183210166-makalah-pleno-28-kel-c6-docx

33
Penyakit Parkinson Primer dan Penatalaksanaannya Kelompok A8 Awalliantoni 10.2011.411 Natalia Hadina 10.2010.129 Gari kharisma 10.2010.131 Agung Haryanto 10.2010.207 Ratna Tri Permata 10.2010.265 Limanto putranata 10.2010.316 Novi Ayu Putri 10.2011.422 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat PENDAHULUAN Sejak tahun 1970, pekerja kantoran di seluruh dunia seringkali mengeluhkan iritasi dari membran mukosa mereka, kelelahan, sakit kepala ketika mereka bekerja di dalam gedung, yang gejalanya akan membaik dalam 10 menit sampai 1 jam ketika meninggalkan gedung tersebut. Berdasarkan gejala-gejala ini, maka diberikanlah nama sick building syndrome. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai msalah kesehatan akibat lingkungan kerja yang berhubj.ungan dengan polusi udara, IAQ dan buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Helath Organization ( WHO) tahun 1984 melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia memberikan keluhan pada pekerjanya dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia 2,7 juta 1

Transcript of 183210166-makalah-pleno-28-kel-c6-docx

Penyakit Parkinson Primer dan Penatalaksanaannya

Kelompok A8

Awalliantoni 10.2011.411

Natalia Hadina 10.2010.129

Gari kharisma 10.2010.131

Agung Haryanto 10.2010.207

Ratna Tri Permata 10.2010.265

Limanto putranata 10.2010.316

Novi Ayu Putri 10.2011.422

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl.Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1970, pekerja kantoran di seluruh dunia seringkali mengeluhkan iritasi

dari membran mukosa mereka, kelelahan, sakit kepala ketika mereka bekerja di dalam

gedung, yang gejalanya akan membaik dalam 10 menit sampai 1 jam ketika meninggalkan

gedung tersebut. Berdasarkan gejala-gejala ini, maka diberikanlah nama sick building

syndrome. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai msalah

kesehatan akibat lingkungan kerja yang berhubj.ungan dengan polusi udara, IAQ dan

buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Helath Organization ( WHO) tahun 1984

melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia memberikan keluhan pada pekerjanya

dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia 2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara, 2,2

juta meninggal akibat diantaranya akibat indoor air pollution atau polusi udara di dalam

ruangan. Di Indonesia kasus Penyakit Akibat Kerja (PAK) ini masih belum banyak dapat

didiagnosis sehingga hampir tidak ada pelaporannya.

Oleh sebab itu pembuatan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui dan mulai

menyadari adanya penyakit akibat kerja, tujuh langkah mengenai diagnosis okupasi, apa saja

faktor-faktor yang mempengaruhi dan juga bagaimana penatalaksanaan serta pencegahannya.

1

Penyakit Akibat Kerja

Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau

lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal

dari tempat kerja yaitu :

1. Faktor fisis :

a. Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja;

b. Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain

penyakit susunan darah dna kelainan kulit. Radiasi sinar infra merah dapat

mengakibatkan katarak (cataract) kepada lensa mata, sedangkan sinar ultra

violet menjadi sebab konjungtivitis fotoelektrika.

c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas), kejang

panas (heat cramps) atau hiperpireksia. Sedangkan suhu terlaluu rendah dapat

menyebabkan frostbite.

d. Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison

e. Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indra

penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.

2. Faktor kimiawi :

a. Debu yang menyebabkan pnemokoniosis , di antaranya silikosis, abestosis dna

lainnya.

b. Uap yang di antaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume fever),

dermatosis (penyakit kulit) akibat kerja atau keracunan oleh zat toksis uap

formaldehida.

c. Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S dan lainnya.

d. Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit.

e. Awan atau kabut, misalnya racun serangga (insecticides), racun jamur dan

lainnya yang menimbulkan keracunan.

3. Faktor Biologis :

Misalnya bibit penyakit antraks atau bbrusella (brucella) yang menyebabkan

penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit.

4. Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap

badanyang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuaannya

menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat

terjadi perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan.

2

5. Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan

industrial yang tidak baik, dengan akibat timbulnya misalnya depresi atau penyakit

psikosomatis.

Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi

Ada tujuh langkah untuk mendiagnosis suatu penyakit akibat kerja, yang disebut

dengan 7 langkah diagnosis okupasi. Diagnosis penyakit akibat kerja adalah landasan

terpenting bagi manajemen penyakit tersebut promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Diagnosis penyakit akibat kerja juga merupakan penentu bagi dimiliki atau tidak dimilikinya

hak atas manfaat jaminan penyakit akibat kerja yang tercakup dalam program jaminan

kecelakaan kerja. Sebagaimana berlaku bagi smeua penyakit pada umumnya, hanya dokter

yang kompeten membuat diagnosis penyakit akibat kerja. Hanya dokter yang berwenang

menetapkan suatu penyakit adalah penyakit akibat kerja. Tegak tidaknya diagnosis penyakit

akibat kerja sangat tergantung kepada sejauh mana metodologi diagnosis penyakit akibat

kerja dilaksanakan oleh dokter yang bersangkutan.1

Cara menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai kekhususan apabila

