Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis, neurologis, dan audiologis dari organ- organ yang terlibat dalam proses pendengaran. Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak. 1,2 Program deteksi dini gangguan pendengaran dilakukan pada bayi dan anak yang memiliki faktor risiko tinggi. Namun indikator risiko tersebut hanya dapat mendeteksi 50% gangguan pendengaran, hal ini dikarenakan pada banyak bayi yang ternyata memiliki gangguan pendengaran tapi tidak memiliki faktor risiko yang dimaksud. 1,2 Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul pada anak dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna rungu. Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada 1

description

referat

Transcript of Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Page 1: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam

tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang

kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis,

neurologis, dan audiologis dari organ-organ yang terlibat dalam proses pendengaran.

Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan

bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak.

Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak.1,2

Program deteksi dini gangguan pendengaran dilakukan pada bayi dan anak yang

memiliki faktor risiko tinggi. Namun indikator risiko tersebut hanya dapat mendeteksi

50% gangguan pendengaran, hal ini dikarenakan pada banyak bayi yang ternyata memiliki

gangguan pendengaran tapi tidak memiliki faktor risiko yang dimaksud.1,2

Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul pada anak

dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna rungu.

Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan anak

sedini mungkin. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan mulai dari bertepuk tangan

untuk melihat respon mereka hingga memanggil nama atau membunyikan lonceng mainan.

Gangguan pendengaran kongenital terjadi pada dua dari tiga bayi dalam 1000

angka kelahiran. CDC (Centers for Diseases Control and Prevention) mendapatkan data

adanya peningkatan jumlah bayi yang di skrining pendengarannya dari 46,5 % menjadi 97

%, dan jumlah bayi yang memiliki gangguan pendengaran yang juga meningkat dari 1736

penderita menjadi 2212 penderita. Dengan persentase bayi yang di skrining sebelum usia

satu bulan meningkat dari 80,1 % menjadi 85,4 %. Persentase bayi yang mendapatkan

tindak lanjut sebelum usia tiga bulan meningkat dari 51,5 % menjadi 66,4 %. Sedangkan

persentase bayi yang mendapatkan intervensi sebelum usia enam bulan meningkat menjadi

60,8 % dari 50,7 %.2,3

1

Page 2: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Berdasarkan data yang ada di Indonesia, angka kejadian tuna rungu (tidak dapat

mendengar atau adanya gangguan mendengar) adalah 0,1 % kelahiran, atau kurang lebih

sebanyak 200.000 penderita. Sedangkan data RSCM pada tahun 1999 – 2003, didapatkan

2579 penderita. Sebanyak 6,13 % mengalami gangguan pendengaran berat saat usia

kurang dari satu tahun. Pada usia 1 – 3 tahun, terdapat sebanyak 45,29 % anak dengan

gangguan pendengaran berat. Dan sebanyak 24,42 % lainnya mengalami gangguan

pendengaran berat pada usia lebih dari lima tahun.4

Untuk itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai gangguan pendengaran

pada anak dan bagaimana cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut: mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

a. Mengetahui gangguan pendengaran pada anak.

b. Mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui perkembangan auditorik dan wicara.

b. Mengetahui penyebab dan klasifikasi gangguan pendengaran pada anak.

c. Mengetahui faktor risiko dan gejala gangguan pendengaran pada anak.

d. Mengetahui pemeriksaan gangguan pendengaran pada anak.

e. Mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

f. Mengetahui rehabilitasi dan habilitasi anak dengan gangguan pendengaran.

2

Page 3: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

1.4. Manfaat

a. Memberi pengetahuan mengenai gangguan pendengaran pada anak.

b. Memberi pengetahuan mengenai cara deteksi dini gangguan pendengaran pada

anak.

c. Memberi pengetahuan mengenai rehabilitasi dan habilitasi anak dengan

gangguan pendengaran.

d. Sebagai bahan untuk penulisan atau penelitian selanjutnya.

3

Page 4: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Auditorik dan Wicara

2.1.1. Perkembangan Auditorik dan Wicara2,5

Perkembangan auditorik dimulai sejak masa gestasional dengan

perkembangan embriologi dari struktur anatomis dan dilanjutkan hingga masa

remaja sesuai dengan maturasi dari susunan saraf pusat auditorik. Dari suatu

persepsi sensorik, bayi dipersiapkan untuk memberikan respon suara saat lahir.

Terdapat suatu proses kompleks, termasuk di dalamnya mengenali suara ibunya,

membedakan suara, dan bunyi tanpa suara, telah diperlihatkan sejak permulaan

bayi. Bagaimanapun juga, tingkat bunyi yang dibutuhkan untuk membangkitkan

suatu respon pada bayi akan berkurang setelah 12 bulan pertama kehidupan sesuai

dengan respon dalam pola perkembangan normal.

