Post on 04-Jan-2016
description
PRESENTASI KASUS PENYAKIT GINJAL KRONIK
Oleh:
dr Hanna Margareth
Pembimbing :
dr Hj. Komariatun, Sp.PD KGH
dr M. Thamrin
RSUD DEPATI HAMZAH
INTERNSHIP PERIODE 2014-2015
PANGKAL PINANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas Case Report yang membahas tentang “Penatalaksanaan Penyakit Ginjal
Kronik” sebagai salah satu tugas Internship di RSUD Depati Hamzah.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr Thamrin dan DR.
dr Hj.Komariatun, Sp.PD KGH yang telah membimbing penulis selama bekerja sebagai dokter
Internship di RSUD Depati Hamzah, terutama saat penulisan case report ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan case report ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada.
Akhir kata, kiranya case report ini berguna bagi penulis pada khususnya, dan para
pembaca pada umumnya. Sekian dan terimakasih.
Pangkal Pinang, September 2015
Penulis.
FORMAT PORTOFOLIO
Topik: CKD stage 5
Tanggal (kasus): Persenter: dr Hanna
Tangal presentasi: Pendamping:
dr Komariatun, Sp.PD, KGH
dr M. Thamrin
Tempat presentasi: RSUD Depati Hamzah , Pangkal Pinang
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi: Pasien seorang perempuan berusia 68 tahun datang dengan keluhan sesak nafas ± 1
bulan SMRS bertambah berat ± 3 hari SMRS
□ Tujuan:
- Menganilisis etiologi timbulnya manifestasi keluhan pasien
- Memberikan terapi pasien CKD
- Memberikan edukasi tentang yang diderita pasien
Bahan bahasan: □ Tinjauan
pustaka
□ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Diskusi □Presentasi dan diskusi □ E‐mail □ Pos
Data pasien: Nama: Ny. R No registrasi: 781213
Nama RS: RSUD Depati Hamzah ,
Pangkal Pinang
Telp: - Terdaftar sejak: -
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis: CKD
2. Riwayat Pengobatan: Pasien menderita hipertensi tetapi jarang minum obat hipertensi
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit: Pasien memiliki riwayat ginjal
4. Riwayat keluarga/ masyarakat: Pasien tidak tahu riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat pekerjaan: Ibu rumah tangga
6. Lain‐lain : -
Daftar Pustaka:
1. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik dan Hipertensi 2009, PERNEFRI.
2. Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. National Kidney Foundation KDOQI. 2002. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney Disease: Evaluation, Clasiffication and Stratification. New York.
4. Official Journal of The International Society of Nephrology KDIGO. 2012. Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
5. National Institue Of Health and Care Excellence. 2015. Early Identification and Management Of Chronic Kidney Disease in Adults in Primary and Secondary Care.UK.
6. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. The Eight Report of Joint National Comittee (JNC 8). US Department of Health, 2014.
8. J Nephrol, Indian. 2005. Guidelines for Homocysteine in CKD Patients. Supplement 1: s63-64.
9. O’Callaghan, Chris. 2009. At a Glance Sistem Ginjal Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hasil pembelajaran:
1. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis yang tepat
2. Edukasi tentang penyebab, faktor resiko, dan penatalaksanaan yang tepat
Subjektif
Pasien datang ke IGD RSUD Depati Hamzah mengeluh sesak nafas sejak ± 1 bulan
SMRS dan di rasakan semakin memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak di rasakan terus menerus,
sesak bertambah berat terutama saat melakukan kegiatan sehari-hari misalnya berjalan atau
mandi. Sesak nafas juga di rasakan saat pasien berbaring sehingga pasien kesulitan untuk
tidur.
Pasien mengeluh ada gangguan buang air kecil sejak 3 bulan SMRS. Pasien mengeluh
frekuensi buang air kecil menjadi lebih jarang dan jumlah air kencingnya semakin sedikit.
Pasien buang air kecil 1-2 kali sehari dengan jumlah setiap kali buang air kecil hanya ¼
gelas. Rasa nyeri saat buang air kecil tidak ada, warna air kencing kuning jernih. Buang air
besar tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati ± 1 hari SMRS seperti rasa
panas terbakar. Selain itu pasien mengaku akhir-akhir ini lemas, nafsu makan berkurang, dan
kulitnya kering disertai rasa gatal.
Riwayat tekanan darah tinggi tidak terkontrol +, riwayat sakit ginjal + namun pasien
tidak mengetahui lebih lanjut. Riwayat gula disangkal. Pasien tidak mengetahui riwayat
penyakit keluarga.
