Editan Diagram
-
Upload
anida-shofiana -
Category
Documents
-
view
69 -
download
0
Transcript of Editan Diagram
BAB I.PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan karena merupakan salah
satu sarana dalam meningkatkan derajat kesehatan. Obat sering menjadi salah satu
komponen kesehatan yang dirasakan paling mahal, namun obat merupakan salah satu
komponen kesehatan yang tidak tergantikan. Hasil dari penelitian yang telah
dilakukan Yusrizal (2006) di 2 RSUD Propinsi DIY menunjukkan bahwa biaya obat
mencapai 30-70 persen dari total semua biaya pelayanan kesehatan bagi keluarga
tidak mampu atau miskin. Pengaturan peresepan dengan penggunaan obat generik
merupakan upaya dalam menekan biaya perawatan kesehatan, terutama bagi
masyarakat kurang mampu, sehingga dana yang digunakan untuk pemeliharaan
kesehatan masyarakat kurang mampu dapat menjadi lebih efisien.
Kebijakan penggunaan obat generik di Indonesia telah dikeluarkan sejak dua
dasa warsa yang lalu. Definisi dari obat generik sendiri adalah obat dengan nama
resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan International Non-
proprietary Names WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya, sederhana dan
kemasannya tidak dipromosikan walaupun diproduksi oleh pabrik yang berbeda
(Departemen Kesehatan RI, 2010). Mutu dari obat generik pun dipastikan terjamin
karena pengawasan mutu dilakukan secara ketat pada industri farmasi yang
memproduksinya dengan cara menerapkan Cara Pembuatan Obat yang baik (CPOB)
sepenuhnya dan dilakukan pengujian ulang di laboratorium BPOM.
Sebelum diproduksi dalam bentuk generik, obat yang ditemukan oleh suatu
industri farmasi akan dipatenkan selama dua puluh tahun. Setelah melewati dari masa
itu, maka obat tersebut diperbolehkan untuk diproduksi oleh industri farmasi lain atau
disebut dengan lepas paten (off-patent). Selanjutnya obat tersebut dapat diproduksi
1
dan dapat dipasarkan dengan nama brandedgenerik atau dengan nama generik
(WHO, 1988). Obat bernama dagang adalah obat milik perusahaan tertentu dengan
nama khas yang dilindungi hukum, yaitu dengan merk terdaftar atau proprietary
name (Tjay, et al, 2002). Biasanya menggunakan nama dagang yang sangat
bermacam-macam, tergantung dari yang diproduksi oleh pabrik, walaupun jenis obat
nya sama. Kemasannya pun dibuat lebih mewah sehingga dapat menarik pembeli dan
dapat dipromosikan oleh pabrik-pabrik obat secara gencar dengan nama dagang yang
berbeda-beda. Obat generik biasanya mempunyai harga yang lebih terjangkau
dibandingkan dengan obat yang bernama dagang.
Salah satu tujuan pembangunan di bidang kesehatan di bidang obat adalah
meningkatkan penyebaran obat secara teratur dan merata, sehingga dapat dengan
mudah diperoleh bagi yang membutuhkan pada saat yang diperlukan serta dapat
terjangkau oleh masyarakat umum baik harganya maupun kebutuhannya
(Departemen Kesehatan RI,2010). Pemerintah telah melakukan berbagai cara dan
upaya untuk meningkatkan keterjangakauan obat oleh masyarakat dengan cara antara
lain dengan penyediaan dan penggunaan obat-obatan generik yang bermutu.
Pemanfaatan dari obat generik akan semakin memperluas cakupan obat karena
masyarakat yang tadinya tidak mampu dalam membeli obat yang dibutuhkan
dikarenakan harga yang kurang terjangkau, dapat membeli obat tersebut dengan harga
terjangkau. Perluasan cakupan obat berarti perluasan cakupan pelayanan kesehatan,
yang akan meningkatkan volume penggunaan obat.
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan obat generik di
Indonesia, yaitu meningkatkan mutu, memeratakan pelayanan kesehatan dengan
menyediakan obat-obatan yang terjangkau bagi masyarakat luas, meningkatkan
efisiensi penggunaan dana khususnya dana pemerintah untuk obat-obatan yang
bermutu dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat luas, dan memberikan
pengertian kepada masyarakat bahwa obat generik adalah baik dan bermutu serta
mempunyai kemampuan pengobatan yang sama dengan obat bernama dagang
2
(Departemen Kesehatan RI, 2010). Perlu dilakukan upaya agar masyarakat mampu
mengerti bahwa obat generik yang harganya lebih terjangkau sama efektifnya dengan
obat bernama dagang yang harganya jauh lebih mahal.
Pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang penulisan resep obat generik baik
di rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta maupun tempat praktek dokter swasta
masih terdapat beberapa kendala yaitu (Kuntjoro et al., 2000) beberapa dokter masih
banyak yang memandang anjuran penggunaan obat generik sedikit banyak telah
membatasi kebebasan profesional, keragu-raguan terhadap mutu dari obat esensial
yang menggunakan nama generik, tidak semua penyakit mempunyai nama obat
esensial yang dipasarkan dengan nama generik, tidak tersedianya obat esensial
dengan nama generik, dokter tidak terbiasa menulis resep dengan nama generik,
kepercayaan masyarakat yang masih kurang terhadap obat generik yang dianggap
tidak lebih baik dari obat bernama dagang. Dengan adanya Permenkes nomor
085/Menkes/Per/l/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan
obat generik di fasilitas kesehatan pemerintah serta keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik nomor 0428/YANMED/RSKS/SK/1989 tentang petunjuk
pelaksanaan peraturan Menteri Kesehatan RI yang berisi kewajiban menuliskan resep
dan /atau menggunakan obat generik di rumah sakit pemerintah, maka melalui
program obat generik upaya pemerataan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit
dapat tercapai dengan baik. Pelaksanaan penggunaan obat generik ini di utamakan di
rumah sakit pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta juga diwajibkan untuk
menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan pasien berobat
jalan dan rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 1989).
Pelaksanaan kebijakan penggunaan obat generik di Rumah Sakit Umum
(RSU) PKU Muhammadiyah ditetapkan dengan keputusan Direktur nomor : 1521/E-
IV/SK.3.2/VII/2001 tanggal 16 Juli 2001 tentang kewajiban menulis resep dan /atau
menggunakan obat generik RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta khususnya untuk
pasien kelas III rawat inap (pasien yang kurang mampu). Penerapan kebijakan
3
tersebut dengan alasan bahwa pasien kelas III pada dasarnya adalah dari masyarakat
yang kurang mampu sehingga dengan adanya kebijakan tersebut maka akan
meningkatkan pelayanan obat dengan biaya yang terjangkau oleh pasien kelas III.
WHO memiliki indikator peresepan yang terdiri atas beberapa komponen,
yaitu : rata-rata jumlah obat per sekali peresepan, persentase obat yang diresepkan
menggunakan nama generik, persentase antibiotika yang diresepkan, persentase obat
injeksi yang diresepkan, dan persentase obat yang diresepkan yang sesuai dengan
daftar obat esensial. Namun dalam kenyataannya, masih banyak terdapat
ketidakrasionalan yang terjadi berdasarkan indikator ini. Misalnya saja mengenai
peresepan obat injeksi yang dilakukan di Asia dan Afrika, pasien dalam jumlah besar
di tempat pelayanan kesehatan selalu menerima obat injeksi yang tidak aman dan
tidak perlu(Simonsen et al.1999).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka disusun rumusan
masalah sebagai berikut : “Bagaimana perbedaan perbandingan implementasi
indikator peresepan WHO berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat InapRSI
Yogyakarta Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) periode September-
November tahun 2011? “
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan implementasi indikator peresepan WHO
berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada
periode September-November tahun 2011.
4
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui rata-rata jumlah obat yang diresepkan oleh dokter
berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta
“PDHI” pada periode September-November tahun 2011.
2. Untuk mengetahui persentase obat yang diresepkan dengan
menggunakan nama generik berdasarkan kelas perawatan di Unit
Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periodeSeptember-
November tahun 2011.
3. Untuk mengetahui persentase jenis obat antibiotika yang diresepkan
berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat InapRSI Yogyakarta
“PDHI” periode September-November tahun 2011.
4. Untuk mengetahui persentase obat injeksi berdasarkan kelas perawatan
di Unit Rawat InapRSI Yogyakarta “PDHI” periodeSeptember-
Novembertahun 2011.
5. Untuk mengetahui persentase obat yang diresepkan yang sesuai dengan
daftar obat esensial berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap
RSI Yogyakarta “PDHI” periode September-November tahun 2011.
1.4. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang perbandingan penggunaan obat generik dan esensial
berdasar kelas perawatan pada pasien rawat inap di RSI “PDHI” Yogyakarta,
sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Penelitian yang hampir sama pernah
dilakukan oleh :
1). Kuntjoro dkk (2000) tentang pola pemilihan obat generik dan obat non generik
pada berbagai profesi dan tempat kerja dokter di Kodya Magelang.
