Post on 24-Feb-2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
II.1 Latar Belakang
Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah
tentang adanya lesi pada ruang intrakranial
khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya meliputi
hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt,
2005).
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak,
darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan
volume salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur
lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial.
Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan tekanan intracranial
(Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari
space occupying lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus
baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai
10% dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan
di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).
2
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit
Lahore, Pakistan, periode September 1999 hingga
April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46
kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus ditemukan
pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada
rentan usia 20-29 tahun, 13 kasus pada usia 30-39,
dan 14 kasus pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf
pusat belum dilaporkan. Insiden tumor otak pada
anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa
pada usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun
(Iskandar 2002).
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah
Tujuan Umum
Untuk mengetahui macam-macam pemeriksaan
penunjang dalam penegakkan diagnosis
penyakit tropis dan indikasinya.
Untuk mengetahui pertimbangan dalam
menggunakan pemeriksaan penunjang.
Tujuan Khusus
Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai
space occupying lesion (SOL) intrakranial.
3
I.3 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya
referat ini adalah mampu memberikan pengetahuan dan
wawasan tentang space occupying lesion (SOL) intrakranial
bagi mahasiswa dan pembaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie
Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak,
darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai
200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan
normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara
waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari
normal. Ruang intra kranial adalah suatu ruangan
kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400
g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah
(sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu
dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan
ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2006 ).
Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang
kranium sehingga volume dari ruang tersebut relatif
tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra
kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-
Kellie (Sumardjono,2004).
Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan
komponen paling besar, kurang lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri,
arteriole, kapiler, venula, dam vena-vena
5
besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi
kapasitas variasi yang cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc,
15-20% pada keadaan tertentu sangat potensial
untuk pengobatan, karena CSS dapat
dikeluarkan.
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie (Sumardjono,2004)
6
Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg.
Jika TIK lebih dari 20 mmHg dianggap tidak normal,
jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk kenaikan TIK
berat (Sumardjono,2004).
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung
menjadi lebih besar, hal tersebut dikarenakan
pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar
kontusio. Sehingga akan menyebabkan space occypying
lesion (lesi desak ruang) intra kranial yang cukup
berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat
adanya tambahan massa, maka secara kompensasi akan
menyebabkan tekanan intra kranial yang meningkat.
Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan
penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut
bervariasi antara 24-48 jam dan berlangsung sampai
hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan
TPO (Tekanan Perfusi Otak), sehingga akan berakibat
terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus
diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40
mmHg maka dapat terjadi kematian (Sumardjono,2004).
7
Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang
Intrakranial dan isinya (Sumardjono,2004)
II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial
II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang
intrakranial) didefinisikan sebagai neoplasma,
jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga
tengkorak yang menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan menempati ruang di dalam otak.
Space occupying lesion intrakranial meliputi tumor,
hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).
II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying
Lesion
8
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi
tiga komponen yaitu otak, cairan serebrospinal
(CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah lubang
keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki
tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari
serebelum. Timbulnya massa yang baru di dalam
kranium seperti neoplasma, akan menyebabkan isi
intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh
pleksus koroideus ventrikel lateral, tiga, dan
empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal
dari sekresi pleksus di keempat ventrikel,
terutama di kedua ventrikel lateral. Saluran
utama aliran cairan, berjalan dari pleksus
koroideus dan kemudian melewati sistem cairan
serebrospinal. Cairan yang disekresikan di
ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam
ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah
cairan dari ventrikel ketiga, cairan tersebut
mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii
ke dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar
dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil,
yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu
foramen Magendie di tengah, dan memasuki
sisterna magna, yaitu suatu rongga cairan yang
9
terletak di belakang medula dan di bawah
serebelum (Guyton, 2007).
Sisterna magna berhubungan dengan ruang
subrakhnoid yang mengelilingi seluruh otak dan
medula spinalis. Cairan serebrospinal kemudian
mengalir ke atas dari sisterna magna dan
mengalir ke dalam vili arakhnoidalis yang
menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton,
2007).
Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal
(Guyton, 2007)
Peningkatan tekanan intrakranial
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam
rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati
10
oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu
volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau
4 – 15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu
ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat
ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal
(sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga
unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan
tekanan intrakranial (Price, 2005).
Pada keadaan fisiologis normal volume
intrakranial selalu dipertahankan konstan dengan
tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg.
Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg
dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai
peninggian yang parah. Penyebab peningkatan
intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan
trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah
dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial secara mendadak sehingga mencapai
tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat.
Tingginya tekanan intrakranial pasca pecah
aneurisma sering kali diikuti dengan
meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal
11
dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu
iskhemia serebri. Tumor otak yang makin membesar
akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah
perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).
Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang
menimbulkan Kompresi Pada Jaringan Otak dan
Pergeseran Struktur Tengah.
(Satyanegara,
2010)
II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion
1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah
neoplasma atau proses desak ruang (space
12
occupying lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen
supertentorial maupun infratentorial
(Satyanegara, 2010)
Keganasan tumor otak yang memberikan
implikasi pada prognosanya didasari oleh
morfologi sitologi tumor dan konsekuensi
klinis yang berkaitan dengan tingkah laku
biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak
didasari oleh hasil evaluasi morfologi
makroskopis dan histologis neoplasma,
dikelompokkan atas kategori-kategori
(Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan
batas yang jelas, tidak infiltratif dan
hanya mendesak organ-organ sekitar.
Selain itu, ditemukan adanya pembentukan
kapsul serta tidak adanya metastasis
maupun rekurensi setelah dilakukan
pengangkatan total. Secara histologis,
menunjukkan struktur sel yang reguler,
pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas
sel yang rendah dengan diferensiasi
struktur yang jelas parenkhim, stroma
yang tersusun teratur tanpa adanya
formasi baru.
