editan

download editan

of 14

Transcript of editan

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Fenomena efek radiasi dosis rendah merupakan suatu perubahan besar tentang pemikiran bagaimana radiasi pengion sebagai penyebab adanya perubahan materi biologis. Salah satu fenomena yang dimaksud adalah respon radioadaptasi yang merupakan bagian penting dari respon molekul, sel dan jaringan tubuh terhadap radioasi pengion (Brooks,2005). Fenomena respon radioadaptasi merupakan respon yang terjadi saat perubahan ekspresi gen dapat diinduksi oleh paparan radiasi dosis rendah sekitar ( 20 MeV5

Proton selain proton terpental (recoil), energi > 2 MeV5

Partikel hasil belah, inti berat20

2.3 Iradiator Panorama Serba Guna (IRPASENA)Iradiator panorama serba guna (IRPASENA) merupakan salah satu fasilitas radiasi gamma yang berada di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (BATAN), Pasar Jumat, Jakarta. Sumber radiasi gamma berasal dari radioisotop Co-60 yang memiliki aktifitas 80.000 Ci. Iradiator ini mulai digunakan untuk berbagai keperluan penelitian dalam bidang radiasi sterilisasi alat kedokteran, sediaan farmasi, pengawetan bahan makanan, polimerisasi radiasi dan dosimetri. Skema IRPASENA ditunjukkan pada Gambar 2.1. Dimana dengan ruang radiasi berukuran 500 cm x 500 cm x 400 cm dan dilengkapi dengan seperangkat sistem konveyor batch berkapasitas 420 liter.

Gambar 2.1 Skema Iradiator Panorama Serba Guna (IRPASENA) di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Pasar Jumat, Jakarta.Sumber radiasi tersimpan di dalam wadah timbal berbentuk silinder dan ditempatkan di dalam lubang berukuran 100 cm x 100 cm + 100 cm di tengah ruang radiasi. Iradiator dengan sistem penyimpanan sumber demikian di sebut dry storage irradiator. Sumber radiasi Co-60 terdiri dari 24 batang pensil sepanjang 40 cm di susun melinkar berbentuk cincin dengan diameter 15 cm. Dengan menggunakan system katrol, pensil dapat dikeluarkan atau dimasukkan ke dalam wadah timbal sehingga sumber tersebut berada di posisi meradiasi atau posisi tersimpan. Sistem konveyer batch berupa meja berukuran 120 cm x 120 cm dan setiap radiasi mampu mengelilingi kotak aluminium sebanyak 7 buah, masing-masing berukuran 39 cm x 39 cm x 40 cm. Pada posisi radiasi, sumber radiasi akan muncul di tengah meja konveyor dan kotak-kotak aluminium yang berisi bahan yang akan di radiasi dapat digerakkan berkeliling sumber sehingga keempat sisi kotak akan menerima perlakuan paparan radiasi yang sama. Selain di atas meja konveyor, radiasi juga dapat dilakukan di luar meja konveyor di dalam ruang radiasi. Pengangkutan bahan ke dalam atau ke luar ruang radiasi dapat dilakukan dengan menggunakan kereta dorong. Pelaksanaan radiasi secara sistematik dikendalikan dari meja atau panel pengendali yang terletak di luar ruang radiasi. Untuk melihat keadaan ruang radiasi, terutama pada saat dilakukannya radiasi, dapat digunakan layar televisi yang dihubungkan dengan sebuah kamera di dalam ruang radiasi. Layar televisi tersebut ditempatkan dekat meja kendali. Panel Kendali Iradiator Panorama Serbaguna (IRPASENA) ditunjukkan oleh Gambar 2.3 sebagai berikut.