Obyektif
Pada pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran komposmentis, keadaan umum
pasien tampak sakit sedang. Tekanan darah pasien 150/100 mmHg, frekuensi nafas cepat,
frekuensi nadi dan suhu tubuh masih dalam batas normal serta tidak terdapat gangguan
motorik.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa, pemeriksaan darah rutin
dengan hemoglobin rendah, GDS normal, fungsi ginjal berupa ureum dan kreatinin di atas
batas normal, EKG tidak normal.
Assessment
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis
dengan CKD stage 5, UAP, anemia, dan hipertensi grade 2
Plan
Pengobatan:
Pada pasien ini diberikan infus Asering 10 tpm, ISDN 5 mg SL ekstra di UGD, ranitidine 2x1
IV. Obat oral berupa ISDN 5 mg 3x5 tab K/P, Ascardia 80 mg 1x1 tab, Simvastatin 20 mg
1x1 tab, amlodipin 10 mg 1x1 tab, asam folat 2x1 tab, bicnat 3x1 tab, CaC03 3x1 tab.
Pendidikan: Dilakukan pengaturan diet kepada pasien berupa diet rendah garam, rendah
lemak, rendah protein
Konsultasi: Dijelaskan secara rasional tentang penatalaksanaan yang dilakukan
Rujukan: Pada pasien ini dilakukan konsul kepada dokter spesialis penyakit dalam, konsultan
ginjal hipertensi
BAB I
IDENTITAS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 68 tahun
Alamat : Air Mesu
Agama : Islam
MRS : 12 Agustus 2015
Tanggal Keluar : 18 Agustus 2015
Anamnesa
Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Depati Hamzah mengeluh sesak nafas sejak ± 1 bulan SMRS dan di rasakan semakin memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak di rasakan terus menerus, sesak bertambah berat terutama saat melakukan kegiatan sehari-hari misalnya berjalan atau mandi. Sesak nafas juga di rasakan saat pasien berbaring sehingga pasien kesulitan untuk tidur. Pasien mengeluh ada gangguan buang air kecil sejak 3 bulan SMRS. Pasien mengeluh frekuensi buang air kecil menjadi lebih jarang dan jumlah air kencingnya semakin sedikit. Pasien buang air kecil 1-2 kali sehari dengan jumlah setiap kali buang air kecil hanya ¼ gelas. Rasa nyeri saat buang air kecil tidak ada, warna air kencing kuning jernih. Buang air besar tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati ± 1 hari SMRS seperti rasa panas terbakar. Selain itu pasien mengaku akhir-akhir ini lemas, nafsu makan berkurang, dan kulitnya kering disertai rasa gatal.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah berobat ke manapun terkait dengan keluhannya saat ini
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat tekanan darah tinggi tidak terkontrol +, riwayat sakit ginjal + namun pasien tidak
mengetahui lebih lanjut. Riwayat gula disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak mengetahui riwayat penyakit keluarganya
Riwayat Psikososial (Pendidikan dan Sosial Ekonomi)
Pendidikan : Sekolah Dasar
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Perkawinan : sudah menikah
Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 28x/menit
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Status gizi : cukup
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : Konjungtiva anemis (+), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 12 Agustus 2015
Darah Rutin
Leukosit 6,3 5-10
Eritrosit 2,01 4.80-5.50
HB 6,1 12-14
Hematokrit 19,3 40.0-46.0
Trombosit 151 150-400
Kadar Gula Darah
GDS 123 < 180
Fungsi Ginjal
Ureum 258 15-39
Kreatinin 11,2 0,6-1,1
Pemeriksaan EKG
Diagnosis Kerja: - CKD stage 5- UAP- Anemia- Hipertensi grade 2
Terapi:
1. IVFD: Asering 10 tpm
2. Ranitidin 2x1 IV
3. ISDN 5 mg SL (ekstra di UGD)
4. ISDN 5 mg 3x1 tab K/P
5. Ascardia 80 mg 1x1 tab
6. Simvastatin 20 mg 1x1 tab
7. Amlodipin 10 mg 1x1 tab
8. Asam Folat 2x1 tab
9. Bicnat 3x1 tab
10. CaCO3 3x1 tab
11. Observasi KU dan TTV
12. Edukasi: Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, tindakan yang
akan dilakukan
13. Konsul dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi:
- Siapkan HD
- Skrining Pre HD
- Pro transfusi PRC 2x250 CC
- Bicnat 3x1
- Folat 2x1
- Lenal Acl 3x1
Prognosis : dubia at malam
Folow Up Tanggal 13 Agustus 2015
Subjektif : Keluhan sesak berkurang
Vital sign
Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 24x/menit
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : mata anemis (+), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 13 Agustus 2015
Kadar Gula Darah
GDP 149 70-110
Fungsi Ginjal
Ureum 271 15-39
Kreatinin 10,7 0,6-1,1
Lab Hipertensi
Kolestrol total 170 50-200
Triglyceride 26 50-150
HDL 44 45-65
LDL 121 <130
Skrining Pre HD
