BLOK 18 MODUL 1

31

Click here to load reader

description

respirasi

Transcript of BLOK 18 MODUL 1

Tinjauan pustaka

Tuberculosis dalam Pengobatan________________________Christian Hasiholan Tmanern __________________________

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaPendahuluanPenderita Tuberkulosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan mengonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap obat tersebut. Akibatnya, obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita. Tetapi tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah mencapai lebih dari 90 persen dan tingkat deteksi kasus baru TB jumlahnya di atas 70 persen. Prestasi yang cukup membanggakan. Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus mencapai 71 persen dan angka keberhasilan pengobatan mencapai 90 persen. TB ditemukan terjadi pada lebih dari 70 persen penduduk usia produktif. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 persen dari total jumlah pasien TB dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru di Indonesia dengan tingkat kematian sekitar 91.000 orangamun bukan berarti tugas masyarakat Indonesia sudah selesai dalam memerangi TB.Christian Hasiholan, NIM: 102011237, Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara, [email protected] terhadap obat TB atau dikenal sebagai Multi-Drug Resistant TB (MDR-TB) merupakan salah satu faktor penyebab masih ada sekitar 10 persen penderita TB di Indonesia belum sembuh sempurna.Pasien yang sudah terlanjur menderita MDR-TB tubuhnya akan jadi kebal terhadap obat TB, misalnya Isoniazid (INH). Untuk pengobatannya diberikan obat lini kedua. Pendeteksian terhadap MDR-TB yang memakan waktu dalam hitungan bulan membuat pasien TB seringkali terlalu lama menunggu hasil tes, akibatnya pasien TB menjadi terlambat diberi pengobatan.Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini untuk membantu mahasiswa kedokteran untuk lebih memahami mengenai kasus beserta manifestasi kliniknya untuk mengetahui perjalanan penyakit ini beserta penatalaksanaannya. Pembahasan akan dimulai dari Anamnesa kasus penyakit, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Penunjang, Diagnosa Banding maupun Diagnosa Kerja, Etiologi, Epidemologi, bentuk Manifestasi Klinik yang mungkin terjadi, Penatalaksanaan Medika Mentosa maupun Non-Medika Mentosa, Komplikasi, Serta Prognosa kejadian yang mungkin terjadi. Anamnesis1Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.

Pada pasien yang datang dengan symptom tuberculosis, diagnosis kerja harus di dukung dengan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari daerah endemisnya. Gejala lokal: Batuk, sesak napas, hemoptisis, limfadenopati, ruam (misalnya lupus vulgaris), kelainan rontgen toraks, atau gangguan GI. Efek sistemik: Demam, keringat malam, anoreksia, atau penurunan berat badan.

Beberapa pertanyaan penting tentang rekam medis perjalanan penyakit juga dianjurkan untuk ditanyakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit sudah sejauh mana. Riwayat penyakit Dahulu; Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB? Apakah pasien mengalami imunosupresi (kortikosteroid/HIV)? Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal? Adakah riwayat vaksinasi BCG atau tes Mantoux? Adakah riwayat diagnosis TB?Obat-obatan; Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan pengawasan terapi?Riwayat keluarga dan sosial; Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial? Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena, dan riwayat bepergian ke luar negeri.Pemeriksaan FisikInspeksi. Pengamatan pada abdomen pasien. Pembagian abdomen, bentuk abdomen, warna kulit dan lesi kulit, jenis bekas luka operasi, benjolan/massa di thorax anterior/posterior, pulsasi atau peristaltik yang mungkin terlihat pada dinding abdomen.

Palpasi umum. Melakukan palpasi pada thorax anterior/posterior. Merasakan apakah ada ada/tidaknya masa, pergeseran costae, melemah daya angkat paru, ada bentuk dada yang tertinggal lewat vokal vremitusBiasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat, dll.Pemeriksaan penunjang Bahan terolah yang berasal dari tempat-tempat nonsteril dan bahan tersentrifugasi yang berasal dari tempat steril dapat dibiakkan secara Iangsung ke dalam perbenihan selektif dan nonselektif). Pembiakan dengan kaldu selektif sering merupakan metode yang paling sensitif dan memberi hasil yang paling cepat. Perbenihan agar selektif (misalnya, dua lempeng Lowenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10/7H11 dengan antibiotik).Inkubasi pada suhu 37C dalam 5-10% CO2 memerlukan waktu sampai 8 minggu. Jika biakan bersifat negatif dan pewarnaan tahan-asam bersifat positif atau dicurigai terdapatnya mikobakteria atipik yang tumbuh lambat.

