Bronko Pneumonia

download Bronko Pneumonia

of 12

description

bp

Transcript of Bronko Pneumonia

  • Lampiran I Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1537.A / MENKES/ SK/XII/ 2002 Tanggal : 5 Desember 2002

    BAB I PENDAHULUAN

    Arah kebijaksanaan dalam bidang kesehatan yang diamanatkan dalam

    ketetapan MPRRI NO.IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999/2004 salah satunya adalah meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai Usia Lanjut.

    Amanat tersebut dituangkan dalam undang-undang nomor 25 tahun 2000

    tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 - 2004 yang merupakan penjabarannya. Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan yang tercantum dalam PROPENAS adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, menurunkan, angka kesakitan, kematian dan kecacatan. Program pemberantasan penyakit infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita merupakan salah satu pemberantasan penyakit yang termasuk dalam PROPENAS.

    Di dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010

    (RPKMIS), masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan prilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia.

    Untuk dapat Mewujudkan hal tersebut diatas telah disusun pokok-pokok

    program pembangunan kesehatan yang salah satunya pokok program upaya kesehatan yang antara lain mencakup program penyakit menular dan imunisasi.

    Selain itu perlu dikembangkan pemberantasan penyakit menular dan

    penyehatan lingkungan secara terpadu berbasis wilayah melalui peningkatan surveilans, advokasi, kemitraan dan perencanaan, dan penganggaran, kesehatan terpadu (P2KT).

    Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan

    akut adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.

    Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984,

    bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan Penyakit ISPA di tingkat Global oleh WHO. Dalam pola tatalaksana tahun 1984 penyakit ISPA

  • Diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tingkat keparahan yaitu ISPA ringan ISPA sedang dan ISPA berat, Klasifikasi ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan dan tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan.. Dalam priode pra implementasi telah dilaksanakan 2 dua kali Lokakarya ISPA nasional, Yaitu tahun 1984 dan tahun 1988,. dalam perjalanannya, program pemberantasan penyakit ISPA telah mengalami beberapa perkembangan.

    Pada tahun 1988 WHO mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita

    ISPA. Dalam pola baru ini disamping digunakan cara diagnosis yang praktis dan sederhana dengan teknologi tepat guna juga dipisahkan antara tatalaksana penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan. Lokakarya Nasional III tahun 1990 diselenggarakan di Cimacan Jawa Barat, telah membahas tatalaksana penderita ISPA pola baru ini.

    Dalam lokakarya ini disepakati untuk menerapkan pola tatalaksana ini di

    Indonesia telah diadaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dengan penerapan pola baru ini maka sejak tahun 1990 pemberantasan penyakit ISPA menitik-beratkan atau memfokuskan kegiatannya pada penanggulangan pneumounia balita.

    Dalam upaya meningkatkan cakupan penemuan dan kualitas tatalaksana

    penderita pneumonia, telah diterapkan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di unit pelayanan kesehatan. Disamping itu pula dikembangkan audit kasus serta autopsy verbal untuk mengetahui kualitas dan dampak pemberian tatalaksana pada penderita pneumonia.

    Peningkatan pelaksanaan program P2 ISPA akan meningkatkan beban kerja

    program yang dengan sendirinya harus ditunjang dengan peningkatan dukungan sumber daya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung program yang tersedia baik APBN, dana kerja sama pemerintah RI dengan Organisasi Internasional, maupun sumber dana lainnya, seperti APBD I, APBD II , DAU dan bantuan serta pinjaman luar negeri harus dimanfaatkan sebaik baiknya.

    Sejalan dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU

    No 25 tahun Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempengaruhi upaya pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan baik di Tingkat pusat, propinsi, dan Kabupaten/Kota. Daerah otonom harus mempunyai kemampuan menentukan skala prioritas pembangunan didaerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan setempat dan mencari sumber-sumber pembiayaan disamping memperhatikan berbagai komitmen global, internasional, nasional.

    Dalam pelaksanaanya Program Pemberantasannya Penyakit ISPA perlu

    dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta masyarakat termasuk dunia usaha. Dalam rangka peningkatan sumber daya pendukung dan peningkatan pencapaian hasil upaya Program P2 ISPA maka perlu dirumuskan pedoman program yang mantap dan jelas. Buku ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi pelaksanaan Program pemberantasan ISPA untuk menanggulangi Pneumonia pada balita di Indonesia.