5
Dengan hasil : Peresepan obat generik oleh dokter spesialis lebih rendah bila
dibandingkan dengan dokter umum maupun dokter gigi, penggunaan obat generik
lebih banyak digunakan di rumah sakit pemerintah, penggunaan obat generik lebih
banyak digunakan di rumah sakit swasta maupun di tempat praktek dokter swasta.
Persamaan penelitian : Tema perilaku dokter dalam peresepan obat generik.
Perbedaan penelitian : Pada penelitian Kuntjoro menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
2). Koesnandar (2005) tentang penggunaan obat generik pada pasien gakin di RSUD
DR. Murjani Kotawaringin Timur.
Dengan hasil : Penggunaan obat generik yang cukup tinggi pada pasien gakin, namun
masih terdapat penggunaan obat non generik dikarenakan oleh keterbatasan
ketersediaan obat generik.
Persamaan : Tema penggunaan obat generik dan obat non generik pada pasien kurang
mampu atau berdasar rawat inap dikelas tiga.
Perbedaan : Pada penelitian Koesnandar menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Dengan adanya penelitian untuk mengetahui perbandingan
implementasi indikator peresepan WHO 1993 berdasarkan kelas perawatan di
Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periode Juni-Agustus tahun
2011, diharapkan dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan
6
memperluas ilmu pengetahuan, serta pengalaman peneliti dalam melakukan
penelitian selanjutnya.
2. Bagi Rumah Sakit dan Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
perbandingan implementasi indikator peresepan WHO 1993 berdasarkan kelas
perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periode Juni-
Agustus tahun 2011, sehingga dapat digunakan oleh dokter dalam
pengambilan keputusan pemberian resep kepada pasien.
3. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu data
implementasi atas aturan mengenai obat generik yang telah
diberlakukan.Selain itu, Pemerintah dapat melakukan evaluasi dalam
pengaturan kebijakan penggunaan obat generik.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan acuan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam
bidang yang sama.
7
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengobatan Rasional
Berdasarkan peraturan Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep didefinisikan sebagai permintaan
tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Peresepan suatu obat dapat dikatakan tidak rasional, apabila kemungkinan
untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada manfaatnya sama sekali, sedangkan
kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan efek samping ataupun biayanya
Pertimbangan mengenai manfaat, risiko, dan biaya dari masing-masing dokter dapat
berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau dapat diperkecil
dengan komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-
elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.
Peresepan obat yang dilakukan oleh dokter harus selalu berpedoman pada pengobatan
rasional sesuai dengan standar WHO (Vance & Millington, 1986).
Ketidakrasionalan dalam peresepan obat memiliki beberapa bentuk yang
dikelompokkan sebagai berikut (MSH, 1984)
1. Peresepan boros (extravagant), yaitu peresepan dengan obat-obat mahal
meskipun masih ada alternatif obat yang lebih terjangkau dengan keamanan
dan manfaat yang sama.
2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi jika lama pemberian atau
jumlah obat yang diresepkan melebihi yang seharusnya.
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing) terdiri atas pemakaian obat
dengan indikasi yang tidak tepat, diagnosis tepat namun obatnya salah,
8
pemberian obat kepada pasien yang salah, pemberian obat tanpa
memperhitungkan kondisi lain yang sedang diderita pasien secara bersamaan.
4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yaitu peresepan yang cukup
menggunakan obat tunggal saja namun memakai dua atau lebih kombinasi
obat.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi jika obat yang diperlukan tidak
diresepkan, dosis tidak mencukupi atau lama pemberiannya terlalu pendek.
Dokter dalam memilih resep untuk pasien, dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor tersebut antara lain faktor internal didalam diri dokter yang terdiri dari
informasi atau pengetahuan dan kepercayaan serta pengalaman dokter tersebut
terhadap obat; dan faktor eksternal yang terdiri dari pengaruh pasien, hubungan
dokter dan pasien, dan konteks sosial yang lebih luas, termasuk pengaruh promosi,
sejawat dan adanya insentif finansial (Soumerai, 1988; Greenhalgh dan Gill, 1997;
Quick et al., 1997).
a. Faktor internal
Faktor internal yang berpengaruh dalam peresepan adalah informasi,
kepercayaan, dan pengalaman dokter terhadap obat yang akan diresepkan (Quick et
al., 1997). Dokter juga sangat membutuhkan informasi dalam menentukan obat yang
akan diresepkan kepada pasiennya. Informasi yang dibutuhkan umumnya obat
bermerek dagang, obat generik, indikasi dan kontraindikasi, terapi pilihan dan terapi
alternative, dosis, overdosis dan aturan pakai obat, efek samping obat dan harga
obat.Jurnal adalah salah satu sumber informasi obat lama maupun obat baru yang
dianggap penting bagi para dokter menurut (McGettigan et al. 2001).Khusus untuk
obat-obatan yang baru, sumber informasi dapat diperoleh dari berbagai macam
sumber yaitu detailer dan dokter spesialis, kemudian baru dari pertemuan klinis,
kuliah dan jurnal.Perilaku peresepan dalam penelitian Kuntjoro (2000) menunjukkan
9
bahwa dokter spesialis lebih cenderung memilih menggunakan obat non-
generik.Dalam hal detailer, tentu informasi yang diberikan adalah mengenai obat
produksi pabriknya.
Kepercayaan terhadap mutu, khasiat, dan keamanan pemakaian suatu obat
akan mempengaruhi peresepan obat oleh seorang dokter. Anggapan dokter bahwa
obat generik kurang manjur mengindikasikan bahwa adanya kemungkinan dokter
yang kurang patuh terhadap penggunaan obat generik.Ketidakpercayaan dokter
terhadap obat generik memungkinkan dokter meresepkan obat bermerek dagang
secara langsung kepada pasien.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal dapat dibagi menjadi beberapa faktor yaitu faktor pasien dan
konteks sosial.
i. Faktor pasien :
Perilaku peresepan oleh dokter dipengaruhi oleh persepsi dirinya
terhadap latar belakang sosial, kepercayaan, sikap, dan harapan pasien, serta
diagnosis pasti yang masih belum dapat ditegakkan. Dokter biasanya akan
merasa kesulitan jika menolak permintaan pasien atau menolak memberi resep
untuk pasien usia lanjut, pasien dari kelas sosial tertentu, serta pasien dengan
latar belakang medis dan paramedis (Bradley, 1997cit .Greenhalgh dan Gill,
1997).
Pertimbangan dalam penentuan pilihan obat juga terpengaruh dari
keadaan sosial ekonomi dan penyakit dari pasien.Bagi pasien dengan kondisi
ekonomi rendah dan harus membayar obat sendiri, obat generik merupakan
pilihan yang paling tepat.Demikian pula dengan penyakit kronis yang
membutuhkan terapi lama, obat generik merupakan pilihan terapi yang paling
baik.
10
Faktor lain yang mempengaruhi pertimbangan seorang dokter dalam
penulisan resep obat adalah permintaan dari pasien (Soumerai, 1988; Quick et
al., 1997). Hal ini tidak mengherankan, karena pada hakikatnya pasien akan
secara aktif menentukan pengobatan dirinya sehingga keputusan dan pilihan
untuk berobat, kemana akan berobat, menggunakan obat atau tidak, semua
tergantung dan merupakan hak paten dari pasien tersebut. Keputusan dan
pilihan obat oleh pasien dipengaruhi oleh budaya, pendididkan, sikap, dan
pengetahuannya. Pasien terpandang dan sosial ekonominya tinggi terkadang
akan meminta dipilihkan menggunakan obat bermerek dagang dalam
terapinya. Apabila ada permintaan dari pasien untuk menggunakan obat
bermerkdagang maka, biasanya dokter akan meluluskannya (Macfarlane et
al., 1997).
ii. Konteks sosial
Konteks sosial yang mempengaruhi pertimbangan dalam peresepan
oleh seorang dokter meliputi hal-hal diluar hubungan dokter-pasien.Dalam hal
residen, pengaruh luar ini dapat berasal dari senior atau detailer obat bermerk
dagang(Soumerai, 1988).
Pemberian terapi untuk masing-masing diagnosis pasien, idealnya
sebuah rumah sakit harus mempunyai standar terapi yang dipatuhi oleh
dokter.Interaksi antara dokter dengan detailer obat, umumnya diperbolehkan.
Interaksi antara dokter dengan detailer obat ini merupakan salah satu cara
agar promosi obat yang dipromosikan dapat diresepkan.Detailer melakukan
berbagai upaya pendekatan agar dokter mau meresepkan obat buatan
pabriknya, (Roughead et al., 1998).Pendekatan yang paling sering dilakukan
adalah dengan pemberian hadiah, barang cetakan, leaflet informasi obat,
demonstrasi, presentasi ilmiah, pameran, jamuan makan, sampai tak jarang
pemberian insentif berupa uang. Meskipun beberapa dokter mengatakan
11
pemberian tersebut tidak mempengaruhi peresepan yang diberikan kepada
pasien mereka (Madhavan et al., 1997), tetapi menurut beberapa peneliti, para
detailer sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku peresepan dokter
(Shaughnessy dan Slawson, 1996; Wazana, 2000; Shapiro dan Schultz, 2001).