Respon inisial dari bayi terhadap bunyi merupakan suatu refleks, seperti

sesuatu yang mengagetkan dan berhenti mendadak. Seiring dengan tingkat

kematangan kognitif dan pencapaian kontrol motorik, bayi mulai melokalisasi

bunyi dalam bidang horizontal, kemudian bidang vertikal. Kemudian bayi

menunjukkan peningkatan ketertarikan dan respon interaktif terhadap perintah

yang diucapkan. Stimulus yang kompleks atau luas lebih efektif dibandingkan nada

murni atau isyarat lainnya dalam merangsang respon bayi terhadap bunyi. Dengan

bantuan teknik tes yang tepat, stimulus yang kompleks mampu merangsang tingkat

ambang batas relatif normal. Sebaliknya, respon terhadap stimulus nada murni

awalnya nampak tinggi, mencapai tingkat ambang batas dewasa pada usia enam

bulan. Perkembangan dari respon-respon ini dapat memperbaiki ambang batas nada

murni sebesar 30 dB untuk nada tinggi dan 15 dB untuk nada rendah.

Untuk tujuan tes pendengaran dan habilitasi, perlu diingat bahwa perubahan

anatomis berlanjut setelah lahir. Sebagai contoh, perkembangan telinga luar terus

berlanjut sepanjang masa anak-anak. Bagian tulang dari kanal auditori eksternal

mengubah bentuk hingga usia tujuh tahun, dan pinna berkembang hingga usia

4

Page 5: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

sembilan tahun. Perubahan setelah kelahiran yang utama adalah pada telinga

tengah, yaitu perubahan posisi dari membran timpani. Telinga dalam (koklea)

mencapai ukuran dewasa dengan kelahiran dan dapat memberikan respon terhadap

bunyi dalam 25 minggu masa gestasi.

Susunan saraf pusat auditorik terus berkembang dengan baik hingga usia

remaja. Mielinisasi batang otak tercapai dalam usia satu tahun, sedangkan

mielinisasi struktur serebral tercapai pada usia 10 tahun. Maturasi yang berlanjut

berkaitan dengan perkembangan anatomik dari cabang dendrit dan susunan dari

letak sinaps saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan efisiensi dari susunan

saraf pusat auditorik dalam menerima informasi auditorik. Begitupun juga,

kehilangan sensorik menyebabkan kematian sel atau perubahan fungsional yang

dapat menurunkan efisiensi dari susunan saraf pusat auditorik. Adapun efek dari

perubahan anatomik dan perkembangan setelah kelahiran harus dipertimbangkan

dalam seleksi dan interpretasi dari teknik tes fungsi pendengaran sesuai dengan

strategi habilitasi yang akan dilakukan.

Perkembangan wicara berlangsung bersamaan dengan perkembangan

auditorik. Karena dalam proses berbicara berhubungan dengan input sensorik

(auditorik) dan motorik yang baik, dimana input auditorik tersebut digunakan untuk

merangsang proses wicara pada bayi. Oleh karena keterkaitan perkembangan

wicara dengan perkembangan mendengar, maka dapat pula diperkirakan adanya

gangguan pendengaran pada anak yang memiliki gangguan wicara.

2.1.1. Embriologi Organ Auditorik5,6,7,8

Perkembangan berbagai struktur dari kepala dan leher secara mendasar

berhubungan dengan arkus brakial dan atau kantong faring. Keduanya merupakan

struktur embrionik yang bersifat sementara yang akan mengalami perubahan

substansial sehingga bentuk embrionik tidak dapat dikenali lagi seiring dengan

kelahiran. Meskipun demikian, bentuk turunan dari struktur ini penting untuk

bentuk dewasa, oleh karena itu kelainan dari perkembangan arkus brakial dapat

mengakibatkan malformasi yang signifikan.

5

Page 6: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Gambar 1. Arkus brakial dan kantong faring embrio.

Pada usia kehamilan lima minggu, daerah kepala dan leher embrio terdiri

dari lima hingga enam bagian jaringan yang menyerupai jari, disebut sebagai arkus

brakial. Bagian ini berbaris melintang pada bidang datar dari leher dan dipisahkan

oleh celah, disebut sebagai celah brakial. Permukaan dari arkus dan celah brakial

ini dilapisi oleh lapisan ektoderm, yang berasal dari lapisan mesoderm. Bagian

yang mendasari daerah celah brakial merupakan lapisan tipis karena terjadi

pendekatan dari kantong luar dari daerah foregut, dinamakan kantong faring.

Bentuk turunan dari arkus brakial dan kantong faring berbeda, karena sumber dari

lapisan embrionik termasuk dalam arkus brakial adalah lapisan mesoderm,

sedangkan kantong faring berasal dari lapisan endoderm. Karena perbedaan sumber

lapisan embrionik, dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa pada orang

dewasa bentuk turunan arkus brakial memiliki struktur yang terdiri dari otot,

tulang, atau turunan mesodermal lainnya yang bentuknya mirip, seperti otot wajah

dan leher. Bentuk turunan dari kantong faring lapisan endoderm akan seperti

glandular atau berhubungan dengan saluran pencernaan.