dibandingkan terhadap diagnosis penyakit pada umumnya. Untuk diagnosis penyakit akibat

kerja, anamnesis dan pemeriksaan klinis serta laboratoris yang biasa digunakan bagi

diagnosis penyakit pada umumnya belum cukup, melainkan harus pula dikumpulkan data dan

dilakukan pemeriksaan terhadap tempat kerja, aktivitas pekerjaan dan lingkungan kerja guna

memastikan bahwa pekerjaan atau lingkungan kerja adalah penyebab penyakit akibat kerja

yang bersangkutan. Selain itu, anamnesis terhadap pekerjaan baik yang sekrang maupun pada

masa sebelumnya harus dibuat secara lengkap termasuk kemungkinan terhadap terjadinya

paparan kepada faktor mekanis, fisik, kimiawi, biologis, fisiologis/ergonomis, dan mental-

psikologis.

1. Diagnosa klinis

a. Anamnesis penyakit

Menanyakan sejak kapan gejala muncul

Apakah sakit semakin membaik ataupun memberat

3

Adakah keluhan tambahan

Apakah mempunyai sakit menahun

Menanyakan apakah seorang perokok dan sejak kapan merokok

Menanyakan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama

Menanyakan adakah keluhan yang dialami seperti batuk berdarah, dahak

banyak.1

b. Anamnesis riwayat pekerjaan

Berapakah lama waktu kerja dalam sehari

Sudah berapa lama bekerja sekarang

Riwayat pekerjaan sebelumnya

Alat kerja, bahan kerja, proses kerja

Barang yang diproduksikan/dihasilkan

Kemungkinan pajanan yang dialami

APD (Alat Pelindung Diri) yang dipakai

Hubungan gejala dan waktu kerja

Adakah pekerja lain ada yang mengalami hal sama1

Anamnesis tentang riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan dimaksudkan untuk

mngetahui kemungkinan salah satu faktor di tempat kerja, pada pekerjaan dan atau

lingkungan kerja menjadi penyebab penyakit akibat kerja. Riwayat penyakit meliputi antara

lain awal-mula timbul gejala atau tanda sakit pada tinggkat dini penyakit, perkembangan

penyakit, dan terutama penting hubungan antara gejala serta tanda sakit dengan pekerjaan dan

atau lingkungan kerja.1

Riwayat pekerjaan harus ditanyakan kepada penderita dnegan seteliti-telitinya dari

pemrulaan sekali smapai dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya

mencurahkan perhatian pada pekerjaan yangg dilakukan waktu sekarang, namun harus

dikumpulkan informasi tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin bahwa penyakit

akibat kerja yang diderita waktu ini penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja dari

pekerjaan terdahulu. Hal ini lebih penting lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja dari satu

pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Buatlah tabel yang secara kronologis memuat wkatu ,

perusahaan, tempat bekerja, jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan, faktor dalam pekerjaan atau

lingkungan kerja yang mungkin menyebabkan penyakit akibat kerja. Penggunaan kuestioner

yang direncanakan dengan tepat sangat membantu.1

4

Perhatian juga diberikan kepada hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala

dan tanda penyakit. Pada umumnya gejala dna tanda penyakit akibat kerja berkurang, bahkan

kadang-kadang hilang sama sekali, apabila penderita tidak masuk bekerja; gejala dan tanda

itu timbul lagi atau menjaid lebih berat, apabila ia kembali bekerja. Fenomin seperti itu

sangat jelas misalnya pada penyakit dermatosis akibat kerja atau pada penyakit bissinosis

atau asma bronkhiale akibat kerja atau lainnya. Informasi dan dan data hasil pemeriksaan

kesehatan khusus sangat penting artinya bagi keperluan menegakkan diagnosis penyakit

akibat kerja. Akan lebih mudah lagi menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, jika

tersedia data kualitatif dan kuantitatif faktor-faktor dalam pekerjaan dan lingkungan kerja

yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja.1

c. Pemeriksaan Fisik :

Pemeriksaan umum dan khusus

Pemeriksaan fisik dimaksudkan untuk menemukan gejala dan tanda yang sesuai

untuk suatu sindrom, yang sering-sering khas untuk suatu penyakit akibat kerja.

Kesadaran

TTV(tanda-tanda vital) berupa tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan

frekuensi napas.

Tinggi dan berat badan

Kepala dan muka : rambut, mata (strabismus, refleks pupil, kornea dan

konjungtiva), hidung (mukosa, penciuman, epistaksis, tenggorokan, tonsil,

suara), rongga mulut (mukosa, lidah, gigi), leher (kelenjar gondok), toraks

(bentuk, pergerakan, paru, jantung), abdomen (hati, limpa), genetalia,

tulang punggung, ekstremitas(refleks:fisiologis/patologis, koordinasi otot :

tremor, tonus, paresis, paralisis dan lain-lain).

d. Pemeriksaan penunjang : laboratorium, rontgem, spirometer, audiometer, dsb.