Promosi obat yang dilakukan oleh detailer tidak hanya ditujukan
kepada dokter saja, tetapi pasar secara keseluruhan, termasuk pasien. Strategi
promosi meliputi: (1) pemasangan iklan, (2) penjualan perorangan, (3)
publisitas, (4) promosi penjualan.
2.2. Definisi Obat
Obat adalah suatu bahan atau senyawa, yang umumnya berasal dari luar
tubuh, yang bila diberikan akan menyebabkan perubahan fungsi-fungsi biologik
tubuh, sehingga pemberiannya berguna untuk mencegah atau menyembuhkan suatu
penyakit atau gangguan –gangguan fisiologis dalam tubuh. Obat berasal dari bahan
alam dengan bentuk yang masih asli, tetapi bisa juga berasal dari senyawa-senyawa
kimiawi yang disintesis di laboratorium. Pada masyarakat yang relatif masih
tradisional, sumber-sumber obat masih banyak yang berasal dari bahan alam asli, baik
dari tumbuhan, hewan maupun bahan lain. Sebagai contoh, masih digunakannya
ramuan jamu untuk sumber pengobatan.Sebaliknya, pada masyarakat yang relatif
modern, sumber obat terutama berasal dari obat-obat kimiawi(obat-obat modern)
(Santosaet al1988).
Peraturan Permenkes pada tahun 1993, obat dapat didefinisikan sebagai
sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan yang berguna untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi.
12
Obat dapat menyembuhkan, namun banyak kejadian yang menunjukkan
bahwa seseorang menderita akibat dari keracunan obat.Dapat dikatakan bahwa obat
dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat
sebagai obat bila digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan
waktu yang tepat. Apabila digunakan dalam pengobatan suatu penyakit melebihi dari
dosis yang ditentukan, maka obat akan menimbulkan keracunan. Bila dosisnya lebih
kecil, maka obat juga tidak akan memberikan penyembuhan (Anief, 1991).
2.3 Indikator Penggunaan Obat
Mulai tahun 1993, indikator penggunaan obat telah dibuat oleh WHO yang
bertujuan untuk mengukur pola umum dalam penggunaan obat di tempat pelayanan
kesehatan, mengidentifikasi masalah penggunaan obat, untuk membuat perbandingan
penggunaan obat antarnegara satu dengan negara yang lain, dan mengukur dampak
beberapa tindakan yang dilakukan.Indikator tersebut dapat dipergunakan untuk
poliklinik rumah sakit dalam menentukan masalah tentang polifarmasi, penggunaan
antimikroba dan obat suntik, kontak antara penulis resep dengan pasien, dan kontak
penyedia obat dengan pasien (Santoso, 2001).
Indikator penggunaan obat WHO memiliki beberapa poin utama yaitu
indikator peresepan, indikator perawatan pasien, indikator fasilitas, dan indikator
komplementer :
1. Indikator peresepan
a. Jumlah rata-rata obat dalam satu kali pertemuan
b. Persentase peresepan obat dengan menggunakan nama generik
c. Persentase peresepan obat jenis antibiotika dalam satu kali pertemuan
d. Persentase peresepan injeksi dalam satu kali peresepan
e. Persentase obat yang diresepkan tercantum dalam DOEN
13
2. Indikator pelayanan pasien
a. Lama waktu konsultasi rata-rata
b. Rata-rata waktu yang dihabiskan
c. Persentase obat yang tidak diresepkan
d. Persentase obat dengan label yang memadai
e. Pengetahuan pasien mengenai dosis
3. Indikator fasilitas
a. Ketersediaan buku DOEN
b. Ketersediaan obat-obat utama
4. Indikator pelengkap
a. Persentase pasien yang diterapi dengan obat
b. Rata-rata harga obat per satu kali datang
c. Persentase harga obat yang dihabiskan untuk membeli antibiotika
d. Persentase harga obat yang dihabiskan untuk membeli obat injeksi
e. Persentase resep yang sesuai dengan panduan pengobatan
f. Persentase kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diterima
g. Persentase fasilitas kesehatan dengan akses informasi obat-obatan
yang netral.
Perkembangan indikator penggunaan obat oleh WHO dan INRUD
(International Network for Rational Use of Drugs) ini telah digunakan sebagai
pedoman dalam uji penggunaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan di negara
berkembang.(Santoso, 2001).
14
2.4. Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia dan International Non-proprietary Names WHO untuk zat yang
berkhasiat dikandungnya. Obat generik sebagai pengganti obat bermerk dagang yaitu
obat dengan nama dagang yang diberikan oleh pabrik pembuatnya (Departemen
Kesehatan RI, 2010). Jadi meskipun berbeda nama, obat generik dan obat bermerk
dagang mengandung zat aktif yang sama. Dengan demikian, secara keseluruhan obat
generik mempunyai tingkat keamanan dan efektifitas yang sama dengan obat bermerk
dagang.
Tidak semua obat paten sudah ada nama generiknya. Obat-obat yang baru
biasanya masih dilindungi oleh hak paten dan hanya dibuat oleh satu pabrik saja,
kemudian setelah masa paten tersebut habis, pabrik lain dapat membuat versi
generiknya.
Harga obat generik jauh lebih murah daripada obat bermerk dagang, hal ini
dikarenakan pabrik pembuat obat paten perlu biaya untuk tenaga kerja, riset,
perizinan, kemasan dan promosi.Sebaliknya, hal-hal tersebut tidak diperlukan oleh
pabrik pembuat obat generik. Perbedaan lain antara obat generik dan obat paten
adalah pada cara pembuatannya. Hal ini memungkinkan adanya sedikit perbedaan
mutu dan efek samping diantara keduanya (Eric, 1998).Agar masyarakat
mendapatkan obat generik dengan mutu yang terjamin, maka Pemerintah Indonesia
melakukan pengawasan mutu yang ketat dengan menerapkan Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) bagi pabrik pembuat obat generik.Pemerintah juga telah
mengeluarkan kebijakan obat generik di Indonesia, adapun alasan dikembangkannya
obat generik di Indonesia adalah untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan,
membatasi jenis produk paten terutama produk kombinasi, dan meningkatkan
produksi lokal yang sudah tidak dilindungi paten lagi sehingga bisa menghemat biaya
(Santosa, 1996).
15
Diperlukan beberapa komponen untuk menentukan kebijakan obat generik
yang meliputi produksi dan distribusi, jaminan mutu, penulisan resep dengan nama
generik, substitusi generik, informasi, pengawasan pelaksanaan dan penggunaan obat
generik (Santosa, 1996). Ketersediaan obat dan pemerataan peredaran obat, terutama
obat generik secara nasional, harus dijamin oleh pemerintah (Departemen Kesehatan
RI, 2006b).
Menurut Kuntjoro et al (2000) kebijakan pemerintah tentang penulisan resep
obat generik, baik di rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, maupun tempat
praktek dokter swasta, tidak semudah perkiraan karena masih terdapat beberapa
kendala yaitu:
1. Setiap upaya yang tujuannya untuk membatasi kebebasan professional dalam
memberikan yang terbaik untuk kesembuhan penderita selalu dipandang tidak
sewajarnya dan oleh karena itu kurang dapat diterima; standardisasi sedikit
banyak memang cukup membatasi kebebasan professional sehingga masih
banyak ditemui praktisi kesehatan yang belum dapat menerima kebijakan
pemerintah tentang penulisan atau peresepan obat generik
2. Terdapatnya keragu-raguan terhadap mutu obat esensial yang menggunakan
nama generik
3. Tidak semua macam penyakit mempunyai obat esensial yang dipasarkan
dengan nama generik
4. Tidak tersedianya obat esensial dengan nama generik yang cukup di fasilitas
kesehatan pemerintah
5. Tidak terbiasanya dokter dalam menulis resep dengan naman generik
6. Kepercayaan masyarakat terhadap khasiat obat generik karena selama ini
masyarakat telah terbiasa menggunakan obat bermerk dagang yang diakui
lebih baik dalam bentuk dan cita rasanya
16
Berbeda dengan obat bermerk dagang, promosi obat generik oleh pabrik
pembuatnya tidak pernah dilakukan karena dilarang.Semua itu dilakukan agar biaya
obat rendah, dan persaingan antarprodusen hanya berstandar pada mutu dan khasiat
dari obat generik yang diproduksinya.
2.5. Obat Esensial
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan yang mencakup upaya dalam diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi,
yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan dengan fungsi dan
tingkatnya.Dengan tersedianya obat esensial dalam jenis dan jumlah yang memadai,
bentuk sediaan yang tepat, mutu terjamin, informasi yang memadai, dan dengan
harga terjangkau, maka sistem pelayanan kesehatan dapat berfungsi dengan baik
(DOEN, 2008).
