Teori Kepribadian - PERPUSTAKAAN STIAB SMARATUNGGA

427
Jess Feist Gregory J. Feist Me Grauu Hill Buku 1 Edisi 7 Teori Kepribadian Theories of Personality

Transcript of Teori Kepribadian - PERPUSTAKAAN STIAB SMARATUNGGA

Jess Feist Gregory J. Feist

MeGrauuHill

Buku 1 Edisi

7Teori KepribadianTheories of Personality

Teori Kepribadian Edisi 7— Buku 1

Theories of Personality, 7th ed.Jess Feist, Gregory J. Feist

Penerjemah: Handriatno

D irektur: Edward TanujayaKoordinator Penerbitan dan Produksi: AriyantoCopy Editor: Melly AstrianiTata Letak: Sari JuwitaDesain Sampul: Deka Hasbiy

Hak Cipta © 2010, Penerbit Salemba HumanikaJl. Raya Lenteng Agung No. 101Jagakarsa, Jakarta Selatan 12610Telp. : (021) 781 8616Faks. : (021) 781 8486Website : http://www.penerbitsalemba.comE-mail : [email protected]

Copyright © 2009, 2006, 2 0 0 2 ,1 9 9 81221 Avenue of the Americas, NY, 10020

All rights reserved. No part o f this book may be reproduced, in any form or by any means, electronic or mechanical or transmittal including photocopying, recording or by any inlormation storage retrieval system, without permission in writing from the publisher.

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 .0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lima m iliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau HakTerkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000 .000 ,00 (lima ratus juta r u p i a h ) . ______________________________________________________________________________________

Feist, Jess Feist, Gregory. J.

Teori Kepribadian/Jess Feist, Gregory J. Feist

— Jakarta: Salemba Humanika, 2012 2 jil., 428 him., 19 x 26 cm

ISBN: 978-602-8555-18-0 (jil. lengkap)ISBN: 978-602-8555-19-7 (jil. 1)

1. Psikologi 2. KepribadianI. judul II- less Feist, Gregory J. Feist

Tentang PenulisJess Feist adalah Profesor Emeritus dari Departemen Psikologi di McNeese State University, Lake Charles, Lousiana. Selain membantu penulisan Theories o f Personality, edisi ketujuh, ia juga membantu penulisan Health Psychology: An Introduction to Behavior and Health, edisi kelima bersama dengan Linda Brannon. Ia memperoleh gelar sarjana dari St. Mary of the Plains dan memperoleh gelar Doktor dari Wichita State University dan University of Kansas. Minatnya terhadap penelitian terutama mengenai ingatan masa kecil (early childhood recollection).

t o

ifi§

M

iGregory J. Feist adalah Associate Profesor psikologi dari Departemen Psikologi di San Jose State University. Ia juga telah mengajar di College of William & Mary dan University of California, Davis. Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang psikologi kepribadian pada tahun 1991 dari University of California di Berkeley dan gelar sarjana pada tahun 1985 dari University of Massachusetts-Amherst. Ia banyak dikenal dalam bidang psikologi kreativitas, psikologi sains, dan pengembangan bakat ilmiah. Buku terbarunya, The Psychology o f Science and The Origins o f the Scientific Mind, dianugerahi William James Book Award dari American Psychological Association (APA).. Ia adalah

pendiri dan presiden International Society for the Psychology of Science & Technology dan juga pendiri serta pemimpin redaksi Journal of Psychology of Science & Technology. Penelitiannya dalam bidang kreativitas telah mendapat Early Career Award dari Division for Psychology of Aesthetics, Creativity and the Arts (Division 10), APA, dan ia adalah mantan presiden Division 10.

Tentang Penulis

Daftar isi

Pengantar 1

BAB 1 Pengantar Teori Kepribadian 2

Apakah yang Dimaksud dengan Kepribadian? 3

Apakah yang Dimaksud dengan Teori? 5 Deli nisi Teori 5

Beberapa Konsep yang Berkaitan dengan Teori 6

Filsafat 6

Pemikiran 6

Hipotesis 7

Taksonomi 7

Mengapa Ada Banyak Teori yang Berbeda? 7

Kepribadian Teoretikus dan Teori Kepribadian Mereka 8

Apa yang Membuat Teori Bermanfaat? 9

Mengembangkan Penelitian 9

Oapat Dikaji Ulang 10

Mengorganisasi Pengetahuan 11

Panduan Pemecahan Masalah 11

Konsistensi Internal 12

Sederhana (Parsimonious) 12

Dimensi-dimensi Konsep Kemanusiaan 13

Penelitian Teori Kepribadian 14

Teori Psikodinamika 17

BAB 2 Freud: Psikoanalisis 18

Gambaran Umum Teori Psikoanalisis 19

Biografi Sigmund Freud 20

Tingkat Kehidupan M ental 27AlamTidaksadar 27

Alam Bawah Sadar 29

AlamSadar 29

W ilayah Pikiran 31 Id 32

Ego 32

Superego 34

BAGIAN II

BAGIAN I Dinam ika Kepribadian 35Dorongan-dorongan 36

Seks 36

Agresi 37

Kecemasan 38

Mekanism e Pertahanan Diri 39 Represi 40

Pembentukan Reaksi 40

Pengalihan 41

Fiksasi 41

Regresi 42

Proyeksi 42

Introyeksi 43

Sublimasi 43

Tahap Perkem bangan 44 Periode Infantil 44

Fase Oral 45

Fase Anal 46

Fase Falik 47

Periode Laten 52

Periode Genital S3

Kematangan S3

Penerapan Teori Psikoanalisis 54 Teknik Terapeutik A wal Freud 54

Teknik Terapeutik Freud yang Berkembang Kemudian 56

AnalisisMimpi 57

Freudian Slips 60

Penelitian Terkait 61Proses Mental Tidak Sadar 62

Kesenangan dan Id: Halangan dan Ego 63

Represi, Halangan, dan Mekanisme Pertahanan 63

Penelitian tentang Mimpi 65

K ritik terhadap Freud 67Apakah Freud Memahami Wanita? 67

Apakah Freud Seorang ilmuwan? 69

Konsep Kemanusiaan 71

r

BAB 3 Adler: Psikologi Individual 75

Gambaran Umum Psikologi Individual 76

Biografi Alfred Adler 77

Pengantar Teori Adlerian 81

Berjuang untuk M eraih Keberhasilan atau

Superioritas 82 TujuanAkhir 82

Day a Juang sebagai Kompensasi 83

Berjuang Meraih Superioritas Pribadi 84

Berjuang Meraih Keberhasilan 85

Persepsi Subjektif 85 Fiksionalisme 85

Kelemahan Fisik 86

Kesatuan dan Self-Consistency dari Kepribadian 87 Bahasa Organ 87

Kesadaran dan Ketidaksadaran 88

M inat Sosial 88SumberdariMinatSosial 89

Pentingnya Minat Sosial 90

Gaya Hidup 91

Daya K reatif 92

Perkem bangan Abnorm al 93 Deskripsi Umum 93

Faktor Eksternal Penyebab Ketidakmampuan Menyesuaikan

Diri 94

Kelemahan Fisik yang Berlebihan 94

Gaya Hidup Manja 95

Gaya Hidup Terabaikan 95

Kecenderungan untuk Melindungi 96

MembuatAlasan 96

Agresi 97

Menarik Diri 97

Masculine Protest 99

Asal Mula Masculine Protest 99

Adler, Freud, dan Masculine Protest 100

Penerapan Psikologi Individual 100 Konstelasi Keluarga 100

Ingatan Masa Kecil 103

Mimpi 104

Psikoterapi 105

Penelitian Terkait 106Ingatan Masa Kecil dan Pilihan Karier 106

Masa Kanak-kanakAwaldan Isu yang Terkait dengan

Kesehatan 108

Ingatan Masa Kecil dan Hasil Konseling 109

VI | Daftar Isi

Kritik terhadap Adler 110

Konsep Kemanusiaan 111

BAB 4 Jung: Psikologi Analitis 115

Gambaran Umum Psikologi Analitis 116

Biografi Carl Jung 117

Tingkatan Psike 122 Kesadaran 123

Ketidaksadaran Personal 123

Ketidaksadaran Kolektif 124

Arketipe 125

Persona 126

Bayangan 127

Anima 128

Animus 129

Great Mother 129

Wise Old Man 130

Pahlawan 131

Diri 132

Dinam ika Kepribadian 135KausalitasdanTeleologi 135

Progresi dan Regresi 136

Tipe Psikologis 136 Sikap 137

Introversi 137

Ekstraversi 137

Fungsi 139

Thinking 139

Feeling 139

Sensing 140

Intuisi 141

Perkem bangan Kepribadian 142 Tahap Perkembangan 142

Masa Kanak-kanak 143

MasaMuda 143

Masa Pertengahan 144

MasaTua 144

Realisasi Diri 145

M etodelnvestigasiJung 146 TesAsosiasiKata 146

Analisis Mimpi 147

Imajinasi Aktif 150

Psikoterapi 151

Penelitian Terkait 152Tipe Kepribadian dan Menginvestasikan Uang

Daftar Isi | vii

Tipe Kepribadian dan Minat terhadap Bidang Gesekan di

Jurusan Teknik 154

Kritik terhadap Jung 154

KonsepKemanusiaan 156

BAB 5 Klein: Teori Relasi Objek 159

G am baranU m um TeoriR elas iO bjek 160

Biografi M elanie Klein 161

Pengantar Teori Relasi Objek 164

Kehidupan Psikis pada Bayi 165 Fantasi 165

Objek 166

Posisi 166Posisi Paranoid-Schizoid 166

Posisi Depresif 168

Mekanism e Pertahanan Psikis 168 Introyeksi 169

Proyeksi 169

Pemisahan 170

Indentifikasi Proyektif 170

In tem alisasi 171 Ego 171

Superego 172

Oedipus Complex 173

Perkembangan Oedipal pada Perempuan 173

Perkembangan Oedipal pada laki-laki 174

Pandangan Selanjutnya M engenai Relasi Objek 175 Pandangan Margaret Mahler 175

Pandangan Heinz Kohut 178

Teori Kedekatan John Bowlby 179

Maria Ainsworth dan Teori Situasi Asing 181

Psikoterapi 182

Penelitian Terkait 183Relasi Objek dan Gangguan Makan 183

Teori Kedekatan dan Hubungan Orang Dewasa 184

Kritik Terhadap Teori Relasi Objek 186

KonsepKemanusiaan 187

BAB 6 Homey: Teori Psikoanalisis Sosial 191

Gambaran Umum Teori Psikoanalisis Sosial 192

Biografi Karen Horney 193

Pengantar Teori Psikoanalisis Sosial 195 Perbedaan antara Horney dan Freud 196

Pengaruh Kultur 196

Pentingnya Peng ataman Masa Kanak-kanak 197

Permusuhan Dasar dan Kecemasan Dasar 198

Dorongan Kompulsif 200Kebutuhan-kebutuhan Neurotik 201

Kecenderungan Neurotik 202

Mendekati Orang Lain 204

Melawan Orang Lain 204

Menjauhi Orang Lain 205

Konflik Intrapsikis 207 Gambaran Diri Ideal 208

Pencarian Neurotik akan Kemuliaan 208

Permintaan Neurotik 210

Kebanggaan Neurotik 210

Kebencian Diri 210

Psikologi Feminin 212

Psikoterapi 214

Penelitian Terkait 215Dorongan Neurotik untuk Menghindari Hal-hal

Negatif 216

Mungkinkah Neurotisme Merupakan Hal yang Baik? 216

Kritik terhadap Horney 218

Konsep Kemanusiaan 219

BAB 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 223

Gambaran Umum Teori Psikoanalisis Humanistis 224

Biografi Erich Fromm 225

Asumsi Dasar Fromm 228

Kebutuhan Manusia 229 Keterhubungan 230

Keunggulan 231

Keberakaran 232

Kepekaan akan Identitas 232

Kerangka Orientasi 233

Rangkuman Kebutuhan Manusia 234

Beban Kebebasan 235 Mekanisme Pelarian 235

Authoritarianism 235

Sifat Merusak 236

Konformitas 236

Kebebasan Positif 236

Orientasi Karakter 237 Orientasi nonproduktif 237

Reseptif 238

viii Daftar Isi

Eksploitatif 238

Menimbun 238

Memasarkan 238

Orientasi produktif 239

Gangguan Kepribadian 240 Nekrofilia 240

Narsisme Berat 241

Simbiosisinses 241

Psikoterapi 242

M etode Investigasi Fromm 243Karakter Sosial Sebuah Desa di Meksiko 243

Studi Psikohistoris mengenai Hitler 245

Penelitian Terkait 247Kerenggangan Kultur dan Kesejahteraan 247

Beban Kebebasan dan Bujukan Politik 248

K ritik terhadap Fromm 249

Konsep Kemanusiaan 250

BAB 8 Sullivan: Teori Interpersonal 253

Gambaran Umum Teori Interpersonal 254

Biografi Harry Stack Sullivan 255

Ketegangan 259Kebutuhan 259

Kecemasan 260

Transformasienergi 261

Dinamisme 261 Kedengkian 262

Keintiman 262

Berahi 263

Sistem Diri 263

Personifikasi 264Ibu yang Buruk, Ibu yang Baik 265

Personifikasi Say a 265

Personifikasi Eidetik 266

Tingkat Kognisi 266 Tingkat Prototaksis 266

Tingkat Parataksis 267

Tingkat Sintaksis 267

Tahapan Perkem bangan 268 MasaBayi 269

Masa Kanak-kanak 270

MasaJuvenil 271

Masa Praremaja 272

Masa Remaja Awal 273

Masa Remaja Akhir 275

Masa Dewasa 275

Gangguan Psikologis 276

Psikoterapi 277

Penelitian Terkait 278Pro dan Kontra "Sahabat Karib"untukAnak Perempuan dan

laki-laki 278

Teman Khayalan 280

Kritik Terhadap Sullivan 282

Konsep Kemanusiaan 283

BAB 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-

Freudian) 287

Gambaran Umum Teori Pasca-Aliran Freud 288

Biografi Erik Erikson 289

Ego dalam Teori Pasca-Aliran Freud 292 Pengaruh Masyarakat 292

Prinsip Epigenetik 293

Tahapan Perkem bangan 295 Masa Bayi 296

Gaya Sensori-Oral 297

Rasa Percaya Dasar versus Rasa Tidak Percaya Dasar 298

Harapan: Kekuatan Dasar Masa Bayi 298

Kanak-kanak Awal 299

Gaya Otot-Uretral-Anal 299

Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu 299

Keinginan: Kekuatan Dasar Kanak-kanak Awal 300

Usia Bermain 300

Gaya Lokomotor-Genital 301

Inisiatif versus Rasa Bersalah 301

Tujuan: Kekuatan Dasar Usia Bermain 302

UsiaSekolah 302

Latensi 302

Industri versus Rasa Rendah Diri 302

Kompetensi: Kekuatan Dasar Usia Sekolah 303

Remaja 303

Pubertas 304

Identitas versus Kebingungan Identitas 304

Kesetiaan: Kekuatan Dasar Remaja 306

Dewasa Muda 306

Genitalitas 306

Keintiman versus Keterasingan 307

Cinta: Kekuatan Dasar Dewasa Muda 307

Dewasa 308

Dattar Isi

Prokreativitas 308

Generativitas versus Stagnasi 308

Rasa Peduli: Kekuatan Dasar Dewasa 309

Usia Lanjut 309Sensualitas Tergeneralisasi 310

Integritas versus Keputusasaan 310

Kebijaksanaan: Kekuatan Dasar Usia Lanjut 310

Rangkuman Siklus Hidup 311

M etode Investigasi Erikson 312 Studi Antropologis 312

Psikohistoris 313

Penelitian Terkait 315Generativitas dan Parenting 316

Generativitas versus Stagnasi 317

K ritik terhadap Erikson 318

Konsep Kemanusiaan 319

Teori-teori Humanistis / Eksistensial 3 2 3

BAB 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 324

Gambaran Umum Teori Holistik-Dinamis 325

Biografi Abraham H. Maslow 326

Pandangan Maslow tentang Motivasi 330 Hierarki Kebutuhan 331

Kebutuhan Fisiologis 332

Kebutuhan akanKeamanan 333

Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan 334

Kebutuhan akan Penghargaan 335

Kebutuhan akan Aktualisasi Diri 335

Kebutuhan Estetika 336

Kebutuhan Kognitif 337

Kebutuhan Neurotik 337

Pembahasan Umum mengenai Kebutuhan 338

Urutan yang Terbalik dari Kebutuhan-kebutuhan 338

Tingkah Laku yang Tidak Dimotivasi 339

Tingkah Laku Ekspresif dan Tingkah Laku

Penanganan 339

Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi 339

Ciri-ciri Instinctoid dari Kebutuhan 340

Perbandingan antara Kebutuhan di Level Tinggi dan

Rendah 341

Aktualisasi Diri 341Pencarian Maslow akan Orang-orang yang Mengaktualisasi

Diri 342

Kriteria untuk Aktualisasi Diri 343

Nilai-nilai dari Orang-orang yang Mengaktualisasi

Diri 343

Karakteristik dari Orang-orang yang Mengaktualisasi

Diri 345

Persepsi yang Lebih Efisien akan Kenyataan 345

Penerimaan akan Diri, Orang Lain, dan Hal-hal

alamiah 346

Spontanitas, Kesederhanaan, dan Kealamian 346

Berpusat pada Masalah 346

Kebutuhan akan Privasi 347

Kemandirian 347

Penghargaan yang Selalu Baru 348

Pengalaman Puncak 348

Gemeinschaftsgefiihl 349

Hubungan Interpersonal yang Kuat 349

Struktur Karakter Demokratis 350

Diskriminasi antara Cara dan Tujuan 350

Rasa Jenaka/Humor yang Filosofis 350

Kreativitas 351

Tidak Mengikuti Enkulturasi/Apa yang Diharuskan oleh

Kultur 351

Cinta, Seks, dan Aktualisasi Diri 352

Filosofi llm u 352

M engukur Aktualisasi Diri 354

Jonah Complex 356

Psikoterapi 357

Penelitian Terkait 358 Psikologi Positif 358

Perkembangan, Pertumbuhan, dan Tujuan-tujuan

Kepribadian 360

Kritik terhadap Maslow 362

Konsep Kemanusiaan 363

REFERENSI R-1

GLOSARIUM G-1

KREDIT K-1

INDEKS 1-1

BAG IAN III

Daftar Isi

Pra kata

Apakah yang membuat manusia berperilaku seperti yang mereka lakukan? Apakah biasanya manusia sadar akan apa yang sedang ia lakukan, atau apakah perilaku mereka merupakan hasil dari motif- motif tersembunyi yang tidak disadari? Apakah beberapa orang memang pada dasarnya baik dan yang lainnya jahat? Atau apakah setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi baik atau jahat? Apakah kebanyakan perilaku manusia merupakan produk dari sifat dasar, atau perilaku tersebut dibentuk oleh pengaruh lingkungan? Dapatkah manusia secara bebas memilih untuk membentuk kepribadiannya, atau apakah hidup mereka sudah ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang ada di luar kendali mereka? Apakah jalan terbaik untuk mendeskripsikan manusia adalah melalui kesamaan-kesamaan, atau malahan keunikan dari tiap-tiap individu yang menjadi karakteristik dominan manusia? Apa yang membuat beberapa orang mengembangkan kepribadian yang terganggu sementara beberapa orang lainnya terlihat tumbuh menuju kesehatan psikologis?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah dipertanyakan dan diperdebatkan oleh filsuf, mahasiswa, dan pemikir religius selama beberapa ribu tahun. Akan tetapi, kebanyakan dari diskusi-diskusi ini didasari oleh opini pribadi yang kemudian mewarnai pertimbangan politis, ekonomis, religius, dan sosial. Lalu, mendekati akhir abad ke-19, terjadi beberapa kemajuan dalam kemampuan manusia untuk mengatur, menjelaskan, dan memprediksi tindakan-tindakannya sendiri. Kemunculan dari psikologi sebagai kajian ilmiah dari perilaku manusia, menandai awal dari pendekatan yang lebih sistematis dalam kajian mengenai kepribadian manusia.

Para teoretikus kepribadian yang muncul lebih awal, seperti Sigmund Freud, Alfred Adler, dan Carl Jung, banyak bertumpu pada observasi klinis untuk membangun model dari perilaku manusia. Walaupun data mereka lebih sistematis dan reliabel dibandingkan data-data dari pengamat yang ada sebelumnya. Akan tetapi, para teoretikus tersebut terus bergantung pada cara-cara individual mereka dalam melihat hal-hal yang ada sehingga membuat mereka sampai pada pengertian yang berbeda- beda mengenai sifat dasar manusia.

Teoretikus yang muncul setelah itu, berniat untuk cenderung menggunakan lebih banyak kajian empiris dalam memahami perilaku manusia. Para teoretikus tersebut mengembangkan model-model yang bersifat tentatif, melakukan pengujian atas hipotesis kemudian merumuskan ulang model-model tersebut. Dengan kata lain, mereka mengaplikasikan alat-alat, seperti pertanyaan-pertanyaan ilmiah untuk menggali informasi dan teori-teori ilmiah dalam ranah kepribadian manusia. Ilmu pengetahuan, tentu saja, tidak terpisah dari spekulasi, imajinasi, dan kreativitas, yang semuanya dibutuhkan dalam merumuskan suatu teori. Setiap teoretikus kepribadian yang didiskusikan di dalam buku ini telah memunculkan sebuah teori yang berdasarkan atas observasi empiris dan spekulasi imajinatif. Lebih jauh lagi, setiap teori merupakan refleksi dari kepribadian orang yang menciptakan teori tersebut.

Oleh karena itu, teori-teori berbeda yang didiskusikan dalam lembaran-lembaran buku ini

xii Prakata

merupakan refleksi dari latar belakang budaya yang unik, pengalaman keluarga, dan pelatihan profesional dari para pembuat teori. Akan tetapi, kegunaan dari setiap teori tidak dievaluasi berdasarkan kepribadian dari pembuatnya, melainkan pada kemampuan teori tersebut untuk (1) menghasilkan penelitian, (2) dikaji ulang kebenarannya, (3) mengintegrasikan pengetahuan empiris yang sudah ada, dan (4) memberikan alternatif jawaban praktis untuk masalah sehari-hari. Oleh karena itu, kami mengevaluasi setiap teori yang didiskusikan dalam buku ini berdasarkan keempat kriteria tersebut dan juga atas dasar (5) konsistensi internal dan (6) kesederhanaannya. Sebagai tambahan, beberapa teori kepribadian telah menyuburkan bidang-bidang lain, seperti sosiologi, pendidikan, psikoterapi, periklanan, manajemen, mitologi, konseling, seni, sastra, dan agama.

<X Edisi Ketujuh

Edisi ketujuh dari Teori Kepribadian (Theories o f Personality) terus menekankan fitur-fitur kuat dan unik, seperti yang ditampilkan pada edisi-edisi sebelumnya. Misalnya, gambaran umum dibagian awal setiap bab, gaya penulisan yang hidup, konsep-konsep kemanusiaan berdasarkan pandangan para teoretikus yang menggugah pemikiran, dan evaluasi terstruktur atas setiap teori. Bacaan-bacaan beranotasi yang direkomendasikan tersedia secara online di www.mhhe.com/feist7 (tersedia dalam bahasa Inggris) untuk memfasilitasi penelitian secara online. Seperti edisi-edisi sebelumnya, edisi ketujuh ini berdasar pada sumber-sumber asli dan rumusan terbaru dari setiap teori. Konsep dan model lama tetap dimasukkan hanya apabila mereka mempertahankan kepentingan mereka pada teori yang baru atau apabila mereka memberikan landasan kerja yang vital untuk memahami teori yang final.

Untuk bab-bab tertentu, kami telah mengembangkan fitur yang didukung oleh web berjudul Lebih dari Biografi (Beyond Biography), yang langsung terhubung pada informasi tambahan di dalam situs www.mhhe.com/feist7.

Edisi ketujuh dari Teori Kepribadian (Theories o f Personality) menggunakan bahasa yang jelas, ringkas, dan dapat dimengerti serta gaya menulis yang informal. Buku ini dirancang untuk mahasiswa dan dapat dimengerti oleh mereka yang mempunyai latar belakang minimum dalam bidang psikologi. Akan tetapi, kami telah berusaha untuk tidak terlalu menyederhanakan atau melanggar gagasan asli dari pembuat teori. Kami telah membuat perbandingan yang cukup banyak antara teoretikus dan telah memasukkan banyak contoh untuk mengilustrasikan bagaimana teori-teori yang berbeda dapat diaplikasikan dalam situasi sehari-hari. Glosarium diakhir buku berisi definisi dari istilah-istilah teknis. Istilah yang sama juga muncul di dalam buku.

Edisi ketujuh juga terus memberikan pembahasan yang komprehensif terhadap teoretikus kepribadian yang paling berpengaruh. Edisi ini juga menekankan pada kepribadian normal, walaupun kami telah memasukkan diskusi singkat tentang abnormalitas, sekaligus metode psikoterapi, di mana diperlukan. Oleh karena setiap teori adalah refleksi dari pandangan unik pembangunnya mengenai dunia dan kemanusiaan, maka kami memasukkan cukup banyak informasi biografi dari setiap teoretikus supaya pembaca mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan teori dan pembuatnya.

Prakata | xiii

Apa yang Baru?Pada edisi keenam, kami telah mengatur ulang Teori Kepribadian (Theories o f Personality) untuk lebih mengikuti gaya historis dan konseptual dari teori-teori tersebut. Setelah Bab 1 yang bersifat pengenalan, kami memaparkan teori-teori psikodinamika dari Sigmund Freud, Alfred Adler, Carl Jung, Melanie Klein, Karen Horney, Erich Fromm, Harry Stack Sullivan, dan Erik Erikson. Teori-teori tersebut kemudian diikuti oleh teori-teori humanistik/eksistensial dari Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Rollo May. Berikutnya adalah teori disposisional dari Gordon Allport, Hans Eysenck, Robert McCrae, dan Paul Costa, Jr. Kelompok bab terakhir meliputi teori-teori mengenai perilaku dan belajar dari lingkup sosial (social-learning) dari B. F. Skinner, Albert Bandura, Julian Rotter, Walter Mischel, dan George Kelly, walaupun teori Kelly hampir tidak dapat dikategorisasikan. Pengaturan baru ini memberikan pandangan yang lebih baik kepada pembaca mengenai kronologi dan perkembangan dari teori kepribadian.

Sebagai tambahan atas pengaturan ulang ini, kami membuat perubahan yang secara lebih akurat merefleksikan inti dari teori atau memperbarui penelitian yang melakukan uji atas status ilmiah dari teori. Contohnya, dalam bab yang membahas tentang Klein dan relasi objek, kami mengganti ‘fantasi’ menjadi phantasi’ karena Klein sangat jelas menginginkan untuk menggunakan istilah tersebut secara unik. Lebih lanjut, kami membuat beberapa perubahan yang mempertahankan sifat menantang dan informatif namun tetap mudah dibaca. Selain itu, kami telah menambahkan material baru sebanyak setengah bab mengenai teori sifat Big Five dari Robert McCrae dan Paul Costa, Jr. Pendekatan lima sifat ini telah berkembang dari sebuah taksonomi menjadi suatu teori yang diakui.

Perubahan utama dalam edisi ketujuh meliputi pembaruan dari penelitian terkait yang mengkaji setiap teori-teori besar. Contohnya, untuk teori Fromm, kami telah menambahkan penelitian baru yang mengkaji beban dari kebebasan dan persuasi politik; untuk Maslow, kami menambahkan penelitian terkini mengenai psikologi positif dan perkembangan kepribadian, pertumbuhan, dan tujuan; untuk Skinner, kami memasukkan penelitian mengenai dukungan (reinforcement) dan otak manusia; untuk Costa dan McCrae, kami merangkum penelitian terkini mengenai dimensi Big Five dan emosi; dan untuk Bandura, kami telah memperbarui bagian penelitian yang terkait dengan temuan baru dalam self-afficacy dan terorisme serta self-afficacy dan diabetes.

« Material Pendukung

Untuk Pengajar dan Mahasiswa

Pusat Belajar Online (Tersedia dalam bahasa Inggris)Situs yang ekstentif, yang dirancang secara khusus untuk menyertai Teori Kepribadian (Theories o f Personality) dari Feist & Feist edisi ketujuh, menawarkan seperangkat bahan dan sumber untuk pengajar

xiv | Prakata

dan mahasiswa. Untuk mahasiswa, Pusat Belajar Online (Online Learning Center—OLC) menyediakan pertanyaan-pertanyaan berupa pilihan ganda, esai, dan benar-salah (B-S) untuk setiap bab, bagian Lebih dari Biografi (Beyond Biography) yang membahas lebih lanjut mengenai latar belakang dari banyak teoretikus yang terdapat di dalam teks, rekomendasi bacaan untuk setiap bab, dan banyak media belajar lainnya. Pusat Belajar Online juga menyediakan Panduan Belajar. Silakan masuk ke situs www.mhhe.com/feist7 untuk mengakses Pusat Belajar Online.

Untuk mahasiswa

Panduan BelajarOleh Jess Feist

Mahasiswa yang ingin mengatur metode belajar dan meningkatkan kemungkinan mereka mendapatkan nilai terbaik dalam kuis di kelas dapat mengakses panduan belajar secara gratis untuk buku Teori Kepribadian (Theories o f Personality) edisi ketujuh secara online di www.mhhe.com/feist7 (tersedia dalam bahasa Inggris). Panduan belajar ini berisi beragam soal ujian, termasuk soal isi bagian yang kosong, benar-salah, pilihan ganda, dan isian singkat.

« Ucapan Terima Kasih

Terakhir, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah berkontribusi atas penyelesaian buku ini. Pertama-tama, kami ingin berterima kasih pada Chad Burton, yang membantu merangkum dan menulis materi awal untuk semua pembaruan dari bagian penelitian terkait. Kami juga berterima kasih atas bantuan yang berharga yang diberikan oleh pihak-pihak yang mengkaji edisi-edisi awal dari Teori Kepribadian (Theories o f Personality). Evaluasi dan saran dari mereka telah banyak membantu dalam mempersiapkan edisi ketujuh. Pengkaji tersebut antara lain adalah: Robert J. Drummond, University of North Florida; Lena K. Ericksen, Western Washington University; Charles S. Johnson, William Rainey Harper College; Alan Lipman, George Washington University; John Phelan, Eric Rettinger, Elizabeth Rellinger, Evert Community College; Linda Sayers, Richard Stockton College of New Jersey; Mark E. Sibicky, Marietta College; Connie Veldink, Illinois College; Dennis Wanamaker; Kevin Simpson, Concordia University; Lisa Lockhart, Texas A&M University-Kingsville; Natalie Denburg, University of Iowa Hospitals and Clinics; Kristine Anthis, Southern Conneticut State University; Eros DeSouza, Illinois State University; Yozan D. Mosig, University of Nebraska-Kearney.

Selain itu, kami juga berterima kasih kepada pengkaji berikut ini yang kritik serta sarannya telah membantu membentuk edisi ketujuh ini: Angie Fournier, Virginia Wesleyan College; Atara Mcnamara, Boise State University; Randi Smith, Metro State College of Denver; dan Myra Spindel, Florida International University-Miami.

Prakata | xv

Kami menghargai dukungan besar yang kami dapatkan dari penerbit kami. Kami ingin mengungkapkan rasa terima kasih kami khususnya kepada Beth Mejia, penerbit; Mike Sugarman, executive editor; Dawn Groundwater, direktur perkembangan; Megan Campbell, managing editor; dan Jillian Allison, koordinator editorial.

Kami juga banyak berhutang budi kepada Albert Bandura untuk komentarnya yang sangat membantu pada bab yang membahas tentang teori kognitif sosial. Kami juga ingin berterima kasih kepada para teoretikus lain yang meluangkan waktu untuk membahas bagian-bagian dalam edisi-edisi sebelumnya dari buku ini: Albert Bandura, Hans J. Eysenck (aim.), Robert McCrae, Paul T. Costa, Jr., Carl R. Rogers (aim.), Julian B. Rotter, dan B. F. Skinner (aim.).

Terakhir, kami berterima kasih kepada Mary Jo Feist, Linda Brannon, dan Erika Rosenberg untuk dukungan emosional dan kontribusi penting lainnya.

Seperti biasa, kami menerima dan menghargai komentar dari pembaca, yang akan membantu kami untuk terus meningkatkan buku Teori Kepribadian (Theories o f Personality).

Jess Feist

Lake Charles, LA

Gregory J. Feist

Oakland, CA

BAGIAN SATU

PengantarBab 1 Pengantar Teori K epribadian 2

Bab 1

Pengantar Teori Kepribadian 5-ilSSi

:■ ft I

Apakah yangDimaksud dengan Kepribadian?

Apakah yang Dimaksud dengan Teori?

Definisi Teori

Beberapa Konsep yang Berkaitan dengan Teori

Mengapa Ada Banyak Teori yang Berbeda?

Kepribadian Teoretikus dan Teori Kepribadian Mereka

Apa yang Membuat Teori Bermanfaat?

Dimensi-dimensi Konsep Kemanusiaan

Penelitian Teori Kepribadian

Istilah dan Konsep Penting

—— ——>

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian |

Mengapa manusia berperilaku seperti yang mereka perlihatkan? Apakah manusia bisa memilih kepribadian mereka? Apa yang menyebabkan adanya persamaan dan

perbedaan di antara manusia? Apa yang membuat perilaku manusia dapat diprediksi? Mengapa perilaku mereka tidak dapat diprediksi? Apakah ada kekuatan tersembunyi, di alam bawah sadar, yang mengendalikan perilaku manusia? Apa yang menyebabkan gangguan mental? Apakah perilaku manusia lebih banyak dipengaruhi faktor keturunan atau lingkungan?

Selama berabad-abad, para filsuf, ahli ilmu agama, dan pemikir-pemikir lainnya telah mempertanyakan persoalan-persoalan ini ketika mereka merenungkan sifat dasar manusia—atau bahkan bertanya-tanya apakah manusia mempunyai sifar dasar. Sampai saat ini, para pemikir besar hanya membuat sedikit kemajuan untuk menemukan jawaban yang memuaskan terhadap persoalan-persoalan ini. Akan tetapi, lebih dari seratus tahun yang lalu, Sigmund Freud mulai menggabungkan pemikiran filosofis dengan metode ilmiah sederhana. Sebagai seorang ahli syaraf berlatar belakang sains, Freud mulai memperhatikan dan mendengarkan para pasiennya untuk menemukan konflik-konflik penyebab munculnya bermacam-macam gejala. “Mendengarkan, bagi Freud, menjadi lebih dari sekadar seni; ini menjadi sebuah metode, rute istimewa menuju ilmu pengetahuan yang dipetakan oleh para pasiennya” (Gay, 1988, him. 70).

Metode Freud secara bertahap menjadi lebih ilmiah sejak ia merumuskan hipotesis dan membandingkannya dengan pengalaman klinis. Dari hasil penggabungan antara pemikiran dan bukti-bukti klinis, Freud menyusun teori kepribadian modern yang pertama. Setelah itu, beberapa pria dan wanita mengembangkan teori-teori kepribadian—beberapa teori, sebagian besar berdasarkan pemikiran filosofis; yang lainnya, berdasarkan bukti-bukti empiris; tetapi pada dasarnya semua teori tersebut sedikit menggabungkan keduanya. Tentu saja, bab ini menunjukkan bahwa teori yang baik harus berdasarkan keduanya, yaitu bukti ilmiah dan pemikiran imajinatif yang terkontrol.

Apakah yang Dimaksud dengan Kepribadian?Para psikolog mempunyai pandangan yang berbeda di antara mereka sendiri ketika mengartikan kepribadian. Sebagian besar dari mereka menyetujui bahwa kata “kepribadian” (personality) berasal dari bahasa Latin persona, mengacu pada topeng yang dipakai oleh aktor Romawi dalam pertunjukan drama Yunani. Para aktor Romawi kuno memakai topeng (persona) untuk memainkan peran atau penampilan palsu. Definisi ini, tentu saja, bukan definisi yang bisa diterima. Ketika psikolog menggunakan istilah “kepribadian”, mereka mengacu pada sesuatu yang lebih dari sekadar peran yang dimainkan seseorang.

Akan tetapi, para teoretikus kepribadian tidak setuju dengan definisi tunggal kepribadian. Mereka menyusun teori yang unik dan vital karena mereka memiliki pandangan yang berbeda mengenai sifat dasar manusia, dan karena masing-masing dari mereka melihat kepribadian dari sudut pandang pribadi. Para teoretikus kepribadian yang dibahas dalam buku ini mempunyai latar belakang yang beragam. Beberapa dari mereka lahir dan tinggal di

j Teori Kepribadian

Eropa selama hidup mereka; yang lainnya lahir di Eropa, namun bermigrasi ke bagian dunia lain terutama Amerika Serikat; yang lainnya lahir dan tinggal di Amerika Utara. Banyak dari mereka yang pemikirannya dipengaruhi oleh pengalaman religius pada awal kehidupan mereka; yang lainnya tidak. Sebagian besar, tetapi tidak semuanya, berpengalaman di bidang psikiatri atau psikologi. Banyak yang sudah berpengalaman sebagai psikoterapis; yang lainnya lebih mengandalkan penelitian empiris untuk mengumpulkan data kepribadian manusia. Walaupun mereka sudah berhubungan dengan apa yang kita sebut sebagai kepribadian melalui berbagai cara, masing-masing dari mereka mempunyai sudut pandang sendiri untuk melakukan pendekatan pada konsep global ini. Beberapa dari mereka sudah mencoba untuk menyusun teori yang komprehensif; yang lainnya hanya menyusun teori mengenai beberapa aspek dari kepribadian. Beberapa teoretikus sudah mendefinisikan kepribadian secara formal, tetapi dalam definisi tersebut masih terdapat pandangan dari mereka sendiri.

gp- Jr:I

■ ,f |: :* ' * f. :

Tidak ada dua orang yang sama, bahkan kem bar identik m em iliki kepribadian yang berbeda

Walaupun tidak ada definisi tunggal yang bisa diterima oleh semua teoretikus kepribadian, kita bisa mengatakan bahwa kepribadian adalah pola sifat dan karakteristik tertentu, yang relatif permanen dan memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada perilaku seseorang. Sifat (trait) merupakan faktor penyebab adanya perbedaan antarindividual dalam perilaku, konsistensi perilaku dari waktu ke waktu, dan stabilitas perilaku dalam berbagai situasi. Sifat bisa s'aja unik, sama pada beberapa kelompok manusia, atau dimiliki semua manusia, tetapi pola sifat pasti berbeda untuk masing-masing individu.