Penting untuk mengkarakterisasikan dan memisahkan M tuberculosis dari semua spesies mikobakteria lainnya. Mikobakteria yang diisolasi sebaiknya diidentifikasi sampai sebagai spesies. Metode konvensional untuk mengindentifikasi mikobakteria antara lain pemantauan laju pertumbuhan, morfologi koloni, pigmentasi, dan sifat-sifat biokimianya. Metode konvensional seringkali memerlukan waktu 6-8 minggu untuk identifikasi. Laju pertumbuhan memisahkan yang tumbuh cepat (tumbuh dalam waktu < 7 hari) dari mikobakteria lain . Spesies tersendiri atau kompleks dipastikan melalui tambahan ciri-ciri khas biokimia (misalnya, tes niasin positif seperti pada M tuberculosis, reduksi nitrat, pembentukan urease atau katalase, tes arilsulfatase, dan banyak yang lainnya). Metode konvensional untuk mengklasifikasikan mikobakteria secara cepat telah menjadi sejarah masa lalu saja karena metode penanda molekuler jauh lebih cepat dan lebih mudah.

Penanda molekuler menyediakan metode yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk mengidentifikasi mikobakteria. Penanda dapat digunakan pada mikobakteria yang tumbuh dari perbenihan padat atau dari biakan kaldu. Penanda DNA spesifik untuk urutan rRNA dari tes organisme digunakan pada prosedur hibridisasi. Terdapat kurang lebih 10.000 salinan rRNA per sel mikobakteria, memungkinkan sistem penguat alami, meningkatkan pendeteksian. Hibrida untai ganda dipisahkan dari penanda untai tunggal yang tidak terhibridisasi. Penanda DNA terkait pada struktur kimia yang teraktivasi pada hibrida dan ter-deteksi oleh kemiluminesens. Dengan digunakannya penanda ini, maka telah memperpendek waktu untuk mengidentifikasi mikobakterium yang penting secara klinik dari beberapa minggu sampai paling sedikit 1 hari.

Cairan kromatografi tampilan-tinggi (HPLC) telah dipakai untuk menggolongkan banyak spesies mikobakteria. Metode ini bekerja berdasarkan pembentukan asam mikolat, yang beraneka macam dari satu spesies ke spesies lainnya. HPLC untuk menggolongkan mikobakteria terdapat pada laboratorium rujukan.

Uji kepekaan mikobakteria merupakan hal penting di samping pemilihan obat-obat untuk terapi yang efektif. Teknik biakan kaldu radiometrik yang distan-darisasi dapat digunakan untuk menguji kepekaan terhadap obat pilihan pertama. Teknik konvensional berdasarkan agar yang bersifat kompleks dan lebih sulit biasanya dilakukan di laboratorium rujukan; obat pilihan pertama dan kedua dapat diuji melalui metode ini.Diagnosis Kerja Pada kasus ini,sudah jelas sekali diagnosis kerja yang diambil adalah tuberculosis dalam pengobatan, hal ini di dukung dengan datangnya pasien yang bertujuan untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya,dan sudah memiliki riwayat pengobatan sebanyak dua kali,yang pertama pasien hanya minum obat sekitar 1 bulan. Saat ini pasien menjalani pengobatan TB yang kedua kalinya,dan mendapat obat suntik yang sudah berjalan selama 6 bulan.

Diagnosa Banding (MDR-TB (multidrug resistant tuberculosis))Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk menjadi XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.

Diagnosa Banding XDR-TBXDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif, isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR TB dan XDR TB membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan membutuhkan kegunaan dari obat second-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek samping yang lebih banyak dari first-line therapy.

Diagnosa Banding TDR-TBIstilah 'tahan benar-benar obat belum jelas untuk TB.Sementara konsep 'resistensi obat total' mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro tes kerentanan terhadap obat secara teknis menantang.XDR-TB sangat mengurangi pilihan untuk pengobatan meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar.Pilihan pengobatan untuk pasien TB-XDR yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan lebih terbatas.Etiologi

Mikobakteria adalah bakteri obligat aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan penghilangan warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil "tahan-asam". Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat penting bagi manusia.

Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0,4 x 3 pm. Mikobakteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram-positif atau gram-negatif. Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenar-nya ditandai oleh sifat "tahan-asam"misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asam-alkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat tahan-asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin.

Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dan 2,5 juta orang meninggal setiap tahun. Insidensinya yang menurun telah berbalik, dengan peningkatan di negara berkembang dan negara maju sejak pertengahan 1980-an: human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan banyak epidemi baru. Mycobacterium tuberculosis: menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada.tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta). Sepertiga pasien dengan tuberkulosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV. Pada tahun 2005, WHO memprediksi bahwa akan terdapat 10,2 juta kasus baru dan Afrika akan memiliki lebih banyak kasus daripada daerah lainnya (hampir 10% setiap tahun). Di Inggris jumlah kasus meningkat dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara tahun 1999 dan 2000 ,lebih sering terjadi pada kondisi tertentu ketika kerentanan meningkat HIV, silikosis, immunocompromised, keganasan (terutama leukemia dan limfoma), diabetes melitus tergantung insulin, gagal ginjal kronik, dan penyakit saluran pencernaan dengan malnutrisi.

Patofisiologi

Tuberkulosis menyebar dari orang-ke-orang melalui rute aerosol. Paru merupakan tempat infeksi pertama. Sebagian besar infeksi menghilang dan menyisakan jaringan parut lokal (kompleks primer). Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh (penyebaran rnilier). Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal (misalnya meningitis). Resistensi terhadap tuberkulosis bergantung pada fungsi sel T. Penyakit dapat mengalami reaktivasi jika imunitas menurun (diperkirakan risiko reaktivasi sepanjang hidup adalah 10%). Pada individu immunocompromised seperti pasien yang positif HIV, infeksi cenderung berkembang menjadi penyakit yang bergejala.

Mycobacterium tuberculosis diingesti oleh makrofag, tetapi dapat lolos dari fagolisosom untuk kemudian bermultiplikasi dalam sitoplasma. Respon imun yang hebat menyebabkan destruksi jaringan setempat (kavitasi pada paru) dan efek sistemik yang diperantarai oleh sitokin (demam dan penurunan berat badan). Bermacam-macam antigen telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penentu virulensi, termasuk lipoarabinomanan (menstimulasi sitokin dan superoksida dismutase (memacu kelangsungan hidup intramakrofag).

Mycobacterium tuberculosis dapat memengaruhi semua organ tubuh: menyerupai baik peradangan maupun penyakit keganasan. Tuberkulosis paru dapat muncul dalam bentuk batuk kronik, hemontisis, demam, dan penurunan berat badan, atau sebagai pneumonia bakterial yang rekuren. Jika tidak diobati, infeksi dapat berkembang menjadi rangkaian penyakit yang kronik dan terus memburuk. .

1. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan tuberkulosis2Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni:

aktivitas bakterisid

Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau me-lenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).

aktivitas sterilisasi

Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas steriiisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.

Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia temyata :

hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat,

rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas steriiisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. - dalam aktivitas bakterisid

Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai satu.

Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam lingkungan basa.

Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai. Faktor Kuman Tuberkulosis2Penelitian Mitchison telah membagi kuman M.tuberculosae dalam beberapa populasi dalam hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya yakni:

Populasi A: dalam kelompok ini kuman tumbuh berkembang biak terus menerus dengan cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pH-nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas bakterisid segera kerjanya adalah tertinggi. Rifampisin dan Streptomisin juga dapat bekerja pada populasi ini tetapi efeknya lebih kecil z .daripada INH.

Populasi B: dalam kelompok ini kuman tumbuh . sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap obat antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini.

Populasi C: pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (tidak ada aktivitas metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya^kadang-kadang saja kuman ini meng-adakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang.singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat pada dinding kavitas. Di sini hanya rifampisin yang dapat bekerja karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.

Populasi D : dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruni oleh obat antituberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri. Resistensi mikroorganisme6Problem resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik mula-mula ditemukan pada tahun 1980-an dengan ditemukannya kasus multipel resisten pada strain bakteri Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis. Semakin tinggi penggunaan antibiotik, semakin tinggi pula tekanan selektif proses evolusi dan proliferasi strain mikroorganisme yang bersifat resisten. Mikroorganisme patogen yang resisten terhadap antibiotik sangat sulit dieliminasi selama proses infeksi, dan infeksi oleh beberapa strain bakteri dapat berakibat letal (kematian).

Resistensi mikroorganisme dapat dibedakan menjadi resistensi bawaan (primer), resistensi dapatan (sekunder), dan resistensi episomal. Resistensi primer (bawaan) merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini misalnya dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme dapat menguraikan antibiotik.