HBsAg - -
HIV - -
HCV - -
Planning:- Diet BB 1800 kal, rendah garam, rendah lemak, protein 30 g- Amlodipin 10 mg 1x1- Valsartan 80 mg 1x1- Bicnat 3x1- Folat 2x1- Lenal acl 3x1- Simvastatin 10 mg 0-0-1- ISDN 5 mg tab K/P- Ascardia 80 mg 1x1- Cek PT, aPTT- HD inisiasi
Folow up Tanggal 14 Agustus 2015
Subjektif : Keluhan sesak berkurang
Vital sign
Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 24x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : konjungtiva anemis (+), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 14 Agustus 2015
Fungsi Ginjal
Ureum 173 15-39
Kreatinin 7,9 0,6-1,1
Darah Rutin
Hb 6,2 12-14
Hematologi
PT 11.9 9.7-12.3
aPTT 34.3 25.5-42.1
Planning:- Diet BB 1800 kal, rendah garam, rendah lemak, protein 30 g- Amlodipin 10 mg 1x1- Valsartan 80 mg 1x1- Bicnat 3x1- Folat 2x1- Lenal acl 3x1- Simvastatin 10 mg 0-0-1- ISDN 5 mg tab K/P- Ascardia 80 mg 1x1- Transfusi PRC 2x250 cc
Folow up Tanggal 15 Agustus 2015
Subjektif : sesak -
Vital sign
Nadi : 86 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 24x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : mata anemis (-), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Planning:- Diet BB 1800 kal, rendah garam, rendah lemak, protein 30 g- Amlodipin 10 mg 1x1- Valsartan 80 mg 1x1- Bicnat 3x1- Folat 2x1- Lenal acl 3x1- Simvastatin 10 mg 0-0-1- ISDN 5 mg tab K/P- Ascardia 80 mg 1x1
Folow up Tanggal 16 Agustus 2015
Subjektif : sesak -
Vital sign
Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 24x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : konjungtiva anemis (-), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Planning:- Diet BB 1800 kal, rendah garam, rendah lemak, protein 30 g- Amlodipin 10 mg 1x1- Valsartan 80 mg 1x1- Bicnat 3x1- Folat 2x1- Lenal acl 3x1- Simvastatin 10 mg 0-0-1- ISDN 5 mg tab K/P- Ascardia 80 mg 1x1
Folow up Tanggal 17 Agustus 2015
Subjektif : Tidak ada keluhan
Vital sign
Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 22x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : konjungtiva anemis (-), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Planning:- Diet BB 1800 kal, rendah garam, rendah lemak, protein 30 g- Amlodipin 10 mg 1x1- Valsartan 80 mg 1x1- Bicnat 3x1- Folat 2x1- Lenal acl 3x1- Simvastatin 10 mg 0-0-1- ISDN 5 mg tab K/P- Ascardia 80 mg 1x1- Besok Cek Hb, ureum, kreatinin
Folow up Tanggal 18 Agustus 2015
Subjektif : tidak ada keluhan
Vital sign
Nadi : 80 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36oC
Pernafasan : 20x/menit
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Keadaan umum
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : konjuntiva anemis (-), edema palpebral (-), pupil isokor 3/3, RCL +/+
Leher : JPV 5±2 cmHg
Thorax : Bentuk dada simetris, gerak pernapasan simetris
Cor : S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesiculer/vesiculer, RH (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : perut tampak datar
Supel, nyeri tekan epigastrium, nyeri lepas –
BU + 6x/m
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 18 Agustus 2015
Fungsi Ginjal
Ureum 192 15-39
Kreatinin 9,1 0,6-1,1
Darah Rutin
Hb 9,1 12-14
Planning:- Diet BB 1800 kal, rendah garam, rendah lemak, protein 30 g- Amlodipin 10 mg 1x1- Valsartan 80 mg 1x1- Bicnat 3x1- Folat 2x1- Lenal acl 3x1- Simvastatin 10 mg 0-0-1- ISDN 5 mg tab K/P- Ascardia 80 mg 1x1- Boleh pulang setelah HD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti terlihat pada tabel1, 2, 3
Batasan Penyakit Ginjal Kronik 4,5
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal (satu atau lebih) seperti:
1. Albuminuria (AER [ albumin excretion rate ] 30 mg/24 jam; ACR [ Albumin Creatinin Ratio ] 30 mg/g atau 3 mg/mmol)
2. Urine sedimen yang abnormal3. Elektrolit yang abnormal karena kelainan tubular4. Histologi yang abnormal5. Kelainan pada pemeriksaan pencitraan6. Riwayat transplantasi ginjal
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73 m² selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Klasifikasi
Klasifikasi Diagnosis Etiologi Penyakit Ginjal Kronik1, 2
Penyakit Tipe Utama (contoh)
Penyakit Ginjal Diabetik Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non-Diabetik Penyakit Glomeruler (penyakit otoimun, infeksi sistemik,neoplasia)
Penyakit Vaskular(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit Tubulointerstisial(Infeksi saluran kemih, batu, obstruksi, toksisitas obat)
Penyakit Kistik(penyakit ginjal polikistik)