Dalam memilih obat esensial dibutuhkan kriteria-kriteria tertentu, pemilihan
obat esensial berdasar DOEN (2008) didasarkan atas kriteria berikut :
1). Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio)
2). Mutu terjamin termasuk stabilitas maupun bioavailabilitas
3). Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
4). Praktis dalam penggunaan dan penyerahan
5). Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita
6). Memilih rasio manfaat-biaya yang tertinggi berdasar biaya langsung dan tidak
langsung
7). Bila terdapat pilihan lebih dari satu pilihan yang memiliki efek yang sama, pilihan
dijatuhkan pada
1 Obat yang sifatnya paling banyak diketahui
2 Obat dengan farmakokinetik yang paling menguntungkan
3 Obat yang stabilitasnya lebih baik
4 Mudah dikenal
17
5 Obat yang telah dikenal
8). Obat dengan kombinasi tetap, memenuhi kriteria :
1 Obat bermanfaat dalam bentuk kombinasi tetap
2 Harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi
3 Perbandingan dosis kombinasi tetap merupakan pebandingan yang tepat
4 Meningkatkan rasio manfaat-biaya
5 Untuk antiobiotika kombinasi tetap dapat mencegah atau mengurangi
resistensi atau efek merugikan
Tujuan kebijakan Obat Esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan
keamanan, kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat, sekaligus berguna dalam
meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu
langkah untuk memperluas, memeratakan, dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan kepada masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Konsep Obat Esensial diwujudkan dengan penyusunan Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN), melalui pemilihan obat dengan mempertimbangkan rasio
manfaat terhadap risiko dan manfaat terhadap biaya (Departemen Kesehatan RI,
2005).Sampai akhir tahun 1999 tercatat sebanyak 156 negara yang telah memiliki
DOEN. Tidak ada sektor pemerintah atau sistem asuransi kesehatan yang mampu
menyediakan atau reimburse semua obat yang tersedia di pasar. Dengan ini, DOEN
juga merupakan pedoman penggadaan (procurement) dan penyediaan (supply) obat
di sektor pemerintah, merencanakan reimburse biaya obat, donasi obat, dan
produksi obat lokal. Beberapa organisasi internasional termasuk UNICEF dan
UNHCR, dan juga organisasi non-pemerintah dan agen Suplai non-profit
internasional telah menghadapi konsep obat esensial untuk sistem suplai mereka.
Beberapa negara yang sudah maju juga menggunakan pendekatan yang sama
(WHO, 2002).
18
2.6. Antibiotika
Antibiotika adalah golongan obat yang paling banyak diresepkan oleh para
klinisi.Antibiotika merupakan zat yang dapat menghambat dan membasmi mikroba
jenis lain yang dihasilkan oleh suatu mikroba tertentu, terutama fungi.Antibiotika
diproduksi baik secara sintetik penuh maupun semisintetik (Setiabudy,
2008).Pengetahuan tentang penggunaan antibiotik itu penting, tidak hanya
mengetahui tentang pengeluaran biaya saja, namun yang lebih penting adalah
dampak penggunaan antibiotika tersebut.
Ketidaktepatan penggunaan antibiotik dibeberapa Negara di dunia sangat
bervariasi seperti, di Thailand ketidaktepatan penggunaan antibiotik di rumah sakit
Universitas Manidol mencapai 91,2 %, dan 35,8% diantara pasien yang mendapat
antibiotik tidak terbukti adanya infeksi (Aswapokee et al, 1990), Di Inggris 50%
pasien yang diterapi dengan antibiotik tidak terbukti adanya infeksi, sedangkan
penggunaan antibiotika sebagai profilaksis hanya 7% yang tepat, demikian pula
penggunaan antibiotik di Kanada terjadi peningkatan tanpa bukti adanya infeksi,
salah dosis, maupun rute cara pemberian, sedangkan di Argentina hanya 40% saja
antibiotika yang diberikan sesuai dengan indikasi tepat dengan adanya bukti infeksi,
dan diduga di negara-negara Amerika Latin lainnya masih banyak ketidaktepatan
penggunaan antibiotika jika dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju
(Wolff, 1993).
a. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional (Tepat)
Pengobatan secara rasional, efektif, dan aman sebenarnya berlaku untuk semua
tindakan- tindakan pengobatan, tidak hanya terbatas pada penggunaan antibiotika
saja. Rasional dapat diartikan, bahwa diagnosis penyakit harus ditentukan dengan
tepat, sehingga pemilihan obat dapat dilakukan dengan tepat dan menimbulkan efek
samping seminimal mungkin (Ningrum, 2009).
Indikasi dalam pemberian antibiotika pada pasien harus tepat. Untuk dapat
melaksanakan tindakan rasional, maka diperlukan upaya-upaya antara lain :
19
1. Tepat indikasi dengan mempertimbangkan gambaran klinik dari penyakit
infeksi dan efek terapi dari antibiotika.
2. Pemilihan antibiotika yang tepat, serta menentukan dosis, dan cara
pemberiannya.
3. Penentuan dosis dan lama pemberian yang tepat tergantung pada jenis infeksi
dan penetrasi obat ke tempat penetrasi, sedangkan untuk penentuan lama
tergantung dari respon klinis, mikrobiologi, maupun radiologis.
4. Follow up penderita meliputi evaluasi perbaikan klinis dan terjadinya
komplikasi.
b. Penggunaan Antibiotika secara Tidak Rasional (Tidak Tepat)
Penggunaan antibiotika secara tidak rasional sangat tinggi dan bervariasi
dibeberapa negara, tak terkecuali di Indonesia (Aswapokee et al., 1990; Wolff,
1993).Ketidakrasionalan dalam penggunaan antibiotika berdasarkan keadaan : (1).
Adanya kontraindikasi terhadap penggunaan antibiotika, seperti : pemberian
kanamicin, geramicin pada gagal ginjal, pemberian penicillin pada pasien yang
sensitif terhadap penicillin ; (2). Indikasi pengobatan yang tidak tepat misalnya pada
pemberian kloramfenikol sistemik untuk luka yang kecil, memberikan penicillin G
untuk kuman Staphilococcus yang akan membentuk penicilinase, atau untuk kuman
gram negatif ; (3). Dosis yang tidak tepat ; (4). Cara pemberian dan waktu pemberian
yang tidak tepat, misalnya, pemberian tablet penicillin G pada pneumonia berat yang
seharusnya diberikan secara parenteral, memberikan ampicilin kapsul setelah makan;
(5). Jangka waktu pengobatan yang tidak tepat; (6). Telah dibuatnya diagnosis
laboratorium mengenai kuman patogen tetapi tidak dilanjutkan dengan pembuatan
antibiogram; (7). Antibiogram dibuat, tetapi tidak memperhatikan adanya resistensi
silang waktu mengganti dengan lain; (8). Memberikan antibiotika dengan obat-obatan
lain yang dapat memperlemah antibiotika.
20
2.7. Injeksi
Rute parenteral injeksi adalah pemberian obat dengancara menginjeksikan ke
dalam jaringan tubuh. Pemberian parenteral meliputi 4 tipe utama injeksi
berikut :subkutan (SC) injeksi ke dalam jaringan tepat dibawah lapisan dermis kulit,
intradermal (ID), injeksi ke dalam dermis tepat dibawah epidermis, intramuscular
(IM), injeksi ke dalam otot tubuh, intravena (IV), suntikan ke dalam vena. Beberapa
obat yang diberikan kedalam tubuh selain 4 tipe yang tertera di atas adalah epidural,
intratekal, intraoseosa, interaperitonial, intrapleura, intraarteri (Potter& Perry, 2005).
Istilah parenteral mempunyai arti setiap jalur pemberian obat selain melalui
enteral atau saluran pencernaan.Lazimnya, istilah parenteral dikaitkan dengan
pemberian obat secara intradermal, subkutan, intramuscular, atau intravena (Priharjo,
1993).
Rute parenteral atau injeksi mempunyai berbagai keuntungan dan kerugian,
Keuntungan rute parenteral yaitu rute ini digunakan jika rute oral
dikontraindikasikan, absorbsi lebih cepat daripada rute topikal atau oral, infus IV
memungkinkan pengantaran obat saat pasien dalam kondisi kritis atau terapi jangka
panjang, jika perfusi perifer buruk, rute IV lebih dipilih daripada injeksi (Potter&
Perry, 2005). Menurut Priharjo (1993) menyatakan bahwa pemberian obat secara
parenteral mempunyai aksi kerja lebih cepat dibandingkan secara oral. Adapun
kerugian dari pemberian obat parenteral meliputi risiko infeksi dan obat dengan
harga yang mahal, pasien berulangkali disuntik, rute SC,IM, ID di hindari pada
pasien yang cenderung mudah mengalami pendarahan, risiko kerusakan jaringan pada
injeksi SC, rute IM dan IV berbahaya karena absorbsinya yang terlalu cepat, rute ini
menimbulkan rasa cemas yang cukup besar terhadap keselamatan pasien, khususnya
anak-anak (Potter& Perry, 2005). Pemberian secara parenteral mempunyai berbagai
risiko antara lain merusak kulit, menyebabkan nyeri pada pasien, salah tusuk, dan
harga lebih mahal (Priharjo, 1993).
