Post on 12-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang
disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit
ini merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan.1
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan
menderita kanker leher rahim1 dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi
prekanker derajat tinggi (high grade dysplasia)2. Penelitian WHO tahun 2005
menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian
akibat kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka
insidens tertinggi ditemukan di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan,
Afrika timur, Asia selatan, Asia tenggara dan Melanesia. 1,2,3
Di Indonesia, kanker leher rahim merupakan keganasan yang paling
banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan
dalam tiga dasa warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini adalah sekitar
100 per 100.000 penduduk.4
Data patologi dari 12 pusat patologi di Indonesia (1997) menunjukkan
bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada
perempuan.5 Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 39,5% penderita
kanker pada tahun 1998 adalah kanker serviks.6 Seiring dengan meningkatnya
populasi, maka insidens kanker leher rahim juga meningkat sehingga
meningkatkan beban kesehatan negara.2
Padahal penyakit ini dapat dicegah dengan deteksi dini lesi prankanker
yang apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi kanker leher rahim.
Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara
maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun
terakhir insidens kanker leher rahim turun sekitar 70%.7 Hal tersebut
dimungkinkan karena adanya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik.2
1
Sebaliknya, di negara-negara berkembang, angka penderita penyakit ini tidak
mengalami penurunan, bahkan justru meningkat akibat populasi yang
meningkat.1,2, 8
Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita.
Diantara alasan tersebut adalah belum adanya sistem pelayanan yang terorganisasi
baik mulai dari deteksi dini sampai penanganan kanker leher rahim stadium
lanjut.9 Selain itu terbatasnya sarana dan prasana -termasuk tenaga ahli- yang
kompeten menangani penyakit ini secara merata1,2,9 menjadi tantangan tersendiri.
WHO menggariskan 4 komponen penting dalam program penanganan kanker
leher rahim nasional yaitu pencegahan primer, deteksi dini melalui peningkatan
kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana,
serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut.1
Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skiring yang
terorganisasi dengan target pada kelompok usia yang tepat dan sistim rujukan
yang efektif di semua tingkat pelayanan kesehatan. Beberapa metode skrining
yang dapat digunakan adalah pemeriksaan sitologi berupa Pap tes konvensional
atau sering dikenal dengan Tes Pap dan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-base
cytology /LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan visual berupa inspeksi
visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI).1
Metode yang disebut terakhir tidak memerlukan fasilitas laboratorium, sehingga
dapat dijadikan pilihan untuk masyarakat yang jauh dari fasilitas laboratorium dan
dapat dilakukan secara masal. Sedangkan untuk masyarakat kota dan daerah-
daerah dengan akses pelayanan kesehatan yang memadai, metode skrining dengan
pemeriksaan sitologi akan lebih tepat.
Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan
di berbagai negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan
cara yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu
dengan hanya mengoleskan asam asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu
mengamati perubahannya, dimana lesi prakanker dapat terdeteksi bila terlihat
2
bercak putih pada leher rahim. Murah, karena biaya yang diperlukan hanya sekitar
Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena prosedurnya tidak rumit,
tidak memerlukan persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya dapat
dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur
sederhana yang representatif, spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat
dilakukan oleh bidan dan perawat yang terlatih. Beberapa karakteristik metode ini
sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi dan
keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya pengkajian penggunaan
metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang
memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan dalam
pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.
3
BAB II
KANKER LEHER RAHIM
2.1. Definisi
Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher
rahim (serviks)10 Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks
akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus
lapisan basal (membrana basalis).
2.2. Etiologi
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim
oleh satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang
beresiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim yang ditularkan melalui
hubungan seksual (sexually transmitted disease).3,4,7 Perempuan biasanya
terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tigapuluhan, walaupun
kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya.9 Infeksi virus HPV
yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 56 dimana HPV tipe
16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus.1 Infeksi HPV tipe ini dapat
mengakibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat
tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi prakanker.
Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-
onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11,
42, 43, 44, 53, 54,55.13
2.3. Predisposisi
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia
dini, berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan
yang suka berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda,
sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor
yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker leher rahim adalah:1
4
a) Faktor HPV :
Tipe virus
Infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan
Jumlah virus (viral load)8
b) Faktor host/ penjamu :
Status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV
positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi
prekanker dan kanker.
Jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami
kanker
c) Faktor eksogen
Merokok
Ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya
Penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral
2.4. Perjalanan Alamiah Kanker Leher rahim
Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel
skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel
baru hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal
ini berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker.
