Tugas desulfurisasi batubara

25
TUGAS MATA KULIAH BATUBARA DESULFURISASI BATUBARA Oleh: ADBEL YUKI EDWAR NPM : 1010024427001 YAYASAN MUHAMMAD YAMIN SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI

Transcript of Tugas desulfurisasi batubara

TUGAS MATA KULIAH BATUBARADESULFURISASI BATUBARA

Oleh:

ADBEL YUKI EDWAR

NPM : 1010024427001

YAYASAN MUHAMMAD YAMIN

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN

( STTIND ) PADANG

2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pemakaian batubara hingga saat

ini semakin meningkat. Hal itu didukung oleh

adanya program pemerintah yang menetapkan batubara

sebagai sumber energi alternatif utama. Sejalan

dengan perkembangan pemanfaatan batubara di

Indonesia, muncul pula beberapa kendala yang

menghambat perkembangan tersebut. Kendala utama

tersebut adalah adanya gas SO2 hasil pembakaran

batubara yang dapat menimbulkan pencemaran udara.

Untuk mengurangi gas SO2 ini dapat dilakukan

dengan mengurangi kandungan sulfur sebelum batubara

dibakar (desulfurisasi) atau dengan mengurangi

kandungan sulfur setelah batubara dibakar (flue gas

desulfurization).

Energi batubara merupakan jenis energi yang

sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan

sulfur sebagai polutan utama. Sulfur batubara juga

dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta

gangguan pernafasan.. Cara yang tepat untuk mengatasi

hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean

coal combustionmelalui desulfurisasi batubara

Salah satu teknologi konversi energi adalah

pembangkit tenaga listrik. Penggunaan bahan bakar fosil

untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi

dari partikel SO2, NOX, dan CO2. saat ini bahan bakar

pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh

penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya adalah

batubara. Penggunaan batubara untuk bahan baker

pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat.

Meskipun kandungan sulfur batubara Indonesia relative

kecil tetapi penggunaan dalam jumlah besar akan dapat

meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat berdampak

negative terhadap manusia dan lingkungan

Dalam hubungannya dengan penggunaan energi, terus

dilakukan inovasi pada teknologi yang memproduksi,

mengkonversi, menyalurkan, dan menggunakan energi

sehingga diperoleh teknologi yang lebih efisien dan

ramah lingkungan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Batubara

Kemajuan pesat teknologi industri khususnya sejak

akhir tahun 1950-an membuat konsumsi energi meningkat

sangat pesat. Hal ini membuat pemakaian bahan bakar

fosil (minyak bumi, gas alam,batubara) secara besa-

besaran tidak terhindarkan. Bahan bakar fosil yang

mudah dieksplorasi dandapat diperoleh dalam jumlah

besar dengan biaya yang tidak terlalu tinggi menjadi

sumber energi utama dunia selama berpuluh

tahun. Dari data akhir 1990-an, peta sumber energi

dunia adalah sebagai berikut :

Sumber Energi Persentasi Available Years

Oil 38.6 % 45

Coal 27.3 % 230

Natural Gas 21.6 % 65

Water Power 6.7 % -

Nuclear Power 5.7 % 43 (uranium235)

New Energy and

Others0.1 %

(source: Clean Coal Science Handbook, 1995 availableyears dihitung dengan asumsi pemakaian energi sama

dengan pada saat data dibuat t ermasuk dalam New Energyadalah: plasma, fuel cell, solar cell, danlain-lain.)

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa

ketergantungan terhadap bahan bakar fosil tidak dapat

dielakkan paling tidak dalam kurun waktu 100 tahun yang

akan datang. Tetapi pemakaian bahanbakar fosil secara

besar-besaran juga membawa dampak yang sangat serius

terhadap lingkungan terutama isu global warming dan

acid rain. Melihat urgensi teknis pembakaran bahan

bakar fosil yang clean untuk meredam isu- isu

lingkungan tsb, dipandang perlu untuk

mengembangkan sistem pembakaran yang baru dan lain dari

yang konvensional.Batubara memiliki keunggulan

dibanding bahan bakar fosil lainnya, yaitu:

1. Jumlah batubara yang economically exploitable

lebih banyak

2. Distribusi batubara di seluruh dunia lebih

merata.

Kelemahan Batubara :

1.    Karena komposisi coal adalah CHONS + Ash, coal

identik dengan bahan bakar yang kotor dan tidak ramah

lingkungan.

2.    Dibanding bahan bakar fosil lainnya, jumlah kandungan

C per mol dari batubara jauh lebih besar.Hal ini

meyebabkan pengeluaran CO2 dari batubara juga jauh

lebih banyak. Demikian juga dengan kandungan Sulfur

(S) dan Nitrogen (N) nya yang bila keluar ke udara

bebas bisa menjadi H2SO4 dan H2NO3 yang

merupakan penyebab hujan asam.

