Deteksi Dini Ca Serviks.doc

35
BAB I PENDAHULUAN Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit ini merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan. 1 Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan menderita kanker leher rahim 1 dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi prekanker derajat tinggi (high grade dysplasia) 2 . Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian akibat kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka insidens tertinggi ditemukan di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika timur, Asia selatan, Asia tenggara dan Melanesia. 1,2,3 Di Indonesia, kanker leher rahim merupakan keganasan yang paling banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan dalam tiga dasa warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini adalah sekitar 100 per 100.000 penduduk. 4 Data patologi dari 12 pusat patologi di Indonesia (1997) menunjukkan bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada perempuan. 5 1

Transcript of Deteksi Dini Ca Serviks.doc

Page 1: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang

disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit

ini merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan.1

Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan

menderita kanker leher rahim1 dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi

prekanker derajat tinggi (high grade dysplasia)2. Penelitian WHO tahun 2005

menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian

akibat kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka

insidens tertinggi ditemukan di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan,

Afrika timur, Asia selatan, Asia tenggara dan Melanesia. 1,2,3

Di Indonesia, kanker leher rahim merupakan keganasan yang paling

banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan

dalam tiga dasa warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini adalah sekitar

100 per 100.000 penduduk.4

Data patologi dari 12 pusat patologi di Indonesia (1997) menunjukkan

bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada

perempuan.5 Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 39,5% penderita

kanker pada tahun 1998 adalah kanker serviks.6 Seiring dengan meningkatnya

populasi, maka insidens kanker leher rahim juga meningkat sehingga

meningkatkan beban kesehatan negara.2

Padahal penyakit ini dapat dicegah dengan deteksi dini lesi prankanker

yang apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi kanker leher rahim.

Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara

maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun

terakhir insidens kanker leher rahim turun sekitar 70%.7 Hal tersebut

dimungkinkan karena adanya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik.2

1

Page 2: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

Sebaliknya, di negara-negara berkembang, angka penderita penyakit ini tidak

mengalami penurunan, bahkan justru meningkat akibat populasi yang

meningkat.1,2, 8

Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita.

Diantara alasan tersebut adalah belum adanya sistem pelayanan yang terorganisasi

baik mulai dari deteksi dini sampai penanganan kanker leher rahim stadium

lanjut.9 Selain itu terbatasnya sarana dan prasana -termasuk tenaga ahli- yang

kompeten menangani penyakit ini secara merata1,2,9 menjadi tantangan tersendiri.

WHO menggariskan 4 komponen penting dalam program penanganan kanker

leher rahim nasional yaitu pencegahan primer, deteksi dini melalui peningkatan

kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana,

serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut.1

Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skiring yang

terorganisasi dengan target pada kelompok usia yang tepat dan sistim rujukan

yang efektif di semua tingkat pelayanan kesehatan. Beberapa metode skrining

yang dapat digunakan adalah pemeriksaan sitologi berupa Pap tes konvensional

atau sering dikenal dengan Tes Pap dan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-base

cytology /LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan visual berupa inspeksi

visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI).1

Metode yang disebut terakhir tidak memerlukan fasilitas laboratorium, sehingga

dapat dijadikan pilihan untuk masyarakat yang jauh dari fasilitas laboratorium dan

dapat dilakukan secara masal. Sedangkan untuk masyarakat kota dan daerah-

daerah dengan akses pelayanan kesehatan yang memadai, metode skrining dengan

pemeriksaan sitologi akan lebih tepat.

Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan

di berbagai negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan

cara yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu

dengan hanya mengoleskan asam asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu

mengamati perubahannya, dimana lesi prakanker dapat terdeteksi bila terlihat

2

Page 3: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

bercak putih pada leher rahim. Murah, karena biaya yang diperlukan hanya sekitar

Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena prosedurnya tidak rumit,

tidak memerlukan persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya dapat

dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur

sederhana yang representatif, spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat

dilakukan oleh bidan dan perawat yang terlatih. Beberapa karakteristik metode ini

sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi dan

keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya pengkajian penggunaan

metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang

memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan dalam

pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.