Pemeriksaan laboratoris dimaksudkan untuk mencocokkan benar tidaknya

penyebab penyakit akibat kerja yang bersangkutan ada dalam tubuh tenaga kerja

yang menderita penyakit tersebut. Guna menegakkan diagnosis penyakit akibat

kerja, biasanya tidak cukup sekedar pembuktian secara kualitatif yaitu tentang

adanya faktor penyebab penyakit, melainkan harus ditunjukkan juga banyaknya

atau pembuktian secara kuantitatif. Pemeriksaan laboratoris berupa pemeriksaan

darah, urin, tinja, serta pemeriksaan tambahan /monitoring biologis berupa

pengukuran kadar bahan kimia penyebab sakit di dalam tubuh tenaga kerja

misalnya kadar dalam urin, darah dna sebagainya.

5

Pemeriksaan rontgen (sinar tembus) sering sangat membantu dalam menegakkan

diagnosis penyakit akibat kerja, terutama untuk penyakit yang disebabkan

penimbunan debu dalam paru dan reaksi jaringan paru terhadapnya sinar tembus

baru ada maknanya jika dinilai dengan riwayat penyakit dan pekerjaan serta hasil

pemeriksaan lainnya dan juga data lingkungan kerja.

e. Pemeriksaan tempat kerja : misalnya kelembaban, kebisingan, penerangan.

Pemeriksaan tempat dan ruang kerja yang dimaksudkan untuk memastikan adanya

faktor penyebab penyakit di tempat atau ruang kerja serta mengukur kadarnya.

Hasil pengukuran kuantitatif di tempat atau ruang kerja sangat perlu untuk

melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan, apakah kadar zat sebagai

penyebab penyakit akibat kerja cukup dosisnya atau tidak untuk menyebab sakit.

Meliputi faktor lingkungan kerja yang dapat berpengaruh terhadap skait penderita

(faktor fisis, kimiawi, biologis, psikososial), faktor cara kerja yang dapat

berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan kerja, proses produksi, ergonomi),

waktu paparan nyata (per hari, perminggu) dan alat pelindung diri.

2. Pajanan yang dialami

Meliputi pajanan saat ini dan sebelumnya. Informasi ini diperoleh terutama dari

anamnesis yang teliti. Akan lebih baik lagi jika dilakukan pengukuran lingkungan

kerja.

3. Hubungan pajanan dengan penyakit

Untuk mengetahui hubungan pajanan dengan penyakit dilakukan identifikasi pajanan

yang ada. Evidence based berupa pajanan yang menyebabkan penyakit. Kemudian

perlu diketahui hubungan gejala dan waktu kerja, pendapat pekerja (apakah

keluhan/gejala ada hubungan dnegan pekerjaan).

4. Pajanan yang dialami cukup besar

Mencari tahu patofisiologis penyakitnya, bukti epidemiologis, kualitatif beurpa cara

atau proses kerja, lama kerja, lingkungan kerja. Kemudian dilakukan observasi tempat

dan lingkungan kerja, pemakaian APD, serta jumlah pajanan berupa data lingkungan,

data ,monitoring biologis serta hasil surveilans.

5. Peranan faktor individu

Berupa status kesehatan fisik adakah alergi /atopi, riwayat penyakit dalam keluarga,

serta bagaimana kebiasaan berolah raga, status kesehatan mental, serta higine

perorangan.

6. Faktor lain di luar pekerjaan

6

Adakah hobi, kebiasaan buruk (misalnya merokok) pajanan di rumah serta pekerjaan

sambilan yang dapat menjadi faktor pemicu penyakit yang diderita.

7. Diagnosis okupasi

Diagnosis okupasi dilakukan dengan meneliti dari langkah 1-6, referensi atau bukti

ilmiah yang menujukkan hubungan kausal pajanan & penyakit.

Berdasarkan skenario, maka didapatkan :

1. Diagnosis Klinis

Anamnesis

o Nama : Tuan P.

o Umur : 28 tahun.

o Pekerjaan : Pegawai keuangan sudah 2 tahun bekerja.

o Alamat : Pasar Rebo.

o Keluhan Utama : sering sakit kepala dan cepat lelah sejak 3 bulan terakhir.

o Keluhan tambahan : mengeluh batuk pilek berulang, mata panas, iritasi

hidung, mudah mengantuk, tenggorokan iritasi

o Riwayat Penyakit Sekarang : Tuan P berumur 28 tahun datang dengan

mengeluh sering sakit kepala dan cepat lelah sejak 3 bulan terakhir, juga

mengalami batuk pilek berulang, mata panas, iritasi hidung, mudah

mengantuk, tenggorokan iritasi, serta tidak demam.

o Riwayat Penyakit Dahulu : dulu sudah pernah tetapi hilang saat cuti

o Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada hipertensi, tidak ada diabetes, dan tidak

ada alergi.

o Riwayat Sosial : pasien bekerja di perkantoran dengan AC sentral selama 8

jam/ hari tanpa istirahat yang cukup.

Pemeriksaan Fisik

o TTV :

Nadi : 80 x/menit

Pernafasan : 18 x/menit

Tekanan Darah : 110/70

Suhu bdan : 360C

o Status gizi :

Tinggi badan : 160 cm

7

Berat badan : 56 kg

Bentuk badan : atletikus

IMT : 21,9 kg/m2

o Tingkat kesadaran dan keadaan umum :

Kesadaran : compos mentis

Tidak tampak kesakitan

o PF kepala, mata,dada, paru-paru, jantung, pemeriksaan saraf : batas normal.