2.2 Teknologi desulfurisasi batubara

Dalam proses penangkapan unsur ‘S’ atau

desulfurisasi batubara dapat dilakukan dengan berbagai

macam cara yang berbeda yaitu secara :

1. Kimia

2. Biologi

3. Fisik

Penghilangan unsur S dalam batubara juga dapat

diaplikasikan sebelum pembakaran berlangsung, sesudah

pembakaran ataupun ketika pembakaran batubara

berlangsung. Berikut ini merupakan contoh

penghilangan unsur S dalam batubara dalam furnace

ketika pembakaran berlangsung.Untuk "menangkap” S,

kedalam furnace disemburkan bubuk kapur CaCO3 yang

disebut sorbent.

Salah satu alasan pemilihan CaCO3 adalah harganya

yang murah dan mudah diperoleh. Proses yang terjadi di

dalam furnace adalah sebagai berikut :

1. Desulfurization (De-SOx) Reaction :

CaCO3 → CaO + CO2

CaO + SO2+ ½ O2 → CaSO4 (solid)

( S telah "tertangkap" dalam bentuk endapan )

2. Di suhu tinggi (di atas 1300˚ C) terjadi

reaksi berikut:

CaSO4 → CaO + SO2+ ½ O2

( Hal ini menyebabkan De-SOx efisiensi berkurang

drastis )

2.2.1 Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia

1. Tujuan Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia

bertujuan untuk :

A.  Untuk menghasilkan batubara yang dapat dibakar secara

langsung tanpa megalami proses desulfurisasi pada gas

buang.

B.  Untuk mengurangi gas cleaning setelah proses

gasifikasi batubara.

2. Tahapan proses desulfurisasi secara kimia yaitu:

a.    Oksidative ( temperatur penguraian batubara dibawah

400oC )

1). Zat Pengoksidasi

Pada proses oksidasi untuk menghilangkan

sulfur yang terkandung dalam batubara menggunakan

zat pengoksidasi sebagai berikut:

a) Metal ions (Fe+3, Hg+2, Ag+)

b) Strong acids (HNO3 + HClO4)

c) O2, Cl2, SO2, H2O2 dan udara.

2). Meyers Process:

Metode yang digunakan dalam proses oksidasi

ini yaitu Metode Meyer yang telah dikembangkan.

Proses tersebut berdasarkan oksidasi kandungan

sulfur bentuk pirit dalam batubara dengan

menggunakan larutan Ferric sulfate panas, tanpa

menghilangkan asam organik.

a) Batubara : berukuran 1.4 mm

b) Pereaksi : Fe2(SO4)3

c) Temperature : 100-130oC

d) Waktu : 5-6 jam

e) Tekanan : 3-6 atm

f) Pirit dioksidasikan menjadi ferrous sulfate, H2SO4

dan unsur S.

g) Penghilangan Pyritic-S : 83-99 %

h) As, Cd, Mn, Pb dan Zn juga dihilangkan.

3). Reaksi oksida desulfurisasi sebagai berikut:

5FeS2 + 23Fe2(SO4)3 + 24H2O→51FeSO4+ 4S

O2 ditambahkan untuk mengoksidasi FeSO4 agar kembali

menjadi Fe2(SO4)3

4FeSO4 + 2H2SO4 + O2 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O

Netralısasi batu kapur untuk menghilangkan kelebihan

sulfat

Fe2(SO4)3 + CaO→3CaSO4 + Fe2O3

FeSO4 + CaO →CaSO4 + FeO

4). Reaksi oksidade sulfurisasi secara umum :

2FeS2 + 7O2 + 2H2O→ 2FeSO4 + 2H2SO4

4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O

Fe2(SO4)3 + 3H2O → Fe2O3 + 3H2SO4

b. Caustic ( temperatur penguraian batubara dibawah

400oC )

1). Reaksi Desulfurisasi menggunakan caustic :

2FeS2 + 6NaOH→2NaFeO2 + Na2S + 2H2O + O2

Coal-S + 2NaOH →Coal-O + Na2S + H2O

2). Molten Caustic Leaching (MCL)

Proses MCL konvensional menggunakan campuran NaOH

+ KOH (1:1), atau NaOH + KOH + Ca(OH)2 pada temperatur

370-390 oC selama 2-3 jam.

c. Reduction (proses hidrosulfurisasi pada

temperatur > 440 oC).