Gambar 2.2 Panel Kendali Iradiator Panorama Serbaguna (IRPASENA)

2.4 Efek Biologi Radiasi terhadap Sel Sumber radiasi pengion seperti Co-60 mempunyai kemampuan merusak jaringan tubuh. Kerusakan jaringan oleh radiasi dikenal sebagai efek biologi radiasi pengion, dimana tingkat kerusakan jaringan yang terjadi bergantung pada dosis radiasi yang diserapnya. Ada dua kemungkinan efek biologi yang ditimbulkan akibat radiasi pengion, pertama efek yang ditimbulkan dianggap sebanding dengan dosis serap dan yang kedua tidak adanya efek bila dosis serap dibawah dosis minimal. Secara umum, efek biologi radiasi pengion yang terjadi pada tubuh dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu efek somatik dan efek genetik. Skema efek radiasi dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Efek Radiasi

Efek SomatikEfek Genetik

Efek DeterministikEfek Stokastik

KemandulanKankerKatarakHereditary (penyakit keturunan)Menopause diniErythemaPenurunan jumlah sel darahEpilepsi

Gambar 2.3 Skema efek radiasi terhadap tubuh Efek Somatik merupakan efek biologi radiasi yang terjadi pada sel somatik tubuh. Efek somatik ada dua jenis yaitu efek somatik nonstokastik disebabkan karena kurangnya populasi sel dalam beberapa organ tubuh dalam jumlah besar sebagai akibat matinya sel atau tertundanya pembelahan sel karena kerusakan sumsum tulang, saluran pencernaan dan sistem saraf pusat. Sedangkan efek somatik stokastik disebabkan oleh perubahan sel normal akibat radiasi pengion. Terjadinya efek radiasi ini kemungkinan adanya hubungan probabilitas antara dosis dengan efek radiasi. Dari efek somatik ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu efek deterministik dan efek stokastik. Di mana efek deterministik terjadi karena adanya kematian sel sebagai akibat dari paparan radiasi baik pada sebagian atau seluruh tubuh. Efek yang ditimbulkan seperti kemandulan, Erythema, penurunan jumlah sel darah, epilepsi dan menopause dini. Sedangkan efek stokastik ini berhubungan dengan genetik seperti DNA yang dapat menyebabkan hereditary ( penyakit keturunan), katarak dan kanker. Efek genetik disebabkan oleh rusaknya sel genetik (sel pembawa gen) yaitu kerusakan pada molekul DNA pada sperma dan ovum. Efek yang ditimbulkan adalah sama seperti efek stokastik yaitu hereditary ( penyakit keturunan), katarak dan kanker. Efek radiasi terhadap sel darah seperti leukosit juga mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam peredaran darah terutama pada keradiosensitifan sel-sel prekusor untuk masing-masing kelompok sel darah. Dosis radiasi seluruh tubuh sekitar 0,5 Gy sudah dapat menyebabkan penekanan proses pembentukan sel-sel darah sehingga jumlah sel darah akan menurun. Grafik tingkat dan derajat perubahan sel darah untuk waktu yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Gambar. 2.4 Grafik tingkat dan derajat perubahan sel darah untuk waktuyang berbeda (Cember, 1969)

Efek radiasi terhadap komponen leukosit juga memberikan pengaruh bagi sistem peredaran darah dalam tubuh. Dengan komponen utama leukosit adalah granulosit dan limfosit, dalam kondisi normal populasi relatif masing-masing sekitar 70 - 72% untuk granulosit dari jumlah leukosit dan 25 - 35% untuk limfosit. Induksi radiasi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan granulosit sementara, segera turun sangat rendah sampai beberapa minggu dan kemudian kembali normal setelah beberapa bulan. Limfosit turun tajam setelah beberapa jam radiasi, dan tetap tertekan untuk jangka waktu beberapa bulan (Cember 1969). Kerusakan sel darah pasca radiasi gamma pada dosis 1 Gy dan 3 Gy ditunjukkan Gambar 2.6.

Gambar 2.5 Kerusakan sel darah pasca radiasi gamma pada dosis 1 Gydan 3 Gy (Cerveny, 1984).

