Filsafat Konstruktivisme
Transcript of Filsafat Konstruktivisme
Filsafat Konstruktivisme
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ILMU :
FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
Oleh : Markus Basuki
Program Pascasarjana UMM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Filsafat konstruktivisme dapat digolongkan dalam filsafat pengetahuan, bagian dari filsafat
yang mempertanyakan masalah pengetahuan dan bagaimana kita dapat mengetahui
sesuatu. Dewasa ini filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi perkembangan
pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang diberlakukan sejak tahun 2006/2007 sebenarnya memiliki akar pada konsep
filsafat ini.
Dalam konsep filsafat konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh
seorang guru kepada murid. Pengetahuan yang didapat murid bukanlah suatu perumusan
yang diciptakan oleh orang lain melainkan dibangun (konstruksi) oleh murid itu sendiri.
Inilah pergeseran nyata yang sesungguhnya sudah dirintis ketika dunia pendidikan kita
dikenalkan dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal
terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan
partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan. Inilah
knstruktivisme.
1.2 Tujuan Pembahasan
Pembahasan topik ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai
filsafat konstruktivisme. Dengan memahami akar dari suatu permasalahan, yakni dengan
berfilsafat, diharapkan terjadi suatu kesadaran baru dan dengan demikian seseorang dapat
mengerti dan menjalani sesuatu dengan konsep yang jelas dan benar. Melalui pembahasan
ini khususnya dalam dunia pendidikan diharapkan muncul suatu keberanian merancang
suatu model-model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik (murid) berkembang
secara optimal dan mampu menemukan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berguna
bagi kehidupannya.
1.3 Rumusan Masalah
Secara garis besar masalah-masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini antara lain :
a. Apakah filsafat konstruktivisme itu?
b. Mengapa kita perlu memahami filsafat konstruktivisme?
c. Apakah peran filsafat konstruktivisme dalam dunia pendidikan dan pengajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan
itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno,
2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap
orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang
berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan
seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar.
Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget
dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori
adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk
dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran
manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang
telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi
pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih
rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman,
baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul
Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark
Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya
gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari
Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima
Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta
alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa
“mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan
lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para
empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan
luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah
yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses
belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
2.2 Pengaruh Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan
sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat
refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan
matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
c. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
e. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
f. Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di
Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun
sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme
tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus
diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana
prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik,
bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak
sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau
konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk
menemukan permasalahan dan mengatasinya.
2.3 Implementasi Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar konstruktivistik.
Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat pembandingan dengan teori belajar
yang lain, yang memang sangat bertolak belakang. Teori belajar pembandingnya adalah
teori behavioristik. Teori ini dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang
dipaparkan di sini.
Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa
terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah
pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong,
http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahw aperilaku
merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang
akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar
bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta
kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan
pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya.
Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan
peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar
menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai.
Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta
didik dijadikan kebanggaan institusi dengan angka-angka yang tinggi, baik lewat ujian
nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik
terserap hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com).
Model pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan
paham behavioristik. Secara sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J. Piaget,
beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang
menganal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan
secara aktif (tidak hanya menerima dari guru!) dan terus-menerus. Metode trial and error,
dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan
pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2008). Menurut teori belajar konstruktivisme
pengetahuan tidak bias dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta
didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya (Hamzah, http://akhmadsudrajat.wordpress.com).
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran,
speserta didik lah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif
mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas
hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan
berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan
kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat
perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses,
menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social dan dilakukan dalam upaya
mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id).paham konstruktivistik.
Dengan melihat perbedaan keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih
jelas.
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan
pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-
objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkret, aktivita skolaborative, refleksi serta interpretasi. Si belajar memiliki pemahaman
tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3)
Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut, si belajar bebas, kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang si belajar. 4) Dalam
strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan pebelajar. Aktivitas
belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi
menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan
ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada
ketrampilan proses (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com).
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu
pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Pembelajar (guru) menjadi fasilitator yang
membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus
didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalam menciptakan
insane-insan pebelajar yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk
mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan
situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model
konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia
pebelajar.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Secara sederhana dapat disimpulkan, filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia menkonstruksi pengetahuan
mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan
mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan
matematika, namun demikian sekarang prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan ke dalam
semua mata pelajaran. Dan berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para
guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-
prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya serta
mewujudnyatakan dalam pembelajaran.
Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran konstruktivistik ini harus
didukung oleh lingkungan yang tepat dan didukung oleh institusi pendidikan yang
berwawasan luas, Institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar
dengan menyiapkan sarana-prasarana, lingkungan, SDM dan elemen pendukung lainnya.
Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai
hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
3.2 Saran
Filsafat konstruktivisme harus dipahami sebagai roh yang menggerakkan subyek-subyek
pendidikan sehingga akan lahirlah inovasi-inovasi baru dalam pendidikan dan pengajaran.
Untuk mencapai hasil maksimal berupa outcome SDM handal, diperlukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi :
a. Guru, sebagai subjek sentral dalam pendidikan harus memiliki wawasan baru dan luas
dalam model-model pembelajaran.
b. Sekolah dan penyelenggaranya harus memiliki visi dan misi yang jelas yang menjangkau
masa depan, dan melengkapi dengan sarana prasarana yang memadai.
c. Dibutuhkan keberanian dari pelaku-pelaku pendidikan untuk secara kritis menyikapi
berbagai perubahan dan membuat terobosan.
d. Peserta didik tidka lagi dijadikan asset yang mampu menjual nama baik lembaga, tetapi
harus diberi kesempatan berkembang secara optimal dan alamiah.
Daftar Rujukan
Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar. Pidato
Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Malang: IKIP Malang.
Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative
Mengatasi Masalah Pembelajaran. dari http://www.images.dani7bd.multiply.com.
Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Retrieve 20 Agustus 2008. Dari
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Hidayat, Ayatollah. 2009. Kogntif Learning Theory. retrieve 15 Desember 2009 dari
http://www.ayatollahhidayat.blogspot.com.
June, Lee Xiang. 2009. Konstruktivisme Philosophy. Retrieve 15 Desember 2009 dari
http://www.qmt323e.wikispaces.com.
Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Dari
http://www.puslit.petra.ac.id.
Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik. Retirieve 19 Juli 2007. dari
http://www.rohadieducation.wordpress.com.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
ANALISIS KRITIS
Pokok Pikiran Keuntungan Kelemahan