3

Page 4: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

BAB II

KANKER LEHER RAHIM

2.1. Definisi

Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher

rahim (serviks)10 Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks

akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus

lapisan basal (membrana basalis).

2.2. Etiologi

Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim

oleh satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang

beresiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim yang ditularkan melalui

hubungan seksual (sexually transmitted disease).3,4,7 Perempuan biasanya

terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tigapuluhan, walaupun

kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya.9 Infeksi virus HPV

yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 56 dimana HPV tipe

16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus.1 Infeksi HPV tipe ini dapat

mengakibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat

tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi prakanker.

Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-

onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11,

42, 43, 44, 53, 54,55.13

2.3. Predisposisi

Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia

dini, berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan

yang suka berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda,

sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor

yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker leher rahim adalah:1

4

Page 5: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

a) Faktor HPV :

Tipe virus

Infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan

Jumlah virus (viral load)8

b) Faktor host/ penjamu :

Status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV

positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi

prekanker dan kanker.

Jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami

kanker

c) Faktor eksogen

Merokok

Ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya

Penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral

2.4. Perjalanan Alamiah Kanker Leher rahim

Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel

skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel

baru hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal

ini berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker.

Sebagian besar kasus displasia sel servix sembuh dengan sendirinya, sementara

hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50% kasus

displasia berat berubah menjadi karsinoma.1

Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia menjadi keganasan

adalah 10-20 tahun. Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi displasia sel-sel

leher rahim yang kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut,

5

Page 6: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan

bahwa prekursor kanker adalah lesi displasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia)

yang sebagian kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun,

sementara displasia tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi

spontan.2,9,10

Gambar 1. Patofisiologi Kanker1

Paparan HPV Infeksi transien Infeksi persisten

Progresi

Pembersihan Regresi

Catatan:

NIS: Neoplasma Intraepitel Serviks Nasiell et.al.10 melaporkan waktu yang

dibutuhkan untuk progresivitas lesi tipe NIS2 menjadi karsinoma in-situ paling

cepat terjadi pada kelompok perempuan usia 26-50 tahun yaitu 40-41 bulan,

sementara pada kelompok perempuan usia dibawah 25 tahun dan diatas 50 tahun

berturut-turut adalah 54-60 bulan, dan 70-80 bulan.

2.5. Klasifikasi dan Stadium

A. Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker

Ada beberapa sistem klasifikasi lesi prakanker yang digunakan saat ini,

dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya.

6

Leher rahim normal

Infeksi HPV Lesi prakanker

Lesi invasif

Normal NIS1 NIS2 NIS3 Kanker

Page 7: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

Tabel 1. Klasifikasi Lesi Prakanker:4

Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)

Pap Sistem Bethesda NIS (Neoplasia Intraepitel Serviks)

Klasifikasi Deskriptif WHO

Kelas I Normal Normal Normal

Kelas II ASC-US ASC-H Atypia Atypia

Kelas III LISDR NIS1termasuk kondiloma

Koilositosis

Kelas III LISDT NIS 2 Displasia sedang

Kelas III LISDT NIS 3 Displasia berat

Kelas IV LISDT NIS 3 Karsinoma in situ

Kelas V Karsinoma Invasif

Karsinoma Invasif

Karsinoma invasif

(Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential

Practice, Geneva: WHO, 2006).

Keterangan:

ASC-US: atypical squamous cell of undetermined significance.

ASC-H: atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamous

epithelial lesion.

LISDR: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah.

LISDT: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi

7

Page 8: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

B. Stadium Kanker Rahim

International Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging

System for Cervical Cancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan stadium kanker

sebagai berikut.10,17

Tabel 2. Stadium Kanker Rahim

Stadium Karakteristik

0 Lesi belum menembus membrana basa

I Lesi tumor masih terbatas di leher rahim

IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan

diameter permukaan tumor < 7 mm

IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi < 5 mm dengan

dengan diameter permukaan tumor < 7 mm

IB1 Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer < 4 cm

IB2 Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer >4 cm

II Lesi telah keluar dari leher rahim (meluas ke parametrium dan

sepertiga proksimal vagina)

IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina

IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding

panggul

III Lesi telah keluar dari leher rahim (menyebar ke parametrium dan atau

sepertiga vagina distal)

8

Page 9: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal

IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul

IV Lesi menyebar keluar organ genitalia

IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika

urinaria

IVB Lesi meluas ke mukosa rektum an atau meluas ke organ jauh

2.6. Skrining kanker leher rahim

Berbagai metode skrining kanker leher telah dikenal dan diaplikasikan,

dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu

dikembangkan metode visual dengan gineskopi, atau servikografi, kolposkopi.

Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi

Visual dengan Asam Asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan untuk

mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi

seorang perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.

2.7. Gejala dan Tanda

Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya

dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan

bahwa sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.18 Jika sudah

terjadi kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu

dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca

sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca

menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan

berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan

timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus

besar.8,9 Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena

misalnya otak (nyeri kepala, gangguan kesadaran), paru (sesak atau batuk darah),

9

Page 10: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau

pembengkakan) dan lain-lain.7

2.8. Penegakan Diagnosis

Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari

hasil biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan.1

Tindakan penunjang diagnostik dapat berupa kolposkopi, biopsi terarah, dan

kuretase endoservikal

2.9. Tatalaksana Lesi Prakanker Serviks5,8

Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong

NIS (Neoplasia Intraepitelial Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja,

medikamentosa, terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Tindakan observasi

dilakukan pada tes pap dengan hasil HPV, atipia, NIS I yang termasuk dalam Lesi

Intraepitelial Skuamousa Derajat Rendah (LISDR). Terapi NIS dengan destruksi

dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi Intra epitelial Skuamousa Derajat

Tinggi). Demikian juga, terapi eksisi dapat ditujukan pada LISDR dan LISDT.

Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi

tidak mengangkat lesi, tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.

Tabel 3. Garis Besar Penanganan Lesi Prakanker Serviks

Klasifikasi Penanganan

HPV Observasi Medikamentosa Destruksi: Krioterapi Elektrokauterisasi/elektrokoagulasi Eksisi: diatermi loop

Displasia ringan (NIS I)

Observasi Destruksi: Krioterapi Elektrokoagulasi Laser, Laser + 5 FU

Eksisi: diatermi loop

Displasia sedang (NIS II)

Destruksi: krioterapi Elektrogoagulasi Laser, Laser + 5 FU

Eksisi: diatermi loop

Displasia keras Destruksi: krioterapi Elektrokoagulasi Laser Eksisi: konisasi

10

Page 11: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

(NIS III)/KIS Histerektomi

Terdapat Beberapa Metode Pengobatan Lesi Prakanker Serviks:

1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal

Yang termasuk pada metode terapi ini adalah krioterapi, elektrokauter,

elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Penggunaan setiap metode ini bertujuan untuk

memusnahkan daerah-daerah terpilih yang mengandung epitel abnormal, yang

kelak akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.

a) Krioterapi

Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara

mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat

Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25 derajat Celcius sel-sel jaringan

termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan tersebut,

terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel

mengalami dehidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu;

(3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem

mikrovaskular.23,24 Pada awalnya digunakan cairan Nitrogen atau gas CO2, tetapi

pada saat ini hampir semua alat menggunakan N2O.

b) Diatermi Elektrokoagulasi Radikal

Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan

efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan

anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan

serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,

terutama jika lesi tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya hanya terbatas

pada kasus NIS 1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.1,3,4

c) Elektrokauter

Metode elektrokauter dapat dilakukan pada pasien rawat jalan.

Penggunaan elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan

kedalaman 2 atau 3 mm. Lesi NIS I yang kecil di lokasi yang keseluruhannya

terlihat pada umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.2,5

11

Page 12: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

d) CO2 Laser

Penggunaan sinar laser (light amplication by stimulation emission of

radiation), suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi

campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan

sinar laser yang mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang

terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan

nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan

intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di

bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan

lama penyinaran.2,8

2. Terapi NIS dengan Eksisi

a. LEEP ( Loop Electrosurgical Excision Procedures)

Ada beberapa istilah dipergunakan untuk LEEP ini. Cartier dengan

menggunakan kawat loop kecil untuk biopsi pada saat kolposkopi yang

menyebutnya dengan istilah diatermi loop.2,9 Prendeville et al. menyebutnya

LLETZ (Large Loop Excisional Tranformation Zona).3,5,10

b. Konisasi3,6

Tindakan konisasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik:

1) konisasi cold knife,

2) konisasi diatermi loop (=LLETZ), dan

3) konisasi laser.