2. Pajanan yang dialami

a. Fisik :

o Pencahayaan : pencahayaan pada kantor yang terlalu terang atau terlalu redup

dapat mempengaruhi keadaan pekerja, kelelahan mata pasien karena bekerja

dengan computer terus-menerus.

o Suhu : suhu ruangan dapat panas atau terlalu dingin. Suhu udara yang tidak

nyaman bagi pekerja mempengaruhi kinerja dan kesehatan pekerja. Ruangan yang

terlalu dingin dapat menyebabkan pekerja mudah terkena flu. Atau terlalu panas

dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pekerja.

o Kelembaban: manusia dapat berkerja nyaman pada suhu 20-26 derajat celcius

dengan kelembapan 40-60%. Suhu ruangan dapat mempengaruhi secara langsung

saraf sensorik membrane mukosa dan kulit serta dapat memberikan respon

neurosensoral secara tidak langsung yang menyebabkan perubahan sirkulasi darah.

Kelembapan dapat mempengaruhi SBS dan terdapat hubungan significan antara

udara kering, lembap, suhu dengan gejala membrane mukosa. Polutan kimia dan

partikel pada kelembapan rendah dapat menimbulkan kekeringan, iritasi mata serta

saluran nafas dan kelembapan diatas 60% dapat menyebabkan sesak dan kelelahan.

Kelembapan yang terlalu tinggi juga memicu pertumbuhan jamur.

o Bising CPU : serupa dengan keadaan diatas, bising yang ditimbulkan CPU

membuat suasana tidak nyaman bagi pekerja, terutama yang bekerja dengan

computer seharian.

o Radiasi elektromagnetis: Radiasi elektromagnetis yang terdapat pada komputer itu

menyebabkan kelelahan pada mata dan akibatnya akan sering untuk mengucek

mata, yang akan menyebabkan laserasi pada mata. Makanya perlu dilakukan

istirahat pada mata sejenak untuk menenangkan mata tersebut supaya mata tidak

terlalu lelah. Mungkin radiasi elektromagentis juga memancarkan radiasinya secara

8

tidak langsung ke otak sehingga mengurangi oksigen di otak dan menyebabkan

sakit kepala.

b. Kimia

Pajanan kimia yang dialami pekerja dapat berasal dari: bahan kimia printer dan

juga bahan kimia mesin fotokopi, juga bisa kimia pada cat yang terdapat pada dinding

gedung, kemudian juga bisa berasal dari asap rokok yang sangat menganggu sirkulasi

udara di kantor. Kimia yang terdapat pada pembersih lantai pada gedung tersebut juga

kebanyakan mengandung formaldehid yang menyebabkan pusing atau sakit kepala

akibat ketidakseimbangan cairan endolymph di telinga bagian dalam, mual muntah

terhadap orang yang sensitive terhadap formaldehida, formaldehida sangat beracun dan

dapat mempengaruhi reseptor peregangan paru-paru yang berfungsi membantu

mengatur pola pernapasan, kemudian juga bisa menyebabkan mata telinga leher yang

mungkin akan mengalami sensasi terbakar saat terpapar formaldehid tersebut, iritasi

kulit pun mungkin akan terjadi apabila terkena zat-zat toksik seperti formaldehida.

Pajanan kimia juga bisa berupa karbon dioksida, karbon monoksida, aseton, alcohol dan

gas organic lainnya yang merupakan polutan yang dapat dikeluarkan oleh pekerja

kantor melalui pernapasan dan keringat. 2

c. Biologi

Berbagai virus, jamur bakteri bisa ditularkan melalui gedung yang sudah lama

berdirinya, kelembapan yang makin bertambah, kemudian kesehatan para pekerja lain

yang menularkan virus kepada sesame pekerjanya. AC sentral mungkin bisa juga ada

bakteri legionellanya disana dan menyebabkan flu atau demam tinggi bahkan sampai

pneumonia.

d. Ergonomi

Sikap bungkuk yang menghadap ke depan komputer, kemudia leher menunduk,

gerakan berulang pada jari-jari tangan bisa menyebabkan orang itu lelah, kemudian

bisa juga mengalami low back pain atau karena gerakan tangan yang terus menerus

menimbulkan Carpal Tunnel Syndrome yang merupakan kondisi medis dimana saraf

median dikompresi di pergelangan tangan, menyebabkan parastesia, mati rasa,

parastesia dan kelemahan otot di tangan.

e. Psikososial

9

Bapak itu merasa lelah, monoton sehingga kurang oksigen terhadap hal

pekerjannya dan kemudia sakit kepala akibatnya pekerjannya tidak dapat terselesaikan

dengan baik. Bekerja pada usia muda yang mempunyai beban tersendiri. Jam kerja

berlebihan dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Pekerjaan yang monoton yakni bagian

membuat laporan keungan, memfotokopi berkas,print berkas dimana waktu dihabiskan

di depan komputer dan menyebabka kelelahan dan kejenuhan pada pekerja.

