164318610-Referat-DM-IPD
description
Transcript of 164318610-Referat-DM-IPD
PENDAHULUAN
Diabetes melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Pada beberapa orang DM dapat jelas terlihat dan disebabkan karena
interaksi genetik, faktor lingkungan, dan gaya hidup. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1,2
World Health Organization ( WHO ) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.1
EPIDEMIOLOGI
Di dunia insidensi DM sangat meningkat pada 20 tahun terakhir ini. Demikian
juga insidensi rata-rata IFG meningkat. Meskipun di dunia insidensi DM tipe 1 dan 2
meningkat, di masa yang akan datang insidensi DM tipe 2 akan meningkat dengan cepat
karena meningkatnya obesitas dan berkurangnya aktifitas. Peningkatan DM dengan usia,
tahun 2000, jumlah DM berkisar 0,19% pada usia < 20 tahun dan 6,6% pada usia >20
tahun. Pada usia >65 tahun jumlah DM 20,1%. Insidensi DM antara laki-laki dan
perempuan sama tetapi sedikit besar pada laki-laki usia >60 tahun.1
Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam
kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang
cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, di lain pihak
penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif diantaranya diabetes
meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit diduga ada hubungannya dengan cara
hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional
yang banyak mengandung karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makan ke barat-
baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak,
gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti itu terutama
1
terdapat pada makanan siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh
anak-anak muda.2
Selain itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore
bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan tidak
adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para eksekutif
hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu makanan
barat yang aduhai. Pola hidup beresiko seperti inilah yang menyebabkan tingginya
kekerapan penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia.2
Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan
salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Perserikatan
Bangsa-bangsa ( WHO ) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun
kemudian pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.2
Dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138% yang
disebabkan oleh:
Faktor demografi: 1.) Jumlah penduduk meningkat; 2.) Penduduk usia lanjut
bertambah banyak; 3.) Urbanisasi makin tak terkendali.
Gaya hidup yang ke barat-baratan: 1.) Penghasilan perkapita tinggi; 2.) Restoran
siap santap; 3.) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak
badan.
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi.
Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.2
2
ETIOLOGI
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Melitus Tergantung
Insulin (DMTI) menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin
disebabkan oleh destruksi sel ß pulau langerhans akibat proses autoimun. Sebagian besar
DM tipe 1 terjadi sebelum usia 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan
(mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal)
menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk
terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik.3,4
Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes
Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel ß dan
resistensi insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari
normal, tetapi tubuh membentuk kekebalan efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin
relatif. DM tipe 2 bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah
usia 30 tahun.3,4
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel ß tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahkan perangsang
sekresi insulin lain. Berarti sel ß pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.3
KLASIFIKASI ETIOLOGI DIABETES MELITUS (American Diabetes Association)
1. Diabetes Melitus Tipe I
( Destruksi sel ß, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
3
a. Defek genetik fungsi sel beta:
- Kromosom 12, HNF-1α ( dahulu MODY 3 )
- Kromosom 7, glukokinase ( dahulu MODY 2 )
- Kromosom 20, HNF-4α ( dahulu MODY 1 )
- Kromosom 13, insulin premoter factor-1 ( IPF-1, dahulu MODY 4 )
- Kromosom 17, HNF-1β ( dahulu MODY 5 )
- Kromosom 2, Neuro DI ( dahulu MODY 6 )
- DNA Mitochondria
- Lainnya
b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism,
sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
c. Penyakit Eksokrin pankreas: Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus,
lainnya.
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromatositoma,
hipertiroidisme somatostatioma, aldosteronoma, lainnya.
e. Karena obat/zat kimia: Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon
alfa, lainnya.
f. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya.
g. Imunologi (jarang): sindrom “Stiff-man”, antibodi antireseptor insulin,
lainnya.
h. Sindroma genetik lain: Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom
Turner, Sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington,
Sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom
Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes Kehamilan.1,2,3,5
DIABETES MELITUS TIPE LAIN
4
Jenis ini sering ditemukan di daerah tropis dan Negara berkembang. Bentuk ini
biasanya disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai kekurangan protein yang nyata.