Pada orang dewasa, telinga merupakan kesatuan anatomik yang memiliki

peran sebagai organ pendengaran dan keseimbangan. Sedangkan pada embrio,

telinga berkembang dari bagian yang berbeda, yaitu: telinga luar sebagai

pengumpul suara, telinga tengah sebagai penghantar suara, dan telinga dalam yang

mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf dan menunjukkan perubahan

keseimbangan.

6

Page 7: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Gambar 2. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio 22 hari.

Perkembangan telinga dapat ditemukan sejak embrio berusia kira-kira 22

hari, yang nampak sebagai penebalan ektoderm permukaan pada kedua sisi

rombensefalon. Penebalan ini dinamakan plakoda otika atau plakoda telinga yang

akan melakukan invaginasi cepat dan membentuk gelembung telinga atau

gelembung pendengaran (otokista).

Gambar 3. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio:

pembentukan gelembung telinga a) 24 hari, b) 27 hari, dan c) 4,5 minggu.

Perkembangan selanjutnya, gelembung tersebut terbagi menjadi unsur

ventral yang membentuk sacculus dan duktus koklearis, unsur dorsal yang

membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus endolimfatikus. Kemudian

terbentuk struktur epitel yang dikenal sebagai labirin membranosa. Kecuali duktus

koklearis yang akan membentuk organ korti, semua struktur yang berasal dari

labirin membranosa termasuk dalam alat keseimbangan.

7

Page 8: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Gambar 4. Perkembangan otokista menjadi sacculus dan duktus koklearis.

Telinga tengah yang terdiri atas kavum timpani dan tuba eustasius, dilapisi

epitel yang berasal dari endoderm kantong faring pertama. Di dalamnya terdapat

rongga berisi udara yang meluas ke dalam resesus tubotimpanikus, dan selanjutnya

meluas di sekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah, dan ke daerah

mastoid. Tuba eustasius menghubungkan kavum timpani dan nasofaring. Tulang-

tulang pendengaran yang menghantarkan getaran suara dari membran timpani ke

fenestra ovalis berasal dari kantong faring pertama (kartilago Meckel), yaitu tulang

maleus dan tulang inkus; dan kantong faring kedua (kartilago Reichert), yaitu

tulang stapes.

Liang telinga luar atau meatus austikus eksterna berkembang dari kantong

faring pertama dan dipisahkan dari kavum timpani oleh membran timpani.

Gendang telinga terdiri atas lapisan epitel ectoderm di dasar meatus akustikus,

lapisan tengah jaringan ikat (mesenkim) yang membentuk stratum fibrosum, dan

lapisan epitel endoderm kavum timpani yang berasal dari kantong faring pertama.

Daun telinga atau aurikula berkembang dari enam buah tonjolan mesenkim

yang terletak sepanjang kantong faring pertama dan kedua. Tonjolan-tonjolan daun

telinga ini masing-masing sebanyak tiga buah pada setiap sisi liang telinga luar

akan menyatu dan membentuk daun telinga yang tetap. Pada mulanya, telinga luar

terletak di daerah leher bawah, tetapi dengan berkembangnya mandibula, tonjolan-

tonjolan tersebut bergerak naik ke samping kepala setinggi mata.

Tulang temporal yang membungkus telinga berasal dari empat bagian

terpisah, yaitu pars petrosa, sutura petroskuamosa, prosesus stiloidesus, dan cincin

timpani. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir, sehingga letak saraf

8

Page 9: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

fasialis bayi sangat superfisial. Turunan resesus tubotimpanikus yang terisi udara

meluas dari telinga tengah melalui tuba eustasius (audita) sampai di antrum, yaitu

daerah yang terisi udara dalam tulang mastoid.

2.2. Faktor-faktor Risiko dan Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak

2.2.1. Faktor Risiko

Menurut Joint Committee on Infant Hearing 2007, indikator yang

berhubungan dengan kehilangan pendengaran sensorikneural atau konduktif di

anak-anak, antara lain :9

Usia 0-28 hari (skrining universal belum tersedia)

1. Penyakit atau kondisi yang membutuhkan perawatan di Unit Perawatan

Intensif Neonatus (Neonatal Intensive Care Unit / NICU) selama minimal

48 jam

2. Penemuan kondisi atau tanda yang diketahui berhubungan dengan sindrom

yang memiliki gejala kehilangan pendengaran sensorik atau konduktif

3. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran sensorikneural pada masa

kanak-kanak yang permanen

4. Anomali kraniofasial, meliputi abnormalitas morfologi dari pinna dan

liang telinga

5. Infeksti intra uteri, seperti Cytomegalovirus/CMV, herpes, toksoplasmosis,

atau rubella

Usia 29 hari-2 tahun (Kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif

yang progresif atau onset lambat)

1. Perhatian orang tua atau pengasuh terkait keterlambatan kemampuan

mendengar, berbicara, bahasa atau perkembangan.

2. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran masa kanak-kanak yang

permanen.

3. Penemuan yang diketahui berkaitan dengan sindrom yang memiliki gejala

kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif ataupun disfungsi

tuba eustachius.

9

Page 10: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

4. Infeksi postnatal berkaitan dengan kehilangan pendengaran sensorineural

seperti meningitis bakteri.

5. Infeksi intra uteri seperti CMV, herpes, rubella, sifilis, dan toksoplasmosis.

6. Indikator-indikator pada neonatus, seperti hiperbilirubinemia yang

membutuhkan transfusi tukar, hipertensi pulmonal neonates persisten terkait

ventiasi mekanik, dan kondisi yang membutuhkan oksigenasi

ekstrakorporal.

7. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan pendengaran progresif seperti

neurofibromatosis, osteopetrosis dan sindrom Usher.

8. Kelainan neurodegenerative (seperti Sindrom Hunter) atau neuropati

sensorimotor (seperti ataksia Friedreich dan sindrom Charcot-Marie-

Tooth).

9. Trauma kepala.

10. Otitis media rekuren atau persisten dengan efusi selama minimal 3 bulan.

2.2.2. Etiologi

Berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran:1

1. Masa Prenatal (umumnya tuli sensorikneural bilateral dengan derajat

ketulian berat atau sangat berat)

Periode paling pentung selama kehamilan adalah trimester pertama.

Gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa itu dapat menyebabkan

ketulian pada bayi.

a. Genetik heriditer

Malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan

aplasia koklea dapat menyebabkan ketulian.

b. Non genetic seperti gangguan/kelainan pada masa kehamilan,

kelainan struktur anatomic dan kekurangan zat gizi (misalnya

defisiensi yodium)

Infeksi pada ibu hamil seperti toksoplasmosis, rubella,

cytomegalovirus, herpes, dan sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada

pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Selain itu penggunaan obat

ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro

10

Page 11: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

streptomisin, gentamisin, barbiturate, thalidomide, dan lain-lain juga

berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel

rambut koklea.

2. Masa Perinatal (umumnya tuli sensorikneural bilateral dengan derajat

ketulian berat atau sangat berat)

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir seperti

gangguan pendengaran/ketulian prematur, berat badan lahir rendah (<2500

gram), hiperbilirubinemia, dan asfiksia

3. Masa Postnatal

Infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi

otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, dan trauma

temporal dapat menyebabkan ketulian baik tuli sensorineural maupun

konduktif.

2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak1

Gangguan pendengaran dibedakan menjadi :

1. Tuli sebagian (hearing impairment), yaitu sebuah keadaan dimana fungsi

pendengaran berkurang, namun masih dapat dimanfaatkan untuk

berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar.

2. Tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian

terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat

perkerasan bunyi (amplikasi).

Derajat gangguan pendengaran berdasarkan WHO adalah sebagai berikut:10

11

Page 12: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Grade of Impairment

0 (no impairment)

1 (Slight impairment)

2 (Moderate impairment)

3 (severe impairment)

4 (Profound impairment including deafness)

Audiometric ISO value (average of 500, 1000, 2000, 4000 Hz)

25 dBHL or less (better ear)

26-40 dBHL (better ear)

41-60 dBHL (better ear)

61-80 dBHL (better ear)

81 dBHL or greater (better ear)

Impairment description

No or very slight hearing problems.

Able to hear whispers

Able to hear and repeat words spoken in normal voice at 1 metre

Able to hear and repeat words using raised voice at 1 metre

Able to hear some words when shouted into better ear

Unable to hear and understand even a shouted voice

Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran menurut WHO.

2.4. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak

Deteksi gangguan pendengaran, khususnya pada anak-anak - entah karena faktor

usia ataupun tingkatan perkembangannya dimana ia masih belum dapat merespon dengan

baik stimulant/rangsangan yang diberikan kepadanya - dilakukan dengan metode indirek,

dimana respons dapat diamati tanpa memerlukan respons fisik dari pasien.

Deteksi dini penting untuk dilakukan karena jika gangguan pendengaran tidak

disadari sampia anak tersebut berumur 2-3 tahun maka dapat terjadi keterlambatan

perkembangan dari segi berbicara, kemampuan berbahasa dan kognitif. Secara global,

angka kejadian gangguan pendengaran bawaan adalah 2-3 bayi per 1000 kelahiran dengan

tingkat gangguan sedang sampai benar-benar tuli; penurunan bahkan kehilangan

pendengaran merupakan kelainan yang paling sering diketahui setelah anak lahir, dengan

