Deteksi Dini Ketunalarasan

31
Pendidikan Dasar anak Tuna Laras “DETEKSI DINI KETUNALARASAN (NEUROTIC BEHAVIOR) YANG DISEBABKAN OLEH FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL” Dosen Pengampu: Drs. Ibnu Syamsi, M. Pd. OLEH NURAINI SAFITRI NIM : 12103241046 PLB-2-B Prodi Pendidikan Luar Biasa 1

description

Deteksi Dini Ketunalarasan

Transcript of Deteksi Dini Ketunalarasan

Pendidikan Dasar anak Tuna Laras

“DETEKSI DINI KETUNALARASAN (NEUROTIC BEHAVIOR) YANG

DISEBABKAN OLEH FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL”

Dosen Pengampu: Drs. Ibnu Syamsi, M. Pd.

OLEH

NURAINI SAFITRI

NIM : 12103241046

PLB-2-B

Prodi Pendidikan Luar Biasa

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta

2012/2013

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas ini yang diberikan oleh dosen pengampu.

Dalam penyusunan tugas ini tentu tidak lepas dari bantuan dan kerjasama

yang baik dari berbagai pihak.Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Drs. Ibnu Syamsi, M.Pd. selaku dosen pengampu pendidikan anak tunalaras.

2. Teman-teman seperjuangan.

3. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

kritik dan saran sangat penulis harapkan agar menjadikan kesempurnaan dalam

tugas ini. Akhirnya, penlis berharap semoga tugas ini berguna khususnya bagi

penulis sendiri maupun teman-teman seperjuangan demi peningkatan kualitas

pendidikan.

Yogyakarta, 15 April 2013

Penulis

2

DETEKSI DINI KETUNALARASAN (NEUROTIC BEHAVIOR) YANG

DISEBABKAN OLEH FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL

Nuraini Safitri

12103241046

PLB/FIP/UNY

Email : [email protected]

ABSTRAK

Perkembangan emosi merupakan perkembangan yang pasti dialami oleh setiap manusia. Faktanya, ada sebagian anak yang mengalami hambatan dalam proses perkembangan emosional. Anak mengalami masalah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, mereka bertingkah laku dan menyampaikan emosi yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Sebagian orang ada yang mengabaikan hal ini, dikarenakan mereka meyakini kalau dengan sendirinya anak akan meninggalkan perilaku asosialnya dan membentuk konsep diri yang benar. Padahal tidak benar seratus persen, untuk mengatasi hal ini, deteksi ketunalarasan penting dilakukan agar penanganan untuk mengatasi atau meminimalisir perilakunya dapat lebih mudah. Meminimalisir perilaku menyimpang seseorang yang telah lama tidak mudah dilakukan, perlu kerjasama di semua lini lingkungan dimana anak itu hidup. Tidak hanya itu, agar penanganan dilakukan dengan tepat, kita harus mengetahui pengetahuan mengenai karakteristik, derajat penyimpangan atau penggolongan, dan faktor penyebab terbentuknya tunalaras.

Kata kunci : deteksi dini, tunalaras, penanganan, lingkungan sosial

3

Pendahuluan

Masa perkembangan emosi anak merupakan sebuah hal yang penting

namun terkadang kurang mendapat perhatian yang serius. Semua masyarakat,

khususnya orang tua menginginkan setiap anaknya agar dapat bertingkahlaku

yang baik, sesuai dengan norma-norma yang ada, dan dapat menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosialnya, namun fakta di lapangan menyatakan bahwa tidak

semua anak dapat berkembang sesuai keinginan tersebut.

Ada anak yang emosi dan perilakunya tidak berkembang sebagaimana

mestinya, mereka sering melakukan perbuatan menyimpang sehingga membuat

masyarakat sangat terganggu dengan tingkahlakunya dan menjadikan masyarakat

melabelkan anak tersebut dengan sebutan “anak Nakal” yang dalam pendidikan

luar biasa sering disebut anak tunalaras. Orang tua atau guru harus bisa

mendeteksi dini jika anaknya mengalami hambatan, hal ini bertujuan agar

kelainan yang dialami anak tidak berkembang atau bertambah parah. Misalnya

kalau anak mengalami ketunalarasan maka pihak yang bersangkutan harus cepat

mencengahnya, agar kelainannya tidak bertambah parah. Cara mencegah atau

mengurangi perilaku menyimpang anak, yang paling baik adalah dengan

mengetahui terlebih dahulu, bagaimana polapikir, gejala, tingkahlakunya. Banyak

faktor yang menyebabkan penyimpangan dalam perkembangan emosional dan

tingkahlaku anak, seperti lingkungan pendidikan yang kurang baik, kelainan

genetik atau biokimiawi, ataupun adanya disfungsi antara anak dengan

lingkungannya.