Diduga zat sianida yang terdapat pada cassava atau singkong yang menjadi sumber
karbohidrat di beberapa kawasan Asia dan Afrika berperan dalam patogenesisnya. Dulu
jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), tetapi oleh karena patogenesis
jenis ini tidak jelas maka jenis ini pada klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi disebut
sebagai MRDM tetapi disebut Diabetes Tipe Lain.1,2
DIABETES MELITUS GESTASIONAL (GDM)
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Ini meliputi
2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada
janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar. Adam mendapatkan prevalensi
diabetes gestasi sebesar 2-2,6% dari wanita hamil. Diabetes gestasional terjadi kira-kira
4% kehamilan di US. Pada wanita post partum kadar glukosa dapat kembali normal,
tetapi dapat berisiko tinggi untuk berkembangnya DM kembali (30-60%).1,2
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar gambaran patologik dari diabetes melitus dapat dihubungkan
dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut ini: 1) berkurangnya
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa
darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg/dl; 2) sangat meningkatnya mobilisasi lemak
dari daerah penyimpanan lemak, sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme lemak
yang abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah, yang
mengakibatkan timbulnya gejala arteriosclerosis, dan 3) berkurangnya protein dalam
jaringan tubuh.6
Hilangnya glukosa dalam urin penderita diabetes, bila jumlah glukosa yang
memasuki tubulus ginjal dalam filtrat glomerulus meningkat di atas kadar kritis, suatu
bagian kelebihan glukosa yang bermakna tidak dapat direabsorbsi dan sebaliknya
dikeluarkan ke dalam urin. Hal ini secara normal dapat timbul bila konsentrasi glukosa
darah meningkat di atas 180 mg/dl, suatu kadar yang disebut sebagai “nilai ambang”
darah untuk timbulnya glukosa dalam urin. Bila kadar glukosa darah meningkat menjadi
300 sampai 500 mg/dl, kadar yang umumnya dijumpai pada penderita diabetes berat yang
5
tidak diobati, maka dalam urin setiap hari akan dilepaskan sebanyak 100 gram atau lebih
glukosa.6
Efek dehidrasi akibat kenaikan kadar glukosa darah pada diabetes. Pada penderita
diabetes berat yang tidak diobati, kadar glukosa darahnya dapat meningkat sampai
setinggi 1200 mg/dl, yakni 12 kali dari normal. Namun satu-satunya efek yang bermakna
akibat peningkatan glukosa tersebut adalah dehidrasi sel-sel jaringan. Hal ini terjadi
sebagian karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melewati pori-pori
membran sel, dan naiknya tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler menyebabkan
timbulnya perpindahan osmotik air keluar sel.6
Selain efek dehidrasi seluler langsung akibat glukosa yang berlebihan, keluarnya
glukosa ke dalam urin akan menimbulkan keadaan diuresis osmotik. Diuresis osmotik
adalah efek osmotik dari glukosa dalam tubulus ginjal yang sangat mengurangi
reabsorbsi cairan tubulus. Efek keseluruhan adalah kehilangan cairan yang sangat besar
dalam urin, sehingga menyebabkan dehidrasi cairan ekstraseluler, yang selanjutnya
menimbulkan dehidrasi kompensatorik cairan intraseluler.6
Asidosis dan koma pada diabetes bergesernya metabolisme lemak, pada penderita
diabetes sumber energi tubuh seluruhnya bergantung pada lemak, maka kadar asam
asetoasetat asam keto dan asam β-hidroksibutirat dalam cairan tubuh mungkin akan
bertambah dari 1 mEq/liter menjadi 10 mEq/liter. Semua tambahan ini cenderung
menimbulkan asidosis.6
Efek kedua, yang bahkan jauh lebih penting dalam menyebabkan asidosis
daripada efek yang langsung meningkatkan asam keto dalam darah, adalah berkurangnya
konsentrasi natrium yang disebabkan oleh hal berikut ini: Asam keto mempunyai nilai
ambang yang rendah untuk diekskresikan oleh ginjal; oleh karena itu, bila pada diabetes
konsentrasi asam keto meningkat, maka setiap hari dalam urin dapat diekskresikan 100
sampai 200 gram asam keto. Oleh karena asam keto ini merupakan asam kuat, yang
pHnya sebesar 4,0 atau kurang, maka asam keto dalam jumlah kecil dapat diekskresikan
dalam bentuk asam; ternyata, asam keto diekskresikan dalam ikatan dengan natrium yang
dilepaskan dari cairan ekstraseluler. Akibatnya, konsentrasi natrium dalam cairan
ekstraseluler biasanya akan berkurang dan natrium digantikan oleh bertambahnya jumlah
ion hidrogen, jadi semakin memperberat asidosis.6
6
Seluruh reaksi yang biasanya terjadi pada keadaan asidosis metabolik akan terjadi
juga pada asidosis diabetikum. Gejala meliputi pernapasan cepat dan dalam yang disebut
“pernapasan kussmaul” yang menyebabkan ekspirasi karbondioksida berlebihan dan
sangat berkurangnya jumlah bikarbonat dalam cairan ekstraseluler. Walaupun efek yang
ekstrem ini hanya terjadi pada kebanyakan kasus diabetes yang tidak terkontrol, keadaan
ini dapat menyebabkan timbulnya koma asidosis dan kematian dalam beberapa jam
setelah pH darah turun di bawah 7,0.6
GEJALA KLINIS
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang
tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dl, maka glukosa akan sampai
urin. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan urin
dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang
banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan
sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam urin,
penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini
penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan
selama melakukan olah raga.4,7
DM tipe 1, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat
ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di
dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula
tanpa insulin. Maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak
dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa
menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis
diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan
nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh
berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau
aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma,
kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin,
7
penderita diabetes tipe 1 bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stress akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang
serius.4,7
DM tipe 2, bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun. Jika
kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih
dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi
(sampai lebih dari 1.000 mg/dl, biasanya terjadi akibat stress-misalnya infeksi atau obat-
obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-
hiperosmolar non-ketotik.4,7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan risiko tinggi
untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi,
riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4000gr, riwayat
DM pada kehamilan, dan dislipidemia.3
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah
puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar.