12

Page 13: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

50% anak dengan penurunan pendengaran tidak memiliki faktor resiko yang dapat

dihubungkan dengan kejadian tersebut; bahkan dari penelitian yang dilakukan di Kuba

dalam jangka waktu 25 tahun untuk menilai keampuhan metode screening ditemukan

tingkat insidensi sampai 72,5%.11

Beberapa faktor risiko yang dapat diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis gangguan

pendengaran antara lain:12

Riwayat lahir prematur atau berat lahir dibawah 1500 gram

Riwayat hiperbilirubinemia atau phenilketouria

Kelainan genetik, termasuk sindrom Down

Keterlambatan berbicara pada usai 12-18 bulan

Riwayat terkena, atau infeksi telinga berulang

Gangguan pendengaran yang dialami oleh anggota keluarga dekat, misalnya ayah,

ibu atau saudara

Sindrom yang berkaitan dengan gangguan pendengaran

Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran

Terapi medis yang dapat mengakibatkan gangguan atau kehilangan pendengaran

sebagai efek samping, termasuk antibiotik dan agen-agen kemoterapi.

Performa akademis yang buruk (biasanya baru diketahui setelah anak tersebut

memasuki usia sekolah)

Gangguan pendengaran mungkin dapat diidentifikasi dari tingkah laku yang

ditunjukkan oleh si anak sebagai respons dari stimulus auditorik yang diberikan

kepadanya.

Beberapa gejala dan tanda yang perlu diperhatikan sebagai awal kecurigaan

terjadinya gangguan pendengaran pada anak antara lain:

Acuh ketika dipanggil

Sering tidak perhatian atau melamun

Mendengarkan televisi atau radio dengan volume tinggi

Berbicara lebih keras daripada anak seusianya, cenderung berteriak

Sering salah mengucapkan kata

Menampakkan tingkah seperti tidak tenang di sekolah

Seringkali menampakkan kelakuan seperti frustasi, pemarah atau agresif.

13

Page 14: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Metode untuk menentukan kelainan pendengaran pada anak-anak berbeda dengan

orang dewasa, karena selain mereka belum dapat mengungkapkan konsep / pikirannya

dengan perbendaharaan kata seperti orang dewasa, mereka lebih senang melakukan

tindakan seperti bermain dibandingkan dengan pemeriksaan; maka itu diperlukan teknik

pemeriksaan yang berbeda.13,14

2.5. Pemeriksaan Gangguan Pendengaran pada Usia Dini15

Pemeriksaan gangguan pendengaran pada usia dini sangat dianjurkan untuk

mengetahui dan mengantisipasi efek lanjutan yang dapat menyertai kelainan pendengaran,

seperti keterlambatan atau bahkan ketidakmampuan berbicara yang baru dapat terlihat

pada tahun kedua atau ketiga kehidupan mereka. Dalam hal mendeteksi / mengetahui

apakah seorang anak benar-benar mengalami gangguan pendengaran atau hanya memiliki

gangguan pada fungsi atensinya, mengandalkan pemeriksaan fisik saja tidak cukup, oleh

karena hasilnya terbatas, terutama dalam hal screening yang dilakukan pada masa awal

kehidupan. Oleh sebab itu, pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam

menegakkan diagnosis gangguan pendengaran akibat kelainan neurologis.

Teknik-teknik menilai kemampuan anak untuk dapat mendengar dapat dibagi

menjadi beberapa tes sesuai dengan usia maupun tingkat perkembangan si anak.

Timpanometri

Pemeriksaan timpanometri dapat dilakukan pada anak dengan segala usia

untuk menilai kelenturan membran timpani. Membran timpani yang lentur

diperlukan untuk mendapatkan pendengaran yang biak karena getaran dari luar

akan disampaikan dari sana mencapai telinga bagian dalam. Jika membran timpani

kaku, misalnya karena adanya penumpukan cairan dibelakang gendang, maka

getaran tidak akan dapat disampaikan sebaik pada yang membran timpani yang

lentur. Untuk melakukan pemeriksaan ini sebuah pipa dengan ujung karet yang

lembut dimasukkan ke dalam liang telinga. Dengan menggunakan pompa tangan

manual, tekanan dalam liang telinga diubah, dan pergerakan membran timpani

diamati dengan menggunakan otoskop yang juga terpasang pada alat yang sama.

Jika pergerakan membran timpani terbatas, walaupun telah diberikan perbedaan

tekanan yang besar, maka kemungkinan besar anak tersebut mengidap glue ear.

14

Page 15: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Walaupun begitu, pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menilai

kemampuan pendengaran, maka itu pemeriksaan audiometrik diperlukan untuk

penilaian lebih lanjut.

Speech Discrimination Test

Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan terhadap pasien yang sudah

mengerti apa arti dari kata-kata, misalnya pada usia 2-3 tahun, yaitu dengan

memberikan perintah sederhana, misalkan mengambil suatu benda atau

menggambar sesuatu; dapat melakukan perintah yang diberikan tentu saja berarti

pasien yang diperiksa tidak tuli, baik sensorik maupun konduktif. Bila perintah

tidak dapat dilakukan, pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang

didengarnya. Bila bahkan kata-kata tidak dapat diulang secara tepat, perlu dicurigai

adanya gangguan pendengaran, yang kemudian dapat dipastikan dengan

pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan garpu penala.