3. Hubungan Pajanan dengan Penyakit

Langkah-langkah untuk menentukan hubungan pajanan dengan penyakit terdiri atas:

a) Identifikasi pajanan yang ada:

Pasien seorang pria yang bekerja di gedung perkantoran, jam kerja pasien 8 jam

dan semuanya dihabiskan di dalam ruangan dingin, pasien bekerja di gedung

bertingkat yang dipastikan menggunakan AC sentral, pasien sudah bekerja di

gedung perkantoran tersebut cukup lama sekitar 2 tahun.

b) Evidence based dari pajananpenyakit

Menurut Environmental Protection Agency (EPA), istilah "Sick Building

Syndrome" (SBS) digunakan untuk menggambarkan situasi di mana penghuni

bangunan mengalami kesehatan akut dan efek kenyamanan yang tampaknya

terkait dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu bangunan, tetapi tidak ada

yang spesifik penyakit atau penyebab dapat diidentifikasi.

Secara patofisiologi belum ada literature yang menuliskan secara rinci, akan tetapi

berbagai jurnal telah menulis, sebagai berikut :

1. Pasien sudah bekerja di gedung perkantoran selama 2 tahun dengan 8 jam

kerja dan duduk lama di depan komputer

2. 30% Pekerja perkantoran dengan poor air quality (ventilasi buruk) mengalami

gejala-gejala seperti SBS

3. Bekerja terlalu lama dengan computer dapat menyebabkan kelelahan mata dan

mengakibatkan keluhan sakit kepala.

4. Kemudian dipastikan pula apakah dia kalau hari libur kerja itu gejalanya

menghilang atau tidak.3

4. Dipastikan juga gejala atau keluhan dia bukan penyebab aktivitas dia di luar atau riwayat

alergi sang pasien Pajanan Cukup Besar?

Pajanan yang terjadi pada pasien cukup besar, hal ini dibuktikan dengan :

Waktu terpapar pajanan

10

Mengingat bahwa pajanan terjadi setiap hari selama 8 jam dan sudah terjadi

selama 5 tahun.

Perlu dikonfirmasikan juga apakah teman sekerja pasien ada yang mengalami hal

yang sama atau tidak.

5. Faktor Individu

- Dari hasil anamnesis tidak ditemukan riwayat alergi, dan sebagainya.

6 Faktor Lain di Luar Pekerjaan

Faktor lain diluar pekerjaan antara lain:

1. Hobi: suka membaca buku dan nonton TV tidak lebih dari 2 jam

2. Kebiasaan

3. Pajanan di rumah

7. Diagnosis Okupasi

Dari hasil kaji dapat yang didapat dengan anamnesis pasien dan melihat evidence based

yang ada dapat dipastikan bahwa pasien ini menderita Sick Building Syndrome.

Alasan mengapa pasien ini didiagnosis menderita Sick Building Syndrome adalah

a) Pajanan yang pasien terima selama bekerja merupakan factor yang terbukti secara

penelitian dapat menyebabkan Sick Building Syndrome

b) Pasien tidak mempunyai riwayat alergi sehingga diagnosis alergi dapat ditolak

c) Hari libur kerja memperingan bahkan menghilangkan keluhan pasien tersebut

d) Gedung yang lama dan bukti-bukti mengenai paparan fisik, kimia biologi

ergonometric, psikososial yang dialami menunjukkan ke arah diagnosis sick building

syndrome

Diagnosis Okupasi

Dari data-data khasus terlihat dari gejala-gejalanya maka diagnosis okupasi yang diambil

adalah Sick Building syndrome.

Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung

atau bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang dihubungkan

11

dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau

penyebab khusus yang dapat diidentifikasi.

Terdapat dua komponen diagnosis SBS, pertama apakah gejala terjadi pada satu atau

beberapa pekerja dalam gedung yang sama dan kedua adalah gejala muncul saat berada di

dalam gedung dan menghilang bila berada di luar gedung. Sick building syndrome bukan

penyakit tunggal yang dapat didiagnosis segera pada pekerja di dalam gedung. Asma, rinitis

dan konjungtivitis alergi adalah penyakit alergi yang mempunyai gejala sama dengan SBS.

Sakit kepala dan lethargy merupakan gejala nonspesifik yang dapat terjadi pada sebagian

besar penyakit dan dapat berkaitan dengan pajanan okupasi. Pengenalan gejala, pemeriksaan

fisik serta laboratorium bila tersedia merupakan langkah awal dalam mendiagnosis dan

penatalaksanaan SBS bertujuan untuk menyingkirkan kondisi lain yang mempunyai gejala

sama.3

Pekerja dengan SBS lebih sensitf terhadap stimuli dibandingkan dengan pekerja tanpa

SBS. Keluhan wheezing dan atau dada tertekan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan

peakflow meter atau spirometri sebelum dan sesudah kerja. Jika hasil pemeriksaan tidak

ditemukan kelainan maka tidak terdapat penyakit. Waktu saat timbulnya penyakit merupakan

salah satu faktor penting pada SBS. Beberapa metode dapat digunakan untuk membantu

dalam mendiagnosis SBS.3

Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor penyebab SBS. Stres akibat

lingkungan kerja mekanismenya belum jelas diketahui, diduga karena tidak ada

keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan. Stres merupakan gabungan antara

beban kerja di kantor dengan lingkungan sosial dan faktor ini dapat memberikan fenomena

fisiologis maupun psikologis. Kuantitas kerja dapat menghambat kenyamanan bekerja dan

berperan pada iritasi mukosa dan keluhan umum lainnya. Hal ini merupakan indikator tidak

langsung akibat stres kerja.3

Patofisiologi

Terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia bahwa

volatile organic compounds (VOCs) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon

monoksida atau formalehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi

respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran napas menyebabkan

12

asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin,

degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi.

Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas,

peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh

bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel.

Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat

dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas.6

Hipotesis ke dua adalah hipotesis bioaerosol; penelitian cross sectional menunjukkan

bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs

konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ke tiga ialah faktor pejamu,

yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala.6 Stres karena pekerjaan dan

faktor fisikososial juga mempengaruhi timbulnya gejala SBS. Building related illness (BRI)

berbeda dengan SBS, adalah suatu penyakit yang dapat didiagnosis dan diketahui

penyebabnya berkaitan dengan kontaminasi udara dalam gedung.6

Indikator Sick Building Syndrome

Indikator Sick Building Syndrome yaitu:

1. Penghuni gedung mengeluh sakit kepala, iritasi mata, hidung atau tenggorokan, batuk

kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan dalam berkonsentrasi,

kelelahan dan peka terhadap bau.

2. Penyebab dari gejala tidak diketahui.

3. Sebagian besar pengadu melaporkan lega segera setelah meninggalkan gedung.

Sedangkan indikator sakit yang disebabkan oleh kondisi bangunan yaitu:

1. Penghuni gedung mengeluhkan gejala seperti batuk, dada sesak, demam, menggigil

dan nyeri otot.

2. Gejala-gejala dapat didefinisikan secara klinis dan telah diidentifikasi penyebabnya

secara jelas.

3. Penghuni gedung mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lama setelah

meninggalkan gedung

Gejala Sick Building Syndrome

Para penghuni gedung umumnya mengalami gejala Sick Building Syndrome yang

bervariasi. Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di

dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk-batuk

kering, sakit kepala, iritasi di mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang kering dan gatal,

13

badan lemah, kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi.

dan lain-lain. Keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu.

Keluhan-keluhan tersebut biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa

mengganggu dan yang penting, amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang.

Sick Building Syndrome baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% atau bahkan sampai

50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua

atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa. Keluhan atau gejala Sick

Building Syndrome dibagi dalam kategori sebagai berikut:

Kelainan Gejala

Iritasi membran mukosa Iritasi mata, hidung, dan

tenggorokan

Gejala neurologis Nyeri kepala

Kelelahan

Sulit konsentrasi

Cepat marah

Gejala menyerupai asma Dada terasa tertekan

Wheezing

Gangguan kulit Kulit kering

Iritasi kulit

Gejala gastrointestinal Diare

Tabel 1. Gejala dan tanda SBS3

Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan

sejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan

kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang,

pegal-pegal, sakit leher atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan.

Faktor Risiko

Kategori Faktor

Faktor bangunan/ gedung - Kontaminan :

1. Volatile organic compounds

2. Environmental Tobacco Smoke (ETS)

14

3. Formaldehyde

4. Odors

5. Debu organic

6. Debu inorganic

7. Agent microbial

8. Gas-gas seperti CO, CO2, NO2, O3, SO2

9. Kontaminan lainnya

- Ventilasi udara bersih yang tidak adekuat

- Sistim ventilasi sentral tanpa oparable-window

- Kenaikan atau penurunan kelembapan

- Suhu tinggi

- Karpet

- Bising

- pencahayaan

Faktor Host atopi

pemakaian kontaks lens

perempuan

keadaan psikologi

Faktor Pekerjaan - stress kerja

- kurangnya control pada pekerjaan/ lingkungan

- ketidakpuasan terhadap supervisor

- jam kerja berlebih

Tabel 2. Faktor Resiko Sick Building Syndrome

1. Meskipun penyebab spesifiknya masih belum diketahui, berikut adalah hal-hal yang

dianggap dapat menyebabkan Sick Building Syndrome, biasanya berhubungan dengan

ketidaksesuaian temperatur, kelembaban, serta pencahayaan dalam suatu bangunan.7

2. Kontaminasi polutan kimia dari luar:

Udara dari luar yang masuk ke dalam gedung dapat menjadi salah satu sumber polusi

dalam suatu gedung. Polusi dari asap pembuangan sepeda motor, pipa udara, dan

saluran pembuangan dalam gedung (kamar mandi dan dapur) dapat berpengaruh pada

15

kondisi kesehatan udara dalam bangunan yang memiliki sistem ventilasi udara yang

buruk.

