Kapsel H. Pidana

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban dunia semakin sehari terus berkembanga menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk- bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah 1

description

Hukum Pidana

Transcript of Kapsel H. Pidana

Page 1: Kapsel H. Pidana

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari terus berkembanga menuju

modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi

kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan

juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam

bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam

bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan

masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah

terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita

lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana

pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana

lainnya.

Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia

belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada

dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi

memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.

Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan

jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta

eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa

korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk

mengkerdilkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul

1

Page 2: Kapsel H. Pidana

apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk

sampai keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus

meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah

kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang

dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan

masyarakat.

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi

digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar

biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara

biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Sulitnya penanggulangan tindak

pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya terdakwa kasus tindak

pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak

sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan

menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus menerus dalam

waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas

hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Perasaan tersebut

memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari

banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada

pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan

keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan dan

juga para penegak hukum di Indonesia.

2

Page 3: Kapsel H. Pidana

Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi

pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung

terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi

hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya

pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk

mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara

ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi

masyarakat Indonesia.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang

menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga

penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber

kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini,

sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun

kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan,

namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit

penaggulangan maupun pemberantasannya.1

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.

Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di

negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang

menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara

seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di

1 Aris Purnomu, dkk., Panduan Eksaminasi Publik, Indonesian Coruption Watch, Jakarta, 2004, hal. 5.

3

Page 4: Kapsel H. Pidana

akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat

kecil hingga pejabat tinggi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis mengambil dua

rumusan masalah yang dianggap penting untuk dibahas, yaitu:

1. Apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana korupsi ?

2. Bagaimana jenis-jenis penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana

korupsi di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana jenis-jenis penjatuhan hukuman terhadap

tindak pidana korupsi di Indonesia.

4

Page 5: Kapsel H. Pidana

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa

latin: corruptio berarti penyuapan, corruptore artinya merusak) gejala dimana

para pejabat, badan- badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya

penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari

korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral,

kebejatan dan ketidakjujuran. Dalam pengertian lain dapat dikatakan sebagai

perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya. Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan

pengertian korupsi sebagai berikut:

a. Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan

untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).

b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok

dan sebagainya).

c. Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.

Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan

semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan

membusuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan

kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta

5

Page 6: Kapsel H. Pidana

penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan

jabatan. Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah

korupsi memiliki arti yang sangat luas:

a. Korupsi atau penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan

dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

b. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan

kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud

curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan

keuangan negara. Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan

perkembangan Bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan

merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini

akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun Bangsa

Indonesia yang lebih makmur dan jujur2.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Charmers,

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut

masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan

yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi

yang dikemukan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction

injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan

mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan

perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to

misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga

2 W. F. Weitheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Yogyakarta: PT Tiara, 1999, hal 18

6

Page 7: Kapsel H. Pidana

digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang

perekonomian umum).

Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees

employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifies

the public and welfare, with or without the implied paymen of money, is ussually

considered corrup (pembayaran terselebung dalam bentuk pemberian hadiah,

ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga,

pengaruh kedudukan sosial atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan

dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap

sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang

diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption

includes purchase of vote with money, promises of office or special favors,

coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decisio, or

goverenmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk

memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan,

intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam

jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi atau

keputusan yang menyangkut pemerintahan).

B. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah

4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang korupsi, yakni :

1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak

7

Page 8: Kapsel H. Pidana

pidana korupsi,

2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi,

3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi,

4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara

tindak pidana korupsi yaitu:

1. Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang

terorganinasir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam     

Undang-undang   tentang Kepegawaian;

b. Pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-

undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

8

Page 9: Kapsel H. Pidana

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

C. Jenis-Jenis Korupsi

Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak

korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan

menjadi:3

1. Korupsi transaktif (transactive corruption)

Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara

pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan

secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.

2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)

Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang

suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,

kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.

3. Korupsi defensif (defensive corruption)

Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan

akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi

korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).

4. Korupsi investif (investive corruption)

Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain

keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan

3 Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta. 1992. Hal. 192-193

9

Page 10: Kapsel H. Pidana

diperoleh di masa mendatang.

5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)

Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-

Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat

berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.

6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)

Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu

orang saja.

7. Korupsi dukungan (supportive corruption)

Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang

sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata

memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-ubah,

dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan

menyalahgunakan wewenang.