Play Audiometry Test

Pemeriksaan yang dikembangkan untuk menarik perhatian anak-anak

dengan usia 2-5 tahun, dengan cara membuat pemeriksaan seolah-olah sebuah

permainan. Anak diminta untuk berdiri di tengah sebuah ruangan kedap suara yang

didalamnya ditempatkan sebuah speaker dan alat permainan yang bersifat repetitif,

dimana dari speaker akan dihasilkan suara tertentu untuk mengetes kemampuan

pendengaran frekuensi yang diujikan. Sang anak diperintahkan untuk hanya

bermain pada saat nada terdengar olehnya, dan dengan ini diharapkan dapat

diketahui pada frekuensi atau pada nada mana terdapat gangguan presepsi. Pada tes

ini juga dapat dilakukan masking atau penambahan suara untuk mengganggu

presepsi subjek untuk menilai kemampuannya membedakan pembicaraan dari

keriuhan latar (background noise).

Infant Distraction Test 16

Merupakan pemeriksaan paling awal yang dapat digunakan untuk menilai

gangguan pendengaran pada anak. Dibutuhkan paling sedikit dua orang untuk

melakukan pemeriksaan ini selain anak dan perawat yang memangku. Ketika anak

dipangku, penguji akan berdiri dibelakangnya dan membuat suara-suara, sementara

15

Page 16: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

pengamat yang berdiri dihadapan si anak akan mengamati reaksi anak terhadap

suara tersebut, yang dapat bervariasi dari menoleh untuk mencari sumber suara

hingga benar-benar acuh. Pemeriksaan ini tidak dimaksudkan menegakkan

diagnosis gangguan pendengaran, dan dibutuhkan tes lain untuk menegakkannya.

Visual Reinforcement Audiometry (VRA)

Pemeriksaan yang ditujukan untuk pasien dengan usia 6 bulan - 3 tahun.

Menggunakan audiometer yang dihubungkan ke beberapa speaker yang

ditempatkan tersebar dalam satu ruangan kedap suara. Ketika sebuah nada

diperdengarkan, bila si anak merespon dengan menengok, sebuah mainan akan

menyala atau sebuah gambar akan ditampilkan. Setelah beberapa kali diulang dan

anak sudah mengasosiasikan bahwa terdengarnya bunyi sama dengan adanya

sesuatu yang dapat dilihatnya, volume dapat dimanipulasi untuk menentukan

volume terkecil yang dapat didengar. Dapat pula digunakan earphone untuk

menilai salah satu telinga saja.

Audiometri Nada Murni

Dapat digunakan untuk anak dengan usia diatas 3 tahun. Nada atau suara

tertentu diperdengarkan lewat headphone dan anak tersebut diminta untuk

merespon terhadap suara tersebut, misalnya dengan mengangkat tangan atau

dengan menekan tombol. Untuk pemeriksaan penjaring biasanya diperdengarkan

hingga empat frekuensi dan intensitas volume yang berbeda. Pemeriksaan ini

hampir langsung dapat menunjukkan gangguan pendengaran yang berat, dan lebih

berguna untuk mendeteksi gangguan pendengaran dalam perkembangan, atau

gangguan pada salah satu sisi telinga.

Audiometri Hantaran Tulang

Untuk menilai daya hantar getaran dengan menaruh alat yang menghasilkan

getaran di belakang daun telinga sehingga yang dinilai adalah telinga bagian dalam

dengan memanfaatkan hantaran tulang. Dengan membandingkan hasil pemeriksaan

ini dengan pemeriksaan audiometrik lain, dapat ditentukan apakah gangguan

pendengaran berasal dari gangguan telinga tengah atau bagian telinga dalam.

16

Page 17: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai gangguan pendengaran non-

organik, antara lain:12

Pemeriksaan Stenger

Berupa pemeriksaan yang menggunakan bunyi, hampir sama seperti

audiometri nada murni, hanya saja terdapat modifikasi, yaitu tes bicara Stenger

dapat digunakan untuk menilai keadaan displakusis, yaitu suatu keadaan yang

menyebabkan sebuah nada yang sama didengar berbeda pada masing-masing

telinga.

Pemeriksaan Doerfler-Stewars

Merupakan pemeriksaan dimana digunakan masking noise sebesar 10-25

dB diatas volume percakapan normal. Pada orang normal tidak akan didapatkan

kesulitan mendengarkan suara atau nada, namun pada gangguan pendengaran non-

organik akan didapatkan kesulitan presepsi.

Pemeriksaan delayed feedback:

Pemeriksaan dimana pasien diminta untuk berbicara, kemudian

pembicaraan tersebut direkam dan diperdengarkan kembali pada subjek dengan

jeda waktu 0.2 detik. Pada pasien dengan kelainan baik unilateral maupun bilateral

dapat didapatkan kesulitan mengucapkan kata (impairment).