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian

Jadi masing-masing orang mempunyai kepribadian yang berbeda, walaupun memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan orang lain. Karakteristik (characteristic) merupakan kualitas tertentu yang dimiliki seseorang termasuk di dalamnya beberapa karakter seperti temperamen, fisik, dan kecerdasan.

Apakah yang Dimaksud dengan Teori?Kata “teori” adalah kata dalam bahasa Inggris yang penggunaannya sering kali tidak tepat dan disalahartikan. Beberapa orang membandingkan teori dengan kebenaran atau fakta, tetapi antitesis semacam itu menunjukkan kurangnya pemahaman mendasar akan tiga istilah tersebut. Dalam sains, teori merupakan alat yang digunakan untuk menghasilkan suatu penelitian dan mengatur observasi, sedangkan “kebenaran” atau “fakta” tidak mempunyai tempat dalam terminologi ilmiah.

Definisi TeoriTeori ilmiah adalah sekumpulan asumsi yangsaling berkaitan yang memungkinkan ilmuwan menggunakan pemikiran logika deduktif untuk merumuskan hipotesis yang bisa diuji. Definisi ini perlu penjelasan lebih lanjut. Pertama, teori adalah sekumpulan asumsi. Asumsi tunggal tidak akan bisa memenuhi semua persyaratan dari sebuah teori. Asumsi tunggal, contohnya, tidak bisa digunakan untuk mengintegrasikan beberapa observasi, sesuatu yang seharusnya bisa dipenuhi oleh sebuah teori.

Kedua, teori adalah sekumpulan asumsi yang saling berkaitan. Asumsi yang berdiri sendiri tidak mempunyai konsistensi internal dan tidak bisa digunakan untuk menghasilkan hipotesis yang signifikan—dua kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah teori.

Kata kunci ketiga dalam definisi tersebut adalah asumsi. Komponen-komponen dalam sebuah teori bukan merupakan fakta yang telah terbukti, dalam arti sudah terbukti kebenarannya. Komponen-komponen tersebut seolah-olah dianggap sebagai kebenaran. Ini adalah langkah praktis yang diambil agar ilmuwan bisa melakukan penelitian yang hasilnya bisa terus digunakan untuk mengembangkan dan memperbaiki teori awal.

Keempat, peneliti menggunakan pemikiran logika deduktif untuk merumuskan hipotesis. Prinsip-prinsip teori harus dinyatakan dengan tepat dan konsisten secara logis untuk memudahkan para ilmuwan menarik kesimpulan dari hipotesis yang sudah dirumuskan sebelumnya. Hipotesis bukanlah komponen dari sebuah teori, tetapi berasal dari teori tersebut. Ini merupakan tugas seorang ilmuwan yang imajinatif untuk memulai dari teori umum kemudian melalui pemikiran deduktif sampai pada sebuah hipotesis tertentu yang bisa diuji. Jika dalil-dalil teoretis umum tidak logis, maka teori itu tidak bisa digunakan untuk merumuskan hipotesis. Lebih lanjut, jika seorang peneliti menggunakan logika yang salah dalam menarik kesimpulan hipotesis, maka hasil penelitian tidak ada artinya dan tidak akan memberikan kontribusi pada proses rekonstruksi teori.

Bagian akhir dari definisi tersebut adalah bisa diuji. Sebuah hipotesis yang tidak bisa diuji tidak akan ada gunanya. Hipotesis memang tidak perlu segera diuji, tetapi harus

Teori Kepribadian

menggambarkan kemungkinan bisa diuji sehingga para ilmuwan di masa yang akan datang dapat mengembangkan cara-cara yang diperlukan untuk mengujinya.

Beberapa Konsep yang Berkaitan dengan TeoriManusia kadang-kadang mencampuradukkan teori dengan filsafat, pemikiran, hipotesis, atau taksonomi. Walaupun teori berkaitan dengan masing-masing konsep, teori tidak bisa disamakan dengan satu pun dari konsep tersebut.

FilsafatPertama, teori berkaitan dengan filsafat, tetapi dalam pengertian yang lebih sempit. Filsafat artinya kecintaan akan kebijaksanaan, dan filsuf adalah orang-orang yang mencari kebijaksanaan melalui pemikiran dan perenungan. Filsuf bukan ilmuwan, mereka tidak melakukan penelitian yang terkontrol untuk memperoleh kebijaksanaan. Filsafat memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya adalah epistemologi atau sifat dasar pengetahuan. Teori paling dekat kaitannya dengan epistemologi karena para ilmuwan sering kali menggunakannya untuk mencari pengetahuan.

Teori tidak berhubungan dengan “seharusnya” (ought) atau “sebaiknya” (should). Oleh karena itu, sekumpulan prinsip tentang bagaimana seseorang sebaiknya menjalani hidup tidak bisa disebut sebagai teori. Prinsip semacam itu melibatkan nilai-nilai dan mendapat perhatian penting dalam filsafat. Walaupun teori tidak terbebas dari nilai-nilai, tetapi teori dibangun dari bukti ilmiah yang diperoleh dari keadaan yang relatif tidak bias. Jadi, tidak ada teori yang menyatakan mengapa masyarakat sebaiknya membantu para tunawisma atau apa yang menyebabkan karya seni dianggap hebat.

Filsafat berhubungan dengan apa yang seharusnya atau apa yang sebaiknya; berbeda dengan teori. Teori berhubungan dengan sekumpulan besar pernyataan “jika -m aka” (if- then), tetapi kelebihan atau kekurangan yang terdapat dalam pernyataan tersebut berada di luar wilayah teori. Contohnya, sebuah teori mungkin menyatakan jika anak-anak dibesarkan dalam kondisi di mana benar-benar tidak ada kontak dengan manusia, m aka mereka tidak akan memiliki kemampuan berbahasa manusia, tidak memperlihatkan perilaku pengasuhan, dan sebagainya. Akan tetapi, pernyataan tersebut sama sekali tidak mengatakan tentang moralitas dari pengasuhan semacam itu.

PemikiranKedua, teori bergantung pada pemikiran atau spekulasi, tetapi mereka lebih dari sekadar pemikiran biasa. Mereka bukan berasal dari pikiran seorang pemikir besar yang terlepas dari pengamatan empiris. Mereka berkaitan erat dengan data yang dikumpulkan secara empiris dan juga dengan sains.

Apa hubungan atara teori dan sains? Sains (science) adalah cabang ilmu yang mengutamakan observasi dan klasifikasi data serta pembuktian hukum-hukum umum melalui pengujian hipotesis. Teori merupakan alat yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memberi makna dan mengatur observasi. Teori menyediakan lahan yang subur untuk

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian

menghasilkan hipotesis yang bisa diuji. Tanpa adanya teori yang mengatur observasi dan menunjukkan arah penelitian, maka sains tidak akan berkembang.

Teori bukan merupakan khayalan-khayalan tidak berguna yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana tidak praktis yang tidak mau berkecimpung dalam penelitian ilmiah. Sebenarnya, teori itu sendiri cukup praktis dan penting untuk kemajuan sains. Pemikiran dan observasi empiris adalah dua landasan penting untuk membangun sebuah teori, tetapi pemikiran tidak boleh dikemukakan sebelum adanya observasi yang terkontrol.

HipotesisWalaupun teori merupakan konsep yang ruang lingkupnya lebih sempit dari filsafat, teori adalah istilah yang maknanya lebih luas daripada hipotesis. Teori yang baik mampu menghasilkan banyak hipotesis. Hipotesis adalah perkiraan atau prediksi ilmiah yang cukup spesifik untuk bisa diuji validitasnya melalui metode ilmiah. Sebuah teori masih terlalu umum untuk bisa mengarahkan dirinya menuju sebuah pembuktian, tetapi satu teori yang komprehensif mampu menghasilkan ribuan hipotesis. Jadi, hipotesis lebih spesifik daripada teori. Akan tetapi, jangan mencampuradukkan hipotesis dengan teori.

Tentu saja, teori dan hipotesis saling berkaitan erat. Dengan menggunakan pemikiran deduktif (dari umum ke khusus), seorang peneliti dapat menarik hipotesis yang bisa diuji dari sebuah teori yang baik kemudian menguji hipotesis tersebut. Hasil dari pengujian ini—apakah mendukung atau membantah hipotesis—akan menjadi masukan bagi teori tersebut. Dengan menggunakan pemikiran induktif (dari khusus ke umum), peneliti akan memanfaatkan teori untuk menjelaskan hasil penelitian. Ketika teori berkembang dan berubah, teori dapat menghasilkan hipotesis lain, dan ketika hipotesis itu diuji maka hasilnya akan mengubah kembali teori tersebut.

TaksonomiTaksonomi adalah klasifikasi berbagai hal berdasarkan hubungan kekerabatannya. Taksonomi dianggap penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan karena tanpa klasifikasi data maka ilmu pengetahuan tidak akan mampu untuk berkembang. Akan tetapi, klasifikasi saja tidak akan membuatnya menjadi teori. Namun, taksonomi dapat berkembang menjadi teori ketika mulai menghasilkan hipotesis yang bisa diuji dan menjelaskan hasil penelitian. Contohnya, Robert McCrae dan Paul Costa memulai penelitian mereka dengan mengklasifikasikan manusia ke dalam lima sifat kepribadian yang menetap; kemudian klasifikasi ini menjadi teori serta mampu menghasilkan hipotesis dan menjelaskan hasil penelitian.

Mengapa Ada Banyak Teori yang Berbeda?Jika teori kepribadian benar-benar ilmiah, mengapa ada banyak teori yang berbeda? Munculnya banyak teori yang berbeda karena sifat dasar teori memperbolehkan seorang teoretikus untuk berspekulasi dari sudut pandang tertentu. Para teoretikus harus mampu berlaku seobjektif mungkin ketika mengumpulkan data, tetapi keputusan mengenai data apa

Teori Kepribadian

yang dikumpulkan dan bagaimana data diinterpretasikan adalah hak pribadi mereka. Teori bukan merupakan hukum-hukum yang kekal. Teori dibangun, bukan dari kenyataan yang sudah terbukti, tetapi dari asumsi-asumsi yang diinterpretasikan oleh individu.

Semua teori merupakan cerminan dari latar belakang penemunya, seperti pengalaman masa kecil, falsafah hidup, hubungan interpersonal, dan cara memandang dunia. Oleh karena observasi dipengaruhi oleh kerangka pikiran dari masing-masing pengamat, maka muncullah banyak teori yang berbeda. Meskipun demikian, teori-teori tersebut dapat dimanfaatkan. Manfaat dari sebuah teori tidak bergantung pada nilai rasionalnya atau pada kesesuaiannya dengan teori lainnya, namun lebih bergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan penelitian dan menjelaskan data hasil penelitian serta observasi lainnya.

Kepribadian Teoretikus dan Teori Kepribadian MerekaOleh karena teori kepribadian berkembang dari kepribadian para pembuat teori (teoretikus), maka studi tentang kepribadian mereka dianggap tepat. Beberapa tahun terakhir, cabang ilmu psikologi yang disebut psikologi sains (psychology o f science) telah mulai mempelajari sifat pribadi para ilmuwan. Psikologi sains mempelajari sains dan juga perilaku para ilmuwan; yaitu meneliti dampak psikologis seorang ilmuwan dan karakteristik pribadinya terhadap pengembangan teori ilmiah dan penelitiannya (Feist, 1993, 1994, 2006; Feist & Gorman, 1998; Gholson, Shadish, Neimeyer, & Houts, 1989). Dengan kata lain, psikologi sains mempelajari bagaimana kepribadian ilmuwan, proses kognitif, sejarah perkembangan, dan pengalaman sosial memengaruhi bidang ilmu yang mereka geluti dan teori yang mereka ciptakan. Beberapa peneliti (Hart, 1982; Johnson, Germer, Efran, & Overton, 1998; Simonton, 2000; Zachar & Leong, 1992) telah menunjukkan bahwa perbedaan kepribadian memengaruhi orientasi teoretis seseorang dan kecenderungan seseorang untuk mengarah pada sisi “keras” atau “lunak” dari suatu disiplin ilmu.

Sebuah pemahaman teori kepribadian bersandar pada informasi tentang latar belakang sejarah, sosial, dan psikologis masing-masing teoretikus pada saat ia menciptakan sebuah teori. Oleh karena kita percaya bahwa teori kepribadian menggambarkan kepribadian si teoretikus, maka kita sudah memasukkan informasi biografi yang cukup banyak untuk setiap teoretikus besar. Memang, perbedaan kepribadian di antara para teoretikus menjadi penyebab utama perbedaan pandangan antara mereka yang cenderung pada psikologi kuantitatif (pakar dalam hal perilaku, pembelajaran sosial, dan sifat) dan mereka yang cenderung pada psikologi klinis dan kualitatif (psikoanalis, humanis, dan eksistensialis).

Walaupun sebagian dari kepribadian teoretikus memengaruhi teori yang dihasilkannya, tidak seharusnya hal ini menjadi faktor penentu satu-satunya dari teori tersebut. Demikian juga, penerimaan Anda terhadap satu teori atau teori lainnya seharusnya tidak bergantung hanya pada nilai-nilai pribadi dan minat Anda. Ketika menilai dan memilih sebuah teori, Anda sebaiknya mengakui bahwa sejarah pribadi teoretikus memengaruhi teorinya, tetapi pada akhirnya Anda sebaiknya menilai sebuah teori berdasarkan kriteria ilmiah yang tidak bergantung pada sejarah pribadi seseorang. Beberapa pengamat (Feist, 2006; Feist & Gorman, 1998) telah membedakan antara sains sebagai proses dan sains sebagai produk. Proses ilmiah mungkin dipengaruhi oleh karakteristik pribadi teoretikus, tetapi manfaat akhir dari produk ilmiah harus dinilai secara terpisah dari proses ilmiahnya. Jadi, penilaian Anda terhadap

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian

masing-masing teori yang disajikan dalam buku ini sebaiknya lebih berdasarkan kriteria objektif daripada subjektif (suka atau tidak suka).

Apa yang Membuat Teori Bermanfaat?Sebuah teori yang bermanfaat memiliki interaksi yang dinamis dengan data hasil penelitian. Pertama, sebuah teori melahirkan beberapa hipotesis yang bisa diuji melalui penelitian untuk menghasilkan data penelitian. Data-data ini dimasukkan kembali ke dalam teori sehingga mengubah bentuk teori tersebut. Dari bentuk teori yang baru, peneliti dapat menarik hipotesis lain, mengujinya melalui penelitian baru dan menghasilkan tambahan data, yang pada akhirnya kembali mengubah bentuk dan memperluas teori. Siklus ini terus berlangsung selama teori terbukti bermanfaat.

Kedua, sebuah teori yang bermanfaat dapat mengubah data penelitian menjadi lebih dari sekadar data dan memberikan penjelasan tentang hasil penelitian ilmiah. Hubungan antara teori dengan data penelitian diperlihatkan dalam Figur 1.1. Ketika sebuah teori tidak lagi mampu menghasilkan penelitian lanjutan atau menjelaskan data penelitian yang terkait, maka teori tersebut kehilangan manfaatnya sehingga dikesampingkan dan diganti dengan teori lain yang lebih bermanfaat.

Selain untuk menstimulasi penelitian dan menjelaskan data penelitian, teori yang bermanfaat harus memperlihatkan kemungkinan untuk dikaji ulang, menyediakan panduan bagi para praktisi untuk meneliti, konsisten, dan memperoleh jawaban sesederhana mungkin. Oleh karena itu, teori-teori yang disajikan dalam buku ini sudah dievaluasi dengan menggunakan enam kriteria: (1) mengembangkan penelitian (2) dapat dikaji ulang(3) mengorganisasi pengetahuan (4) memberi panduan pemecahan masalah (5) konsistensi internal, dan (6) sederhana.

Mengembangkan PenelitianKriteria paling penting untuk menilai sebuah teori bermanfaat atau tidak adalah dari kemampuannya menstimulasi dan mengarahkan penelitian lebih lanjut. Tanpa adanya teori yang memadai untuk menunjukkan arah penelitian, banyak hasil penelitian secara empiris tidak diketahui penyebabnya. Dalam astronomi, contohnya, planet Neptunus ditemukan karena teori gerak (theory o f motion) menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwa ketidakteraturan bentuk garis edar Uranus kemungkinan besar disebabkan oleh adanya planet lain. Teori yang bermanfaat menunjukkan arah dan menuntun para astronom dalam mencari dan menemukan planet baru.

Teori yang bermanfaat akan menstimulus dua jenis penelitian: penelitian deskriptif (descriptive research) dan pengujian hipotesis (hypothesis testing). Penelitian deskriptif, yang dapat memperluas teori, menitikberatkan pada pengukuran, pemberian label, dan kategorisasi satuan yang dipakai dalam membangun teori. Penelitian deskriptif mempunyai hubungan simbiosis dengan teori. Di satu sisi, penelitian ini menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun teori, di sisi lain, penelitian ini berkembang dari teori yang dinamis dan luas. Semakin bermanfaat suatu teori maka semakin banyak penelitian yang dihasilkan dan semakin banyak pula jumlah penelitian deskriptifnya yang pada akhirnya semakin lengkap pula teorinya.

Teori Kepribadian

Jenis penelitian yang kedua adalah pengujian hipotesis, yang mengarah pada pembuktian tidak langsung dari manfaat suatu teori. Seperti yang sudah dibahas, teori yang bermanfaat akan menghasilkan banyak hipotesis yang ketika diuji maka menambah data yang akan mengubah bentuk dan memperluas teori. (Lihat lagi Figur 1.1)

FIGUR 1.1 ltiteraksi antara Teori, Hipotesis, Penelitian, dan Data Hasil Penelitian.

Dapat Dikaji UlangSebuah teori juga harus bisa dinilai dari kemampuannya untuk dikonfirmasi (confirmed) atau disangkal (disconfirmed), oleh karena itu teori harus bisa dikaji ulang (falsifiable). Untuk bisa diulang, sebuah teori harus cukup jelas untuk mengarahkan penelitian yang hasilnya bisa mendukung atau tidak mendukung prinsip utamanya. Jika sebuah teori terlalu samar dan tidak jelas, maka hasil penelitian, baik positif maupun negatif bisa diinterpretasikan sebagai hal yang mendukung teori. Akibatnya, teori tersebut tidak bisa diulang dan tidak bermanfaat lagi. Akan tetapi,falsifiability tidak sama dengan tidak benar (false); ini hanya berarti bahwa hasil penelitian yang negatif akan menyangkal teori dan memaksa teoretikusnya untuk membuang teori itu atau mengubahnya.

Teori yang falsifiable memengaruhi hasil eksperimen. Figur 1.1 memperlihatkan sebuah siklus yang saling menguatkan antara teori dan penelitian; masing-masing menjadi dasar untuk lainnya. Sains dibedakan dengan sesuatu yang bukan sains dari kemampuannya untuk menolak gagasan yang tidak didukung bukti empiris walaupun gagasan tersebut tampak logis dan rasional. Contohnya, Aristotle menggunakan logika dalam pernyataannya bahwa tubuh yang ringan akan jatuh dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan dengan tubuh yang berat. Walaupun pendapatnya “masuk akal”, terdapat satu kendala yaitu, secara empiris, pendapat ini salah.

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian

Teori yang sangat bergantung pada perubahan alam bawah sadar yang tidak bisa diamati akan semakin sulit untuk dibuktikan atau disangkal. Contohnya, teori Freud menyatakan bahwa banyak emosi dan perilaku kita, yang disebabkan oleh kecenderungan alam bawah sadar, yang berlawanan dengan perilaku yang kita perlihatkan. Misalnya, kebencian yang tidak disadari mungkin diekspresikan sebagai cinta yang disadari, atau ketakutan yang tidak disadari terhadap perasaan homoseksual yang terdapat dalam dirinya sendiri mungkin akan memunculkan permusuhan yang berlebihan terhadap kaum homoseksual. Oleh karena teori Freud memperbolehkan adanya perubahan/transformasi pada alam bawah sadar, maka hampir tidak mungkin untuk membuktikan atau menyangkal teori tersebut. Sebuah teori yang mampu menjelaskan semua hal tidak akan menjelaskan apapun.

Mengorganisasi PengetahuanTeori yang bermanfaat seharusnya juga mampu mengorganisasi pengetahuan yang saling bertentangan. Tanpa pengorganisasian dan kategorisasi, hasil penelitian tidak akan ada artinya dan dibiarkan begitu saja. Kecuali data diolah menjadi kerangka pikir yang dapat dipahami, peneliti tidak akan mempunyai arah yang jelas untuk diikuti dalam mencari pengetahuan lebih lanjut. Mereka tidak dapat membuat pertanyaan tanpa adanya kerangka teoretis yang mendasari informasi yang mereka peroleh. Tanpa adanya pertanyaan, maka penelitian lebih lanjut sulit untuk dilakukan.

Teori kepribadian yang bermanfaat harus mampu menyatukan dari apa yang sudah diketahui tentang perilaku manusia dengan perkembangan kepribadian. Teori ini harus mampu mengubah sebanyak mungkin informasi menjadi kerangka pikir yang lebih bermakna. Jika teori kepribadian tidak memberikan penjelasan yang masuk akal tentang perilaku tertentu, maka teori tersebut menjadi tidak bermanfaat.

Panduan Pemecahan MasalahKriteria keempat untuk teori yang bermanfaat adalah kemampuannya untuk memandu praktisi menghadapi permasalahan sehari-hari yang sulit. Contohnya, para orang tua, guru, manajer bisnis, dan psikoterapis sering dihadapkan pada banyak pertanyaan di mana mereka mencoba untuk menemukan jawabannya. Teori yang baik menyediakan petunjuk untuk menemukan jawaban-jawaban tersebut. Tanpa teori yang bermanfaat, praktisi akan terjebak dalam teknik coba-salah (trial and error); dengan orientasi teoretis yang baik, mereka bisa menentukan tindakan tepat yang harus dilakukan.

Untuk psikoanalis Freudian dan terapis Rogerian, jawaban atas pertanyaan yang sama akan sangat berbeda. Untuk pertanyaan “Bagaimana aku bisa memberikan perawatan terbaik untuk pasien ini?” terapis psikoanalisis akan menjawab dengan: Jika psikoneurosis disebabkan oleh konflik seksual di masa kecil yang telah masuk ke alam bawah sadar, m aka cara terbaik bagi saya untuk membantu pasien ini adalah dengan mempelajari represi-represi tersebut dan membiarkan pasien mengulang kembali pengalaman-pengalamannya tanpa adanya konflik yang hadir. Untuk pertanyaan yang sama, terapis Rogerian akan menjawab: Jika, untuk bisa dewasa secara psikologis manusia membutuhkan empati, perhatian positif yang tidak bersyarat, dan hubungan yang seimbang dengan terapis, maka cara terbaik bagi saya untuk membantunya adalah

Teori Kepribadian

dengan menciptakan kondisi yang membuatnya nyaman dan tidak merasa terancam. Perhatikan bahwa kedua terapis menjawab dalam kerangka jika -m aka (if-then), walaupun kedua jawaban tersebut menyebutkan dua tindakan yang berbeda.

Juga termasuk dalam kriteria ini adalah bagaimana sebuah teori menstimulasi gagasan dan tindakan dalam disiplin ilmu lainnya, seperti seni, sastra (termasuk film dan drama televisi), hukum, sosiologi, filsafat, agama, pendidikan, administrasi bisnis, dan psikoterapi. Sebagian besar teori yang dibahas dalam buku ini sudah memengaruhi wilayah lain di luar psikologi. Contohnya, teori Freud telah mendorong penelitian tentang pemulihan ingatan (recovered memories), sebuah topik yang sangat penting bagi para pengacara. Juga, teori Carl Jung menarik minat para ahli agama dan merebut perhatian para penulis populer, seperti Joseph Campbell dan lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada teori Alfred Adler, Erik Erikson, B. F. Skinner, Abraham Maslow, Carl Rogers, Rollo May, dan teoretikus kepribadian lainnya yang telah menarik minat dan perhatian bidang-bidang ilmu lainnya.

Konsistensi InternalSebuah teori yang bermanfaat tidak perlu konsisten dengan teori lain, tetapi teori ini harus konsisten dengan dirinya sendiri. Teori yang konsisten secara internal adalah teori yang komponen-komponennya memiliki kemiripan secara logis. Batasan terhadap ruang lingkupnya ditentukan dengan hati-hati dan karena itu tidak memberikan penjelasan di luar dari ruang lingkupnya. Teori yang memiliki konsistensi internal juga menggunakan bahasa yang konsisten; yaitu, teori tersebut tidak menggunakan istilah yang sama untuk dua hal berbeda atau menggunakan dua istilah berbeda untuk konsep yang sama

Teori yang baik akan menggunakan konsep dan istilah yang sudah didefinisikan secara operasional dan jelas. Definisi operasional adalah definisi yang menentukan satuan dalam hal perilaku dan peristiwa teramati yang bisa diukur. Contohnya, ekstrover (extrovert) bisa didefinisikan secara operasional sebagai tiap orang yang mencapai skor tertentu, yang sudah ditetapkan sebelumnya, dalam sebuah tes kepribadian.

Sederhana(Parsimonious)Ketika dua teori mempunyai kesamaan dalam hal kemampuannya untuk menghasilkan penelitian, dapat disangkal, memberi makna pada data, memandu praktisi, dan mempunyai konsistensi internal, ternyata teori yang lebih sederhana lebih disukai. Ini adalah hukum parsim ony. Pada kenyataannya, tentu saja, dua teori tidak pernah tepat sama dalam kriteria- kriteria ini, tetapi secara umum, teori yang sederhana dan langsung pada masalah lebih bermanfaat daripada teori dengan konsep yang rumit dan bahasa yang esoteris (hanya dipahami oleh kalangan tertentu).

Dalam membangun teori kepribadian, psikolog sebaiknya mulai dari skala terbatas dan menghindari untuk menyamaratakan semua perilaku manusia. Tindakan seperti ini dilakukan oleh sebagian besar teoretikus yang dibicarakan dalam buku ini. Contohnya, Freud mulai dengan teori yang banyak didasarkan pada hysterical neuroses dan, setelah bertahun-tahun, secara bertahap memperluasnya agar bisa mencakup lebih banyak aspek dari kepribadian.

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian

Dimensi-dimensi Konsep Kemanusiaan

Teori-teori kepribadian berbeda satu sama tain dalam hal yang m enyangkut sifat dasar manusia. Setiap teori kepribadian mencerm inkan asumsi penulisnya tentang kemanusiaan. Asumsi-asumsi ini bersandar pada beberapa dimensi yang memisahkan beragam teori kepribadian. Dari beberapa dimensi, kita hanya menggunakan enam dimensi sebagai

kerangka untuk m emandang konsep kemanusiaan dari m asing-m asing teori.

Dimensi pertama adalah determ inism e versus kebebasan m em ilih (determinism versus free choice). Apakah perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang tidak bisa mereka kendalikan, atau dapatkah manusia memilih untuk menjadi apa yang mereka harapkan? Dapatkah dalam waktu yang bersamaan, sebagian dari mereka bebas berperilaku dan sebagian lagi ditentukan? Walaupun dimensi determ inisme versus kebebasan memilih ini lebih bersifat filosofis daripada ilmiah, posisi yang diambil oleh teoretikus terhadap persoalan ini m embentuk pandangan mereka terhadap manusia dan memengaruhi konsep kemanusiaan mereka.

Pandangan kedua adalah pesim ism e versus optim ism e (pessim ism versus optimism). Apakah manusia ditakdirkan untuk hidup sengsara, penuh konflik, bermasalah, atau dapatkah mereka berubah dan berkembang menjadi manusia yang sehat secara psikologis, bahagia, dan sepenuhnya menjadi manusia? Secara umum, teoretikus kepribadian yang percaya pada determ inisme cenderung menjadi pesim is (Skinner adalah pengecualian khusus), dan mereka yang percaya pada kebebasan memilih biasanya menjadi optimis.

Dimensi ketiga untuk memandang konsep kemanusiaan dari teoretikus adalah kausalitas versus teleologi (causality versus teleology). Secara singkat, kausalitas menyatakan bahwa perilaku adalah hasil dari pengalaman di masa lalu, di mana te leologi menjelaskan perilaku dari sudut pandang tujuan atau maksud di masa depan. Apakah manusia bertindak seperti yang mereka lakukan karena apa yang sudah terjadi pada mereka di masa lalu, atau karena mereka punya harapan-harapan tertentu terhadap apa yang akan terjadi di masa depan?

Pertimbangan keempat yang membedakan para teoretikus kepribadian adalah sikap mereka terhadap perilaku yang disadari atau tidak disadari (conscious versus unconscious determ inant o f behavior). Apakah manusia biasanya menyadari apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya, atau apakah dorongan alam bawah sadar telah memengaruhi dan mengendalikan mereka untuk bertindak tanpa menyadari adanya dorongan-dorongan ini?

Pertanyaan kelima adalah pengaruh biologis versus pengaruh sosial pada kepribadian

(biological versus social influences on personality). Apakah sebagian besar manusia

adalah m akhluk biologis, atau apakah kepribadian mereka dibentuk oleh hubungan sosiat

m ereka? Unsur yang lebih spesifik dalam masalah ini adalah keturunan versus lingkungan (heredity versus environment), yaitu apakah karakteristik pribadi lebih m erupakan faktor keturunan atau dibentuk oleh lingkungannya?

Masalah keenam adalah keunikan versus kesamaan (uniqueness versus similarity). Apakah ciri yang menonjol dari manusia adalah individualitas mereka ataukah karakteristik umum mereka? Apakah sebaiknya kajian kepribadian berfokus pada sifat-sifat yang membuat manusia tampak serupa, atau apakah sebaiknya berfokus pada sifat-sifat yang membuat manusia tampak berbeda?

Persoalan-persoalan tersebut dan persoalan lainnya yang membedakan para teoretikus kepribadian telah menghasilkan teori kepribadian yang benar-benar berbeda, tidak hanya berbeda dalam hal term inologi saja. Kita tidak bisa m enghapus perbedaan antara

| Teori Kepribadian

teori-teori kepribadian dengan menggunakan bahasa yang umum. Perbedaannya terlalu filosofis dan mendalam. Setiap teori kepribadian mencerm inkan kepribadian individu pembuatnya, dan pembuatnya mempunyai orientasi filosofis khusus, yang sebagian dibentuk oleh pengalaman masa kecil, urutan kelahiran, gender, pelatihan, pendidikan, dan pola hubungan interpersonal. Perbedaan-perbedaan ini membantu kita menentukan apakah teoretikus tersebut determ inis atau penganut kebebasan memilih, pesim is atau optim is, mengambil penjelasan kausal atau teleologis. Perbedaan ini juga membantu kita mengetahui apakah teoretikus tersebut menekankan kesadaran atau ketidaksadaran, faktor biologis atau sosial, keunikan atau kesamaan manusia. Perbedaan-perbedaan ini, bagaimana pun, tidak membantah kemungkinan bahwa dua teoretikus yang mempunyai sudut pandang berbeda terhadap kemanusiaan, secara ilmiah, memiliki kesamaan dalam hal pengumpulan data dan pembangunan teori.

Penelitian Teori KepribadianSeperti sudah kita ketahui sebelumnya, kriteria utama suatu teori yang bermanfaat adalah kemampuannya menghasilkan penelitian. Kita juga mengetahui bahwa teori dan data penelitian mempunyai hubungan berkesinambungan: teori memberi makna pada data dan data berasal dari penelitian eksperimental yang dibuat untuk menguji hipotesis yang berasal dari teori. Namun, tidak semua data berasal dari penelitian eksperimental. Banyak di antaranya berasal dari observasi yang kita buat setiap hari. Observasi artinya hanya memperhatikan sesuatu atau memberi perhatian pada sesuatu.

Anda telah melakukan pengamatan pada kepribadian manusia hampir sepanjang hidup Anda. Anda memperhatikan bahwa beberapa orang suka bicara dan ramah; yang lainnya pendiam dan bersikap hati-hati. Anda mungkin sudah memberi mereka label sebagai ekstrover atau introver. Apakah pelabelan ini akurat? Apakah seseorang yang ekstrover sama seperti ekstrover lainnya? Apakah seorang ekstrover selalu banyak bicara dan bersikap ramah? Dapatkah semua orang dikategorikan sebagai introver atau ekstrover?

Ketika Anda mengamati dan mengajukan pertanyaan, Anda melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan para psikolog, yaitu mengamati perilaku manusia dan mencoba mencari jawaban dari hasil pengamatan ini. Namun, psikolog, seperti ilmuwan lainnya, mencoba untuk sistematis sehingga prediksi mereka konsisten dan akurat.

Untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memprediksi, psikolog kepribadian sudah mengembangkan teknik penilaian (assessment), termasuk inventori kepribadian. Banyak dari penelitian yang ditampilkan pada bab-bab selanjutnya dalam buku ini menggunakan prosedur penilaian yang beragam, yang bertujuan untuk mengukur dimensi- dimensi yang berbeda dari kepribadian. Alat-alat pengukuran ini harus dapat diandalkan dan valid supaya dapat digunakan. Reliabilitas alat pengukuran adalah tingkat di mana alat ukur tersebut memberikan hasil yang konsisten.

Inventori kepribadian bisa diandalkan tetapi kurang valid atau akurat. Validitas adalah tingkat di mana suatu alat mengukur apa yang seharusnya diukur. Psikolog kepribadian sangat menaruh perhatian pada dua jenis validitas—validitas konstruk dan validitas prediktif. Validitas konstruk adalah tingkat di mana sebuah alat mengukur beberapa konsep hipotetis.

Bab 1 Pengantar Teori Kepribadian

Konsep-konsep seperti extraversi, agresivitas, kecerdasan, dan stabilitas emosi tidak mempunyai bentuk nyata; mereka adalah konsep hipotetis yang dihubungkan dengan perilaku yang dapat diamati. Tiga jenis validitas konstruk yang penting adalah validitas konvergen, validitas divergen, dan validitas diskriminan. Sebuah alat pengukuran dikatakan mempunyai validitas konvergen ketika skor pada alat tersebut memiliki korelasi yang tinggi dengan nilai-nilai pada beragam alat pengukuran lain untuk konstruk yang sama. Contohnya, inventori kepribadian yang ditujukan untuk mengukur ekstraversi harus berkorelasi dengan pengukuran ekstraversi lainnya atau faktor-faktor lain seperti sosiabilitas dan asertivitas, yang diketahui berada dalam satu kelompok dengan ekstraversi. Suatu inventori memiliki validitas divergen jika berkorelasi rendah atau tidak signifikan dengan inventori lain yang tidak mengukur konstruk tersebut. Sebagai contoh, inventori untuk mengukur ekstraversi tidak boleh memiliki korelasi yang tinggi dengan keinginan sosial, stabilitas emosi, kejujuran, atau harga diri. Hal yang terakhir, inventori memiliki validitas diskriminan jika mampu membedakan antara dua kelompok manusia yang diketahui sudah mempunyai perbedaan. Misalnya, inventori kepribadian yang mengukur ekstraversi harus menghasilkan skor yang lebih tinggi bagi seseorang yang diketahui ekstrover daripada seseorang yang diketahui introver.

Dimensi kedua dari validitas adalah validitas prediktif, di mana suatu tes dilakukan untuk memprediksi perilaku yang akan datang. Contoh, sebuah tes ekstraversi mempunyai validitas prediktif bila berkorelasi dengan perilaku di masa depan, seperti merokok, berprestasi baik dalam tes akademik, pengambilan risiko, atau kriteria independen lainnya. Nilai akhir dari setiap alat ukur adalah tingkat di mana alat ukur tersebut bisa memprediksi beberapa perilaku atau kondisi di masa depan.

Pada awalnya, sebagian besar teoretikus kepribadian tidak menggunakan inventori penilaian yang terstandarisasi. Walaupun Freud, Adler, dan Jung mengembangkan beberapa teknik untuk memprediksi, tidak ada satu pun dari mereka menggunakan teknik yang cukup akurat untuk menentukan reliabilitas dan validitasnya. Akan tetapi, teori-teori Freud, Adler dan Jung telah menghasilkan sejumlah inventori kepribadian yang terstandarisasi sejak para peneliti dan ahli klinis mencoba untuk mengukur unit-unit kepribadian yang dikemukakan oleh para teoretikus tersebut. Kemudian, teoretikus kepribadian yang lain, terutama Julian Rotter, Hans Eysenck dan teoretikus Five-Factor mengembangkan dan menggunakan beberapa alat ukur kepribadian dan sangat mengandalkan alat tersebut untuk membangun

model teoretis mereka.

Istilah dan Konsep PentingIstilah “kepribadian” berasal dari bahasa Latin persona, atau topeng yang dipakai orang untuk menampilkan dirinya pada dunia luar, tetapi psikolog memandang kepribadian

lebih dari sekadar penampilan luar.

Kepribadian meliputi semua sifat atau karakteristik yang relatif permanen yang

menyebabkan konsistennya perilaku manusia.

Teori Kepribadian

Teori adalah sekumpulan asumsi yang saling berhubungan yang memungkinkan ilmuwan untuk merumuskan hipotesis yang bisa diuji.

Teori tidak boleh dicampuradukkan dengan filsafat, pemikiran, hipotesis atau taksonomi, walaupun teori berkaitan dengan masing-masing dari mereka.

Enam kriteria yang menentukan manfaat dari sebuah teori ilmiah adalah: (1) Apakah sebuah teori mampu mengembangkan penelitian? (2) Apakah sebuah teori dapat dikaji ulang? (3) Apakah sebuah teori dapat mengorganisasi pengetahuan7 (4) Apakah sebuah teori memberikan solusi praktis untuk masalah sehari-hari7 (5) Apakah sebuah teori konsisten secara internal7 dan (6) Apakah sebuah teori sederhana atau parsimonious7

Setiap teoretikus kepribadian telah memiliki konsep kemanusiaan, baik secara implisit ataupun eksplisit.