Di dalam praktiknya, tindakan konisasi juga sering merupakan tindakan

diagnostik.

12

Page 13: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

c. Histerektomi3

Tindakan histerektomi pada NIS kadang-kadang merupakan terapi terpilih

pada beberapa keadaan, antara lain, sebagai berikut:

1) Histerektomi pada NIS dilakukan pada keadaan kelanjutan konisasi.

2) Konisasi akan tidak adekuat dan perlu dilakukan histerektomi dengan

mengangkat bagian atas vagina.

3) Karena ada uterus miomatosus; kecurigaan invasif harus disingkirkan.

4) Masalah teknis untuk konisasi, misalnya porsio mendatar pada usia lanjut.

2.10. Tatalaksana Kanker Leher Rahim Invasif

Pada prinsipnya tatalaksana kanker leher rahim disesuaikan dengan

kebutuhan penderita untuk memberikan hasil yang terbaik (tailored to the best

interest of patients).1 Terapi lesi prakanker leher rahim dapat berupa bedah krio

(cryotherapy), atau loop electrosurgical excision procedure (LEEP), keduanya

adalah tindakan yang relatif sederhana dan murah, namun sangat besar

manfaatnya untuk mencegah perburukan lesi menjadi kanker. Sementara terapi

kanker leher rahim dapat berupa pembedahan, radioterapi, atau kombinasi

keduanya. Kemoterapi tidak digunakan sebagai terapi primer, namun dapat

diberikan bersamaan dengan radioterapi. Terapi kanker leher rahim lebih

kompleks, memiliki risiko dan efek samping, dan tentu saja lebih mahal.

Karenanya pencegahan lesi prakanker menjadi kanker sangat penting dan sangat

bermanfaat.

13

Page 14: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

BAB III

DETEKSI DINI KANKER LEHER RAHIM

Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV

yang merubah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati

pada gilirannya akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim.4 Prinsip dasar

kontrol penyakit ini adalah memutus mata rantai infeksi, atau mencegah

progresivitas lesi displasia sel-sel leher rahim (disebut juga lesi prakanker)

menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan kemudian segera

diobati, hal ini akan mencegah terjadinya kanker leher rahim dikemudian hari.9

Lesi prakanker yang perlu diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi

intraepitelial skuamosa derajat tinggi), adapun jenis LISDR (lesi intraepitelial

skuamosa derajat rendah) dianggap lesi yang jinak dan sebagian besar akan

mengalami regresi secara spontan.7 Perempuan yang terkena lesi prakanker

diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sementara kanker yang ditemukan pada

stadium dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya deteksi sedini mungkin

sangat penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kanker leher

rahim.7

WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam

penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini

melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi,

diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut.1, 9 Deteksi

dini kanker leher rahim meliputi program skirining yang terorganisasi dengan

sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang

efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan

dan perempuan usia produktif1 Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau

disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding

pengobatan dan penatalaksanaan kanker leher rahim.

14

Page 15: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi

dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi

dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya

yang terbatas.

3.1.Sasaran yang akan menjalani skrining

WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut:1

a) Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah

menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun

sebelumnya atau lebih.

b) Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap

sebelumnya.

c) Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan

pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan

gejala abnormal lainnya.

d) Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.