13
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif
atau ekspansi destruktur tanpa batas
yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung
membentuk metastasis dan rekurensi pasca
pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan
neurologik progresif. Gangguan neurologik pada
tumor otak biasanya disebabkan oleh dua
faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan
kenaikan intrakranial (Price, 2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat
penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi
atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan
kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai
darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan
suplai darah arteri pada umumnya
bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara
akut dan gangguan serebrovaskular primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan
kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi,
invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan
otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga
menekan parenkim otak sekitar sehingga
14
memperberat gangguan neurologis fokal (Price,
2005).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya edema sekitar tumor, dan
perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan
bertambahnya massa karena tumor akan mendesak
ruang yang relatif tetap pada ruangan
tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak dapat
menimbulkan peningkatan volume intrakranial
dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi
cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis
ke ruangan subarakhnoid menimbulkan
hidrosefalus (Price, 2005).
Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan
Intrakranial
15
Dikutip dari: Buka Ilmu
Bedah Saraf Satyanegara, 2010
Peningkatan tekanan intrakranial dapat
membahayakan jiwa apabila terjadi cepat akibat
salah satu penyebab tersebut. Mekanisme
kompensasi antara lain bekerja menurunkan
volume darah intrakranial, volume cairan
serebrospinal, kandungan cairan intrasel, dan
mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan
tekanan yang tidak diobati mengakibatkan
herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus
timbul bila girus medialis lobus temporalis
tergeser ke inferior melelui incisura
tentorial oleh massa dalam hemisfer otak.
Herniasi menekan mesensefalon menyebabkan
hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak
ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil
serebelum bergeser ke bawah melalui foramen
magnum oleh suatu massa posterior (Price,
2005).
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep
Virchow berdasarkan tampilan sitologinya dan
dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn
berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti
lain dari berbagai negara. Klasifikasi
universal awal dipeloporo oleh Bailey dan
16
Cushing (1926) berdasarkan histogenesis sel
tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan
diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan
diperankan oleh faktor-faktor, seperti lokasi
tumor, efek radiasi, usia penderita, dan
tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan
pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari oleh
sistem gradasi keganasan di atas dan
menghubungkannya dengan prognosis.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing
dan Kernohan
Cushing Kernohan
Astrositoma
Oligodendroglioma
Ependioma
Meduloblastoma
Glioblastoma
multiforme
Pinealoma
(teratoma)
Ganglioneuroma
(glioma)
Astrositoma grade I dan
II
Oligodendroglioma
grade I−IV
Ependioma
Meduloblastoma
Astrositoma grade III
dan IV
Pinealoma
Neuroastrositoma grade
17
Neuroblastoma
Papiloma pleksus
khoroid
Tumor
“unclassified”
I
Neuroastrositoma grade
II−III
Tumor campur
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara,
2010
Astrositoma
Astrositoma adalah kelompok tumor sistem
saraf pusat primer yang tersering. Astrositoma
adalah sekelompok neoplasma heterogen yang
berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh
lambat seperti astrositoma pilositik hingga
neoplasma infiltratif yang sangat ganas
seperti glioblastoma multiforme. Astrositoma
berdiferensiasi baik biasanya adalah lesi
infiltratif berbatas samar yang menyebabkan
parenkim membesar dan batas substansia
grisea/substansia alba kabur (Vinay Kumar dkk,
2007).
18
Gambar 2.4 Astrositoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 2.6 MRI Anaplastik Astrositoma
(Buku Ilmu Bedah Saraf Sastranegara, 2010)
19
Oligodendroglioma
Oligodendroglioma paling sering ditemukan
pada masa dewasa dan biasanya terbentuk dalam
hemisferium serebri. Kelainan sitogenik yang
sering terjadi pada oligodendroglioma adalah
hilangnya heterozigositas di lengan panjang
kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1.
Secara makroskopis, oligodendroglioma biasanya
lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki
batas yang lebih tegas dibandingkan dengan
astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis,
oligodendroglioma dibedakan dengan adanya sel
infiltratif dengan nukleus bulat seragam
(Vinay Kumar dkk, 2007).
Prognosis untuk pasien dengan
oligodendroglioma lebih sulit diperkirakan.
Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya
peningkatan kontras dalam pemeriksaan
radiografik, aktivitas proliferatif, dan
karakteristik sitogenik juga memiliki pengaruh
pada prognosis (Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma
Ependioma dapat terjadi pada semua usia.
Sebagian besar muncul di dalam salah stu
rongga ventrikel atau di daerah sentralis di
20
korda spinalis. Ependimoma intrakranial paling
sering terjadi pada dua dekade pertama
kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama
pada orang dewasa. Ependioma intrakranial
paling sering timbul di ventrikel keempat,
tempat tumor ini mungkin menyumbat CSS dan
menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan
tekanan intrakranial (Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma memiliki lesi yang berbatas
tegas yang timbul dari dinding ventrikel. Lesi
intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga
ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang
dengan papilar yang jelas (Vinay Kumar dkk,
2007).
Gambaran klinis ependimoma bergantung pada
lokasi neoplasma. Tumor intrakranial sering
menyebabkan hidrosefalus dan tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Karena lokasinya di
dalam sistem ventrikel, sebagian tumor dapat
menyebar ke dalam ruang subarakhnoid (Vinay
Kumar dkk, 2007).
21
Gambar 2.7 Ependimoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Glioblastoma
Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang
berbatas tegas atau neoplasma yang infiltratif
secara difuse. Potongan tumor dapat berupa
masa yang lunak berwarna keabuan atau
kemerahan, daerah nekrosis dengan konsistensi
seperti krim kekuningan, ditandai dengan suatu
daerah bekas perdarahan berwarna cokelat
kemerahan (Vinay Kumar dkk, 2007).