Dalam makalah ini, penulis mambahas mengenai lingkungan pendidikan

yang kurang baik dan disfungsi antara anak dengan lingkungannya, sehingga

menghasilkan gangguan emosi. Gangguan emosi ini biasanya disebabkan oleh

salahnya pola asuh yang diberikan oleh lingkungan sosialnya, bisa karena sikap

over protective ataupun sikap menolak dari lingkungan pendidikan. Kalau anak

sudah mempunyai perilaku dan emosi yang tidak sesuai dengan usianya maka,

keluarga harus menerima anak tanpa mengabaikannya. Untuk meminimalisir

perilaku menyimpangnya, diperlukan upaya penanganan yang serius terhadap

perilaku menyimpang anak yang disebabkan pengaruh dari lingkungan sosial.

4

Pembahasan

A. Pentingnya deteksi dini Ketunalarasan

Kenakalan merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh seorang anak.

Namun kenakalan menjadi tidak wajar jika kelakuan tersebut terjadi dalam

frekuensi yang sering dan jangka waktu yang lama serta sudah menganggu baik

bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Semakin ia menginjak usia remaja maka

akan semakin sulit mengarahkan perilakunya dikarenakan orangtua tidak mungkin

mengawasinya selama 24 jam dan biasanya anak juga sudah mempunyai prinsip

pribadi yang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, tetapi juga

sekolah. Oleh karena itu, deteksi dini terhadap perilaku yang menyimpang ini

sangat penting agar pengobatan yang dilakukan dapat berhasil dengan baik.

Apalagi mengubah perilaku seseorang sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Hasil studi dari Taylor (1964: 97) menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tujuh faktor yang turut memberikan kontribusi terhaadap prestasi anak, yaitu:

1. kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan, 2. perasaan harga diri, 3. konformitas terhadap tuntutan otoritas, 4. penerimaan kelompok sebaya, 5. kurangnya konflik dan sifat ketergantungan, 6. keterlibatan dalam aktivitas akademik, dan7. kemampuan dalam merancang tujuan yang realistik.

Kenyataan di lapangan, bahwa pada anak tunalaras cenderung kurang

memiliki beberapa kemampuan diatas. ketidakmatangan sosial dan atau

emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan prilaku dan pribadinya,

termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum dikatakan bahwa proses belajar

akan berlangsung secara optimal, bila salah satu diantaranya ada kesiapan

psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena ketidakmatangan dalam aspek

sosial dan atau emosional jelas akan menghambat kesiapan psikologisnya,

sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan terhambat.

B. Penggolongan anak tunalaras

Garis pemisah antara orang normal dengan anak tunalaras terletak pada

tingkat keparahan dan ketakutan gejala yang dialaminya. Menurut T. Sutjihati

5

Somantri (2005: 142) anak yang mengalami gangguan emosi dapat dibagi

menjadi dua bagian, yaitu;

1. neurotic behaviour (perilaku neurotik), disebabkan oleh pola asuh yang salah yang dilakukan lingkungan pendidikan kepada anak, bisa sikap lingkungan yang menolak terhadap keberadaan anak, ataupu lingkungan yang terlalu memanjakan anak,

2. children with psychotic process, yang disebabkan oleh adanya gangguan pada syarafnya. Menurut Effendi (2005: 143) Penggolongan anak tunalaras dapat ditinjau

dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan,

dengan penjelasan sbb :

1. Menurut jenis gangguan atau hambatan

a. Gangguan Emosi

Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi

terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat-cepat

marah, dan rileks-tertekan. Secara umum emosinya menunjukkan sedih,

cepat tersinggung atau marah, rasa tertekan dan merasa cemas. Macam-

macam gejala hambatan emosi, yaitu:

1) Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya ketakutan yang kurang jelas obyeknya.

2) Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak, dan sebagainya.

