Post on 26-Jul-2015
Latar Belakang
Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung (Pilkada Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses
konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya, sistem Pilkada Langsung memiliki sejumlah
keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model
sentralistik “ala” UU no. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh UU
no. 22 Tahun 1999. Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, Pilkada
Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman
dan perluasan demokrasi loka, pertama, sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung
akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan
menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan-
yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruimen politik di tangan segelitir
orang di DPRD (Oligarkis). Kedua, dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan
munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan
masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan
ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa
memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan
yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktek politik dagang sapi dan
money politics. Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk
mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-
kepentingan elite politik-seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan.
Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan
sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Keempat, Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang
aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada Langsung, kepala daerah yang
terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan
demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas
tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala
daerah dengan masyarakarat-warganya. Kelima, Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada
akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan
(check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini
akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang
monolitik.
Dengan pergantian sistem dari demokrasi perwakilan ke bentuk demokrasi langsung dalam
pemilihan kepala daerah maka akan berlangsung proses politik yang sangat dinamis di Indonesia
pasca Pemilu 2004. Seperti yang diberitakan secara luas bahwa sampai dengan bulan Juni 2005
akan berlangsung Pilkada langsung di 7 provinsi, 145 kabupaten dan 26 kota. Setelah itu antara
bulan Juni sampai dengan Desember 2005, ada sebanyak 4 Gubernur, 33 Bupati dan 9 Walikota.
Walaupun secara normatif, Pilkada Langsung menyisakan sejumlah harapan namun pada saat
yang bersamaan Pilkada Langsung juga memiliki peluang untuk jatuh dalam perangkap
elektoralisme. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan
memperoleh manfaat dari sistem Pilkada Langsung adalah kemampuan untuk menghindari
jebakan demokrasi elektoral. Hal ini penting karena kurang lebih empat tahun belakangan ini,
konsep demokrasi elektoral – sebagai konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif
dalam memperoleh suara rakyat- merupakan konsep yang sangat populer. Prinsip-prinsip
demokrasi elektoral tidak hanya diyakini dalam dunia akademik, melainkan sudah menjadi
rujukan utama dalam praktek politik dan pemerintahan di Indonesia. Setidaknya hal itu terlihat
jelas dalam kerangka paradigmatik yang menjiwai politik regulasi nasional maupun tindakan-
tindakan politik yang dilakukan oleh rezim pasca Soeharto, mulai dari rezim Habibie sampai
dengan Megawati. Seperti pada umumnya penganut pendekatan elektoral, para akademisi dan
praktisi politik dewasa ini merumuskan demokrasi sebagai pengaturan kelembagaan untuk
mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui perjuangan
memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Sehingga dalam merumuskan makna demokrasi, mereka selalu merujuk pada tiga hal yang
paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Secara prosedural, ketiga hal pokok itu,
dilembagakan dalam pemilihan umum dan lembaga perwakilan. Pemilu, merupakan arena
kompetisi untuk menentukan pejabat-pejabat publik di eksekutif maupun legislatif. Partai politik
dan parlemen merupakan dua institusi politik utama yang menjadi wadah artikulasi dan agregasi
kepentingan.
Penekanan yang berlebihan pada elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi: Pertama,
demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin
partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun. Banyak kalangan sudah berpuas
diri ketika sistem pemilihan langsung Presiden, Gubernur dan Bupati/ walikota berhasil
terumuskan dalam agenda policy reform. Padahal, sistem pemilihan langsung itu tidak akan
berarti apa-apa bagi demokrasi jika sistem itu justru menjadi “topeng” atau bahkan dibajak oleh
kekuatan-kekuatan
Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral beresiko menimbulkan apa yang disebut Tery Karl
dengan “kekeliruan elektoralisme” Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu
mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang
bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk
bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya, atau
menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat
terpilih.
Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi elektoral dalam menciptakan
kepastian-kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan
partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Budaya politik menyangkut pola
keyakinan, nilai-nilai, ide-ide, sentimen dan sikap-sikap suatu masyarakat tentang sistem politik
negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem tersebut.
Keempat, demokrasi elektoral cenderung formalis dan prosedural sehingga gagal untuk
menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu (ertzast). Mungkin saja
terlihat ada perluasan partisipasi massa, namun partisipasi yang terjadi lebih dalam kerangka
mobilisasi. Demikian pula dengan kompetisi politik, secara formal menurut kreteria demokrasi
elektoral, pemilu multipartai sudah dilakukan secara bebas dan reguler, namun secara substansi
kompetisi itu dilakukan dalam manifestasi kultural yang sama sekali berbeda. Sehingga
demokrasi elektoral menjadi gagap dalam menjelaskan peranan para botoh dan perilaku mistis
dari sebagian elite politik yang tengah melakukan kompetisi politik. Elektoral ternyata bukan
satu-satunya ukuran dalam melihat demokrasi bekerja, akan tetapi ada banyak variabel lokal dan
kultural yang menjadi penentu keberhasilan jalannya demokrasi di tingkat lokal.Misalnya,
penelitian yang dilakukan oleh J Mardimin dalam kompetisi politik di pedesaan Jawa,
menunjukan bahwa ada tiga hal yang dianggap sebagai modal utama bagi seorang calon
perangkat desa untuk memenangkan pemilihan; dukun, duit dan dukungan.
Akhirnya, keempat kritik yang ditujukan pada demokrasi elektoral bukan sesuatu yang
berlebihan. Karena pengabaian terhadap dimensi liberalisasi, budaya politik dan legitimasi
demokrasi ini menimbulkan kosekuensi terbangunnya model demokrasi semu (pseudo
democracy). Juan Linz mendefinisikan demokrasi semu sebagai sebuah kecenderungan dimana
“keberadaan lembaga-lembaga politik demokratis secara formal, seperti pemilu multi partai
menyebabkan dominasi kekuatan otoriter menjadi tidak kasat mata”. Dalam tipologi yang
berbeda demokrasi semu berawal dari konsensus diantara para pemain-pemain politik untuk
menggunakan prosedural dan institusi demokrasi secara formal, namun substansi permainan
berada di luar skenario yang diinginkan oleh penganjur demokrasi elektoral. Sehingga akahirnya
masyarakat menjadi kehilangan kontrol pada substansi maupun proses perumusan kebijakan
publik.
PERMASALAHAN
1.Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PILKADA yang di semarang bagi
pengembangan kualitas demokrasi?
2. Bagaimana kompetensi politik dalam pilkada secara langsung di kota semarang?
PEMBAHASAN
Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PILKADA yang di semarang
bagi pengembangan kualitas demokrasi?
Salah satu isu krusial dalam Pilkada langsung adalah persoalan partisipasi politik.
Partisipasi warga negara dalam pilkada memiliki kontribusi bagi pengembangan kualitas
demokrasi kalau para partisipan memiliki kesadaran kritis dalam menggunakan hak-haknya.
Ada beberapa poin penting dalam isu partisipasi politik ini: Pertama, kemungkinan tingkat
partisipasi politik yang rendah dalam Pilkada Langsung. Indikasi kerah ini setidaknya bisa
bersandar pada data hasil pemilu legislatif pada bulan April 2004 dan Pil[pres putaran
pertama dan kedua. Apa yang terjadi dalam pemilu legislatif dan Pilpres bisa saja akan
berulang kembali dalam Pilkada Langsung. Dalam tiga putaran pemilu itu, terlihat dengan
jelas bagaimana tingkat partisipasi pemilih di Indonesia secara kuantitatif dan kualitatif.