22
Gambar 2.8 Glioblastoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 2.9 MRI Glioblastoma
(Buku Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010)
23
Meduloblastoma
Meduloblastoma merupakan neoplasma yang
invasif dan bertumbuh sangat cepat. Neoplasma
ini sering ditemukan pada anak. Sekitar 20%
neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma
(Arthur, 2012).
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma
adalah di infratentorial, di bagian posterior
vermis serebeli dan atap ventrikel ke empat.
Pada analisis kromosom ditemukan hilangnya
informasi genetik di bagian distal kromosom
17, tepatnya di bagian distal dari regio yang
mengkode protein p53 pada sebagian besar
pasien. Ini diduga bertanggung jawab terhadap
perubahan neoplastik dari sel-sel punca
serebelum menjadi neoplasma (Arthur, 2012).
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun.
Diagnosis rata-rata ditegakkan 1 – 5 bulan
setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis
yang ada timbul akibat hidrosefalus obstruktif
dan tekanan tinggi intrakranial. Biasanya anak
akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan
mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari.
Selanjutnya akan terlihat anak berjalan
seperti tersandung, sering jatuh, melihat
dobel, dan mata menjadi juling. Pada tahap ini
biasanya baru dilakukan pemeriksaan neurologis
24
yang secara khas akan memperlihatkan
papiledema atau paresis nervus abdusens (n.
VI) (Arthur, 2012).
Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma
(Netter’s Neurology, 2012)
Tumor Pleksus Khoroid
Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid
adalah berupa massa dengan konsistensi lunak,
vaskuler, ireguler yang berbentuk mirip dengan
kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk
sesuai dengan kontur ventrikel yang
ditempatinya dan berekstensi melalui foramen-
foramen ke dalam ventrikel lain yang
berdekatan atau ke dalam rongga subarakhnoid.
25
Tumor ini mendesak jaringan otak namun tidak
menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
disertai gejala neurologis fokal. Tumor
intraventrikel IV dapat menimbulkan gejala
nistagmus dan ataksia (Vinay Kumar dkk, 2007).
2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek
pembuluh darah, terutama arteri meningea media
yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang
di permukaan dalam os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan dari hematom akan melepaskan durameter
lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal
menyebabkan tertekannya lobus temporalis otek
ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan
sebagian dari girus hipokampus) mengalami
herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
26
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik
(Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak
menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah
hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan
intrakranial. Penderita akan mengalami sakit
kepala, mual, dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang
teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu
pupil ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Gambar 2.11 Hematom Epidural
27
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3.
Hematom epidural, 4. Otak terdorong kesisi lain
Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma
otak yang menyebabkan robeknya vena di dalam
ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh
karena hematom subdural sering disertai cedera
otak berat lain, jika dibandingkan dengan
hematom epidural prognosisnya lebih jelek (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural
akut bila gejala timbul pada hari pertama
sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara
hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik
bila timbul sesudah minggu ketiga (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala
neurologik yang penting dan serius dalam 24
sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering
berkaitan dengan trauma otak berat dan
memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma
subdural akut terjadi pada pasien yang meminum
obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya
28
mengalami trauma kepala minor. Cidera ini
seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke
dalam foramen magnum yang selanjutnya
menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah (Price,
2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan
defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih
dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu
setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada
penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang bertahap. Namun,
setelah jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis
yang memburuk. Tingkat kesadaran menurun
secara bertahap dalam beberapa jam.
Meningkatnya tekanan intrakranial akibat
timbunan hematom yang menyebabkan menjadi
sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap
rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan
tekanan intrakranial dan pergeseran isi
kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan
29
terjadinya herniasi unkus atau sentral dan
timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak (Price, 2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada
umumnya tertunda beberapa minggu, bulan bahkan
beberapa tahun setelah cidera awal. Pada orang
dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan
gejala awal demensia. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam
ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan, darah dikelilingi oleh membran
fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke
dalam hematoma. Bertambahnya ukuran hematoma
ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut
akibat robekan membran atau pembuluh darah di
sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan
tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti
perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan
hematom subdural akan mengalami perubahan-
perubahan yang khas. Hematoma subdural kronik
memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik,
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh
banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda
perubahan yang paling khas adalah perubahan
30
progresif dalam tingkat kesadaran termasuk
apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan
kecakapan kognitif yang lebih tinggi (Price,
2005).
Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami
Hematom Subdural
Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, 2005
Hematom subdural akut secara klinis sukar
dibedakan dengan hematom epidural yang
berkembang lambat. Hematom subdural akut dan
kronik memberikan gambaran klinis suatu proses
desak ruang (space occupying lesion) yang progresif
sehingga tidak jarang dianggap sebagai
31
neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Gambar 2.13 Hematom Subdural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3.
Hematom subdural, 4. Otak terdorong kesisi lain
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural
lama yang mungkin disertai pengumpulan cairan
serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat
terjadi karena robekan selaput arakhnoid yang
menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke
ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan
32
tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering
tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat, 2004).
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan
oleh Space Occupying Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah
secara umum dianggap sebagai karakteristik
peninggian tekanan intrakranial. Namun
demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak
ruang memiliki semua gambaran tersebut,
sedang kebanyakan sisanya umumnya dua.
Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat
tekanan yang terjadi. Tak ada korelasi yang
konsisten antara tinggi tekanan dengan
beratnya gejala (Syaiful Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak
sensitif nyeri, ahli bedah saraf dapat
melakukan kraniotomi major dalam anestesia
lokal karena tulang tengkorak dan otak
33
sendiri dapat ditindak tanpa nyeri.