21
2.8. Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Bentuk pelayanan kesehatan di rumah sakit diantaranya terdiri dari : Instalasi
Gawat Darurat (IGD), Rawat Inap, dan Rawat Jalan (Poliklinik).
1. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
IGD merupakan suatu unit bagian dari RS yang melayani pasien yang dengan tiba-
tiba berada dalam keadaan gawat atau terancam nyawanya.Instalasi Gawat Darurat
harus mampu memberikan pelayanan dengan kualitas yang tinggi pada masyarakat
dengan perilaku medis akut (Departemen Kesehatan RI, 2003).
2. Rawat Inap
Menurut Suryawati (2006) rawat inap merupakan pelayanan terhadap pasien rumah
sakityang menempati tempat tidur perawatan dikarenakan keperluan observasi,
diagnosis, terapi, rehabilitasi medik, dan atau pelayanan medik lainnya. Secara umum
pelayanan rawat inap rumah sakit dibagi menjadi beberapa kelas perawatan yaitu :
VIP, Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, serta dibedakan atas beberapa ruang atau
bangsal perawatan. Pelayanan rawat inap merupakan pelayanan medis yang utama di
rumah sakit dan merupakan tempat interaksi antara pasien dan tenaga medis di rumah
sakit dalam jangka waktu yang lama. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pelayanan rawat inap di rumah sakit yaitu : penerimaan pasien, pelayanan medik
(dokter), pelayanan dan perawatan oleh perawat, pelayanan penunjang medik,
pelayanan obat di instalasi farmasi, pelayanan makan, serta administrasi keuangan
(Suryawati, 2006).
3. Instalasi Rawat Jalan (Poliklinik)
Instalasi rawat jalan merupakan baris terdepan dari pelayanan rumah sakit.Beberapa
poliklinik yang umumnya berupa ruang-ruang pemeriksaan dengan peralatan-
peralatan fisik sederhana.Apabila diperlukan pemeriksaan lanjutan, dapat dilakukan
22
di unit penunjang atau apabila diperlukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut
dapat berupa suatu tindakan yang cukup ringan (tanpa pembiusan), sehingga pasien
dapat dipulangkan. Apabila tindakan yang akan dilakukan cukup berat maka
dilakukan di ruangan khusus. Pelayanan pada pasien rawat jalan untuk pelayanan
administrasinya biasanya tidak sesulit rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 2005).
23
2.9. Landasan Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, dikemukakan landasan teori sebagai
berikut:
.
24
Sistem Pelayanan Kesehatan
Instalasi Gawat Darurat Unit Rawat Inap Unit Rawat Jalan
Kelas perawatan
VIP Kelas I
Peresepan
Pengobatan Rasional Indikator Penggunaan Obat WHO 1993
Indikator Peresepan
Indikator Perawatan
Indikator Fasilitas
Indikator Pelengkap
Rata-rata jumlah R/
obat
Persentase peresepan
obat generik
Persentase peresepan antibiotik
Persentase peresepan
injeksi
Persentase obat
esensial
Kelas II Kelas III
2.10. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep
25
Indikator Penggunaan Obat WHO 1993
Indikator Peresepan
Rata-rata jumlah obat
Persentase peresepan
obat generik
Persentase peresepan antibiotik
Persentase peresepan
injeksi
Persentase obat esensial
Kelas Perawatan
VIP Kelas I Kelas II Kelas III
Analisis
Deskriptif Uji Komparatif
One way ANOVA
Indikator Peresepan
2.11. Hipotesis
Berdasar teori dan kerangka konsep pemikiran di atas, maka ditetapkan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk
jumlah rata-rata obat dalam satu kali peresepan tidak terdapat perbedaan
diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP
2. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk
persentase peresepan obat dengan menggunakan nama generik terdapat
perbedaan diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP
3. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk
persentase peresepan obat jenis antibiotika tidak terdapat perbedaan diantara
kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP
4. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk
persentase peresepan injeksi dalam satu kali peresepan tidak terdapat
perbedaan diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP
5. Antar Poliklinik di Instalasi Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”, untuk
persentase obat yang diresepkan tercantum dalam DOEN tidak terdapat
perbedaan diantara kelas perawatan kelas I, II, III dan VIP
26
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan
menggunakan pendekatan cross sectional.Untuk mengetahui perbandingan
implementasi indikator peresepan WHO berdasarkan kelas perawatan di unit rawat
inap RSI “PDHI” Yogyakarta.
Pengumpulan data dengan cara menelusuri data peresepan obat pada pasien
kelas perawatan di unit rawat inappada periode September- November tahun 2011.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan berlangsung pada September-Novembr 2011 di RSI
Yogyakarta “PDHI”.
3.3.Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian
Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah kertas resep pasien unit
rawat inap RSI Yogyakarta “PDHI” yang masuk ke instalasi farmasi RSI Yogyakarta
“PDHI”.Data yang diambil berupa data sekunder.
3.3.2. Besar Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah resep pasien Unit Rawat InapRSI
Yogyakarta “PDHI” yang masuk ke instalasi farmasi RSI Yogyakarta “PDHI” yang
terdapat dalam populasi dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan purposive sampling yang
sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, bertujuan untuk mendapatkan data dengan
27
jumlah yang cukup representatif untuk dianalisis dan sesuai dengan kondisi populasi..
Pada penelitian setiap kelompok diambil 60 kertas resep sehingga total sampel adalah
240
Penelitian ini mengambil sampel berupa kertas resep 240 yang terbagi
menjadi 4 kelas perawatan yaitu kelas I, kelas II, kelas III dan VIP yang masuk ke
instalasi farmasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini mengambil 60 kertas resep
setiap poliklinik. Dari 60 kertas resep terbagi dalam tiga bulan yakni bulan
September, Oktober dan November sehingga setiap bulan peneliti mengambil 20
kertas resep untuk masing-masing kelas perawatan.
Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Resep pasien unit rawat inap RSI Yogyakarta “PDHI” yang masuk ke
instalasi farmasi RSI Yogyakarta “PDHI”
2. Resep ditulis untuk pasien kelas perawatan di Unit Rawat Inap VIP,
kelas I, kelas II, kelas III
3. Nama dan jenis obat dapat diidentifikasi
4. Resep ditulis pada Bulan September, Oktober dan November tahun
2011.
Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : Resep yang kurang
lengkap dan atau rusak.
Besar sampel diukur dengan menggunakan rumus :
n = besar sampel
Zα = deviat baku alfa
Zβ = deviat baku beta
S = simpang baku
X1 - X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna
28
Penghitungan sampel adalah sebagai berikut :
= 68,56 69
Berdasarkan dari hasil penghitungan di atas, didapatkan besar sampel sebesar
69.Karena penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, maka peneliti
menentukan sampel yang digunakan sebesar 240 kertas resep.Jumlah ini sudah
representatif dan melebihi jumlah perhitungan yang telah dilakukan.
Gambar 3. Bagan Besar Sampel
3.4. Variabel penelitian
Variable penelitian yang digunakan, dibagi dalam 2 variabel yaitu:
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah indikator peresepan WHO yang
berupa:
jumlah rata-rata obat dalam satu kali pertemuan
persentase peresepan obat dengan menggunakan nama generik
persentase peresepan antibiotika
persentase peresepan injeksi
29
240 kertas resep
VIP (60)
Kelas I (60) Kelas II (60)
Kelas III (60)
September: 20Oktober : 20November: 20
September: 20Oktober : 20November: 20
September: 20Oktober : 20November: 20
September: 20Oktober : 20November: 20
persentase obat yang diresepkan tercantum dalam daftar obat
esensial
Variabel bebas dalam penelitian adalah kelas perawatan (kelas I, kelas II,
kelas III dan VIP).
3.5. Definisi Operasional
1). Resep adalah lembar kertas berisi nama pasien, umur, jenis obat, jumlah, cara
pemakaian dan dosis yang ditulis oleh dokter dari pasien kelas perawatan di unit
rawat inap RSI “PDHI” Yogyakarta dan masuk ke instalasi farmasi.
2). Pasien adalah orang yang menjalani perawatan di kelas perawatan unit rawat inap
RSI “PDHI” Yogyakarta.
3). Kelas perawatan atau unit rawat inap adalah pelayanan terhadap pasien rumah
sakit dengan berbagai macam penyakit yang menempati tempat tidur perawatan yang
terdiri dari kelas I, kelas II, kelas III dan kelas VIP.
a) Kelas I adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang
diberi nama bangsal Madinah
b) Kelas II adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang
juga diberi nama bangsal Madinah
c) Kelas III adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang
diberi nama bangsal Ruhamah
d) VIP adalah kelas perawatan yang ada di rawat inap RSI Yogyakarta yang
diberi nama bangsal Arofah
30
4). Obat generik adalah obat yang diproduksi dan diberi nama berdasarkan nama yang
diberikan oleh WHO yang dipakai secara International Non-proprietary Names.