Amerika Serikat dan Eropa merekomendasikan sasaran dan interval

skrining kanker servik seperti tampak pada tabel berikut:10

Tabel 4. Pedoman pencegahan dan skrining kanker di Eropa dan Amerika

European guidelines for quality assurance in cervical cancer screening; 2007

ACS (American Cancer Society); 2007

ACOG (American College of Obstetricians &Gynecologist); 2003 http://www.acog.org

ASCCP (American Society for Colposcopy & Cervical Pathology); 2006

US Preventive Service Task Force; 2003 http://www.preventiveservices.ahrq.gov

15

Page 16: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

Waktu awal skrining dengan tes Pap

Usia 20–30 tahun

Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun

Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun

Tidak ada laporan

Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun

Interval Skrining

- Tes Pap konvensional

Tiap 3–5 tahun

Tiap tahun; atau tiap 2–3 tahun untuk wanita usia ≥ 30 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif

Tiap tahun; atau tiap 2–3 tahun untuk wanita usia ≥ 30 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif

Tidak ada laporan

Sekurang-kurangnya tiap 3 tahun

-skrining dengan tes HPV

Tidak ada laporan

Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi negatif

Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi negatif

Tidak ada laporan

Tidak cukup evidens

Penghentian skrining

Setelah usia 60–65 tahun dengan ≥ 3 kali berturut-turut hasil skrining negatif

Wanita usia ≥ 70 tahun dengan ≥ 3 kali berturut-turut hasil tes negatif dan tanpa hasil tes

Dari bukti-bukti yang ada tidak dapat ditarik kesimpulan untuk menentukan batas usia penghentian skrining .

Tidak ada laporan

Untuk wanita usia ≥ 65 tahun dengan hasil tes negatif, yang bukan risiko tinggi kanker serviks

16

Page 17: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

abnormal dalam 10 tahun terakhir

Manajement hasil skrining yang abnormal - ASC-US - ASC-H - LSIL - HSIL

ASC-US: reflex HPV testing; LSIL: ulang pemeriksaan sitologi atau kolposkopi; ASC-H: kolposkopi; HSIL: kolposkopi dan biopsi.

Tidak ada laporan

Tidak ada laporan ASC-US: HPV tes, atau ulang tes sitologi, atau lakukan kolposkopi pada wanita ≥ 20 tahun; ASC-H: kolposkopi LSIL:kolposkopi HSIL: segera lakukan LEEP atau kolposkopi dengan endocervical assessment.

Tidak ada laporan

3.2. Interval skrining

American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining

dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina.7 Beberapa

penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi

setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV yang pertama.7 Interval yang ideal untuk

dilakukan skrining adalah 3 tahun.9 Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang

hampir sama dengan skrining tiap tahun.9 ACS merekomendasikan skrining tiap

tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan

pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology), setelah skrining yang

pertama.7 Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut

17

Page 18: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali.7 Bila

dana sangat terbatas skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur

hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.9 WHO

merekomendasikan:1

Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya

dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun.

Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan,

skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali.

Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun

sekali.

Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia

diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.

Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun

sekali

3.3. Metode skrining yang akan digunakan

Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari

ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa

persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah

dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.1 Beberapa metode yang

diakui WHO adalah sebagai berikut:1

1. Metode Sitologi

a) Tes Pap Konvensional

Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George

Papanicolau sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher

rahim di negara-negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu

prosedur pemeriksaan yang mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa

penulis melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi

pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif palsu

18

Page 19: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan

yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan

interpretasi.20,38, 39,40,41

b) Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)

Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah

mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan

cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini

sel dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah

berisi larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel

abnormal lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga

mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk

pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal.2

2. Metode pemeriksaan DNA-HPV

Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai

cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ,

Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara

pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang amat sensitif.2,4

3. Metode inspeksi visual

a) Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)

b) Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)

Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan

servikografi. Setiap metode skrining mempunyai sensitifitas dan spesifisitas

berbeda. Sampai saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan

spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan skrining, setiap

wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed consent).