  • BAB II PENGERTIAN DAN KLASIPIKASI

    Sejak dilaksanakan Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita tahun 1990 sering timbul kerancuan dan kesimpang-siuran pemahaman antara ISPA dan Pneumonia. Untuk mencegah berlanjutnya kerancuan pemahaman tersebut maka dalam bab ini diupayakan untuk menjelaskan tentang ISPA dan Pneumonia secara rinci. A. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Pneumonia Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas, istilah ini merupakan padanan istilah bahasa inggris Acute Respiratory infection (ARI). Dalam Lokakarya Nasioanal ISPA tersebut terdapat dua pendapat berbeda, pendapat pertama memilih istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan pendapat kedua memilih istilah ISNA (Infeksi Saluran Napas Akut) Pada akhir Lokakarya diputuskan untuk memilih istilah ISPA dan sampai sekarang istilah ini yang digunakan. 1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

    Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

    2. Pneumonia

    Pnoumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya Pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkhus yang disebut bronkopneumonia. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA semua bentuk Pneomonia (baik Pneumonia maupun bronkopneumonia) disebut Pneumonia saja.

    B. Klasifikasi Penyakit ISPA

    a. Klasifikasi betuk dan kesukaran bernapas Kriteria atau entry untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah : balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu : - Pemeriksaan - Penentuan ada tidaknya tanda bahaya - Penentuan klasifikasi penyakit - Pengobatan dan tindakan

    Dalam penentuan klasifikasi dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok untuk umur 2 bulan -

  • ?? Untuk kelompok umur 2 bulan -
  • merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena alasan tersebut diatas maka penetapan etiologi Pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukan bahwa di negara berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9 % aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini Pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus. c. Faktor Resiko Pneumonia

    Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik yang meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat Pneumonia : a) Faktor resiko yang meningkatkan insiden Pneumonia :

    ?? Umur < 2 bulan ?? Laki-laki ?? Gizi kurang ?? Barat badan lahir rendah ?? Tidak mendapat ASI memadai ?? Polusi udara ?? Kepadatan tempat tinggal ?? Imunisasi yang tidak memadai ?? Membedung anak (selimut berlebihan) ?? Defisiensi Vitamin A ?? Pembarian makanan tambahan terlalu dini.

    b) Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian Pneumonia

    ?? Umur < 2 bulan ?? Tingkat sosio ekonomi rendah ?? Kurang gizi ?? Berat badan lahir rendah ?? Tingkat pendidikan ibu yang rendah ?? Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah ?? Kepadatan tempat tinggal ?? Imunisasi yang tidak memadai ?? Menderita penyakit kronis ?? Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian

    pengobatan yang salah.

  • BAB III SITUASI PEMBERANTASAN PENYAKIT ISPA DI

    INDONESIA

    A. Situasi Data tentang hasil kegiatan program hingga tahun 2000 dan data tentang morbilitas dan moralitas ISPA diperoleh dari hasil survei atau penelitian serta hasil pencatatan dan pelaporan baik yang dilaksanakan oleh program P2 ISPA maupun dari sektor terkait. 1. Data Mortalitas

    Berdasarkan SKRT tahun 1992 dibuat ekstrapolasi bahwa angka kematian pneumonia balita adalah 6/1000 balita. Hasil SKRT 1995 menunjukan bahwa 32,1% di Jawa-Bali dan 28 % di luar Jawa-Bali kematian pada umur dibawah satu tahun (bayi) disebabkan oleh penyakit sistem pernapasan dan pada anak umur 1-5 tahun (anak balita) 38,8 % di Jawa-Bali dan 33,3 % di luar Jawa-Bali disebabkan penyakit sistem pernapasan. Angka kematian ISPA dan Pneumonia pada balita tidak dilaporkan pada SKRT 1995, sedangkan penyakit sistem pernapasan mencakup jenis penyakit yang lebih luas dari pneumonia, Hasil perhitungan ektrspolasi menunjukan bahwa angka kematian balita akibat penyakit sistem pernapasan adalah 4,9/1000 balita.

    2. Data Morbiditas

    a. Prevalensi dan insidens Batuk dengan napas cepat.

    Dari survei Demografi Indonesia (SDKI) dilaporkan data tentang prevalensi dan insiden balita batuk dengan napas cepat. Batasan prevalensi dalam survei tersebut adalah persentase anak yang menderita batuk dengan napas cepat dalam dua minggu sebelum survei, sedang insiden adalah persentase anak yang menjadi batuk dengan napas cepat dalam kurun waktu dua minggu sebelum survei (penderita baru). Hasil survei menunjukan kelompok umur dengan prevalensi tinggi cenderung bergeser ke kelompok umur yang lebih muda. Sedangkan insiden menurun dengan angka yang kecil dari tahun 1997 dibandingkan dengan tahun 1994, seperti tampak pada tabel 1

  • Tabel 1.

    Data Prevalensi, insiden dan kelompok Umur yang mempunyai prevalensi tertinggi berdasarkan SDKI.

