri. Meskipun terapi farmakologis standar yang efektif, ada batasan pilihan pengobatan yang tersedia. Penelitian terbaru menunjukkan adanya struktur polymicrobial Gardnerella vaginalis biofilm yang melekat pada endometrium yang memungkinkan memiliki implikasi besar bagi masa depan penelitian patogenesis dan pengobatan pada vaginosis bakteri.

Kata kunci: vaginosis bakteri (BV), pH vagina, gel vagina asam, Lactobacillus, Gardnerella vaginalis,anaerob, pengobatan non-antibiotik.

PENDAHULUANVaginosis bakteri adalah infeksi vagina yang terjadi ketika keseimbangan flora alami di vagina berubah. Penyebab utama yang paling umum adalah keluarnya sekret abnormal yang berlebihan pada wanita (Wilson et al, 2005;. Donders, 2010), yang mempengaruhi jutaan wanita usia reproduksi setiap tahunnya. Walaupun sindrom ini dapat disembuhkan dengan antimikroba seperti metronidazol dan klindamisin, namun tingkat kekambuhan tinggi.Vaginosis bakteri mungkin bersifat asimtomatik (Donders, 2010) tetapi biasanya berhubungan dengan dengan gejala pada vulvovaginal seperti keluarnya dicharge, gatal, bau dan rasa tidak nyaman. Ini merupakan keluhan umum yang ada pada wanita, biasanya terjadi saat menstruasidan sesudah menstruasi, yaitu pada keadaan dimana pH cenderung meningkat dibandingkan dalam siklus mentruasi. Penyebab peningkatan pH masih belum jelas, tetapi ada bukti sementara yang mengatakan adanya gangguan mikroflora pada vagina dan peningkatan vaginosis bakteri serta infeksi candida sering terjadi pada saat sekitar menstruasi (Melvin et al, 2008;. Eschenbach et al,.2000). Ada juga banyak bukti menunjukkan bahwa efek patogen dari vaginosis bakteri tidak terbatas pada saluran alat genital yang lebih rendah (Swidsinski et al., 2013) dan bahwa mikroba yang menyebabkan vaginosis bakteri ini berbentuk padat , tersusun dari biofilm polymicrobial, terutama Gardnerella vaginalis, (Swidsinski et al., 2005). Tujuan utamanya adalah untuk meninjau pilihan pengobatan non-antibiotik untuk vaginosis bakteri. Artikel ini mengacu pada epidemiologi, etiologi, diagnosis, komplikasi dan pilihan pengobatan non-antibiotik. Sebuah tinjauan literatur dilakukan dari Januari 2012 sampai Juni 2013 di tersedia pilihan pengobatan non-antibiotik untuk vaginosis bakteri. FLORA NORMAL VAGINA Flora vagina perempuan tanpa vaginosis bakteri biasanya terdiri dari batang Gram-positif, dengan dominan Lactobacillus crispalus, Lactobacillus jensenii dan iners Lactobacillus (L. sering tidak ditemukan karena tidak tumbuh dengan mudah pada Rugosa agar) (Johnson et al., 1985). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa komposisi mikroba vagina tergantung pada faktor-faktor seperti wilayah geografis, misalnya, flora normal vagina pada wanita Afrika dianggap sebagai patogen bagi perempuan di daerah lain (Berza et al., 2013). Selain itu, lactobacillus yang paling umum di India yaitu Lactobacillus reuteri, namun di Finlandia itu adalah L. crispatus (Berza et al., 2013). Ada juga perubahan flora bakteri selama berbagai periode siklus menstruasi (Eschenbach et al., 2000) . Berbagai spesies yang telah ditemukan dalam flora normal vagina telah dijelaskan oleh Johnson et al. (1985).