3. Kontaminasi polutan kimia dari dalam:

Sebagian besar polutan berbahaya yang terdapat dalam suatu bangunan memang

berasal dari dalam bangunan itu sendiri, di antaranya dari material pelapis bangunan,

karpet yang berdebu, mesin fotokopi, furnitur maupun alat pembersih yang

mengandung bahan kimia berbahaya yang termasuk Volatile Organic Compound 

(VOC), misalnya formaldehyde. Selain itu, asap rokok, kompor, maupun alat

pemanas lainnya juga dapat menjadi sumber polutan kimia yang berbahaya dari

tubuh. Berdasarkan penelitian, jenis-jenis polutan tersebut dalam konsentrasi yang

tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan akut, selain itu juga mengandung

karsinogen yang merupakan penyebab kanker.8

4. Kontaminasi polutan biologis:

Polutan biologis termasuk di dalamnya adalah serbuk sari, bakteri, virus, serta lumut.

Polutan-polutan ini dapat hidup dan berkembang dalam air menggenang dan ruangan

yang lembab. Apabila terkontaminasi, dapat menyebabkan demam, badan menggigil,

batuk, sesak napas, pegal-pegal, ataupun reaksi alergi.

5. Sistem tata udara yang kurang baik:

Pada tahun 1970-an, embargo minyak dunia membuat para arsitek mulai membuat

bangunan yang lebih kedap dari udara luar, dengan ventilasi ke luar bangunan yang

lebih sedikit. Hal ini antara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi.

Pengurangan ventilasi udara ke luar ini diketahui, dalam banyak kasus, berpengaruh

besar terhadap penurunan kondisi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan

tersebut. 7

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan/atau menghilangkan sumber

kontaminasi penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan

keluhan meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan

pekerjaan. Menghilangkan sumber polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara,

membuka jendela sebelum menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam

gedung, pendidikan dan komunikasi merupakan beberapa cara mengatasi SBS.18 Laju

ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15 L/detik/ orang.

Jendela atau pintu yang dapat terbuka serta pemeliharaan rutin sistim HVAC dengan

16

membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat memberikan

ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat. Larangan

merokok di ruangan harus dilaksanakan. Pencegahan SBS dengan menentukan lokasi dan

arsitektur gedung yang sehat, jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah

lingkungan, merancang pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai

penyebab tersering SBS. Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan

pemelihara gedung untuk mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS.

Medika mentosa

Pengobatan dilakukan berdasarkan simptom:

Decongestan: membantu melancarkan pernafasan dan pengeluaran mucus atau

lendir dari hidung.

Dextromethorpan atau ambroxol: membantu mengeluarkan dahak atau

mengencerkan dahak.

Paracetamol, ibuprofen, aspirin: demam, sakit kepala dan nyeri seluruh badan.

Antibiotik erythromycin: untuk penyakit seperti Legionnaire.5,7

Non-medika mentosa

1. Menghilangkan sumber kontaminasi penyebab SBS, misalnya dengan

pembersihan AC secara berkala

2. Jangan merokok, karena dapat memperberat penyakit

3. Menghilangkan sumber polutan. Jika suatu gedung telah dinyatakan telah terkena

SBS, maka perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari sumber

polutan yang dominan. Setelah sumber tersebut ditemukan, maka langkah

selanjutnya adalah menghilangkan sumber polutan tersebut.

4. Meningkatkan laju pertukaran udara. Ini dapat dilakukan dengan melakukan

modifikasi terhadap sistem ventilasi yang telah ada disesuaikan dengan standar

baku yang telah ada.

5. Membersihakan udara yang disirkulasikan di dalam gedung. Hal ini dapat

dilakukan dengan menggunakan filter yang dapat menyaring udara, meskipun

sangat terbatas.

6. Menjaga temperature dan kelembapan ruangan dalam rentang dimana kontaminasi

biologis susah bertahan hidup. Biasanya dalam temperature 70oF dan kelembapan

40-60%.

7. Jendela sedapat mungkin dibuka untuk membantu proses pertukaran udara dalam

dan udara luar.

17

Pencegahan Sick Building Syndrome

Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara simtomatis asal

diikuti dengan upaya agar suasana lingkungan udara di gedung tempat kerja menjadi lebih

sehat. Yang perlu mendapat perhatian utama tentu bagaimana pencegahan yang dapat

dilakukan untuk menghindari suatu gedung menjadi penyebab sindrom gedung sakit ini.

Ternyata upaya pencegahannya cukup luas, menyangkut bagaimana gedung itu dibangun,

bagaimana desain ruangan, bahan-bahan yang digunakan di dalam gedung, perawatan alat-

alat dan lain-lain.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:

1. Umumnya penderita Sindrom Gedung Sakit akan sembuh apabila keluar dari dalam

gedung tersebut, gejala-gejala penyakitnya dapat disembuhkan dengan obat-obat

simtomatis (obat-obat penghilang gejala penyakit).

2. Upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan

terdistribusi secara merata ke semua bagian di dalam suatu gedung. Dalam hal ini

perlu diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan

sumber-sumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk

ke dalam gedung. Ventilasi dan sirkulasinya udara dalam gedung diatur sedemikian

rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply

udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan, demikian pula

harus diperhatikan jumlah supply udara segar yang cukup apabila ada penambahan-

penambahan karyawan baru dalam jumlah yang signifikan.

3. Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih

ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih

ramah lingkungan (green washing, non toxic, natural, ecological friendly).

4. Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam

satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian

ruangan dan setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai.