Salah satu yang menarik dari data itu adalah tingginya angka pemilih yang tidak
menggunakan haknya dalam pemilu legislatif 2004. Bahkan beberapa media pernah
membuat pernyataan bahwasanya partai politik yang memenangkan pemilu adalah partai
Golongan Putih (Golput) karena jumlah golongan masyarakat yang tidak menggunakan hak
pilihnya mencapai angka 23,34 persen atau 34,5 juta rakyat.. Sebuah angka yang cukup besar
dibandingkan dengan perolehan partai Golkar- yang memenangkan pemilu dengan 24,48 juta
suara. Data statistik menunjukkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu 2004 hanya
mencapai 84,07 % dari total 148 juta pemilih yang terdaftar. Sementara suara tidak sah
mencapai 8,81 % dari total 124,42 juta pemilih yang mencoblos. Dari 34, 5 juta yang tidak
menggunakan hak pilih itu, 23,5 juta diantaranya tidak datang ke tampat pemungutan suara.
Pilpres putaran kedua juga ditandai dengan meningkatnya jumlah suara golput. Kalau dalam
pemilu legislatif, jumlah pemilih yang mengambil sikap golput 23,34 persen maka dalam
pemilihan presiden putaran kedua mencapai angka 35.583.483 (23,37 persen). Memang
tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya tidak selalu bisa dibaca sebagai
sikap Golput karena mungkin saja kesalahan administrasi-pencatatan maupun lemahnya
sosialisasi pemilu (kesalahan dalam mencoblos). Namun, melihat prolog pemilu 2004 yang
ditandai dengan semakin besarnya tingkat ketidak percayaan (distrust) masyarakat pada
partai politik, parlemen dan pemilu, maka tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan
haknya.
Kedua, kemungkinan kembalinya pola-pola partisipasi semu dalam Pilkada
langsung; melalui instrumen mobilisasi massa pemilih dan buying votters. Keduanya bisa
saling menguatkan, munculnya pemilih “siluman” sangat dekat dengan penggunaan uang
dalam memperoleh dukungan. Bagiaman modusnya? Modus mobilisasi massa pemilih dalam
Pilkada langsung ini setidaknya akan mirip dengan cara-cara yang digunakan pada pemilu
Presiden puataran pertama- dimana seorang kandidat Presiden (walaupun tidak pernah
dibuktikan) memobilsasi massa dari luar daerah ke sebuah Pesantren Al Zaitun di Jawa
Barat. Dalam Pilkada langsung modus semacam bisa saja berulang, dimana kandidat yang
bersaing akan memobilisasi massa dari luar Provinsi/ Kabupaten/ daerah dimana pilkadal itu
berlangsung. Peluang mobilisasi pemilih ini menjadi kuat di tengah “kelemahan historis”
sistem administrasi kependudukan, karena mudah “disogok” sehingga memudahkan
seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan KTP ganda.
Ketiga, kemungkinan munculnya diskriminasi terhadap pemilih berdasarkan etnisitas.
Pentingnya faktor komposisi demografik berbasikan etnisitas dalam perhitungan politik
masing kandidat yang bersaing dalam Pilkada langsung mengakibatkan akan ada upaya yang
sistematik untuk memillah-milahkankan masyarakat berdasarkan sentimen etnisitas, seperti
dalam kategori pribumi dan pendatang. Dalam konteks semacam ini akan muncul tindakan-
tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok pemilih yang dianggap tidak
menguntungkan posisi politik dari beberapa kandidat.
Ketiga poin krusial dalam partisipasi ini memerlukan langkah-langkah yang serius dari
penyelenggara Pilkadal untuk memikirkan kembali beberapa hal: format pendidikan politik
bagi warga agar bisa menggunakan hak pilihnya secara berkualitas; dimana pemilih memiliki
kesadaran kritis dan bisa menentukan pilihan secara otonom. Salah satu kesadaran kritis yang
perlu dimiliki oleh warga negara adalah bahwa pilkada adalah persoalan penentuan orang
yang akan mementukan nasibnya. Selain itu perlu ada penataan kembali manajemen
pendaftaran pemilih sehingga menghindari munculnya warga yang tidak bisa menggunakan
hak pilihnya; men-desain early warning system dalam mencegah secara dini mobilisasi
pemilih; menghindari aturan-aturan yang diskriminatif.