EPIDEMIOLOGI VAGINOSIS BAKTERIVaginosis bakteri adalah infeksi vagina yang paling sering trejadi di kalangan perempuan pada usia reproduksi (Donders, 2010; Morris et al, 2001.). Vaginosis bakteri juga merupakan penyebab paling sering terjadinya keputihan dan malodour (Mania-Pramanik et al., 2009). Prevalensinya berkisar antara 4,9 dan 36% di negara maju (Henn et al., 2005). Tingkat kejadian vaginosis bakteri paling seing yaitu pada kehamilan di mana diperkirakan 15 sampai 20% dari wanita hamil memiliki vaginosis bakteri (Alfonsi et al., 2004). Penelitian lain telah mengatakan prevalensi vaginosis bakteri kalangan perempuan yang tidak hamil berkisar dari 15 sampai 30%, dan telah melaporkan bahwa hingga 50% dari ibu hamil telah ditemukan memiliki vaginosis bakteri (Laxmi et al., 2012). Dalam penelitian terbaru oleh Nelson et al. (2013) antara perkotaan, wanita hamil terutama Afrika-Amerika, 74% diidentifikasi dengan skor Nugent vaginosis bakteri. Prevalensi vaginosis bakteri bervariasi di seluruh dunia. Kenyon et al. (2013) melakukan kajian sistematis tentang epidemiologi global vaginosis bakteri. Vaginosis bakteri prevalensi ditemukan bervariasi antara kelompok-kelompok etnis di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Timur Tengah dan Asia. Meskipun prevalensi vaginosis bakteri secara umum tertinggi di beberapa bagian Afrika dan terendah di sebagian besar Asia dan Eropa, beberapa populasi di Afrika memiliki prevalensi vaginosis bakteri yang sangat rendah dan beberapa di Asia dan Eropa memiliki tarif tinggi. Jika temuan ini dipertimbangkan, dapat disimpulkan bahwa RTI memiliki tingkat yang berbeda prevalensi nya yang mungkin disebabkan karena berbagai faktor seperti karakteristik sosio-demografis, praktik seksual dan perilaku kebersihan.Vaginosis bakteri sering dikaitkan dengan perilaku seksual, dan epidemiologi vaginosis bakteri termasuk dalam infeksi menular seksual (IMS) (Verstraelen et al., 2010). Gardnerella vaginalis dan vaginosis bakteri jarang terjadi dengan anak-anak, namun telah diamati di kalangan remaja, bertentangan bahwa penularan seksual merupakan transmisi untuk penyakit (Verstraelen et al., 2010). Meskipun transmisi laki-laki kterhadap perempuan tidak dapat dihindari, ada sedikit bukti bahwa vaginosis bakteri berperan sebagai penyebab PMS. ETIOLOGI VAGINOSIS BAKTERIEtiologi vaginosis bakteri kurang dipahami dan tetap menjadi bahan perdebatan. Vaginosis bakteri dapat timbul secara tiba-tiba atau berkembang menjadi penyakit kronis atau berulang (Donders, 2010). Faktor risiko yang berhubungan dengan vaginosis bakteri termasuk memiliki banyak pasangan seks, pasangan seks pria, seks dengan seorang wanita, usia dini saat hubungan seksual pertama, seringnya membersihkan vagina, penggunaan sabun pada vagina, merokok dan kurangnya dari Lactobacilli vagina (Cherpes et al., 2008). Meskipun vaginosis bakteri tidak pernah terbukti menular secara seksual, ia memiliki profil epidemiologi konsisten dengan infeksi menular seksual (IMS) (Henn et al., 2005), meskipun lebih baik digambarkan sebagai SED. Hal ini lebih sering terjadi pada wanita yang memiliki IMS atau yang menggunakan intrauterine device (fethers et al, 2008;. Wilson et al, 2007.). Wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual mungkin juga terpengaruh.Vaginosis bakteri kadang-kadang berpengaruh pada perempuan setelah menopause. Penurunan kadar estrogen pada wanita premenopause dan menopause berhubungan dengan flora vagina abnormal sekitar 35 dan 70%, masing-masing jika dibandingkan telah mmempelihatkan amenorea yang menurunkan risiko vaginosis bakteri sebagai tidak adanya darah mempertahankan pH vagina, rendah dan stabil sekitar pH 4,5. Defisiensi besi subklinis (anemia) adalah faktor kuat dari vaginosis bakteri pada ibu hamil (Verstraelen et al., 2005), terutama di negara-negara berkembang. Sebuah studi longitudinal yang diterbitkan pada tahun 2006 menunjukkan hubungan antara stres psikososial dan vaginosis bakteri independen dari faktor risiko lain (Verstraelen et al., 2005).Secara umum diakui bahwa Lactobacilli vagina berperan penting dalam menjaga pertumbuhan mikroorganisme patogen dalam vagina (Mania-Pramanik et al., 2009). Ia telah mengemukakan bahwa kehadiran estrogen dan Lactobacillus diperlukan untuk mencapai pH vagina yang optimal dari 4,0-4,5 (Melvin et al, 2008;. Suresh et al, 2009.). Setelah pubertas di bawah pengaruh estrogen, glikogen yang disimpan dalam sel-sel epitel vagina, yang dimetabolisme oleh sel-sel epitel vagina menjadi glukosa (Suresh et al., 2009). Lactobacilli