Persentase perhitungan obat generik yang diresepkan dalam satu kali peresepan =
5). Obat esensial adalah obat-obat yang tercantum dalam DOEN 2008
Persentase perhitungan obat esensial dalam satu kali peresepan =
6). Antibiotika adalah obat jenis antibiotika yang diresepkan oleh dokter di kelas
perawatan unit rawat inap yang tercantum dalam DOEN 2008
Persentase perhitungan antibiotikadalam satu kali peresepan =
7). Injeksi adalah tindakan pemberian obat dengan menyuntikkan ke dalam jaringan
tubuh yang dilakukan oleh tenaga medis di RSI Yogyakarta “PDHI” pada kelas
perawatandi unit rawat inap kelas I, kelas II, kelas III, dan VIP.
Persentase peresepan injeksi dalam satu kali peresepan =
8). Implementasi adalah proses penerapan terlaksananya dan tercapainya suatu
kebijakan indikator peresepan yang terdiri dari rata-rata jumlah R/ obat per resep.
Persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase
peresepan injeksi, persentase peresepan obat esensial berdasarkan kelas perawatan di
Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI”
31
3.6. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Work sheet
Work sheet atau lembar kerja merupakan tabel yang telah peneliti
persiapkan secara matang sebelum pelaksanaan penelitian kami
laksanakan.Tujuannya adalah untuk memudahkan peneliti dalam
pengelompokan data dalam lembar kerja saat pengambilan data dilaksanakan.
2. Alat tulis
Alat tulis kami gunakan sebagai alat yang membantu dalam
memasukkan data ke dalam lembar kerja saat pengambilan data kami
laksanakan.
3. Kamera
Dalam penelitian ini, kamera digunakan untuk mendokumentasikan kertas
resep,sehinggamemudahkan kami untuk melakukan proses cross check.
3.7. Prosedur Penelitian
Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Menentukan masalah
b. Memilih lokasi penelitian
c. Melakukan studi pendahuluan
d. Menyusun proposal
e. Seminar proposal
2. Tahap Pelaksanaan
32
a. Izin penelitian
b. Mendapatkan kertas resep dari RS
c. Melakukan pengumpulan data
d. Melakukan pengolahan dan analisis data
3. Tahap Akhir
a. Menyusun laporan hasil penelitian
b. Seminar hasil penelitian
3.8. Tahap Penelitian
Tahap Penelitian2011 2012
5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
Penyusunan Proposal √ √ √
Pengajuan dan
seminar proposal√
Proses Perizinan √ √
Pengambilan data √
Pengolahan data dan
penyusunan laporan
penelitian
√ √ √
Seminar hasil
penelitian√
33
3.9. Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data diambil dengan teknik purposive sampling.Dengan
ini diharapkan penelitian ini mendapatkan data dengan jumlah yang cukup
representative untuk dianalisis dan menggambarkan kondisi seluruh populasi.
Penelitian ini mengambil sampel berupa kertas resep 240 yang terbagi
menjadi 4 kelas perawatan yaitu kelas I, kelas II, kelas III dan VIP yang masuk ke
instalasi farmasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini mengambil 60 kertas resep
setiap poliklinik. Dari 60 kertas resep terbagi dalam tiga bulan yakni bulan
September, Oktober dan November sehingga setiap bulan peneliti mengambil 20
kertas resep untuk masing-masing kelas perawatan.
Kertas resep yang diambil adalah kertas resep teratas sesuai jumlah dan kelas
perawatan yang dibutuhkan. Saat pengambilan data, penelitian ini menggunakan alat
bantuwork sheet yang telah dipersiapkan sebelumnya, sehingga dapat memudahkan
peneliti dalam proses memasukkan data. Selain ini peneliti juga mendokumentasikan
kertas resep dengan bantuan kamera untuk memudahkan dalam proses cross check.
3.10. Analisis Data
Analisis dilakukan setelah semua data telah terkumpul.Pengolahan dan
analisis data dengan menggunakan program komputer).Langkah-langkah analisisnya
sebagai berikut (Dahlan, 2009):
1. . Analisis univariat
Analisis univariat atau analisis persentase dilaksanakan untuk
menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel bebas
(independen) maupun variabel terikat (dependen).Data dari analisis univariat
ini dibahas secara deskriptif.
34
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah hubungan yang terjadi yang menyangkut
hanya dua variabel.Dalam hal ini, hubungan yang terjadi adalah antara sebuah
variabel dependen dan sebuah variabel independen.Analisis pada penelitian
ini adalah adakah perbedaan antara persentase indikator peresepan dengan
penelitian yang akann kami lakukan di RSIY PDHI.Uji statistik data pada
penelitian ini menggunakan skala numerik dengan uji One way ANOVA dan
Kruskal-Wallis karena jenis hipotesis asosiatifnya adalah komparatif numerik
tidak berpasangan.Uji Kruskal-Wallis digunakan apabila data penelitian
distribusinya tidak normal.
3.11. Etika Penelitian
3.11.1. Penelitian dilakukan dengan mengajukan permohonan ijin kepada Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia, RSI Yogyakarta “PDHI”
3.11.2. Semua informasi dan data yang diperoleh dari rekam medik hanya akan
digunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga kerahasiaannya.
35
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1 Jumlah Kertas Resep
Table1. Jumlah Sampel
BulanKelas Perawatan
JumlahVIP Kelas I Kelas II Kelas III
September 20 20 20 20 80Oktober 20 20 20 20 80November 20 20 20 20 80Jumlah 60 60 60 60 240
Dari tabel diatas diketahui sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berupa kertas resep sebanyak 240 buah yang terbagi ke dalam 4 kelas perawatan yaitu
VIP, kelas I, kelas II, kelas III dan terbagi rata menjadi tiga bulan pada bulan
September, Oktober, dan November. Pada Bulan September diambil 20 kertas resep
untuk masing-masing kelas perawatan, Bulan Oktober 20 kertas resep, dan Bulan
November 20 kertas resep.
4.1.2. Indikator Peresepan WHO 1993 PadaKelas VIP
Ada beberapa indikator dasar yang direkomendasikan oleh WHO 1993 yang
disebut indikator inti. Indikator inti yang dimaksud adalah indikator peresepan yang
terdiri dari rata-rata jumlah item obat per lembar resep, persentase obat yang ditulis
dengan nama generik,persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik, persentase
pasien yang mendapat injeksi dan persentase obat DOEN yang diresepkan.
Berdasarkan data yang diperoleh di kelas VIP pada Bulan September, Oktober,
November 2011 di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI”
didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar 4,15 R/ untuk persentase peresepan obat
36
generik, persentase peresepan antibiotik, persentase peresepan injeksi, dan persentase
peresepan obat dalam DOEN yang tercantum dalam diagram... di bawah ini.
Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat
generik sebesar 17,38%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 16,73%,
persentase injeksi sebesar 39,82%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar
6,78% disajikan dalam diagram diatas.
4.1.3. Indikator Peresepan WHO 1993 Pada Kelas I
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui hasil dari
persentase indikator WHO 1993 yaitu rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan,
persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase
peresepan injeksi, persentase peresepan obat dalam DOEN. Berdasarkan data yang
diperoleh di kelas I pada Bulan September, Oktober, November 2011 di Unit Rawat
37
Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI” didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar
3,58 R/ untuk persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik,
persentase peresepan injeksi, dan persentase peresepan obat dalam DOEN yang
tercantum dalam diagram... di bawah ini.
Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat generik
sebesar 32,38%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 16,44%, persentase
injeksi sebesar 57,94%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar 16,82% disajikan
dalam diagram diatas.
4.1.4. Indikator Peresepan WHO 1993 Pada Kelas II
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui hasil dari
persentase indikator WHO 1993 yaitu rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan,
persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase
peresepan injeksi, persentase peresepan obat dalam DOEN. Berdasarkan data yang
diperoleh di kelas II pada Bulan September, Oktober, November 2011 di Unit Rawat
38
Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI” didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar
3,30 R/ untuk persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik,
persentase peresepan injeksi, dan persentase peresepan obat dalam DOEN yang
tercantum dalam diagram... di bawah ini.
Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat generik
sebesar 38,07%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 15,84%, persentase
injeksi sebesar 54,24%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar 21,52% disajikan
dalam diagram diatas.
4.1.5. Indikator Peresepan WHO 1993 Pada Kelas III
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui hasil dari
persentase indikator WHO 1993 yaitu rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan,
39
persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik, persentase
peresepan injeksi, persentase peresepan obat dalam DOEN. Berdasarkan data yang
diperoleh di kelas III pada Bulan September, Oktober, November 2011 di Unit Rawat
Inap Rumah Sakit Islam Yogyakarta “PDHI” didapatkan rata-rata jumlah R/ sebesar
2,7 R/ untuk persentase peresepan obat generik, persentase peresepan antibiotik,
persentase peresepan injeksi, dan persentase peresepan obat dalam DOEN yang
tercantum dalam diagram... di bawah ini.