19

Page 20: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

Tabel 5. Perbedaan beberapa metode skrining1

Metode Prosedur Kelebihan Kekurangan Status

Sitologi konvensional (Tes Pap)

Sampel diambil oleh tenaga kesehatan dan diperiksa oleh sitoteknisi di laboratorium

Metode yang telah lama dipakai

Diterima secara luas

Pencatatan hasil pemeriksaan permanen

Training dan mekanisme kontrol kualitas telah baku

Investasi yang sederhana pada program yang telah ada dapat meningkatkan pelayanan

Spesifisitas tinggi

Hasil tes tidak didapat dengan segera

Diperlukan sistem yang efektif untuk follow up wanita yang diperiksa setelah ada hasil pemeriksaan

Diperlukan transport bahan sediaan dari tempat pemeriksaan ke laboratorium, transport hasil pemeriksaan ke klinik

Sensitivitas sedang

Telah lama digunakan di banyak negara sejak tahun 1950

Terbukti menurunkan angka kematian akibat kanker leher rahim di negara-negara maju

Liquid Base Citology

Sampel diambil oleh tenaga kesehatan, dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim untuk diproses dan di periksa di laboratorium

Jarang diperlukan pengambilan sample ulang bila bahan sediaan tidak adekuat

Waktu yang dibutuhkan untuk pembacaan hasil lebih singkat bila dilakukan oleh sitoteknisi yang berpengalaman

Sampel dapat

Hasil tes tidak didapat dengan segera

Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih

20

Page 21: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

digunakan juga untuk tes molekuler (misalnya HPV tes)

Tes DNA HPV

Tes DNA HPV secara molekuler. Pengambilan sampel dapat dilakukan sendiri oleh wanita dan dibawa ke laboratorium

Pengambilan sampel lebih mudah

Proses pembacaan otomatis oleh alat khusus

Dapat dikombinasi dengan Tes Pap untuk meningkatkan sensitivitas

Spesifitas tinggi terutama pada perempuan >35 tahun

Hasil tes tidak didapat dengan segera

Biaya lebih mahal

Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih

Perlu reagen khusus

Spesifitas rendah pada perempuan muda (,35 tahun)

Digunakan secara komersial di negara-negara maju sebagai tambahan pemeriksaan sitologi

Metode Visual (IVA dan VILI)

Pemulasan leher rahim dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih (bidan/ dokter/perawat)

Mudah dan murah

Hasil didapat dengan segera

Sarana yang dibutuhkan sederhana

Dapat dikombinasi dengan tatalaksana segera lainnya yang cukup dengan pendekatan sekali kunjungan (single visit approach)

Spesifitas rendah, sehingga berisiko overtreatment

Tidak ada dokumentasi hasil pemeriksaan

Tidak cocok untuk skrining pada perempuan pasca menopause

Belum ada standarisasi

Seringkali perlu training ulang untuk

Belum cukup data dan penelitian yang mendukung, terutama sehubungan dengan efeknya terhadap penurunan angka kejadian dan kematian kanker leher rahim

Saat ini hanya direkomenda

21

Page 22: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

tenaga kesehatan

sikan pada daerah proyek

22

Page 23: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrijono, Kanker Leher rahim, Divisi Onkologi, Dep.Obstetri-Ginekologi

FKUI.2007.

2. Nuranna, L. Penanggulangan Kanker Leher rahim yang Sahih dan Andal

dengan metode Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan

terapi krio). Desertasi program Doktor. FKUI, Jakarta 2005.

3. Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta,

2001: 133;5-7.

4. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A

Guide to Essential Practice. Geneva: WHO, 2006.

5. Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi Dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Ed ke-

2.Jakarta. Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia .2001: 90-

110.

6. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging Classifications and clinical

practice guidelines of gyneecologic cancers. Int J Gynecol Cancer.

2000;70:207-312.

7. Soepardiman HM, Sianturi MHR, Lubis M. Manual Pap Smir. Jakarta.

Subbagian Sitopatologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI 1988. (89)

8. Nazeer S. Cervical cancer screening training module 2 : Aided visual

inspection of the cervix ―acetic acid test‖. Geneva Foundation for Medical

Education and Research. Diakses pada http://www.gfmer.ch/

9. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ,

Cohen C, American Cancer Society: American Cancer Society guidelines for

the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002,

52:342-362. PubMed Abstract | Publisher Full Text.

23

Page 24: Deteksi Dini Ca Serviks.doc

10. Canavan TP, Doshy NR. Cervical Cancer. Situs American Family Physician.

Diakses pada www.aafp.org.

24