2.5 Sel Darah Putih (Leukosit) Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti yang juga disebut dengan sel darah putih. Di dalam darah normal terdapat rata-rata jumlah leukosit 4000-11000 sel/cc. Dimana leukosit berperan penting dalam pertahanan seluler organisme terhadap benda-benda asing. Jumlah leukosit lebih banyak diproduksi jika kondisi tubuh sedang sakit apabila dalam sirkulasi darah jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan eritrosit (Guyton, 1997). Leukosit tidak memiliki hemoglobin, berbeda dengan eritosit sehingga leukosit tidak berwarna. Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya seragam, berfungsi identik dan jumlahnya konstan. Leukosit memiliki variasi pada struktur, fungsi dan jumlahnya (Sherwood, 1996). Leukosit digolongkan menjadi dua kelompok :1. Granulosit merupakan leukosit yang memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma-nya yang terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil. Neutrofil bersifat netral dan tidak memperlihatkan kecendrungan zat warna, eosinofil memiliki afinitas terhadap zat warna merah dan basofil cenderung menyerap zat warna basa.2. Agranulosit merupakan leukosit yang tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma-nya dan terdiri dari monosit dan limfosit. Monosit lebih besar daripada limfosit dan memiliki nukleus. Limfosit merupakan leukosit terkecil yang ditandai dengan nukleus besar yang menempati sebagian besar sel. Untuk gambar dan nilai normal komponen leukosit dapat ditunjukkan pada Tabel 2.2.Tabel 2.2. Komponen LeukositNo.Tipe

DiagramGambar% dalam tubuh

1. Neutrofil-Batang-Segmen2-6 %50-70 %

2.Eosinofil

1-3 %

3.Basofil

< 1 %

4.Limfosit

20-40 %

5.Monosit

2-8 %

2.6 Mencit (Mus Musculus L) Mencit (Mus musculus L) sering digunakan sebagai hewan model dalam berbagai kegiatan penelitan. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan dan memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan dengan jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit laboratorium dapat dikandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat terbuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Klasifikasi ilmiah pada mencit (Mus musculus L) yaitu: Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Mammalia Ordo: Rodentia Famili: Muridae Upafamili: Murinae Genus: Mus Spesies: Mus musculus Ciri khas dari mencit yaitu kulit, rambut tidak berpigmen sehingga warnanya putih, mencit lebih tahan lama terhadap penyakit dan lebih jinak. Semua hewan termasuk mencit dapat tumbuh lebih cepat pada waktu masih muda, sejak terjadinya pembuahan, sampai lahir dan sampai mendekati dewasa tubuh, kecepatan pertumbuhan semakin berkurang dengan bertambahnya umur dan akhirnya pertumbuhan terhenti. Mencit sering digunakan sebagai sarana penelitian biomedis. Kaitannya dengan biomedis, dimana mencit digunakan sebagai model penyakit manusia dalam hal genetika. Hal tersebut karena kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme, dan bio-kimia-nya cukup dekat dengan manusia. Mencit yang dimaksud adalah seekor tikus dengan seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ekor serba putih, sedangkan matanya berwarna merah jambu.