menghasilkan asam laktat dari glukosa, menjaga vagina pada pH asam (Suresh et al., 2009). Beberapa spesies Lactobacillus menghasilkan hidrogen peroksida yang merupakan racun bagi berbagai mikroorganisme (Suresh et al., 2009). Vaginosis bakteri ditandai oleh perubahan asam Lactobacilli pada vagina dengan keadaan vagina didominasi oleh bakteri anaerob (Tabel 1) dengan disertai dengan meningkatnya pH (Geva et al., 2006)Etiologi kompleks vaginosis bakteri pada perubahan flora vagina, tidak hanya akibat adanya infeksi patogen tunggal (Morris et al., 2001), termasuk peningkatan log10 kali lipat dalam jumlah anaerob fakultatif yang tercantum dalam Tabel 1 (Srinivasan et al., 2008). Perkembangan lingkungan yang lebih anaerobik menghambat pertumbuhan Lactobacillus. Srinivasan dan Fredricks (2008) memberikan gambaran lengkap tentang flora vagina di vaginosis bakteri dari segi perspektif mikrobiologi dan molekul.Tidak dapat diketahui apakah hilangnya Lactobacilli mendahului infeksi vaginosis bakteri atau merupakan hasil dari infeksi (Mania-Pramanik et al., 2009). Selain itu, tidak diketahui apakah perubahan flora hasil dari faktor etiologi yang belum teridentifikasi, menunjukkan bahwa flora diubah sebenarnya karena vaginosis bakteri (Nansel et al., 2006). Pertumbuhan berlebih oleh anaerob fakultatif dikaitkan dengan peningkatan produksi protease terutama Carboxypeptidase pada pemecahan peptida untuk amina yang dalam lingkungan pH yang lebih tinggi dapat menjadi tidak stabil. Karena sifat fleksibel dari proses penyakit, respon host di vaginosis bakteri harus dipertimbangkan, meskipun sebagian besar pekerjaan yang telah dilakukan pada perubahan flora mikrobial. Pada awalnya selama terjadinya vaginosis bakteri tidak ada proses peradangan (Morris et al., 2001), tetapi sejak saat itu telah menunjukkan bahwa tingkat rata-rata IL-1, TNF-, IL-6 dan Il-8 daalam batas tinggi (antara flora normal dan vaginosis bakteri) dan vaginosis bakteri yang serupa tetapi secara signifikan lebih tinggi daripada di flora normal (Hedges et al., 2006). Rekurensi sering terjadi setelah perawatan. Kekambuhan vaginosis bakteri secara umum didefinisikan sebagai tiga atau lebih terbukti (secara klinis dengan kriteria Amsel atau mikroskopis) episode vaginosis bakteri dalam 12 bulan (Amsel et al, 1983;. Wilson, 2004; Hay 2009). Hal ini menunjukkan bahwa vaginosis bakteri berulang sekitar waktu menstruasi (Henn et al., 2005) ketika tingkat estrogen rendah dan pH vagina lebih tinggi dari normal (Wilson et al., 2007). Dengan pengobatan, angka kesembuhan 80 sampai 90% dalam waktu satu minggu, tetapi kekambuhan dilaporkan dalam 15 sampai 30% dalam waktu tiga bulan (Wilson et al, 2005;. Wilson, 2004). Wanita dengan vaginosis bakteri berulang tampaknya memiliki angka kesembuhan awal yang lebih rendah (Wilson et al., 2005). Dalam sebuah penelitian terhadap wanita dengan vaginosis bakteri berulang, dengan tidak adanya gejala klinis dan mikroscopic terjadi hanya 23% dari episode setelah perawatan, pH vagina dengan 65%, uji bau amina positif pada 15% dan flora Gram abnormal pada 24 % (Larsson, 1993). Wanita yang mengalami kekambuhan cenderung masih mengeluh dengan keluarnya discharge abnormal atau, jika tanpa gejala, terus memiliki kelainan signifikan flora vagina (Masak et al., 1992).Literatur terbaru tentang epidemiologi vaginosis bakteri mengacu dengan ditemukannya Gardnerella vaginalis, saat ini dikenal sebagai patogen penting dalam vaginosis bakteri (Verstraelen et al., 2010). Penelitian terbaru (Swidsinski et al., 2013) juga menunjukkan bahwa efek patogen dari vaginosis bakteri tidak terbatas pada saluran genital bawah. Vaginosis bakteri sangat terkait dengan keguguran janin (Oakeshott et al., 2002) dan kelahiran prematur (Leitich dan ciuman, 2007), mungkin disebabkan oleh naik jalur infeksi saluran genital, meskipun mekanisme yang tepat tidak jelas. Tingkat yang jauh lebih tinggi dari vaginosis bakteri telah didokumentasikan pada pasien infertil (Wilson et al., 2002). Menurut Salah et al. (2013) vaginosis bakteri sangat terlibat dalam infertilitas wanita.Peningkatan risiko keguguran dini terkait dengan vaginosis bakteri juga telah ditemukan (Ralph et al., 1999). Mikrobiologi dari vaginosis bakteri telah terbukti melibatkan padat, biofilm polymicrobial sangat terstruktur, terutama terdiri dari G. vaginalis, sangat melekat pada epitel vagina (Swidsinski et al., 2005). Hal ini mungkin menjelaskan sifat berulang kondisi ini (Swidsinski et al., 2008), karena ini juga telah ditunjukkan untuk infeksi biofilm lainnya.

