Case Spondilitis TB

27
Case Report Session Spondilitis Tuberkulosa OLEH : Putri Yuriandini Yulsam 0910313225 PRESEPTOR dr. Yahya Marpaung, Sp. B BAGIAN BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2014

description

case

Transcript of Case Spondilitis TB

Page 1: Case Spondilitis TB

Case Report Session

Spondilitis Tuberkulosa

OLEH :

Putri Yuriandini Yulsam 0910313225

PRESEPTOR

dr. Yahya Marpaung, Sp. B

BAGIAN BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2014

Page 2: Case Spondilitis TB

BAB 1

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Abdul Haris

Umur : 56 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Status Pernikahan : Menikah

Alamat : Muaro Bungo

No. RM : 85.93.20

Tanggal Masuk : 21 Maret 2014

II. ANAMNESIS

Keluhan utama

Nyeri pada punggung bagiaan bawah sejak lebih kurang 2 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri pada punggung bagian bawah sejak lebih kurang 3 bulan SMRS. Nyeri

dirasakan menjalar ke kedua tungkai, nyeri disertai dengan kelemahan pada kedua

tungkai. Nyeri bertambah berat dengan pergerakan dan berkurang jika tidak bergerak.

Riwayat trauma ada, tidak jelas. Riwayat kebas pada tungkai tidak ada, riwayat

kesemutan pada tungkai tidak ada, BAB dan BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien pernah dirawat di RS Muaro Bungo beberapa kali, tapi tidak ada perbaikan

dan pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang

- Riwayat penyakit paru sebelumnya (-)

- Riwayat meminum obat 6 bulan sebelumnya (-)

- Riwayat batuk-batuk berdahak (-)

ii

Page 3: Case Spondilitis TB

- Riwayat DM (-)

- Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat penyakit keluarga

- Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit seperti ini

- Tidak ada anggota keluargaa menderita batuk-batuk lama dan meminum obat 6

bulan.

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos Mentis Cooperative

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Suhu : 37 °C

Pernapasan : 20 x/menit

Kulit : Warna sawo matang, turgor kulit baik

Rambut : Warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut

Kepala : Normocefal, deformitas (-)

Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Telinga : Sekret (-), deformitas (-)

Hidung : Sekret (-), deformitas (-)

Tenggorokan : Tidak ada kelainan

Gigi dan mulut : Tidak ada kelainan

Leher : JVP 5-2 cm H20, Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)

Jantung : Irama jantung reguler, Bising (-), Gallop (-)

Paru : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

Abdomen : Distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal.

Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah: Status lokalis

Punggung : Status lokalis

iii

Page 4: Case Spondilitis TB

b. Status Lokalis

Punggung:

Inspeksi : benjolan setinggi L4-L5

Ekstremitas bawah:

Sensorik : dalam batas normal

Motorik : 5 5 5 5 5 5

3 3 3 3 3 3

Refleks fisiologis : ++ ++

++ ++

Refleks patologis : - -

- -

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb : 7,5 g/dl

Ht : 23 %

Leukosit : 8.100/ mm3

Trombosit : 543.000/ mm3

V. DIAGNOSIS

Spondilitis Tuberkulosa

VI. TATALAKSANA

IVFD RL : D5% = 1:1

Ranitidin 2x1

Paracetamol 2x1

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : bonam

iv

Page 5: Case Spondilitis TB

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENDAHULUAN

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis

tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif

oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan

infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang

pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi,

sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.1

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan

sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan

sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari

seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan

pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara

wanita dan pria.

Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang

pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai korpus vertebra,

tetapi jarang menyerang arkus vertebra.2

2.2 ETIOLOGI

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis

di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakteriumn tuberkulosis tipik

(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium

tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra

torakal bawah dan lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari

suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson

pada vena paravertebralis.

v

Page 6: Case Spondilitis TB

2.3 PATOFISIOLOGI

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi

berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.

Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan

perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus

intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini

akan menyebabkan terjadinya kifosis.

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang

fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum

longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke

berbagai daerah di sepanjang garis ligamen yang lemah.

Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis

dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat

dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal

sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat

trakea, esofagus atau kavum pleura.

Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks

setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan

fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul

paraplegia.

Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus

psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat

juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti

pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar

membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu:

1. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita

menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung

vi

Page 7: Case Spondilitis TB

selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan

pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal.

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra

serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6

minggu.

3. Stadium destruksi lanjut.

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk

massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), .yang terjadi

2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk

sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang

baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus

vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis.

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,

tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.

Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis

tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih

kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan

paraplegia, yaitu:

1. Derajat I

Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas

atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf

sensoris.

2. Derajat II

Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih apat

melakukan pekerjaannya

3. Derajat III

Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia

vii

Page 8: Case Spondilitis TB

4. Derajat IV

Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi

dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi

secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena

tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan

langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.

Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh

karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh

pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi

tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan

dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler

vertebra.

Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai

paraplegia.

5. Stadium deformitas residual.

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium

implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan

vertebra yang masif di sebelah depan.

2.4 GAMBARAN KLINIS

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama

dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu

makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril)

terutama pada malam . hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak

sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries).

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah

belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat

adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala

abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau

viii

Page 9: Case Spondilitis TB

bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang

dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan

pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosis

2. Uji Mantoux positif

3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional

5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis

1. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru

2. Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus

vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara

korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.

3. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung

(bird's nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses

terlihat berbentuk fusiform

4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal kifosis

5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras

6. Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum

tulang

7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi

ix

Page 10: Case Spondilitis TB

8. Pemeriksaan MRI

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan

gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan

pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita

tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu:

1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap

2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral

3. Foto polos toraks posisi PA

4. Uji Mantoux

5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.7 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:

1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.

2. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat

karsinoma prostat.

3. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.

4. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.

5. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.

6. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.

7. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.

8. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).

9. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier, 2004).

10. Spondilolisthesis

Spondylolisthesis merupakan suatu pergeseran ke depan satu korpus

vertebra bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya

terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip)

diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi.

Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau displastik,

x

Page 11: Case Spondilitis TB

isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis. Degenerative spondylolisthesis

terjadi lebih sering terjadi seiring bertambahnya usia. Vertebrae L4-L5 terkena 6-10

kali lebih sering dibanding lokasi lainnya. Sakralisasi L5 sering terlihat pada

degenerative spondylolisthesis L4-L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali lebih sering

pada wanita dibanding pria, dan sering pada usia lebih dari 40 tahun. Peningkatan

aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas sehari-hari

mengakibatkan spondylolisthesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.

Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya pada orang tua dan

muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio

neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling

sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi

akibat stenosis resesus lateralis dan hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang

akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis

longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenik selama pergerakan adalah bersifat

multifaktorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang

dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan menegangkan

ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal

tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri

yang timbul

Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan radiologis.

1. Gambaran klinis

Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala

khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas

membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya.

Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri

spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak

sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan

umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak

berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.

xi

Page 12: Case Spondilitis TB

2. Pemeriksaan fisik

Postur paisen biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi

bersifat ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur.

Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.

Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri

umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang

nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai

timbul.

Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja

pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi

dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan

otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri

disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi

lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position).

Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu

membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa

pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin

dilakukan.

Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondylolisthesis

biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada

pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.

3. Pemeriksaan radiologis.

Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal

dalam diagnosis spondilosis atau spondylolisthesis. X ray pada pasien dengan

spondylolisthesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,

Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian

lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada

lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam

mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada

posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada

beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan

xii

Page 13: Case Spondilitis TB

dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars

interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.

Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi

stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto

polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah

dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif

akan terjadi.

CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik,

akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat

mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak ( diskus,

kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.

2.8 PENGOBATAN

Prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus

dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit

serta mencegah paraplegia.

Pegobatan terdiri atas:

1. Terapi konservatif berupa:

xiii

Page 14: Case Spondilitis TB

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memperbaiki keadaan umum penderita

c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak

dioperasi

d. Pemberian obat antituberkulosa

Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:

Isonikotinik hidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan

per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10

mg/kg berat badan.

Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.

Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.

Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-

anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah

terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan

maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang

dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama

9 bulan. INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan

dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea

diberikan kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH

+ Etambutol selama 9-18 bulan.

Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru adalah:

Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua

tahap, yaitu:

o Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300

mg dan Pirazinamid 1.500 mg..0bat diberikan setiap hari selama 2 bulan

pertama (60 kali).

o Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat

diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

xiv

Page 15: Case Spondilitis TB

Kategori 2

Untuk penderita baru BTA .(+) yang sudah pernah minum obat selama

lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal

yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:

o Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg,

Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg,

Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan

pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).

o Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol

1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan

(66 kali),

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

Keadaan umum penderita bertambah baik

Laju endap darah menurun dan menetap

Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang

Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi

penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih

memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold

abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh

karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat

tuberkulostatik.

Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.

Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

a.debridemen fokal

b.kosto-transversektomi

xv

Page 16: Case Spondilitis TB

c.debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikal

e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

lndikasi operasi

a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah

semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,

setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.

b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka

dan sekaligus debrideman serta bone graft

c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun

pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula

spinalis

Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis

mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan

operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

xvi

Page 17: Case Spondilitis TB

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kajian Diagnostik

Pasien seorang laki-laki usia 56 tahun datang ke RSUP. DR. M. Djamil

Padang dengan keluhan nyeri pad punggung bagian bawah sejak lebih kurang 3

bulan SMRS. Nyeri dirasakan menjalar ke kedua tungkai, disertai dengan

kelemahan pada kedua tungkai. Nyeri bertambah berat dengan pergerakan dan

berkurang jika tidak bergerak. Riwayat trauma (+), namun mekanisme tidak jelas,

kebas pada kedua tungkai (-), kesemutan pada kedua tungkai (-), BAB dan BAK

normal.

Pada nyeri perut punggung dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding

seperti fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis, metastasis

tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat karsinoma prostat,

Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul, poliomielitis dengan

paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis, skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan

tanda paralisis, Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh

kerangka, penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit,

infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis), proses yang

berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis, spondilolisthesis

Dari anamnesis didapatkan nyeri dirasa menjalar ke tungkai, disertai dengan

kelemahan pada kedua tungkai, bertambah berat dengan pergerakan dan

berkurang jika tidak bergerak, kebas dan kesemutan pada kedua tungkai tidak ada

sehingga, riwayat trauma ada, riwayat mengangkat beban berat ada, bab dan bak

normal.

Dari hasl pemeriksaan fisik umum didapat kondisi pasien dalam keadaan

normal. Dari hasil pemeriksaan fisik pada punggung didapatkan daerah L4-L5

tampak bengkak, refleks fisiologis pada kedua ekstremitas bawah normal, refleks

patologis tidak ada, dan gerak motorik pada kedua tungkai didapatkan 3.

Untuk membantu menegakkan diagnosis spondilitis tb pada pasien dengan

nyeri punggung bawah dapat dilakukan pemeriksaan seperti mantoux test, foto

xvii

Page 18: Case Spondilitis TB

thorax, foto polos vertebre, CT Scan dan MRI. Prognosis pada kasus ini Quo ad

vitam, quo ad functionam, dan quo ad sanationam adalah bonam.

xviii

Page 19: Case Spondilitis TB

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Spondilitis tuberkulosis.

Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.

Salter RB. 1999. Texbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. Editor:

Eric P Johnson. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.

Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hidalgo JA. 2008. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). (online)

http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview

xix