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringannya negatif, perlu
pemeriksaan penyaring ulangan tiap tahun. Bagi pasien berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan tiap 3 tahun.3
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
8
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar Glukosa Darah Sewaktu
Plasma Vena < 110 110-199 > 200
Darah Kapiler < 90 90-199 > 200
Kadar Glukosa Darah Puasa
Plasma Vena < 110 110-125 > 126
Kapiler Darah < 90 90-109 > 110
Cara pemeriksaan TTGO adalah:
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Periksa glukosa darah puasa.
5. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu
5 menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
WHO (1985) mengajurkan pemeriksaan standar seperti ini, tetapi kita hanya memakai
pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja.3,9
Pemeriksaan Laboratorium Untuk Pengelolaan DM:
a. Panel Evaluasi Awal
Dilakukan segera setelah didiagnosis DM
Tujuan Pemeriksaan:
- Menentukan penanganan yang tepat
- Deteksi risiko terjadinya komplikasi
Jenis Pemeriksaan:
9
Glukosa puasa, Glukosa 2 jam PP, Hematologi rutin, Urine Rutin, HbA1c
(A1c), Mikroalbumin, Kreatinin, Albumin/Globulin, GPT, Cholesterol
Total, Cholesterol HDL, Cholesterol LDL-Direk, Trigliserida, Fibrinogen.
b. Panel Pemantauan 1
Dilakukan setiap 3 bulan sekali atau sesuai petunjuk dokter
Tujuan Pemeriksaan:
- Menilai pengendalian DM
- Menilai keberhasilan terapi
Jenis Pemeriksaan:
Glukosa Puasa, Glukosa 2 jam PP, HbA1c (A1c)
c. Panel Pemantauan 2
Dilakukan setiap 1 tahun sekali atau sesuai petunjuk dokter
Tujuan Pemeriksaan:
- Menilai pengendalian DM
- Menilai keberhasilan terapi
- Deteksi faktor risiko yang memicu terjadinya komplikasi
Jenis pemeriksaan:
Glukosa puasa, Glukosa 2 jam PP, HbA1c (A1c), Mikroalbumin,
Kreatinin, Albumin/Globulin, GPT, Cholesterol Total, Cholesterol HDL,
Cholesterol LDL-Direk, Trigliserida, Fibrinogen.8
DIAGNOSIS
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak
dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis
DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang
terpercaya (yang melakukan program pemantauan terkendali mutu secara teratur).
Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
10
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.9
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukan pasien adalah lemas, kesemutan, gatal,
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM,
hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl,
kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl.2,9
KOMPLIKASI
1. Akut
a. Koma hipoglikemia
b. Ketoasidosis
c. Koma hiperosmolar nonketotik
2. Kronik
a. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
b. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil; retinopati diabetik,
nefropati diabetik.
c. Neuropati diabetik.
d. Rentan infeksi, seperti tuberculosis paru, gingivitis dan infeksi saluran
kemih.
e. Kaki diabetik.3,9,10
PENATALAKSANAAN
11
Penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari: Pertama, terapi non farmakologi
yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang
dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai
masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan terus-menerus. Kedua,
terapi farmakologi, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
Terapi farmakologi ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis
yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang
diharapkan.2,3,9
Terapi Non Farmakologis:
1. Terapi Gizi Medis
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:
a. Menurunkan berat badan
b. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic
c. Menurunkan kadar glukosa darah
d. Memperbaiki profil lipid
e. Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin.
f. Memperbaiki sistem koagulasi darah.
Tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
1. Kadar glukosa darah mendekati normal,
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
Kadar A1c < 7%
2. Tekanan darah < 130/80
3. Profil lipid:
Kolesterol LDL < 100 mg/dl
12
Kolesterol HDL > 40 mg/dl
Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin2,3
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola
makan diabetisi antara lain: tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan,
aktivitas fisik, dan faktor usia, faktor fisiologis seperti masa kehamilan, masa
pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lain-lain. Pada keadaan infeksi
berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah masalah status
ekonomi, lingkungan, kebiasaan atau tradisi di dalam lingkungan yang bersangkutan serta
kemampuan petugas kesehatan yang ada.1,2,3,9
JENIS BAHAN MAKANAN
1. Karbohidrat (60-70%)
Sebagai sumber energi, karbodidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh
lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh
rantai tunggal. (MUFA= monounsaturated fatty acid).