Metode yang menjadi modal deteksi dini gangguan pendengaran selain karena

kelainan fisik adalah ABR (Auditory Brainstem Response) dengan frekuensi tertentu.

Pemeriksaan ini secara teoritis sama persis dengan pemeriksaan penala, hanya saja respon

yang diharapkan dalam tes ini berupa respon dari otak secara direk terhadap gelombang

suara.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menaruh empat hingga lima elektroda di daerah

tertentu di kepala pasien, kemudian lewat earphone diperdengarkan suara-suara dengan

frekuensi tertentu secara bergantian. Melalui syaraf pendengaran, suara ini akan

disampaikan ke otak dan memicu respons berupa timbulnya gelombang elektrik yang

direkam dalam bentuk sebuah elektrogram. Dalam hasil rekaman tersebut akan tercatat

ambang terendah frekuensi yang masih dapat terdengar oleh si anak.

17

Page 18: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Kekurangan dari metode ini adalah bahwa subjek pemeriksaan haruslah diam tanpa

gerakan: karena potensial listrik sebagai respons dari bunyi yang diperdengarkan sangatlah

kecil, gerakan dari otot, baik itu otot tubuh maupun otot wajah sekecil apapun akan

mempengaruhi hasil pemeriksaan, maka itu pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada

keadaan tidur, atau dalam keadaan terbius. Pada pasien dengan umur dibawah 3 bulan

dapat ditunggu sampai pasien tertidur secara alami, namun pada pasien dengan umur diatas

3 bulan dapat diperhitungkan pemberian agen sedatif selama tes, misalnya kloral hidrat.

Selain tes tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan lain berupa Otoacoustic

Emissions (OAE). Tes ini tidak hanya menilai respons otak terhadap bunyi, namun juga

intaknya koklea berdasarkan gelombang bunyi yang tidak diubah menjadi respons listrik.

Secara garis besar, pemeriksaan ini dapat dianggap sebagai semacam ultrasonografi dari

koklea, dan dipergunakan untuk menilai integritas organ pendengaran, namum hanya

terbatas sampai pada koklea.

Gambar 5. Emisi Otoakustik

2.6. Habilitasi dan Rehabilitasi Pendengaran17

Rehabilitasi ialah usaha untuk mengembalikan fungsi yang pernah dimiliki,

sedangkan habilitasi adalah memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki. Setelah

diketahui seorang anak menderita ketulian upaya habilitasi pendengaran harus

18

Page 19: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

dilaksanakan sedini mungkin. American Joint of Committee on Infant (2007)

merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan. Penelitian-

penelitian telah membuktikan bahwa bila habilitasi yang optimal sudah dimulai sebelum

usia 6 bulan maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian

dapat mendekati kemampuan wicara anak normal.

Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya pertama dalam habilitasi

pendengaran yang akan dikombinasikan dengan terapi wicara atau terapi audio verbal.

Anak usia 2 tahun dapat memulai pendidikan khusus di Taman Latihan dan Observasi

(TLO), dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Luar biasa (SLB) - B atau SLB - C bila

disertai dengan retardasi mental. Proses habilitasi pasien tunarungu membutuhkan

kerjasama dari berbagai disiplin, antara lain dokter spesialis THT, Audiologist, ahli terapi

wicara, ahli madya audiologi, psikolog anak, guru khusus untuk tunarungu dan keluarga

penderita.

Saat ini dikenal beberapa strategi habilitasi pendengaran seperti ; Alat bantu dengar

(ABD), Assistive Listening Device (ALD) dan implantasi koklea.

Alat Bantu Dengar

Alat bantu dengar adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk

memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga; sehingga si

pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada di sekitarnya.

Komponen-komponen ABD

Pada ABD terdapat 4 bagian pokok, yaitu :

a. Mikrofon : berperan menerima suara dari luar dan mengubah sinyal

suara menjadi energi listrik kemudian meneruskannya ke amplifier.

b. Amplifier : berfungsi memperkeras suara dengan cara memperbesar

energi listrik yang selanjutnya mengirimkannya ke receiver.

c. Receiver : mengubah energi listrik yang telah diperbesar amplifier

menjadi energi bunyi kembali dan meneruskannya ke liang telinga.

d. Baterai : sebagai sumber tenaga.