Konsep sifat dasar manusia dapat dikaji dari enam sudut pandang: (1) determinisme versus kebebasan memilih, (2) pesimisme versus optimisme, (3) kausalitas versus teleologi,(4) kesadaran versus ketidaksadaran, (5) fak tor biologis versus fak tor sosial, dan (6) keunikan versus kesam aan pada manusia.

BAGIAN DUA

TeoriPs ikodinamikaBab 2 Freud

Psikoanalisis 18

Bab 3 A dler

Psikologi Individual 75

Bab 4 Jung

Psikologi Analitis 115

Bab 5 Klein

Teori Relasi Objek 159

Bab 6 H om ey

Teori Psikoanalisis Sosial 191

Bab 7 Fromm

Psikoanalisis Humanistis 223

Bab 8 Sullivan

Teori Interpersonal 253

Bab 9 Erikson 287

Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian)

Bab 2

Freud: Psikoanalisis

• Gambaran Umum Teori Psikoanalisis• Biografi Sigmund Freud• Tingkat Kehidupan Mental

Alam Tidak SadarAlam Bawah Sadar Alam Sadar

• Wilayah Pikiran IdEgoSuperego

• Dinamika KepribadianDorongan-dorongan

SexAgresi

Kecemasan• Mekanisme Pertahanan

RepresiPembentukan ReaksiPengalihanFiksasiRegresiProyeksiIntroyeksiSublimasi

• Tahap Perkembangan Periode Infantil

Fase Ora]Fase Anal Fase Falik

Oedipus Complex pada Laki-laki Oedipus Complex pada Perempuan

Periode Laten

?!

Freud

Periode Genital Kematangan

• Penerapan Teori Psikoanalisis Teknik Terapeutik Awal FreudTeknik Terapeutik Freud yang Berkembang

Kemudian Analisis Mimpi Freudian Slips

• Penelitian Terkait Proses Mental Tidak sadar Kesenangan dan Id: Halangan dan Ego Represi, Halangan, dan Mekanisme

Pertahanan Penelitian tentang Mimpi

• Kritik Terhadap FreudApakah Freud memahami Wanita?Apakah Freud Seorang Ilmuwan

• Konsep Kemanusiaan• Istilah dan Konsep Penting

:!& *

H i

Bab 2 Freud: Psikoanalisis |

Dari dulu hingga sekarang, orang mencari obat ampuh dan mujarab untuk mengurangi rasa sakit atau meningkatkan ‘kemampuan’. Salah satu orang yang melakukan

pencarian tersebut adalah seorang dokter muda yang ambisius yang percaya bahwa dirinya berhasil menemukan obat yang memiliki segala manfaat luar biasa tersebut. Oleh karena obat itu dikabarkan berhasil memompa energi para serdadu yang jatuh kelelahan, maka si dokter memutuskan untuk memberikan obat tersebut ke sejumlah pasien, rekan kerja, dan temannya. Jika obat itu benar bekerja seperti yang ia harapkan, maka ia akan mendapatkan ketenaran yang selama ini diinginkannya.

Setelah mengetahui bahwa obat itu juga ampuh untuk penyakit jantung, kelelahan syaraf, kecanduan alkohol dan morfin, serta masalah psikologis dan fisiologis lainnya, maka si dokter memutuskan untuk mencoba obat itu pada dirinya sendiri. Ia merasa cukup puas dengan hasilnya. Bagi si dokter, Obat ini memiliki aroma yang menyenangkan dan menimbulkan efek yang tidak biasa pada bibir dan mulut. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah, efek terapeutik dari obat ini membantunya mengatasi depresi berat yang dialaminya. Dalam surat untuk tunangannya, yang sudah setahun tak ia jumpai, sang dokter menceritakan bahwa ketika ia terakhir kali mengalami depresi berat, ia mengonsumsi obat tersebut dalam jumlah sedikit dan hasilnya luar biasa. Ia menulis bahwa jika nanti mereka ‘bersama’, ia akan menjadi laki-laki ‘liar, akibat obat tersebut. Ia juga memberitahu tunangannya bahwa ia berniat memberinya sedikit obat untuk membuatnya ‘kuat’ dan membantunya menambah berat badan.

Dokter muda itu kemudian menulis pamflet yang menjabarkan manfaat obat tersebut, tetapi ia belum menuntaskan eksperimen yang diperlukan untuk mengetahui kegunaan obat itu sebagai analgesik. Ia menunda eksperimennya karena ia sudah tidak sabar untuk berjumpa dengan tunangannya. Sementara ia berkunjung, rekannya—dan bukan ia— menyelesaikan eksperimen, memublikasikan hasilnya, dan mendapatkan pengakuan yang selama ini diidam-idamkan oleh si dokter.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1884; obat tersebut adalah kokain; dokter muda itu adalah Sigmund Freud.

Gambaran Umum Teori PsikoanalisisFreud, tentunya, sangat beruntung karena namanya tidak selalu dihubungkan dengan kokain. Justru namanya terkait erat dengan psikoanalisis, salah satu teori kepribadian yang paling kondang.

Apa yang membuat teori Freud begitu menarik? Pertama, dua batu pijakan psikoanalisis, yaitu seks dan agresi merupakan dua hal yang terus populer. Kedua, oleh pengikutnya yang antusias juga setia, di mana sebagian dari mereka menganggap Freud sebagai tokoh pahlawan yang kesepian seperti dalam mitos, membuat teori ini tersebar luas melampaui kota asalnya, Wina. Ketiga, kepiawaian Freud berbahasa membuat penyajian teorinya begitu inspiratif dan hidup.

Pemahaman Freud tentang kepribadian manusia dibangun berdasarkan pengalamannya dengan sejumlah pasien, analisis terhadap mimpinya sendiri, dan bacaannya yang luas

Teori Kepribadian

dalam bidang ilmu pengetahuan dan humaniora. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi data dasar untuk mengembangkan teorinya. Bagi Freud, teori berkembang mengikuti kemajuan observasi, dan konsep kepribadiannya terus-menerus ia revisi selama 50 tahun terakhir hidupnya. Sekalipun psikoanalisis terus-menerus berevolusi, Freud bersikeras bahwa psikoanalisis tidak menggabung-gabungkan berbagai pembahasan yang berbeda (eclectisme), dan para pengikut yang bergeser dari ide-ide dasarnya lantas dikucilkan Freud, baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi.

Sekalipun Freud memandang dirinya sebagai ilmuwan, definisinya tentang sains agaknya berbeda dengan kebanyakan psikolog saat ini. Freud lebih mengandalkan penalaran deduktif ketimbang metode penelitian yang ketat, dan observasi ia lakukan secara subjektif terhadap sampel pasien yang jumlahnya terbatas yang kebanyakan berasal dari kelas menengah atas juga kelas atas. Ia tidak menghitung data yang diperolehnya ataupun melakukan observasi dalam kondisi tertentu. Ia hampir selalu menggunakan pendekatan studi kasus serta kerap merumuskan hipotesis setelah seluruh fakta terkumpul.

Biografi Sigmund FreudSigismund (Sigmund) Freud kemungkinan lahir tanggal 6 Maret atau 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia, yang kini jadi bagian dari Republik Ceko. (Para cendekia bersilang pendapat tentang tanggal lahirnya—tanggal yang pertama disebut, yaitu delapan bulan setelah pernikahan orang tuanya.) Freud adalah anak sulung dari Jacob dan Amalie Nathanson Freud, meskipun sang ayah telah memiliki dua anak laki-laki dewasa, Emanuel dan Phillipp, dari pernikahan sebelumnya. Jacob dan Amelie Freud mempunyai tujuh anak lagi dalam kurun waktu sepuluh tahun, tetapi Sigmund selalu menjadi kesayangan ibunya, yang masih belia dan serba memanjakan, yang secara tidak langsung membuat dirinya berkembang menjadi pribadi yang percaya diri sepanjang hidupnya (E. Jones, 1953). Sebagai remaja yang serba serius dan ‘anak sekolahan’ Freud tidak memiliki persahabatan yang erat dengan adik- adiknya. Akan tetapi, ia menikmati hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang dengan sang ibu sehingga di tahun-tahun berikutnya ia melihat hubungan ibu dan anak sebagai hubungan yang paling sempurna dan paling jelas di antara semua hubungan antarmanusia (Freud, 1933/1964).

Ketika Freud berusia tiga tahun, kedua keluarga Freud meninggalkan Freiberg. Keluarga Emanuel dan Philipp pindah ke Inggris, sedangkan keluarga Jacob Freud pindah ke Leipzig kemudian ke Wina. Ibukota Austria ini menjadi tempat tinggal Freud selama hampir delapan puluh tahun, sampai tahun 1938 ketika masuknya Nazi memaksanya pindah ke London, tempat ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 23 September 1939.

Pada saat Freud berusia satu setengah tahun, ibunya melahirkan putra kedua, Julius, yang memberi dampak berarti pada perkembangan kejiwaan Freud. Sikap Sigmund terhadap adik laki-lakinya dipenuhi amarah, yang membuatnya diam-diam berharap adiknya meninggal dunia. Ketika Julius meninggal dunia di usia enam bulan, Sigmund merasa amat bersalah karena menyebabkan adiknya berpulang. Ketika Freud memasuki usia paruh baya, ia mulai

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

memahami bahwa keinginannya itu tidak membuat adiknya meninggal dunia dan anak- anak kerap punya keinginan akan kematian adik kandungnya. Penemuan ini membebaskan Freud dari rasa bersalah yang selama ini ia pikul dari kecil hingga dewasa dan analisis tersebut memberi kontribusi pada perkembangan kejiwaannya di kemudian hari (Freud, 1990/1953).

Freud terpikat oleh bidang kedokteran bukan karena ia jatuh cinta dengan praktik kedokteran, tetapi karena ia memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang sifat manusia (Ellenberger, 1970). Ia masuk ke Sekolah Kedokteran Universitas Wina (University of Vienna Medical School) tanpa berniat untuk mempraktikkan kedokteran. Ia justru lebih tertarik mengajar dan melakukan penelitian fisiologi, yang ia lanjutkan sekalipun ia sudah lulus dari Institut Fisiologi (Physiological Institute) di universitas tersebut.

Bisa jadi Freud akan terus menekuni pekerjaannya itu apabila tidak ada dua faktor berikut. Pertama, ia meyakini (barangkali dengan sederetan pembenaran) bahwa, sebagai seorang Yahudi, kesempatannya untuk maju di bidang akademis terbatas. Kedua, kemampuan ayahnya, yang selama ini membiayai sekolah kedokterannya, menyediakan dukungan keuangan semakin menurun. Dengan enggan, Freud meninggalkan dunia laboratorium dan mempraktikkan ilmu kedokteran. Ia bekerja selama tiga tahun di Rumah Sakit Umum Wina (General Hospital of Vienna), menggeluti praktik berbagai cabang ilmu kedokteran, termasuk psikiatri dan penyakit syaraf (Freud, 1925/1959).

Pada tahun 1885, ia mendapatkan hibah untuk melakukan perjalanan dari Universitas Wina (University of Vienna) dan memutuskan untuk belajar di Paris pada neurolog Prancis terkemuka Jean-Martin Charcot. Selama empat bulan bersama Charcot, ia belajar teknik hipnotis untuk menangani histeria, kelainan yang umumnya ditandai dengan kelumpuhan atau kelainan fungsi organ-organ tubuh tertentu. Melalui hipnosis, Freud mengetahui penyebab psikogenis dan seksual dari gejala-gejala histeria.

Ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran, Freud membangun hubungan profesional dan pribadi yang erat dengan Josef Breuer, dokter terkenal asal Wina yang berusia empat belas tahun lebih tua dari Freud dan memiliki reputasi keilmuan yang layak diperhitungkan (Ferris, 1997). Breuerlah yang mengajarkan katarsis pada Freud, yaitu proses menghilangkan gejala histeria dengan cara “mengungkapkannya”. Sembari menggunakan katarsis, Freud secara bertahap dan penuh keuletan menemukan teknik asosiasi bebas {free association technique), yang segera menggantikan posisi hipnosis sebagai teknik terapeutik utamanya.

Semenjak awal masa remaja, Freud jelas-jelas bermimpi membuat penemuan yang monumental dan meraih ketenaran (Newton, 1995). Dalam beberapa kesempatan selama tahun 1880-an dan 1890-an, dirinya yakin bahwa ia berada di penghujung penemuan yang ia idam-idamkan tersebut. Kesempatan pertama untuk mendapatkan pengakuan muncul di tahun 1884-1885 ketika ia bereksperimen dengan kokain, seperti yang telah dipaparkan di

bagian awal Bab ini.

Kesempatan kedua Freud menggapai ketenaran datang tahun 1886 sekembalinya dari Paris, di mana ia belajar dari Charcot mengenai histeria laki-laki. Ia berasumsi bahwa pengetahuan ini akan membuat dirinya dihormati dan diakui oleh Komunitas Imperial Kedokteran Wina (Imperial Society of Physicians of Vienna), yang ia kira akan terpukau

Teori Kepribadian

dengan pengetahuan seorang Dr. Freud muda tentang histeria laki-laki. Dunia kedokteran selama ini meyakini bahwa histeria adalah kelainan yang terjadi hanya pada perempuan karena asal katanya sama dengan rahim dan diakibatkan “rahim nyasar” di mana rahim berpindah ke sepanjang tubuh perempuan dan menyebabkan berbagai organ mengalami kelainan fungsional. Akan tetapi, pada tahun 1886, pada saat Freud menyampaikan makalah tentang histeria laki-laki di depan Komunitas tersebut, kebanyakan dokter yang hadir sudah akrab dan mengenali kelainan itu sebagai histeria laki-laki. Oleh karena harapan yang tinggi akan orisinalitas dan makalah Freud sekadar mengulang sesuatu yang sudah diketahui banyak orang, respons dari para dokter Wina terhadap presentasinya tidaklah sesuai dengan angan-angan Freud. Selain itu, pujian terus-menerus dari Freud kepada Charcot, yang adalah orang Prancis, menyebabkan para dokter Wina merespons dengan dingin. Sayang sekali, dalam kajian autobiografinya, Freud (1925/1959) justru mengungkapkan cerita yang sama sekali berbeda, menyebut makalahnya diterima dengan baik karena para anggota komunitas tersebut, baru memahami konsep histeria laki-laki. Pemaparan Freud atas peristiwa ini, yang belakangan diketahui sebagai sebuah kesalahan, sempat bertahan selama beberapa tahun, dan menurut Sulloway (1992), ini merupakan satu dari sekian banyak fiksi yang dibangun Freud dan pengikut-pengikutnya untuk memitoskan psikoanalisis dan menggambarkan si penemu teori ini sebagai seorang pahlawan yang kesepian.

Sigmund Freud bersama dengan putrinya, Anna, yang juga seorang psikoanalisis

Kecewa karena gagal meraih ketenaran dan sangat terpengaruh oleh adanya perasaan (mengakui juga menampik) dalam menanggapi sanggahan profesional atas pembelaannya terhadap kokain dan keyakinannya terhadap seks sebagai penyebab neurosis, Freud merasakan adanya kebutuhan untuk mendekatkan diri pada kolega yang lebih dihormati lagi. Ia kemudian beralih pada Breuer, rekannya selama menjadi mahasiswa kedokteran dan dengannya ia memiliki hubungan pribadi dan profesional yang terus berlanjut. Breuer

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

berdiskusi dengan Freud secara terperinci tentang kasus Anna O, seorang gadis muda yang belum pernah Freud temui. Kasus di mana Breuer telah menghabiskan banyak waktu untuk merawat histeria yang diderita gadis itu beberapa tahun yang lalu. Akibat penolakan Imperial Society of Physicians of Vienna dan keinginannya membangun reputasi, Freud mendesak Breuer untuk berkolaborasi dengannya memublikasikan kasus Anna O dan beberapa kasus histeria lainnya. Akan tetapi, Breuer sendiri tidak seantusias Freud, yang lebih muda dan lebih revolusioner, untuk memublikasikan kajian lengkap tentang histeria berdasarkan segelintir kasus. Ia juga tidak sepakat dengan pandangan Freud tentang pengalaman seksual di masa kanak-kanak sebagai sumber histeria pada orang dewasa. Akhirnya, dengan agak enggan, Breuer setuju untuk memublikasikan Kajian tentang Histeria (Studies on Hysteria) bersama Freud (Breuer & Freud, 1895/1955). Dalam buku ini, Freud memperkenalkan istilah “analisis psikis”, yang kemudian ia sebut sebagai “psiko-analisis” di tahun berikutnya.

Pada saat Studies on Hysteria terbit, terjadi pertikaian profesional antara Freud dan Breuer sehingga hubungan pribadi di antara keduanya menjadi renggang. Freud kemudian beralih pada temannya, Wilhelm Fliess, dokter asal Berlin yang berperan memperkuat gagasan-gagasan baru yang dikembangkan oleh Freud. Surat-surat yang ditulis Freud kepada Fliess (Freud, 1985) menjadi bukti tertulis yang merekam lahirnya psikoanalisis dan tumbuhnya embrio teori Freud. Freud dan Fliess telah berteman sejak tahun 1887, dan hubungan di antara mereka menjadi semakin akrab semenjak perpecahan Freud dengan Breuer.

Di akhir periode 1890-an, Freud dikucilkan oleh kalangan profesional dan mengalami krisis pribadi. Ia mulai menganalisis mimpi-mimpinya sendiri, dan setelah ayahnya meninggal dunia di tahun 1896, ia mengambil inisiatif untuk menganalisis dirinya sendiri setiap hari. Sekalipun analisis ini ia jalani dengan penuh pergulatan sepanjang hidup, masa- masa di akhir tahun 1890-an adalah masa yang paling sulit bagi dirinya. Sepanjang periode ini, Freud memandang dirinya sebagai pasiennya yang paling baik. Pada bulan Agustus 1897, ia menulis surat kepada Fliess, “Perhatian saya tersita oleh pasien saya yang paling penting, yaitu diri saya sendiri ... . Analisis ini ternyata lebih sulit dibandingkan yang lain. Analisis inilah yang melumpuhkan kekuatan psikis saya” (Freud, 1985, him. 261).

Krisis pribadi kedua adalah ketika ia tersadar bahwa ia sudah memasuki usia paruh baya dan belum juga berhasil meraih ketenaran yang selama ini ia idam-idamkan. Pada periode ini, ia lagi-lagi mengalami kekecewaan dalam upayanya memberikan kontribusi yang besar dalam bidang keilmuan. Ia sekali lagi meyakini bahwa ia berada di ujung sebuah terobosan penting lewat “temuan” bahwa neurosis bersumber dari anak yang digoda (seduction) oleh orang tua. Freud menyamakan temuannya ini dengan penemuan sumber mata air sungai Nil. Akan tetapi, pada tahun 1897, ia meninggalkan teori ketergodaan ini dan sekali lagi menunda penemuan yang akan membawa namanya ke altar kebesaran.

Mengapa Freud menanggalkan teori ketergodaan yang dulu ia banggakan? Dalam sebuah surat tertanggal 21 September 1897 yang ditujukan kepada Wilhelm Fliess, ia memberikan empat alasan mengapa ia tidak lagi percaya pada teori ketergodaan. Pertama, menurutnya, teori ketergodaan ini tidak membuatnya berhasil menangani satu pasien pun. Kedua, ada banyak ayah, termasuk ayahnya sendiri, yang akan dituding sebagai pelaku pelecehan seksual akibat kemunculan histeria yang tergolong sering bahkan pada saudara-

Teori Kepribadian

saudara sekandung Freud. Ketiga, Freud meyakini bahwa alam tidak sadar barangkali tidak bisa memisahkan fiksi dari kenyataan, keyakinan ini yang kemudian berkembang menjadi Oedipus complex. Keempat, ia mendapati bahwa ingatan tidak sadar dari pasien psikosis tingkat lanjut nyaris tak pernah mengungkapkan pengalaman seksual di masa kanak-kanak awal (Freud, 1985). Setelah meninggalkan teori ketergodaan dan tak ada Oedipus complex yang bisa menggantikan teori tersebut, Freud pun semakin terperosok ke dalam krisis paruh baya.

Penulis biografi Freud, Ernest Jones (1953, 1955, 1957), meyakini bahwa Freud mengalami gangguan psikoneurosis parah di akhir periode 1890-an. Meskipun Max Schur (1972), dokter pribadi Freud selama dekade terakhir dalam kehidupannya, memandang penyakitnya diakibatkan lesi jantung (cardiac lesion), yang diperparah dengan ketergantungannya pada nikotin. Peter Gay (1988) menceritakan bahwa setelah ayahnya meninggal, Freud “kembali mengalami konflik Oedipal dengan intensitas yang tidak biasa” (him. 141). Henri Ellenberger (1970) menggambarkan masa kehidupan Freud ini sebagai periode “penyakit kreatif,” suatu kondisi yang ditandai oleh depresi, neurosis, keluhan psikosomatis, dan keterpakuan yang intens pada aktivitas kreatif tertentu. Justru di masa paruh bayanya, Freud menderita karena meragukan diri sendiri, depresi dan obsesi akan kematiannya sendiri.

Sekalipun mengalami banyak kesulitan di periode tersebut, Freud berhasil menyelesaikan karyanya yang paling hebat yaitu Tafsir Mimpi-Mimpi (Interpretation o f Dreams) (1900/1953). Buku ini, yang dirampungkan tahun 1899, dibangun di atas analisis diri sendiri, yang sebagian besar telah ia ungkapkan pada temannya Wilhelm Fliess. Buku ini memuat sebagian besar mimpi Freud, yang beberapa disamarkan dengan menggunakan nama palsu.

Nyaris seketika setelah terbitnya Interpretation o f Dreams, persahabatannya dengan Fliess menjadi dingin hingga kemudian retak di tahun 1903. Perpecahan ini, hampir sama seperti kejadian sebelumnya ketika Freud menjauh dari Breuer, yang terjadi nyaris seketika setelah mereka bersama-sama menerbitkan Studies on Hysteria. Terbitnya buku ini juga menandai perpecahannya dengan Alfred Adler, Carl Jung, dan sejumlah rekan dekatnya. Mengapa Freud bermasalah dengan begitu banyak teman lama? Freud sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut, dengan mengatakan bahwa “bukan perbedaan keilmuanlah yang penting; tetapi justru kedengkian, rasa iri, atau balas dendam, yang mendorong tumbuhnya perasaan-perasaan kebencian ini. Pertentangan dari segi ilmu datang belakangan” (Wortis, 1954, him. 163).

Sekalipun Interpretation o f Dreams tidak lantas menelurkan perdebatan di tingkat internasional seperti yang Freud harapkan, buku ini akhirnya membawanya pada ketenaran dan pengakuan yang selama ini ia cari. Lima tahun berselang setelah buku ini terbit, Freud, yang kini kembali percaya diri, menulis beberapa buku penting yang membantu memperkuat pondasi psikoanalisis. Beberapa di antaranya, yaitu Tentang Mimpi-Mimpi (On Dreams) (1901/1953), yang ditulis karena Interpretation o f Dreams gagal menarik banyak perhatian; Tiga Esai tentang Teori Seksualitas (Three Essays on the Theory o f Sexuality) (1905/1953b), yang menempatkan seks sebagai batu pijakan psikoanalisis;

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

Lelucon dan Hubungannya dengan Alam Tidak Sadar (Jokes and Their Relation to the Unconscious) (1905/1960), yang menyodorkan gagasan bahwa lelucon, seperti halnya mimpi dan keliru ucap ala Freud (Freudian slips) mempunyai makna tidak sadar. Buku- buku tersebut membantu Freud mengokohkan posisinya di lingkaran pergaulan di dunia keilmuan dan kedokteran setempat.

Pada tahun 1902, Freud mengundang segelintir dokter-dokter muda Wina untuk datang ke rumahnya guna mendiskusikan isu-isu psikologis. Akhirnya, di musim gugur tahun itu, kelima pria—Freud, Alfred Adler, Wilhelm Stekel, Max Kahane, dan Rudolf Reitler—membentuk Wednesday Psychological Society, dengan Freud sebagai pemimpin diskusi. Tahun 1908, organisasi ini mengambil nama yang lebih formal—Vienna Psychoanalytic Society.

Pada tahun 1910, Freud dan para pengikutnya membentuk Asosiasi Psikoanalisis Internasional (International Psychoanalytic Association) yang diketuai oleh Carl Jung yang berasal dari Zurich. Freud tertarik pada Jung karena kecerdasannya dan karena ia bukan orang Yahudi dan juga bukan warga Wina. Dari tahun 1902 sampai 1906, ketujuh belas pengikut Freud adalah orang Yahudi (Kurzweil, 1989), dan Freud ingin agar psikoanalisis menjadi lebih berwarna. Sekalipun Jung disambut baik di lingkaran pergaulan Freud dan disiapkan menjadi “Putra Mahkota” dan “penerus masa depan”, ia, seperti juga pendahulunya yakni Adler dan Stekel, terlibat perdebatan yang semakin lama semakin tajam dengan Freud dan akhirnya melepaskan diri dari gerakan psikoanalisis. Bibit pertikaian antara Jung dan Freud boleh jadi disemai ketika kedua pria ini, bersama Sandor Freneczi, bertolak ke Amerika Serikat tahun 1909 untuk menyampaikan serangkaian perkuliahan di Universitas Clark dekat Boston. Untuk menghabiskan waktu selama di perjalanan, Freud dan Jung saling menafsirkan mimpi masing-masing, kegiatan yang justru menanamkan bom waktu yang belakangan meledak dan mengakhiri pertemanan mereka di tahun 1913 (McGuire, 1974).

Perang Dunia I adalah tahun-tahun kelabu bagi Freud. Komunikasinya dengan para pengikut setianya terputus, praktik psikoanalisisnya berjalan terseok-seok, ia kadang-kadang tak bisa menyediakan penghangat di rumah, juga makanan di atas meja untuk keluarga. Setelah perang berakhir, sekalipun usianya beranjak memasuki masa senja dan Freud menderita rasa sakit akibat 33 operasi untuk memerangi kanker mulut, ia berhasil membuat penyempurnaan berarti pada teorinya. Perbaikan yang paling penting adalah menempatkan agresi pada tingkat yang setara dengan dorongan seksual, represi tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya mekanisme pertahanan ego; dan ia berupaya untuk mempertegas Oedipus complex pada perempuan, yang akhirnya tak pernah ia tuntaskan sampai selesai.

Kualitas-kualitas pribadi seperti apa yang Freud miliki? Telaah kepribadiannya yang lebih menyeluruh bisa ditemukan di buku-buku yang ditulis oleh Breger (2000), Clark (1980), Ellenberger (1970), Ferris (1997), Gay (1988), Handlbauer (1998), Isbister (1985), E. Jones (1953, 1955, 1957), Newton (1995), Noland (1999), Roazen (1993, 1995, 2001), Silverstein (2003), Sulloway (1992), Vitz (1988) dan belasan buku lain tentang kehidupan Freud. Terlepas dari semua itu, Freud adalah pribadi yang sensitif dan bersemangat yang memiliki kapasitas untuk membangun persahabatan yang akrab juga nyaris tertutup dari orang lain. Sebagian besar dari hubungan emosional yang mendalam ini berakhir pahit, dan

Teori Kepribadian

Freud sering kali merasa dipertanyakan oleh mereka yang dulu menjadi teman-temannya, yang belakangan ia anggap sebagai musuh-musuhnya. Ia tampaknya membutuhkan dua jenis hubungan ini. Dalam Interpretation o f Dreams, Freud menjelaskan juga meramalkan terjadinya rangkaian kerikil tajam dalam hubungan pribadinya: “Kehidupan emosional saya menuntut saya untuk mempunyai teman yang akrab juga musuh yang saya benci. Sejauh ini saya selalu berhasil mendapatkan keduanya dari waktu ke waktu” (Freud, 1900/1953, him. 483). Sampai usianya lebih dari 50 tahun, semua sahabat Freud adalah laki-laki. Hal yang menarik adalah, Freud, pria yang pikirannya berkutat dengan urusan seks, memiliki kehidupan seks yang sangat hambar. Setelah anak bungsunya—Anna—lahir di tahun 1895, Freud yang ketika itu belum berusia 40 tahun, tidak berhubungan seksual selama beberapa tahun. Kehidupan seksnya yang kering ini berakar pada keyakinannya bahwa penggunaan kondom, hubungan seksual yang terputus, dan juga masturbasi adalah praktik seksual yang tidak sehat. Oleh karena Freud tidak ingin punya anak lagi setelah Anna lahir, maka puasa seks adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki (Breger, 2000; Freud, 1985).

Selain kesanggupannya menyeimbangkan kehidupan emosional antara sahabat karib dan musuh besarnya, Freud memiliki talenta yang luar biasa sebagai penulis, anugerah inilah yang menempatkan dirinya sebagai tokoh yang memberikan kontribusi penting di abad ke-20. Ia menguasai bahasa Jerman dengan baik dan bisa menggunakan banyak bahasa lain. Sekalipun ia tak berhasil meraih hadiah Nobel untuk ilmu pengetahuan, ia mendapatkan hadiah Goethe untuk sastra di tahun 1930.

Freud juga memiliki rasa ingin tahu intelektual yang intens; keberanian moral yang luar biasa (yang ditunjukkan dengan menganalisis dirinya setiap hari); perasaan yang serba bingung terhadap ayah juga figur seorang ayah; kecenderungan untuk menyimpan rasa dongkol secara berlebihan kepada orang yang ia anggap melawan dirinya; ambisi yang berkobar-kobar, terutama di tahun-tahun pertamanya; perasaan terisolir yang begitu kuat sekalipun ia dikelilingi oleh banyak pengikut; dan rasa tidak suka yang intens dan cenderung tidak masuk akal terhadap Amerika juga orang Amerika, sikap yang kemudian menguat setelah melakukan perjalanan ke Amerika Serikat di tahun 1909.

Mengapa Freud memiliki pandangan yang begitu negatif terhadap orang Amerika? Barangkali alasan utamanya adalah karena ia meyakini bahwa orang Amerika akan mengerdilkan psikoanalisis dengan cara membuatnya menjadi populer. Tidak hanya itu, selama perjalanannya ke Amerika Serikat, ia mengalami sejumlah peristiwa yang asing bagi pria kalangan atas asal Wina seperti dirinya. Bahkan, sebelum ia bertolak ke George Washington, ia melihat namanya dalam daftar penumpang ditulis dengan ejaan yang salah sehingga menjadi “Freund” (Ferris, 1997). Sejumlah peristiwa lain—beberapa di antaranya menggelikan—membuat perjalanan Freud menjadi semakin tidak menyenangkan. Pertama, pencernaan Freud bergejolak, barangkali karena perutnya tidak cocok dengan air minum di sana, dan ia menderita diare selama masa kunjungan. Selain itu, ia mendapati bahwa tidak ada kamar kecil umum di sudut jalan kota-kota di Amerika Serikat, hal yang ia anggap aneh sekaligus menyulitkan karena perutnya yang berontak membuatnya selalu perlu ke kamar kecil. Selain itu, sejumlah kenalan yang berkebangsaan Amerika memanggilnya Dok atau Sigmund saat menyanggah teorinya, dan satu orang bahkan mencoba untuk melarangnya merokok cerutu di kawasan bebas rokok—dan sudah tentu, gagal. Tambahan lagi, ketika

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

Freud, Ferenczi, dan Jung mengunjungi penginapan pribadi di sebelah barat Massachusetts, mereka disambut dengan barisan bendera Jerman, padahal tak satupun dari mereka orang Jerman dan masing-masing punya alasan kuat untuk membenci Jerman. Di tempat tersebut, Freud, bersama dengan rekan-rekannya, duduk di atas tanah sementara sang tuan rumah memasak daging panggang di atas arang, hal yang Freud anggap barbar sekaligus tidak beradab (Roazen, 1993).

Tingkat Kehidupan MentalSumbangan terbesar Freud pada teori kepribadian adalah eksplorasinya ke dalam dunia tidak sadar dan keyakinannya bahwa manusia termotivasi oleh dorongan-dorongan utama yang belum atau tidak mereka sadari. Bagi Freud, kehidupan mental terbagi menjadi dua tingkat, alam tidak sadar dan alam sadar. Alam tidak sadar terbagi menjadi dua tingkat, alam tidak sadar dan alam bawah sadar. Dalam psikologi Freudian, ketiga tingkat kehidupan mental ini dipahami, baik sebagai proses maupun lokasi. Tentu saja, keberadaan lokasi dari ketiga tingkat tersebut bersifat hipotetis dan tidak nyata ada di dalam tubuh. Sekalipun demikian, ketika membahas alam tidak sadar, Freud melihatnya sebagai suatu alam tidak sadar sekaligus proses terjadi tanpa disadari.

Alam Tidak SadarAlam tidak sadar (unconscious) menjadi tempat bagi segala dorongan, desakan, maupun insting yang tak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita. Sekalipun kita sadar akan perilaku kita yang nyata, sering kali kita tidak menyadari proses mental yang ada di balik perilaku tersebut. Misalnya, seorang pria bisa saja mengetahui bahwa ia tertarik pada seorang wanita tetapi tidak benar-benar memahami alasan dibalik ketertarikannya, yang bisa saja bersifat tidak rasional.

Apabila alam tidak sadar ini tidak bisa dijangkau oleh pikiran yang sadar, maka bagaimana kita tahu bahwa alam tidak sadar ini benar-benar ada? Freud meyakini bahwa keberadaan alam tidak sadar ini hanya bisa dibuktikan secara tidak langsung. Baginya, alam tidak sadar merupakan penjelasan dari makna yang ada di balik mimpi, kesalahan ucap (slips o f the tongue), dan berbagai jenis lupa, yang dikenal sebagai represi (repression). Mimpi adalah sumber yang kaya akan materi alam tidak sadar. Contohnya, Freud meyakini bahwa pengalaman masa kanak-kanak bisa muncul dalam mimpi orang dewasa sekalipun yang bermimpi boleh jadi tidak ingat secara sadar akan pengalaman-pengalaman tersebut.

Kadang-kadang proses tidak sadar ini lolos sensor dan masuk ke alam sadar secara terselubung atau dengan wujud yang berbeda. Freud (1917/1963) menggunakan analogi seorang penjaga atau sensor yang menghalang-halangi jalan yang menghubungkan alam sadar dengan alam bawah sadar dan mencegah agar kenangan yang tidak diinginkan dan memicu kecemasan tidak bisa masuk ke kesadaran. Agar bisa masuk ke tingkat alam sadar, maka gambaran tidak sadar ini harus berubah wujud agar bisa menyelinap masuk ke sensor pertam a (primary censor), dan kemudian gambaran tersebut harus menerobos sensor akhir

Teori Kepribadian

(final censor) yang menjaga jalan antara alam bawah sadar dan alam sadar. Ketika ingatan- ingatan tersebut masuk ke alam sadar kita, kita tak lagi mengenali mereka seperti apa adanya; kita justru melihatnya sebagai pengalaman yang relatif menyenangkan dan tak mengancam. Pada kebanyakan kasus, gambaran-gambaran tersebut memiliki motif-motif seksual atau agresi yang kuat, karena perilaku seksual dan agresi semasa kanak-kanak sering kali diganjar hukuman atau ditekan. Hukuman dan tekanan (suppression) ini sering kali menciptakan perasaan cemas, dan kecemasan tersebut kemudian memicu represi (repression), yaitu dorongan agar pengalaman yang tidak diinginkan serta membawa kecemasan masuk ke alam tidak sadar yang melindungi kita dari rasa sakit akibat kecemasan tersebut.

Akan tetapi, tidak semua proses tidak sadar tersebut muncul dari represi pengalaman masa kanak-kanak. Freud meyakini bahwa sebagian dari alam tidak sadar kita berasal dari pengalaman-pengalaman nenek moyang kita yang diwariskan dari generasi ke generasi lewat proses pengulangan. Ia menyebut warisan gambaran tidak sadar tersebut sebagai peninggalan filogenetis (phylogenetic endowment) (Freud, 1917/1963, 1933/1964). Penjelasan Freud tentang peninggalan filogenetis tersebut nyaris serupa dengan pemikiran Carl Jung tentang ketidaksadaran kolektif (lihat Bab 4). Akan tetapi, ada perbedaan penting di antara kedua konsep tersebut. Sementara Jung memberikan penekanan utama pada ketidaksadaran kolektif, Freud melihat hal yang diwariskan ini sebagai pilihan terakhir. Artinya, ketika segala penjelasan yang dibangun di atas pengalaman pribadi dirasa tidak memadai, barulah Freud beralih pada pengalaman yang diwariskan secara kolektif untuk memberinya tambahan informasi. Nanti kita akan melihat bahwa Freud menggunakan konsep peninggalan filogenetis ini untuk menjelaskan sejumlah konsep penting seperti Oedipus complex dan kecemasan akan dikebiri (castration anxiety).

Dorongan tidak sadar ini dapat muncul di alam sadar setelah menjalani transformasi tertentu. Contohnya, seseorang dapat mengekspresikan dorongan erotis atau keinginan untuk melukai orang lain dengan cara menggoda atau mengolok-olok orang lain. Dorongan sejati (seks atau agresi) menjadi terselubung dan tersembunyi dari alam sadar kedua orang tersebut. Akan tetapi, alam tidak sadar dari orang pertama tersebut bisa memengaruhi alam tidak sadar orang kedua secara langsung. Keduanya dapat memuaskan dorongan seksual maupun agresif, tetapi tak satupun di antara mereka menyadari motif di balik godaan atau olok-olok tersebut. Dengan cara inilah, alam tidak sadar seseorang bisa berkomunikasi dengan alam tidak sadar dari orang lain, dan keduanya sama-sama tidak sadar akan proses tersebut.