Reaksi yang terjadi pada proses reduksi adalah sebagai

berikut :

FeS2 + H2 →FeS(s) + H2S (g)

FeS + H2 →Fe + H2S (g)

3. Kekurangan proses desulfurisasi secara kimia:

a)     Biaya proses tinggi.

b)     Severe leaching conditions (100-400oC).

c)     Energy intensive.

d)     Penambahan material ke dalam batubara selain dapat

mengurangi kandungan ash dan sulfur dapat juga

berpotensi menjadi polutan.

e)     Banyak di temukan permasalahan pengendalian polusi,

korosi dan pembuangannya.

2.2.2. Desulfurisasi Batubara Dengan Secara biologi

Kandungan sulfur dalam batubara dapat

dihilangkan dengan metode biologi yang dikenal

dengan Mikrobial desulfurization. Proses

desulfurisasi secara mikrobiologi dapat dilakukan

dengan cara pengoksidasian pyrite, unsur S, dan S-

organik oleh bakteri. Beberapa mikroorganisme yang

mampu mengoksidasi Sulfur, yaitu:

Acidithiobacillus ferrooxidans, (for FeS2).

Acidithiobacillus thiooxidans, (for FeS2) .

Leptospirillum ferrooxidans, (for FeS2).

Sulfolobus acidocalderius (for FeS2).

Rhodopseudomonas spheriodes (for organic-S).

1. Reaksi

2. Proses konversi batubara menggunakan

biotechnolgy

2.2.3 Physical desulphurization (coal preparation)

Desulfurisasi secara fisika memiliki peran

penting dalam pengurangan kandungan sulfur dan abu

dalam batubara, hanya dapat menghilangkan pyritic

sulfur dan mineral lainnya.

1. Advanced novel coal beneficiation techniques

2. Microcel (column flotation)

2.3 Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik

Flue Gas Desulfurization (FGD)

Selain memperbaiki efisiensi dan sistim

pembakaran batubara, sebagai upaya untuk mencegah

berlanjutnya krisis ekologi dewasa ini juga telah

dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi

yang mampu memisahkan gas-gas polutan seperti SOx

dan NOx dalam gas buang dari pembakaran batubara.

Salah satu metode untuk memisahkan polutan SOx

dalam gas buang adalah dengan teknik flue-gas

desulfurization (FGD). Pemisahan polutan dapat

dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2.

Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas

FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara

sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen

menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan"

dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air

(H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat

selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga

diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas

buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari

oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum

sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan

gipsum alam.

Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab

hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui proses FGD

ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk

bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum

tampil dalam bentuk papan gipsum ( gypsum boards )

yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-

langit rumah (ceiling - 4 – boards), dinding

penyekat atau pemisah ruangan ( partition boards )

dan pelapis dinding ( wall boards ). Amerika

Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi

gipsum sintetis ini. Pabrik wallboard dari gipsum

sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard

Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi

pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit

listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di

Cumberland yang berkapasitas 2600 Mega Watt.

Produksi gipsum sintetis merupakan suatu

terobosan yang mampu mengubah bahan buangan yang

mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang

bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum

sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki

kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum yang

diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses

FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam.

Mengingat dampak positifnya cukup besar,

tidak mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU

batubara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum

sintetis.

Jenis/tipe FGD

Sistem FGD dapat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis,

yaitu:

1. Sistem basah, Wet Flue Gas Desulfurization

2. Sistem kering, Dry Fle Gas Desulfurization

2.4. Dampak dari pembakaran batubara

Batubara yang masih mengandung elemen sulfur,

nitrogen baik yang terikat sebagai senyawa organik,

anorganik, atau unsur bebasnya akan menghasilkan

polutan ( Sox dan Nox ) pada saat pembakaran.

Akibat dari polutan itu diantaranya adalah hujan asam.

1. Hujan Asam

Hujan asam adalah suatu masalah lingkungan

yang serius yang benar-benar difikirkan oleh

manusia. Ini merupakan masalah umum yang secara

berangsur-angsur mempengaruhi kehidupan manusia.

Istilah Hujan asam pertama kali diperkenalkan

oleh Angus Smith ketika ia menulis tentang polusi

industri di Inggris (Anonim, 2001). Tetapi

istilah hujan asam tidaklah tepat, yang benar

adalah deposisi asam. Deposisi asam ada dua jenis,

yaitu :

a. Deposisi kering

Deposisi kering ialah peristiwa terkenanya benda

dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini

dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran

udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain

itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah

perbukitan yang terkena angin yang membawa udara

yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini

terjadi dekat dari sumber pencemaran.

b. Deposisi basah

Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk

hujan. Hal ini terjadi apabila asap di dalam udara

larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun

hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun

bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena

hujan turun melalui udara yang mengandung asam sehingga

asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke

bumi. Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis

ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran.

