Bronko p Neo Moni

50
Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Saluran Pernafasan 16,17 Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O 2 ) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO 2 ) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru. Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam

description

Bronko p Neo Moni

Transcript of Bronko p Neo Moni

Page 1: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Pernafasan16,17

Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari

atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun

fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini

dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru.

Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi

sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi

(pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara

atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan

disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti

proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini.

Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut, faring,

laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.

Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering

disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus

alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.

Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai

konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus

Page 2: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ

yang bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus

terminalis, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.

Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan

sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai

percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus

subsegmental sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam

belas sebagai bagian yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan

yang ketujuh belas sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan

bronkiolus respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua

yang merupakan percabangan duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah

percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan bagian respirasi. Secara rinci dapat

dilihat pada gambar.

Page 3: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan.

2.2. Definisi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan

pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi

berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar

bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi

Page 4: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau

bronkiolitis.18,19

2.3. Morfologi Bronkopneumonia18

Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar

menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada

kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah

berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning,

dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai

4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang

terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat

di antara daerah yang terkena.

Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan

edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis

fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura,

tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila tidak

ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus

fibrosis.

Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi

bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam

eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang

diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.

Page 5: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

2.4. Etiologi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim

paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.20 Bakteri seperti Diplococus

pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus

influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium

tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus

sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas,

Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan

Mycoplasma pneumonia.5

Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia,

penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan

Pseudomonas aeruginosa.18 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar

organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan

organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan

bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.19

2.5. Patogenesis Bronkopneumonia19,21

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.

Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan

tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya

infeksi penyakit.

Page 6: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan

nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan

sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

2.5.1. tadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan

permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai

dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel

mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur

komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal

ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga

terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di

antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen

dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan

sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus

terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)

Page 7: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena

adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat

minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat

singkat, yaitu selama 48 jam.

2.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)

Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi

di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat

karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah

tidak lagi mengalami kongesti.

2.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)

Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga

jaringan kembali ke strukturnya semula.

Page 8: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

2.6. Epidemiologi Bronkopneumonia

2.6.1. Distribusi Bronkopneumonia

a. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang

Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima

penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit, dan

sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA

merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masing-

masing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator

derajat kesehatan masyarakat. 13

Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan

Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan

42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak

umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per 100.000

penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk dan

perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA 28%

artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.22

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada

perempuan (24%) daripada laki-laki (23%).12 Menurut hasil penelitian Taisir (2005)

di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan

menggunakan desain Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada

laki-laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).23

Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan Medan

Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional, diketahui bahwa kelompok umur

Page 9: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

>19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa (66,7%),

demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu 280 kasus

(65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate tertinggi adalah

pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).24

b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu

Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit sistem

pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan 42,6% di

Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di

sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.25

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan (25%)

lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi ISPA untuk kawasan

Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali adalah 23% dan kawasan KTI

(Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%.13

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada balita

berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut

adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan Kepulauan

Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah provinsi DI

Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%.3Profil Kesehatan

Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9 %) dan di kota Makasar

(29,47%).22

Page 10: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Determinan Bronkopneumonia

a. Faktor Host

a.1. Umur

ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di

negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan

kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga

kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian

karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah

Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.26

Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan

balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita

yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di

Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan

menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11

bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).23

a.2. . Jenis kelamin

Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat

terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan

determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau

dalam faktor risiko suatu penyakit.28

Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan

Page 11: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh

nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia

kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.29

a.3. . Status gizi

Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi

adalah kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap

pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi

kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan

aktivitasnya.31

Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan

melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur

(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).32

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk

terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara

gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat

pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak

dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita terhadap

infeksi.31

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.

Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

Page 12: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah

terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.31

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi

berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan

diperoleh nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang

dibandingkan gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan

tubuh, makin baik status gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil

risiko pneumonia.29

a.4. . Status imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan

angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat

dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap

merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama

pneumonia.33

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan

imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi

faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan

Page 13: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.31

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status

imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita

(p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status

imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.29

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi

campak berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur

9-59 bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak dibandingkan

yang telah diimunisasi campak.34

b. Faktor Agent

Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus

pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus

influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis.

Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur

seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides,

Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.5

Page 14: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan

penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang dirawat di

rumah sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita pneumonia dengan

bakteriemia dan pada 20% penderita pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62%

pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya

pada 32% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan 6% menderita pneumonia

non bakteriemia.35

Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan

menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan

pneumonia 20% dari seluruh penderita pneumonia, menggantikan stafilokokus

sebagai penyebab kedua yang paling sering. Pneumonia sebab gram negatif tetap

mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.35

c. Faktor Lingkungan Sosial

c.1. Pekerjaan Orang Tua

Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama

maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit

menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita

yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh

berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.30

Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280

(CI 95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami pneumonia

Page 15: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan 1,3 kali lebih besar pada bayi yang memiliki keluarga yang

berpenghasilan kurang (dibawah Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00)

dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan cukup (Rp.

510.000,00).4

c.2. Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko

yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat

pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak

yang menderita ISPA.2

Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu dengan

menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey), pendidikan

akhir ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA (p<0,05). Dilihat

dari pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak mengetahui istilah ISPA

(70%), tidak tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu adanya hubungan antara

penyakit ISPA dan pneumonia (75,0%), tidak tahu penyebab penyakit ISPA (72,6%),

tidak tahu cara mencegah penyakit ISPA (56,5%).36

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan pendidikan

ibu (OR=2,037; p=0,013) dan pengetahuan ibu (OR=2,364; p=0,005) berhubungan

secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan, dapat

dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,04 kali lebih

besar memiliki ibu yang berpendidikan rendah dibandingkan yang berpendidikan

Page 16: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

tinggi dan 2,4 kali lebih besar memiliki ibu yang berpengetahuan rendah

dibandingkan yang berpengetahuan tinggi.34

c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak37

Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang

diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang

kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari kedua

orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan

usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1 tahun tentu

berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai

artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri

karena pola asuh pada balita yang memiliki ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan

pola asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang bersifat

konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap sebagai contoh balita

boleh bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu makan balita harus

berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara dan

anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal tersebut

dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang boleh atau baik dan hal mana

yang tidak boleh atau tidak baik

Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola asuh

yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak diberi

kepercayaan sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar rumah dan

harus didalam rumah terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit,

Page 17: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

dan pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua memperbolehkan

segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau makan dibiarkan saja

padahal balita tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk meningkatkan kualitas gizinya

sehingga pada akhirnya status gizi si balita semakin buruk dan orang tua tidak

memperdulikan lingkungan sekitar yang mungkin kurang baik bagi kesehatan

sehingga membuatnya mudah terserang penyakit.

Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat pada

pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah anak.Bagi orang

tua yang memiliki anak tunggal, secara ekonomis menguntungkan. Orang tua tidak

perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung jawab untuk

memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar. Berlainan bila

mempunyai banyak anak, di mana tiap anak memunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri

yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya seperti kebutuhan akan kesehatan,

kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih luas, dan kebutuhan lainnya.

Pada masyarakat petani, di mana tanah-tanah masih banyak yang harus

digarap, memang benar bahwa banyaknya anak akan berarti banyaknya tanah yang

dapat digarap dan berarti pula penghasilan akan bertambah. Berlainan dengan

masyarakat kota yang mengandalkan penghasilan sebagai pegawai. Bila lowongan

pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi persoalan. Tetapi realitas ternyata

berpendapat lain.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak, maka

persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah hal ini berarti juga

Page 18: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit anak, berarti sedikit pula persoalan yang

harus dihadapi oleh keluarga atau orang tua tersebut. Secara ekonomis mungkin

benar, tetapi secara psikologis belum tentu.

Dengan hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal, maka perhatian

orang tua memang akan terfokus kepada anak tersebut seperti dalam hal kasih sayang,

perhatian, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan lain. Anak tidak akan merasa

kekurangan kebutuhan yang diinginkan daripada orang tua yang memiliki banyak

anak, maka orang tua harus membagi kasih sayang, perhatian, dan memenuhi

kebutuhan yang lebih banyak karena setiap anak berbeda kebutuhan termasuk

kesehatan anak. Anak yang memiliki banyak saudara harus bisa saling berbagi

dengan saudara yang lainnya berbeda dengan anak tunggal sehingga anak tungga

sering tidak bisa berbagi, egois dan ini merupaka permasalahan yang harus dihadapi

oleh orang tua yang memiliki anak tunggal. Pembentukan kepribadian dan kesehatan

anak sangat bergantung kepada pola asuh orang tua yang baik, dinamis,konsisten, dan

sesuai.