Sebagian besar kasus displasia sel servix sembuh dengan sendirinya, sementara
hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50% kasus
displasia berat berubah menjadi karsinoma.1
Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia menjadi keganasan
adalah 10-20 tahun. Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi displasia sel-sel
leher rahim yang kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut,
5
karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa prekursor kanker adalah lesi displasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia)
yang sebagian kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun,
sementara displasia tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi
spontan.2,9,10
Gambar 1. Patofisiologi Kanker1
Paparan HPV Infeksi transien Infeksi persisten
Progresi
Pembersihan Regresi
Catatan:
NIS: Neoplasma Intraepitel Serviks Nasiell et.al.10 melaporkan waktu yang
dibutuhkan untuk progresivitas lesi tipe NIS2 menjadi karsinoma in-situ paling
cepat terjadi pada kelompok perempuan usia 26-50 tahun yaitu 40-41 bulan,
sementara pada kelompok perempuan usia dibawah 25 tahun dan diatas 50 tahun
berturut-turut adalah 54-60 bulan, dan 70-80 bulan.
2.5. Klasifikasi dan Stadium
A. Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker
Ada beberapa sistem klasifikasi lesi prakanker yang digunakan saat ini,
dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya.
6
Leher rahim normal
Infeksi HPV Lesi prakanker
Lesi invasif
Normal NIS1 NIS2 NIS3 Kanker
Tabel 1. Klasifikasi Lesi Prakanker:4
Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)
Pap Sistem Bethesda NIS (Neoplasia Intraepitel Serviks)
Klasifikasi Deskriptif WHO
Kelas I Normal Normal Normal
Kelas II ASC-US ASC-H Atypia Atypia
Kelas III LISDR NIS1termasuk kondiloma
Koilositosis
Kelas III LISDT NIS 2 Displasia sedang
Kelas III LISDT NIS 3 Displasia berat
Kelas IV LISDT NIS 3 Karsinoma in situ
Kelas V Karsinoma Invasif
Karsinoma Invasif
Karsinoma invasif
(Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential
Practice, Geneva: WHO, 2006).
Keterangan:
ASC-US: atypical squamous cell of undetermined significance.
ASC-H: atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamous
epithelial lesion.
LISDR: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah.
LISDT: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi
7
B. Stadium Kanker Rahim
International Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging
System for Cervical Cancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan stadium kanker
sebagai berikut.10,17
Tabel 2. Stadium Kanker Rahim
Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basa
I Lesi tumor masih terbatas di leher rahim
IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan
diameter permukaan tumor < 7 mm
IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi < 5 mm dengan
dengan diameter permukaan tumor < 7 mm
IB1 Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer < 4 cm
IB2 Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer >4 cm
II Lesi telah keluar dari leher rahim (meluas ke parametrium dan
sepertiga proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding
panggul
III Lesi telah keluar dari leher rahim (menyebar ke parametrium dan atau
sepertiga vagina distal)
8
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum an atau meluas ke organ jauh
2.6. Skrining kanker leher rahim
Berbagai metode skrining kanker leher telah dikenal dan diaplikasikan,
dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu
dikembangkan metode visual dengan gineskopi, atau servikografi, kolposkopi.
Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan untuk
mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi
seorang perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.
2.7. Gejala dan Tanda
Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya
dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan
bahwa sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.18 Jika sudah
terjadi kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu
dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca
sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca
menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan
berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan
timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus
besar.8,9 Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena
misalnya otak (nyeri kepala, gangguan kesadaran), paru (sesak atau batuk darah),
9
tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau
pembengkakan) dan lain-lain.7
2.8. Penegakan Diagnosis
Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari
hasil biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan.1
Tindakan penunjang diagnostik dapat berupa kolposkopi, biopsi terarah, dan
kuretase endoservikal
2.9. Tatalaksana Lesi Prakanker Serviks5,8
Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong
NIS (Neoplasia Intraepitelial Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja,
medikamentosa, terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Tindakan observasi
dilakukan pada tes pap dengan hasil HPV, atipia, NIS I yang termasuk dalam Lesi
Intraepitelial Skuamousa Derajat Rendah (LISDR). Terapi NIS dengan destruksi
dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi Intra epitelial Skuamousa Derajat
Tinggi). Demikian juga, terapi eksisi dapat ditujukan pada LISDR dan LISDT.
Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi
tidak mengangkat lesi, tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.