Mekanisme resistensi sekunder (dapatan) diperoleh akibat kontak dengan agen antimikroba dalam waktu yang cukup lama dengan frekuensi yang tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Terbentuknya mutan yang resisten terhadap obat antimikroba dapat terjadi secara cepat (resistensi satu tingkat) dan dapat pula terjadi dalam kurun waktu yang lama (resistensi multi tingkat). Contoh resistensi satu tingkat adalah pada INH, streptomisin, dan rifampisin.

Mekanisme resistensi dapatan juga dapat berlangsung akibat adanya mekanisme adaptasi atau penyesuaian aktivitas metabolisme mikroorganisme untuk melawan efek obat, contohnya dengan perubahan pola enzim. Dengan demikian, mikroorganisme dapat membentuk enzim yang menguraikan antibiotik.

Mekanisme resistensi dapatan yang lain adalah dengan memperkuat dinding sel mikroorganisme sehingga menjadi impermeabel terhadap obat, dan perubahan sisi perlekatan pada dinding sel. Ada pula mikroorganisme yang melepaskan dinding selnya sehingga menjadi tidak peka lagi terhadap penisilin,

Resistensi episomal disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom (episom = plasmid > di luar kromosom). Beberapa bakteri memiliki faktor resistensi pada plasmidnya yang dapat menular pada bakteri lain yang memiliki kaitan spesies melalui kontak sel secara konjugasi maupun transduksi.

Ketergantungan (dependence) merupakan kejadian di mana pertumbuhan mikroorganisme tergantung pada adanya antibiotik tertentu. Contohnya, penisilin, streptomisin, INH, dan kloramfenikol dapat digunakan mikroorganisme sebagai zat tumbuh. Sifat ini dapat terjadi pada mikroorganisme mutan yang resisten.

Dikenal juga adanya resistensi silang (cross resistance) pada mikroorganisme, di mana mikroorganisme yang resisten terhadap suatu antibiotik juga diketahui memiliki resistensi terhadap semua derivat antibiotik tersebut. Contohnya, penisilin dan ampisilin, tetrasiklin, sulfonamid, rifamisin dan rifampisin, amoksisilin, dan sebagainya.

Resistensi pada tuberculosis, terutama disebabkan kepath-an pasien yang rendah. Untuk mencegah ketidakpatuhan dan berkembangnya tuberkulosis resisten-obat, terapi yang diamati secara langsung disarankan untuk ke-banyakan pasien (yakni penyedia asuhan kesehatan yang mengamati pasien dalam menjalankan pengobatan 2-5 kali dalam seminggu).

Jika dicurigai terjadi resistensi obat (yakni pada pasien yang pernah diobati sebelumnya), terapi harus dijalankan dengan 5 atau 6 obat, termasuk 2 atau 3 obat yang belum pemah diterima sebelumnya oleh pasien. Regimen ini dapat mencakup isoniazid, hfampin, pirazinamida, etambutol, streptomisin, dan etionamida. Beberapa dokter memasukkan isoniazid dalam regimen terapi, meskipun telah terjadi resistensi mikroorganisme, karena beranggapan bahwa penyakit dengan mikobakteria resisten-isoniazid tidak "berkembang" selama terapi tersebut. Dokter lainnya menghentikan isoniazid untuk mengurangi kemungkinan toksisitas. Terapi harus dilanjutkan selama sedikitnya 24 bulan. Paduan obat2,7Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian besar kuman tuberkulosis memang dapat di-binasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.

Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena :

Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.

Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.

Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.

Jenis obat yang dipakai:

I. Obat primer (obat antituberkulosis tingkat satu)1. Isoniazid

Isoniazid merupakan obat utama untuk tuberkulosis. Seluruh pasien dengan penyakit yang disebabkan oleh galur yang sensitif sebaiknya menerima obat ini jika mereka dapat menoleransinya. Isoniazid merupakan bakteriostatik untuk basilus "istirahat", tetapi bakterisid untuk mikroorganisme yang sedang membelah. Isoniazid bekerja dengan cara menghambat biosintesis asam mikolat.2. Rifampisin

Rifamisin (rifampin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotik makrosiklik.Rifampin bersifat bakterisid untuk mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler.3. Pirazinamid