Penyakit Ginjal Transplan Rejeksi kronik, Toksisitas obat, penyakit rekuren, glomerulopati transplant
Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit, dibuat atas dasar laju filtasi glomerulus, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur) x berat badan
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
(*) pada perempuan dikalikan 0,85
Laju Filtrasi Glomerulus dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik4, 5
Kategori GFR Fungsi Ginjal Laju filtrasi Glomerulus(ml/menit/1,73 m²)
Stadium 1 Normal/Meningkat ≥ 90Stadium 2 Penurunan Ringan 60-89Stadium 3a Penurunan Ringan-Sedang 45-59Stadium 3b Penurunan Sedang-Berat 30-44Stadium 4 Penurunan Berat 15-29Stadium 5 Gagal Ginjal <15 atau dialysis
Klasifikasi Berdasarkan Albuminuria
Kategori AER
(mg/24jam)
ACR Terms
(mg/mmol) (mg/g)
A1 <30 <3 <30 Normal-Peningkatan Ringan
A2 30-300 3-30 30-300 Peningkatan Sedang
A3 >300 >30 >300 Peningkatan berat
FISIOLOGI
Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal6:
1. Mempertahankan kesimbangan H2O di tubuh
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui regulasi keseimbangan H20. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotic masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan pembengkakan atau penciutan sel yang merugikan.
*
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion cairan ekstra sel, termasuk natrium, klorida, kalium, kalsium, ion hydrogen, bikarbonat, fosfat, sulfat, dan magnesium. Bahkan fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam cairan ekstra sel dapat berpengaruh besar.
4. Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam dan H20
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HC03- di urin
6. Mengeksresikan produk-produk akhir metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk maka bahan-bahan sisa ini menjadi racun terutama otak
7. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk tubuh
8. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormone yang merangsang produksi sel darah merah
9. Menghasilkan rennin, suatu hormone enzim yang memicu suatu reaksi berantai yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya
Tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin:
1. Filtrasi glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Secara rerata, 125 ml filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon) setiap hari. Dengan mempertimbangkan bahwa volume terata plasma orang dewasa adalah 2,75 liter, volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar sebagai urin, semua plasma akan menjadi urin dalam waktu kurang setengah jam. Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehungga bahan-bahan dapat dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler peritubulus.
2. Reabsorpsi Tubulus
Sewaktu filtrate mengalir melalui tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorpsi tubulus. Bahan-bahan yang tidak direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi dibawa oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter direabsorpsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin. Secara umum, bahan-bahan
yang perlu dihemat oleh tubuh secara selektif direabsorpsi, sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan dan harus dikeluarkan tetap berada di urin.
3. Sekresi Tubulus
Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini merupakan rute kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah, sedangkan yang pertama adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% dari plasma yang mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowman; sisa 80% mengalir melalui arterior eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstrasi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai hasil filtrasi.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.2
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti proses maladaptasi berupa skerosis nefron yang masih tersisa. Prosea ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksi rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap hiperfiltasi, sklerosis dan progretifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin-angiotensin-aldosterin, sebagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progretifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya skelrosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointestinal.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang,dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gangguan ginjal.
Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis
Penderita penyakit ginjal kronik datang dengan keluhan beraneka ragam, baik spesifik maupun tidak spesifik. Sebagian lagi tidak mempunyai keluhan atau ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin. Keluhan yang spesifik pada umumnya berupa gangguan pada urin, mulai dari perubahan volume urin (berkurang atau bertambah), sifat-sifat urin (bau, warna, berbuih, mengandung darah dlsb), maupun proses pengeluaran urin (sakit, sulit dslb). Bisa juga berupa perasaan sakit pada pinggang yang menyebar ke sepanjang perjalanan ureter sampai ke genitalia. Keluhan yang tidak spesifik seperti sembab, lemah/letih, mual/muntah, sesak nafas, gatal-gatal.
Yang harus dicari adalah kepastian (paling sedikit dugaan kuat) bahwa proses penyakitnya sudah berlangsung selama tiga bulan atau lebih. Pada pemeriksaan fisik, yang sering terlihat adalah kesan anemis, hipertensi, edema muka/tungkai, pembesaran jantung, efusi pleura maupun asites. Pada anamnesis, perlu digali riwayat penyakit penderita sebelumnya seperti diabetes, hipertensi, edema (sindrom nefrotik), SLE, hiperurisemia, kencing batu, operasi dll. Selain itu harus ditanyakan riwayat keluarga, riwayat social seerti pekerjaan, merokok/peminum alkohol, pemakaian obat dalam jangka waktu lama. Semua ini untuk mencari kemungkinan etiologi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologi
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan hematologi rutin pada penderita adalah ada tidaknya anemia karena anemia merupakan gejala yang sangat sering terjadi pada penyakit ginjal kronik. Lebih dari 85% penderita penyakit ginjal kronik, terutama pada tahap lanjut akan mengalami anemia.1
Frekuensi Pemeriksaan anemia4
a. Untuk pasien penyakit ginjal kronis tanpa anemia
- Setiap tahun pada pasien dengan stadium 3
- Setidaknya dua kali dalam setahun pada pasien dengan stadium 4-5
- Setidaknya setiap 3 bulan pada pasien dengan stadium 5 dengan hemodialisa dan Peritoneal dialysis-dependent
b. Untuk pasien dengan anemia tetapi tidak diterapi dengan Erythropoiesis-stimulating agent ( ESA )
- Setidaknya setiap 3 bulan pada pasien dengan stadium 3-5 tanpa dialysis dan stadium 5 dengan peritoneal dialysis-dependent
- Setidaknya setiap bulan pada pasien dengan stadium 5 dengan hemodialisa
Evaluasi anemia pada penyakit ginjal kronis:
Untuk mengidentifikasi anemia pada penyakit ginjal kronis harus dilakukan pemeriksaan konsentrasi Hb pada:
a. Ketika secara klinis mengindikasikan pasien dengan laju filtrasi glomerulus 60 ml/min/1.73 m2 ( stadium 1-2)
b. Setiap tahun pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus 30–59 ml/min/1.73 m2 (stadium 3a-3b)
c. Setidaknya dua kali setiap tahun pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus <30 ml/min/1.73 m2 (stadium 4-5)
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menemukan anemia:
- Complete blood count (CBC), termasuk HB, indikator sel darah merah, jumlah dan diferensiasi sel darah putih, dan platelet
- Absolute reticulocyte count
- Serum ferritin level
- Serum transferrin saturation (TSAT)
- Serum vitamin B12
- folat level
Pemeriksaan darah lain yang perlu dilakukan adalah, ureum/BUN, kreatinin, asam urat, elektrolit yaitu Na, K, Ca dan fosfat inorganik. Yang prnting dilakukan adalah pemeriksaan fungsi ginjal dengan menghitung LFG. Kenaikan kadar BUN dan kreatinin darah dapat dipakai sebagai gambaran dari penurunan fungsi ginjal, tapi belum dapat memastikan besaran laju filtasi glomerulus (LFG), karena korelasi antara kenaikan kadar kreatinin dan penurunan LFG tidak linier.2
Disamping itu ada beberapa keadaan yang memperlihatkan peningkatan kadar kreatinin darah tanpa penurunan LFG, misalnya pada pemakaian obat-obatan tertentu (trimethroprim, cimetidin), kerusakan massa otot (trauma)/
Untuk mengetahui LFG perlu dilakukan tes klirens kreatinin (creatinin clearance test ) mempergunakan rumus Cockroft-Gault.