Tentu saja, alam tidak sadar bukan berarti bersifat tidak aktif atau dorman. Dorongan- dorongan di alam tidak sadar terus-menerus berupaya agar disadari, dan kebanyakan berhasil masuk ke alam sadar, sekalipun tak lagi muncul dalam bentuk asli. Pikiran-pikiran yang tak disadari ini bisa dan memang memotivasi manusia. Contohnya, amarah seorang anak terhadap sang ayah bisa terselubung dalam bentuk kasih sayang yang berlebihan. Apabila tak bisa disembunyikan, rasa marah seperti ini sudah tentu akan meyebabkan si anak merasa sangat cemas. Oleh karena itu, alam bawah sadarnya memotivasinya untuk mengekspresikan rasa marah melalui ungkapan rasa cinta dan pujian yang berlebihan. Agar selubung itu benar-benar berhasil mengelabui orang tersebut, maka sering kali perasaan tersebut muncul dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan perasaan yang sebenarnya,

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

tetapi selalu muncul dalam bentuk yang berlebihan dan penuh kepura-puraan. (Mekanisme ini dikenal dengan pembentukan reaksi (reaction form ation ) yang akan dibahas secara terpisah di bagian berjudul Mekanisme Pertahanan (Defense Mechanism).

Alam Bawah SadarAlam bawah sadar (preconscious) ini memuat semua elemen yang tak disadari, tetapi bisa muncul dalam kesadaran dengan cepat atau agak sukar (Freud, 1933/1964).

Isi alam bawah sadar ini datang dari dua sumber, yang pertama adalah persepsi sadar (conscious perception). Apa yang dipersepsikan orang secara sadar dalam waktu singkat, akan segera masuk ke dalam alam bawah sadar selagi fokus perhatian beralih ke pemikiran lain. Pikiran yang dapat keluar masuk antara alam sadar dan alam bawah sadar, umumnya adalah pikiran-pikiran yang bebas dari kecemasan. Antara gambaran sadar dan dorongan tidak sadar nyaris sama satu dengan lainnya.

Sumber kedua dari gambaran-gambaran bawah sadar adalah alam tidak sadar. Freud yakin bahwa pikiran bisa menyelinap dari sensor yang ketat dan masuk ke alam bawah sadar dalam bentuk yang tersembunyi. Beberapa dari gambaran ini tak pernah kita sadari karena begitu kita menyadari bahwa gambaran-gambaran tersebut datang dari alam tidak sadar, maka kita akan merasa semakin cemas, sehingga sensor akhir pun bekerja untuk menekan gambaran yang memicu kecemasan tersebut dan mendorongnya kembali ke alam tidak sadar. Sedangkan sejumlah gambaran lain dari alam tidak sadar bisa masuk ke alam sadar karena bersembunyi dengan baik dalam bentuk mimpi, salah ucap, ataupun dalam bentuk pertahanan diri yang kuat.

Alam SadarAlam sadar (conscious), yang memainkan peran tak berarti dalam teori psikoanalisis, didefinisikan sebagai elemen-elemen mental yang setiap saat berada dalam kesadaran. Ini adalah satu-satunya tingkat kehidupan mental yang bisa langsung kita raih. Ada dua pintu yang dapat dilalui oleh pikiran agar bisa masuk ke alam sadar. Pintu pertama adalah melalui sistem kesadaran perseptual (perceptual conscious), yaitu terbuka pada dunia luar dan berfungsi sebagai perantara bagi persepsi kita tentang stimulus dari luar. Dengan kata lain, hal-hal yang kita rasakan melalui indera dan tidak dianggap mengancam, masuk ke dalam alam sadar (Freud, 1933/1964).

Sumber kedua bagi elemen alam sadar ini datang dari dalam struktur mental dan mencakup gagasan-gagasan tidak mengancam yang datang dari alam bawah sadar maupun gambaran-gambaran yang membuat cemas, tetapi terselubung dengan rapi yang berasal dari alam tidak sadar. Seperti dijelaskan sebelumnya, gambaran tidak sadar dapat lolos masuk ke alam bawah sadar karena bersembunyi sebagai elemen-elemen yang tidak berbahaya sehingga mampu menembus sensor pertama. Setelah masuk ke alam bawah sadar, mereka terus menyelinap melewati sensor akhir dan masuk ke alam sadar. Ketika gagasan-gagasan tersebut tiba di alam sadar, maka gagasan-gagasan tersebut sudah berubah wujud dan terselubung dalam bentuk perilaku-perilaku yang defensif ataupun dalam bentuk mimpi.

Teori Kepribadian

Secara ringkas, Freud (1917/1963, him. 295-296) membayangkan alam tidak sadar sebagai sebuah aula luas berpintu lapang tempat berbagai orang yang saling berbeda satu dengan lainnya, penuh semangat tetapi juga ugal-ugalan, sibuk mondar mandir, berkerumun dan berusaha terus-menerus untuk lolos dari penjagaan dan masuk ke dalam ruang penerimaan tamu. Akan tetapi, penjaga yang waspada menghalang-halangi jalan antara aula yang luas tersebut dengan ruang penerimaan tamu yang sempit. Penjaga ini mempunyai dua cara untuk menghambat tamu-tamu yang tak diinginkan agar tidak lolos dari aula tersebut— yaitu dengan menutup pintu rapat-rapat atau dengan menendang keluar orang-orang yang berhasil kabur dari pengawasan dan masuk ke ruang penerimaan tamu. Kedua cara tersebut membuahkan hasil yang sama; orang-orang yang tak bisa diatur dan tak mau taat, dicegah sedemikian rupa sehingga tamu penting yang duduk di ujung ruang penerima tamu di balik layar tak bisa melihat kedatangan orang-orang tak tahu adat ini. Analogi ini mempunyai makna yang gamblang. Mereka yang ada di aula merupakan gambaran-gambaran tidak sadar. Ruang penerimaan tamu nan kecil merupakan alam bawah sadar dan mereka yang ada di ruang tersebut adalah gagasan-gagasan bawah sadar. Sementara mereka yang ada di ruang penerimaan tamu (alam bawah sadar) bisa jadi tak disadari oleh tamu penting yang, sudah tentu, mewakili alam sadar. Penjaga pintu yang memantau pintu gerbang di antara kedua ruang tersebut adalah sensor pertama yang mencegah gambaran tidak sadar masuk ke kesadaran dan memastikan agar gambaran bawah sadar masuk kembali ke alam tidak sadar. Layar yang menyelimuti si tamu penting tadi adalah sensor akhir yang mencegah sejumlah besar, tetapi tidak semua, elemen bawah sadar agar tidak bisa masuk ke alam sadar. Analogi ini digambarkan secara grafts pada Figur 2.1.

Raja

Kesadaran

Sensor akhir

Alam bawah sadar

Sensor

Alam tidak sadar

( ' ' . f tLayar

Ruangpenerimaan

tamu

FIGUR 2.1 Tingkat Kehidupan Mental.

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

Wilayah PikiranSelama hampir dua dekade, Freud menelurkan satu-satunya model pikiran topografis seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, dan satu-satunya upayanya untuk menggambarkan pertempuran psikis adalah konflik antara dorongan yang disadari dan yang tidak disadari. Kemudian, selama periode 1920-an, Freud (1923/1961a) memperkenalkan model struktural yang terdiri dari tiga bagian. Pembagian pikiran ke dalam tiga bagian seperti ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan model topografis, tetapi cara ini membantu Freud menjelaskan gambaran mental berdasarkan fungsi atau tujuannya.

Bagi Freud, bagian yang paling primitif dari pikiran adalah das Es atau “sesuatu’7“itu” (it), yang hampir selalu diterjemahkan sebagai id. Bagian kedua adalah das Ich, atau “saya” (I), yang diterjemahkan sebagai ego; dan yang terakhir adalah das Uber-Ich atau “saya yang lebih” (over-I), yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai superego. Tingkat atau wilayah ini, sudah tentu, tak nyata karena merupakan konstruk hipotetis. Ketiga tingkat tersebut saling berinteraksi sehingga ego bisa masuk menembus berbagai tingkat topografis dan memiliki komponen alam sadar, alam bawah sadar, dan alam tidak sadar. Sementara superego sendiri berada pada alam bawah sadar dan alam tidak sadar, sedangkan id sepenuhnya berada di alam bawah sadar. Figur 2.2 menunjukkan hubungan antara wilayah pikiran dan tingkat kehidupan mental.

pengaruh somatis

FIGUR 2.2 Tingkat Kehidupan Mental dan Wilayah Pikiran.

Teori Kepribadian

IdPada bagian inti dari kepribadian yang sepenuhnya tak disadari adalah wilayah psikis yang disebut sebagai id, yaitu istilah yang diambil dari kata ganti untuk “sesuatu” atau “itu” (the it), atau komponen yang tak sepenuhnya diakui oleh kepribadian. Id tak punya kontak dengan dunia nyata, tetapi selalu berupaya untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Ini dikarenakan satu-satunya fungsi id adalah untuk memperoleh kepuasan sehingga kita menyebutnya sebagai prinsip kesenangan (pleasure principle).

Bayi yang baru lahir adalah perwujudan dari id yang bebas dari hambatan ego maupun superego. Bayi mencari pemuasan kebutuhan tanpa ambil pusing apakah hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan (yang terkait dengan peran ego) atau apakah hal tersebut tepat untuk dilakukan (yang berkaitan dengan superego). Bahkan, bayi akan tetap mengisap, terlepas dari ada atau tidak adanya puting susu, untuk memperoleh kepuasan. Sekalipun, bayi memperoleh makanan untuk bertahan hidup hanya dengan mengisap puting susu, bayi akan terus mengisap karena id yang ia miliki tidak memiliki kontak dengan kenyataan. Bayi tersebut tak menyadari bahwa perilaku mengisap jempol tidak akan membantunya bertahan hidup. Oleh karena id tak punya kontak langsung dengan kenyataan, maka id ini tidak berubah seiring perjalanan waktu atau akibat pengalaman. Pada id, keinginan di masa kanak-kanak tak berubah sampai berpuluh-puluh tahun (Freud, 1933/1964).

Oleh karena sifatnya yang tidak realistis dan mencari kesenangan, id ini tidak logis dan mampu memuaskan pikiran-pikiran yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Misalnya, seorang perempuan bisa menunjukkan rasa cintanya secara sadar pada sang ibu seraya tanpa sadar mengharapkan agar si ibu angkat kaki dari kehidupannya. Hasrat yang saling berlawanan seperti ini bisa terjadi karena id tak punya moralitas. Artinya, id tidak mampu membuat keputusan atas nilai dasar atau membedakan hal-hal yang baik dari yang buruk. Id adalah sesuatu yang amoral, bukan immoral atau melanggar moral. Seluruh energi id dicurahkan demi satu tujuan semata—mencari kesenangan tanpa peduli apakah kesenangan tersebut sesuai atau tidak untuk ditampilkan (Freud, 1923/1961a, 1933/1964).

Singkatnya, id adalah wilayah yang primitif, kacau balau, dan tak terjangkau oleh alam sadar. Id tak sudi diubah, amoral, tidak logis, tak bisa diatur, dan penuh energi yang datang dari dorongan-dorongan dasar serta dicurahkan semata-mata untuk memuaskan prinsip kesenangan.

Sebagai wilyah bagi dorongan-dorongan dasar (dorongan utama), id beroperasi berdasarkan proses pertama (prim ary process). Oleh karena id menggunakan kacamata kuda dalam upayanya memenuhi prinsip kesenangan, maka id bertahan dengan cara bergantung pada pengembangan proses sekunder (secondary process) yang membuatnya dapat berhubungan dengan dunia luar. Fungsi proses sekunder ini dijalankan oleh ego.

EgoEgo, atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita. Ego berkembang dari id semasa bayi dan menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

berkomunikasi dengan dunia luar. Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan (reality principle), yang berusaha menggantikan prinsip kesenangan milik id. Sebagai satu-satunya wilayah dari pikiran yang berhubungan dengan dunia luar, maka ego pun mengambil peran eksekutif atau pengambil keputusan dari kepribadian. Akan tetapi, oleh karena ego sebagian bersifat sadar, sebagian bersifat bawah sadar, dan sebagian lagi tidak sadar, maka ego bisa membuat keputusan di ketiga tingkat tersebut. Contohnya, ego seorang wanita, secara sadar, memotivasinya untuk memilih pakaian yang dijahit rapi dan sangat licin karena ia merasa nyaman berbusana seperti itu. Pada saat yang sama, ia mungkin ingat samar-samar (secara bawah sadar) bahwa sebelumnya ia pernah dipuji karena memilih pakaian yang bagus. Selain itu, ia barangkali termotivasi secara tidak sadar untuk berperilaku sangat rapi dan teratur karena pengalamannya di masa kecil pada saat dilatih menggunakan toilet (toilet training). Jadi, keputusannya untuk mengenakan pakaian yang rapi nan licin bisa terjadi di tiga tingkat kehidupan mental.

Pada saat menjalankan fungsi kognitif dan intelektual, ego harus menimbang-nimbang antara sederetan tuntutan id yang tidak masuk akal dan saling bertentangan dengan superego. Jadi, ego terus-menerus berupaya untuk mengendalikan tuntutan buta dan irasional dari id serta superego dengan tuntutan realistis dari dunia luar. Terjepit oleh tiga sisi kekuatan yang saling berbeda dan berlawanan satu dengan lainnya, maka ego pun memunculkan reaksi yang sudah bisa diperkirakan sebelumnya—yaitu, cemas. Oleh karena itu, ego menggunakan represi dan mekanisme pertahanan (defense mechanisms) lainnya untuk melindungi diri dari kecemasan tersebut (Freud, 1926/1959a).

Menurut Freud (1933/1964), ego berkembang terpisah dari id ketika bayi belajar untuk membedakan dirinya dengan dunia luar. Sementara id tetap tak berubah, ego terus mengembangkan aneka strategi untuk mengontrol tuntutan-tuntutan id akan kesenangan yang tidak realistis dan tidak sudi untuk tunduk. Kadang-kadang, ego sanggup mengekang dorongan id yang serba kuat dan mencari kesenangan, tetapi kadang-kadang id gagal memegang kendali. Ketika membandingkan ego dengan id, Freud menggunakan analogi mengendarai kuda. Si pengendara selalu tarik-ulur dengan kuda, tetapi si pengendali kuda sejatinya bergantung pada kudanya. Serupa dengan itu, ego terus tarik-ulur dengan dorongan-dorongan id, tetapi ego sebetulnya berada dalam genggaman id yang lebih kuat tetapi tidak teratur. Ego tak punya kekuatan sendiri karena ia meminjam energi dari id. Sekalipun bergantung pada id, kadang-kadang ego berhasil untuk memegang kendali penuh, contohnya pada seseorang yang matang secara psikologis.

Ketika anak belajar melalui imbalan atau penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) dari orang tua, mereka pun belajar apa yang harus mereka lakukan agar mendapatkan kesenangan dan menghindari rasa sakit. Di usia belia, kesenangan dan rasa sakit merupakan fungsi dari ego karena anak belum sepenuhnya mengembangkan suara hati dan ego-ideal, yaitu superego. Begitu anak memasuki usia lima atau enam tahun, mereka mengidentifikasi diri mereka dengan orang tua dan mulai belajar apa yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka lakukan. Inilah yang menjadi asal-usul dari superego.

Teori Kepribadian

SuperegoDalam psikologi Freudian, superego atau saya yang lebih (above-I), mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistis dan idealis (moralistic and idealistic principles) yang berbeda dengan prinsip kesenangan dari id dan prinsip realistis dari ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tak punya sumber energinya sendiri. Akan tetapi, superego berbeda dari ego dalam satu hal penting—superego tak punya kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi tidak realistis (Freud, 1923/1961a).

Superego memiliki dua subsistem, suara hati (conscience) dan ego ideal. Freud tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan. Suara hati yang primitif datang dari kepatuhan anak pada standar orang tua karena takut kehilangan rasa cinta dan dukungan orang tua. Kemudian, pada fase perkembangan Oedipal, pikiran-pikiran tersebut terinternalisasi melalui identifikasi pada ibu dan ayah. (Kita akan membahas tentang Oedipus complex di bagian yang berjudul Tahap Perkembangan).

Superego yang berkembang dengan baik berperan dalam mengendalikan dorongan- dorongan seksual dan agresif melalui proses represi. Superego memang tidak bisa memproduksi represi sendiri, tetapi superego bisa memerintahkan ego untuk melakukan hal tersebut. Superego mengawasi ego dengan ketat serta menilai tindakan dan niat dari ego. Rasa bersalah muncul pada saat ego bertindak—atau berniat untuk bertindak— bertentangan dengan standar moral superego. Perasaan inferior muncul ketika ego tidak bisa memenuhi standar kesempurnaan yang ditetapkan oleh superego. Jadi, rasa bersalah merupakan fungsi dari suara hati sementara perasaan inferior berakar pada ego ideal (Freud, 1933/1964).

Superego tidak ambil pusing dengan kebahagiaan ego. Superego memperjuangkan kesempurnaan dengan kacamata kuda dan secara tidak realistis. Tidak realistis di sini artinya superego tidak mempertimbangkan hambatan-hambatan maupun hal-hal yang tidak mungkin dihadapi oleh ego dalam melaksanakan perintah superego. Memang tidak semua tuntutan superego mustahil dipenuhi, seperti juga tidak semua tuntutan orang tua maupun figur otoritas lainnya muskil untuk dipenuhi. Akan tetapi, superego menyerupai id, yang sama sekali tak ambil pusing dan tidak peduli, apakah serangkaian syarat yang diajukan oleh superego bisa dipraktikkan.

Freud (1933/1964) menggarisbawahi bahwa antarwilayah pikiran tersebut tidaklah dipisahkan secara tegas maupun dibagi oleh sekat yang jelas. Perkembangan ketiga wilayah ini bervariasi antarindividu yang berbeda. Bagi sebagian orang, superego baru berkembang setelah masa kanak-kanak; sedangkan bagi yang lain, superego mendominasi kepribadian lewat rasa bersalah dan perasaan inferior. Sedangkan bagi yang lain, ego dan superego bergantian mengendalikan kepribadian sehingga mengakibatkan m ood berfluktuasi secara ekstrem dan muncul siklus di mana rasa percaya diri dan rasa

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

menghukum diri sendiri muncul bergantian. Pada individu yang sehat, id dan superego terintegrasi ke dalam ego yang berfungsi baik dan beroperasi harmonis dengan konflik yang minim. Figur 2.3 menunjukkan hubungan antara id, ego, dan superego pada tiga individu secara hipotetis. Pada individu pertama, id mendominasi ego yang lemah dan superego yang plinplan sehingga ego tidak mampu menyeimbangkan antara gigihnya tuntutan id. Akibatnya, individu ini terus-menerus memuaskan kesenangannya tanpa memandang apa yang mungkin atau layak. Individu kedua, yang memiliki rasa bersalah serta perasaan inferior dan ego yang lemah, akan mengalami sederetan konflik karena ego tidak bisa mengendalikan tuntutan antara superego dan id yang saling bertentangan, tetapi sama kuat. Sedangkan individu ketiga, yang memiliki ego kuat dan merangkul tuntutan- tuntutan, baik dari id maupun superego, sehat secara psikologis dan mampu memegang kendali atas prinsip kesenangan dan prinsip moralistis.

FIG UR 2.3 H ubungan di antara Id, Ego, dan Superego pada Tiga Individu secara Hipotetis.

Tingkat kehidupan mental dan wilayah pikiran mengacu pada struktur atau komposisi kepribadian; tetapi kepribadian itu sendiri juga bertindak. Sehingga, Freud mengusulkan sebuah dinamika atau prinsip motivasional untuk menerangkan kekuatan-kekuatan yang mendorong tindakan manusia. Bagi Freud, manusia termotivasi untuk mencari kesenangan serta menurunkan ketegangan dan kecemasan. Motivasi ini diperoleh dari energi psikis dan fisik dari dorongan-dorongan dasar yang mereka miliki.

Individu yang merasa bersalah dan merasa inferior, yang

/ didominasi oleh superego

Individu yang mencari kesenangan yang didominasi oleh id

Individu yang sehat secara psikologis, yang didominasi oleh ego

Dinamika Kepribadian

Teori Kepribadian

Dorongan-doronganFreud menggunakan istilah dalam bahasa Jerman yaitu Trieb untuk menjelaskan dorongan atau stimulus yang ada di dalam diri seseorang. Mereka yang menerjemahkan pikiran Freud menggunakan istilah insting, tetapi sebetulnya kata yang lebih cocok adalah “dorongan” (drive) atau “impuls” (impulse). Dorongan bekerja sebagai tekanan motivasional yang konstan. Sebagai stimulus internal, dorongan ini berbeda dengan stimulus eksternal karena seseorang tak bisa menghindar dari stimulus internal.

Menurut Freud (1933/1964), berbagai macam dorongan bisa digolongkan berdasarkan dua kategori, yaitu seks atau Eros dan agresi, distraksi, atau Thanatos. Dorongan-dorongan ini bermuasal pada id, tetapi berada di bawah kendali ego. Masing-masing dorongan memiliki bentuk energi psikis masing-masing. Freud menggunakan istilah libido untuk dorongan seks, sedangkan energi untuk dorongan agresi tidak diberi nama.

Setiap dorongan dasar memiliki desakan (impetus), sumber, tujuan, dan objek. Desakan dorongan adalah besar kekuatan dari dorongan yang keluar. Sumber dorongan adalah bagian tubuh yang mengalami ketegangan atau rangsangan. Tujuan dorongan adalah untuk memperoleh kepuasan dengan cara meredam rangsangan atau mengurangi ketegangan, dan objek dorongan adalah orang atau benda yang dijadikan alat memperoleh tujuan (Freud, 1915/1957a).

SeksTujuan dorongan seksual adalah kesenangan, tetapi kesenangan ini tidak terbatas pada pemuasan genital. Freud meyakini bahwa seluruh tubuh dialiri oleh libido. Selain genital, mulut dan anus juga mampu menghasilkan kesenangan seksual dan dikenal sebagai zona erogenus (erogenous zones). Tujuan utama dari dorongan seksual (pengurangan ketegangan seksual) ini tak bisa diubah, tetapi jalur yang ditempuh untuk mencapai tujuan dapat bervariasi. Bentuknya bisa aktif maupun pasif atau terhambat secara temporer atau permanen (Freud, 1915/1957a). Oleh karena jalur tersebut fleksibel dan karena kesenangan seksual bisa berasal dari organ selain genital, maka kebanyakan perilaku yang sebetulnya termotivasi oleh Eros sulit dikenali sebagai perilaku seksual. Akan tetapi, bagi Freud, apabila ditelusuri, maka semua aktivitas yang memberikan kesenangan berakar dari dorongan seksual.

Fleksibilitas objek atau figur seksual ini bisa semakin menyelubungi Eros. Objek erotis bisa dengan mudah diubah atau dipindahkan. Libido bisa diperoleh dari seseorang dan disimpan dalam alam ketegangan yang bebas mengambang, tetapi bisa juga diarahkan ke orang lain, termasuk diri sendiri. Contohnya, seorang bayi yang dipaksa untuk melepaskan puting susu sebagai objek seksual, bisa menggantinya dengan ibu jari sebagai objek kesenangan seksual.

Seks bisa muncul dalam berbagai bentuk, termasuk narsisme, cinta, sadisme, dan masokisme. Dua bentuk terakhir, memiliki komponen yang besar dari dorongan agresif.

Bayi umumnya berpusat pada diri sendiri (self-centered) karena mereka nyaris sepenuhnya mengarahkan libido pada ego mereka sendiri. Kondisi seperti ini, yang tergolong universal, dikenal sebagai narsisme pertama (primary narcissism). Ketika ego berkembang, anak biasanya melepaskan narsisme pertamanya dan mengembangkan ketertarikan yang

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

lebih besar pada orang lain. Dalam bahasa Freud, libido narsistis kemudian diubah menjadi libido objek. Akan tetapi, di masa puber, remaja sering kali kembali mengarahkan libido mereka ke ego dan memusatkan perhatian mereka pada penampilan dan ketertarikan pribadi lainnya. Ini membuktikan bahwa kemunculan narsisme sekunder (secondary narcissism) tidak universal, tetapi kecintaan terhadap diri sendiri hingga taraf menengah, umum terjadi pada hampir semua orang (Freud, 1914/1957).

Manifestasi kedua dari Eros adalah cinta, yang berkembang pada saat orang mengarahkan libido mereka pada objek atau orang selain diri mereka sendiri. Ketertarikan seksual pertama pada anak-anak adalah pada orang yang merawat mereka, biasanya ibu. Selama masa bayi, anak dengan jenis kelamin apapun mengalami cinta seksual pada ibu. Akan tetapi, cinta seksual yang terbuka kepada anggota keluarga umumnya ditekan sehingga memunculkan cinta jenis kedua. Freud menyebut cinta jenis kedua ini sebagai tujuan yang terhambat {aim-inhibited) karena tujuan mengurangi ketegangan seksual ini terhambat atau ditekan. Cinta yang lazimnya dirasakan orang kepada saudara sekandung atau orang tua umumnya memiliki tujuan yang terhambat.

Tampak jelas bahwa cinta dan narsisme saling terkait erat. Narsisme mencakup cinta pada diri sendiri, sedangkan cinta mencakup kecenderungan narsisme, seperti rasa cinta seseorang kepada sosok yang ia pandang ideal atau model dari apa yang ingin mereka capai.

Dua dorongan lain yang juga saling terkait adalah sadisme dan masokisme. Sadisme adalah kebutuhan akan kesenangan seksual dengan cara menimbulkan rasa sakit atau mempermalukan orang lain. Apabila dilakukan secara ekstrem, maka sadisme dipandang sebagai kelainan seksual. Akan tetapi, dalam taraf menengah, sadisme adalah kebutuhan yang umum dan muncul dalam semua hubungan seksual. Sadisme menjadi kelainan pada saat tujuan seksual dari kesenangan erotis tersebut tersisihkan oleh tujuan merusak (Freud, 1933/1964).

Masokisme, seperti juga sadisme, merupakan kebutuhan yang lazim, tetapi berubah menjadi kelainan apabila Eros tunduk pada dorongan pengrusakan. Seorang masokis mengalami kesenangan seksual dari penderitaan yang diakibatkan oleh rasa sakit dan perasaan dipermalukan yang dipicu, baik oleh diri mereka sendiri ataupun oleh orang lain. Oleh karena seorang masokis bisa menimbulkan rasa sakit pada dirinya sendiri, maka mereka tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan masokistis mereka. Sebaliknya, seorang yang sadis harus mencari dan menemukan orang lain agar ia bisa menimbulkan rasa sakit atau mempermalukan orang tersebut. Oleh karena itu, mereka lebih bergantung pada orang lain dibandingkan dengan masokis.

AgresiAkibat pengalaman yang tidak menyenangkan semasa Perang Dunia I dan dampak dari kematian Sophie, anak perempuan yang ia cintai, Freud (1920/1955a) menulis Melampaui Prinsip Kesenangan (Beyond the Pleasure Principle), buku yang mengangkat agresi ke tingkat dorongan seksual. Sebagaimana konsep-konsep lain dari Freud, ia mengajukan pemikirannya secara tentatif dan disertai dengan kehati-hatian. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, agresi juga konsep-konsep lain yang masih serba tentatif berkembang menjadi dogma.

Teori Kepribadian

Tujuan dari dorongan merusak, menurut Freud, adalah kembalinya organisme ke kondisi inorganik. Oleh karena kondisi inorganik yang paling utama adalah kematian, maka tujuan akhir dari dorongan agresi adalah penghancuran diri. Serupa dengan dorongan seksual, agresi bersifat fleksibel dan bisa berubah bentuk, misalnya dengan menggoda, bergosip, sarkasme, mempermalukan orang lain, humor, dan menikmati penderitaan orang lain. Kecenderungan agresi ada pada semua orang dan hal ini menjelaskan mengapa terjadi perang, pembantaian, dan pencemaran agama.

Dorongan agresif ini juga menjelaskan adanya kebutuhan seseorang untuk membangun tembok pembatas guna mengendalikan agresi. Misalnya, kata-kata bijak seperti “Cintailah tetanggamu” (Love thy neighbor as thyself) diyakini oleh Freud berguna untuk mengekang dorongan yang kuat dan biasanya tidak sadar untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain. Persepsi ini sebetulnya merupakan pembentukan reaksi (reaction formations). Kata- kata seperti ini mencakup represi terhadap dorongan yang kuat untuk menyakiti dan juga ekspresi terbuka tentang kecenderungan akan perasaan sebaliknya.

Sepanjang hidup, dorongan untuk hidup dan mati terus bergulat untuk saling menaklukkan. Akan tetapi, di saat yang sama, keduanya tunduk pada prinsip kenyataan yang mewakili tuntutan dari dunia luar. Tuntutan dunia nyata inilah yang menghambat pemenuhan dorongan seksual maupun agresi secara langsung, tersembunyi, dan tanpa halangan. Hal inilah yang sering kali menciptakan kecemasan, yang mendorong hasrat- hasrat seksual maupun agresif ke alam tidak sadar.

KecemasanSeks dan agresi menduduki posisi sentral dalam teori dinamika Freud, bersama-sama dengan kecemasan (anxiety). Dalam mendefinisikan kecemasan, Freud (1933/1964) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Perasaan tidak menyenangkan ini biasanya samar-samar dan sulit dipastikan, tetapi selalu terasa.

Hanya ego yang bisa memproduksi atau merasakan kecemasan. Akan tetapi, baik id, superego, maupun dunia luar terkait dalam salah satu dari tiga jenis kecemasan—neurosis, moral, dan realistis. Ketergantungan ego pada id menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ketergantungan ego pada superego memunculkan kecemasan moral, dan ketergantungannya pada dunia luar mengakibatkan kecemasan realistis.

Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui. Perasaan itu sendiri berada pada ego, tetapi muncul dari dorongan-dorongan id. Seseorang bisa merasakan kecemasan neurosis akibat keberadaan guru, atasan, atau figur otoritas lain karena sebelumnya mereka merasakan adanya keinginan tidak sadar untuk menghancurkan salah satu atau kedua orang tua. Semasa kanak-kanak, perasaan marah ini sering kali dikuti oleh rasa takut akan hukuman dan rasa takut ini digeneralisasikan ke dalam kecemasan neurosis tidak sadar.

Jenis kecemasan kedua, yaitu kecemasan moral (moral anxiety), berakar dari konflik antara ego dan superego. Ketika anak membangun superego—biasanya di usia lima atau enam

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

tahun—mereka mengalami kecemasan yang tumbuh dari konflik antara kebutuhan realistis dan perintah superego. Misalnya, kecemasan moral bisa muncul dari godaan seksual jika anak meyakini bahwa menerima godaan tersebut adalah salah secara moral. Kecemasan ini juga bisa muncul karena kegagalan bersikap konsisten dengan apa yang mereka yakini benar secara moral. Misalnya, tidak mampu mengurus orang tua yang memasuki usia lanjut.

Kategori ketiga dari kecemasan, yaitu kecemasan realistis (realistic anxiety) terkait erat dengan rasa takut. Kecemasan ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Misalnya, kita bisa mengalami kecemasan realistis pada saat berkendara dengan cepat dalam lalu lintas yang padat di kota asing—yaitu situasi yang mencakup bahaya yang objektif dan nyata. Akan tetapi, kecemasan realistis ini berbeda dari rasa takut karena tidak mencakup objek spesifik yang ditakuti. Misalnya, kita merasa takut pada saat kendaraan kita tiba-tiba tergelincir dan tak bisa dikontrol di jalan bebas hambatan yang licin akibat lapisan es.

Ketiga jenis kecemasan ini, umumnya sulit dipisahkan satu dari lainnya dan tidak tergambar dengan jelas. Biasanya, kecemasan ini muncul dalam bentuk kombinasi, misalnya ketika rasa takut akan air—yang adalah bahaya yang sesungguhnya—berkembang menjadi tidak proporsional pada situasi tertentu dan menimbulkan kecemasan neurosis sekaligus kecemasan realistis. Situasi seperti ini menandakan bahwa ada bahaya yang tidak diketahui yang terkait dengan bahaya yang ada di luar sana.

Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang mengamankan ego karena memberi sinyal bahwa ada bahaya di depan mata (Freud, 1933/1964). Misalnya, mimpi akan kecemasan memberi sinyal pada sensor kita tentang adanya bahaya yang mengintai, yang memungkinkan kita untuk menyamarkan gambaran mimpi. Kecemasan memungkinkan ego yang selalu siaga ini tetap waspada terhadap tanda-tanda ancaman dan bahaya. Sinyal adanya bahaya yang mengintai membuat kita bersiaga untuk melawan atau melindungi diri.

Kecemasan juga mengatur dirinya sendiri (self-regulating) karena bisa memicu represi, yang kemudian mengurangi rasa sakit akibat kecemasan tadi (Freud, 1933/1964). Apabila ego tidak punya pilihan untuk melindungi diri, maka kecemasan tak akan bisa ditoleransi. Oleh karena itu, perilaku melindungi diri ini bermanfaat melindungi ego dari rasa sakit akibat kecemasan.

Mekanisme Pertahanan DiriFreud pertama kali mengembangkan pemikiran tentang mekanisme pertahanan diri (defense mechanisms) ini pada tahun 1926 (Freud, 1926/1959a). Kemudian, anaknya, Anna menyempurnakan dan menata konsep ini (A. Freud, 1946). Sekalipun mekanisme pertahanan ini normal dan digunakan secara universal, apabila digunakan secara ekstrem, maka mekanisme-mekanisme ini akan mengarah pada perilaku yang kompulsif, repetitif, juga neurotis. Oleh karena kita perlu mencurahkan energi psikis untuk menyusun dan mempertahankan mekanisme pertahanan, maka semakin defensif kita, semakin berkurang energi psikis yang tersisa pada kita untuk memuaskan dorongan-dorongan id. Sudah tentu,

40 Teori Kepribadian

inilah mengapa ego membangun mekanisme pertahanan—agar kita tak perlu menghadapi ledakan-ledakan seksual dan agresif secara langsung dan untuk mempertahankan diri sendiri dari kecemasan yang mengikuti dorongan-dorongan tersebut (Freud, 1926/1959a).

Mekanisme-mekanisme pertahanan utama yang diidentifikasi oleh Freud mencakup represi, pembentukan reaksi, pengalihan, fiksasi, regresi, proyeksi, introyeksi, dan sublimasi.

RepresiMekanisme pertahanan yang paling dasar, karena muncul juga pada bentuk-bentuk mekanisme pertahanan lain, adalah represi (repression). Manakala ego terancam oleh dorongan-dorongan id yang tidak dikehendaki, ego melindungi dirinya dengan merepresi dorongan-dorongan tersebut dengan cara memaksa perasaan-perasaan mengancam masuk ke alam tidak sadar (Freud, 1926/1959a). Dalam banyak kasus, represi ini bisa muncul sepanjang hidup. Misalnya, seorang perempuan muda bisa selamanya menekan rasa marah pada adik perempuannya karena rasa benci tersebut melahirkan kecemasan yang terlalu besar.

Tak ada satupun masyarakat yang memperkenankan ekspresi seks dan agresi total tanpa batas. Ketika anak yang menunjukkan perilaku kekerasan atau seksual mendapatkan hukuman atau tekanan, mereka kemudian belajar merasa cemas begitu mereka merasakan dorongan-dorongan tersebut. Sekalipun kecemasan tersebut jarang mengarah pada represi total atas dorongan-dorongan agresi maupun seksual, sering kali kecemasan tersebut memunculkan regresi yang sifatnya parsial.

Apa yang terjadi pada dorongan-dorongan tersebut setelah mereka tak lagi disadari? Freud (1933/1964) meyakini kemungkinan-kemungkinan berikut ini. Pertama, di alam tidak sadar, dorongan-dorongan ini tetap tak berubah. Kedua, dorongan-dorongan ini mendesak masuk ke alam sadar dalam bentuk yang tak berubah sehingga justru menciptakan kecemasan yang lebih besar yang tak bisa dikendalikan oleh orang tersebut. Akibatnya, orang itu akan dicekam oleh rasa cemasnya sendiri. Ketiga dan yang lebih lazim terjadi pada dorongan- dorongan yang direpresi adalah bahwa dorongan-dorongan tersebut diekspresikan dalam bentuk-bentuk yang lain atau terselubung. Selubung ini, sudah tentu, haruslah muncul sedemikian rupa sehingga bisa mengelabui ego. Dorongan yang ditekan ini bisa tersembunyi menjadi gejala-gejala psikis, misalnya impotensi seksual pada laki-laki yang dipenuhi oleh rasa bersalah seksualnya. Impotensi ini menghalangi laki-laki tersebut untuk menghadapi rasa bersalah maupun kecemasan yang akan muncul apabila ia melakukan aktivitas seksual yang normal dan ia nikmati. Dorongan yang mengalami tekanan tersebut juga bisa tersalurkan lewat mimpi, salah ucap, ataupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan lainnya.

Pembentukan ReaksiSalah satu cara agar dorongan yang ditekan tersebut bisa disadari adalah dengan cara menyembunyikan diri dalam selubung yang sama sekali bertentangan dengan bentuk semula. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut sebagai pembentukan reaksi (reaction form ation). Perilaku reaktif ini bisa dikenali dari sifatnya yang berlebih-lebihan dan bentuk yang obsesif juga kompulsif (Freud, 1926/1959a). Contoh dari pembentukan reaksi bisa

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

dilihat dari seorang perempuan muda yang sangat marah dan benci pada ibunya. Oleh karena ia tahu bahwa masyarakat menuntut anak untuk sayang pada orang tuanya, maka kesadaran akan rasa benci pada sang ibu akan membuatnya merasakan kecemasan yang besar. Guna menghindari rasa sakit akibat kecemasan itu, maka si perempuan muda ini berkonsentrasi pada dorongan-dorongan yang sebaliknya—cinta. Akan tetapi, “cinta”-nya pada sang ibu tidaklah tulus. Cinta nya terlalu ditonjolkan, dibesar-besarkan, dan dibuat- buat. Orang lain bisa dengan mudah melihat perasaan yang ada di balik rasa cintanya, tetapi perempuan muda tadi harus menipu dirinya sendiri dan berpegang pada pembentukan reaksinya, yang membantu dirinya menyembunyikan kebenaran—yaitu rasa benci pada sang ibu—yang membuatnya cemas.