    Krakteristik 1991 1994 1997 Prevalens 9,8 % 10 % 9 % Insidens - 9 % 8% Kelompok umur dg prev. tertinggi

    12-23 bl 6-35 bl 6-11 bl

    b. Data Penemuan Penderita Pneumonia Balita

    Data cakupan penemuan penderita pneumonia balita dari tahun ke tahun tampak tidak menunjukan adanya peningkatan yang berarti, hal ini dapat dilihat pada grafik penemuan penderita pneumonia dari tahun 1995-2000. Penghitungan cakupan penemuan penderita balita pertahun sebelumnya berdasarkan tahun anggaran (april-maret), tetapi mulai tahun 2000 berdasarkan tahun kalender (januari-desembar).

    Grafik 1.

    Selama 5 tahun terakhir (1995/1996-1999/2000), cakupan penemuan penderita Pneumonia hanya berkisar antara 25% - 34%. Naik turunnya cakupan penemuan penderita tersebut bukan disebabkan karena turunnya kinerja penemuan penderita di sarana pelayanan kesehatan, namun lebih banyak disebabkan karena rendahnya kualitas sistem pencatatan dan kepatuhan pelaporan dari daerah (Provinsi) ke Pusat. Melihat situasi diatas, kinerja penemuan penderita pnemonia secara nasional masih jauh dari target yang diharapkan (86%). Dengan demikian untuk mencapai penurunan kesakitan dan kematian balita akibat Pnemonia sesuai dengan target program, perlu upaya ektra keras disamping meningkatkan intensitas penemuan dan kualitas tatalaksana disarana pelayanan kesehatan, yang tak kalah pentingnya adalah dukungan surveilans epidemilogi ISPA termasuk pencatatan dan pelaporan penderita Pneumonia di berbagai tingkatan administrasi kesehatan.

    B. Masalah ISPA dan Pnemonia

    1. Keterbatasan Data Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menentukan masalah ISPA dan Pneumonia di Indonesia adalah masih terbatasnya data yang sahih, dapat dipercaya dan mutakhir tentang penyakit ini. Hal ini disebabkan luas dan kompleksnya masalah ISPA yany merupakan kelompok penyakit dan beragamnya masyarakat dan geografi Indonesia. Disamping itu Program P2 ISPA adalah Program yang relatif baru. Secara umum diketahui bahwa penyakit ISPA dan Pneumonia dikalangan balita masih merupakan

  • masalah kesehatan penting di Indonesia. Dengan demikian sebagian data tentang ISPA masih ditentukan berdasarkan perkiraan atau ektrapolasi. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien disarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA.

    2. Masalah ISPA di Indonesia

    Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali per tahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sapai 6 kali setahun.

    3. Masalah Pneumonia di Indonesia

    WHO memperkirakan kejadian (insidens) Pneumonia dinegara dengan angka kematian bayi diatas 40 per 1.000 kelahiran hidup adalah 15%-20% per tahun pada golongan usia balita. Kejadian Pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10%-20% per tahun. Program P2 ISPA menetapkan angka 10% balita sebagai target penemuan penderita Pneumonia balita per tahun pada suatu wilayah kerja. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari penderita Pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat Pneumonia setiap tahunnya. Perkiraan angka kematian Pneumonia secara nasional pada Pelita V ialah 6 per 1000 balita atau berkisar 150.000 balita per tahun. Perkiraan tersebut didasarkan pada perhitungan ektrapolasi sebagai berikut. ?? Jumlah total populasi balita 23.300.000 (bayi= 4.300.000 anak balita=

    19.000.000) ?? Insidens Pneumonia pada balita 10% per tahun ?? Angka kematian bayi 60 per 1000 kelahiran hidup dan anak balita 10,6

    per 1000 anak balita ?? Proporsi kematian ISPA pada balita 30% Maka dapat dihitung a. Morbiditas Pneumonia : 10 % X 23.300.000 = 2.330.000 balita b. Mortalitas Pneumonia :

    ?? Bayi : 60/1000 X 4.300.000 X 30 % = 77.400 bayi ?? Anak balita : 10,6/1000 X 19.000.0000 X 30 % = 60.000 anak

    balita ?? Total (bayi dan anak balita) 77.400+60.000 = 138.000 balita ?? Angka kematian Pneumonia pd balita 138.000X1.000=5,9/1000->6/1000

    23.000.000

  • C. KECENDERUNGAN

    1. Kondisi ekonomi

    Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk miskin disertai dengan menurunnya kemampuan menyediakan lingkungan pemukiman yang sehat mendorong peningkatan jumlah balita yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnyan akan mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan Pneumonia pada balita.

    2. Kependudukan

    Jumlah penduduk yang besar mendorong meningkatnya jumlah populasi balita yang besar pula. Atau denmgan kata lain meningkatkan populasi sasaran program P2 ISPA sehingga berimplikasi terhadap membeng-kaknya anggaran, sarana dan peralatan yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah, akan menambah berat beban kegiatan pemberantasan penyakit ISPA.