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur) x berat badan
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
(*) pada perempuan dikalikan 0,85
2. Urinalisis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang sangat penting dalam diagnosis penyakit ginjal termasuk penyakit ginjal kronis. Urinalisa dilakukan secara makroskopis, mikroskopis, bakteriologis, maupun pemeriksaan biokimiawi. Secara makroskopis yang harus diperhatikan pada urin adalah, gross hematuria (urin tampak merah seperti air cucian daging atau kehitaman), proteinuria (urin berbuih seperti susu), pyuria ( urin berwarna coklat kotor ), atau urin berwarna kuning.
a. Pada hematuria ( gross atau microscopic ), harus dibedakan apakah hematurianya glomerular atau ekstra-glomerular. Hematuria glomeruler memperlihatkan sel eritrosit yang isomorfik dan sering tampak adanya cast eritrosit. Sedangkan pada ekstraglomerular memperlihatkan eritrosit yang dismorfic dan tidak pernah ada cast. Hematuria mikroskopik didefinisikan, adanya eritrosit lebih dari 2 sel/lbp pada sedimen urin tersentifuge.
b. Adanya sel leukosit dalam urine sering menggambarkan terjadinya infeksi traktus urinarius atau inflamasi ginjal. Leukosuri yang kurang dari 3 sel/lpb sering bukan merupakan keadaan patologis. Leukosuri lebih dari 5 sel/lpb mengindikasikan pemeriksaan lanjutan seperti, biakan urin untuk memastikan adanya infeksi traktus urinarius, atau pencitraan ( imaging ) untuk mencari kelainan urologis. Pada perempuan, leukosuria juga bisa disebabkan oleh kelainan di bidang obstetric-ginekologis. Leukocyte esterase test merupakan sebuah test untuk melihat kadar esterase yang dilepaskan oleh granulosit yang mengalami lisis. Pada leukosuria berat test ini memperlihatkan reaksi positif. Reaksi positif palsu terjadi pada urin yang mengalami kontaminasi dengan sel vagina. Keberadaan nitrites merupakan petanda akan adanya bakteri yang dapat mengubah nitrate menjadi nitrite. Sebagian besar kuman negative dapat melakukan perubahan ini. Beberapa jenis kuman tertentu sperti Streptococus Faecalis, Neisseria Gonorrhoeae, Mycobacterium Tuberculosis tidak bisa mengubah nitrate menjadi nitrite. Pada urine yang tersimpan lama terjadi reaksi negative palsu. Adanya leukocyte esterase test positif dan nitrites merupakan indikasi kuat untuk terjadinya infeksi.
c. Pada orang sehat protein dalam urine ada dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu kurang dari 150 mg/24 jam, yang terdiri dari sedikit ( <30 mg ) albumin, protein tubuler dan protein lain. Adanya protein urin
*
yang lebih dari 150 mg/24 jam beararti abnormal dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Dikenal 3 jenis proteinuria yaitu:
1) Glomerular proteinuria, terjadi akibat kerusakan pada basal membrane glomerulus sehingga terjadi peningkatan filtrasi glomerulus yang melebihi kemampuan tubulus untuk mereabsorbsi. Bila jumlah protein dalam urine 24 jam melebihi 2 g, pada umunya disebabkan oleh kerusakan glumerulus.
2) Tubuler proteinuria, terjadi sebagai akibat dari tidak terabsorbsinya low molecular-weight protein seperti betamicroglobulin atau lysozyme, atau adanya defek pada tubulus proksimal sehingga tidak mampu mereabsorbsi protein filtrate glomerulus. Tubuler proteinuria tidak pernah melebihi 2 g/24 jam.
3) Overflow proteinuria terjadi bila kelebihan produksi protein sistemik ( small molecular weight ) diatas kemampuan tubulus untuk mereabsorbsinya. Misalnya pada kasus myeloma.
Urine Albumin/Creatinin ratio
Protein/Creatine Ratio
Urinary Protein
Dipstick mg/mmol mg/mmol mg/24 jam
Normal <2.5 (M) <3.5 (W) <15 <150
Microalbuminuria <2.5 (M) <3.5 (W) <15 150-300
“Trace” proteinuria
15-29 5-29 300-500
Proteinuria N/A 30-350 500-3500
Nephrotic N/A >350 >3500
Equivalent ranges of urinary protein loss
Equivalent ranges for urinary albumin loss
Albumin Excrerion Rate (AER)
Urine dipstick µg/mnt mg/24 hrs
Normal 0 6-20 10-30
Microalbuminuria 0 >20-200 30-300
“Trace” proteinuria Trace >200 >300
Proteinuria +/++ N/A N/A
Nephrotic +++ N/A N/A
d. Pengukuran Microalbuminuria (MAU) merupakan sesuatu yang sangat penting, karena MAU bukan hanya sebagai marker, tapi juga sebagai faktor resiko dan faktor pronogstik untuk kelainan ginjal dan kardiovaskular. MAU diukur secara kuantitatif dengan immunoassay. Untuk kepastian harus diukur tiga kali berturut-turut dan dikatakan MAU bila dua diantaranya memperlihatkan positif. Pada populasi normal Urinary Albumin Excretion Rate (UAER) berkisar antara 1.5-20 µg/min. UAER meningkat pada keadaan setelah beraktifitas berat, infkesi traktur urinarius dan kehamilan. Pada siang hari nilai UAER lebih tinggi dibandingkan malam hari. Angka refrensinya adalah 20-200 µ/min atau 30-300/mg/24 jam.