40
Penjelasan cara bikin graph diatas :
a. Klik diagram yang akan diedit, kemudian klik kanan.
b. Pilih edit data, nanti akan muncul 2 halaman ms word. Yang sebelah
kiri adalah gambar table, yang kanan adalah nilai nya. (Contoh : Hal
41).
c. Lihat parameter (XXX), dan angka 7 yang paling bawah. Ada seperti
panah kan?, kalau mau nambah jadi 5 batang tinggal klik tanda
panahnya trus tahan lalu geser ke kanan. Nanti dia nambah otomatis
batang & warna di diagramnya.
d. Klo tulisan ini ga kepake, hapus aja..
41
Persentase indikator WHO 1993 yang terdiri dari persentase obat generik
sebesar 82,415%, persentase peresepan obat antibiotik sebesar 20,21%, persentase
injeksi sebesar 37,95%, dan persentase obat dalam DOEN sebesar 51,88% disajikan
dalam diagram diatas.
4.2. Pembahasan
Berdasarkan pengolahan data dari setiap lembar kertas resep, diperoleh hasil
rata-rata kelima indikator. Kelima indikator yang diamati untuk setiap lembar kertas
resep, yaitu jumlah item obat yang diresepkan dalam satu kali peresepan, persentase
obat yang ditulis dengan nama generik, persentase obat antibiotik, persentase obat
injeksi, dan persentase obat DOEN yang diresepkan.
4.2.1.Rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan
Rata-rata jumlah item obat per lembar resep dari bulan September-November
yang terbesar adalah 4,15 pada kelas VIP dan paling kecil adalah 2,7 pada kelas
perawatan kelas III dengan total rata-rata untuk seluruh kelas perawatan yaitu 3,43.
Hasil penelitian WHO di Indonesia pada tahun 1990-1993 menunjukkan bahwa rata-
rata item obat yang diresepkan di Indonesia berjumlah lebih dari 3, sangat berbeda
42
dari negara-negara lain yang hanya berkisar 1,3-2 jenis obat (Yuniar dan Handayani,
2007).
Tingginya jumlah rata-rata obat dapat disebabkan oleh satu atau beberapa hal
berikut: adanya permintaan pasien yang mempengaruhi praktik penulis resep dan
adanya intensif financial yang mendukung polifarmasi. Terjadi kekurangan obat-obat
yang tepat secara terapetik, penulis resep kurang mendapat training terapetik atau
peralatan diagnostik yang layak.Dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak
diteliti. Besarnya rata-rata jumlah R/ obat yang diresepkan paling tinggi pada kelas
VIP karena pada kelas VIP lebih banyak dokter meresepkan suplemen-suplemen
seperti vitamin.
Rata-rata jumlah obat di RSIY PDHI adalah 3,4%yang hampir sama dengan
hasil penelitian WHO untuk negara berkembang yaitu 3,3%. Semakin tinggi kelas
perawatan, semakin tinggi rata-rata jumlah obat per resep , yang dibuktikan dengan
jumlah rata-rata terbesar pada kelas VIP dan terkecil pada kelas III. Dengan
menggunakan uji statistika kruskal wallis didapatkan nilai p= 0,004 (p>0,05) yang
berarti terdapat perbedaan yang signifikan secara statistika pada rata-rata jumlah item
obat yang diresepkan di masing-masing kelas perawatan.
4.2.1.Persentase peresepan obat generik
Persentase obat yang ditulis dengan nama generik dari seluruh item obat yang
diresepkan selama bulan September-November paling tinggi adalah pada kelas III
yaitu sebesar 82,415% dan paling rendah pada kelas VIP yaitu 17,38% dengan rata-
rata 42,56 yang jauh lebih kecil dibanding dengan data WHO pada tahun 1993
Semakin tinggi kelas perawatan, semakin rendah penggunaan obat
generik.Pada kelas VIP penggunaan generik hanya 17.4%.Obat generik banyak
diresepkan di kelas III sebesar 82,4%. Dengan kondisi seperti ini ada beberapa
kemungkinan yang terjadi antara lain karena pada pasien kelas III kebanyakan berasal
dari pengguna layanan jamkesmasdan berdasar kebijakan penggunaan obat generik di
RS bahwa pasien rawat inap kelas III harus memakai obat generik (Depkes RI, 2010).
Menurut PeraturanMenteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
43
Hk.02.02/Menkes/068/I/2010 BAB II pasal 2 dan 4 BAB II Pasal 2 tertulis bahwa
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Pemerintah Daerah wajib menyediakan
obat generik untuk kebutuhan pasien rawat jalan dan rawat inap dalam bentuk
formularium. Pada BAB II pasal 4 ayat 1 tertulis bahwa dokter yang bertugas di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi
semua pasien sesuai indikasi medis. Pada BAB II pasal 4 ayat 2 tertulis bahwa dokter
dapat menulis resep untuk diambil di Apotek atau diluarfasilitas pelayanan kesehatan
dalam hal obat generik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010).
Pemerintah melalui Ditjen Bina Penggunaan Obat Rasional terus berupaya
meningkatkan penggunaan obat generik karena penggunaan obat generik sangat
bergantung pada peraturan pemerintah dan upaya penegakan peraturan tersebut.
Dengan menggunakan uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan yang signifikan secara
statistika peresepan obat generik pada masing-masing kelas perawatan p=0,000
(p>0,05).
4.2.2.Persentase peresepan obat antibiotik
Persentase pasien yang mendapat antibiotik paling tinggi adalah pada kelas III
sebesar 20,21% dan yang paling rendah adalah pada kelas II 15,84% dengan rata-rata
penggunaan antibiotik 17,3%, namun perbedaannya tidak bermakna secara signifikan
(p=0,989). Dengan demikian presensate penggunaan antibiotik tidak berbeda antara
kelas perawatan.
Penelitian WHO: penggunaan antibiotik dinegara berkembang berkisar antara 25%-
40%. Penggunaan antibiotik di negara berkembang cenderung tinggi karena adanya
tingkat infeksi yang tinggi dan disebabkan oleh budaya kepercayaan masyarakat
tentang antibiotik.Pemberian antibiotik tidak berdasarkan dari kelas perawatan,
namun berdasar indikasi pasien yang mengalami infeksi.
4.2.3.Persentase peresepan injeksi
44
Persentase penggunaan injeksi paling tinggi terdapat pada kelas I 57,94% dan
paling rendah pada kelas III 37,9% dengan rata-rata penggunaan injeksi di RSIY
PDHI adalah 47,48%. Penggunaan injeksi di RSIY PDHI cukup tinggi, dibanding
data WHO injeksi di gunakan di Indonesia sebesar 18%.Banyaknya injeksi di RSIY
PDHI kemungkinan karena data diambil dari pasien rawat inap yang memerlukan
obat per injeksi. Terdapat perbedaan signifikan antara kelas perawatan (p=0.034).
Perbedaan antara masing-masing kelas perawatan yang terbesar pada kelas I
kemungkinan disebabkan adaaya perbedaan indikasi dari pasien.
4.2.4.Persentase peresepan obat dalam DOEN
Persentase item obat yang termasuk dalam DOEN dengan rata-rata persentase
obat esensial adalah24,25%, lebih rendah dari penelitian WHO 47%. Dengan rata-rata
Di kelas VIP penggunaanya hanya 6.8 %.Presentase tertinggi di kelas III, namun
presentasenya hanya 51,9%. Dengan demikian semakin tinggi kelas perawatan,
semakin rendah persentase penggunaan obat esensial.
Terdapat perbedaan signifikan peresepan obat esensial (p=0,000) antara kelas
perawatan.Data penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat peresepan obat esensial
masih rendah.Berdasarkan kebijakan pemerintah tentang penggunaan obat-obat an
esensial dengan nama generik untuk pasien rawat jalan ataupun rawat inap obat
esensial seharusnya digunakan tanpa memandang kelas perawatan (Depkes RI, 1989).
Adanya kebijakan tentang penggunaan obat esensial yang telah diatur oleh
pemerintah dan tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
791/MENKES/SK/VIII/2008 pada point ketiga, keempat, dan kelima sehingga antar
keduanya berusaha meresepkan obat esensial dalam kadar yang sama. Point ketiga
menyebutkan bahwa Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat
terpilih yang paling dibutuhkan dan yang harus tersedia di Unit Pelayanan Kesehatan
sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. Pada point keempat dinyatakan bahwa
penerapan DOEN dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan,
45
kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya
guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk
memperluas, memeratakan, dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Point kelima menyatakan bahwa penerapan DOEN harus dilaksanakan
secara konsisten dan terus menerus di semua unit pelayanan kesehatan (Depkes,
2008).Dengan adanya kebijakan tentang penggunaan obat esensial yang telah diatur
pemerintah ini seharusnya tidak terdapat perbedaan penggunaan obat esensial baik di
kelas perawatan kelas I, kelas II, kelas III maupun VIP.