3) Gugup, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan aneh, seperti:a) Gerakan pada mulut seperti meyedot jari, gigit jari dan

menjulurkan lidah.b) Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung,

mengusap-usap atau menghisutkan hidung.c) Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan

atau mengepalkan jari.d) Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut,

mencabuti rambut. e) Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosok-

menggosok, mengedip-ngedip mata dan mengrinyitkan muka, dan sebagainya.

4) Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.

6

5) Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak berfungsi.

6) Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka kurang berang menghadapi kenyataan pergaulan.

7) Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum karena perasaan tertekan.

b. Gangguan Sosial

Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang

menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan

tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap

bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras

kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik

orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat

mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain. Contoh dari

gangguan sosial ini adalah dellikwensi.

2. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan

Menurut pendapat Mohammad Effendi (2005: 144) ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:a. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki

perasaan negatif terhadap orang lain. Makin dalam rasa negatif semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.

b. Frekuensi tindakan, artinya frekuensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.

c. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.

d. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.

e. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.

f. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.

7

Menurut Hallahan dan Kauffman (dalam Effendi,2005: 145), simptom gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizingbehavior memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri. Internalizing behavior mempengaruhi siswa dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap kegagalan dalam belajar di sekolah.

C. Karakteristik Anak Tunalaras

Menurut Linda Lebelle (2005: 17) Karakter-karakter seseorang

diperlihatkan oleh kepribadiannya, yakni oleh polapikir, perasaan, dan perilaku

kebiasaan yang dimilikinya. Kepribadian setiap anak pasti berbeda, oleh karena

itu ciri-ciri anak tunalaras pun demikian. Walaupun sama-sama mengalami

gangguan emosi, namun antara satu dengan yang lainnya ada yang berbeda.

Hal ini terjadi karena adanya perbedaan polapikir, dan adnya perbedaan

mengenai faktor terbentuknya perilaku menyimpangnya.

Ciri-ciri/gejala/karakteristik dari anak gangguan emosi perilaku neurotik,

diantaranya:

1. Kecemasan, seperti kegelisahan, kekhawatiran, dan sering ketakutan.

2. Agresif, seperti suka menyerang, memberontak, dan susah diatur.

3. Impulsif, seperti ketidakstabilan gejolak perasaan, hubungan dengan orang

lain, gambaran diri dan kebiasaan ketidakstabilan ini kerap mengganggu

kehidupan keluarga, pekerjaan, rencana jangka panjang, dan kesan

seseorang mengenai identitas pribadinya. Anak tunalaras akan menderita

semacam gangguan pengendalian emosi.

Perilaku yang biasa dilakukan oleh anak yang mengalami jenis

penyimpangan perilaku neurotik di sekolah adalah malas belajar, kurang

perhatian terhadap materi yang disampaikan, dan mengakibatkan nilai/ restasi

rendah, sedangkan di rumah adalah tidak betah berada di rumah dan senang

berkeluyuran.

8

Menurut Effendi (2005: 147) anak tunalaras memiliki rasa harga diri

kurang dengan tanda-tanda antara lain :

1. Terlalu mempersoalkan kekurangan diri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum, takut bicara dan sebagainya.

2. Mengeluh dengan nada nasib malang.3. Segan melakukan hal-hal yang baru atau yang dapat mengungkapkan

kekurangannya.4. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang telah diperbuat.5. Sikap introvert (lebih banyak mengarahkan perhatian kepada diri

sendiri).Adapun rasa harga diri kurang yang tersembunyi, antara lain:

1. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.

2. Merasa tidak enak badan, sakit buatan, dan sebagainya.

3. Berpura-pura lebih dari orang lain: menonjolkan diri, bicara lantang,

merendahkan orang lain.

4. Membuat kompensasi.

5. Menjalankan perbuatan jahat.

Berikut karakteristik anak tunalaras yang biasanya dijadikan rujukan

untuk mengidentifikasi perilaku;

1. Kehidupan emosi tidak stabil.

2. Pengendalian diri yang kurang.

3. Ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat.

4. Kadang-kadang seseorang yang mengalami tuna laras memandang diri

mereka sangat buruk atau tidak berharga. Mereka merasa tidak

dipahami secara adil, dianiaya, jemu, hampa, dan memiliki sedikit

pemahaman mengenai siapakah sesungguhnya diri mereka. (A.J.