Struktur sensitif nyeri didalam kranium
adalah arteria meningeal media beserta
cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus
venosus dan bridging veins, serta dura didasar
fossa kranial. Peninggian tekanan
intrakranial dan pergeseran otak yang
terjadi membendung dan menggeser pembuluh
darah serebral atau sinus venosus serta
cabang utamanya dan memperberat nyeri
lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir
diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan
batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala
juga disebabkan oleh spasme otot-otot
besar didasar tengkorak. Ini mungkin
berdiri sendiri atau ditambah dengan
reaksi refleks bila mekanisme nyeri bekerja
(Syaiful Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan
intrakranial secara klasik bangun pagi
dengan nyeri kepala yang berkurang dalam
satu-dua jam. Nyeri kepala pagi ini
pertanda terjadinya peningkatan tekanan
intrakrania; selama malam akibat posisi
berbaring, peninggian PCO2 selama tidur
34
karena depresi pernafasan dan mungkin
karena penurunan reabsorpsi cairan
serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan
intrakranial oleh semua sebab dan
merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala
ini timbul. Gejala ini mungkin jelas
merupakan gambaran dini dari tumor
ventrikel keempat yang langsung
mengenai nukleus vagal. Setiap lesi
hampir selalu meninggikan tekanan
intrakranial akibat obstruksi aliran
cairan serebrospinal dan mungkin tidak
mudah menentukan mekanisme mana yang
dominan. Muntah akibat peninggian tekanan
intrakranial biasanya timbul setelah
bangun, sering bersama dengan nyeri kepala
pagi. Walau sering dijelaskan sebagai
projektil, maksudnya terjadi dengan
kuat dan tanpa peringatan, hal ini
jarang merupakan gambaran yang menarik
perhatian (Syaiful Saanin, 2012).
3. Papila Oedema
35
Papila oedema menunjukkan adanya oedema
atau pembengkakan diskus optikus yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial yang menetap selama lebih dari
beberapa hari atau minggu. Oedema ini
berhubungan dengan obstruksi cairan
serebrospinal, dimana peningkatan tekanan
intrakranial pada selubung nervus optikus
menghalangi drainase vena dan aliran
aksoplasmik pada neuron optikus dan
menyebabkan pembengkakan pada diskus
optikus dan retina serta pendarahan diskus.
Papila oedema tahap lanjut dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus (Syaiful Saanin,
2012).
II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan
intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari
tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri
kepala hebat, papil edema, mual dan muntah.
Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang
lebih progresif daripada tumor benigna (jinak).
Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran
36
yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit
neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan
gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa
posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal
dulu baru kemudian memberikan gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat
menyebabkan (Saanin, 2004, Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan
intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan
tekana intrakranium dapat berakhir hingga
koma. Tekanan intrakranium yang meninggi
dapat menyebabkan ruang tengkorak yang
tertutup terdesak dan dapat pula menyebabkan
perdarahan setempat. Selain itu, jaringan
otak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan
edema, yang berkembang karena penimbunan
katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik.
Stasis dapat pula terjadi karena penekanan
pada vena dan disusuk dengan terjadi edema.
Pada umumnya tumor di fosa kranium posterior
lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang
meninggi. Hal ini mungkin disebabkan karena
aliran CSF pada aquaductus yang berpusat di
37
fosa kranium posterior dapat tersebumbat
sehingga tekanan dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium
dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi
diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada
bagian lateral dari fosa kranium medial
dan biasanya mendesak tepi medial unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah
dan ke kolong tepi bebas daun tentorium.
Karena desakan itu, bukan diansefalon yang
pertama kali mengalami gangguan, melainkan
bagian ventral nervus okulomotoris.
Akibatnya, pada awalnya akan kan terjadi
dilatasi pupil kontralateral barulah
disusul dengan gangguan kesadaran.
Biasanya, setelah ini akan terjadi
herniasi tentorial, yaitu keadaan
terjepitnya diansefalon oleh tentorium.
Pupil yang melebar merupakan cerminan dari
terjepitnya nervus okulomotoris oleh
arteri serebeli superior. Pada tahap
berkembangnya paralisis okulomotoris,
kesadaran akan menurun secara progresif.
38
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal
terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak
ruang supratentorial dan secara berangsur-
angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian
rostral batang otak. Tanda bahwa suatu
tumor supratentorial mulai menggangu
diansefalon biasanya berupa gangguan
perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah
keluhan cepat lupa, tidak bisa
berkonsentrasi dan tidak bisa mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal
terhadap batang otak akan menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan
ke samping kiri dan kanan
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang
lebih berat, akan terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling
rendah
Suhu badan mulai meningkat dan
cenderung untuk melonjak terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
39
Pupil yang tadinya sempit berangsur-
angsur melebar dan tidak lagi bereaksi
terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan
pada medula oblongata. Gejala-gejala
gangguan pupil, pernafasan, okuler dan
tekanan darah berikut nadi yang menandakan
gangguan pada medula oblongata, pons,
ataupun mesensefalon akan terjadi.
2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang
tinggi
Gejala umum timbul karena peningkatan
tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi
difus dari tumor. Gejala yang paling sering
adalah sakit kepala, perubahan status mental,
kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual
dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan
gejala yang lebih progresif daripada tumor
benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal
depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada
mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada
lobus parietal dan oksipital lebih sering
40
memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita
dengan tumor otak yang kemudian berkembang
menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan
intermitten. Nyeri kepala berat juga
sering diperhebat oleh perubahan posisi,
batuk, maneuver valsava dan aktivitas
fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala
ipsilateral pada tumor supratentorial
sebanyak 80 % dan terutama pada bagian
frontal. Tumor pada fossa posterior
memberikan nyeri alih ke oksiput dan
leher. Sakit kepala merupakan gejala umum
yang dirasakan pada tumor intrakranium.
Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri
berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala
seolaholah mau meledak. Nyerinya paling
hebat di pagi hari, karena selama tidur
malam PCO2 arteri serebral meningkat
sehingga mengakibatkan peningkatan dari
CBF dan dengan demikian meningkatkan lagi
tekanan intrakranium. Lokalisasai nyeri
41
yang unilateral akan sesuai dengan lokasi
tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya
belum meluas, mungkin saja sakit kepala
belum dirasakan. Misalnya, glioma pada
tahap dini dapat mendekam di otak tanpa
menimbulkan gejala apapun. Sebaliknya,
astrositoma derajat 1 sekalipun dapat
berefek buruk jika menduduki daerah yang
penting, misalnya daerah bicara motorik
Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium
posterior (tumor infratentorial) dapat
dengan cepat menekan saluran CSS. Karena
itu, sakit kepala akan terasa sejak awal
dan untuk waktu yang lama tidak
menunjukkan gejala defisit neurologik.
Tumor infratentorial yang berlokasi di
samping (unilateral) cepat menimbulkan
gejala defisit neurologik akibat
pergeseran atau atau desakan terhadap
batang otak. Maka dari itu, tuli sesisi,
vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus,
oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata)
dan paresis (paralisis ringan) perifer
fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
42
Definisi “sakit kepala” dan “pusing”
harus dapat dibedakan dengan jelas. Pusing
kepala biasanya disebabkan oleh
oftalmoplegia (yang menimbulkan diplopia).
Kombinasi pusing kepala ataupun sakit
kepala dan diplopia harus menimbulkan
kecurigaan terhadapa adanya tumor serebri,
terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang
luas dengan efek dari massa tumor tersebut
juga mengindikasikan adanya pergeseran
otak. Muntah berulang pada pagi dan malam
hari, dimana muntah yang proyektil tanpa
didahului mual menambah kecurigaan adanya
massa intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari
setelah bangun tidur. Hal ini disebabkan
oleh tekanan intrakranium yang meninggi
selama tidur malam, di mana PCO2 serebral
meningkat. Sifat muntah dari penderita
dengan tekanan intrakranium meninggi
adalah khas, yaitu proyektil atau muncrat
yang tanpa didahului mual.
c. Kejang fokal
43
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari
tekanan intrakranium yang melonjak secara
cepat, terutama sebagai gejala dari
glioblastoma multiform. Kejang tonik
biasanya timbul pada tumor di fosa kranium
posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa,
perubahan kepribadian, perubahan mood dan
berkurangnya inisiatif adalah gejala-
gejala umum pada penderita dengan tumor
lobus frontal atau temporal. Gejala ini
bertambah buruk dan jika tidak ditangani
dapat menyebabkan terjadinya somnolen
hingga koma. (4,9,10) Tumor di sebagian
besar otak dapat mengakibatkan gangguan
mental, misalnya demensia, apatia,
gangguan watak dan serta gangguan
intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi
juga akan terjadi terutama jika tumor
tersebut mendesak sistem limbik (khususnya
amigdala dan girus cinguli) karena sistem
limbik merupakan pusat pengatur emosi.
e. Edema Papil
44
Gejala umum yang tidak berlangsung lama
pada tumor otak, sebab dengan teknik
neuroimaging tumor dapat segera dideteksi.
Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan
gejala hilangnya kemampuan untuk melihat,
tetapi edema papil yang berkelanjutan
dapat menyebabkan perluasan bintik buta,
penyempitan lapangan pandang perifer dan
menyebabkan penglihatan kabur yang tidak
menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang
perkembangannya lambat seperti
astrositoma, oligodendroglioma dan
meningioma. Paling sering terjadi pada
tumor di lobus frontal baru kemudian tumor
pada lobus parietal dan temporal.
II.3.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion
Gejala lokal terjadi pada tumor yeng
menyebabkan destruksi parenkim, infark atau
edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase,
ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin),
semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal
yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
45
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap
awal, sedangkan muntah dan papiludema akan
timbul pada tahap lanjutan. Walaupun
gangguan mental dapat terjadi akibat tumor
di bagian otak manapun, namun terutama
terjadi akibat tumor di bagian frontalis
dan korpus kalosum. Akan terjadi
kemunduran intelegensi, ditandai dengan
gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering
diulang-ulang dan disajikan sebagai bahan
tertawaan, yang bermutu rendah (Saanin,
2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal)
merupakan simptom lain dari tumor di
bagian posterior lobus frontalis, di
sekitar daerah premotorik. Tumor di lobus
frontalis juga dapat menyebabkan refleks
memegang dan anosmia (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan
terjadinya kejang umum yang diikuti
paralisis post-iktal. Meningioma kompleks
atau parasagital dan glioma frontal khusus
berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor
frontal antara lain disartri, kelumpuhan
46
kontralateral, dan afasia jika hemisfer
dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral
menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
2. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan
merangsang derah motorik sehingga
menimbulkan kejang pada sisi kontralateral
sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah
presentral sudah menimbulkan destruksi
strukturil, maka gejalanya berupa
hemiparesis kontralateral. Jika tumor
bertumbuh di daerah falk serebri setinggi
daerah presentralis, maka paparesis
inferior akan dijumpai (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
3. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang
diduduki, gejala klinis kurang menonjol.
Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan
timbul serangan “uncinate fit” pada
epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan
pada funsgi penciuman serta halusinasi
auditorik dan afasia sensorik. Hal ini
logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus
47
sebagai pusat penciuman dan lobus
temporalis sebagai pusat pendengaran.
Gejala tumor lobus temporalis antara lain
disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, defisit lapangan pandang
homonim, perubahan kepribadian, disfungsi
memori dan kejang parsial kompleks
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
4. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat
merangsang daerah sensorik. Jika tumor
sudah menimbulkan destruksi strukturil,
maka segala macam perasa pada daerah tubuh
kontralateral yang bersangkutan tidak
dapat dikenali dan dirasakan. Han ini akan
menimbulkan astereognosia dan ataksia
sensorik. Bila bagian dalam parietalis
yang terkena, maka akan timbul gejala yang
disebut “thalamic over-reaction”, yaitu
reaksi yang berlebihan terhadap rangsang
protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi
yang menyebabkan terputusnya optic radiation
sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah
posterior dari lobus parietalis yang
berdampingan dengan lobus temporalis dan
lobus oksipitalis merupakan daerah penting
48
bagi keutuhan fungsi luhur sehingga
destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan
untuk mengenali rangsang sensorik) dan
afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan
untuk melakukan gerakan-gerakan yang
bertujuan walaupun tidak ada gangguan
sensorik dan motorik). Tumor hemisfer
dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang
merupakan gejala utama tumor lobus
parietal. Adapun gejala yang lain
diantaranya disfungsi traktus
kortikospinal kontralateral, hemianopsia/
quadrianopsia inferior homonim
kontralateral dan simple motor atau kejang
sensoris (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui.
Bila ada, maka gejala yang muncul biasanya
adalah sakit kepala di daerah oksiput.
Kemudian dapat disusul dengan gangguan
medan penglihatan.
49
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan
hemianopsia homonym yang kongruen. Kejang
fokal lobus oksipital sering ditandai
dengan persepsi kontralateral episodik
terhadap cahaya senter, warna atau pada
bentuk geometri (Saanin, 2004, Bradley,
2000)
.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi
gangguan mental, terutama menjadi cepat
lupa sehingga melupakan sakit kepala yang
baru dialami dan mereda. Demensia uga akan
sering timbul dosertai kejang tergantung
pada lokasi dan luar tumor yang menduduki
korpus kalosum (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan
ventrikel tiga menghambat ventrikel atau
aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus.
Perubahan posisi dapat meningkatkan
tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit
kepala berat pada daerah frontal dan
verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan.
Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan,
50
diabetes insipidus, amenorea, galaktorea
dan gangguan pengecapan dan pengaturan
suhu (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
8. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf
kranialis, defek lapangan pandang,
nistagmus, ataksia dan kelemahan
ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat
menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum (Saanin,
2004, Bradley, 2000).
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di
bagian oksiput merupakan gejala yang
sering ditemukan pada tumor serebellar.
Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin
menonjol.
II.3.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan
neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang
sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial, pergeseran dari
struktur-struktur intrakranial atau iskemi.
Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi
51
peningkatan tekanan intrakranial yang
menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus
frontal yang difus atau tumor pada korpus
kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia)
(Bradley, 2000).
Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat
didiagnosis pada tumor intrakranium (Bradley,
2000):
1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat
timbul akibat tekanan intrakranium yang
meninggi atauapun karena penekanan pada
nervus optikus secara langsung. Papil akan
terlihat berwarna merah tua dan ada
perdarahan di sekitarnya. Untuk melihat
papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau
oftalmoskopi. Karena ruang subarachnoid pada
otak berlanjut hingga medula spinalis, maka
peningkatan tekanan intrakranial juga akan
tercermin pada ruang subarachnoid di medula
spinalis. Pada kedaan demikian, fungsi
lumbal tidak boleh dilakukan dapat
menyebabkan herniasi serebelum di foramen
magnus yang dapat mengkahiri kehidupan.
2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang
meningkat dapat menyebabkan ukuran kepala
membesar atau terenggannya sutura.
52
3. Tekanan intrakranium yang meninggi
mengakibatkan iskemi dan gangguan pada
pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga
menimbulkan bradikardi (melambatnya denyut
jantung) atau tekanan darah sistemik
meningkat secara progresif
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah.
Kompresi pada batang otak dari luar akan
mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi
sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
menyebabkan pernafasan yang lambat namun
dalam.
5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat
mengalami destruksi. Penipisan tulang
biasanya disebabkan meningioma yang bulat,
sedangkan penebalan tulang sebagai akibat
rangsang dari meningioma yang gepeng.
II.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial
Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj,
2008, Eccher,2004 ):
a.Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal
dari peningkatan ICP, terutama pada anak-anak.
53
Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang
mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan
mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada
mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla.
Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut
nadi akan menjadi lambat dan irregular dan
akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri
akan lebih tertekan daripada batang otak dan pada
pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya
akan diikuti dengan penurunan level dari
kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah
hasil dari tekanan langsung pada batang otak. Pada
bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya
serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala
awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat
berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil
selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama
pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan ICP,
tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing,
dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi
penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi
54
ini terus berlangsung, maka tekanan darah akan
mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan
ICP berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil.
Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningktan
suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari
hipotalamus atau edema pada traktus yang
menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil
berdilatasi. Reaksi pupil yang lebih lambat dari
normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius,
seperti edema otak atau lesi pada otak. Penekanan
pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke
bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara
tentorium dan herniasi dari lobus temporal yang
mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N.
okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan
fungsi pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk
dan kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan
antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan
terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan
diagnosis
55
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil,
bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola
mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan
oedema pada papil nervus optikus atau atrofi
papil nervus optikus et causa papil odema
tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan,
tanus, trofi, refleks fisiologi, reflek
patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Foto polos kepala
Arteriografi
Computerized Tomografi (CT Scan)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan
Space Occupying Lesion
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP
adalah pengangkatan dari lesi penyebabnya seperti
tumor, hidrosefalus, dan hematoma. Peningkatan ICP
pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan
56
meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus
untuk menghindari pengangkatan otak. Peningkatan
ICP adalah sebuah fenomena sementara yang
berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada
cedera sekunder segar karena hipoksia, bekuan atau
gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan untuk
mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan
pemantauan akan membantu. Berikut merupakan
tindakan yang dapat dilakukan (Widjoseno, 2004,
Eccher,2004 ).
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah
untuk mengamankan ABCDE (primary survey) pada
pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP
memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS
kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi
airway. Yang menjadi perhatian utama pada
pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini
mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang
kemudian dapat meningkatkan tekanan vena
sentral yang kemudian akan menghasilkan
inhibisi aliran balik vena sehingga akan
meningkatkan ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi,
elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus.
57
Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa
pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan
segera. Pemberian analgesia yang memadai harus
diberikan walaupun pasien dalam kondisi di
bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan.
Elevasi pada kepala dapat menurunkan ICP pada
komdisi normal dan pada pasien dengan cedera
kepala melalui mekanisme penurunan tekanan
hidrostatis CSF yang akan menghasilkan aliran
balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya
digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o.
Pasien harus diposisikan dengan kepala
menghadap lurus ke depan karena apabila kepala
pasien menghadap ke salah satu sisinya dan
disertai dengan fleksi pada leher akan
meynebabkan penekanan pada vena jugularis
interna dan memperlambat aliran balik vena
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan
gangguan pada autoregulasi yang kemudian
disertai dengan kejang dapat membahayakan
kondisi pasien dengan peningkatan ICP. Sehingga
banyak praktisi kesehatan yang kemudian
menggunakan terapi profilaksis fenitoin,
terutama pada pasien dengan cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, perdarahan
58
intrakranial, dan kondisi yang lainnya.
Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada
pasein dengan tumor otak dapat menghasilkan
penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi
dengan efek samping yang juga cukup besar
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien
dengan skor GCS yang lebih dari 5.
Pembuluh darah otak merespon dengan cepat
pada perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah
dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang
kemudian akan mengurangi komponen darah
dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan
vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan
menjaga agar PaCO2 berada pada level 25 –
30 mm Hg sehingga CBF akan turun dan
volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi
yang berkepanjangan harus dihindari dan
menjadi tidak efektif setelah sekitar 24
jam. Kecenderungannya adalah untuk menjaga
ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran
30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140 mmHg.
Ketikaa ada pemburukan klinis seperti
59
dilatasi pupil atau tekanan nadi melebar,
hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya
dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper
barik O2, hipotermia masih dalam tahap
percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada
dasarnya menyebabkan vasokonstriksi
serebral dan mengurangi volume darah otak
dan ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema
sitotoksik, ketika permeabilitas kapiler
yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan
obat yang baik untuk mengurangi ICP,
tetapi hanya jika digunakan dengan benar:
itu adalah diuretik osmotik yang paling
umum digunakan. Hal ini juga dapat
bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya.
Gliserol dan urea merupak golongan yang
jarang digunakan hari ini. Beberapa teori
telah dikemukakan mengenai mekanisme yang
mengurangi ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas
eritrosit, yang menurunkan viskositas
darah dan menyebabkan vasokonstriksi
yang mengurangi volume darah otak dan
60
menurunkan ICP dan dapat mengurangi
produksi CSF oleh pleksus choroideus.
Dalam dosis kecil dapat melindungi otak
dari iskemik karena fleksibilitas
eritrosit meningkat (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi,
di mana integritas sawar darah otak
terganggu dan tidak ada pengaruh yang
signifikan pada otak normal. Lesi
intraaxial merespon lebih baik dari lesi
ekstra aksial (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan
menarik air di ependyma dari ventrikel
dengan cara analog dengan yang
dihasilkan oleh drainase ventrikel.
Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam
20% sampai 25% iv baik sebagai bolus
atau lebih umum secara bertahap. Tidak
ada peran untuk dehidrasi. Efek Manitol
pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam
setelah infus dan berlangsung selama 3
atau 4 jam sebagai sebuah aturan. Dosis
yang benar adalah dosis terkecil yang
akan berpengaruh cukup terhadap ICP.
Ketika dosis berulang diperlukan,
61
penggunaan garis dasar osmolalitas serum
meningkat secara bertahap dan saat ini
melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol
harus dihentikan. Penggunaan lebih
lanjut tidak efektif dan cenderung
menimbulkan gagal ginjal. Diuretik
seperti furosemid, baik sendiri atau
bersama dengan bantuan manitol untuk
mempercepat ekskresi dan mengurangi
osmolalitas serum awal sebelum dosis
berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa
furosemid manitol dapat meningkatkan
output. Beberapa memberikan furosemid
sebelum manitol, sehingga mengurangi
overload sirkulasi. Fenomena rebound
adalah karena pembalikan gradien osmoICP
sebagai akibat kebocoran progresif dari
agen osmotik melintasi penghalang darah
otak rusak, atau karena ICP yang
meningkat kembali (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika
tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak
memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat
peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan
menekan metabolisme serebral; persyaratan
62
metabolisme otak dan dengan demikian volume
darah otak yang berkurang mengakibatkan
penurunan ICP. Fenobarbital yang paling banyak
digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari
30 menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas
digunakan. Fasilitas untuk memantau dekat ICP
dan ketidakstabilan hemodinamik harus menemani
setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer
beberapa tahun yang lalu dan masih digunakan
oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan
integritas dinding sel dan membantu dalam
pemulihan dan mengurangi edema. Barbiturat dan
agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan
arteri sehingga mengurangi ICP. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan
energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih
baik (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi
adjuvant terhadap terapi yang lain. Temperatur
tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari
temperature tubuh yang normal yaitu sekitar
32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin
menurunkan ICP dengan menurunkan metabolisme
63
dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48
jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8
jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk
terapi pada peningkatan ICP.. Penggunaan metode
ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti
perubahan fisiologi yang berhubungan dengan
hipotermia dan mampu merespon dengan cepat
perubahan tersebut. Komplikasi dari metode
hipotermia ini meliputi depresi jantung pada
suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden
komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia
telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim
otak yang berat dapat terjadi karena adanya
pelepasan thromboplastin pada jaringan diamana
hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik.
Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya
pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari nilai
APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan
level fibrin, dan penurunan jumlah platelet.
APTT yang memanjang ditangani dengan memberikan
fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah
150 mg/dL memerlukan penanganan berupa
pemberian krioprecipitate. Pemberian platelet
64
harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala
pada pasien dengan jumlah platelet yang kurang
dari 100.000/ml bila waktu perdarahan memanjang
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial
pressure, ICP) dapat diukur secara kontinu
dengan menggunakan transduser intrakranial.
Kateter dapat dimasukkan ke dlam entrikel
lateral dan dapat digunakan untuk mengeluarkan
CSF dengan tujuan untuk mengurangi ICP. Drain
tipe ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular
drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana
CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan
untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui
punksi lumbal dapat digunakan sebagai suatu
tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,
2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengeluarkan hematom di di
dalam ruangan intrakranial dan untuk mengurangi
tekanan intrakranial dari bagian otak dengan
cara membuat suatu lubang pada tulang tengkorak
kepala. Kranioektomi adalah suatu tindakan
radikal yang dilakukan sebagai penanganan untuk
peningkatan tekanan intrakranial, dimana
65
dilakukan pengangkatan bagian tertentu dari
tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa
adanya herniasi. Bagian dari tulang tengkorak
kepala yang diangkat ini desebut dengan bone
flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika
penyebab dari peningkatan ICP tersebut telah
disingkirkan. Material sintetik digunakan
sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak
yang diangkat. Tindakan pemasangan material
sintetik ini dkenal dengan cranioplasty
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari
operasi pada otak. Operasi ini paling banyak
digunakan dalam operasi untuk mengangkat tumor
pada otak. Operasi ini juga sering digunakan
untuk mengangkat bekuan darah (hematom), untuk
mengontrol perdarahan, aneurisma otak, abses
otak, memperbaiki malformasi arteri vena,
mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi
(Gulli. Dkk, 2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi,
terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan penyebab dan lokasi
dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn
66
neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan
adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan
kraniotomi dpat diberikan pengobatan terlebih
dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan
infeksi setelah operasi. Obata-obatan seperti
heparin, aspirin dan golongan NSAID memiliki
hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang
terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini harus
disuntikkan 7 hari sebelum operasi agar efeknya
hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium
yang rutin atau yang khusus sesuai dengan
kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum
6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus
dicukur sesaat sebelum operasi dimulai
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan
untuk membuka tengkorak. Insisi dibuat pada
daerah leher di sekitar os. Occipital atau
insisi melengkung yang dibuat di bagian depan
telinga yang melengkung ke atas mata. Insisi
dilakukan hingga sejauh membran tipis yang
67
membungkus tulang tengkorak kepala. Selama
insisi dilakukan, ahli bedah harus menutup
pembuluh darah kecil sebanyak mungkin. Hal ini
dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya
akan suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,
2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang
dapat terlihat. Dengan menggunakan bor
kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran
mengikuti pola lubang dan lakukan pemotongan
mengikuti pola lubang yang telah ada hingga
bone flap dapat diangkat. Hal ini akan
memberikan akses ke dalam kraium dan memudahkan
untuk melakukan operasi di dalam otak. Setelah
mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang
dikembalikan ke posisi semula dengan
menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan
kulit dijahit dalam posisinya. Apabila lesinya
adalah suatu aneurisma, maka arteri yang
terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor,
sebanyak mungkin bagian dari tumor ini
diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri
vena, kelainannya dipotong kemudian disambung
kembali dengan pembuluh darah yang normal
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
68
Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya
telah dirintis sejak beberapa abad yang silam oleh
Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat shunt atau
pintasan untuk mengalirkan cairan otak di ruang
tengkorak yang tersumbat ke tempat lain dengan
menggunakan alat sejenis kateter berdiameter
kecil. Cara mekanik ini terus berkembang, seperti
Matson (1951) menciptakan pintasan dari rongga
ventrikel ke saluran kencing (ventrikulo ureter),
Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-
pleural). Selanjutnya, Holter (1952), Scott
(1955), dan Anthony J Raimondi (1972)
memperkenalkan pintasan ke arah ruang jantung
atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut
(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah
dengan menggunakan katup pengaman.Teknologi
pintasan terus berkembang dengan ditemukan bahan-
bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya
menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting
karena selang pintasan itu ditanam di jaringan
otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang
lama bahkan seumur hidup penderita sehingga perlu
dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah
dibius total, ada sayatan kecil di daerah kepala
69
dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan
selaput otak yang selanjutnya selang pintasan
ventrikel di pasang, disusul kemudian dibuat
sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut
lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara
kedua ujung selang tersebut dihubungkan dengan
sebuah selang pintasan yang ditanam di bawah kulit
sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).
BAB III
PENUTUP