    3. Geografi

    Sebagai daerah tropis Indonesia memiliki potensi daerah endemik beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA. Dengan demikian pendekatan dalam pemberantasan ISPA perlu dilakukan dengan mengatasi semua faktor resiko dan faktor-faktor lain yang mempe-ngaruhinya.

    4. Perilaku hidup bersih dan sehat.

    Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Perilaku hidup bersih dan sehat sangat dipengaruhi oleh budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin meningkatnya tingkat pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan balita agar tidak terkena penyakit ISPA. Yaitu melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat.

    5. Desentralisasi manajemen (UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999) Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada Kabupaten/Kota menyebabkan hubungan Kabupaten/Kota dengan Provinsi maupun Pusat tidak lagi hirarki (hubungan atasan bawahan). Implikasinya terdapat kecenderungan Kabupaten/Kota kurang disiplin memenuhi kewajiban pelaporan yang diminta dari atas. Akibatnya kecendrungan Kabupaten/ Kota tidak memberikan data secara rutin akan menjadi hambatan terhadap pencapaian sasaran pemberantasan penyakit ISPA.

    6. Lingkungan dan iklim global Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana transportasi dan populasi udara dalam rumah merupakan ancaman

  • kesehatan terutama penyakit ISPA. Demikian pula perubahan iklim global terutama suhu, kelembaban, curah hujan, merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA. Untuk tercapainya tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka salah satu upaya adalah dengan memperhatikan atau menanggulangi faktor resiko lingkungan.

  • BAB IV ARAH DAN KEBIJAKAN

    Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia balita, yaitu bayi (0 - kurang 1 tahun) dan anak balita (1 - kurang 5 tahun) dengan fokus penanggulangan pada penyakit pneumonia. Pemilihan kelompok ini target populasi program didasarkan pada kenyataan bahwa angka moralitas dan angka morbilitas ISPA pada kelompok umur balita di Indonesia masih tinggi. Disamping itu keberhasilan upaya Pemberantasan Penyakit P2 ISPA dapat mempunyai daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di indonesia. A. Tujuan

    1. Umum : Turunnya angka kesakitan dan kematian pneumonia sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.

    2. Khusus a) Turunnya angka kematian balita akibat pneumonia dari 5 per

    1000 balita pada tahun 2000 menjadi 3 per 1000 balita pada akhir tahun 2004

    b) Turunnya angka kesakitan balita akibat pneumonia dari 10 %-20% pada tahun 2000 menjadi 8%-16 % pada akhir tahun 2004.

    B. Target

    Direncanakan pada akhir tahun 2004 a) Cakupan penemuan penderita pneumonia balita sebesar 86 % dari

    perkiraan penderita pneumonia Balita b) Penderita pneumonia balita yang mendapat tatalaksana standard

    sebesar 63 % dari target cakupan penemuan penderita pneumonia balita.

    c) Proporsi Puskesmas yang melaksnakan Program P2 ISPA sekurang-kurangnya 90 %

    C. Kebijakan.

    Untuk mencapai tujuan program pemberantasan Penyakit ISPA balita maka dirumuskan kebijakan sebagai berikut : 1. Melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia balita sehingga

    masyarakat, mitra kerja terkait dan mengambil keputusan mendukung pelaksanaan penanggulangan pneumonia balita.

    2. Melaksanakan penemuan penderita melalui sarana kesehatan dasar (pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.

    3. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.

    4. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pneumonia balita serta faktor resikonya termasuk faktor-faktor resiko lingkungan dan kependudukan.

  • D. Strategi

    Rumusan umum strategi Pemberantasan Penyakit ISPA adalah seperti berikut : 1. Promosi penanggulangan pneumonia balita melalui advokasi,

    bina suasana gerakan masyakarakat. 2. Penurunan angka kesakitan diklakukan dengan upaya

    pencegahan atau penenggulangan faktor resiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman.

    3. Peningkatan penemuan penderita melalui upaya peningkatan perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan yang tepat (care seeking).

    4. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana.

    5. Peningkatan sistem survailans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi verbal dan pengembangan informasi kesehatan serta audit manajemen program.

    E. Prioritas Kegiatan

    Prioritas kegiatan Pemberantasan Penyakit ISPA ditujukan untuk mendukung kebijakan dan strategi yang telah diterapkan. Prioritas kegiatannya adalah sebagai berikut : 1) Promosi Penanggulangan Pneumonia Balita 2) Kemitraan 3) Peningkatan penemuan kasus 4) Peningkatan kualitas Tatalaksana Kasus ISPA 5) Peningktan kualitas Sumber Daya Manusia 6) Surveilans kesakitan dan kematian 7) Pemantauan dan Evaluasi 8) Pengembangan program P2 ISPA

    .