4. Pencitraan ginjal ( Renal imaging)
Pencitraan ginjal merupakan pemeriksaan penunjang yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pemeriksaan penunjang lain. Jenis pencitraan tergantung pada indikasinya.
Renal Imaging techniques and their main indication/applications
Condition Technique
Chronic Kidney Disease Ultrasonography
Proteinuria/Nephrotic Syndrome Ultrasonography
Renal Artery Stenosis MRA
Renal Stones Plain Abdominal Film
Ultrasonography
Non-contrast CT Scan
Renal Infection Abdomen Ultrasonography or CT Abdomen
Retroperitoneal Fibrosis CT Scan Abdomen
Common current indications for renal biopsy
Major:
- Acute renal Failure-diagnosis not apparent by clinical data
- Nephrotic Syndrome
- Nephritic Syndrome of unclear etiology
- Rapid Progressive Glomerulonepheritis (RPGN)
- Acute or Chronic renal allograft dysfunction
Relative indications
- Asymptomatic hematuria
- Asymptomatic proteinuria
Contraindications for renal biopsy
Absolut:
- Uncooperative patients
- Bleeding diathesis or anticoagulant
Relative contraindications
- Small kidney ( <9 cm )
- Multiuple bilateral cyst or renal tumor
- Hydronephrosis
- Active renal infection
- Uncontrolles high blood pressure
- Anatomical abnormality of the kidney
- Pregnancy
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi2:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition )
3. Memperlambat pemburukan ( progression ) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana ( action plan ) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya:
Derajat LFG
( ml/mnt/1,73 m² )
Rencana Tatalaksana
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan ( progression ) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan ( progression ) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan inidikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid ( superimposed factors ) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
- Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang terartur terhadap status nutrisi pasien. Bila malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lai, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein, akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus ( intraglomerulus hyperfiltration ), yang
akan meningkatkan progretifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada Penyakit ginjal kronik
LFG ml/menit
Asupan protein
g/kg/hari
Fosfat
g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari,
termasuk ≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi
≤10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari,
termasuk ≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
≤10 g
<60
( Sindrom Nefrotik )
0,8/kg/hr (+1 gr protein/g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton
≤9 g
- Terapi Farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan keruskan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi mebuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Berdasarkan JNC 8, semua umur dengan penyakit ginjal kronik target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg terutama penghambat ensim konveting angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme atau ACE inhibitor sendiri atau dengan kombinasi dengan kelas lain), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal.8
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kariovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, kelebihan
cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG
( ml/mnt )
Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal
≥90 -
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
60-89 Tekanan darah mulai naik
3 Penurunan LFG sedang 30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistenemia
4 Penurunan LFG berat 15-29 Malnutrisi
Asisodis metabolik
Cendrung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia
Beberapa komplikasi pada penyakit ginjal kronik:
1. Anemia
Diagnosis anemia pada penyakit ginjal kronis4,5
a. Anemia pada dewasa dan anak-anak >15 tahun dengan penyakit ginjal kronis ketika Hb <13 g/dl pada laki-laki dan <12 g/dl pada perempuan.