19

Page 20: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Gambar 6. Komponen-komponen Alat Bantu Dengar

Jenis Alat Bantu Dengar

ABD berukuran kecil tentu lebih menguntungkan dari segi kosmetik, tetapi

memiliki keterbatasan dalam memperkeras suara, sehingga hanya dapat

dimanfaatkan untuk ketulian derajat sedang. ABD dibedakan menjadi beberapa

jenis :

1) Jenis saku (pocket type, body worn type)

2) Jenis belakang telinga (BTE = Behind The Ear)

3) Jenis ITE (In The Ear)

4) Jenis ITC (In The Canal)

5) Jenis CIC (Completely In the Canal)

Selain itu masih ada lagi jenis khusus seperti jenis kaca mata (Spectacle

Aid), hantaran tulang (Bone Conduction Aid), Bone Anchored Hearing Aid

(BAHA), Contralateral Routing of Signals (CROS) dan Bilateral Contralateral

Routing of Signals (BICROS).

20

Page 21: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Gambar 7. Jenis-jenis Alat Bantu Dengar

Untuk ABD yang sangat kecil (mis. In The Canal) pengaturan ABD (mis.

menghidupkan atau mematikan alat) dapat dilakukan secara tidak langsung melalui

remote control.

Untuk ABD yang komponennya berada di luar telinga, suara yang telah

diperkeras disalurkan ke liang telinga melalui pipa plastik (tubing) dan ear

mould (cetakan liang telinga). Ear mould dibuat khusus agar sedemikian

rupacocok dengan ukuran liang teling, terbuat dari bahan acrylic atau silikon.

Pada bayi dan anak, ear mould secara berkala harus diganti karena ukuran liang

telinga pasti berubah sesuai perkembangan anatomi kepala. Pada ABD berukuran

kecil dimana semua komponen berada di liang telinga, ear mould menyatu dengan

komponen ABD.

Sistim Alat Bantu Dengar

Secara umum sistim kerja ABD dibedakan menjadi analog dan digital.

Prinsip sistim analog adalah memperkeras suara yang masuk telinga melalui

21

Page 22: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

komponen mekanik dasar yang sederhana. Sistim ini menggunakan chip komputer

untuk menganalisa suara yang masuk. Setelah suara diperkeras (amplifikasi),

teknologi digital akan memilih suara yang perlu diteruskan ke dalam telinga

dan menyingkirkan suara yang tidak diharapkan (noise). ABD sistim digital ini

bisa menerima program komputer tertentu yang dapat memilih frekuensi yang

spesifik sesuai dengan kebutuhan, hal ini dimungkinkan oleh kemampuan sistim

digital membagi spektrum suara menjadi 8 frekuensi (sistim analog hanya terdiri

dari 2 frekuensi). ABD sistim digital menjadi sangat fleksibel karena secara

otomatis dapat beradaptasi dengan suara yang keras atau halus, sehingga tidak

terjadi amplifikasi yang berlebihan.

Assistive Listening Device (ALD)

ALD adalah perangkat elektronik untuk meningkatkan kenyamanan

mendengar pada kondisi lingkungan pendengaran tertentu seperti menonton

televisi, mendengarkan telepon, mendengar suara bel rumah atau pada saat berada

di ruang aula/auditorium. ALD dapat dipergunakan tersendiri atau dipasang pada

ABD dengan maksud mengoptimalkan kerja ABD.

Implan Koklea

Merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan

menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan

berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Implan koklea sudah

mulai dimanfaatkan semenjak 25 tahun yang lalu dan berkembang pesat di negara

maju.

22

Page 23: Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan

bicara dan bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan

emosional anak. Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul

pada anak dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna

rungu. Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan

anak sedini mungkin.

Teknik-teknik menilai kemampuan anak untuk dapat mendengar dapat dibagi

menjadi beberapa tes sesuai dengan usia maupun tingkat perkembangan si anak, antara lain

: timpanometri, play audiometry test, speech discrimination test, audiometri hantaran

tulang, audiometri nada murni, visual reinforcement audiometry dan infant distraction test.

Masing-masing pemeriksaan memiliki kekuatan dan kelemahan yang beragam dan perlu

disesuaikan dengan kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Sikap yang kooperatif

keluarga, terutama orang tua anak, memainkan peran yang sangat besar dalam mendeteksi

gangguan pendengaran pada bayi dan anak, oleh karena anak menghabiskan sebagian

besar waktunya dalam pengawasan orang tua, sehingga kesadaran dan pengetahuan setiap

orang tua harus diasah, supaya gangguan pendengaran dapat dideteksi sedini mungkin.

Apabila gangguan pendengaran telah terjadi, dapat dilakukan program habilitasi

dan rehabilitasi pendengaran. Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian upaya

habilitasi pendengaran harus dilaksanakan sedini mungkin, agar pertumbuhan wicara dan

tumbuh kembang anak dapat disetarakan dengan anak yang fungsi pendengarannya

normal. Saat ini dikenal beberapa strategi habilitasi pendengaran seperti ; Alat bantu

dengar (ABD), Assistive Listening Device (ALD) dan implantasi koklea. Setiap strategi

memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing, sehingga pemilihan dan indikasi

aplikasi strategi tersebut memerlukan pertimbangan yang matang antara kebutuhan,

kecocokan, kemampuan dan keinginan anak serta orang tuanya.

23