5. Jangan asal membuat sekat ruangan saja, dan jangan terus menerus menambah jumlah

orang untuk bekerja dalam satu ruangan sehingga menjadi penuh sesak.

6. Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin fotocopy,

diletakkan dalam ruangan terpisah.

Renovasi kantor dengan menggunakan bahan-bahan bangunan baru, cat baru, lem baru,

agar dipasang exhaust fan yang memadai agar pencemaran dari volatile organic compounds

18

(VOCs), terutama uap benzene dan formaldehyde yang berasal dari bahan-bahan bangunan

baru dapat segera dibuang.

Diagnosis Banding

Legionnaire’s Disease

Penyakit Legionnaire adalah jenis pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Biasanya

mendapatkannya dengan bernapas dalam kabut dari air yang mengandung bakteri. Kabut

dapat berasal dari kolam air panas, mandi atau AC unit untuk bangunan besar. Bakteri tidak

menyebar dari orang ke orang.

Penyakit ini termasuk kedalam suatu Building Related Illness, BRI, adalah suatu

penyakit yang pada pekerja, akan tetapi tidak sama dengan SBS. Pada BRI berbeda dengan

SBS, hal ini terlihat pada penyebab BRI itu sendiri. Etiologi SBS tidak diketahui, hanya

factor risikonya saja, sedangkan etiologi BRI sudah teridentifikasi, salah satunya adalah

bakteri Legionella pneumophila. Pada BRI didapatkan gejala yang lebih berat. Berikut adalah

indicator penyakit BRI :

Penghuni bangunan mengeluhkan gejala seperti batuk, sesak dada, demam,

menggigil, dan nyeri otot

Gejala klinis dapat didefinisikan dan memiliki penyebab yang jelas diidentifikasi.

Pengadu mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lama setelah meninggalkan

gedung.

Gejala penyakit Legionnaire termasuk demam, menggigil, batuk dan nyeri otot dan

sakit kepala kadang-kadang. Jenis lain dari pneumonia memiliki gejala yang sama. Anda

mungkin akan memerlukan x-ray dada untuk mendiagnosis pneumonia. Tes laboratorium

dapat mendeteksi bakteri tertentu yang menyebabkan penyakit legionnaire.4

Bukan saja menginfeksi paru, tetapi pada kasus lebih serius dapat menyebar ke

jantung. Bentuk lebih mild dari legionnaire adalah Pontiac fever yang dapat sembuh sendiri

tanpa tatalaksana. Paling umum, Penyakit bangunan wabah hasil dari aerosol yang

terkontaminasi, biasanya disebarkan dalam sistem ventilasi dari menara pendingin, kondensor

yang menguapkan, dan sistem pendingin udara. Sumber lain dari aerosol termasuk air mancur

hias,dan bak pusaran air panas. Spesies Legionella dapat kultur sampai 40% dalam menara

pendingin, meskipun infeksi yang berasal dari paparan aerosol dilaporkan jarang. Bakteri

Legionella berkembang dalam sistem air dipertahankan pada suhu hangat antara sekitar 26,7

° C (80 ° F) dan 48,9 ° C (120 ° F). Pembersihan dan perawatan sumber-sumber potensial

sangat penting dalam mencegah wabah Legionnaires’s disease.2,5

19

Kesimpulan

Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni

gedung atau bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang

dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat

penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi.

Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome berkaitan erat dengan ventilasi udara

ruangan yang kurang memadai karena kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan

gedung, distribusi udara yang kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi

(indoor air quality).

Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan

sejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan

kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang,

pegalpegal, sakit leher atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan.

20

Keluhan umumnya dapat ditangani secara simtomatis yang seyogyanya diikuti dengan

upaya menyehatan lingkungan di dalam gedung. Faktor pencegahan mempunyai peran yang

amat penting. Secara umum cara pencegahan pada dasarnya berupa turut sertanya

perhitungan di bidang kesehatan dalam membangun, menata dan merawat suatu gedung.

Gedung-gedung bertingkat dengan sistim AC sentral sudah mulai menjamur di kota-kota

besar negara kita dan masalah sindrom gedung sakit ini cepat atau lambat akan kita hadapi

dalam praktek sehari-hari.

Daftar Pustaka

1. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick

building sindrome. Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES:2005.

2. Jaakkola K, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrik DJ, Burge PS,

Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorder of the lung: recognation

management and prevention. 5th ed. London: WB Saunders;2002. Page 241-55.

3. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Jakarta: Med J Indones; 2002.

Page 124-31.

4. Winarti M, Basuki B, Hamid A. Air movement, gender and risk of sick building

syndrome headache among employees in Jakarta office. Med J Indones 2003. Page

171-2.

21

5. Fischman ML. Current Occupational & Environmental Medicine. Ed. 4. New York :

Mc Graw Hill ; 2007. Page 718-719.

6. Hodgson M. Indoor environmental exposure and symptoms. Environ Health

Perspect 2002. Page 663-7.

7. Saijo y, Kishi R, Seta F, Katakura Y, Urashima Y, Hatakayama A, et al. Symptoms

in relation to chemicals and dampness in newly built dwellings. Int Arch Occup

Environ Health 2004. Page 461-70.

22