Mahari,2005: 46)

5. Mereka cenderung menghendaki pencapaian sesuatu dengan segera

serta memberikan label ekstrim pada orang lain (baik positif maupun

negatif). (A.J. Mahari,2005: 33)

6. Rasa takut ditinggalkan kelihatannya berhubungan dengan masalah

emosional terhadap sesosok pribadi yang mereka anggap penting,

terutama saat dia tidak ada di sisi penderita.

9

7. Mereka tampaknya tidak memiliki emosi atau perasaan apa pun,

seperti cinta atau rasa bersalah (A.J. Mahari,2005: 56). Mereka mudah

marah, tetapi dalam sekejap dapat meredam marahnya, tanpa

merasakannya kembali. Tidak peduli, apa yang mereka katakan

mengenai perasaan mereka, maka itu tidak ada pengaruhnya terhadap

tindakan atau sikap mereka pada masa mendatang.

Gejala-gejala ini akan semakin parah bila seseorang yang mengalami

perilaku menyimpang merasa diisolasi serta kekurangaan dukungan sosial, dan

selalu berusaha menarik perhatian secara tidak wajar agar tidak merasa

sendirian.

D. Faktor penyebab ketunalarasan di lingkungan sosial

Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku

menyimpang, yaitu faktor biologis, faktor keturunan, faktor psikologis, faktor

psiososial, dan faktor lingkungan sosial(keluarga, sekolah, masyarakat).

kondisi anak yang masih labil disetiap lingkungan pendidikan banyak

mengandung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan

pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada

tingkahlaku menyimpang.

Menurut Erikson dalam Sutjihati (2005: 144) setiap memasuki fase

perkembangan baru, anak dihadapkan dengan berbagai tantangan atau krisis

emosi. Menurut Linda Lebelle (2005: 35), penelitian memperlihatkan bahwa

kebanyakan –tetapi tidak semua- anak tunalaras itu disebabkan karena

penganiayaan, pengabaian, atau ditinggalkan semasa kanak-kanak. Menurut

Tin Suharmini (2009: 94), biasanya anak tunalaras berasal dari keluarga yang

relatif kurang menguntungkan bagi anak, baik secara bilogis, psikologis dan

sosial, yang memungkinkan terjadinya kerentanan kejiwaan.

Konflik psikis pasti dialami oleh semua orang, konflik psikis disini

berarti terjadinya pengalaman kurang menyenangkan atau terjadinya

kesenjangan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan norma sosial. Dalam

memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan konflik, dapat menjadikan stabilitas

10

emosi terganggu. Stabilitas emosi ini akan menjadikan seseorang membuat

persepsi tertentu, bisa perilaku konsep kearah diri sendiri ataupun kepada

lingkungan sosial. Selanjutnya dapat mendorong terjadinya perilaku

menyimpang dan dapat menimbulkan frustasi pada diri sendiri.

Psikis dan sistem organ dalam tubuh merupakan suatu kesatuan dan

saling terkait, secara biologis bagaimana sistem yang terjadi dalam otak saat

terbentuknya emosi seseorang. Menurut Linda Lebelle (2005: 42), sistem

limbik dipandang sebagai “pusat emosional” pada otak. Kelenjar Amygdala

dan hippocampus merupakan unsur penting sistem limbik yang bertugas

mengendalikan ekspresi emosional, khususnya rasa takut, kemarahan reaksi

otomatis (seperti perilaku impulsif), dan ingatan emosional. Amygdala,

sebuah kelenjar berbentuk kacang almon yang terletak jauh di dalam otak,

berperan penting dalam mengatur emosi negatif. Sebagai tanggapan atas

rangsangan yang datang dari bagian tengah otak karena melihat adanya

ancaman, maka kelanjar ini akan membangkitkan rasa takut dalam diri

seseorang. Kondisi ini akan lebih akut di baawah pengaruh obat-obatan

seperti alkohol, begitu pula halnya dengan tekanan kejiwaan.