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari hasil penelitian di RSIY PDHI Yogyakarta dengan meneliti presentase
peresepan pada kertas resep sebanyak 240 lembar selama bulan September-November
dapat disimpulkan :
1 Pada penelitian ini rata-rata jumlah obat per R/ adalah 3,3
2 Rata-rata penggunaan generik dan esensial rendah (generik 42.6% dan esensial
24.3%). Pelaksanaan penggunaan obat generik ini di utamakan di rumah sakit
pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta juga diwajibkan untuk
menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan pasien
berobat jalan dan rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 1989).
3 Rata-rata penggunaan injeksi cukup tinggi (47.5%)
46
4 Rata-rata penggunaan antibiotik (17.3%)
5 Semakin tinggi kelas perawatan, semakin rendah presentase penggunaan obat
generik dan obat esensial
6 Tidak terdapat perbedaan presentase pemberian injeksi antara kelas perawatan
7 Terdapat perbedaan presentase penggunaan antibiotika antara kelas perawatan
yang tidak meningkat sesuai kelas perawatan namun lebih pada indikasi pengobatan
5.2. Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, dapat
dikemukakan hal-hal berikut ini :
1. Sampel dapat diperbesar dengan melibatkan lebih banyak lagi rumah sakit baik
pemerintah maupun rumah sakit swasta.
2. Untuk penelitian serupa perlu dipantau pula pelayanan resep di instalasi farmasi
dan apotek yang ada untuk melengkapi penelitian ini dengan informasi mengenai
kesesuaian pilihan meresepkan obat dengan penulisan resep yang sebenarnya.
3. Mengingat bahwa para dokter umumnyamasih berkeyakinan bahwa khasiat obat
generik lebih rendah daripada obat non generik. Sehingga penggunaan obat
generik di kelas perawatan kelas III masih banyak digunakan daripada di kelas
perawatan VIP. Lebih baik lagi jika penelitian ini melibatkan secara langsung
dokter yang meresepkan obat sehingga sekaligus dapat memperbaiki pengalaman
mereka dalam menulis resep.
4. Penulis mengharapkan agar dapat dilakukan metode lain sehingga dapat
47
membandingkan hasil yang didapatkan.
5. Penulis mengharapkan agar terdapat penelitian selanjutnya dengan meneliti
indikator WHO yang lainnya, seperti indikator perawatan, indikator fasilitas dan
indikator pelengkap.
6. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan evaluasi sebagai upaya dalam
sosialisai tentang penggunaan obat rasional kepada seluruh unsur yang terlibat
terutama pasien, penulis resep dan pengelola obat harus terus ditingkatkan agar
kerasionlan obat dapat mengalami perkembangan kearah yang lebih baik.
7. Mengingat pengaruh positif pasien terhadap peresepan obat generik, maka perlu
dipasang poster di tempat-tempat strategis RSIY PDHI untuk mengingatkan
pasien agar selalu meminta obat generik.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1991, Apa yang Diketahui Tentang Obat, Cetakan ke-2, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Aswapokee, N., Vaithayapichet, S., Heller R,.Pattern of antibiotic use in medical
wards of University Hospital Bangkok, Thailand, Reu. Infect. Dis. 1990;12 :
136-41.
Brudon, P., Rainhorn, J.D., Reich, M.R., 1999. Indicators for Monitoring National
Drug Policies (2nd ed.). WHO: M.Renevier.
Dahlan, M.S., 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi 4. Jakarta:
Salemba Medika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Menteri Kesehatan Indonesia Jakarta: Indonesia.
48
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2005. Sistem Kesehatan Nasional.
Jakarta: Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006a. Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 332 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Miskin, Jakarta: Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.Daftar Obat Esensial Nasional.
Menteri Kesehatan Indonesia Jakarta: Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban
Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah.Menteri Kesehatan Indonesia Jakarta: Indonesia.
Eric, J., 1998. Are generic drugs appropriate substitutes for brand-name drugs?- No.
ACSH vol. 10:1.
Greenhalgh, T., dan Gill, P., 1997.Pressure to prescription.Involves a complex
interplay of factors.BMJ, 315 : 166-170.
Koesnandar, P., 2005, Penggunaan Obat Generik Pada Pasien Gakin di RSUD DR.
Murjani Kotawaringin Timur, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas
Gajah Mada.
Kurniawan, A., 2009, Pola Peresepan Obat Migrain pada Pasien Rawat Jalan di
Poliklinik Saraf RSUD Sragen Periode 1 Januari 2007-31 Desember 2008,
49
Skripsi, Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Indonesia.
Kuntjoro, P., Suprihanto, J., Danu, S.S., Pola Pemilihan Obat Generik dan Obat non
Generik pada Berbagai Profesi dan Tempat Kerja Dokter di Kodya
Magelang, JMPK 2000;03:2,61-73.
Macfarlane, J, Holmes, W, Macfarlane, R & Britten, N., Influence of patients’
expectations on antibiotic management of acute lowes respiratory tract
illness in GP: Questionnaire study. BMJ 1997;315: 166-170
Madhavan, S, Amonkan, MM, Elliot, D, Burke, K & Gore, P.,The gift relationship
between pharmaceutical companies and physicians: an exploratory survey, J
Clin Pharm Ther 1997;22 (3): 207-215.
McGettigan, P, Golden, J, Fryer, J, Chan, R, Freely, J., Prescibers Prefer people : The
source of information used by doctors for prescribing sugest that medium is
more important than message. Br J Clin Pharmacol 2001;51:2, 184-189.
Ningrum, T.I.K., 2009, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Berdasar Kriteria Gyssens
Pasien Rawat Inap Kelas III di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Kariadi Periode Agustus-Desember 2008.
Notoatmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Potter, P.A., Perry, A.G., 1997.Fundamental of Nursing Volume 1 (4nd ed). Asih, Y
2005 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta.
Priharjo, R, 1993. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. Jakarta: EGC.
50
Quick, JD., Hume, ML., Ranking J.R; O’Corner RW .,1997. Managing Drug Supply.
Kumarian Press: West Hartford.
Roughead, EE, Harvey, KJ, Gilbert, AL., 1998: Commersial detailing techniques
used by pharmaceutical representatives to influence prescribing. Aust NZJ
Med. 28(3): 306-310.
Santoso, B., 2001. Drug Benefits and Risks.British Library, London.
Santoso, B., 1996. Hambatan Pelaksanaan Kebijakan Obat Generik dan Beberapa
Upaya Pemecahannya.Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan
Obat,Universitas Gajah Mada.
Santosa, B., dan Suryawati, S., 1988, Epidemiologi Pemakaian Obat dan Peranannya
dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan, Berkala Ilmu Kesehatan
no. 3, pp 77-85.
Setiabudy, R., 2008. Antimikroba. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5,
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, FKUI Jakarta: Indonesia.
Shapiro, J.P., Schultz, S., 2001.Prescriptions: How your doctor makes the choice.
http:/www.usnews.com:80/usnews/issue/010219/nycu/drugs.htm.
Shaughnessy, AF & Slawson, DC 1996: Pharmaceutical representatives. BMJ 312:
1494.
Soumerai, S.B., 1988. Factors influencing prescribing.Aust J Hosp Pharm 18
Suppl(3) : 9-15.
51
Sugiyono, 2000.Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta
Suryawati, 2006.Penyusunan indikator kepuasan pasien rawat inap rumah sakit di
Propinsi Jawa Tengah,JMPK, 9:4.
Suyati, E., 2004, Upaya Peningkatan Penggunaan Obat Generik di Rawat Inap Kelas
III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Tesis , Program Pasca Sarjana,
Universitas Gjah Mada.
Syamsinar, 1999. Pola Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas Dalam Masa
Krisis Moneter di Kelurahan Persiapan Tamanroya, Tamalatea, Jeneponto,
Sulawesi Selatan, Skripsi, Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran,
Universitas Gajah Mada.
Tjay, T.H., K., Obat-Obat Penting, Edisi V, Jakarta: Penerbit PT.Elex Media, 2001:
488-533.
Ulfah, M.N., 2002, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik di
Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito, Tesis, Program Pasca Sarjana,
Universitas Gajah Mada.
Wazana, A., 2000 : Physicians and the pharmaceutical industry: Is a gift ever just a
gift? JAMA 283:3, 373-80.
WHO, 1988, Guideline Developing National Drug Policies, WHO, Geneva.
WHO, How to Investigate Drug Use in Health Facilities, WHO/DAP 93.1
(http: // dcc2.bumc.bu.edu//prdu//session-guides/problem_of_irrational_drug_use)
52
Wolff, M.J., 1993. Use and misuse of antibiotics in Latin America. Clinical Infectious
Disease, 17(Suppl 2):346.
Yusrizal, 2006, Evaluasi Biaya Pelayanan Kesehatan Gakin di RSU Panembahan
Senopati Bantul dan RSU Wates Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2004, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.
53