Bagaimana kompetensi politik dalam pilkada secara langsung di kota semarang ?
Dalam isu kompetisi politik ada problematika yang sedang dan mungkin muncul dalam
Pilkada langsung: Pertama, kompetisi politik yang terjadi Pilkada langsung tidak berjalan
dengan berkualitas ketika lembaga penyelenggara pemilu tidak kompeten dan kredibel.
Kedua hal tersebut seringkali dipertanyakan ketika dalam pasal 37 UU no. 32 tahun 2004
yang menyatakan bahwa Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan
oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal 67
ayat (1) butir c yang menyatakan KPUD berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD
untuk setiap tahpa pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada
masyarakat. Atau butir e dalam pasal yang sama dimana KPUD berkewajiban
mempertanggujawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Pertanggungjawaban
penyelenggaraan pilkada langsung oleh KPUD ke DPRD tentu menimbulkan sejumlah
kontroversi ketika UU no. 12 tahun 2003 secara jelas menempatkan KPU sebagai lembaga
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Ketika UU no. 32 Tahun 2004 menempatkan
KPUD dibawah dan bertanggungjawab pada DPRD maka sudah dipastikan akan muncul
problematika dari sisi independensi-nya. Karena KPUD akan sangat mudah diintervensi atau
juga “dikerjai” oleh kekuatan politik dominan yang menguasai DPRD. Disamping itu, ada
beberapa pasal dalam UU no. 32 tahun 2004 yang juga “mengebiri” kewenangan KPUD
sebagai penyelenggara Pilkada langsung. Misalnya, pasal 82 ayat (2) dimana DPRD
mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi pembatalan sebagai calon..
Selain itu, amanat UU no. 32 tahun 2004 yang menyerahkan kewenangan tata cara persiapan
dan semua tata pelaksanaan pilkada kepada pemerintah dalam bentuk PP akan
memungkinkan intervensi kepentingan politik Jakarta (pemerintah pusat) dan akhirnya
KPUD menjadi tidak kredibel. Diluar itu, intervensi pemerintah pusat juga dimungkinkan
oleh pasal 109 dalam pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil
Gubernur.
Faktor kopetensi juga menjadi pertanyaan karena KPUD belum berpengalaman dalam
membuat perencanaan teknis pelaksanaan pemilihan umum, padahal menurut UU no. 32
tahun 2004, tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada sangat besar.
Kewenangan yang besar tanpa diimbangi oleh supervisi, asistensi teknis tentu akan
menimbulkan problematika serius dalam teknis penyelenggaraan pilkada di daerah.
Problematika kedua adalah kredibilitas dan kopetensi Panitia Pengawas. Belajar dari
pengalaman pemilu legislatif dan Pilpres, keberadaan lembaga pengawas seringkali tidak
bisa berjalan dengan maksimal. Tidak maksimal-nya fungsi pengawasan ini salah satunya
karena lembaga pengawas tidak bisa menjadi lembaga yang independen. Peluang ke arah
berkurangnya kemandirian lembaga pengawas ini semakin besar ketika UU no. 32 Tahun
2004 menyatakan Panitia Pengawas dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan
berkewajiban.
Problematika ketiga adalah netralitas birokrasi-pemerintahan daerah. Netralitas ini menjadi
persoalan krusial ketika beberapa minggu ini di beberapa tempat sudah mulai muncul
indikasi aparat birokrasi didayagunakan dan dikerahkan untuk mendukung kandidat yang
ingin mencalonkan diri kembali. Kasus penolakan Penjabat Bupati di Kabupaten Kutai
kertanegara menunjukkan bagaimana rentannya posisi birokrat dalam persaingan politik di
daerah. Problematika ini terkait dengan beberapa isu; langkah-langkah politik dari Gubernur/
Bupati/ Walikota yang berakhir masa jabatannnya terutama dalam kasus kepaladaerah
Problematika keempat adalah mengenai pembiayaan Pilkada. Persoalan di seputar
pembiayaan akan terkait dengan kerdibilitas dan kapasitas KPUD dalam menyelenggarakan
Pilkada. Ada beberapa isu yang berkaitan dengan pembiayaan Pilkada: (a). keterbatasan
anggaran ketika terjadi kesenjangan antara kebutuhan anggaran yang diajukan oleh KPUD
dengan realisasi yang disetujui oleh DPRD. (b). politisasi pembiayaan Pilkada, dimana posisi
tawar yang dimiliki oleh kekuatan politik dominan atau Kepala daerah yang ingin
mencalonkan diri sangat besar dalam menentukan anggaran dan posisi itu bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan politik. (c). problem transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan.