PengalihanFreud (1926/1959a) meyakini bahwa pembentukan reaksi terbatas hanya pada satu objek tunggal. Misalnya, orang yang memiliki rasa cinta yang reaktif akan membanjiri orang yang diam-diam mereka benci dengan perhatian yang berlebihan. Akan tetapi, pada pengalihan (displacement), orang bisa mengarahkan dorongan-dorongan yang tak sesuai ini pada sejumlah orang atau objek sehingga dorongan aslinya terselubung atau tersembunyi. Misalnya, seorang perempuan yang marah pada teman sekamarnya bisa mengalihkan rasa marahnya kepada para pegawainya, kucing peliharaannya, atau boneka binatang miliknya. Ia akan tetap bersikap ramah pada teman sekamarnya. Akan tetapi, berbeda dengan pembentukan reaksi, sikap ramah tersebut tidak diungkapkan secara berlebihan atau dibesar-besarkan.

Pada tulisan-tulisannya, Freud menggunakan istilah “pengalihan” untuk berbagai hal. Dalam pembahasan kita tentang dorongan-dorongan seksual misalnya, kita mengetahui bahwa objek seksual bisa dialihkan atau diubah ke dalam berbagai objek lain, termasuk diri sendiri. Freud (1926/1959a) juga menggunakan pengalihan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengganti gejala neurotisnya dengan yang lain. Misalnya, dorongan kompulsif untuk masturbasi yang diganti menjadi perilaku mencuci tangan yang kompulsif. Pengalihan juga terlibat dalam pembentukan mimpi. Misalnya, ketika seseorang yang bermimpi memiliki dorongan-dorongan destruktif terhadap orang tuanya di mana dorongan tersebut muncul dalam bentuk seekor anjing atau serigala. Pada kasus seperti ini, mimpi tentang seekor anjing yang ditabrak mobil mencerminkan keinginan tidak sadar dari orang yang bermimpi tadi untuk menyaksikan kehancuran orang tuanya. (Kita akan membahas pembentukan mimpi secara menyeluruh di bagian tentang analisis mimpi).

FiksasiSecara umum, pertumbuhan psikis lazimnya bergerak secara kontinu melalui serangkaian tahap perkembangan. Akan tetapi, proses pendewasaan secara psikologis tidaklah bebas dari momen-momen yang penuh dengan stres maupun kecemasan. Jika melangkah ke tahap perkembangan lebih lanjut memunculkan kecemasan yang begitu besar, maka ego bisa mengambil strategi untuk tetap bertahan di tahap psikologis saat ini, yang lebih nyaman. Pertahanan seperti ini disebut sebagai fiksasi (fixation). Secara teknis, fiksasi merupakan keterikatan permanen dari libido pada tahap perkembangan sebelumnya yang lebih primitif

Teori Kepribadian

(Freud, 1917/1963). Serupa dengan mekanisme pertahanan lainnya, fiksasi bersifat universal. Orang-orang yang terus-menerus mendapatkan kepuasan lewat makan, merokok, atau bicara bisa jadi memiliki fiksasi oral, sebagaimana mereka yang terobsesi pada kerapihan dan keteraturan memiliki fiksasi anal.

RegresiPada saat libido melewati tahap perkembangan tertentu, di masa-masa penuh stres dan kecemasan, libido bisa kembali ke tahap yang sebelumnya. Langkah mundur ini dikenal sebagai regresi (regression) (Freud, 1917/1963). Misalnya, anak yang sudah disapih total bisa mundur dan menuntut untuk minum dari botol atau mengisap puting susu pada saat adiknya lahir. Perhatian yang diberikan pada adik bayi tersebut merupakan ancaman bagi si kakak. Regresi ini juga sering kali terjadi pada anak sulung dan orang dewasa. Salah satu cara yang umum diambil oleh orang dewasa dalam menghadapi situasi yang memunculkan kecemasan adalah untuk mundur ke pola perilaku sebelumnya yang lebih aman dan nyaman serta mengarahkan libidonya ke objek-objek yang lebih primitif dan familiar. Pada kondisi stres yang ekstrem, seorang dewasa bisa berbaring dalam posisi meringkuk seperti bayi dalam kandungan, yang lain pulang ke rumah ibu, sementara yang lain bisa berbaring di tempat tidur sepanjang hari dan bersembunyi di balik selimut dari dunia yang keji dan penuh ancaman. Perilaku regresi ini serupa dengan perilaku terfiksasi karena sifatnya yang kaku dan kekanak-kanakan. Akan tetapi, regresi ini biasanya bersifat temporer, sementara fiksasi menuntut pengerahan energi psikis yang sedikit banyak bersifat permanen.

ProyeksiManakala dorongan dari dalam menyebabkan kecemasan yang berlebihan, ego biasanya mengurangi rasa cemas tersebut dengan mengarahkan dorongan yang tak diinginkan ke objek eksternal, biasanya ke orang lain. Inilah yang disebut dengan mekanisme pertahanan proyeksi (projection), yang didefinisikan sebagai melihat dorongan atau perasaan orang lain yang tidak dapat diterima, padahal sebenarnya perasaan atau dorongan tersebut ada di alam tidak sadar dari diri sendiri (Freud, 1915/1957b). Misalnya, seorang pria secara konsisten mengartikan tindakan dari wanita yang lebih tua sebagai upaya untuk menggoda dirinya. Secara sadar, pikiran melakukan hubungan seksual dengan wanita yang lebih tua membuat pria tersebut jijik, tetapi tersembunyi di alam tidak sadar terdapat ketertarikan erotis yang kuat pada wanita-wanita tersebut. Pada contoh ini, pria muda tersebut membohongi diri sendiri dengan meyakini bahwa ia tak punya perasaan seksual pada wanita yang lebih tua. Sekalipun proyeksi ini berhasil menghapus sebagian besar rasa cemas dan bersalahnya, proyeksi ini memungkinkan ia untuk mempertahankan ketertarikan seksual pada perempuan-perempuan yang mengingatkan dirinya pada sang ibu.

Jenis proyeksi yang ekstrem adalah paranoid (paranoia), yaitu kelainan mental yang ditandai dengan pikiran-pikiran keliru (delusi) yang begitu kuat berupa rasa cemburu terhadap orang lain dan merasa dikejar-kejar oleh orang lain. Paranoid tidak selalu muncul akibat proyeksi, tetapi merupakan jenis ekstrem dari proyeksi. Menurut Freud (1922/1955), perbedaan

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

penting antara proyeksi dan paranoid adalah paranoid selalu ditandai dengan perasaan homoseksualitas yang ditekan terhadap pihak yang dianggap mengejar-ngejar orang tersebut. Freud meyakini bahwa pihak yang mengejar-ngejar tak lain adalah seorang teman yang berjenis kelamin sama, meskipun kadang-kadang orang bisa mengalihkan pikiran-pikiran keliru pada lawan jenisnya. Pada saat dorongan homoseksual tersebut menjadi begitu kuat, orang paranoid yang merasa dikejar-kejar mempertahankan dirinya dengan membalikkan perasaan tersebut dan memproyeksikannya kepada objek semula. Pada pria, proses transformasi ini berlangsung sebagai berikut. Seorang paranoid tidak berkata “Saya suka pada laki-laki itu”, tetapi justru sebaliknya, “Saya benci pada dirinya”. Oleh karena langkah ini justru memunculkan rasa cemas yang lebih besar lagi, maka ia pun berkata, “Ia benci pada saya”. Pada titik ini, orang tersebut bisa terbebas dari segala bentuk tanggung jawab dan dapat berkata, “Saya sebetulnya tidak ada masalah dengan dirinya, tetapi ia tampaknya punya perasaan negatif pada diri saya”. Mekanisme sentral pada semua paranoid adalah proyeksi yang diikuti oleh pikiran-pikiran keliru (delusi) akan rasa cemburu dan perasaan dikejar-kejar.

IntroyeksiSementara proyeksi mencakup pengarahan dorongan yang tidak diinginkan ke objek eksternal, introyeksi ( introjection) adalah mekanisme pertahanan di mana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain ke dalam egonya sendiri. Contohnya adalah seorang remaja yang melakukan introyeksi atau mengadopsi perilaku, nilai, atau gaya hidup seorang bintang film. Introyeksi seperti ini memberikan remaja tersebut rasa menghargai diri sendiri yang berlebihan dan meminimalkan perasaan-perasaan inferiornya. Orang mengintroyeksikan hal-hal yang mereka anggap bernilai dan hal tersebut membuat mereka bisa memandang diri mereka sendiri dengan lebih baik.

Freud (1926/1959a) melihat kemunculan Oedipus complex sebagai prototipe dari introyeksi. Pada masa Oedipal, seorang anak mengintroyeksikan kekuasaan dan nilai dari salah satu atau kedua orang tua—introyeksi inilah yang kemudian menandai kemunculan superego. Pada saat anak melakukan introyeksi terhadap apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai orang tua mereka, mereka pun terbebas dari keharusan untuk membangun dan memilih sendiri keyakinan maupun standar perilaku bagi dirinya. Pada saat anak melalui tahap perkembangan laten (kira-kira di usia enam sampai dua belas tahun), superego mereka menjadi semakin bersifat personal; yang berarti ada pergeseran dari sekadar identifikasi kaku pada orang tua. Sekalipun demikian, pada usia berapapun, manusia bisa mengurangi kecemasan yang terkait dengan perasaan kekurangan dengan cara mengadopsi atau melakukan introyeksi atas nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perilaku orang lain.

SublimasiMasing-masing dari mekanisme pertahanan di atas, membantu individu melindungi ego dari kecemasan. Akan tetapi, setiap mekanisme tersebut tidak sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat. Menurut Freud (1917/1963), satu mekanisme—yaitu sublimasi—dapat diterima, baik oleh individu maupun kelompok sosial. Sublimasi (sublimation) merupakan represi

Teori Kepribadian

dari tujuan genital dari Eros dengan cara menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial. Tujuan sublimasi diungkapkan secara jelas terutama melalui pencapaian kultural kreatif, seperti pada seni, musik, juga sastra, lebih tepatnya, pada segala bentuk hubungan antarmanusia dan aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Freud (1914/1953) meyakini bahwa karya seni Michelangelo, yang menemukan penyaluran tidak langsung dari libidonya melalui lukisan dan seni patung, merupakan contoh terbaik dari sublimasi. Pada kebanyakan orang, sublimasi bercampur dengan ungkapan Eros secara langsung sehingga menghasilkan keseimbangan antara pencapaian sosial dan kesenangan pribadi. Kebanyakan dari kita mampu melakukan sublimasi atas sebagian libido kita untuk mencapai nilai-nilai kultural yang lebih tinggi, sementara di saat yang sama mempertahankan dorongan-dorongan seksual dalam jumlah yang memadai untuk mengejar kesenangan erotis individual.

Secara ringkas, semua mekanisme pertahanan melindungi ego dari kecemasan. Mekanisme-mekanisme tersebut bersifat universal yang artinya semua orang melakukan perilaku-perilaku defensif sampai pada tahap tertentu. Masing-masing mekanisme pertahanan ini bercampur dengan represi dan setiap mekanisme bisa berkembang menjadi bentuk-bentuk psikopatologi. Akan tetapi, umumnya mekanisme pertahanan memberikan manfaat pada individu dan tak berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, salah satu mekanisme pertahanan—yaitu sublimasi—umumnya menguntungkan, baik bagi individu maupun masyarakat.

Tahap PerkembanganSekalipun Freud tak banyak berpengalaman langsung dengan anak-anak (termasuk dengan anaknya sendiri), teori perkembangannya nyaris seluruhnya membahas tentang masa kanak-kanak awal (early childhood). Bagi Freud, empat atau lima tahun pertama atau tahap infantil (infantile stage), sangat penting bagi pembentukan kepribadian. Tahap ini diikuti dengan enam sampai tujuh tahun periode laten (latency) di mana pertumbuhan seksual tidak atau sedikit terjadi. Kemudian, pada masa puber, mulailah kehidupan seksual dan tahap genital (genital stage). Perkembangan psikoseksual kemudian mencapai puncaknya pada kedewasaan (maturity).

Periode InfantilSalah satu asumsi paling penting dari Freud (1905/ 1953b, 1923/1961 b) adalah bayi mempunyai kehidupan seksual dan mengalami perkembangan seksual pragenital selama empat atau lima tahun pertama setelah kelahiran. Saat itu, Freud awalnya menulis tentang seksualitas infantil, yang sekalipun bukan konsep baru, tetapi mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak. Akan tetapi, saat ini, para pengamat yang melakukan observasi ketat mengaku bahwa anak-anak punya ketertarikan pada alat kelamin mereka, menyukai kesenangan seksual, dan mengungkapkan rangsangan seksual. Seksualitas anak-anak berbeda dengan seksualitas pada orang dewasa karena tidak punya kemampuan reproduksi dan sepenuhnya autoerotis (autoerotic). Akan tetapi, baik pada anak-anak maupun orang dewasa, dorongan-dorongan

Bab 2 Freud: Psikoanalisis |

seksual bisa dipuaskan oleh organ-organ selain genital. Mulut juga anus adalah bagian- bagian yang sensitif terhadap stimulasi bersifat erogen (Freud, 1933/1964).

Freud (1917/1963) membagi tahap infantil ke dalam tiga fase berdasarkan zona erogen utama yang berkembang paling pesat. Pertama, fase oral kemudian diikuti oleh fase anal dan falik (phallic). Ketiga fase infantil ini saling tumpang-tindih satu dengan lainnya dan masing-masing berkembang sampai tahap yang berikutnya dimulai.

Fase OralOleh karena mulut merupakan organ pertama yang memberikan kesenangan pada bayi, maka tahap perkembangan Freud yang pertama adalah fase oral (oral phase). Bayi mendapatkan zat-zat nutrisi untuk mempertahankan hidup melalui aktivitas oral, tetapi selain itu, mereka juga memperoleh kesenangan dari perilaku mengisap tersebut.

Tujuan seksual dari aktivitas oral awal ini adalah untuk mengambil atau menerima objek pilihan—yaitu puting susu—ke dalam tubuh bayi. Pada masa reseptif oral (oral- receptive), bayi mempunyai nilai yang jelas terhadap objek yang memberinya kesenangan dan kebutuhan mereka biasanya terpuaskan tanpa diganggu oleh rasa frustrasi maupun kecemasan. Akan tetapi, begitu mereka tumbuh dewasa, mereka cenderung mengalami perasaan frustrasi dan kecemasan karena penjadwalan sesi menyusui, jeda waktu antarsesi menyusui yang semakin panjang, dan penyapihan bertahap. Kecemasan-kecemasan ini biasanya diikuti dengan perasaan ambivalen terhadap objek cinta mereka (yaitu ibu) dan kemampuan ego yang semakin besar untuk mempertahankan dirinya terhadap lingkungan dan terhadap kecemasan (Freud, 1933/1964).

Bayi memuaskan kebutuhan oralnya dengan segala cara yang bisa ia lakukan

Teori Kepribadian

Pertahanan bayi terhadap lingkungannya banyak dibantu dengan tumbuhnya gigi. Pada titik ini, mereka masuk ke fase oral kedua, yang disebut Freud (1933/1964) sebagai periode sadistik oral (oral sadistic). Pada fase ini, bayi merespons orang lain dengan menggigit, mengoceh, menutup mulut, tersenyum, serta menangis. Pengalaman otoerotis mereka yang pertama adalah mengisap ibu jari, sebuah pertahanan atas kecemasan yang bisa memuaskan kebutuhan seksual, tetapi bukan kebutuhan nutrisi mereka.

Sementara anak tumbuh besar, mulut tetap menjadi zona erogen. Pada saat mereka dewasa, mereka mampu memuaskan kebutuhan oral dalam berbagai cara, seperti mengisap permen, mengunyah permen karet, menggigit pensil, makan berlebihan, merokok, mengisap pipa dan cerutu, juga mengeluarkan pernyataan sarkastis yang menusuk.

Fase AnalDorongan agresif, yang pada tahun pertama kehidupan terwujud dalam bentuk sadisme oral. Dorongan ini berkembang lebih utuh di tahun kedua, saat anus muncul sebagai zona yang memberikan kepuasan seksual. Oleh karena periode ini ditandai dengan kepuasan yang diperoleh melalui perilaku agresif dan fungsi-fungsi pembuangan atau ekskresi, maka Freud (1933/1964) menyebut periode ini sebagai fa se anal sadistis (sadistic-anal phase), atau singkatnya, fase anal (anal phase) dari perkembangan manusia. Fase ini dibagi menjadi dua subfase, yaitu anal awal dan anal akhir.

Selama periode anal aw al (early anal period), anak memperoleh kepuasan dari merusak atau menghilangkan objek. Pada masa ini, sifat menghancurkan dari dorongan sadistis lebih kuat dibandingkan dorongan erotis sehingga anak-anak sering kali bertindak agresif pada orang tua karena membuat mereka frustrasi dengan latihan penggunaan toilet (toilet training).

Kemudian, pada saat anak memasuki periode anal akhir (late anal period), mereka kadang-kadang memiliki ketertarikan pada feses atau kotoran, ketertarikan yang berakar pada kesenangan erotis yang diperoleh dari perilaku buang air besar. Kadang-kadang, anak memberikan feses mereka pada orang tua sebagai hadiah berharga (Freud, 1933/1964). Apabila perilaku ini diterima dan dipuji oleh orang tua, maka anak akan cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang dermawan dan murah hati. Akan tetapi, jika “hadiah” ini ditolak dan justru diberi hukuman, anak bisa mengadopsi metode lain untuk memperoleh kepuasan anal—menahan feses sampai muncul tekanan yang menyebabkan rasa sakit sekaligus memberikan rangsangan yang erotis. Kesenangan narsistis juga masokis ini menjadi pondasi dari karakter anal (anal character)— yaitu orang-orang yang terus memperoleh kepuasan erotis dengan menyimpan dan memiliki berbagai objek serta menatanya dengan sangat rapi dan serba teratur. Hipotesis Freud (1933/1964) adalah orang-orang yang tumbuh menjadi karakter anal adalah mereka yang semasa kanak-kanak sangat menentang latihan penggunaan toilet, sering menahan feses mereka, dan memperpanjang masa latihan penggunaan toilet lebih lama dari biasanya. Erotisme anal ini berubah menjadi segitiga anal (anal triad) dari sikap serba teratur, kikir, dan keras kepala yang khas pada orang dewasa dengan karakter anal.

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

Freud (1933/1964) meyakini bahwa bagi anak perempuan, erotisme anal berawal dari rasa iri akan penis (penis envy) selama tahap falik yang pada akhirnya diekspresikan dengan melahirkan bayi. Ia juga meyakini bahwa di alam bawah sadar, konsep penis dan bayi—yang keduanya disebut sebagai “si kecil”—pada dasarnya punya makna yang sama. Feses, yang punya bentuk bulat panjang dan keluar dari tubuh, juga tak bisa dibedakan dari bayi, dan ketiga konsep tersebut—penis, bayi, dan feses—diwakili oleh simbol yang sama pada mimpi.

Pada tahap oral dan anal, tak ada perbedaan mendasar antara perkembangan psikoseksual pada pria dan wanita. Anak-anak, baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan bisa mengembangkan orientasi aktif maupun pasif. Sikap aktif ini sering kali ditandai dengan apa yang Freud (1933/1964) sebut sebagai kualitas maskulin dari kekuatan dan sadisme. Sementara orientasi pasif, umumnya ditandai dengan kualitas feminin dari voyeurisme dan masokisme. Akan tetapi, kedua orientasi tersebut juga kombinasi antara keduanya sama- sama bisa berkembang, baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan.

Fase FalikPada kira-kira tahun ke-3 atau ke-4, anak memulai tahap ketiga dari perkembangan

infantil—fase falik (Phallic Phase), yaitu masa di mana wilayah genital menjadi zona erogen utama. Tahap ini ditandai pertama kalinya lewat dikotomi antara perkembangan pria dan wanita, perbedaan yang Freud (1925/1961) yakini disebabkan oleh perbedaan anatomi antara kedua jenis kelamin tersebut. Freud (1925/1961, him. 178) menyitir perkataan Napoleon, “Sejarah adalah takdir” (History is destiny) dan mengubahnya menjadi “Anatomi adalah takdir” (Anatomy is destiny). Pernyataan ini mendasari keyakinan Freud bahwa perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan mendasari sederetan perbedaan psikologis penting di antara keduanya.

Masturbasi, yang muncul selama fase oral, kini memasuki fase kedua yang lebih penting. Selama fase falik, masturbasi terjadi secara hampir universal, tetapi karena orang tua umumnya menekan aktivitas tersebut, maka anak-anak cenderung menekan keinginan sadar mereka untuk masturbasi pada saat periode falik hampir berakhir. Serupa dengan pengalaman awal anak saat disapih dan dilatih menggunakan toilet, pengalaman penekanan masturbasi (suppression o f masturbation) membantu membentuk pondasi perkembangan psikoseksual anak (Freud, 1933/1964). Akan tetapi, pengalaman anak terhadap Oedipus complex memainkan peran yang lebih penting lagi pada perkembangan kepribadian anak.

Oedipus com plex p a d a Laki-laki. Freud (1925/1961) meyakini bahwa sebelum fase falik, bayi laki-laki membentuk identifikasi dengan ayahnya; ia ingin menjadi seperti ayahnya. Kemudian, ia mengembangkan hasrat seksual dengan ibunya; ia ingin memiliki ibunya. Bagi ego yang belum berkembang, kedua keinginan ini tidak tampak saling bertentangan satu dengan lainnya sehingga mereka bisa muncul berdampingan dalam satu waktu. Pada saat si anak laki-laki akhirnya menyadari bahwa keduanya saling berlawanan, ia menanggalkan identifikasinya dengan ayah dan mempertahankan perasaan yang lebih kuat—keinginan untuk memiliki ibu. Anak laki-laki ini kini melihat ayah sebagai saingan untuk mendapatkan cinta dari sang ibu. Ia ingin menyingkirkan ayahnya dan memiliki ibu dalam hubungan

Teori Kepribadian

seksual. Kondisi persaingan dengan ayah dan perasaan cinta inses ( incest) terhadap sang ibu dikenal sebagai Oedipus com plex sederhana pada laki-laki. Istilah ini diambil dari tragedi Yunani karya Sophocles di mana Oedipus, Raja Thebes, yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.

Freud (1923/196la) meyakini bahwa sifat alamiah biseksual seorang anak (dari kedua jenis kelamin) membuat gambaran di atas menjadi lebih rumit lagi. Sebelum anak laki- laki memasuki fase Oedipus, ia mengembangkan sejumlah sifat feminin. Oleh karena itu, pada periode Oedipal, sifat feminin mengarahkannya untuk menunjukkan perasaan sayang kepada ayah dan mengekspresikan kebencian kepada ibu. Sementara di saat yang sama, kecenderungan maskulin membuatnya merasakan kebencian pada ayah dan nafsu pada ibu. Pada kondisi yang serba ambivalen seperti ini, yang disebut Oedipus complex utuh (complete Oedipus complex), perasaan sayang dan kebencian muncul bersamaan karena satu atau kedua perasaan ini tak disadari. Freud meyakini bahwa perasaan ambivalen pada anak laki- laki memainkan peran dalam evolusi kompleks kastrasi (castration complex), yang muncul dalam bentuk kecemasan kastrasi (castration anxiety) atau rasa takut kehilangan penis pada anak laki-laki.

Bagi Freud (1905/1953b, 1917/1963, 1923/1961b), kompleks kastrasi dimulai pada saat anak laki-laki (yang menduga bahwa semua orang, termasuk anak perempuan, mempunyai alat kelamin seperti miliknya) menyadari bahwa perempuan ternyata tak punya penis. Kesadaran ini menjadi guncangan emosional terbesar dalam hidup anak laki-laki. Setelah periode pergulatan mental dan upaya menampik kenyataan ini, anak laki-laki dipaksa untuk menyimpulkan bahwa anak perempuan punya penis yang dipotong. Keyakinan ini diperkuat oleh ancaman orang tua untuk menghukum si anak laki-laki atas perilaku seksual. Anak laki- laki ini kemudian terpaksa menyimpulkan bahwa penis anak perempuan dipotong karena ia dihukum lantaran masturbasi atau karena menggoda si ibu. Bagi anak laki-laki, ancaman kastrasi kini menjadi kenyataan yang menakutkan. Oleh karena ancaman kastrasi tak bisa lagi ditoleransi, maka anak laki-laki menekan dorongan akan aktivitas seksual, termasuk fantasinya untuk menggoda ibu.

Sebelum ia mengalami pengalaman mendadak akan kecemasan kastrasi, anak laki-laki kemungkinan “melihat” daerah genital anak perempuan atau ibunya. Akan tetapi, apa yang ia lihat tidak otomatis memicu kompleks kastrasi. Kecemasan kastrasi baru terungkap pada saat ego anak laki-laki cukup matang untuk memahami keterkaitan antara hasrat seksual dan pemotongan penis.

Freud meyakini bahwa ancaman kastrasi ini ada pada semua anak laki-laki, bahkan pada mereka yang secara pribadi tak merasa terancam dengan hilangnya atau terhambatnya pertumbuhan penis. Menurut Freud (1933/1964), anak laki-laki tidak perlu menerima ancaman kastrasi yang jelas. Sekadar menyebut soal penis yang cedera atau mengerut sudah cukup untuk mengaktifkan peninggalan filogenetis pada anak. Peninggalan filogenetis mampu mengisi kesenjangan pada pengalaman individual dengan pengalaman yang diwariskan oleh para nenek moyang kita. Ketakutan akan kastrasi dari masa lalu memperkuat pengalaman individual pada anak dan mengakibatkan munculnya kecemasan kastrasi yang universal. Freud mengatakan: “Ini bukan persoalan apakah kastrasi ini benar-benar terjadi; yang

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

menentukan adalah bahwa terdapat bahaya yang mengancam dari luar sana dan anak meyakini hal itu”. Ia melanjutkan dengan menyatakan bahwa

terdapat tanda-tanda pada ... hukuman perlu menemukan penguatan filogenetis secara berkala pada diri anak laki-laki. Kami mencurigai bahwa dalam perjalanan umat manusia, kastrasi benar-benar dilakukan oleh ayah yang iri juga keji pada anak laki-laki yang sedang tumbuh dewasa, dan peristiwa tersebut, yang sering kali memainkan peran penting dalam ritual pubertas di kalangan masyarakat primitif, menghasilkan peninggalan yang sangat mudah untuk dikenali (him. 86-87).

Ketika Oedipus complex ini hilang atau ditekan, maka anak laki-laki pun menyerah pada hasrat insesnya dan mengubahnya menjadi perasaan cinta yang lembut serta mulai mengembangkan superego primitifnya. Ia dapat mengidentifikasikan dirinya, baik pada ayah maupun ibu, tergantung pada kekuatan sifat feminin yang ada pada dirinya. Biasanya, identifikasinya adalah pada ayah, tetapi ini tidak sama dengan identifikasi pra-Oedipalnya. Anak laki-laki ini tak lagi ingin menjadi si ayah, justru ia menggunakan ayahnya sebagai model untuk memilah perilaku baik dan buruk. Ia melakukan introyeksi atau meleburkan otoritas ayahnya ke dalam egonya sendiri dan menanam benih superego yang dewasa. Superego yang tumbuh mengambil alih larangan dari si ayah atas perilaku inses dan memastikan agar Oedipus complex ini terus ditekan (Freud, 1933/1964).

Oedipus com plex p a d a Perem puan. Fase falik pada anak perempuan berlangsung dengan cara yang lebih berliku dibandingkan pada anak laki-laki, dan perbedaan ini diakibatkan oleh perbedaan anatomi di antara keduanya (Freud, 1925/1961). Seperti pada anak laki- laki, anak perempuan pra-Oedipal menduga bahwa semua anak memiliki genital yang sama seperti milik mereka. Mereka segera menemukan bahwa ternyata anak laki-laki tak hanya punya perangkat genital yang berbeda, tetapi juga lebih istimewa. Anak perempuan kemudian merasa iri atas perangkat ekstra tersebut, merasa dikelabui dan ingin memiliki penis. Pengalaman rasa iri akan penis (penis envy) menjadi daya dorong yang kuat dalam pembentukan kepribadian anak perempuan. Berbeda dengan kecemasan kastrasi pada anak laki-laki, yang dengan cepat ditekan, rasa iri akan penis ini bisa bertahan selama bertahun- tahun dalam satu bentuk atau dalam bentuk yang berubah-ubah. Freud (1933/1964) meyakini bahwa rasa iri akan penis ini kerap diungkapkan dalam bentuk keinginan untuk menjadi anak laki-laki atau untuk menjadi pria. Keinginan ini kemudian terbawa, secara hampir universal, menjadi keinginan untuk punya bayi, dan secara perlahan-lahan keinginan tersebut terungkap dalam bentuk melahirkan bayi, terutama bayi laki-laki.

Sebelum kompleks kastrasi terjadi, anak perempuan membentuk identifikasi dengan ibunya serupa dengan yang terjadi pada anak laki-laki; di mana anak perempuan memiliki fantasi dirinya digoda oleh ibunya. Perasaan inses seperti ini, menurut Freud (1933/1964), kemudian berkembang menjadi kebencian manakala anak perempuan melihat si ibu bertanggung jawab karena melahirkan dirinya tanpa penis. Libido anak perempuan ini kemudian beralih pada ayah, yang bisa memuaskan keinginannya akan penis dengan cara memberinya seorang bayi, objek yang ia anggap sebagai pengganti penis. Hasrat untuk berhubungan seksual dengan ayah serta perasaan benci pada ibu dikenal sebagai Oedipus complex sederhana pada perempuan (simple fem ale Oedipus complex). Freud

Teori Kepribadian

(1920/1955b, 1931/1961) diketahui menentang istilah kompleks electra (electra complex), yang kadang-kadang digunakan orang lain dalam menjelaskan tentang Oedipus complex pada perempuan ini. Oleh karena istilah ini menyiratkan adanya hubungan paralel langsung antara perkembangan laki-laki dan perempuan selama tahap falik. Freud meyakini bahwa hubungan paralel seperti itu tidak ada dan perbedaan anatomi mengarahkan perkembangan seksual pada laki-laki dan perempuan setelah fase falik ke jalan yang berbeda.

Akan tetapi, tidak semua anak perempuan, mengalihkan ketertarikan seksualnya pada ayah dan mengembangkan rasa benci pada ibu. Freud (1931/1961, 1933/1964) menyebutkan bahwa ketika anak perempuan pra-Oedipal mengetahui tentang kastrasi mereka dan mengakui kekurangan mereka dibandingkan dengan anak laki-laki, mereka akan memberontak dengan mengambil satu dari tiga cara yang ada. Pertama, mereka sama sekali melepaskan seksualitas mereka—baik sifat feminin dan maskulin yang ada pada mereka— dan mengembangkan kebencian yang kuat terhadap ibu. Kedua, mereka dapat bergantung erat-erat pada maskulinitas mereka, mengidam-idamkan penis dan berfantasi menjadi laki-laki. Ketiga, mereka bisa berkembang secara normal, di mana mereka menjadikan ayah sebagai pilihan seksual mereka dan menjalani Oedipus complex sederhana. Pilihan anak perempuan ini sebagian dipengaruhi oleh warisan biseksualitas yang ada padanya dan derajat maskulinitas yang ia kembangkan sepanjang periode pra-Oedipal.

Oedipus complex sederhana pada perempuan terselesaikan pada saat anak perempuan menghentikan aktivitas masturbasinya, menyerah pada hasrat seksualnya terhadap sang ayah, dan kembali mengidentifikasikan dirinya dengan sang ibu. Akan tetapi, Oedipus complex perempuan biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk menghilang dan cenderung tidak tuntas. Oleh karena superego dibangun di atas sisa-sisa peninggalan Oedipus complex, Freud (1924/1961, 1933/1964) meyakini bahwa superego anak perempuan umumnya lebih lemah, lebih fleksibel, dan tidak terlalu kejam dibandingkan superego anak laki-laki. Alasan mengapa superego anak perempuan tidak setegas anak laki-laki bisa ditelusuri pada perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam sejarah Oedipal mereka. Bagi anak laki-laki, kecemasan kastrasi mengikuti Oedipus complex, menghancurkan Oedipus complex tersebut sampai nyaris tuntas, lalu memutuskan bahwa mencurahkan energi psikis di atas sisa-sisa Oedipus complex tersebut adalah hal yang tidak perlu. Setelah Oedipus complex ini hancur, maka energi yang semula digunakan untuk mempertahankannya pun bebas untuk membentuk superego. Akan tetapi, pada anak perempuan, Oedipus complex mengikuti kompleks kastrasi (rasa iri akan penis) dan karena perempuan tidak mengalami ancaman akan kastrasi, maka mereka tidak mengalami guncangan traumatis yang mendadak. Oedipus complex perempuan nyaris tuntas oleh penyadaran secara perlahan-lahan pada dirinya bahwa ia akan kehilangan rasa cinta dari ibu dan hubungan seksual dengan ayah pun tak kunjung menjadi kenyataan. Libidonya sebagian digunakan untuk mempertahankan kompleks kastrasi dan peninggalannya sehingga energi psikis yang sebetulnya dapat digunakan untuk membangun superego yang kuat pun terhalang (Freud, 1931/1961).

Ringkasnya, fase falik pada laki-laki dan perempuan mengambil jalan yang berbeda. Pertama, kompleks kastrasi pada anak perempuan terwujud dari rasa iri akan penis—bukan kecemasan kastrasi. Kedua, rasa iri akan penis terjadi sebelum Oedipus complex perempuan, sedangkan pada anak laki-laki justru sebaliknya, yaitu kecemasan kastrasi mengikuti Oedipus

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

complex laki-laki. Ketiga, karena rasa iri akan penis terjadi sebelum Oedipus complex perempuan, maka anak perempuan tidak mengalami peristiwa traumatis seperti yang dialami anak laki-laki dengan kecemasan kastrasinya. Keempat, karena perempuan tidak mengalami peristiwa traumatis ini, maka Oedipus complex perempuan terjadi lebih lambat dan tidak selesai dengan tuntas dibandingkan dengan Oedipus complex laki-laki.

Oedipus complex sederhana pada laki-laki dan perempuan diringkas pada Tabel 2.1.

Freud menjelaskan pandangannya tentang Oedipus complex perempuan dengan cara yang lebih mengambang dibandingkan ketika ia menerangkan tentang fase falik pada laki-laki. Sekalipun ia menempatkan pandangannya pada feminitas dengan cara yang mengambang dan masih serba tidak pasti, ia dengan segera membela pemikirannya dengan gigih. Ketika sejumlah pengikutnya menolak pandangannya yang merendahkan perempuan, Freud justru semakin kukuh dengan pendiriannya dan bersikeras bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihapus oleh budaya karena merupakan konsekuensi yang tak bisa dihindari dari perbedaan anatomi antara kedua jenis kelamin ini (Freud, 1925/1961). Sikap publik Freud yang kaku terhadap perkembangan feminin ini membuat sejumlah penulis (Brannon, 2005; Breger, 2000; Chodorow, 1989, 1991, 1994; Irigaray, 1986; Krausz, 1994) mengkritiknya sebagai seorang yang seksis dan merendahkan perempuan.

Di balik sikap publiknya yang tak tergoyahkan, Freud sendiri tak yakin bahwa pandangannya terhadap perempuan telah sampai pada kesimpulan. Satu tahun setelah ia menyatakan bahwa “anatomi adalah takdir”, ia mengungkapkan keraguannya dan mengakui bahwa pemahamannya tentang anak perempuan dan wanita tidaklah utuh. “Kami tidak tahu banyak tentang kehidupan seksual anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Akan tetapi, kami tidak merasa malu mengakui ini karena kehidupan seksual wanita merupakan ‘wilayah misterius’ dalam psikologi” (Freud 1926/1959b, him. 212).

TABEL 2.1

Jalur Paralel antara Fase Falik Sederhana pada Perempuan dan Laki-laki

Fase Falik Laki-laki Fase Falik Perempuan

1. Oedipus complex (hasrat seksual pada

ibu/kebencian pada ayah)

1. Kompleks kastrasi dalam bentuk rasa iri akan penis

2. Kompleks kastrasi dalam bentuk kecemasan kastrasi menghancurkan Oedipus complex

2. Oedipus complex berkembang sebagai

upaya untuk mendapatkan penis (hasrat

seksual pada ayah; kebencian pada ibu)

3. Identifikasi kepada ayah 3. Penyadaran bertahap bahwa hasrat Oedipal

ini kemudian hilang dengan sendirinya

4. Superego yang kuat menggantikan Oedipus complex yang nyaris seluruhnya hilang

4. Identifikasi pada ibu

5. Superego yang lemah menggantikan

Oedpus complex yang hilang sebagian.

Teori Kepribadian

Sepanjang perjalanan kariernya, Freud sering kali mengusulkan berbagai teori tanpa didukung oleh bukti klinis maupun eksperimental. la kemudian melihat kebanyakan dari teori tersebut sebagai bangunan fakta-fakta, sekalipun ia sama sekali tak punya bukti pendukung yang memadai. Akan tetapi, sepanjang hidupnya, Freud meragukan validitas teori-teorinya tentang perempuan. Satu kali, Freud pernah mengaku pada temannya, Marie Bonaparte, bahwa ia tak memahami perempuan. “Pertanyaan paling sulit yang belum pernah dijawab dan belum berhasil saya pecahkan, sekalipun saya sudah melewatkan tiga puluh tahun meneliti tentang jiwa feminin adalah Apa sebenarnya yang diinginkan perempuan?’”. (E. Jones, 1955, him. 421). Pertanyaan yang muncul setelah bertahun-tahun berteori, menyiratkan bahwa Freud tidak hanya melihat perempuan berbeda dari laki-laki, tetapi juga sebagai sebuah misteri yang tak dipahami oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki.