Pirazinamida menunjukkan aktivitas antibiotik secara in vitro hanya pada pH yang sedikit asam; ini tidak menimbulkan masalah karena pirazinamida membunuh basilus tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam makrofag. 4. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid untuk basilus tuberkulum secara in vitro. Mayoritas galur M. tuberculosis sensitif terhadap streptomisin. Streptomisin secara in vivo tidak mengeradikasi basilus tuberkulum, kemungkinan karena obat ini tidak mudah memasuki sel hidup sehingga tidak dapat membunuh mikroba intraseluler.5. Etambutol

Etionamida menghambat pertumbuhan mikobakteri dengan cara menghambat biosintesis asam mikolat dan mengakibatkan gangguan pada sintesis dinding sel.II. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua)1. Kanamisin

2. PAS (Para Amino Salicylic acid)3. Tiasetazon

4. Etionamid

5. Protionamid

6. Sikloserin

7. Viomisin

8. Kapreomisin

9. Amikasin10. Ofloksasin

11. Siprofloksasin

12. Norfloksasin

13. Klofazimin

Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru adalah dengan sistem jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan.

Setelah Rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau etambutol (fase lanjut).

Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan.

Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah : 2 RHZ/4 RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2, dll. Untuk tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll.

Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menjadi lebih hemat/efisien.

Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang HSZ/11 H2Z2.(INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).

Terapi jangka pendek yang semula dianjurkan oleh WHO belakangan ini mendapat hambatan-hambatan antara lain karena obat rifampisin dan pirazinamid tidak dapat diterima pasien karena harganya relatif mahal. Di negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan ber-obat pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin banyak.

Saat ini adanya epidemi HIV, akan lebih mengobarkan aktifnya Tb kembali. Menyadari bahaya tersebut di atas WHO pada tahun 1991 telah mengeluarkan pemyataan baru dalam pengobatan tuberkulosis paru sebagai berikut-nya. Pengobatan dibagi dalam 2 tahap yakni:

1. Tahap intensif (initial phase), dengan memberikan 4-5 macam obat antituberkulosis per-hari dengan tujuan: mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)

menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut.

Mencegah timbulnya resistensi obat.

2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per-hari atau secara intermiten dengan tujuan : menghilangkan bakteri yang tersisa (efek steriiisasi) dan mencegah kekambuhan (relaps).

Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni : kurang dari 33 kg, 33-50 dan lebih dari 50 kg. Pengobatan dibagi atas 4 kategori yakni: -

Kategori I Ditujukan terhadap:

Kasus baru dengan sputum positif.

Kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat seperti meningitis, tuberkulosis dise-minata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis, kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitouri-narius.

Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2 RHZS (E). Bila setelah 2 bulan BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat saja yakni RHZ.

Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4 R3H3. Pasien dengan tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata, spondilitis dengan kelainan neurologis), R dan H harus diberikan tiap hari selama 6-7 bulan. Paduan obat altematif adalah 6 HE (T).

Kategori II Ditujukan terhadap:

- Kasus kambuh.

-Kasus gagal dengan sputum BTA positif

Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZSE/1 RHZE. Bila setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif, pengobatan dihentikan selama 2-3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan dapat diubah menjadi sama dengan kategori I dengan pengawasan yang ketat. Bila data menunjukkan resisten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil. Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati lagi.

Kategori III Ditujukan terhadap :

Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.

Kasus tuberkulosis ekstraparu selain dari yang disebut dalam kategori I

Pengobatan tahap intensif dengan paduan 2RHZ atau 2R3H3Z3. Bila kelainan paru lebih luas dari 10 cm2 atau pada tuberkulosis ekstra paru dengan remisi belum sempuma,, maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama 4 bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE (T).

Kategori IV

Ditujukan terhadap kasus tuberkulosis kronik. Prioritas pengobatan di sini rendah. Terdapat resistensi obat-obat antituberkulosis (sedikit-nya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat antituberkulosis tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis. Di negara maju dapat diberikan obat-obat antituberkulosis eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya, sedangkan negara yang kurang mampU cukup dengan pemberian H seumur iiidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan. Departemen Kesehatan Rl dalam program baru pemberantasan tuberkulosis paru telah mulai dengan paduan obat: 2 RHZE/4 R3H3 (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 (kat II), 2 RHZ/2 R3H3 (kat III).