Tabel 3. Garis Besar Penanganan Lesi Prakanker Serviks
Klasifikasi Penanganan
HPV Observasi Medikamentosa Destruksi: Krioterapi Elektrokauterisasi/elektrokoagulasi Eksisi: diatermi loop
Displasia ringan (NIS I)
Observasi Destruksi: Krioterapi Elektrokoagulasi Laser, Laser + 5 FU
Eksisi: diatermi loop
Displasia sedang (NIS II)
Destruksi: krioterapi Elektrogoagulasi Laser, Laser + 5 FU
Eksisi: diatermi loop
Displasia keras Destruksi: krioterapi Elektrokoagulasi Laser Eksisi: konisasi
10
(NIS III)/KIS Histerektomi
Terdapat Beberapa Metode Pengobatan Lesi Prakanker Serviks:
1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Yang termasuk pada metode terapi ini adalah krioterapi, elektrokauter,
elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Penggunaan setiap metode ini bertujuan untuk
memusnahkan daerah-daerah terpilih yang mengandung epitel abnormal, yang
kelak akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.
a) Krioterapi
Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara
mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat
Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25 derajat Celcius sel-sel jaringan
termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan tersebut,
terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel
mengalami dehidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu;
(3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem
mikrovaskular.23,24 Pada awalnya digunakan cairan Nitrogen atau gas CO2, tetapi
pada saat ini hampir semua alat menggunakan N2O.
b) Diatermi Elektrokoagulasi Radikal
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan
efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan
anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan
serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
terutama jika lesi tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya hanya terbatas
pada kasus NIS 1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.1,3,4
c) Elektrokauter
Metode elektrokauter dapat dilakukan pada pasien rawat jalan.
Penggunaan elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan
kedalaman 2 atau 3 mm. Lesi NIS I yang kecil di lokasi yang keseluruhannya
terlihat pada umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.2,5
11
d) CO2 Laser
Penggunaan sinar laser (light amplication by stimulation emission of
radiation), suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi
campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan
sinar laser yang mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang
terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan
nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan
intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di
bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan
lama penyinaran.2,8
2. Terapi NIS dengan Eksisi
a. LEEP ( Loop Electrosurgical Excision Procedures)
Ada beberapa istilah dipergunakan untuk LEEP ini. Cartier dengan
menggunakan kawat loop kecil untuk biopsi pada saat kolposkopi yang
menyebutnya dengan istilah diatermi loop.2,9 Prendeville et al. menyebutnya
LLETZ (Large Loop Excisional Tranformation Zona).3,5,10
b. Konisasi3,6
Tindakan konisasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik:
1) konisasi cold knife,
2) konisasi diatermi loop (=LLETZ), dan
3) konisasi laser.
Di dalam praktiknya, tindakan konisasi juga sering merupakan tindakan
diagnostik.
12
c. Histerektomi3
Tindakan histerektomi pada NIS kadang-kadang merupakan terapi terpilih
pada beberapa keadaan, antara lain, sebagai berikut:
1) Histerektomi pada NIS dilakukan pada keadaan kelanjutan konisasi.
2) Konisasi akan tidak adekuat dan perlu dilakukan histerektomi dengan
mengangkat bagian atas vagina.
3) Karena ada uterus miomatosus; kecurigaan invasif harus disingkirkan.
4) Masalah teknis untuk konisasi, misalnya porsio mendatar pada usia lanjut.
2.10. Tatalaksana Kanker Leher Rahim Invasif
Pada prinsipnya tatalaksana kanker leher rahim disesuaikan dengan
kebutuhan penderita untuk memberikan hasil yang terbaik (tailored to the best
interest of patients).1 Terapi lesi prakanker leher rahim dapat berupa bedah krio
(cryotherapy), atau loop electrosurgical excision procedure (LEEP), keduanya
adalah tindakan yang relatif sederhana dan murah, namun sangat besar
manfaatnya untuk mencegah perburukan lesi menjadi kanker. Sementara terapi
kanker leher rahim dapat berupa pembedahan, radioterapi, atau kombinasi
keduanya. Kemoterapi tidak digunakan sebagai terapi primer, namun dapat
diberikan bersamaan dengan radioterapi. Terapi kanker leher rahim lebih
kompleks, memiliki risiko dan efek samping, dan tentu saja lebih mahal.
Karenanya pencegahan lesi prakanker menjadi kanker sangat penting dan sangat
bermanfaat.