Table 1.Normal flora Abnormal Flora

Predominantly Gram Positive Rods

Gardnerella vaginalis

Lactobacillus crispalusMobiluncus species

Lactobacillus jenseniiPrevotella species

Lactobacillus inersMycoplasma hominus

Atopobium vaginae

Bacteriodes species

Peptosteptococcus species

Porphyromonas species

DIAGNOSIS VAGINOSIS BAKTERISetidaknya 50% dari wanita dengan vaginosis bakteri memiliki gejala (Henn et al., 2005) dan ada perdebatan tentang apakah bentuk vaginosis bakteri harus dianggap sebagai penyakit (Nansel et al)

Vaginosis bakteri paling sering bermanifestasi klinis dengan adanya discharge vagina , pH lebih dari 4,5 , ditemukannya clue cell dan bau amina ( setelah penambahan 10 % KOH ) . Sedikit atau tidak ada Lactobacilli biasanya ditemukan melalui mikroskop dalam cairan vagina ( Larsson , 1992) . Beberapa metode yang digunakan untuk diagnosis vaginosis bakteri ( Masak et al . , 1992) . Kriteria Amsel ( Tabel 2 ) telah digunakan dalam standar emas .Clue cell adalah sel epitel vagina skuamosa dengan bakteri coccobacilli berbentuk padat ( Khan et al . , 2007) . Selain itu , ditandai dengan < 1 PMN per sel epitel skuamosa . Sensitivitas dan spesifisitas > 20 % clue cell dalam diagnosis vaginosis bakteri adalah 81 dan 99 %. Sistem penilaian Nugent smear vagina menjadi flora normal , flora sedang atau infeksi vaginosis bakteri sesuai dengan jumlah morphotypes bakteri dihitung per lapang pandang . Dalam skala ini , menghasilkan skor antara 1 sampai 10 . Dengan nilai adalah sebagai berikut ( Nugent et al , 1992 . ) :