Lingkungan sosial dalam dunia pendidikan dibagi menjadi tiga, yaitu

lingkungan keluarga lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Berikut

penjabaran mengenai peran lingkungan pendidikan terhadap pembentukan

pribadi menyimpang seseorang, khususnya tunalaras:

1. Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan pengalaman pertama bagi anak dalam

mempelajari perasaan dan sikap sosial. Berikut tiga aspek mendasar

dalam keluarga yang mempengaruhi terbentuknya penyimpangan pada

perilaku anak:

a. Kasih sayang dan perhatian. Kasih sayang dan perhatian

merupakan hal pokok yang dibutuhkan oleh setiap individu, oleh

karena itu pola asuh yang tepat untuk anak sangat diperlukan.

Tetapi, sangat disayangkan ada beberapa orang tua kurang

memperhatikan hal ini dengan berbagai alasan, sehingga anak

11

kurang mendapat perhatian dan biasanya akan mencari perhatian

di luar rumah. Selain itu, ada juga orang tua yang over protective,

yang biasanya akan mengakibatkan si anak ketergantungan

dengan orang tua. Biasanya, anak akan mudah kecewa jika

dihadapkan pada sesuatu yang terjadi tidak sesuai keinginan yang

mengakibatkan rendah diri.

b. Keharmonisan keluarga. Keharmonisan keluarga merupakan hal

yang sangat mempengaruhi psikis anak. Contoh nya, jika orang

tua bercerai ketika si anak kecil, maka anak akan mengalami

peralihan yang sulit dan jika orang tua selisih paham mengenai

suatu hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, maka akan

membuat anak bingung, sehingga membuat pola pikirnya

terhambat.

c. Tingkat ekonomi. Ekonomi menjadi aspek penting dalam

kehidupan keluarga karena pada masa praseklah, anak

memerlukan makanan yang sehat, berpakaian yang layak, pergi

ke tempat-tempat hiburan, dan bermain-mengeksplor diri dengan

berbagai mainan-. Jika hal itu sulit untuk dicapai, maka bisa

membuat anak menjadi antisosial dikarenakan minder. Dan untuk

memenuhi kebutuhannya, tidak jarang akan melakukan tidakan

kriminal, seperti mencuri, mermpok, korupsi, dll.

Ada sebuah gambaran mengenai polapikir dan penderitaan anak

tunalaras yang disebabkan oleh lingkungan keluarga,“masalah terjadi

ketika saya memerlukan sosok seorang ibu. Saya tidak pernah

memiliki seorang ibu yang benar-benar hadir secara emosional, karena

pada kenyataannya, ibu saya yang asli sangat gemar menganiaya saya.

Oleh karena itu, dalam benak saya, bahkan secara bawah sadar,

terbesit ingatan bahwa saya akan dianiaya lagi dan mengalami rasa

sakit kembali. Saya lalu merasa hampa dan tidak dicintai. Saya merasa

tidak layak untuk membutuhkan atau dibutuhkan orang

lain.”(A.J.Mahari,2005: 78-80)

12

Hubungan interaksional dan transaksional menyebabkan saling

memengaruhi antara anak dengan orang tua, sehingga jika pada anak

terdeteksi mengalami masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan

pada orang tuanya. (Sameroff.dkk: 1982)

Ketika kebutuhan psikologi yang tidak terpenuhi itu makin

menumpuk selama bertahun-tahun yang disertai dengan tahun trauma

dan pengalaman tak menyenangkan, maka itu semua akan membanjiri

dan menenggelamkan kehidupan masa kini sehingga menimbulkan

berbagai penderitaan, sebagaimana yang dialami oleh anak tunalaras.

2. Lingkungan sekolah

Menurut Sofyan willis (dalam Sumantri,2005: 147) bahwa dalam

rangka pembinaan anak didik ke arah kedewasaan, kadang-kadang

sekolah juga bisa menjadi penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.

Yang biasanya menjadi penyebab penyimpangan anak adalah karena

tenaga pendidikan dan fasilitas. Jika guru otoriter dalam mengajar

akan membuat anak tertekan dan takut sehingga biasanya anak akan

malas masuk kelas dan bertemu dengan guru, bisa dengan bolos,

nongkrong, dan melampiaskan ke hal-hal yang negatif. Sedangkan,

Jika guru lemah, maka guru akan disemena-menakan oleh murid. Dan

Jika fasilitas kurang, khususnya berhubungan dengan fasilitas

ekstrakurikuler, akan membuat anak berperilaku menyimpang,

dikarenakan tak tersedianya tempat bagi anak untuk menyalurkan

bakat dan minat dalam mengisi waktu luang, sehingga waktu luangnya

bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang menyimpang, seperti balap

motor, miras, obat-obatan, dll.

