DATA PBL

5
Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah dan diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program sektor pendidikan yang diakui cukup sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996, sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen tahun 1993 menjadi 80 persen tahun 2002 (Oey-Gardiner, 2003). Tetapi dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena dalam sektor pendidikan. Kasus tinggal kelas, terlambat masuk sekolah dasar dan ketidakmampuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Kasus putus sekolah yang juga banyak terjadi terutama di daerah pedesaan menunjukkan bahwa pendidikan belum banyak menjadi prioritas bagi orang tua. Rendahnya prioritas tersebut antara lain dipicu oleh akses masyarakat terhadap pendidikan yang masih relatif kecil, terutama bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak mereka untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Selain itu, ujian akhir sekolah dianggap tidak dapat menjadi ukuran kemampuan murid. Nilai rata-rata ujian akhir yang rendah seringkali diikuti oleh persentase kelulusan yang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah 6. Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus (Oey-Gardiner, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ujian akhir bukanlah satu-satunya alat untuk menyaring kelulusan murid. http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php? option=com_content&task=view&id=700&Itemid=700

description

aaaaaaaaa

Transcript of DATA PBL

Page 1: DATA PBL

Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah dan diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program sektor pendidikan yang diakui cukup sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996, sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen tahun 1993 menjadi 80 persen tahun 2002 (Oey-Gardiner, 2003).

Tetapi dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena dalam sektor pendidikan. Kasus tinggal kelas, terlambat masuk sekolah dasar dan ketidakmampuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Kasus putus sekolah yang juga banyak terjadi terutama di daerah pedesaan menunjukkan bahwa pendidikan belum banyak menjadi prioritas bagi orang tua. Rendahnya prioritas tersebut antara lain dipicu oleh akses masyarakat terhadap pendidikan yang masih relatif kecil, terutama bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak mereka untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi. 

Selain itu, ujian akhir sekolah dianggap tidak dapat menjadi ukuran kemampuan murid. Nilai rata-rata ujian akhir yang rendah seringkali diikuti oleh persentase kelulusan yang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah 6. Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus (Oey-Gardiner, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ujian akhir bukanlah satu-satunya alat untuk menyaring kelulusan murid.  

http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=700&Itemid=700

erbicara mengenai pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia, adalah topik pembcaraan yang tidak pernah selesai dibahas. Sebab masalah pendidikan adalah masalah yang fundamental dan terkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk sumberdaya manusia Indonesia seutuhnya.

Saat ini tingkat akses pendidikan tinggi di Indonesia lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tengara lainnya.Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru 4,8 juta orang. Dari 4,8 juta mahasiswa bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju.

Data lain menunjukkan bahwa Gross Enrollment Ratio (GER) Indonesia pada tahun 2010 di tingkat pendidikan dasar dan menengah setara dengan negara berkembang lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, GER di tingkat tinggi Indonesia lebih rendah, Indonesia berada di tingkat 14,6% sementara Malaysia (28,3%), Thailand (35,3%) dan Singapura (33,7%).

Page 2: DATA PBL

Tinggi rendahnya Gross Enrolment Ratioberhubungan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebuah negara. PBD per kapita di tahun 2010  Indonesia sebesar USD 4.310 jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia (USD 15.116), Thailand (USD 8.655), dan Singapura (USD 57.596).

Pernyataan di atas, dikukuhkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Walter McMahon, seorang Profesor Ekonomi dan Profesor Pendidikan Emeritius di Universitas Illinois, menyatakan bahwa jumlah lulusan sarjana di sebuah negara berkembang mempunyai dampak yang sangat cepat dan dapat diukur secara statistik pada area-area tertentu di dalam masyarakat, termasuk tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Dalam rangka menjawab tantangan ini, Putera Sampoerna Foundation melalui salah satu program pendidikannya yang bernama Koperasi Siswa Bangsa, bekerjasama dengan Vittana untuk memberikan fasilitas program bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa tingkat akhir yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena masalah finansial.Vittana adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dari Seattle, Amerika Serikat yang memberikan pelayanan bantuan biaya pendidikan menggunakan media internet kepada siswa-siswi dari negara berkembang.

Putera Sampoerna Foundation percaya bahwa pendidikan merupakan kunci untuk membangun masyarakat Indonesia dan optimis atas dukungan positif dari mitra, sehingga  dapat memberdayakan lebih banyak pelajar Indonesia berprestasi untuk mengenyam dan menyelesaikan pendidikan tingginya.

Kerjasama Putera Sampoerna Foundation dan Vittana di proyek awal ini menargetkan pemberian bantuan biaya pendidikan kepada 100 mahasiswa tingkat akhir yang sedang berkuliah di universitas, baik nasional dan swasta, di Indonesia dan diutamakan kepada mahasiswa yang mengambil jurusan Ekonomi, Bisnis dan Teknik.

Bantuan biaya pendidikan yang diterapkan oleh Vittana, melalui Koperasi Siswa Bangsa, adalah bantuan pendidikan dalam bentuk pinjaman tanpa agunan kepada siswa-siswi Indonesia tingkat akhir yang ingin menyelesaikan pendidikan tingginya namun terkendala oleh masalah finansial. Pemberian bantuan biaya pendidikan ini sudah termasuk uang kuliah, buku dan keperluan riset. Setelah menyelesaikan kuliah, penerima bantuan biaya pendidikan harus memberikan kontribusi kembali setelah 6 bulan bekerja.

Melalui bantuan biaya pendidikan ini, Putera Sampoerna Foundation dan mitra berharap akan lebih banyak pelajar – pelajar berbakat dapat meraih mimpi mereka dan menjadi pemimpin masa depan bangsa ini.

http://www.sampoernafoundation.org/?q=id/news/tantangan-dan-solusi-pendidikan-tinggi-di-indonesia

Pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37 persen), berkurang

Page 3: DATA PBL

sebesar 0,52 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar 28,59 juta orang (11,66 persen).

Selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,18 juta orang (dari 10,51 juta orang pada September 2012 menjadi 10,33 juta orang pada Maret 2013), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,35 juta orang (dari 18,09 juta orang pada September 2012 menjadi 17,74 juta orang pada Maret 2013).

Selama periode September 2012-Maret 2013, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tercatat mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2012 sebesar 8,60 persen, turun menjadi 8,39 persen pada Maret 2013. Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan menurun dari 14,70 persen pada September 2012 menjadi 14,32 persen pada Maret 2013.

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 73,52 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2012 yang sebesar 73,50 persen.

Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, diantaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe, dan bawang merah. Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya perumahan, listrik, pendidikan, dan bensin.

Pada periode September 2012-Maret 2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan penurunan. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

http://www.bps.go.id/?news=1023