1. 0-3 dengan vaginosis bakteri negatif .2. 4-6 dianggap sedang.3. 7+ dengan indikasi adanya vaginosis bakteri.Sebuah sistem penilaian sederhana diterapkan untuk Gram digambarkan oleh Hay dan Ison dimana hanya korelasi antara morphotypes berbeda diperiksa , bukan jumlah per lapang pandang ( Hay et al ., 1994 ) :1. Kelas 1 ( normal ) : morphotypes Lactobacillus mendominasi .2. Kelas 2 ( sedang ) : flora dengan beberapa Lactobacilli, tapi Gardnerella atau Mobiluncus morphotypes juga ditemukan.3. Kelas 3 ( Bacterial Vaginosis ) : Terutama Gardnerella dan / atau Mobiluncus morphotypes . Sedikit atau tidak ada Lactobacilli .

KOMPLIKASI VAGINOSIS BAKTERIIni berhubungan dengan peningkatan risiko kerentanan terhadap IMS termasuk infeksi Chlamydia trachomatis , Neisseria gonorrhoeae , HSV 1 dan 2 , dan peningkatan risiko penularan HIV ( Geva et al . , 2006) . Vaginosis bakteri telah terbukti meningkatkan risiko komplikasi ginekologi dan obstetri seperti persalinan prematur dan melahirkan , korioamnionitis , endometritis pasca - operasi caesar , penyakit radang panggul pasca - aborsi dan servisitis . Beberapa kelompok telah menemukan bahwa flora vagina bakteri memiliki dampak pada komplikasi ini ( Johnson et al . , 1985) , sedangkan penelitian lain menyangkal beberapa temuan ini . Hipotesis terkemuka mengenai asosiasi ini adalah bahwa tidak adanya pelindung Lactobacilli yang meningkatkan kerentanan biologis tertular IMS setelah terpapar ( Alfonsi et al . , 2004) . Namun, Sifat temporal hubungan antara vaginosis bakteri dan akuisisi IMS tetap menjadi diskusi yang sedang berlangsung . Meskipun ada bukti yang mendukung bahwa vaginosis bakteri juga menimbulkan resiko tinggi untuk akuisisi HPV ( Khan et al . , 2007) , hal ini juga masih menjadi bahan perdebatan . Sejak tahun 1970-an vaginosis bakteri telah dikaitkan dengan penyakit radang panggul dengan tidak adanya Chlamydia atau Neisseria gonorrhea ( Morris et al . , 2001) . Akhirnya , ada juga potensi hubungan antara vaginosis bakteri dan peningkatan risiko infeksi HIV ( Mania - Pramanik et al . , 2009 ) .Sebuah studi Cochrane ( McDonald et al . , 2011) menemukan bahwa pemberian antibiotik selama kehamilan untuk pertumbuhan berlebih dari bakteri normal di jalan lahir tidak mengurangi risiko bayi prematur . Sebuah ulasan Cochrane baru-baru ini menegaskan temuan ini bahwa pengobatan antibiotik dapat membasmi bakteri vaginosis pada kehamilan , tetapi risiko keseluruhan kelahiran prematur tidak berkurang secara signifikan ( Brockhurst et al . , 2013 ) . Selain itu, telah menunjukkan bahwa vaginosis bakteri meningkatkan risiko keguguran dalam usia kehamilan antara 13 dan 24 minggu ( Donders , 2010 ) , risiko bayi prematur dan peningkatan risiko 40 % dari berat badan lahir rendah ( Morris et al . , 2001 ) .