3. Lingkungan masyarakat

Menurut Bandura (dalam Sutjihati,2005: 148) salah satu hal yang

nampal mempengaruhi pola pikir anak dalam lingkungan sosial adalah

keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Lingkungan

masyarakat merupakan lingkungan yanng paling luas dan kompleks,

karena di dalamnya terdapat beragam ras, perilaku, sikap, sifat, dan

13

norma. Dari hal yang sederhana, penyebab ketunalarasan adalah

tontonan dan hiburan yang tidak tersaring dengan budaya lokal,

sehingga menimbulkan perilaku-erilaku yang tidak sesuai dengan

norma masyarakat. Tidak hanya itu, adanya kesenjangan pendidikan

yang diajarkan di sekolah dan di rumah juga menjadi faktor

ketunalarasan.

E. Penanganan Anak ketunalarasan

Untuk menangani anak tunalaras tidaklah mudah, apalagi jika

perilakunya sudah bertahun-tahun. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan, tekad,

dan semangat yang tinggi dalam menyikapi perilakunya, oleh karena itu harus

ada kerja sama di semua lingkungan sosial hidup anak, sehingga dapat

mempermudah meminimalisir perilaku anak. Perlu ditegaskan lagi, bahwa

proses ini bukanlah suatu jalan yang mudah dan mulus, melainkan jalan

berbatu yang dipenuhi semak berduri serta tidak mudah dilalui. Lingkungan

pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (2007: 148) dibagi menjadi tiga,

yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Disini, penulis memaparkan penanganan khusus bagi anak tunalaras

berdasarkan tiga faktor lingkungan pendidikan tersebut.

1. Penanganan di dalam lingkungan keluarga

Untuk mengatasi gangguan perilaku anak, orang tua dapat

menggunakan terapi perilaku. Berikut cara menerapkan terapi perilaku

pada anak; pertama, tentukan tujuan terapi, kedua mendeskripsikan

perilaku anak, antara perilaku yang baik, kurang baik, dan tidak bisa di

tolerir. Bisa jugan mendeskripsikan dengan membedakan antara perilaku

yang ingin agar anak tetap melakukannya dan yang tidak ingin anak

melakukannya, perlu di tekankan agar orang tua tidak muluk-muluk

terhadap perubahan perilaku anak, harus dimulai dengan hal yang paling

sederhana. Ketiga, memberikan respon terhadap perilaku anak, jika

perilaku baik orang tua bisa merespon dengan memujinya atau

memberikan hadiah, jika perilaku kurang baik bisa dengan diam,

sedangkan perilaku yang tidak bisa ditolerir bisa memberi respon dengan,

14

keempat, evaluasi hasil perkembangannya, dan yang kelima, lakukan

pendidikan yang berkesinambungan.

Menurut Maurice J. Elias dkk (2000: 39-47), prinsip-prinsip dalam

mengasuh anak yang harus dimiliki oleh orang tua;

a) sadari perasaan sendiri dan orang lain-anak-,b) tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain,c) atur dan atasi dengan positif gejolak emosional dan perilaku,d) berorientasi pada tujuan dan rencana positif,e) gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan.

2. Penanganan Di dalam Lingkungan Sekolah

Sebagian besar prestasi belajar anak tunalaras rendah, tetapi hal ini

bukan berarti cara menanganinya hanya berorientasi dengan hasil evaluasi

atau prestasi saja, namun menangani anak dalam pendidikan harus lebih

menekankan pada ketertarikan anak kepada kegiatan pembelajarannya.

Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam menangani masalah ini

dalam bidang pendidikan, namun menurut Efendi (2005: 150) ada tiga hal

pokok yang harus diusahakan dalam penanganan anak tunalaras, yaitu

lingkungan belajar, kerjasama lembaga, dan tempat layanan pendidikan.

a. Lingkungan belajar

Instansi pendidikan harus mempunyai perhitungan,

strategi,dan siasat yang baik dan benar agar tercipta pembelajaran

yang kondusif dan nyaman, seperti memperlakukan dan

memberikan pelayanan yang terbaik dengan memasukkan anak

tunalaras ke dalam pendidikan formal. Dengan demikian,

diharapkan akan membiasakan anak terhadap lingkungan yang

normal dan diharapkan juga dapat mengubah sedikit demi sedikit

perilaku menyimpangnya, dan diusahakan tidak adanya stigma

“tunalaras” atau pelabelan yang lain terhadap anak tunalaras,

kecuali jika hanya untuk membantu mempermudah dalam proses

rencana penanganan pendidikannya (IEP). Melabelkan seseorang,

berarti menciptakan stigma terhadapnya. Dengan adanya stigma,

15

akan sangat berpengaruh bagi penderita, sehingga bisa menjadi

penghalang besar bagi penderita gangguan emosi ini.

Tidak hanya pelabelan, untuk menciptakan lingkungan

belajar yang baik, tenaga pendidikan-guru- harus menciptakan

pembelajaran yang menyenangkan, dengan metode-metode yang

variatif, kreatif, dan tidak membosankan sehingga anak dapat

tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran, serta semaksimal

mungkin berupaya agar komunikasi antara anak dan guru baik.

b. Kerjasama dengan lembaga

Dalam sistem pendidikan khusus ada statemen penting dan

menjadi orientasi dalam proses pendidikannya yaitu “pendidikan

dari masyarakat dan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat.”

Mengembalikan anak didik disini maksudnya pendidik tidak hanya

mengajarkan komunikasi, melatih anak untuk melakukan kegiatan

sehari-hari tanpa bantuan orang lain, dan memberikan pelajaran

akademik, tetapi juga mengajarkan keterampilan-keterampilan

tertentu yang fungsional, sehingga diharapkan anak dapat bekerja

dan hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain. Adanya

kerjasama antara sekolah dengan lembaga-lembaga tertentu sangat

diperlukan, sehingga sekolah dapat membantu anak tunalaras

dalam penyaluran tenaga kerja kerja atau minimal dapat

magang/kkl di perusahaan tertentu.

c. Tempat layanan pendidikan

Layanan pendidikan bagi anak tunalaras ada dua sistem

yaitu segregari dan integrasi. Untuk menangani anak

menyimpang(emosi dan perilaku) yang disebabkan oleh

lingkungan sosial lebih baik menggunakan sistem integrasi jika

anak tidak begitu mengganggu oranglain atau derajat keparahannya

tidak berat. Ada empat hal penting yang perlu diperhitungkan

dalam penempatan anak tunalaras mengenai tempat layanan

pendidikan yaitu:

16

a. Lembaga pendidikan harus memperhitungkan perbandingan

antara anak normal dengan anak tunalaras dalam satu kelas,

sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih kondusif. Dan

jangan sampai di dalam satu kelas hanya ada datu anak

tunalaras dan yang lain normal, ditakutkan hal itu akan

membuat anaktunalaras merasa tertekan.

b. Membuat suasana belajar yang nyaman, pendidik di

pendidikan khusus diharapkan dapat bekerjasama dengan

pendidik pendidikan khusus dalam menyusun ruang belajar

dibuat suasana belajar yang nyaman. Misalnya dengan

meminimalisir warna-warna barang ataupun tembok yang

terang atau mencolok di ruang kelas, agar anak tunalaras tidak

mudah terganggu konsentrasinya ketika kegiatan pembelajaran

berlangsung.

c. Supaya proses pendidikan anaktunalaras dapat berhasil dengan

maksimal, diharapkan adanya kerjasama antara guru, orang

tua, kepala sekolah dan kondisi anak-jika memungkinkan dapat

diikutkan juga- dalam menyusun program pendidikan

individual anak(IEP).

d. Dalam sistem pendidikan integrasi, yang terpenting adalah

tidak adanya penolakan terhadap anak tunalaras, khususnya

untuk guru dan siswa. Hal ini bisa dengan diadakannya

sosialisasi untuk anak normal tentang pendidikan integrasi

mengenai etika-etika dalam bergaul, mendidik cara bersikap

anak yang normal terhadap anak nakal (tunalaras) atau bila

perlu adanya peraturan yang dibuat pihak sekolah untuk

melindungi anak tunalaras mengenai etika dalam bergaul.