Lebih dari B iografi A pakah Freud salah m em ah am i perem puan?U ntuk m en getah u i in form asi ten tan g p erju angan Freu d sepanjang hidupnya d alam m em ah am i p erem p u an, kunjungi situs W eb kam i di w w w .m hhe.com /feist7

Periode LatenFreud meyakini bahwa pada tahun ke-4 dan ke-5 sampai masa puber, baik anak laki- laki maupun perempuan lazimnya, tetapi tidak selalu, melalui periode perkembangan psikoseksual yang nonaktif. Fase laten ini sebagian dimunculkan oleh upaya orang tua menghukum atau mencegah aktivitas seksual. Apabila orang tua berhasil menekan aktivitas ini, maka anak akan merepresi dorongan seksual mereka dan mengarahkan energi psikisnya ke sekolah, teman, hobi, serta aktivitas-aktivitas nonseksual lainnya.

Akan tetapi, fase laten ini biasanya juga berakar pada peninggalan filogenetis kita. Freud (1913/1953. 1926/1951b) menyebutkan bahwa Oedipus complex dan periode laten seksual bisa dijelaskan dalam hipotesis berikut ini. Pada awal perkembangannya, manusia tinggal di dalam keluargayang dipimpin oleh seorang ayah yang berkuasa dan memiliki seluruh aktivitas seksual untuk dirinya sendiri. Seorang ayah yang akan membunuh atau menyingkirkan anak laki-lakinya, yang ia pandang sebagai ancaman terhadap otoritasnya. Kemudian, suatu hari, para anak laki-laki ini bergabung, bersatu, membunuh, dan menikmati (menyantap) ayah mereka. Akan tetapi, secara individual, mereka terlalu lemah untuk mengambil alih warisan dari ayah mereka. Oleh karena itu, mereka bergabung membentuk sebuah klan atau totem dan melarang apa yang baru saja mereka lakukan; yaitu menyatakan bahwa di dalam keluarga, membunuh ayah dan berhubungan seksual dengan anggota keluarga perempuan, adalah hal yang melanggar hukum. Kemudian, ketika mereka menjadi seorang ayah, mereka menekan aktivitas seksual anak-anak mereka pada saat dorongan tersebut mulai muncul, yaitu sekitar usia tiga atau empat tahun. Begitu penekanan ini tuntas, maka masuklah periode laten seksual. Setelah pengalaman ini berulang dari satu generasi ke generasi lain, maka dalam perkembangan psikoseksual seseorang, pengalaman ini pun menjadi dorongan yang aktif, tetapi tak disadari. Sehingga, hambatan atas aktivitas seksual menjadi bagian dari peninggalan filogenetis kita dan kita pun menekan dorongan seksual kita sendiri tanpa perlu

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

berpengalaman dihukum karena melakukannya. Freud (1926/195 lb) menyebutkan bahwa hipotesis ini merupakan satu kemungkinan penjelasan terhadap periode laten dan ia dengan hati-hati menyebutkan bahwa hipotesis ini tidak didukung data antropologis.

Berlanjutnya masa laten ini diperkuat oleh supresi terus-menerus oleh orang tua juga guru dan oleh perasaan-perasaan internal seperti rasa malu, rasa bersalah, dan moralitas. Dorongan seksual, tentu saja, tetap ada di masa laten ini, hanya saja ada hambatan dalam mencapai tujuan-tujuan dari dorongan tersebut. Sekarang, libido yang tersublimasi muncul dalam bentuk pencapaian sosial dan kultural. Selama periode ini, anak-anak membentuk group atau “geng”, hal yang tak mungkin terjadi di masa infantil ketika dorongan seksual sepenuhnya bersifat autoerotis.

Periode GenitalMasa puber menandai penyadaran kembali atas tujuan seksual dan mulainya periode genital (genital period). Selama masa puber, kehidupan seksual seseorang (yang terbagi ke dalam dua fase) memasuki fase keduanya, yang mempunyai sederetan perbedaan mendasar dari periode infantil (Freud, 1923/196lb). Pertama, remaja melepaskan oto-erotismenya dan mengarahkan energi seksualnya kepada orang lain dan tak lagi pada diri mereka sendiri. Kedua, di masa ini reproduksi dapat dilakukan. Ketiga, sekalipun rasa iri akan penis terus bertahan pada anak perempuan, bagi mereka, vagina kini mendapatkan status yang sama seperti penis di masa bayi. Serupa seperti pada anak perempuan, anak laki-laki melihat organ perempuan sebagai objek yang mereka cari dan bukan sebagai sumber trauma. Keempat, seluruh dorongan seksual mengalami organisasi yang lebih utuh dan komponen- komponen dorongan yang semula beroperasi secara terpisah-pisah di awal periode infantil kini mengalami sintesis selama masa remaja. Mulut, anus, dan wilayah yang memberikan rasa menyenangkan kini melengkapi genital, yang berkembang menjadi zona erogen yang paling penting.

Sintesis dari Eros, meningkatnya status vagina, kapasitas reproduktif dari dorongan seksual, dan kemampuan untuk mengarahkan libido ke luar dibandingkan kepada diri sendiri merupakan perbedaan-perbedaan penting antara seksualitas pada bayi dan orang dewasa. Akan tetapi, pada beberapa hal, Eros tetap tak berubah. Eros tetap mengalami represi, sublimasi; atau diungkapkan dalam bentuk masturbasi atau tindakan seksual lainnya. Zona- zona erogen yang lebih rendah terus menjadi alat yang memberikan kesenangan seksual. Misalnya mulut yang mempertahankan kebanyakan aktivitas semasa bayi, yang membuat seseorang menghentikan tindakan mengisap ibu jari, tetapi menggantinya dengan merokok atau menciumi pasangannya.

KematanganPeriode genital dimulai pada saat pubertas dan berlanjut di sepanjang hidup individu. Pada periode ini, seseorang mencapai kematangan fisiknya. Sebagai tambahan pada fase genital, Freud mengungkapkan, tetapi tak pernah sepenuhnya mengonseptualisasikan adanya periode kematangan psikologis (psychological maturity), satu tahap yang dilalui setelah seseorang

Teori Kepribadian

melalui periode perkembangannya secara ideal. Sayangnya, kematangan psikologis jarang terjadi karena manusia mempunyai begitu banyak kesempatan untuk mengembangkan kelainan patologis atau sifat neurotis yang mereka miliki sejak awal.

Sekalipun Freud tak pernah sepenuhnya menyempurnakan konsep kematangan psikologis ini, kita bisa menggambarkan individu yang dewasa secara psikoanalisis. Individu seperti ini memiliki struktur pikiran yang seimbang di mana ego mengendalikan id dan superego juga membuka diri pada hasrat dan tututan yang masuk akal (lihat Figur 2.3). Dengan begitu, dorongan id bisa diungkapkan secara jujur dan sadar tanpa diikuti oleh perasaan malu atau bersalah, dan superego mereka berkembang melampaui identifikasi dan kontrol orang tua serta bebas dari perasaan benci maupun dorongan inses. Ego idealnya tergolong realistis serta kongruen dengan ego mereka dan batas antara superego dan ego nyaris tak bisa ditembus.

Alam sadar memainkan peran yang lebih penting pada perilaku orang dewasa, dengan kebutuhan yang minimal dalam menekan dorongan seksual dan agresi. Represi pada orang- orang yang sehat secara psikologis akan muncul dalam bentuk sublimasi daripada gejala- gejala neurotis. Oleh karena Oedipus complex pada orang dewasa telah hilang sepenuhnya atau nyaris sepenuhnya, maka libido yang awalnya diarahkan pada orang tua, akan diungkapkan dalam upaya mencari cinta yang lembut juga sensual. Singkatnya, orang-orang yang matang secara psikologis akan melalui pengalaman masa kanak-kanak dan remaja dengan mengendalikan energi psikis dan dengan ego yang berfungsi sebagai pusat dari alam sadar yang terus berkembang.

Penerapan Teori PsikoanalisisFreud adalah pemikir yang spekulatif juga inovatif, yang boleh jadi lebih tertarik pada pengembangan teori daripada menangani mereka yang sakit. Ia mencurahkan begitu banyak waktu untuk menemukan teori yang tidak hanya membantu pasien, tetapi juga membantunya melihat ke dalam kepribadian manusia yang diperlukan untuk membangun teori psikoanalisis. Pada bagian ini, kita akan melihat teknik-teknik terapeutik awal Freud dan teknik yang berkembang kemudian serta pandangannya tentang mimpi dan keliru ucap yang tak disadari.

Teknik Terapeutik Awal FreudSebelum menggunakan teknik psikoterapi asosiasi bebas yang agak pasif, Freud bergantung pada pendekatan yang jauh lebih aktif. Dalam Kajian tentang Histeria (Studies on Hysteria) (Breuer & Freud, 1895/1955), Freud menggambarkan teknik yang ia gunakan untuk membuka kenangan masa kanak-kanak yang mengalami represi:

Saya meletakkan tangan saya ke dahi pasien saya atau menempatkan kepala pasien di antara kedua tangan saya dan berkata: “Anda akan merasakan tekanan tangan saya.Saat saya meringankan tekanan tangan saya, Anda akan melihat sesuatu di hadapan Anda atau ada sesuatu yang akan muncul di benak Anda. Coba tangkap itu. Itulah yang kita cari.—Sekarang, apa yang Anda lihat atau apa terjadi pada Anda?”

Bab 2 Freud: Psikoanalisis j

Pada kesempatan pertama saya mencoba prosedur in i... saya sendiri terkejut ketika mendapati bahwa prosedur ini memberikan hasil tepat seperti yang saya harapkan.(him. 110-111)

Prosedur yang sangat sugestif seperti ini memang memberikan hasil yang Freud butuhkan, yaitu pengakuan akan godaan masa kanak-kanak. Sembari menggunakan tafsir mimpi dan hipnosis, Freud menyampaikan pada pasiennya bahwa gambaran pengalaman seksual masa kanak-kanak akan muncul (Freud, 1896/1962).

Dalam autobiografi yang ditulis tiga puluh tahun setelah ia meninggalkan teori godaan, Freud (1925/1959) menyatakan bahwa berdasarkan teknik di bawah tekanan ini, pasien- pasiennya menggambarkan ingatan masa kanak-kanak di mana mereka digoda secara seksual oleh orang dewasa. Pada saat ia terpaksa harus mengaku bahwa “gambaran-gambaran godaan tersebut tak pernah terjadi, yang ada hanyalah fantasi yang dibuat oleh pasien-pasien saya karena saya sendiri boleh jad i m em aksakan gam baran godaan tersebut pada mereka [cetak miring tambahan], saya merasa kehilangan arah selama beberapa saat” (him. 34). Akan tetapi, ternyata Freud tak lama kehilangan arah. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, dalam surat tertanggal 21 September 1897 kepada Fliess, ia menyimpulkan bahwa “gejala- gejala neurotis tidak terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa aktual, tetapi pada fantasi. ... inilah pertama kalinya saya menemukan Oedipus complex" (Freud, 1925/1959, him. 34).

Ruang konsultasi milik Freud

Seiring dengan berjalannya waktu, Freud kemudian menyadari bahwa taktiknya yang sangat sugestif dan bahkan penuh paksaan seperti ini memunculkan ingatan tentang godaan pada para pasiennya dan ia tak punya banyak bukti untuk memastikan apakah ingatan

Teori Kepribadian

tersebut benar-benar terjadi. Freud semakin meyakini bahwa gejala neurotis terkait dengan fantasi masa kanak-kanak ketimbang kenyataan material dan ia secara bertahap mengadopsi teknik psikoterapeutik yang lebih pasif.

Teknik Terapeutik Freud yang Berkembang KemudianTujuan utama dari terapi psikoanalisis Freud yang berkembang kemudian adalah mengungkapkan ingatan yang direpresi melalui asosiasi bebas dan analisis mimpi. “Terapi kita bekerja dengan cara mengubah apa yang tak disadari menjadi disadari, dan terapi ini berhasil apabila mampu menyebabkan perubahan tersebut” (Freud, 1917/1963, him. 280). Lebih spesifik lagi, tujuan dari psikoanalisis adalah “untuk memperkuat ego, untuk membuatnya mandiri dari superego, memperluas persepsi, dan mengembangkan organisasinya sehingga ego tersebut dapat mengambil alih id. Di mana ada id, di situ ada ego” (Freud, 1933/1964, him. 80).

Melalui asosiasi bebas (free association), pasien diminta untuk mengutarakan setiap pikiran yang muncul dalam benaknya, tanpa memandang apakah pikiran tersebut ada atau tidak ada hubungannya ataupun menimbulkan rasa jijik. Tujuan asosiasi bebas adalah untuk sampai ke alam tidak sadar dengan cara mulai dari ide yang disadari saat ini, menelusurinya melalui serangkaian asosiasi, dan mengikuti kemana ide ini pergi. Proses ini tidak mudah dan sejumlah pasien tak bisa menjalani proses tersebut. Oleh karena itu, analisis mimpi menjadi teknik terapeutik yang paling disukai Freud. (Kita membahas analisis mimpi pada bagian berikutnya).

Agar penanganan analitis ini berhasil, libido yang semula muncul dalam bentuk gejala- gejala neurotis harus dibebaskan agar dapat melayani ego. Hal ini membutuhkan prosedur dua tahap. “Pertama, semua libido dipaksa pindah dari gejala ke transferens dan fokus di situ; kedua, pergulatan diarahkan pada objek yang baru ini dan melalui proses ini, libido pun terbebaskan” (Freud, 1917/1963, him. 455).

Situasi transferens ini sangat penting dalam psikoanalisis, transferens (transference) mengacu pada perasaan seksual atau agresif yang kuat, baik positif maupun negatif, yang dikembangkan oleh pasien selama penanganan terhadap terapis mereka. Perasaan transferens ini tidak disebabkan oleh si terapis karena perasaan yang berangkat dari pengalaman masa lalu pasien, terutama dengan orang tua mereka, hanya sekadar dialihkan kepada si terapis. Dengan kata lain, perasaan pasien terhadap si terapis sama seperti yang dulu mereka rasakan pada salah satu atau kedua orang tua. Selama perasaan ini berwujud rasa tertarik atau cinta, transferens ini tidak mengganggu proses terapi, tetapi justru mendukung kemajuan si pasien. Transferens positif memungkinkan pasien untuk menghidupkan kembali pengalaman masa kecil mereka dalam iklim penanganan analitis yang tak mengancam. Akan tetapi, transferens negatif (negative transference) dalam bentuk kebencian perlu dikenali oleh terapis dan dijelaskan kepada pasien agar mereka bisa mengatasi resistensi (resistance) terhadap penanganan (Freud, 1905/1953a, 1917/1963). Resistensi, yaitu beragam respons tidak sadar yang digunakan oleh pasien untuk menghambat kemajuan mereka sendiri selama terapi, bisa menjadi sinyal positif karena ini berarti terapi mulai meninggalkan ranah yang superfisial.

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

Freud (1933/1964) mencatat adanya sejumlah keterbatasan dari penanganan psikoanalisis. Pertama, tidak semua kenangan masa lalu bisa atau sebaiknya dibawa ke alam sadar. Kedua, penanganan ini tidak efektif untuk p sik osis (psychoses) atau penyakit menetap dibandingkan dengan masalah-masalah yang terkait dengan fobia, histeria, dan obsesi. Keterbatasan ketiga, tidak hanya terbatas pada psikoanalisis, yaitu setelah sembuh, pasien bisa mengalami masalah psikis lain. Menyadari keterbatasan tersebut, Freud merasa bahwa psikoanalisis bisa digunakan bersama-sama dengan terapi-terapi lainnya. Akan tetapi, ia berulang kali menekankan bahwa psikoanalisis tidak bisa dipersingkat atau dimodifikasi.

Idealnya, ketika penanganan analitis berhasil, maka pasien tak lagi menderita gejala- gejala yang membuatnya terhambat. Mereka bisa menggunakan energi psikis untuk melakukan fungsi-fungsi ego dan mereka berhasil mengembangkan ego yang mencakup pengalaman yang dulunya direpresi. Mereka tidak mengalami perubahan kepribadian yang berarti, tetapi mereka menjadi seperti apa yang mereka bisa capai dalam kondisi-kondisi yang serba mendukung.

Analisis MimpiFreud menggunakan analisis mimpi untuk mengubah muatan manifes pada mimpi menjadi muatan laten yang lebih penting. M u a ta n m an ifes (manifest content) dari mimpi adalah makna mimpi pada permukaan atau deskripsi sadar yang disampaikan oleh orang yang bermimpi, sedangkan m u a ta n laten (latent content) berarti hal-hal yang tak disadari.

Asumsi dasar dari analisis mimpi Freud adalah hampir semua mimpi merupakan upaya pemenuhan keinginan (wish fulfillments). Sejumlah keinginan tampak jelas dan diungkapkan melalui muatan manifes, seperti pada orang yang tidur dalam keadaan lapar dan bermimpi memakan makanan enakyang banyak. Akan tetapi, kebanyakan upaya pemenuhan keinginan diungkapkan melalui muatan laten dan hanya tafsir mimpilah yang bisa mengungkapkan keinginan tersebut. Asumsi bahwa mimpi merupakan upaya pemenuhan keinginan, tidak muncul pada pasien-pasien yang mengalami pengalaman traumatis. Pada orang-orang seperti ini, mimpi muncul mengikuti prinsip k o m p u lsi rep etisi (repetition complusion) ketimbang memenuhi keinginan. Mimpi-mimpi seperti ini lazim didapati pada orang-orang yang mengalami k elain an stres p a sc a tra u m a (posttraumatic stress disorder) yang berulang kali memimpikan pengalaman yang menakutkan atau traumatis (Freud, 1920/1955a, 1933/1964).

Freud meyakini bahwa mimpi dibentuk di alam tidak sadar, tetapi mencoba masuk ke alam sadar. Agar bisa disadari, mimpi harus bisa menyelinap melewati sensor pertama dan akhir (lihat kembali Figur 2.1). Bahkan, saat dalam keadaan tidur pun para penjaga ini tetap waspada sehingga materi-materi psikis tidak sadar perlu bersembunyi dalam selubung penyamaran. Selubung ini bisa bekerja dengan dua dasar—kondensasi (condensation) dan pengalihan (displacement).

Kondensasi mengacu pada kenyataan bahwa muatan manifes mimpi tidaklah seluas muatan pada tingkat laten, yang menyiratkan bahwa materi tidak sadar diringkas atau dikondensasikan sebelum muncul di tingkat manifes. Pengalihan berarti bahwa gambaran mimpi digantikan oleh gagasan lain yang tidak ada kaitannya (Freud, 1900/1953). Kondensasi

Teori Kepribadian

dan pengalihan muatan ini berlangsung menggunakan simbol. Gambaran-gambaran tertentu direpresentasikan secara universal oleh figur-figur yang tampaknya tak berbahaya. Misalnya, penis disimbolkan dengan benda-benda yang bulat panjang seperti tongkat, ular, atau pisau; vagina tampil dalam bentuk kotak kecil, laci, atau oven; orang tua muncul dalam bentuk presiden, guru, atau atasan kerja; dan kecemasan kastrasi diungkapkan dalam mimpi menjadi botak, kehilangan gigi, ataupun tindakan apapun yang terkait dengan memotong (Freud, 1990/1953, 1901/1953, 1917/1963).

Mimpi juga bisa menipu orang yang bermimpi dengan cara menghambat atau memutarbalikkan perasaan orang yang bermimpi itu. Misalnya, laki-laki yang punya perasaan ingin membunuh ayahnya memimpikan kematian ayahnya, tetapi dalam muatan manifes mimpi, ia tidak merasa senang ataupun sedih; artinya perasaannya terhambat. Perasaan tak menyenangkan juga bisa muncul secara berlawanan dalam tingkat mimpi manifes. Contohnya, wanita yang tanpa sadar membenci ibunya dan berharap agar sang ibu hilang dari kehidupannya, memimpikan kematian ibunya, tetapi rasa gembira dan kebencian tidak sadar yang ia rasakan diungkapkan sebagai duka cita dan cinta pada tingkat mimpi manifes. Dengan demikian, wanita ini dikelabui sehingga meyakini bahwa benci adalah cinta dan kegembiraan adalah kesedihan (Freud, 1900/1953, 1901/1953, 1915/1957a).

Setelah muatan laten (tidak sadar) dari mimpi ini terdistorsi dan perasaan yang terkait mengalami hambatan atau muncul dalam bentuk yang berlawanan, maka muatan mimpi tersebut muncul dalam bentuk manifes yang bisa diingat oleh orang yang bermimpi. Muatan manifes, yang hampir selalu berkaitan dengan pengalaman sadar maupun bawah sadar yang dialami sepanjang hari, tidak punya atau punya sedikit makna psikoanalisis; hanya muatan latenlah yang mempunyai makna (Freud, 1900/1953).

Dalam menafsirkan mimpi, Freud (1917/1963) biasanya mengikuti satu dari dua metode. Metode pertama adalah meminta pasien untuk mengaitkan mimpi dengan semua hal yang berhubungan dengan mimpi tersebut, tanpa memperhatikan apakah hal-hal tersebut benar-benar terkait atau keterkaitannya tidak logis. Freud meyakini bahwa asosiasi seperti itu mengungkapkan keinginan tidak sadar yang ada di balik mimpi. Apabila orang yang bermimpi tidak mampu mengaitkan hal-hal tersebut, maka Freud menggunakan metode kedua—simbol-simbol mimpi—untuk mengungkapkan elemen-elemen tidak sadar di balik muatan manifes. Tujuan dari kedua metode tersebut (asosiasi dan simbol) adalah untuk menelusuri bagaimana mimpi itu terbentuk sampai akhirnya menjadi muatan laten. Freud (1900/1953, him. 608) meyakini bahwa tafsir mimpi adalah pendekatan yang paling dapat diandalkan untuk mempelajari proses-proses tidak sadar dan menyebutnya sebagai “jalan agung” (royal road) demi mendapatkan pengetahuan tentang alam tidak sadar.

Pemahaman bahwa mimpi adalah upaya untuk memenuhi keinginan juga berlaku pada mimpi tentang kecemasan. Penjelasannya adalah kecemasan berada pada sistem bawah sadar, sedangkan keinginan berada pada alam tidak sadar. Freud (1900/1953) menjelaskan bahwa ada tiga jenis mimpi tentang kecemasan, yaitu mimpi malu terhadap ketelanjangan diri, mimpi tentang kematian seseorang yang dicintai, dan mimpi gagal dalam ujian.

Pada mimpi malu terhadap ketelanjangan diri, orang yang bermimpi merasa malu atau rikuh karena merasa telanjang atau berpakaian tidak layak di hadapan orang asing. Orang

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

yang menatap biasanya tampak tak peduli, sekalipun orang yang bermimpi itu sangat malu. Mimpi tersebut bermula pada pengalaman telanjang ketika kanak-kanak di depan orang dewasa. Pada awalnya, anak-anak tidak merasa malu, tetapi orang dewasa menunjukkan ketidaksetujuan. Freud meyakini bahwa mimpi bisa memenuhi keinginan dengan dua cara. Pertama, sikap tidak peduli dari orang yang menatap tersebut memenuhi keinginan infantil, yaitu orang dewasa yang menyaksikan tersebut tidak memberikan hukuman. Kedua, ketelanjangan tersebut memenuhi keinginan untuk memamerkan diri sendiri, hasrat yang biasanya ditekan oleh orang dewasa, tetapi muncul pada anak kecil.

Mimpi tentang kematian seseorang yang dicintai juga berawal dari masa kanak-kanak dan pemenuhan keinginan. Apabila seseorang memimpikan kematian orang yang lebih muda, maka alam tidak sadar mengekspresikan keinginan untuk melukai adik yang menjadi saingan selama periode infantil. Apabila yang meninggal adalah orang yang lebih tua, maka orang yang bermimpi ini memenuhi keinginan Oedipal akan kematian orang tua. Orang yang bermimpi, merasa cemas dan berduka selama bermimpi, hal ini karena perasaan tersebut sudah dibalik. Mimpi akan kematian orang tua ini lazim pada orang dewasa, tetapi hal ini tidak berarti bahwa orang yang bermimpi tersebut menginginkan orang tuanya meninggal dunia. Mimpi-mimpi tersebut dimaknai oleh Freud bahwa sebagai anak-anak, orang yang bermimpi tersebut mengharapkan kematian orang tua, tetapi keinginan tersebut begitu mengancam dirinya sehingga tak bisa masuk ke alam sadar. Bahkan di masa dewasa pun, keinginan akan kematian biasanya tidak muncul dalam mimpi, kecuali perasaan yang terkait diubah menjadi rasa duka cita.

Mimpi tentang kecemasan ketiga, yang lazim, adalah gagal dalam ujian sekolah. Menurut Freud (1900/1953), orang yang bermimpi tersebut mimpi gagal di ujian yang sebetulnya sudah dijalani dengan sukses, bukan ujian di mana dirinya memang betul-betul gagal. Mimpi-mimpi tersebut biasanya terjadi manakala orang yang bermimpi akan menghadapi tugas yang sulit. Dengan bermimpi gagal dalam ujian yang sudah berlalu, maka ego bisa memberikan penjelasan, “Sekalipun saya khawatir, saya sudah lulus ujian ini sebelumnya. Sekarang, saya cemas menghadapi tugas berikut, tetapi saya pasti akan sukses. Oleh karena itu, saya tak perlu cemas menghadapi ujian mendatang”. Keinginan untuk terbebas dari kecemasan menghadapi tugas yang sulit pun terpenuhi.

Dengan ketiga jenis mimpi yang lazim ini. Freud mencari keinginan yang tersembunyi di balik mimpi tingkat manifes. Mencari pemenuhan keinginan tersebut membutuhkan kreativitas besar. Contohnya, seorang perempuan yang pintar berkata pada Freud bahwa ia bermimpi ibu mertuanya datang berkunjung. Sementara dalam kehidupan sehari- hari, ia membenci si ibu mertua dan menderita jika harus melewatkan waktu bersama ibu itu. Oleh karena perempuan itu ingin menyanggah pendapat Freud bahwa mimpi merupakan upaya untuk mewujudkan keinginan, maka ia bertanya pada Freud, “Lalu, di mana keinginan itu?” Penjelasan Freud (1900/1953) adalah perempuan ini mengetahui keyakinan Freud bahwa ada keinginan di balik setiap mimpi yang nontraumatis. Oleh karena itu, dengan cara bermimpi melewatkan waktu dengan ibu mertua yang dibenci, perempuan ini memenuhi keinginannya untuk mencemooh Freud dan mematahkan hipotesis pemenuhan keinginannya!

Ringkasnya, Freud meyakini bahwa mimpi dimotivasi oleh upaya memenuhi keinginan. Muatan laten dari mimpi dibentuk di alam tidak sadar dan biasanya berakar

Teori Kepribadian

pada pengalaman masa kanak-kanak, sementara muatan manifes sering kali berawal dari pengalaman sehari-hari. Tafsir mimpi menjadi “jalan agung” untuk memperoleh pengetahuan akan alam tidak sadar, tetapi mimpi tak bisa diinterpretasikan jika orang yang bermimpi tadi tidak membangun asosiasi atas mimpinya. Muatan laten diubah menjadi muatan manifes melalui kerja mimpi (dream work). Kerja mimpi tersebut mencapai tujuan tersebut melalui proses kondensasi, mengalihkan, dan menghalangi perasaan. Apa yang tampil dalam mimpi manifes boleh jadi tidak sama dengan mimpi laten, tetapi Freud meyakini bahwa tafsir mimpi yang akurat akan mampu mengungkapkan keterkaitan yang tersembunyi apabila kerja mimpi ditelusuri sampai ke akarnya sehingga gambaran- gambaran tidak sadar pun akhirnya terungkap.

Freudian SlipsFreud meyakini bahwa keliru ucap atau tulis, salah baca, salah dengar, salah menaruh barang, dan selama sejenak melupakan nama atau apa yang ingin dilakukan, yang terjadi sehari- hari, bukanlah sekadar kecelakaan. Akan tetapi, justru mengungkapkan tujuan seseorang yang tak ia sadari. Dalam tulisannya tentang kekeliruan-kekeliruan ini, Freud (1901/1960) menggunakan sebuah kata dalam bahasa Jerman, yaitu Fehlleistung atau “kekeliruan fungsi” (faulty function). Akan tetapi, James Strachey, salah satu penerjemah tulisan-tulisan Freud kemudian menciptakan istilah parapraxes untuk menyebut apa yang kini banyak dikenal sebagai “keliru ucap ala Freud” (Freudian slips).

Parapraxes atau keliru ucap tanpa sadar begitu lazim terjadi sehingga biasanya tidak kita perhatikan dan kita pun menampik kemungkinan bahwa mereka punya makna yang tersembunyi. Akan tetapi, Freud bersikeras bahwa kekeliruan memiliki makna; mereka mengungkapkan tujuan tidak sadar dari orang tersebut: “Kekeliruan ini bukanlah sekadar kebetulan, tetapi tindakan mental yang serius; mereka masuk akal; mereka muncul dari tindakan-tindakan lain yang sejalan—atau tepatnya, tindakan yang sama-sama saling bertentangan—dari dua tujuan yang berbeda” (Freud, 1917/1963, him. 44). Salah satu tindakan yang bertentangan ini muncul dari ketidaksadaran, sedangkan yang lain muncul dari alam bawah sadar. Keliru ucap yang tak disadari ini serupa seperti mimpi, keduanya sama-sama hasil dari alam bawah sadar dan alam tidak sadar di mana tujuan tidak sadar begitu dominan sehingga mengganggu dan menggantikan tujuan yang ada di alam bawah sadar.

Kebanyakan orang menolak kemungkinan adanya makna di balik parapraxes , yang dilihat oleh Freud sebagai bukti adanya keterkaitan antara gambaran-gambaran tidak sadar yang tersembunyi dari kesadaran. Suatu hari, seorang pria muda masuk ke toko serba ada, terpikat dengan perempuan muda penjaga toko, lalu memesan “sex-pact o f beer” (satu kerat berisi enam (six) kaleng bir). Ketika si penjaga toko ini menuduh si pria melecehkannya, pria muda tersebut dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tak bersalah. Contoh-contoh seperti ini begitu banyak kita temui. Freud menyebutkan banyak contoh seperti ini dalam bukunya yang berjudul Psychopathology o f Everyday Life (1901/1960) dan beberapa di antaranya adalah kekeliruan yang ia lakukan sendiri. Suatu hari di mana Freud tengah dipusingkan dengan masalah keuangan, ia masuk ke toko rokok yang ia kunjungi setiap hari. Pada hari itu, ia mengambil cerutu langganannya dan melangkah pergi dari toko

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

tanpa membayar. Freud menyebutkan kealpaan ini disebabkan oleh masalah keuangan yang sedang ia pikirkan. Dari keseluruhan keliru ucap yang Freud utarakan, tujuan dari alam tidak sadar menggantikan tujuan alam bawah sadar yang lebih lemah sehingga tujuan sebenarnya dari orang itu pun terungkap.

Penelitian TerkaitDari seluruh teori yang diajukan oleh Freud, bobot ilmiah dari teorinya adalah salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan dan diperdebatkan. Apakah psikoanalisis bisa digolongkan sebagai ilmu atau hanya spekulasi yang dilakukan sambil duduk-duduk di kursi? Apakah hipotesis yang diajukan oleh Freud bisa diuji? Apakah ide-idenya bisa teruji secara eksperimental?

Karl Popper, filsuf sains yang mengedepankan kriteria dapat diulang (falsifiability), membandingkan teori Freud dengan teori Einstein dan menyatakan bahwa teori Freud tidak bisa diulang sehingga tak bisa digolongkan sebagai ilmu. Selama abad 20, memang terdapat sederetan akademisi psikologi yang menampik gagasan Freud karena dianggap sebagai spekulasi yang menarik dan boleh jadi memuat pemahaman-pemahaman tentang sifat manusia, tetapi tidak bisa disebut sebagai ilmu.

Selama 5-10 tahun, bobot ilmiah teori Freud mulai berubah, setidaknya di kalangan psikolog kognitif dan ilmuwan dibidang syaraf. Neurosains sendiri mengalami kemajuan pesan melalui telaahnya terhadap aktivitas otak pada saat melakukan tugas-tugas kognitif maupun emosional. Perkembangan ini disebabkan oleh teknologi pencitraan otak melalui functional magnetic resonance imaging (MRI) yang memetakan wilayah-wilayah pada otak yang aktif pada saat mengerjakan tugas-tugas tertentu. Di saat yang sama, sejumlah kelompok psikolog kognitif mulai melakukan penelitian tentang pengolahan informasi tidak sadar, juga tentang ingatan, atau apa yang mereka sebut sebagai kognisi “implisit”. John Bargh, salah satu tokoh di bidang psikologi sosial kognitif, mengkaji tulisan-tulisan tentang “proses menjadi yang otomatis” (automaticity o f being) dan menyimpulkan bahwa sekitar 95% dari perilaku kita dilakukan tanpa sadar (Bargh & Chartran, 1999). Kesimpulan ini sangat selaras dengan metafora Freud di mana kesadaran hanyalah “puncak dari gunung es "(tip o f the iceberg).

Pada akhir periode 1990-an, temuan-temuan dari bidang neurosains dan psikologi kognitif mulai menyatu dengan proses-proses kognitif dan afektif yang sangat sejalan dengan teori dasar Freudian. Kesamaan-kesamaan ini kemudian menjadi pondasi dari sebuah gerakan yang diawali oleh beberapa psikolog kognitif, ilmuwan dibidang syaraf, dan psikiater yang meyakini bahwa teori Freud merupakan salah satu teori integratif yang paling meyakinkan yang dapat menjelaskan temuan-temuan di atas. Pada tahun 1999, sekelompok ilmuwan membentuk perkumpulan Neuro-Psychoanalysis dan menerbitkan jurnal ilmiah dengan nama yang sama. Untuk pertama kalinya, sederetan psikolog kognitif dan ilmuwan dibidang syaraf, seperti peraih Nobel untuk bidang fisiologi Eric Kandel, bersama dengan Joseph LeDoux, Antonio Damasio, Daniel Schacter, dan Vilayanur Ramachandran, menyatakan secara terbuka nilai teori Freud dan menyatakan bahwa psikoanalisis merupakan telaah

Teori Kepribadian

pikiran yang paling koheren dan paling bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan intelektual” (sebagaimana dikutip dalam Solms, 2004, him. 84). Ilmuwan dibidang syaraf, Antonio Damasio menulis: “Saya meyakini bahwa kita bisa menegaskan bahwa pikiran-pikiran Freud tentang kesadaran sejalan dengan pandangan neurosains kontemporer terkini” (sebagaimana dikutip dalam Solms & Turnbull, 2002, him. 93). Dua puluh tahun lalu, pernyataan seperti yang diungkapkan oleh pakar neurosains ini sama sekali tak pernah terbayangkan.

Mark Solms boleh jadi merupakan tokoh yang paling aktif mengintegrasikan teori- teori psikoanalisis dengan penelitian neurosains (Solms, 2000, 2004; Solms & Turnbull, 2002). Misalnya, ia berpendapat bahwa konsep-konsep Freudian berikut ini mendapatkan dukungan dari neurosains modern, yakni motivasi tidak sadar, represi, prinsip kesenangan, dorongan primitif, dan mimpi (Solms, 2004). Serupa dengan pendapat tersebut, Kandel (1999) menyatakan bahwa psikoanalisis dan neurosains bisa bersama-sama memberikan kontribusi yang berarti pada delapan domain berikut ini, yaitu sifat-sifat proses mental tidak sadar; sifat-sifat kausalitas psikologis; kausalitas psikologis dan psikopatologi; pengalaman masa lalu dan sifat-sifat yang mendasari kelainan mental; alam bawah sadar, alam tidak sadar, dan kortex prefrontal; orientasi seksual; psikoterapi dan perubahan struktur pada otak; serta psikofarmakologi sebagai cabang dari psikoanalisis.

Sekalipun ada kesenjangan pada bukti (Hobson, 2004), tumpang tindih antara teori Freud dengan neurosains cukup memadai atau bahkan meyakinkan untuk melakukan integrasi antara kedua hal tersebut. Kita sudah membahas sejumlah bukti empiris tentang proses mental tidak sadar, id dan prinsip kesenangan, ego juga prinsip kenyataan, serta mekanisme pertahanan, juga tentang mimpi.

Proses Mental Tidak SadarKebanyakan ilmuwan dan filsuf mengakui dua bentuk kesadaran yang berbeda. Pertama adalah kondisi tidak sadar atau tidak terjaga dan kedua adalah kondisi sadar. Kondisi tidak sadar disebut sebagai “kesadaran inti” (core consciousness) sementara kondisi sadar disebut sebagai “kesadaran yang diperluas” (extended consciousness). Batang otak dan sistem yang mengaktivasinya secara khusus merupakan bagian dari otak yang secara langsung terkait dengan kesadaran inti atau ketidaksadaran dalam arti kondisi tak terjaga. Misalnya, koma disebabkan oleh kerusakan pada bagian ini di batang otak sehingga orang menjadi tidak sadar. Sebaliknya, kondisi sadar dan bisa berefleksi pada pengetahuan serta diri seseorang merupakan fungsi dari aktivitas korteks prefrontal (korteks frontal dorsal) (Solms, 2004; Solms & Turnbull, 2002).

Selain itu, tema utama dari psikologi kognitif selama dua puluh tahun terakhir adalah fenomena proses mental tidak sadar atau apa yang disebut sebagai pikiran dan ingatan yang “implisit”, “tidak sadar”, atau “otomatis” (Bargh 8c Chartrand, 1999; Schacter, 1987). Melalui istilah-istilah ini, psikolog kognitif menjelaskan tentang proses mental yang tidak berada pada kesadaran, tetapi tidak juga berada di bawah kendali kesadaran dan hal ini mendekati apa yang disebut oleh Freud sebagai ketidaksadaran. lentu saja, konsep Freud tentang ketidaksadaran lebih dinamis, represif juga menghalang-halangi, tetapi—seperti yang akan kita lihat di bagian berikut—neurosains kognitif ternyata mengungkapkan ketidaksadaran yang serupa.

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

Kesenangan dan Id: Halangan dan EgoTemuan dari berbagai program penelitian neurosains menunjukkan bahwa dorongan demi kesenangan bermula dari neurologis pada dua struktur otak, yaitu batang otak dan sistem limbik (Solms, 2004; Solms & Turnbull, 2002). Tidak hanya itu, dopamin neurotransmiter adalah aspek yang paling penting dalam perilaku mencapai kesenangan. Dalam bahasa Freud, ini adalah dorongan dan insting id.