13
BAB III
DETEKSI DINI KANKER LEHER RAHIM
Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV
yang merubah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati
pada gilirannya akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim.4 Prinsip dasar
kontrol penyakit ini adalah memutus mata rantai infeksi, atau mencegah
progresivitas lesi displasia sel-sel leher rahim (disebut juga lesi prakanker)
menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan kemudian segera
diobati, hal ini akan mencegah terjadinya kanker leher rahim dikemudian hari.9
Lesi prakanker yang perlu diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi
intraepitelial skuamosa derajat tinggi), adapun jenis LISDR (lesi intraepitelial
skuamosa derajat rendah) dianggap lesi yang jinak dan sebagian besar akan
mengalami regresi secara spontan.7 Perempuan yang terkena lesi prakanker
diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sementara kanker yang ditemukan pada
stadium dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya deteksi sedini mungkin
sangat penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kanker leher
rahim.7
WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam
penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini
melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi,
diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut.1, 9 Deteksi
dini kanker leher rahim meliputi program skirining yang terorganisasi dengan
sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang
efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan
dan perempuan usia produktif1 Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau
disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding
pengobatan dan penatalaksanaan kanker leher rahim.
14
Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi
dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi
dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya
yang terbatas.
3.1.Sasaran yang akan menjalani skrining
WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut:1
a) Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun
sebelumnya atau lebih.
b) Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap
sebelumnya.
c) Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan
pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan
gejala abnormal lainnya.
d) Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.
Amerika Serikat dan Eropa merekomendasikan sasaran dan interval
skrining kanker servik seperti tampak pada tabel berikut:10
Tabel 4. Pedoman pencegahan dan skrining kanker di Eropa dan Amerika
European guidelines for quality assurance in cervical cancer screening; 2007
ACS (American Cancer Society); 2007
ACOG (American College of Obstetricians &Gynecologist); 2003 http://www.acog.org
ASCCP (American Society for Colposcopy & Cervical Pathology); 2006
US Preventive Service Task Force; 2003 http://www.preventiveservices.ahrq.gov
15
Waktu awal skrining dengan tes Pap
Usia 20–30 tahun
Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun
Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun
Tidak ada laporan
Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun
Interval Skrining
- Tes Pap konvensional
Tiap 3–5 tahun
Tiap tahun; atau tiap 2–3 tahun untuk wanita usia ≥ 30 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif
Tiap tahun; atau tiap 2–3 tahun untuk wanita usia ≥ 30 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif
Tidak ada laporan
Sekurang-kurangnya tiap 3 tahun
-skrining dengan tes HPV
Tidak ada laporan
Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi negatif
Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi negatif
Tidak ada laporan
Tidak cukup evidens
Penghentian skrining
Setelah usia 60–65 tahun dengan ≥ 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif
Wanita usia ≥ 70 tahun dengan ≥ 3 kali berturut-turut hasil tes negatif dan tanpa hasil tes
Dari bukti-bukti yang ada tidak dapat ditarik kesimpulan untuk menentukan batas usia penghentian skrining .
Tidak ada laporan
Untuk wanita usia ≥ 65 tahun dengan hasil tes negatif, yang bukan risiko tinggi kanker serviks
16
abnormal dalam 10 tahun terakhir
Manajement hasil skrining yang abnormal - ASC-US - ASC-H - LSIL - HSIL
ASC-US: reflex HPV testing; LSIL: ulang pemeriksaan sitologi atau kolposkopi; ASC-H: kolposkopi; HSIL: kolposkopi dan biopsi.
Tidak ada laporan
Tidak ada laporan ASC-US: HPV tes, atau ulang tes sitologi, atau lakukan kolposkopi pada wanita ≥ 20 tahun; ASC-H: kolposkopi LSIL:kolposkopi HSIL: segera lakukan LEEP atau kolposkopi dengan endocervical assessment.
Tidak ada laporan
3.2. Interval skrining
American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining
dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina.7 Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi
setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV yang pertama.7 Interval yang ideal untuk
dilakukan skrining adalah 3 tahun.9 Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang
hampir sama dengan skrining tiap tahun.9 ACS merekomendasikan skrining tiap
tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan
pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology), setelah skrining yang
pertama.7 Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut
17
skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali.7 Bila
dana sangat terbatas skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur
hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.9 WHO
merekomendasikan:1
Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya
dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun.
Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan,
skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali.
Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun
sekali.
Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia
diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.
Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun
sekali
3.3. Metode skrining yang akan digunakan
Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari
ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa
persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah
dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.1 Beberapa metode yang
diakui WHO adalah sebagai berikut:1
1. Metode Sitologi
a) Tes Pap Konvensional
Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George
Papanicolau sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher
rahim di negara-negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu
prosedur pemeriksaan yang mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa
penulis melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi
pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif palsu
18
7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan
yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan
interpretasi.20,38, 39,40,41
b) Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah
mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan
cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini
sel dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah
berisi larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel
abnormal lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga
mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk
pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal.2
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai
cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ,
Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara
pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang amat sensitif.2,4
3. Metode inspeksi visual
a) Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
b) Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan
servikografi. Setiap metode skrining mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
berbeda. Sampai saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan
spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan skrining, setiap
wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed consent).