d. Faktor Lingkungan Fisik

d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah

Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung

terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi

saluran nafas.37 Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur

terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat bayi dan balita

Page 19: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di

rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang pencemaran

tentunya akan lebih tinggi.31

Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh asap

yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran

bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri, dengan

konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan

memudahkan timbulnya ISPA.31,39

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan asap anti

nyamuk bakar berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita

(p=0,003) dan diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di kamar yang

memakai anti nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti nyamuk bakar.29

Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap

rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada anak umur

<1 tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277), maka anak

umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali lebih besar

tinggal di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok dibandingkan yang

tidak ada anggota keluarga merokok.4

Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan

Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA

Page 20: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang dihisap

dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 10-20 batang

perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).23

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan polusi asap

dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur

9-59 bulan (OR=2,99; p=0,002), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 2,99 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki polusi

asap dapur dibandingkan yang tidak memilki polusi asap dapur.34

d.2. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan

nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua orang

minimal menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat

mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.31

Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami

penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan

mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan

adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah

terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota

keluarga lainnya.40

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan kepadatan

Page 21: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

hunian berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur

9-59 bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki

kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi syarat.34

2.7. . Gambaran Klinis Bronkopneumonia21,39

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan

mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,

pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di

sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak

akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering

kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya

tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung,

distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif,

serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit,

hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan

nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup pada sisi

yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara

mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan

terdengar stridor.

Page 22: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya

daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada

auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi

terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar

mengeras.

2.8. Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran Bernafas Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada Tidaknya Tanda Bahaya, Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan Tindakan. 25

2.8.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan

a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi

pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat

pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).

b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding

dada.

2.8.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun

a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai

nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).

b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya

nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2

Page 23: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5

tahun adalah 40 kali atau lebih permenit.

c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding

dada.

2.9. . Jumlah Kunjungan Berulang

Penentuan jumlah kunjungan berulang pasien dilihat dari kembalinya pasien

ke rumah sakit setelah dirawat inap pertama kali, termasuk bagi penderita

bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini bergantung dari status pasien, apabila

pasien berstatus sembuh dapat kembali lagi dikarenakan pasien tersebut menderita

kembali penyakit tersebut (rekurens), sehingga perlu dirawat inap kembali. Status

pulang berobat jalan dapat kembali lagi dikarenakan perlu memeriksa, mengontrol,

mengambil obat guna perbaikan keadaan pasien, namun setelah pemeriksaan pasien

dapat dirawat inap lagi dikarenakan tidak memungkinkan unutuk berobat jalan. Status

pulang atas permintaan sendiri dapat kembali dirawat inap dikarenakan tidak dapat

ditangani di rumah.

2.10. Lama Rawatan

Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi penderita

bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyakit, tindakan

medis rumah sakit dan sebagainya.

Menurut penelitian Irfan (2002) di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik

Medan tahun 1999-2000 lama rawatan penderita pneumonia pada balita yang dirawat

Page 24: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

inap adalah < 7 hari yaitu 101 orang (72,7%) dan ≥ 7 hari yaitu 38 orang (27,3%).41

Menurut penelitian Marbun (2009) di Rumah Sakit Dr.Pirngadi Medan Tahun 2004-

2007 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada balita adalah 4,5 hari.42

2.11. Pencegahan Bronkopneumonia

2.11.1. Pencegahan Primer43

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan

orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.

Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan

pencegahan khusus.

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap

kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :30

a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali

(pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada

usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B

sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..

b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal

sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.

c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di

luar ruangan.

d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

Page 25: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

2.11.2. Pencegahan Sekunder43

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah

orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari

komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi

diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya

penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26

a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik

benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap

hari.

b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.

c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.

2.11.3. Pencegahan Tersier43

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :26

a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.

b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses

pemberian makan.

c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.

d. Tingkatkan pemberian ASI.

e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.

Page 26: Bronko p Neo Moni

Universitas Sumatera Utara

f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,

pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika

terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.