STANDAR FARMAKOLOGIS VAGINOSIS BAKTERIVaginosis bakteri biasanya hanya diobati jika ada gejala . Pedoman pengobatan standar pada pengobatan vaginosis bakteri yang tersedia, seperti " pedoman pengobatan penyakit seksual, 2010" ( Workowski et al . , 2010) dan ulasan Cochrane berjudul " Antibiotik untuk pengobatan vaginosis bakteri pada kehamilan " ( Brocklehurst et al . 2013 ) .Hasil tidak memuaskan dalam pengobatan vaginosis bakteri telah ditemukan dengan krim sulfonamide , eritromisin dan tetrasiklin serta yodium gel . Ampisilin memiliki tingkat kesembuhan yang sedikit lebih baik ( 66 % ) , tetapi pengobatan yang paling sukses adalah metronidazol digunakan sebagai gel vagina yang memiliki tingkat kesembuhan yang lebih tinggi dari 90 % dalam satu minggu ( Morris et al . , 2001) . Perawatan standar vaginosis bakteri dengan antibiotik digambarkan sebagai menyenangkan , dapat menyebabkan resistensi bakteri dengan penggunaan berulang , dan berkaitan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi lebih dari satu bulan setelah selesainya pengobatan ( Johnson et al . , 1985 ) .

PILIHAN PENGOBATAN NON - ANTIBIOTIKA UNTUK VAGINOSIS BAKTERIBerbagai penelitian telah melihat pilihan pengobatan non - antibiotik untuk vaginosis bakteri jika pengobatan antimikroba standar tidak tersedia . Studi-studi ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu :1. Menurunkan pH vagina 2. Pengobatan dengan Lactobacilli .

PERAN pH DALAM PENGOBATAN VAGINOSIS BAKTERILactobacillus yang berhubungan dengan pH vagina dalam kisaran 3,6-4,5 ( pH vagina normal) . Metode yang berbeda yang telah atau digunakan untuk menurunkan pH vagina ditunjukkan pada Tabel 3 .

PERAN PROBIOTIK DALAM PENGOBATAN VAGINOSIS BAKTERIPengobatan vaginosis bakteri menggunakan antibiotik yang direkomendasikan sering dikaitkan dengan kegagalan dan tingginya tingkat kekambuhan . Hal ini menyebabkan konsep Lactobacillus habis menggunakan strain probiotik sebagai pendekatan pengobatan ( Senok et al . , 2009) . Jika penurunan populasi Lactobacilli tampaknya menjadi penyebab pertama terjadinya vaginosis bakteri dan kekambuhan sering dikaitkan dengan kegagalan pengobtan , flora vagina Lactobacillus yang sehat , maka sistem dari Lactobacilli mungkin berpengaruh terhadap pengobatan vaginosis bakteri ( Morris et al . , 2001) . Selama beberapa dekade , beberapa wanita telah menggunakan L. acidophilus dalam yoghurt atau suplemen untuk mengobati vaginosis bakteri . Dua RCT menyelidiki kemanjuran spesies Lactobacillus untuk vaginosis berulang . Yang pertama adalah studi cross-over membandingkan konsumsi yoghurt mengandung L. Acidophilus hidup dalam yoghurt di 46 wanita dengan vaginosis bakteri berulang , kandidiasis berulang atau keduanya ( Hemmerling et al . , 2007) . Di antara wanita dengan vaginosis bakteri berulang , episode vaginosis bakteri yang signifikan berkurang pada mereka mengkonsumsi L. Acidophilus dalam yoghurt (dari 60 % pada awal pengobatan untuk 25 % setelah 1 bulan ) dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi yoghurt yang dipasteurisasi ( 60-50 % ; p = 0,004 ) . Drago et al . ( 2007) meneliti efek dari L. Acidophilus. Memulihkan flora normal vagina . Mereka melakukan evaluasi percontohan label terbuka dari 40 wanita dengan vaginosis bakteri . The Nugent skor menurun secara signifikan dari flora sedang menuju flora normal atau vaginosis bakteri selama pengobatan , dan tetap rendah selama periode follow - up untuk hampir semua pasien , menunjukkan vaginosis bakteri di 52,5 dan 7,5 % dari pasien sebelum pengobatan dan pada follow -up , masing-masing . Setelah pengobatan , penurunan yang signifikan dalam pH vagina yang diamati , dan uji bau menjadi negatif pada semua pasien . Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengobatan vaginosis bakteri dengan douche vagina yang mengandung strain L. acidophilus kontribusi terhadap pemulihan lingkungan vagina yang normal ( Shalev et al . , 1996) .RCT lain membandingkan penggunaan kapsul vagina yang mengandung campuran L. gasseri dan L. rhamnosus dengan plasebo kapsul vagina ( Larsson et al . , 2008) . Setelah pengobatan awal dengan klindamisin 2 % krim intravaginal , 100 wanita dengan vaginosis bakteri secara acak menerima kapsul gelatin vagina yang mengandung Lactobacillus atau plasebo identik . Pada akhir penelitian , 65 % dari perempuan yang diberi pengobatan dengan Lactobacilli tidak mengalami kekambuhan vaginosis bakteri , dibandingkan dengan 46 % dari wanita yang diobati dengan plasebo . Perbedaan antara kelompok dalam waktu dari obat untuk kekambuhan bermakna secara statistik ( p = 0,027 ) mendukung pengobatan Lactobacilli . Sebuah studi lebih lanjut ( Shalev et al . , 1996) meneliti efektivitas sistem L. Rhamnosus dalam vagina setelah terapi metronidazol konvensional . Namun , pengacakan dalam penelitian ini tidak buta , dan tidak ada pembanding . Beberapa ahli mengklaim bahwa Lactobacillus susu bukanlah strain yang biasanya hidup di vagina . Inilah sebabnya mengapa Lactobacillus susu tidak bekerja untuk pengobatan vaginosis bakteri . Namun para peneliti telah menemukan bahwa dua jenis Lactobacillus - L. crispatus dan L. jensenii yang paling sering ditemukan dalam lingkungan vagina yang sehat . Penelitian saat ini memfokuskan pada menggunakan jenis Lactobacilli dalam kapsul ( Boskey et al . , 1999)