Pada tahun 1923, ketika Freud mengubah pandangannya tentang bagaimana pikiran bekerja dan mengusulkan pandangan struktural tentang id, ego, dan superego di mana ego menjadi struktur yang sebetulnya tak disadari, tetapi memiliki fungsi utama menghalang- halangi dorongan. Apabila bagian otak yang berfungsi menghalangi dorongan dan impuls ini rusak, maka kita bisa melihat adanya peningkatan pada dorongan-dorongan memuaskan kesenangan yang berbasis pada id. Inilah yang terjadi pada saat sistem limbik frontal rusak. Sederetan studi kasus dan penelitian pencitraan otak yang lebih sistematis menunjukkan keterkaitan antara sistem limbik frontal dan regulasi dorongan (Chow & Cummings, 1999; Pincus, 2001; Raine, Buchsbaum, & LaCasse, 1997). Kasus yang pertama kali diberitakan serta yang paling populer adalah tentang seorang pekerja rel kereta api pada abad 19 bernama Phineas Gage. Pada saat ia bekerja membangun rel kereta api, terjadi ledakan yang menyebabkan batang besi terpental dan menembus bagian bawah rahangnya dan menembus sampai ke dahinya, sehingga lobus frontalnya pun rusak. Hal yang luar biasa adalah, boleh jadi karena cepatnya batang besi tersebut menembus jaringan otak, Gage tak sekalipun kehilangan kesadaran dan berhasil selamat. Secara fisik (dengan kehilangan jaringan otak) ia relatif sehat, tetapi kepribadiannya berubah. Pekerja yang bersifat lembut, bertanggung jawab, dan dapat diandalkan ini berubah menjadi apa yang disebut dokter sebagai “tidak teratur, kasar, merasa puas ketika mengucapkan kata-kata kasar terutama yang menyangkut agama atau Tuhan (yang bukan merupakan kebiasaan lamanya), sedikit memperlihatkan rasa hormat terhadap teman-temannya, tidak sabar jika dihalang-halangi atau dinasehati ketika ia bermasalah dengan keinginannya, terkadang keras kepala jika menginginkan sesuatu, namun terkadang ragu-ragu dan mudah berubah m ood” (sebagaimana dikutip dari Solms & Turbull, 2002, him. 3). Dengan kata lain, ia menjadi pribadi yang kasar, impulsif, dan sama sekali tidak peduli dengan norma-norma dan batasan sosial. Dalam bahasa Freudian, egonya tak lagi mampu menghalangi dorongan-dorongan dan insting-insting dasarnya sehingga ia

pun dikendalikan oleh id.

Menurut Solms, hal dasar yang ditemukan pada pasien yang mengalami cedera pada lobus frontalnya adalah ketidakmampuannya untuk tetap berpegang pada kenyataan (reality-bound) atau ego dan kecenderungannya untuk memaknai segala peristiwa melalui “keinginan” atau id; yaitu bahwa mereka menciptakan kenyataan sesuai dengan keinginan atau kemauan mereka sendiri. Semua ini, menurut Solms, mendukung pemikiran Freud

tentang prinsip kesenangan dari id dan prinsip kenyataan dari ego.

Represi, Halangan, dan Mekanisme PertahananSalah satu komponen utama dari teori Freud adalah mekanisme pertahanan, khususnya represi. Alam tidak sadar secara aktif (dinamis) memastikan agar pikiran, perasaan, maupun

Teori Kepribadian

dorongan yang tidak menyenangkan atau mengancam tidak masuk ke alam sadar. Wilayah mekanisme pertahanan menjadi area kajian yang aktif digali oleh para pakar kepribadian. Beberapa penelitian berfokus pada proyeksi dan identifikasi pada masa kanak-kanak dan remaja (Cramer, 2007), sedangkan penelitian lain menggali pihak mana yang umumnya menjadi sasaran proyeksi (Govorun, Fuegen & Payne, 2006).

Dari perspektif neuropsikologis, Solms (2004) melaporkan kasus-kasus yang menggali wilayah otak yang dapat berimplikasi pada bagaimana mekanisme pertahanan digunakan dan dipertahankan. Solms (2004) secara khusus menggambarkan kasus-kasus yang menunjukkan terjadinya represi terhadap informasi yang dianggap tidak menyenangkan ketika terjadi kerusakan di hemisfer sebelah kanan dan jika daerah yang rusak tersebut mengalami stimulasi secara artifisial, maka represi pun hilang; dengan kata lain, kesadaran muncul kembali. Selain itu, pasien-pasien ini sering kali merasionalisasikan hal-hal yang tidak mereka sukai dengan cara menciptakan cerita-cerita. Dengan kata lain, mereka menerapkan mekanisme pertahanan Freud guna memenuhi keinginan. Contohnya, ketika ditanya soal luka parut di kepalanya, salah seorang pasien mengarang-ngarang cerita bahwa luka tersebut disebabkan oleh operasi gigi atau operasi bypass jantung, yang keduanya ia lakukan bertahun-tahun yang lalu. Lebih jauh lagi, ketika dokter tersebut menanyakan siapakah dirinya (si dokter) pada si pasien, pasien tersebut akan mengeluarkan berbagai jawaban, seperti kolega, teman minum-minum, atau rekan satu tim semasa kuliah. Semua interpretasi ini lebih berupa keinginan ketimbang kenyataan.

Kajian yang dilakukan oleh Howard Shevrin dan rekan (Shevrin, Ghannam & Libet, 2002) menggali tentang aspek-aspek neurofisiologis yang melandasi represi. Lebih khusus lagi, mereka mencari tahu apakah orang-orang dengan kepribadian gaya represif ini membutuhkan periode stimulasi yang lebih ... panjang untuk rangsangan-rangsangan yang dipersepsikan secara sadar. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa secara umum, agar manusia secara sadar bisa mempersepsikan rangsangan yang ada, maka butuh waktu antara 200 milidetik sampai 800 milidetik. Kajian oleh Shevrin dkk. Ini mencakup enam subjek penelitian klinis yang berusia antara 51 sampai 70 tahun, yang bertahun-tahun sebelumnya menjalani operasi untuk mengatasi masalah motorik (umumnya parkinson). Selama operasi, dilakukan satu prosedur, yaitu meletakkan elektrode guna merangsang bagian- bagian tertentu pada korteks motor dan lamanya waktu yang dibutuhkan bagi rangsangan tersebut agar bisa dipersepsi oleh subjek pun dicatat. Hasil menunjukkan bahwa enam subjek membutuhkan waktu selama 200 milidetik sampai 800 milidetik agar mereka bisa mempersepsikan stimulus secara sadar. Setelah itu, empat tes psikologis diberikan kepada mereka di rumah masing-masing kemudian dicatat tingkat (derajat) kecenderungan represi mereka. Tes tersebut terdiri atas Rorschach Inkblot Test, the Early Memories Test, Vocabulary Test o f the WAIS (Tes IQ), dan Hysteroid-Obsessoid Question-naire. Tiga tes pertama dinilai oleh tiga penilai klinis yang buta” terhadap penelitian ini untuk melihat tingkat represi mereka, sedangkan, tes keempat dinilai secara objektif untuk melihat tingkat represi.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gabungan antara peringkat yang diberikan oleh ketiga penilai, secara signifikan dan positif terkait dengan waktu yang dibutuhkan oleh rangsangan tersebut agar dapat dipersepsikan secara sadar. Lebih jauh lagi, hasil kuesioner Histeroid-Obsesoid yang dinilai secara objektif menegaskan hasil tersebut. Dengan kata Iain,

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

semakin seseorang memiliki gaya kepribadian yang represif, maka semakin lama mereka butuh waktu untuk mempersepsikan stimulus. Usia dan IQ tidak terkait dengan lamanya waktu yang dibutuhkan agar rangsangan tersebut bisa dipersepsikan. Menurut pihak-pihak penulis, temuan ini merupakan langkah pertama untuk menunjukkan bagaimana represi beroperasi untuk menghalang-halangi sesuatu masuk ke kesadaran. Akan tetapi, perlu diingat bahwa ini merupakan penelitian pertama yang menunjukkan adanya aspek-aspek neuropsikologis yang mendasari represi.

Penelitian tentang MimpiPada tahun 1950an, ketika fenomena tidur dengan gerakan mata cepat (rapid eye

movement—REM) pertama kali ditemukan dan diketahui terkait erat dengan mimpi, maka sejumlah peneliti mulai melihat teori Freud dengan sebelah mata, yaitu teori yang meyakini bahwa mimpi memiliki makna dan merupakan upaya untuk memenuhi keinginan tidak sadar. Selain itu, penelitian REM menunjukkan bahwa hanya daerah batang otak yang terkait dengan kondisi REM dan bukan wilayah-wilayah kortikal lain yang lebih tinggi. Apabila struktur kortikal ini tidak terlibat dalam tidur dengan REM, tetapi menjadi tempat di mana pemikiran tingkat tinggi berlangsung, maka mimpi tak lebih dari aktivitas mental yang acak dan tak punya muatan makna apapun. Dari perspektif yang disebut sebagai teori sintesis aktivasi (activation-synthesis theory), makna adalah apa yang dilakukan oleh pikiran yang terjaga pada aktivitas otak yang berlangsung acak, tetapi makna tidak terdapat dalam mimpi itu sendiri.

Ranah penelitian utama Solms adalah mimpi dan, berdasarkan pada penelitian mimpi terkini termasuk penelitiannya sendiri, ia mengambil isu-isu yang terkait dengan asumsi- asumsi yang diajukan oleh teori sintesis aktivasi tentang mimpi (Solms, 2000, 2004). Penting untuk dilihat bahwa Solms berpendapat, mimpi dan REM bukanlah satu hal dan tidaklah sama. Pertama, ketika subjek terjaga sebanyak 5% sampai 30% pada saat tidur dengan REM, mereka mengaku tidak bermimpi. Oleh karena itu, tak ada keterkaitan satu sama lain antara REM dan mimpi. Kedua, lesi otak (akibat cedera atau operasi) pada batang otak tidak sepenuhnya menghilangkan mimpi, sementara lesi pada wilayah otak (yaitu pada lobus frontal dan sambungan parietal-temporal-oksipetal) bisa sepenuhnya menghilangkan mimpi, tetapi bisa tidur dengan REM.

Selain itu, isi mimpi itu sendiri tidaklah acak. Daniel Wegner dan koleganya (2004) menguji satu aspek dari teori mimpi Freud. Seperti yang ditulis Freud dalam Tafsir Mimpi (Interpretation o f Dreams), “keinginan yang ditekan sepanjang hari akan muncul dalam mimpi” (1900/1953, him. 590). Wegner dan koleganya menguji kebenaran pernyataan tersebut dalam kelompok yang terdiri lebih dari 300 mahasiswa. Pertama, subjek diberi instruksi sebelum tidur (mereka membuka lembaran instruksi tepat sebelum pergi tidur) untuk berpikir tentang dua orang, yaitu seorang dengan siapa mereka pernah “jatuh cinta” dan seorang yang mereka “incar” tetapi tidak sampai jatuh cinta.

Kemudian, subjek-subjek tersebut diminta untuk melakukan satu dari tiga hal berikut: supresi, ekspresi, dan menyebutkan. Dalam situasi supresi, mahasiswa diminta untuk tidak memikirkan dua orang tersebut (baik yang mereka “cintai” atau yang mereka “incar”) selama

Teori Kepribadian

lima menit; dalam situasi ekspresi, beberapa subjek diberi instruksi untuk berpikir tentang orang-orang tersebut selama lima menit; dan dalam situasi menyebutkan, subjek-subjek lain diberi instruksi untuk memikirkan tentang hal-hal setelah menyebutkan inisial nama dari kedua orang tersebut. Selain itu, dalam waktu lima menit ketika mereka memikirkan atau tidak memikirkan tentang dua orang tersebut, mereka menuliskan laporan tentang “apa yang muncul dalam benak” dan membubuhkan tanda centang di pinggir kertas laporan tersebut setiap kali mereka memikirkan tentang dua orang tersebut. Ini merupakan pengujian validitas untuk melihat apakah teknik manipulasi supresi bekerja. Ternyata benar. Pada saat mereka bangun di keesokan paginya, para subjek menyebutkan apakah mereka bermimpi semalam, dan jika ya, seberapa dalam mereka bermimpi dan seberapa banyak mereka bermimpi tentang dua orang tadi maupun tentang orang-orang lain (menilai sendiri mimpi). Laporan mimpi dan catatan tentang “apa yang muncul dalam benak” diubah menjadi angka oleh seorang penilai yang tidak tahu menahu tentang maksud dan tujuan penelitian tersebut dan nilai diberikan, berdasarkan pada frekuensi munculnya dua orang target dan orang-orang yang bukan target.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa subjek lebih banyak memimpikan target yang disupresi dibandingkan target yang tidak disupresi. Mereka juga lebih banyak bermimpi tentang target-target yang disupresi ketimbang orang-orang selain target yang disupresi. Dengan kata lain, mereka lebih mungkin untuk bermimpi tentang orang-orang yang mereka pikirkan (target), tetapi lebih besar lagi kemungkinan untuk memimpikan orang-orang yang tidak ingin mereka pikirkan (supresi). Oleh karena itu, pihak penulis menyimpulkan bahwa pikiran-pikiran yang mengalami supresi akan cenderung untuk “memantul” dan muncul di dalam mimpi. Temuan ini cukup sejalan dengan teori Freud dan tidak konsisten dengan teori sintesis aktivasi yang meyakini bahwa tidur dengan REM mengaktivasi aktivitas otak yang tak punya makna secara acak. Menurut pernyataan Wegner dkk. (2004), “sekalipun masih banyak yang perlu dipelajari tentang pembentukan mimpi, temuan yang menunjukkan bahwa pikiran yang disupresi akan muncul kembali dalam mimpi, menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran awal psikoanalisis dengan temuan-temuan di bidang kognitif neurosains” (him. 236).

Akan tetapi, kecenderungan-kecenderungan terkini di bidang penelitian neuro- psikoanalisis tidak menegaskan atau menyebut teori tahapan psikoseksual Freud, khususnya elemen-elemen yang kontroversial, seperti konflik Oedipal, kecemasan kastrasi, dan rasa iri akan penis. Penelitian neuropsikoanalisis justru fokus pada bagian-bagian teori Freud yang teruji oleh waktu. Pengabaian terhadap teori tahapan psikoseksual Freud ini konsisten dengan pemikiran-pemikiran pasca-Freudian dan neo-Freudian yang menanggalkan atau mengabaikan bagian dari teori Freud ini. Jadi, ada sejumlah, tetapi tidak semua, pemikiran utama Freud—alam tidak sadar, upaya mencari kesenangan, represi, id, ego, dan mimpi— yang mendapat dukungan dari bidang neurosains, sedangkan pikiran-pikiran Freud yang lain perlu dimodifikasi.

Satu bagian yang kemudian mendapatkan banyak perhatian adalah tentang sensor mimpi (Boag, 2006). Sensor mimpi, menurut Freud (1917/1963), merupakan mekanisme yang mengubah muatan laten mimpi menjadi muatan manifes yang lebih bisa diterima dan tidak terlalu menakutkan. Boag (2006) menyebutkan bahwa satu konseptualisasi dari sensor

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

mimpi adalah dengan cara memandangnya, seperti mekanisme yang berlaku pada represi dan atau halangan. Konseptualisasi ini berguna apabila seseorang berminat untuk menguji pemikiran-pemikiran Freud tentang mimpi secara empiris karena ada sejumlah penelitian neurosains tentang halangan (Aron & Poldrack, 2005; Praamstra & Seiss, 2005). Secara khusus, Boag (2006) menyebutkan bahwa basal ganglia dan amygdala merupakan kunci dari struktur otak yang bertanggungjawab terhadap mimpi termasuk mengubah muatan laten menjadi muatan manifes. Argumentasi yang diajukan oleh Boag (2006) dan para peneliti di bidang neuropsikoanalisis ini semakin membungkam suara-suara yang memandang Freud tidak ilmiah dengan adanya temuan demi temuan dari psikologi kognitif dan neurosains yang mendukung asumsi-asumsi dasar teori Freud.

Kritik terhadap FreudPada saat kita mengkritik Freud, ada dua hal yang perlu kita tanyakan: (1) Apakah Freud memahami wanita? (2) Apakah Freud seorang ilmuwan?

Apakah Freud Memahami Wanita?Kritik yang kerap ditujukan pada Freud adalah ia tidak memahami wanita dan teori kepribadiannya sangat berorientasi pada laki-laki. Kritik tersebut ada benarnya dan Freud sendiri mengakui bahwa ia tidak sepenuhnya memahami jiwa perempuan.

Mengapa Freud tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai jiwa feminin? Salah satu jawabannya adalah karena ia adalah anak pada jamannya. Jaman di mana masyarakat saat itu didominasi oleh laki-laki. Pada abad ke-19 di Austria, perempuan dipandang sebagai warga kelas dua yang hanya punya sedikit hak maupun kekuasaan. Wanita tak punya banyak kesempatan untuk menduduki profesi atau menjadi anggota dari organisasi profesional— seperti Freuds Wednesday Psychological Society.

Oleh karena itu, pada seperempat abad pertama psikoanalisis, gerakan ini terbatas hanya untuk laki-laki. Setelah Perang Dunia I, perempuan perlahan-lahan semakin tertarik pada psikoanalisis dan beberapa dari tokoh perempuan, seperti Marie Bonaparte, Ruth Mack Brunswick, Helen Deutsch, Melanie Klein, Lou Andreas-Salome, dan Anna Freud, bisa memengaruhi Freud. Akan tetapi, mereka tidak pernah mampu meyakinkannya bahwa persamaan antargender lebih banyak ketimbang perbedaan di antara keduanya.

Freud sendiri merupakan laki-laki kelas atas di Wina yang sikap seksualnya dibentuk pada masa ketika perempuan diharapkan untuk merawat suami mereka, mengelola rumah tangga, mengasuh anak, dan mengambil jarak dari urusan atau pekerjaan suami. Istri Freud sendiri, Martha, juga mengikuti aturan sosial ini (Gay, 1988).

Sebagai anak tertua dan paling dicintai, Freudlah yang mengarahkan adik-adik perempuannya, menyarankan buku-buku apa yang sebaiknya mereka baca, dan mengajarkan mereka tentang dunia. Salah satu peristiwa terkait dengan piano mengungkapkan bukti tentang posisi Freud dalam keluarga sebagai anak emas. Adik-adik Freud menyukai musik

Teori Kepribadian

dan senang bermain piano, sementara alunan musik dari piano mengganggu Freud. Kepada orang tuanya ia mengeluh tidak bisa konsentrasi membaca buku kemudian orang tuanya segera mengeluarkan piano tersebut dari dalam rumah sehingga Freud pun menyadari bahwa keinginan lima orang anak perempuan ternyata kalah bobotnya dibandingkan keinginan seorang anak laki-laki.

Seperti pria-pria lain di jamannya, Freud melihat perempuan sebagai “jenis kelamin yang lemah lembut” (tender sex), yang sesuai untuk mengelola rumah tangga dan mengasuh anak-anak, tetapi tidak setara dengan laki-laki dalam urusan keilmuan maupun akademik. Serangkaian surat cintanya kepada sang calon istri Martha Bernays dipenuhi panggilan “gadis kecilku”, “perempuan mungilku”, atau “permaisuriku” (Freud, 1960). Sudah barang tentu, Freud pasti ternganga apabila ia mengetahui bahwa 130 tahun kemudian, panggilan sayang itu dilihat oleh sebagian orang sebagai panggilan yang merendahkan perempuan.

Freud terus berusaha untuk memahami perempuan, dan pandangannya tentang feminitas berubah beberapa kali sepanjang hidupnya. Sebagai seorang pelajar belia, ia berucap pada seorang temannya, “Para pendidik kita sungguh bijaksana karena mereka tidak mengganggu pikiran mereka yang cantik dan berjenis kelamin perempuan ini dengan pengetahuan ilmiah” (dikutip dari Gay, 1988, him. 522).

Pada tahun-tahun pertama kariernya, Freud memandang perkembangan psikoseksual antara pria dan wanita bagaikan tampilan dalam cermin antara satu dengan lainnya, tetapi dengan garis pararel perkembangan yang berbeda. Akan tetapi, ia kemudian mengusulkan pemikiran bahwa anak perempuan adalah mereka yang gagal jadi anak laki-laki dan perempuan dewasa memiliki keinginan untuk mengkastrasi laki-laki. Freud awalnya mengusulkan ide ini secara tentatif, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, ia mempertahankan gagasan tersebut dengan gigih dan menolak untuk berkompromi. Ketika orang-orang mengkritik pemikirannya tentang feminitas, Freud justru merespons dengan sikap yang semakin lama semakin kaku. Pada tahun 1920-an, ia bersikeras bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan anatomi dan tidak bisa dijelaskan lewat pengalaman sosialisasi yang berbeda (Freud, 1924/1961). Meskipun demikian, ia mengakui bahwa ia tidak memahami perempuan sebaik ia memahami laki-laki. Ia menyebut mereka sebagai “wilayah misterius dalam psikologi” (Freud, 1926/1959b, him. 212). Dalam pernyataan terakhirnya tentang hal ini, Freud (1933/1964) menyebutkan bahwa “jika Anda ingin tahu lebih banyak tentang feminitas, galilah dari pengalaman hidupmu sendiri atau carilah jawabannya pada seorang pujangga” (him. 135).

Meskipun beberapa teman Freud berasal dari “wilayah misterius” perempuan, tetapi sahabat-sahabat paling dekat Freud semuanya adalah laki-laki. Selain itu, perempuan- perempuan seperti Marie Bonaparte, Lou Andreas-Salome, dan Minna Bernays (ipar perempuannya) yang memberikan pengaruh pada Freud, memiliki pola yang sama. Ernest Jones (1955) menyebut mereka sebagai perempuan intelektual dengan “potongan maskulin” (him. 421). Perempuan-perempuan seperti ini berbeda dengan ibu serta istri Freud, yang keduanya merupakan istri dan ibu khas Wina yang kepedulian utamanya adalah mengurus suami dan anak-anak. Kolega dan pengikut perempuan Freud adalah orang-orang yang punya inteligensi, kekuatan emosional, dan loyalitas—yaitu sifat-sifat yang Freud pandang

Bab 2 Freud: Psikoanalisis

positif pada kolega laki-lakinya. Bagi Freud, tak satupun dari perempuan-perempuan ini bisa menggantikan posisi sahabat dekat laki-laki. Pada bulan Agustus 1901, Freud (1985) menulis pada temannya Wilhelm Fliess, “Seperti kamu tahu, dalam hidup saya, belum pernah ada perempuan yang menggantikan posisi seorang teman, seorang sahabat” (him. 447).

Mengapa Freud tidak bisa memahami perempuan? Mengingat ia dibesarkan di pertengahan abad ke-19, penerimaan orang tua terhadap dominasinya atas saudara-saudara perempuannya, kecenderungannya untuk membesar-besarkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dan keyakinannya bahwa wanita berada pada “wilayah misterius” kemanusiaan, tampaknya membuat Freud tidak mempunyai pengalaman yang memadai untuk bisa memahami perempuan. Mendekati ajalnya, ia masih juga bertanya, “Apa keinginan seorang wanita?” (E. Jones, 1955, him. 421). Pertanyaan ini sendiri mengungkapkan pandangan Freud yang bias terhadap gender yang menduga bahwa semua wanita menginginkan hal yang sama dan apa yang mereka inginkan berbeda dari laki-laki.

Apakah Freud Seorang Ilmuwan?Kritik terhadap Freud sering kali berkutat pada posisinya sebagai seorang ilmuwan. Sekalipun ia berkali-kali bersikeras bahwa ia sejatinya adalah seorang ilmuwan dan bahwa psikoanalisis adalah ilmu, definisi Freud tentang ilmu perlu dijelaskan lebih lanjut. Ketika ia menyebut psikoanalisis sebagai ilmu, ia mencoba memisahkannya dari filsafat ataupun ideologi. Ia tidak menyebutnya sebagai ilmu alam. Bahasa Jerman dan budaya yang memengaruhi Freud pada saat itu, membedakan antara ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Sayangnya, terjemahan James Strachey pada Edisi Standar (Standar Edition) membuat Freud tampak sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu alam. Akan tetapi, tokoh-tokoh cendekia lain (Federn, 1988; Holder, 1988) meyakini bahwa Freud jelas-jelas melihat dirinya sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu kemanusiaan, yaitu seorang humanis atau akademisi dan bukan ilmuwan alam. Untuk memahami karya-karya Freud dengan lebih akurat dan lebih humanis, sederetan ahli bahasa kini mengeluarkan terjemahan terkini mengenai Freud (Lihat, sebagai contoh, Freud, 1905/2002).

Bruno Bettelheim (1982, 1983) juga mengkritisi terjemahan Strachey. Ia memandang bahwa Edisi Standar memilih memakai konsep medis yang serba presisi juga istilah Yunani dan Latin yang salah kaprah ketimbang mempertahankan kata-kata bahasa Jerman yang lebih ambigu yang digunakan oleh Freud. Ketepatan pemilihan kata tersebut mencitrakan Freud menjadi lebih ilmiah dan tidak sehumanis sebagaimana ia dipandang oleh para pembaca dalam bahasa Jerman. Misalnya Bettelheim, yang mengenai Freud lewat bahasa Jerman, meyakini bahwa Freud memandang terapi psikoanalisis sebagai perjalanan spiritual menuju kedalaman jiwa (yang diterjemahkan oleh Strachey sebagai “pikiran”) dan bukan sebagai analisis mekanistis terhadap perangkat mental.

Berdasarkan cara pandang terhadap ilmu di Jerman pada abad ke-19, sejumlah penulis kontemporer memandang metode Freud dalam membangun teori adalah lemah dan tidak terlalu ilmiah (Breger, 2000; Crews, 1995. 1996; Sulloway, 1992; Webster, 1995). Teori-teorinya tidak berdasarkan penelusuran eksperimental, tetapi lebih pada pengamatan

Teori Kepribadian

subjektif yang Freud lakukan pada dirinya sendiri juga pada pasien-pasien klinisnya. Pasien- pasien itu sendiri tidak mewakili masyarakat umum karena kebanyakan berasal dari kelas- kelas menengah dan atas.

Terlepas dari ketertarikan profesional dan populer yang luas tentang tokoh yang satu ini, pertanyaan berikut tetap butuh jawaban: Apakah Freud seorang ilmuwan? Gambaran Freud (1915/1957a) tentang ilmu telah membuka ruang yang cukup luas akan interpretasi subjektif dan definisi yang tidak tegas:

Kita sering kali mendengar bahwa ilmu seharusnya dibangun di atas konsep-konsep dasar yang jelas dan didefinisikan secara tajam. Sesungguhnya tak ada satupun ilmu, termasuk yang paling pasti sekalipun, bisa didefinisikan dengan cara ini. Awal sejati dari aktivitas keilmuan justru bertumpu pada penggambaran atas fenomena yang dilanjutkan dengan upaya mengelompokkan fenomena tersebut, mengklasifikasi, dan mengorelasi antara satu fenomena dengan fenoma lain. Bahkan pada tahap deskripsi seperti ini, sulit untuk menghindari penggunaan gagasan-gagasan abstrak untuk menjelaskan hal-hal yang ada di dalam genggaman, gagasan-gagasan yang datang dari sumber-sumber lain, tetapi yang jelas bukan dari observasi semata (him. 117).

Barangkali, deskripsi Freud tentang bagaimana ia membangun teorinya memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana ia menjabarkan ilmu. Pada tahun 1900, tak lama setelah menerbitkan Interpretation o f Dreams, ia menulis kepada Wilhelm Fliess dan mengaku bahwa “Saya sebetulnya sama sekali bukan ilmuwan, bukan observer, bukan eksperimenter, bukan pula pemikir. Sifat saya menggariskan bahwa saya tak lebih dari seorang penakluk— seorang petualang... yang memiliki sifat ingin tahu, keberanian, dan keuletan” (Freud, 1985, him. 398).

Sekalipun, Freud di masa itu memandang dirinya sebagai seorang penakluk, ia juga meyakini bahwa ia tengah menyusun teori ilmiah. Lalu, bagaimana teorinya jika dilihat dari enam kriteria teori yang bermanfaat seperti dipaparkan pada Bab 1?

Sekalipun terdapat sederetan kesulitan untuk menguji asumsi-asumsi Freud, para peneliti telah melakukan kajian-kajian yang terkait dengan teori psikoanalisis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kami menilai teori Freud berada dalam tingkat rata-rata dalam hal kemampuannya untuk mengembangkan penelitian.

Kedua, teori yang baik harus bisa diulang (falsifiable). Sementara, banyak bukti penelitian yang konsisten dengan pemikiran Freud bisa dijelaskan dengan model lain, teori Freud ini sendiri nyaris tidak mungkin untuk direka ulang. Contoh yang baik tentang kesulitan melakukan reka ulang psikoanalisis adalah cerita tentang perempuan yang memimpikan ibu mertuanya datang berkunjung. Muatan mimpi tersebut bukanlah upaya pemenuhan kebutuhan karena perempuan itu membenci ibu mertuanya dan tidak menginginkan si ibu mertua berkunjung. Freud menghindari pemikiran yang menantang ini dengan menjelaskan bahwa mimpi perempuan itu semata-mata untuk membuktikan bahwa pendapat Freud tentang mimpi sebagai pemenuhan keinginan adalah keliru. Penjelasan seperti ini jelas-jelas memberi teori ini peringkat yang rendah atas kemampuannya membangun hipotesis yang bisa diulang.

Kriteria ketiga dari teori yang bermanfaat adalah kemampuannya mengorganisasi pengetahuan ke dalam kerangka yang bermakna. Sayangnya, kerangka teori kepribadian

Bab 2 Freud: Psikoanalisis |

Freud, yang memberikan penekanan pada alam tidak sadar, sangat longgar dan fleksibel sehingga data-data yang saling tidak konsisten pun bisa ikut masuk dalam kerangka ini. Dibandingkan dengan teori-teori kepribadian lain, psikoanalisis menawarkan jawaban untuk pertanyaan tentang mengapa seseorang mengambil tindakan tertentu. Akan tetapi, hanya beberapa dari jawaban tersebut yang berasal dari investigasi ilmiah—kebanyakan jawaban hanyalah perpanjangan logis dari asumsi-asumsi dasar Freud. Oleh karena itu, kami menilai psikoanalisis memiliki kemampuan rata-rata dalam mengorganisasi pengetahuan.

Keempat, teori yang bermanfaat bisa berfungsi sebagai panduan pem ecahan masalah- masalah praktis. Oleh karena teori Freudian sangat komprehensif, maka banyak praktisi yang berlatar belakang psikoanalisis menggunakannya untuk mencari solusi bagi persoalan sehari-hari. Akan tetapi, psikoanalisis tidak lagi mendominasi bidang psikoterapi dan sekarang ini, para terapis menggunakan orientasi-orientasi teori lain dalam praktik mereka. Oleh karena itu, kami memberikan peringkat yang rendah kepada psikoanalisis sebagai panduan untuk para praktisi.

Kriteria kelima dari teori yang bermanfaat terkait dengan konsistensi internal, termasuk istilah-istilah dengan definisi operasional. Psikoanalisis adalah teori yang konsisten secara internal, mengingat bahwa Freud menulis teori ini selama lebih dari empat puluh tahun dan perlahan-lahan mengganti makna dari sejumlah konsep seiring perjalanan waktu. Akan tetapi, secara umum, teori ini memiliki konsistensi internal sekalipun beberapa istilah yang digunakan tidak sesuai dengan standar ilmiah.

Apakah psikoanalisis memiliki satu set istilah dengan definisi operasional? Disinilah kekurangan teori ini. Sehingga, istilah seperti id, ego, superego, alam sadar, alam bawah sadar, alam tidak sadar, tahap oral, tahap anal sadistis, tahap falik, Oedipus complex, mimpi tingkat laten dan banyak lagi tak punya definisi operasional; artinya mereka tidak dijabarkan dalam operasi atau perilaku yang spesifik. Peneliti harus menyusun sendiri definisi untuk sederetan istilah psikoanalisis.

Keenam, psikoanalisis sendiri bukan teori yang sederhana sehingga dapat memberikan jawaban termudah, tetapi hal ini diimbangi dengan kemampuan teori psikoanalisis dalam menjelaskan kepribadian manusia secara komprehensif dan kompleks.

Konsep Kemanusiaan

Pada Bab 1, kita telah menggarisbawahi beberapa dimensi dalam konsep kemanusiaan. Di manakah posisi teori Freud dalam dimensi-dimensi tersebut?

Dimensi pertama adalah determ inisme versus kebebasan memilih. Dalam dimensi ini, pandangan Freud mengenai sifat dasar manusia dapat dianggap jatuh ke dalam ranah determ inisme. Freud meyakini bahwa perilaku ditentukan oleh kejadian di masa lalu ketim bang dibentuk oleh tujuan di masa kini. Manusia mempunyai sedikit kontrol atas tindakannya di masa kini karena banyak dari perilaku mereka berakar pada dorongan- dorongan tidak disadari yang berada di luar kesadaran di masa kini. Walaupun manusia biasanya percaya bahwa mereka dapat mengontrol kehidupan mereka, Freud bersikeras bahwa kepercayaan semacam itu adalah ilusi.

Teori Kepribadian

Kepribadian orang dewasa banyak ditentukan oleh pengalaman masa kanak-kanak- terutama oleh Oedipus com p lex -yang telah meninggalkan jejak dalam pikiran yang tidak disadari. Freud (1917/1955a) berpendirian bahwa kemanusiaan, dalam sejarahnya, telah mengalami tiga hantaman besar atas ego narsistiknya. Pertama, penemuan kembali oleh Copernicus bahwa bumi bukanlah pusat dari semesta; kedua adalah temuan Darwin bahwa manusia cukup serupa dengan hewan lainnya; ketiga, dan mungkin hantaman yang paling keras dari ketiganya, adalah temuan Freud sendiri bahwa kita tidak memiliki kontrol atas tindakan kita, atau seperti yang ia kemukakan bahwa “ego bukanlah tuan dari rumahnya send iri” (him. 143).

Permasalahan kedua yang juga terkait adalah mengenai pesim isme versus optimisme. Menurut Freud, kita datang ke dunia dengan satu kondisi konflik mendasar, dengan tekanan kehidupan dan kematian pada diri kita yang beroperasi dalam sisi yang berlawanan. Keinginan bawaan untuk mati m endorong kita terus-m enerus menuju penghancuran diri dan agresi, sementara dorongan seksual menyebabkan kita m engejar dan mencari kepuasan. Ego, kurang lebih selalu mengalami kondisi konflik yang permanen, berusaha untuk m enyeimbangkan keinginan yang kontradiktif dari id dan superego, dan pada saat yang bersamaan membuat penyesuaian dengan dunia luar. Di balik topeng tipis yang mengisyaratkan peradaban, kita adalah binatang buas yang mempunyai kecenderungan dasar untuk menggunakan orang lain demi kepuasan seksual dan kepuasan yang bersifat destruktif. Freud percaya bahwa ada perilaku antisosial di bawah permukaan diri seseorang, bahkan dari orang yang paling damai sekalipun. Lebih buruk lagi, biasanya kita tidak menyadari alasan dari perilaku kita ataupun kebencian yang kita rasakan terhadap teman, keluarga, ataupun kekasih kita. Untuk alasan-alasan inilah, teori psikoanalisis pada dasarnya bersifat pesimistis.

Pendekatan ketiga untuk m elihat kemanusiaan adalah dalam dimensi kausalitas versus teleologi. Freud yakin bahwa perilaku masa kini sering kali dibentuk oleh alasan- alasan masa lalu ketimbang oleh tujuan manusia untuk masa depan. Manusia tidak bergerak ke tujuan yang ditentukan oleh diri sendiri; malahan mereka tidak berdaya berada dalam perjuangan antara Eros dan Thanatos. Kedua dorongan kuat ini membuat manusia secara kompulsif mengulang pola perilaku yang primitif. Sebagai orang dewasa, perilaku mereka adalah suatu rangkaian panjang dari reaksi-reaksi. Manusia secara terus- menerus mereduksi tekanan; melepaskan kecemasan; menekan pengalaman yang tidak menyenangkan; mundur ke tahapan perkembangan yang telah terlewati dan lebih aman; dan secara kompulsif mengulang perilaku yang terasa aman dan tidak asing. Oleh sebab itu, kami menilai teori Freud sangat tinggi dalam dimensi kausalitas.

Dalam dimensi kesadaran versus ketidaksadaran, teori psikoanalisis jelas sangat condong ke arah motivasi tidak sadar. Freud yakin bahwa sem ua hal, mulai dari keliru ucap (slip of the tongue) sampai pengalaman religius merupakan suatu hasil dari keinginan yang sangat mengakar untuk memuaskan dorongan seksual ataupun agresif. Motif-m otif ini membuat kita menjadi budak dari ketidaksadaran kita. Walaupun kita sadar akan tindakan kita, Freud yakin bahwa motivasi yang mendasari tindakan tersebut berakar dari ketidaksadaran kita dan sering kali cukup berbeda dengan apa yang kita percayai.

Dimensi kelima adalah pengaruh sosial versus pengaruh biologis. Sebagai dokter, pelatihan medis yang pernah dilalui Freud membuatnya melihat kepribadian manusia dari sudut pandang biologis. Akan tetapi, Freud (1913/1953,1985) sering berspekulasi mengenai konsekuensi dari unit sosial prahistoris dan mengenai konsekuensi dari pengalaman sosial seorang individual di masa lalu. Oleh karena Freud percaya bahwa banyak khayalan dan kecemasan di masa bayi berakar pada biologi, maka kami menilai teorinya rendah dalam dimensi pengaruh sosial.

Bab 2 Freud: Psikoanalisis |

Masatah keenam adalah mengenai keunikan versus kesamaan. Dalam dimensi ini, teori psikoanalisis mengambil posisi tengah. Evolusi masa lalu kemanusiaan membangkitkan banyak kesamaan di antara manusia. Akan tetapi, pengalaman individual, terutama dari awal masa kanak-kanak, m embentuk manusia dengan cara yang unik dan menjadi alasan dari banyak perbedaan dalam kepribadian.