19
Tabel 5. Perbedaan beberapa metode skrining1
Metode Prosedur Kelebihan Kekurangan Status
Sitologi konvensional (Tes Pap)
Sampel diambil oleh tenaga kesehatan dan diperiksa oleh sitoteknisi di laboratorium
Metode yang telah lama dipakai
Diterima secara luas
Pencatatan hasil pemeriksaan permanen
Training dan mekanisme kontrol kualitas telah baku
Investasi yang sederhana pada program yang telah ada dapat meningkatkan pelayanan
Spesifisitas tinggi
Hasil tes tidak didapat dengan segera
Diperlukan sistem yang efektif untuk follow up wanita yang diperiksa setelah ada hasil pemeriksaan
Diperlukan transport bahan sediaan dari tempat pemeriksaan ke laboratorium, transport hasil pemeriksaan ke klinik
Sensitivitas sedang
Telah lama digunakan di banyak negara sejak tahun 1950
Terbukti menurunkan angka kematian akibat kanker leher rahim di negara-negara maju
Liquid Base Citology
Sampel diambil oleh tenaga kesehatan, dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim untuk diproses dan di periksa di laboratorium
Jarang diperlukan pengambilan sample ulang bila bahan sediaan tidak adekuat
Waktu yang dibutuhkan untuk pembacaan hasil lebih singkat bila dilakukan oleh sitoteknisi yang berpengalaman
Sampel dapat
Hasil tes tidak didapat dengan segera
Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih
20
digunakan juga untuk tes molekuler (misalnya HPV tes)
Tes DNA HPV
Tes DNA HPV secara molekuler. Pengambilan sampel dapat dilakukan sendiri oleh wanita dan dibawa ke laboratorium
Pengambilan sampel lebih mudah
Proses pembacaan otomatis oleh alat khusus
Dapat dikombinasi dengan Tes Pap untuk meningkatkan sensitivitas
Spesifitas tinggi terutama pada perempuan >35 tahun
Hasil tes tidak didapat dengan segera
Biaya lebih mahal
Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih
Perlu reagen khusus
Spesifitas rendah pada perempuan muda (,35 tahun)
Digunakan secara komersial di negara-negara maju sebagai tambahan pemeriksaan sitologi
Metode Visual (IVA dan VILI)
Pemulasan leher rahim dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih (bidan/ dokter/perawat)
Mudah dan murah
Hasil didapat dengan segera
Sarana yang dibutuhkan sederhana
Dapat dikombinasi dengan tatalaksana segera lainnya yang cukup dengan pendekatan sekali kunjungan (single visit approach)
Spesifitas rendah, sehingga berisiko overtreatment
Tidak ada dokumentasi hasil pemeriksaan
Tidak cocok untuk skrining pada perempuan pasca menopause
Belum ada standarisasi
Seringkali perlu training ulang untuk
Belum cukup data dan penelitian yang mendukung, terutama sehubungan dengan efeknya terhadap penurunan angka kejadian dan kematian kanker leher rahim
Saat ini hanya direkomenda
21
tenaga kesehatan
sikan pada daerah proyek
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrijono, Kanker Leher rahim, Divisi Onkologi, Dep.Obstetri-Ginekologi
FKUI.2007.
2. Nuranna, L. Penanggulangan Kanker Leher rahim yang Sahih dan Andal
dengan metode Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan
terapi krio). Desertasi program Doktor. FKUI, Jakarta 2005.
3. Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta,
2001: 133;5-7.
4. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A
Guide to Essential Practice. Geneva: WHO, 2006.
5. Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi Dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Ed ke-
2.Jakarta. Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia .2001: 90-
110.
6. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging Classifications and clinical
practice guidelines of gyneecologic cancers. Int J Gynecol Cancer.
2000;70:207-312.
7. Soepardiman HM, Sianturi MHR, Lubis M. Manual Pap Smir. Jakarta.
Subbagian Sitopatologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI 1988. (89)
8. Nazeer S. Cervical cancer screening training module 2 : Aided visual
inspection of the cervix ―acetic acid test‖. Geneva Foundation for Medical
Education and Research. Diakses pada http://www.gfmer.ch/
9. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ,
Cohen C, American Cancer Society: American Cancer Society guidelines for
the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002,
52:342-362. PubMed Abstract | Publisher Full Text.
23
10. Canavan TP, Doshy NR. Cervical Cancer. Situs American Family Physician.
Diakses pada www.aafp.org.
24