A Cochrane review ( Senok et al . , 2009) menyelidiki bukti penggunaan persiapan probiotik baik sendiri atau bersama dengan antibiotik untuk pengobatan vaginosis bakteri tidak menemukan pro - antibiotik yang berguna . Penelitian saat ini tidak memberikan bukti yang meyakinkan bahwa probiotik lebih unggul atau meningkatkan efektivitas antibiotik dalam pengobatan vaginosis bakteri . Selain itu , ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan probiotik baik sebelum , selama atau setelah pengobatan antibiotik sebagai cara untuk memastikan pengobatan yang berhasil atau mengurangi kekambuhan ( Marcone et al , 2008; . Andreeva et al , 2002; . Milani et al . 2003 ) .

KESIMPULANSejumlah penelitian telah dipublikasikan pada pengobatan vaginosis bakteri , dan meskipun pengobatan standar dengan antibiotik efektif , sebagian besar studi tentang terapi non - antibiotik tidak dapat disimpulkan .Beberapa studi menunjukkan hasil positif untuk pengasaman vagina untuk menormalkan flora bakteri , sementara yang lain tidak bisa membuktikan bahwa itu merupakan metode yang efektif untuk pengobatan vaginosis bakteri. Selain itu, penggunaan probiotik , terutama Lactobacillus menunjukkan beberapa hasil positif tetapi penelitian sebagian besar tidak meyakinkan . Mengingat bahwa vaginosis bakteri juga dapat asimtomatik , kekambuhan sering tidak dapat dibedakan dari kegagalan pengobatan . Penelitian terbaru menunjukkan adanya polymicrobial biofilm Gardnerella vaginalis terstruktur melekat endometrium mungkin memiliki implikasi besar bagi pemahaman lebih lanjut dari patogenesis vaginosis bakteri dan hasil kehamilan yang merugikan berkaitan dengan vaginosis bakteri . Sebagian besar sumber literatur merekomendasikan bahwa penelitian lebih lanjut dilakukan dalam vaginosis bakteri, karena meskipun terapi farmakologis standar yang efektif , resistensi antimikroba dapat menjadi masalah ; adanya keterbatasan tersedianya pilihan pengobatan dan tingkat kekambuhan tetap tinggi.