Hujan secara alami bersifat asam karena Karbon Dioksida

(CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki

bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan

ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan

mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan

dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat

keasaman berkisar pH 5, apabila hujan terkontaminasi

dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi

serta bercampur di atmosfir sehingga tingkat

keasaman lebih rendah dari pH 5, disebut dengan

hujan asam.

2. Penyebab Hujan Asam

Pada dasarnya Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan

udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan nitrogen oxides (NOx)

yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan

tetapi sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh

dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan

gunung berapi maupun kebakaran hutan secara alami.

Sedangkan 50% lainnya berasal dari kegiatan

manusia, misalnya akibat pembakaran BBF, peleburan

logam dan pembangkit listrik. Minyak bumi mengadung

belerang antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4%

sampai 5%. Waktu BBF di bakar, belerang tersebut

beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas

di udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah

menjadi asam sulfat (Soemarwoto O, 1992).

3. Dampak Hujan Asam

Terjadinya hujan asam harus diwaspadai karena dampak

yang ditimbulkan bersifat global dan dapat menggangu

keseimbangan ekosistem. Hujan asam memiliki dampak

tidak hanya pada lingkungan biotik, namun juga pada

lingkungan abiotik, antara lain :

a.Danau

Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan

sedikitnya species yang bertahan. Jenis Plankton dan

invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati

akibat pengaruh pengasaman. Apa yang terjadi jika

didanau memiliki pH dibawah 5, lebih dari 75 %

dari spesies ikan akan hilang (Anonim, 2002). Ini

disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara

signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu

ekosistem. Tidak semua danau yang terkena hujan

asam akan menjadi pengasaman, dimana telah

ditemukan jenis batuan dan tanah yang dapat

membantu menetralkan keasaman.

b.Tumbuhan dan hewan

Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam

tanah akan menyapu kandungan tersebut sebelum

pohon-pohon dapat menggunakannya untuk tumbuh.

Serta akan melepaskan zat kimia beracun seperti

aluminium, yang akan bercampur didalam nutrisi.

Sehingga apabila nutrisi ini dimakan oleh tumbuhan

akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun

berguguran, selebihnya pohon-pohon akan terserang

penyakit, kekeringan dan mati.Sebagaimana tumbuhan,

hewan juga memiliki ambang toleransi terhadap hujan

asam. Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan

langsung mati saat pH tanah meningkat karena

sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan

rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim.

Spesies hewan yang lain juga akan terancam karena

jumlah produsen (tumbuhan) semakin sedikit.

Berbagai penyakit juga akan terjadi pada hewan karena

kulitnya terkena air dengan keasaman tinggi. Hal ini

jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.

c. Kesehatan Manusia

Dampak deposisi asam terhadap kesehatan telah

banyak diteliti, namun belum ada yang nyata berhubungan

langsung dengan pencemaran udara khususnya oleh

senyawa Nox dan SO2. Kesulitan yang dihadapi

dkarenakan banyaknya faktor yang mempengaruhi

kesehatan seseorang, termasuk faktor kepekaan

seseorang terhadap pencemaran yang terjadi. Misalnya

balita, orang berusia lanjut, orang dengan status

gizi buruk relatif lebih rentan terhadap

pencemaran udara dibandingkan dengan orang yang

sehat.

Berdasarkan hasil penelitian, sulphur dioxide

yang dihasilkan oleh hujan asam juga dapat

bereaksi secara kimia didalam udara, dengan

terbentuknya partikel halus suphate, yang mana partikel

halus ini akan mengikat dalam paru-paru yang akan

menyebabkan penyakit pernapasan. Selain itu juga dapat

mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena

senyawa sulfat dan nitrat mengalami kontak langsung

dengan kulit.

d.Korosi

Hujan asam juga dapat mempercepat proses

pengkaratan dari beberapa material seperti batu kapur,

pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam.

Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua

serta monument termasuk candi dan patung. Hujan

asam dapat merusak batuan sebab akan melarutkan

kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan

yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal

semakin banyak akan merusak batuan.

BAB III

KESIMPULAN

Kandungan Sulfur dan persenyawaannya dalam

batubara harus dihilangkan agar tidak memberikan

dampak yang buruk bagi lingkungan baik itu hujan

asam maupun proses korosi. Proses penghilangan

kandungan sulfur dalam batubara dapat dilakukan

dengan metode kimia, biologi, dan fisik. Teknologi

Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik yaitu Flue Gas

Desulfurization (FGD) yang menghasilkan produk

samping gypsum dari sulfur tersebut.