b. Anemia pada anak-anak dengan penyakit ginjal kronis jika HB <11 g/dl usia 0,5-5 tahun, <11,5 usia 5-12 tahun, dan <12 g/dl usia 12-15 tahun
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah ( misal, pendarahan saluran cerna,
hematuri ), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjainya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan.2
Pemberian eritropoitin ( EPO ) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selau mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan memperburuk fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
Transfusi sel darah merah untuk terapi anemia kronik4
a. Pada tatalaksana anemia kronis sebaiknya dihindarkan jika memungkinkan untuk mengurangi resiko yang terkait dengan penggunaannya
b. Pada pasien dengan transplantasi organ yang memenuhi syarat, sebaiknya dihindarkan untuk menghindari allosensitisasi
c. Untuk tatalaksana anemia kronik, dianjurkan penggunaan transfusi sel darah merah apabila:
- Terapi ESA tidak efektif ( misalnya hemoglobinopathies, bone marrow failure, ESA resistance )
- Resiko terapi ESA therapy lebih besar dari keuntungannya ( misalnya previous or current malignancy, previous stroke )
- Disarankan untuk transfusi pada penyakit ginjal kronis dengan non akut anemia tidak harus didasarkan pada setiap batas Hb, tetapi harus ditentukan oleh terjadinya gejala yang disebabkan oleh anemia
Terapi segera anemia
a. Jika terjadi situasi klinis akut tertentu , dianjurkan pasien ditransfusi ketika manfaat dari transfusi sel darah merah lebih besar daripada risiko
- Ketika koreksi yang cepat anemia diperlukan untuk menstabilkan kondisi pasien (misalnya , perdarahan akut , penyakit arteri koroner yang tidak stabil)
- Ketika diperlukan koreksi cepat HB sebelum operasi
2. Asam folat tetap diberikan sebagai terapi landasan untuk mengurangi homosistein. Tidak ada risiko telah dilaporkan dengan penggunaan asam folat/vitamin. Kombinasi dosis tinggi asam folat ( 5mg / hari ), vitamin B6 ( 50mg /hari ) dan vitamin B12 (0.4mg /hari) menurunkan homosistein sebesar 25 %. Meskipun terapi asam folat mengurangi homosistein, namun efek morbiditas dan mortalitas kardiovaskular tidak diketahui.8
3. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronil yang sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone kalsitriol (1.25(OH)2D3. Penatalaksanaan hiperfosfastemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi
fosfat di saluran cerna. Dialysis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.2
4. Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian dier rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.b pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat ( CaC03 ) dan calcium acetate.
c. Pemberian bahan kalsium memetik yaitu sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidroklorida.
Pengikat Fosfat, Efikasi, dan Efek Sampingnya
Cara/Bahan Efikasi Efek Samping
Diet rendah fosfat Tidak selalu mudah Malnutrisi
Al (OH)3 Bagus Intoksikasi Al
Ca C03 Sedang Hipercalcemia
Ca Acetat Sangat Bagus Mual, muntah
Mg (OH) 2 / MgCO3 Sedang Intoksikasi Mg
5. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH2D3)
Untuk mengatasi osteodistrofi renal, terapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatakan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatic. Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroidnya > 2,5 kali normal.
6. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan unyuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang dikeluarkan, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible
water loss antara 500-800 ml/hari ( sesuai dengan luas permukaan tubuh ), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalim dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti buah dan sayuran harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derjat edema yang terjadi.
7. Terapi pengganti ginjal ( Renal Replacement Therapy ) dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.
Tanpa terapi pengganti ginjal, kematian akibat kelainan metabolic dapat terjadi dengan cepat. Transplantasi merupakan pengobatan yang paling balik, namun karena jumlah organ yang tersedia sedikit, maka pasien biasanya memulai dialysis sambil menunggu transplantasi. Dialysis dimulai untuk mengatasi atau mencegah hiperkalemia yang mengancam jiwa, asidosis, atau edema paru hipervolemik, atau untuk mengatasi komplikasi gagal ginjal kronik seperti perikarditis, neuropati, kejang, dan koma.
Penggantian ginjal modern mrnggunakan dialysis untuk mengeluarkan zat terlarut yang tidak diinginkan melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air, yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan. Heparin digunakan dalam sirkuit dialysis untuk mencegah penggumpalan darah. Pada pasien yang memiliki resiko pendarahan, prostasiklin dapat digunakan untuk hal tersebut, walaupun dapat menyebabkam hipotensi akibat vasodilatasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik dan Hipertensi 2009, PERNEFRI.
2. Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. National Kidney Foundation KDOQI. 2002. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney Disease: Evaluation, Clasiffication and Stratification. New York.
4. Official Journal of The International Society of Nephrology KDIGO. 2012. Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
5. National Institue Of Health and Care Excellence. 2015. Early Identification and Management Of Chronic Kidney Disease in Adults in Primary and Secondary Care.UK.
6. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. The Eight Report of Joint National Comittee (JNC 8). US Department of Health, 2014.
8. J Nephrol, Indian. 2005. Guidelines for Homocysteine in CKD Patients. Supplement 1: s63-64.
9. O’Callaghan, Chris. 2009. At a Glance Sistem Ginjal Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.