Gambar 2.6 Mencit (Mus Musculus L)2.7 Respon Adaptasi Paparan radiasi dosis rendah dapat di respon oleh sel dengan adanya perubahan ekspresi gen. Perubahan ekspresi gen sebagai fungsi dosis menimbulkan perubahan pada sel dalam jaringan. Diawali dengan sel yang diberikan paparan radiasi dengan dosis sangat rendah disebut sebagai dosis adaptasi. Dan dalam waktu singkat diberikan kembali paparan radiasi berikutnya dengan dosis yang lebih besar disebut dengan dosis challenge. Terjadi penurunan jumlah kromosom yang diinduksi dibandingkan dengan sel yang tidak di radiasi dengan dosis adaptasi. Perubahan inilah yang merupakan respon adaptasi sel terhadap paparan radiasi atau disebut sebagai respon radioadaptasi (Brooks, 2005; Khadim, 2004).2.7.1 Respon adaptasi In Vitro Penelitian mengenai respon adaptasi secara in vitro telah dilakukan pada sel limfosit manusia yang diinduksi sinar-X. Dimana sel darah manusia dikultur selama 34 jam, kemudian diradiasi dengan dosis awal sebesar 0,01 Gy sebagai dosis adaptasi. Empat belas jam kemudian diradiasi kembali dengan dosis challenge 1,5 Gy. Setelah dilakukan pengamatan terhadap jumlah aberasi kromosom dan dibandingkan dengan jumlah aberasi kromosom, pada sel yang hanya menerima dosis challenge. Diperoleh hasil bahwa jumlah aberasi kromosom pada sel yang menerima dosis adaptasi lebih rendah dibandingkan dengan jumlah abrasi kromosom pada sel yang hanya menerima dosis challenge. Respon adaptasi berupa penurunan jumlah aberasi kromosom tidak hanya dijumpai pada sel limfosit manusia, tetapi juga pada sel limfe, sel sumsum tulang dan sel spermatosit tikus (UNSCEAR, 1994; Wojcik, 1994). Kemampuan sel untuk melakukan perbaikan terhadap kerusakan patahan pada DNA akibat radiasi dapat diketahui melalui uji inti sel. Uji inti sel ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh paparan dosis dan laju dosis rendah terhadap kemampuan sel untuk melakukan perbaikan terhadap patahan kromosom dilakukan penelitian pada sel kulit manusia. Frekuensi inti sel (mikronuklei) per sel diradiasi dosis adaptasi 0,5 Gy dengan laju dosis 2,5 mGy/menit. Setelah waktu 0 jam dan 5 jam diradiasi kembali dengan dosis 4 Gy dengan laju dosis 1,8 Gy/menit. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 2.8. Grafik menunjukkan bahwa dosis dan laju dosis rendah dapat menstimulasi sel untuk meningkatkan kemampuannya memperbaiki kerusakan kromosom, sehingga konsekuensi dari paparan radiasi berikutnya dapat terkendali. Penurunan frekuensi inti sel menunjukkan pengurangan patahan kromosom dalam sel setelah paparan dosis kontinu. Kerusakan yang terjadi akibat radiasi segera mengalami proses perbaikan yang berlangsung lebih efisien. Sehingga lebih banyak sel yang tetap bertahan hidup pasca radiasi (Mitchel, 2000).

Gambar 2.7 Perbaikan kerusakan kromosom pada sel kulit manusia terhadap penurunan frekuensi inti sel (mikronuklei)/sel yang diradiasi dengan dosis adaptasi (Mitchel, 2000).2.7.2 Respon adaptasi In Vivo Pada studi in vivo, diberikan variasi dosis adaptasi ke seluruh tubuh yang dosisnya lebih besar dari studi in vitro. Pada in vivo, dosis awal 0,02 Gy telah memberikan efek nyata pada induksi keadaan fetus yang disebabkan oleh dosis challenge sebesar 2 Gy. Dosis adaptasi 0,1 Gy dengan interval waktu 4 jam kemudian kembali diradiasi dosis challenge 2 Gy cukup menimbulkan respon adaptasi in vivo. Hasilnya adalah kelompok yang diradiasi dengan tanpa dosis adaptasi, terdapat perbedaan nyata dalam keadaan dan kematian tertunda tetapi tidak terhadap berat badan. Perbedaan ini mungkin dikarenakan proses dari efek yang diamati terjadi pada tahapan embriogenesis yang berbeda. Terdapat tiga proses utama yang perlu diperhatikan dalam resiko kanker terhadap respon adaptasi diinduksi oleh radiasi dosis rendah, yaitu perbaikan DNA, apoptosis dan fungsi sel imun, dan respon tersebut juga mempunyai pengaruh pada risiko radiasi in vivo (Azzam, 1996).