2. Protein (10-15%)
Jumlah kebutuhan protein yang di rekomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori perhari.
3. Lemak (20-25%)
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida,
kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL,
sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA= polyunsaturated fatty
acid) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat
menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.2,3,9
13
PERHITUNGAN JUMLAH KALORI
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada atau tidaknya
stress akut, dan kegiatan jasmani
Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengan tinggi badan (dalam meter).
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:
Berat badan kurang < 18,5
Berat badan normal 18,5-22,9
BB lebih ≥23,0
Dengan risiko 23-24,9
Obesitas I 25-29,9
Obesitas II ≥30
Penentuan Status Gizi Berdasarkan Rumus Broaca
Penentuan status gizi dihitung dari: (BB aktual : BB idaman) x 100%
Berat badan kurang BB < 90% BBI
Berat badan normal BB 90-110% BBI
Berat badan lebih BB 110-120% BBI
Gemuk BB > 120% BBI
Penentuan kebutuhan kalori tiap hari:
1. Kebutuhan basal:
Laki-laki : BB idaman (kg) X 30 kalori
Wanita : BB idaman (kg) X 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
Umur diatas 40 tahun : - 5%
Aktivitas ringan : + 10%
14
Aktivitas sedang : +20%
Aktivitas berat : +30%
Berat badan gemuk : -20%
Berat badan lebih : -10%
Berat badan kurus : +20%
3. Stres metabolik : + 10-30%
4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
5. Kehamilan trimester III dan menyusu : + 500 kalori.2,3,9
2. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, bersepeda santai, jogging, berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu lama kegiatan yang kurang
gerak seperti menonton televisi.
Prinsip Latihan Jasmani Bagi Diabetisi
Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur
3-5 kali perminggu
Intensitas : Ringan atau Sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
Durasi : 30-60 menit
Jenis : Latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan
kemampuan kardio respirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.2,3,9
Terapi Farmakologi 1,2,3,4,5,7,8,9
Macam-Macam Obat Anti Hiperglikemia Oral
Golongan Insulin Sensitizing
15
1. BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi
secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya diberikan
dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal ( kreatinin
>1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati
dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh usus sehigga
menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan
makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh
2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan
hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat
antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang
rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan
glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis
maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal
pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective
Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat
dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis
maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk
dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih
16
baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian lain ada yang
mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan
berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal
pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat
merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan
kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
2. GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan
sensitivitas insulin.
Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome
proliferators-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor
PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet
dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid,
diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2
jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar
antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C
sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai
kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai
terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal.
Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.
17
1. SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan
sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila
konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea
sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan
atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat
pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini
menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca
tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien yang
masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat
dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa
darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan
perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas
dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai
dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga
tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat
diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
2. GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang
mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
18
Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga
diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme terutama
oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu
paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi
melalui feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,
karena lama kerjanya 24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada
insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
PENCEGAHAN 2,9
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau
tahap, yaitu:
19
1. Pencegahan Primer:
Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada
individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
2. Pencegahan Sekunder:
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan
terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang
sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat
dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi
masih reversible.
3. Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi,
meliputi:
Mencegah timbulnya komplikasi
Mencegah progresi dari pada komplikasi agar tidak terjadi kegagalan
organ
Mencegah kecacatan tubuh
PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien Diabetes Melitus Tergantung Insulin yang mendapat insulin
dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal
ginjal kronik, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Powers C Alvin. Diabetes Mellitus. Harrison’s Principles Of Internal Medicine.
16th. Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America: 2005; 2152-80.
2. Suryono Slamet. Diabetes Melitus Di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1874-8.
20
3. Gustaviani Reno. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1879-81.
4. Soegondo Sidartawan. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes
Melitus Tipe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2006; 1882-5.
5. Yunir Em, Soebardi Suharko. Terapi Non Farmakologi Pada Diabetes Melitus.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1886-9.
6. Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji. Diabetes Melitus. Kapita Selekta Kedokteran.
3rd. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2001;
580-6.
7. http://www.medicastore.com .
8. Cahill F Goerge. Diabetes Mellitus. Cecil Textbook Of Medicine. 5 th. W.B.
Saunders Company. Philadelphia, London, Toronto: 1979; 1969; 1969-89.
9. Guyton C Arthur, Hall E John. Diabetes Melitus. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. 9th. EGC. Jakarta: 1997; 1234-8.
10. http://www.merck.com
11. http://www.prodia.co.id
12. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Indonesia. Semarang: 2002.
13. Davey Patrick. Diabetes Melitus. At a Glance Medicine. Erlangga. Jakarta: 266-
70.
21