Problematika kelima berkaitan dengan kemandirian dan koptensi Mahkamah Agung dalam
menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Seperti yang diamanatkan oleh pasal 106 UU no. 32
Tahun 2004, bahwa Mahkamah Agung berwenang memutuskan sengketa hasil pilkada yang
bersifat final dan mengikat. Pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung untuk memutus
sengketa hasil pemilu disamping kontroversial kalau disandingkan dengan UU no. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, juga karena MA diragukan kredibilitasnya oleh publik
(dengan munculnya isu Mafia peradilan) dan dari sisi kemampuannya, terutama dalam 14
hari.
Problematika keenam menyangkut political equality (persamaan kesempatan untuk
berkompetisi) ketika UU no. 32 tahun 2004 dalam pasal 56 ayat 2 menyatakan bahwa
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diajukan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari
jumlah kursi DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu legislatif di
daerah bersangkutan. Pembatasan pasangan calon Kada yang hanya berasal dari Parpol :
a. Makin terbatasnya preferensi dari pemilih dalam mendapatkan figur-figur yang
berkualitas. Karena banyak figur-figur yang memiliki kompetensi tinggi- justru pilihan
politik mereka berada diluar – dan tidak bersedia masuk menjadi partisan partai politik.
Kalaupun calon independen ini akhirnya masuk dalam bursa kompetisi intrenal partai politik.
b. Politik satu pintu membuat pintu menjadi sesak dan selanjutnya akan memperluas konflik
internal dalam partai politik. Dalam pertarungan internal sudah dapat dipastikan akan
digunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan; seperti penggunaan kekuatan uang,
mobilisasi dukungan, premanisme dan juga manipulasi wacana (isu kader dan non kader/
kutu loncat/ anak kos dan sebagainya).
c. Hal di atas diperparah dengan fakta empirik yang menyatakan bahwa tidak semua parpol
mau dan mampu mengembangkan mekanisme yang demokratis dalam menominasi calon
yang diajukan. Seringkali yang justru muncul adalah cara-cara oligarkis yang memungkinkan
segelitir elite memanfaatkan kesempatan untuk mendominasi proses pencalonan.
KESIMPULAN
Tentu, jalan menuju demokrasi yang lebih substantif dan berkualitas bukanlah jalan yang
mudah melainkan penuh dengan perangkap, tikungan tajam dan mungkin juga berputar-
putar. Pilkada yang berkualitas tidak hanya tergantung pada penyelenggara, melainkan juga
Pengawas, pemain dan masyarakat-pemilih. Oleh karena itu, kemajuan politik yang telah
dicapai sehingga sampai di sistem Pilkada langsung harus diimbangi dengan kerja keras
untuk memastikan prinsip-prinsip demokrasi benar-benar sudah, sedang dan akan bekerja.
Tanpa bekerjanya prinsip-prinsip demokrasi maka Pilkada sama saja dengan “buang-buang
uang” untuk sesuatu yang tidak bermakna.
TUGAS MAKALAH HUKUM DAN POLITIK
partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PILKADA di kota semarang dengan kaitan UU 32 Tahun 2004 (ttg otonomi daerah)
Disusun oleh :
Nama : Bagus Edy Pambudi
NIM : B2A606046
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2010