Dosis obat2Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

Dosis harianDosis berkala

Nama obatBB < 50 kgBB > 50 kg3 x seminggu

Isoniazid300 mg400 mg600 mg

Rifampisin450 mg600 mg600 mg

Pirazinamid1.500 mg2.000 mg2-3 g

Streptomisin750 mg1.000 mg1.000 mg

Etambutol750 mg1.000 mg1-1.5 g

Etionamid500 mg750 mg-

PAS9910 g-

Tabel1. Dosis obat2

Efek samping obat2Dalam pemakaian obat-obat antituberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat antituberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat menggang-gu, obat antituberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu.

Adapun efek samping tiap-tiap obat tersebut ialah :

INH

: neuropati perifer (hal ini dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6), hepatotoksik

Rifampisin: sindrom.flu,hepatotoksik

Streptomisin : nefrotoksik,gangguan nervus VIII kranial.

Etambutol: neuritis optika,nefrotoksik, skin rash/dermatitis.

Etionamid : hepatotoksik,gangguan pencernaan.

PAS

: hepatotoksik, gangguan pencernaan Evaluasi pengobatan2Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke 2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali- pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi. Radiologis. Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang begitu berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertai-nya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain di samping tuberkulosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS Kegagalan Pengobatan2Sebab-sebab kegagalan pengobatan:

a. Obat: Paduan obat tidak adekuat.

Dosis obat tidak cukup.

Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan.

Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya.

Terjadi resistensi obat.

Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap OAT saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP {Polymerase Chain Reaction-Single Stranded Confinnation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.

b. Drop out: Kekurangan biaya pengobatan.

Merasa sudah sembuh. Malas berobat / kurang motivasi.

c. Penyakit

Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.

Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme, dll.

Adanya gangguan imunologis.

Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada terapi jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkulosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama dan biaya banyak.

Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari dokter dan paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien. Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah :

a) Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.

Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya.

Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.

Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi temyata gagal juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau destroyed lung.b) Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.

Teruskan pengobatan lama selama + 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap bulan.

Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.

Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.

Pengobatan pembedahan2Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan sudah di-nyatakan sembuh oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian pada evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkulosis positif (mikrobiologi positif). Terapi bedah, banyak dilakukan dalam upaya pe-nyembuhan pasien tuberkulosis paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obat-obat yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali dilakukan terhadap pasien-tuberkulosis paru.

Indikasi terapi bedah saat ini adalah :

a. pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang,

b. pasien dengan batuk darah masif atau berulang.

Di samping syarat toleransi operasi (spiro-metri, analisis gas darah dll) diperlukan juga syarat adanya obat-obat antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat antituberkulosis ini tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi.

Hasil operasi pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi negatif di samping perbaikan keluhan-keluhan-nya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah sangat berarti dalam penyembuhan pasien.2. Pencegahan2 Vaksinasi BCG

Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya. Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah tersendiri dalam penanggulangan tuberkulosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit (terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1%, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah 2%).

Obat altematif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin. Beberapa peneliti pada IUAT (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan 90%. Yang minum obatnya tidak teratur (intermittent), efekvitasnya masih cukup baik. Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 bulan terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada. Yang lainnya seperti kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup 6 bulan saja. Pada negara-negara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua pasien HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.Penutup

Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis. TBC masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi, sehingga sebagian besar manifestasinya adalah di paru sebagai TBC. Diagnosis TBC paru meliputi pemeriksaan mikroskopik sputum, pemeriksaan radiologis, dan uji tuberkulin. Penatalaksanaan farmakologis TBC sangat bergantung pada status pasien, apakah pasien merupakan kasus TBC baru, pernah memiliki riwayat pengobatan, dan sebagainya. Bakteri patogen penyebab TBC ada yang bermutasi sehingga melahirkan strain-strain yang resisten terhadapa pengobatan, yaitu MDR, XDR, dan yng terbaru TDR. Penatalaksanaan TBC yang seksama dan tepat dapat meminimalkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap obat.

DAFTAR PUSTAKA1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2005. h. 175

2. Soematri ES, Uyainah A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 3. Jakarta: FK UI. 2003.h.33-881.3. Jawetz E,Melnick J,Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta :EGC; 2008. h. 302-9

4. Mandal BK,Wilkins EGL,Dunbar EM,White M. Lecture notes: penyakit infeksi.Jakarta : Erlangga,2009.h.220

5. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Jakarta: Erlangga;2009. h. 40-1

6. Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga;2008.h.165-7

7. Brunton L. parker K. bluementhal D. Buxton I. Goodman & gilman: manual farmakologi dan terapi. Jakarta: EGC;2008.h.742-50

1