10

Page 11: Kapsel H. Pidana

BAB III

PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian

tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain:

a. Unsur Subjektif

1) Kesengajaan atau kelalaian

2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud

dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.

Pasal 53 Ayat (1) KUHP Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika

niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan

tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan

karena sendiri.

3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan

menurut Pasal 340 KUHP Pasal 340 KUHP Barangsiapa dengan

sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling

lama dua puluh tahun.

5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

11

Page 12: Kapsel H. Pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

Pasal 308 KUHP Jika seorang ibu karena takut akan diketahui

orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan,

menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan

maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana

tersebut dalam Psal 305 dan 306 dikurangi separuh.

b. Unsur Objektif

1. Sifat melawan hukum.

2. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan

kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP.

Pasal 415 KUHP Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara

waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga

yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat

berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong

sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan kenyatan sebagai akibat.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian

tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik

tindak pidana korupsi seperti dikemukakan di atas, adapun unsur-unsur tindak

12

Page 13: Kapsel H. Pidana

pidana korupsi yang dapat penulis inventarisir dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 adalah 4:

1. Tindakan seseorang atau badan hukum melawan hukum.

2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.

3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang ain.

4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara atau patut

diduga merugikan keuangan dan  perekonomian negara.

5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi

nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

4 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Ed. Ketiga Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005

13

Page 14: Kapsel H. Pidana

9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya perbuatan

curang tersebut.

10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga

yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat

berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu

dalam melakukan perbuatan tersebut.

11. Dengan sengaja Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang

digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang

berwenang, yang dikuasai karena jabatannya dan membiarkan orang lain

menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain

menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah

atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau

14

Page 15: Kapsel H. Pidana

korporasi yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka kepadanya

dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harus diingat dan

dipahami bahwa unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui

karena dengan tidak terpenuhinya unsur suatu tindak pidana, maka pelakunya

kejahatan dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan dalam kenyataannya

penyebab sehingga seorang terdakwa koruspi bebas dari jeratan hukum karena

tidak terpenuhinya unsur- unsur tersebut. 

B. Jenis-Jenis Penjatuhan Hukuman Terhadap Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-

undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan

hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

a. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

1. Pidana Mati, dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-

undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

2. Pidana Penjara

a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

15

Page 16: Kapsel H. Pidana

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1).5

b. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara (Pasal 3).

c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus

lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam

ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah,

merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan

terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara

korupsi. (Pasal 21).

5 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, hal. 7

16

Page 17: Kapsel H. Pidana

d. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus

lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam

ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal

28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

3. Pidana Tambahan

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud

atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak

pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-

barang tersebut.

1. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya

sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

2. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama

1 (satu) tahun.

3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat

diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

4. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam

waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita

oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

5. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi

17

Page 18: Kapsel H. Pidana

untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana

penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari

pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun

1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan

dalam putusan pengadilan.6

a. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu

Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan

ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui

procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut7:

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu

korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan/atau pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut

baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka

korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut

6 Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal. 14-15

7 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002, hal. 31.

18

Page 19: Kapsel H. Pidana

dapat diwakilkan kepada orang lain.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap

sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh

tersebut dibawa ke siding pengadilan.

5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan

untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan

kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus

berkantor.

Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak

pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam

perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak

murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya

terdapat dalam KUHP.8

8 Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005, hal 33-24

19

Page 20: Kapsel H. Pidana

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh

birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif

terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam

birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan

melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-

kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya

berdampak pada perusahaannya sendiri.

Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah

pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan

militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi

terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor

perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai

politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi

terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat

koperasi dan yayasan.

Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah,

pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi

biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga.

Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya

peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Strategi

20

Page 21: Kapsel H. Pidana

pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness

dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun

terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang

wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai

perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan

penanganan secara hukum.

Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan

prasyarat, yaitu: (1) Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan

muncul dari kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan

kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya

dan kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari

konflik kepentingan.

Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun,

maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui:

(1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak

politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4)

Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi.

Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika

dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan

instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat

negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal

ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan

uang lintas negara.

21

Page 22: Kapsel H. Pidana

DAFTAR PUSTAKA

1. Aris Purnomu, dkk., Panduan Eksaminasi Publik, Indonesian Coruption Watch, Jakarta, 2004.

2. Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002.

3. Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010

4. Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008.

5. Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.

6. Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta, 1992.

7. Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Ed. Ketiga Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005

8. W. F. Weitheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Yogyakarta: PT Tiara, 1999.

22

Page 23: Kapsel H. Pidana

23