3. Penanganan Di dalam Lingkungan Masyararat

Lingkungan masyarakat yang kompleks menjadikan lebih sulit

dalam menanganinya, dikarenakan di dalamnya terdapat beragam ras,

perilaku, sikap, sifat, dan norma. Untuk menanganinya, lebih baik jika

17

anak dibawa ke psikolog karena untuk mengubah mindset komunitas yang

besar tidak mudah, lebih baik jika mengubah mindset di diri anak tunalaras

sendiri, sehingga anak dapat menerima lingkungan dan dirinya sendiri.

Psikolog dirasa akan lebih cerdas dalam mengubah mindset anak. Namun,

bukan berarti lingkungan pendidikan yang lain lepas tanggung jawab

begitu saja, harus adanya kesadaran masyarakat mengenai hal ini. Yang

perlu dilakukan pendidik/psikolog untuk mengatasi ketunalarasan adalah

menyadarkan anak mengenai beberapa hal, yaitu; pertama, mengetahui

siapakah dirinya sebenarnya, berupa sikap, emosi dan pola pikir, kedua,

menyadari bahwa orang lain juga memiliki batasan dan keterbatasan,

seperti norma yang berlaku di masyarakat, ketiga, mengupayakan agar

anak tunalaras memiliki pemahaman akan pentingnya kepedulian terhadap

diri sendiri, yakni sehubungan dengan apa yang diperlukan dan dibutuhkan

serta bagaimana memenuhinya,dan keempat, melatih anak agar dapat

membina relasi yang dekat dengan seseorang atau sekelompok, dan dapat

menerima kesendirian serta jarak dengan orang lain. Menyadarkan mereka

bahwa mereka pada upaya awal perubahan perilaku memang harus

berjuang untuk melawan hal-hal semacam itu.

18

KESIMPULAN

1. Anak tuna laras adalah anak yang emosi dan perilakunya tidak berkembang

sebagaimana mestinya, mereka sering melakukan perbuatan menyimpang

sehingga membuat masyarakat sangat terganggu dengan tingkahlakunya.

Orang tua atau guru harus bisa mendeteksi dini jika anaknya mengalami

hambatan, hal ini bertujuan agar kelainan yang dialami anak tidak

berkembang atau bertambah parah.

2. Klasifikaisi menurut faktor pemicunya dibagi menjadi dua yaitu neurotic

behaviour (perilaku neurotik), disebabkan oleh pola asuh yang salah yang

dilakukan lingkungan pendidikan kepada anak, dan children with psychotic

process, yang disebabkan oleh adanya gangguan pada syarafnya.

3. Berat ringannya tingkat ketunalarasan dapat dilihat dari berbagai faktor,

yaitu besar kecilnya gangguan emosi, frekuensi tindakan, berat ringannya

pelanggaran, tempat/situasi kenalakan yang dilakukan, mudah sukarnya

dipengaruhi untuk bertingkah laku baik, dan tunggal atau ganda ketunaan

yang dialami.

4. Gejala dari anak gangguan emosi perilaku neurotik, diantaranya:

Kecemasan, agresif, dan impulsif. Gejala-gejala ini akan semakin parah bila

seseorang yang mengalami perilaku menyimpang merasa diisolasi serta

kekurangaan dukungan sosial, dan selalu berusaha menarik perhatian secara

tidak wajar agar tidak merasa sendirian.

5. Kondisi anak yang masih labil di setiap lingkungan pendidikan banyak

mengandung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan

pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada

tingkahlaku menyimpang.

6. Untuk menangani anak tunalaras tidaklah mudah, apalagi jika perilakunya

sudah bertahun-tahun, tergantung dengan tingkat keparahan anak. Untuk

menanganinya dibutuhkan kerjasama dari semua lini lingkungan

pendidikan-keluarga, sekolah, dan masyarakat.

19

DAFTAR PUSTAKA

A.J Mahari. 2005. Kiat Mengatasi Gangguan Kepribadian. Yogyakarta: Saujana

Effendi, Mohammad. 2005. Psikopedagogik Anak Berkelainan. Malang: Bumi Aksara

Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga

Kartono, Kartini. 2006. Kenakalan Remaja. Jakarta :Rajawali Pers

Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta: Kanwa

Sumantri, Sudjihati. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refiko Aditama Publisher

Sunardi. 1995. Ortopedagogik Anak Tunalaras 1. Yogyakarta: Depdikbud

20