Istilah dan Konsep Penting

• Freud mengidentifikasi tiga tingkatan dalam kehidupan mental—alam tidak sadar (ketidaksadaran), alam bawah sadar, dan kesadaran.

» Pengalaman awal masa kecil yang menyebabkan kadar kecemasan yang tinggi biasanya ditekan ke dalam ketidaksadaran , di mana hal-hal tersebut akan memengaruhi perilaku, emosi, dan sikap seseorang selama bertahun-tahun.

• Kejadian yang tidak diasosiasikan dengan kecemasan tetapi hanya terlupakan menjadi isi dari alam bawah sadar.

• Gambaran-gambaran kesadaran adalah hal-hal yang disadari dalam waktu apapun.

• Freud menemukan tiga bagian dari pikiran—id, ego, dan superego.

• Id tidak disadari, kacau, tidak berhubungan dengan realitas, dan mengikuti prinsip kepuasan.

• Ego adalah bagian eksekutif dari kepribadian, berhubungan dengan dunia nyata, dan mengikuti prinsip realitas.

• Superego mengikuti prinsip moral dan idealistis yang mulai terbentuk setelah masalah Oedipus complex terselesaikan.

• Semua motivasi dapat dirunut kembali pada dorongan seksual dan agresif. Perilaku masa kecil yang berhubungan dengan seks dan agresi biasanya akan mendapatkan hukuman, yang kemudian berakibat pada represi dan kecemasan.

Untuk melindungi dirinya dari kecemasan, ego membentuk mekasime pertahanan yang beragam dan salah satu contoh paling dasarnya adalah represi.

• Freud menggarisbawahi tiga tahapan perkembangan yang utama—periode masa bayi, periode laten, dan genital—akan tetapi, ia lebih mendedikasikan perhatiannya pada tahapan infantil.

• Tahapan infantil dibagi menjadi tiga subtahapan—oral, anal, dan falik , di mana pada tahapan falik akan dibarengi dengan Oedipus complex.

Selama masa tahapan Oedipal, seorang anak menginginkan penyatuan secara seksual dengan salah satu orang tua sekaligus juga mulai membangun rasa tidak bersahabat dan hostilitas terhadap orang tua yang satunya lagi.

Freud yakin bahwa mimpi dan Freudian slips adalah cara yang terselubung untuk mengekspresikan impuls tidak sadar.

.

Bab 3

Adier:Psikologi Individual

• GambaranUmum Psikologi Individual• Biografi Alfred Adler• Pengantar Teori Adlerian• Berjuang untuk Meraih Keberhasilan atau

Superioritas Tujuan AkhirDaya Juang sebagai Kompensasi Berjuang Meraih Superioritas Pribadi Berjuang Meraih Keberhasilan

• Persepsi Subjektif Fiksionalisme Kelemahan Fisik

• Kesatuan dan Self-Consistency dariKepribadian

Bahasa OrganKesadaran dan Ketidaksadaran

• Minat SosialSumber dari Minat Sosial Pentingnya Minat Sosial

• Gaya Hidup• Daya Kreatif• Perkembangan Abnormal

Deskripsi Umum Faktor Eksternal Penyebab Ketidakmampuan Menyesuaikan Diri

Kelemahan Fisik yang Berlebihan Gaya Hidup Manja Gaya Hidup Terabaikan

Kecenderungan untuk Melindungi Membuat Alasan

Adler

Masculine ProtestAsal Mula Masculine Protest Adler, Freud dan Masculine Protest

• Penerapan Psikologi Individual Konstelasi KeluargaIngatan Masa KecilMimpiPsikoterapi

• Penelitian TerkaitIngatan Masa Kecil dan Pilihan Karier Masa Kanak-kanak Awal dan Isu yang

Terkait dengan Kesehatan Ingatan Masa Kecil dan Hasil Konseling

• Kritik terhadap Adler• Konsep Kemanusiaan• Istilah dan Konsep Penting

AgresiMenarik Diri

I Teori Kepribadian

Pada tahun 1973, Abraham Maslow muda sedang makan malam bersama rekan kerja yang relatif lebih tua di sebuah restoran di New York. Pria yang lebih tua itu telah

dikenal luas karena kedekatannya dengan Sigmund Freud, dan banyak orang, termasuk Maslow, mengenai ia sebagai murid Freud. Ketika Maslow dengan santai bertanya pada pria yang lebih tua tersebut tentang dirinya yang menjadi pengikut Freud, pria tersebut menjadi marah, dan menurut Maslow, ia hampir berteriak bahwa

Ini sebuah kebohongan juga penipuan dan ia menyalahkan Freud sepenuhnya, yang waktu itu ia sebut sebagai penipu, licik, tukang komplot.... Ia berkata bahwa dirinya tidak pernah menjadi pelajar, murid, atau pengikut Freud. Ia sudah menjelaskan dari awal bahwa dirinya tidak sepaham dengan Freud dan bahwa ia mempunyai pendapatnya sendiri (Maslow, 1962, him. 125).

Maslow, yang mengenai pria yang lebih tua itu sebagai orang yang tidak mudah marah dan menyenangkan, sangat terkejut dengan reaksi pria tersebut.

Pria yang lebih tua, tentu saja, adalah Alfred Adler, yang berjuang sepanjang kehidupan profesionalnya untuk menghilangkan persepsi bahwa ia pernah menjadi pengikut Freud. Ketika reporter atau orang lain bertanya tentang hubungan awalnya dengan Freud, Adler akan mengeluarkan kartu pos yang sudah tua dan pudar yang berisi undangan dari Freud kepada Adler untuk bergabung dengan Freud dan tiga dokter lain di rumah Freud pada Kamis malam. Freud menutup undangannya dengan ucapan, “Dengan salam hangat dari rekan sejawat” (dikutip dalam Hoffman, 1994, him. 2). Ucapan hangat ini memberikan Adler bukti nyata bahwa Freud menganggap Adler sejajar dengannya.

Akan tetapi, hubungan hangat antara Adler dan Freud menjadi buruk, keduanya saling melempar pernyataan tajam satu sama lain. Contohnya, setelah Perang Dunia I, ketika Freud menyatakan agresi sebagai dorongan dasar manusia, Adler yang sudah sejak lama meninggalkan konsep itu, berkomentar pedas: “Saya memperkaya psikoanalisis dengan dorongan agresif. Saya, dengan senang hati, menganggapnya sebagai penghargaan atas apa yang saya lakukan (dikutip dalam Bottome, 1939, him. 64).

Selama perselisihan sengit antara kedua pria tersebut, Freud menuduh Adler memiliki delusi paranoid dan menggunakan taktik teroris. Ia mengatakan pada salah satu rekannya bahwa pemberontakan Adler sebagai hal yang dihasilkan oleh “individu abnormal yang dikendalikan secara berlebihan oleh ambisi” (dikutip dalam Gay, 1988, him. 223).

Gambaran Umum Psikologi IndividualAlfred Adler bukan seorang teroris atau seseorang yang dikendalikan secara berlebihan oleh ambisi. Psikologi Individualnya menggambarkan pandangan optimis akan manusia yang bersandar pada gagasan minat sosial (social interest), yaitu perasaan menyatu dengan semua umat manusia. Selain pandangan Adler yang lebih optimis pada manusia, beberapa perbedaan lain membuat hubungan antara Freud dan Adler cukup rapuh.

Pertama, Freud mereduksi semua motivasi menjadi seks dan agresi, sedangkan Adler melihat manusia lebih banyak dimotivasi oleh pengaruh sosial dan oleh perjuangan mereka

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

untuk mencapai superioritas atau keberhasilan. Kedua, Freud berasumsi bahwa manusia mempunyai sedikit pilihan atau tidak mempunyai pilihan sama sekali dalam membentuk kepribadian mereka, sedangkan Adler percaya bahwa manusia mempunyai tanggung jawab besar akan siapa diri mereka. Ketiga, asumsi Freud bahwa perilaku saat ini disebabkan oleh pengalaman masa lalu, berlawanan dengan gagasan Adler, yaitu perilaku saat ini dibentuk oleh pandangan manusia akan masa depan. Keempat, kontras dengan Freud yang sangat menekankan komponen ketidaksadaran dalam perilaku, Adler percaya bahwa manusia yang sehat secara psikologis biasanya sadar dengan apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya.

Seperti dijelaskan sebelumnya, Adler merupakan anggota awal dari sekelompok kecil dokter yang bertemu di rumah Freud pada Rabu malam untuk mendiskusikan topik psikologi. Namun, ketika perbedaan teoretis dan personal antara Adler dengan Freud muncul, Adler meninggalkan lingkaran Freud dan membuat teori yang berlawanan, yang kemudian dikenal

sebagai psikologi individual.

Biografi Alfred AdlerAlfred Adler lahir pada tanggal 7 Februari 1870 di Rudolfsheim, sebuah desa dekat Wina. Ibunya, Pauline, adalah ibu rumah tangga yang sibuk dengan ketujuh anaknya. Ayahnya, Leopold, adalah pedagang gandum kelas menengah dari Hungaria. Semasa kecil, Adler seorang anak yang lemah dan sakit-sakitan, bahkan pada umur lima tahun ia hampir meninggal karena radang paru-paru. Adler kecil bermain seluncur es dengan anak laki- laki yang lebih tua yang kemudian meninggalkan Alfred sendirian. Kedinginan dan menggigil, Adler berhasil menemukan jalan pulang dan ia segera jatuh tertidur di sofa ruang tamu. Ketika Adler mulai sadar, ia mendengar dokter berkata pada orang tuanya, “Jangan repot-repot. Anak ini sudah meninggal” (Hoffman, 1994, him. 8). Pengalaman ini, bersamaan dengan kematian adik laki-lakinya, memotivasi Adler untuk menjadi seorang dokter.

Kesehatan Adler yang buruk sangat berlawanan dengan kesehatan kakak laki-lakinya Sigmund Adler. Beberapa ingatan masa kecil Adler berhubungan dengan persaingan yang tidak menyenangkan antara kesehatan kakaknya yang baik dan penyakit Adler. Sigmund Adler, saingan masa kecil yang ingin dikalahkan Adler, tetap menjadi saingannya yang berharga. Beberapa tahun kemudian, Sigmund mencapai kesuksesan dalam bisnis dan bahkan membantu keuangan Adler. Akan tetapi, menurut standar yang ada, Adler lebih terkenal daripada Sigmund Adler. Seperti banyak anak urutan kedua lainnya, Alfred melanjutkan persaingan dengan kakaknya sampai usia tengah baya. Ia pernah mengatakan pada penulis biografinya, Phyllis Bottome (1939, him. 18), “Kakak laki-lakiku adalah pengusaha yang baik—ia selalu berada di depanku ... dan ia masih tetap di depanku!”

Kehidupan Freud dan Adler punya kesamaan yang menarik. Walaupun kedua pria ini berasal dari orang tua Yahudi Wina kelas menengah atau menengah ke bawah namun mereka tidak ada yang religius. Akan tetapi, Freud lebih sadar akan darah Yahudinya dibandingkan Adler dan memercayai bahwa dirinya dianiaya karena latar belakang Yahudinya. Di sisi lain,

Teori Kepribadian

Adler tidak pernah menyatakan dirinya diperlakukan tidak baik, dan pada tahun 1904, ketika masih menjadi anggota lingkaran dalam Freud, ia beralih keyakinan menjadi Protestantisme. Walaupun terjadi perubahan keyakinan, ia tidak mempunyai pendirian religius yang dalam, dan sesungguhnya, salah seorang penulis biografinya (Rattner,1983) mengenal ia sebagai seorang agnostik.

Seperti Freud, Adler mempunyai adik laki-laki yang meninggal ketika masih bayi. Pengalaman awal ini sangat memengaruhi keduanya namun dalam cara yang sangat berbeda. Freud, dengan ceritanya sendiri, telah berharap dengan tidak sadar untuk kematian saingannya dan ketika bayi Julius benar-benar meninggal, Freud dipenuhi rasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri, kondisi yang berlangsung hingga ia dewasa.

Sebaliknya, Adler kelihatan mempunyai alasan yang lebih kuat untuk trauma atas kematian adiknya Rudolf. Saat berumur empat tahun, pada suatu pagi, Adler terbangun dan menemukan Rudolf meninggal di tempat tidur di sebelahnya. Bukannya merasa ketakutan atau merasa bersalah, Adler malah menilai pengalaman ini, sama dengan pengalamannya sendiri yang hampir meninggal karena radang paru-paru, sebagai tantangan untuk mengalahkan kematian. Jadi, pada umur lima tahun, ia memutuskan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk menaklukkan kematian. Oleh karena ilmu kedokteran menawarkan kemungkinan untuk mencegah kematian, pada usia yang masih muda, Adler memutuskan untuk menjadi seorang dokter (Hoffman, 1994).

Walaupun Freud dikelilingi oleh keluarga besar, termasuk tujuh adik laki-laki dan perempuan, dua kakak tiri yang sudah dewasa, serta seorang keponakan laki-laki dan perempuan yang umurnya sebaya dengannya, Freud lebih terikat secara emosional dengan orang tuanya, terutama ibunya, daripada dengan anggota keluarganya yang lain. Sebaliknya, Adler lebih tertarik dengan hubungan sosial, dan saudara-saudara kandungnya juga teman-temannya mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan masa kecilnya. Perbedaan kepribadian antara Freud dan Adler terus berlanjut sampai dewasa, di mana Freud lebih suka hubungan yang mendalam dengan seseorang, sedangkan Adler merasa lebih nyaman dalam situasi kelompok. Perbedaan ini juga terlihat dalam organisasi profesional mereka. Vienna Psychoanalytic Society dan International Psychoanalytic Association milik Freud sangat terstruktur dalam bentuk piramid, dengan lingkaran dalamnya terdiri atas enam orang rekan Freud yang terpercaya dan membentuk semacam oligarki ke atas. Sedangkan Adler lebih demokratis, sering bertemu dengan rekan kerja dan teman-temannya di kedai kopi di Wina di mana mereka bermain piano dan bernyanyi. Society for Individual Psychology milik Adler sebenarnya mengalami kegoyahan dalam organisasi dan Adler bersikap santai terhadap detail bisnis sehingga tidak mendorong perkembangan aktivitasnya (Ellenberger, 1970).

Adler menjalani pendidikan menengahnya tanpa ada kesulitan ataupun prestasi yang memuaskan. Akan tetapi, ketika ia masuk Gymnasium untuk persiapan sekolah kedokteran, prestasinya sangat buruk sehingga ayahnya mengancam untuk mengeluarkannya dari sekolah dan membekalinya dengan keahlian untuk menjadi pembuat sepatu (Grey, 1998). Ketika menjadi mahasiswa kedokteran, ia sekali lagi menyelesaikan pendidikannya tanpa mendapat tanda kehormatan khusus. Hal ini mungkin terjadi karena ketertarikannya untuk memedulikan pasien berlawanan dengan tuntutan profesornya untuk melakukan diagnosis

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

yang tepat (Hoffman, 1994). Ketika ia menerima gelar dokter di akhir tahun 1895, ia telah mencapai tujuannya semasa kecil, yaitu untuk menjadi seorang dokter.

Oleh karena ayahnya lahir di Hungaria, maka Adler adalah warga negara Hungaria dan harus menjalani wajib militer di ketentaraan Hungaria. Adler memenuhi kewajibannya itu segera setelah ia menerima gelar dokter dan kemudian kembali ke Wina untuk kuliah pascasarjana (Adler menjadi warga negara Austria pada tahun 1911). Ia mulai membuka praktek sebagai spesialis mata, tetapi menghentikan prakteknya dan beralih ke psikiatri dan kedokteran umum.

Para sarjana tidak sepaham tentang pertemuan pertama Adler dan Freud (Bottome, 1939; Ellenberger, 1970; Fiebert, 1997: Handlbauer, 1998), tetapi semua setuju bahwa pada akhir musim gugur tahun 1902, Freud mengundang Adler dan tiga dokter Wina lainnya untuk menghadiri pertemuan di rumah Freud untuk mendiskusikan psikologi dan neuropatologi. Kelompok ini dikenal sebagai Wednesday Psychological Society sampai tahun 1908 kemudian berubah nama menjadi Vienna Psychoanalytic Society. Walaupun Freud memimpin diskusi- diskusi dalam kelompok ini, Adler tidak pernah menganggap Freud sebagai mentornya dan ia percaya, dengan agak naif, bahwa dirinya dan yang lainnya mampu memberikan kontribusi kepada psikoanalisis—kontribusi yang akan diterima oleh Freud. Walaupun Adler adalah anggota awal dari lingkaran dalam Freud, kedua pria ini tidak pernah mempunyai hubungan interpersonal yang hangat. Tidak satu pun dari keduanya cepat menyadari adanya perbedaan teoritikal di antara mereka, bahkan setelah tahun 1907 ketika Adler menerbitkan Study o f Organ Inferiority and Its Psychical Compensation (1907/1917), yang mengasumsikan bahwa kekurangan fisik—bukan seks—membentuk dasar motivasi manusia.

Selama beberapa tahun berikutnya, Adler menjadi semakin yakin bahwa psikoanalisis seharusnya lebih luas daripada pandangan Freud tentang seksualitas kanak-kanak. Pada tahun 1911, Adler, yang waktu itu menjabat sebagai presiden Vienna Psychoanalytic Society, mempresentasikan pandangannya di depan kelompok tersebut dan mengutarakan ketidaksetujuan terhadap kecenderungan seksual dari psikoanalisis. Ia juga bersikeras bahwa dorongan untuk superioritas lebih sesuai sebagai motivasi dasar daripada seksualitas. Adler dan Freud akhirnya menyadari bahwa perbedaan mereka tidak bisa disatukan kembali dan pada Oktober 1911, Adler mengundurkan diri dari jabatan presiden dan keanggotaannya di Psychoanalytic Society. Bersama dengan sembilan orang anggota awal dari lingkaran Freud, ia membentuk Society for Free Psychoanalytic Study, sebuah nama yang menjengkelkan Freud karena implikasinya bahwa psikoanalisis Freudian dianggap bertentangan dengan ekspresi bebas dari suatu gagasan. Adler segera mengubah nama organisasinya menjadi Society for Individual Psychology—sebuah nama yang jelas mengindikasikan bahwa ia telah

meninggalkan psikoanalisis.

Seperti Freud, Adler dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi selama Perang Dunia I. Keduanya mengalami kesulitan keuangan dan keduanya enggan meminjam uang dari kerabat—Freud dari iparnya Edward Barneys dan Adler dari kakaknya Sigmund. Masing-masing dari mereka juga membuat perubahan penting dalam teorinya. Freud menganggap agresi selevel dengan seks setelah melihat kekejaman perang, sedangkan Adler mengusulkan bahwa minat sosial dan belas kasihan seharusnya menjadi landasan dari motivasi manusia. Tahun-tahun peperangan juga membawa kekecewaan besar bagi

Teori Kepribadian

Adler ketika lamarannya untuk menduduki posisi unpaid lecturer di University of Vienna ditolak. Adler menginginkan posisi ini agar mendapatkan forum untuk menyebarkan pendapatnya Ia juga sangat ingin mencapai posisi prestisius yang telah dipegang Freud selama lebih dari dua belas tahun. Adler tidak pernah mencapai posisi ini, tetapi setelah perang ia berhasil memperbaiki teorinya melalui pengajaran, mendirikan klinik bimbingan anak, dan pelatihan guru.

Selama beberapa tahun dalam hidupnya, Adler kerap mengunjungi Amerika Serikat, di mana ia mengajar psikologi individual di Columbia University dan di New School for Social Research. Pada tahun 1932, ia menjadi warga negara Amerika Serikat dan memegang posisi Profesor Tamu untuk Psikologi Kedokteran di Long Island College of Medicine, yang sekarang menjadi Downstate Medical School, State University of New York. Tidak seperti Freud, yang tidak menyukai orang Amerika dan pemahaman mereka yang dangkal tentang psikoanalisis, Adler terkesan dengan orang Amerika dan mengagumi optimisme serta keterbukaan pikiran mereka. Popularitasnya sebagai pembicara di Amerika Serikat selama pertengahan 1930-an hanya tersaingi oleh beberapa rival dan ia membidik pasaran Amerika yang reseptif untuk menjual beberapa buku terakhirnya.

Adler menikah dengan wanita Rusia yang sangat independen, Raissa Epstein, pada Desember 1897. Raissa adalah seorang feminis awal dan lebih politis dibandingkan suaminya. Pada tahun-tahun berikutnya, ketika Adler tinggal di New York, istrinya lebih banyak tinggal di Wina dan bekerja untuk mengembangkan pandangan Marxist- Leninist yang cukup berbeda dengan gagasan Adler tentang kebebasan dan tanggung jawab individual. Setelah beberapa tahun Adler meminta istrinya untuk pindah ke New York, Raissa akhirnya tinggal di New York hanya beberapa bulan sebelum kematian Adler. Ironisnya, Raissa yang tidak memiliki kecintaan yang sama dengan suaminya terhadap Amerika, terus tinggal di New York sampai hari kematiannya, yaitu hampir seperempat abad setelah Adler meninggal (Hoffman, 1994).

Raissa dan Alfred memiliki empat orang anak: Alexandra dan Kurt, yang menjadi psikiater dan melanjutkan pekerjaan ayahnya; Valentine (Vali), yang meninggal sebagai tahanan politik di Uni Soviet sekitar tahun 1942; dan Cornelia (Nelly), yang berkeinginan menjadi aktris.

Relaksasi favorit Adler adalah musik, tetapi ia juga mempertahankan minatnya terhadap seni dan sastra. Dalam pekerjaannya, ia sering mengambil contoh-contoh dari dongeng, Alkitab, Shakespeare, Goethe, dan banyak karya sastra lainnya. Adler menyamakan dirinya dengan orang-orang awam atau biasa, dan sikap juga penampilannya konsisten dengan identifikasinya tersebut. Pasien-pasiennya sebagian besar mencakup orang-orang dari kelas menengah dan kelas bawah, suatu hal yang jarang dilakukan oleh psikiater pada waktu itu. Kualitas personalnya mencakup sikap optimis terhadap kondisi manusia, daya saing kuat yang dipadukan dengan sifat ramah dan menyenangkan, serta kepercayaan kuat terhadap kesamaan gender dasar, yang dikombinasikan dengan kesediaan untuk sekuat tenaga menyokong hak-hak wanita.

Dari pertengahan masa kanak-kanak sampai ulang tahunnya yang ke-67, Adler menikmati kesehatan yang baik. Kemudian, di awal tahun 1937, ketika risau dengan nasib

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

anak perempuannya (Vali) yang menghilang di Moskow, Adler merasakan nyeri dada saat sedang menjadi pembicara keliling di Belanda. Mengabaikan saran dokter untuk beristirahat, ia melanjutkan ke Aberdeen, Skotlandia, di mana pada tanggal 28 Mei 1937 ia meninggal karena serangan jantung. Freud, yang empat belas tahun lebih tua dari Adler, hidup lebih lama dari lawannya. Ketika mendengar kabar meninggalnya Adler, Freud (seperti dikutip dalam E. Jones, 1957) berkata dengan nada menyindir, “Untuk seorang anak Yahudi dari pinggiran kota Wina, kematian di Aberdeen menunjukkan kariernya yang tidak dikenal dan bukti seberapa jauh ia telah sampai. Dunia sangat menghargai pelayanannya karena ia telah menyangkal psikoanalisis” (him. 208).

Pengantar Teori AdlerianWalaupun Alfred Adler berpengaruh besar terhadap teoritikus-teoritikus selanjutnya seperti Harry Stack Sullivan, Karen Horney, Julian Rotter, Abraham H. Maslow, Carl Rogers, Albert Ellis, Rollo May, dan yang lainnya (Mosak & Maniacci, 1999), namanya kurang dikenal dibandingkan dengan Freud atau Carl Jung. Paling tidak, ada tiga hal yang menyebabkan hal ini. Pertama, Adler tidak mendirikan organisasi yang dijalankan dengan kuat untuk mengabadikan teorinya. Kedua, ia bukan penulis yang berbakat dan sebagian besar bukunya dikumpulkan oleh beberapa editor menggunakan bahan pengajaran Adler yang tersebar di sana-sini. Ketiga, banyak dari pandangannya yang tergabung dalam karya teoritikus selanjutnya, seperti Maslow, Rogers, dan Ellis sehingga pandangan tersebut tidak lagi diasosiasikan dengan nama Adler.

Walaupun tulisan-tulisannya mengungkapkan pandangan yang mendalam terhadap kedalaman dan kompleksitas kepribadian manusia, Adler menyusun teori yang sederhana dan parsimonious. Menurut Adler, manusia lahir dengan tubuh yang lemah dan inferior— suatu kondisi yang mengarah pada perasaan inferior sehingga mengakibatkan ketergantungan pada orang lain. Oleh karena itu, perasaan menyatu dengan orang lain (minat sosial) sudah menjadi sifat manusia dan merupakan standar akhir untuk kesehatan psikologis. Lebih spesifik, prinsip utama dalam teori Adler bisa diuraikan dalam bentuk kerangka (outline). Berikut ini adalah adaptasi dari daftar yang menggambarkan pernyataan akhir dari psikologi individual (Adler, 1964).

1. Kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas (striving fo r success or superiority).

2. Persepsi subjektif (subjective perception) manusia membentuk perilaku dan kepribadiannya.

3. Kepribadian itu menyatu (unified) dan konsistensi diri (self-consistent)4. Nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial

(social interest)5. Struktur kepribadian yang self-consistent berkembang menjadi gaya hidup (style o f

life) seseorang.6. Gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif (creative power) manusia.

Teori Kepribadian

Berjuang untuk Meraih Keberhasilan atau SuperioritasPrinsip pertama dari teori Adlerian adalah kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas.

Adler mereduksi semua motivasi menjadi satu dorongan tunggal—berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas. Masa kanak-kanak Adler sendiri ditandai oleh kelemahan fisik dan perasaan kuat untuk bersaing dengan kakak laki-lakinya. Psikologi individual mengajarkan bahwa setiap orang memulai hidup dengan kelemahan fisik yang memunculkan perasaan inferior—perasaan yang memotivasi seseorang untuk berjuang demi meraih superioritas atau keberhasilan. Individu yang tidak sehat secara psikologis akan berjuang untuk superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis mencari keberhasilan untuk semua umat manusia.

Pada awal kariernya, Adler percaya bahwa agresi adalah kekuatan dinamis di balik semua motivasi, tetapi dengan cepat ia merasa tidak puas dengan istilah ini. Setelah menolak agresi sebagai kekuatan motivasi tunggal, Adler menggunakan istilah masculine protest, yang menyatakan keinginan untuk menguasai atau mendominasi orang lain. Akan tetapi, ia segera meninggalkan masculine protest sebagai dorongan universal sambil tetap memberikan porsi terbatas untuk istilah ini dalam teori perkembangan abnormalnya.

Selanjutnya, Adler menyebut kekuatan tunggal itu sebagai berjuang untuk meraih superioritas. Namun, dalam teori terakhirnya, ia membatasi istilah ini pada manusia yang berjuang untuk meraih superioritas pribadi di atas orang lain dan memperkenalkan istilah berjuang untuk meraih keberhasilan yang menggambarkan manusia yang termotivasi oleh minat sosial yang sangat tinggi (Adler, 1956). Tanpa memperhatikan motivasi untuk berjuang, setiap individu dikendalikan oleh tujuan akhir.

Tujuan AkhirMenurut Adler (1956), manusia berjuang demi sebuah tujuan akhir, entah itu superioritas pribadi atau keberhasilan untuk semua umat manusia. Pada masing-masing kasus, tujuan akhir tersebut sifatnya khayal atau fiksional dan tidak ada bentuk objektifnya. Namun demikian, tujuan akhir mempunyai makna yang besar karena mempersatukan kepribadian dan membuat semua perilaku dapat dipahami.

Setiap orang mempunyai kekuatan untuk menciptakan sebuah tujuan fiksional sesuai pribadinya, tujuan yang dibuat dari bahan-bahan mentah yang disediakan oleh faktor keturunan dan lingkungan. Namun, tujuan tersebut tidak ditentukan secara genetis atau lingkungan. Akan tetapi, lebih sebagai produk dari daya kreatif (creative power), yaitu kemampuan manusia untuk secara bebas membentuk perilakunya dan menciptakan kepribadian mereka sendiri. Ketika anak-anak mencapai umur empat atau lima tahun, daya kreatif mereka telah terbentuk sampai pada titik di mana mereka bisa menetapkan tujuan akhir mereka. Bahkan, bayi mempunyai kekuatan bawaan ( innate) untuk menuju pertumbuhan, penyelesaian, atau keberhasilan. Oleh karena bayi itu kecil, tidak lengkap, dan lemah, maka mereka merasa inferior dan tidak berdaya. Untuk mengimbangi kelemahan ini,

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

mereka menetapkan tujuan fiksional untuk menjadi besar, lengkap, dan kuat. Jadi, tujuan akhir seseorang adalah mengurangi rasa sakit akibat perasaan inferior dan mengarahkan orang tersebut baik kepada superioritas atau keberhasilan.

Jika anak-anak merasa terabaikan atau dimanjakan, maka tujuan mereka sebagian besar berada di ketidaksadaran. Adler (1964) membuat hipotesis bahwa anak-anak akan mengimbangi perasaan inferior mereka dengan cara yang berliku-liku, yang tidak mempunyai hubungan jelas dengan tujuan fiksional mereka. Tujuan meraih superioritas bagi seorang anak perempuan yang manja, contohnya, mungkin untuk membuat hubungan yang bersifat parasit dengan ibunya menjadi permanen. Ketika dewasa, ia mungkin tampak tergantung dan suka mencela dirinya sendiri dan perilaku seperti itu mungkin kelihatan tidak konsisten dengan tujuannya meraih superioritas. Akan tetapi, hal ini cukup konsisten dengan tujuan tidak sadar dan kesalahpahaman terhadap hubungan bersifat parasit yang ia tetapkan ketika berumur empat atau lima tahun, ketika ibunya tampak besar dan berkuasa, dan kedekatan dengan ibunya menjadi cara yang alami untuk meraih superioritas.

Sebaliknya, jika anak-anak menerima cinta dan rasa aman, mereka menetapkan tujuan yang sebagian besar disadari dan dipahami dengan jelas. Anak-anak yang secara psikologis merasa aman, berjuang meraih superioritas yang didefinisikan sebagai keberhasilan dan minat sosial. Walaupun tujuan mereka tidak pernah disadari secara utuh, individu-individu yang sehat ini mengerti dan mengejar tujuan mereka dengan tingkat kesadaran yang tinggi.

Dalam perjuangannya mencapai tujuan akhir, manusia menciptakan dan mengejar banyak tujuan awal. Subtujuan ini sering kali disadari, tetapi hubungan antara subtujuan dengan tujuan akhir biasanya tetap tidak diketahui. Lebih jauh lagi, hubungan di antara subtujuan itu sendiri jarang disadari. Namun, dari sudut pandang tujuan akhir, subtujuan tersebut cocok dengan suatu pola self-consistent. Adler (1956) menggunakan analogi seorang penulis drama yang membangun karakteristik dan subplot sesuai dengan tujuan akhir drama tersebut. Ketika adegan akhir diketahui, semua percakapan dan setiap subplot mendapatkan makna baru. Ketika tujuan akhir seseorang diketahui, semua tindakan menjadi jelas dan setiap subtujuan mendapatkan makna yang penting.

Daya Juang sebagai KompensasiManusia berjuang meraih superioritas atau keberhasilan sebagai cara untuk mengganti perasaan inferior atau lemah. Adler (1930) percaya bahwa semua manusia “dikaruniai” tubuh yang kecil, lemah, dan inferior ketika lahir. Kelemahan fisik ini memicu perasaan inferior hanya karena manusia, oleh sifat alami mereka, memiliki kecenderungan bawaan untuk meraih sesuatu yang utuh atau lengkap. Manusia secara terus-menerus didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi perasaan inferior dan didorong oleh keinginan untuk menjadi utuh. Situasi positif dan negatif ini muncul secara bersamaan dan tidak bisa dipisahkan karena mereka adalah dua dimensi dari sebuah kekuatan tunggal.

Daya juang itu sendiri merupakan bawaan, tetapi sifat dan arah daya juang ini ditentukan oleh perasaan inferior dan tujuan untuk meraih keunggulan. Tanpa daya bawaan untuk menuju kesempurnaan, anak-anak tidak akan pernah merasa inferior. Akan tetapi, tanpa perasaan inferior, mereka tidak akan pernah menetapkan tujuan untuk meraih superioritas

Teori Kepribadian

atau keberhasilan. Kemudian, tujuan ditetapkan sebagai kompensasi perasaan inferior, namun perasaan itu tidak akan muncul kecuali seorang anak memiiki kecenderungan dasar untuk menjadi utuh (Adler, 1956).

Walaupun berjuang untuk meraih keberhasilan adalah bawaan, hal ini tetap harus dikembangkan. Ketika lahir, setiap orang berpotensial memiliki daya juang tetapi belum benar-benar memilikinya. Setiap orang harus mengembangkan potensi ini dengan caranya sendiri. Sekitar umur empat atau lima tahun, anak-anak memulai proses ini dengan menetapkan sebuah arah bagi daya juang dan dengan membuat sebuah tujuan, baik untuk superioritas pribadi ataupun keberhasilan sosial. Tujuan tersebut memberikan panduan untuk memotivasi, membentuk perkembangan psikologis, dan memberikannya sasaran.

Sebagai sebuah kreasi dari seorang individu, tujuan bisa berbentuk apa saja. Tidak perlu berbentuk gambaran yang sama dari kelemahan seseorang, walaupun tujuan memang menjadi kompensasi dari kelemahan tersebut. Contohnya, seseorang dengan tubuh yang lemah tidak perlu menjadi seorang atlet yang tegap dan kuat, tetapi sebagai gantinya, ia bisa menjadi seorang seniman, aktor, atau penulis. Keberhasilan adalah konsep yang dibuat secara individu dan setiap orang memiliki definisinya masing-masing mengenai keberhasilan. Walaupun daya kreatif dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan, pada akhirnya kedua hal ini dianggap bertanggung jawab penuh dalam pembentukan kepribadian seseorang. Faktor keturunan menentukan potensi, sedangkan faktor lingkungan berperan pada perkembangan minat sosial dan keteguhan. Kekuatan alam dan pengasuhan tidak akan pernah menghilangkan kekuatan seseorang untuk menetapkan tujuan uniknya atau untuk memilih cara khusus demi mencapai tujuan (Adler, 1956).

Pada teori akhirnya, Adler memperkenalkan dua cara utama untuk berjuang. Pertama, usaha yang secara sosial tidak produktif untuk meraih superioritas pribadi. Kedua, mencakup minat sosial dan ditujukan untuk keberhasilan atau kesempurnaan setiap orang.

Berjuang Meraih Superioritas PribadiBeberapa orang berjuang meraih superioritas dengan sedikit atau tanpa memperhatikan orang lain. Tujuan mereka bersifat personal dan usaha mereka dimotivasi sebagian besar oleh perasaan inferior yang berlebihan atau munculnya in feriority com plex. Pembunuh, pencuri, dan penipu merupakan contoh yang jelas bagi orang-orang yang berjuang untuk keuntungan pribadi. Beberapa orang membuat penyamaran yang pintar dalam usahanya meraih tujuan yang bersifat personal dan mungkin secara sadar atau tidak sadar menyembunyikan kecenderungan mereka untuk memikirkan diri sendiri dibalik tirai keprihatinan sosial. Misalnya, seorang dosen bisa terlihat mempunyai minat besar kepada mahasiswanya karena ia mengadakan hubungan pribadi dengan mereka. Ia dengan jelas menunjukkan simpati dan perhatian serta mendorong mereka yang bermasalah untuk berbicara padanya tentang persoalan pribadi mereka. Dosen ini memiliki kecerdasan sendiri yang membuatnya percaya bahwa ia adalah dosen yang paling mudah ditemui dan berdedikasi di universitasnya. Bagi orang-orang yang melihat, ia tampak termotivasi oleh minat sosial. Akan tetapi, tindakannya itu sebagian besar ditujukan untuk dirinya sendiri dan dimotivasi oleh kompensasi berlebih untuk perasaan inferiornya yang besar.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

Berjuang Meraih KeberhasilanSebaliknya, orang-orang yang sehat secara psikologis adalah mereka yang dimotivasi oleh minat sosial dan keberhasilan untuk semua umat manusia. Individu-individu yang sehat ini peduli dengan tujuan-tujuan yang melebihi diri mereka sendiri, mampu untuk menolong orang lain tanpa menuntut atau mengharap imbalan, dan mampu melihat orang lain tidak sebagai lawan, tetapi sebagai manusia yang bisa diajak bekerja sama untuk kepentingan sosial. Keberhasilan mereka tidak diperoleh dengan cara mengorbankan orang lain, tetapi merupakan kecenderungan alami untuk mencapai keutuhan atau kesempurnaan.

Manusia yang berjuang untuk meraih keberhasilan daripada superioritas pribadi mampu mempertahankan keadaan dirinya, tentu saja, tetapi mereka lebih melihat masalah sehari- hari dari sudut pandang perkembangan masyarakat daripada sudut pandang keuntungan pribadi. Pengertian mereka akan pertumbuhan pribadi sangat terikat dengan kontribusi mereka pada lingkungan masyarakat. Bagi mereka, kemajuan sosial lebih penting daripada kebanggaan pribadi (Adler, 1956).

Persepsi SubjektifPrinsip Adler yang kedua adalah persepsi subjektif seseorang membentuk perilaku dan kepribadian mereka.

Manusia berjuang meraih keunggulan atau keberhasilan untuk mengganti perasaan inferior. Akan tetapi, sikap juang mereka tidak ditentukan oleh kenyataan, namun oleh persepsi subjektif mereka akan kenyataan, yaitu oleh fiksi mereka, atau harapan masa depan.

FiksionalismeFiksi kita yang paling penting adalah tujuan meraih superioritas atau keberhasilan, tujuan yang kita ciptakan di awal kehidupan dan mungkin tidak dipahami dengan jelas. Tujuan akhir yang fiksional dan subjektif ini menuntun gaya hidup kita dan menyatukan kepribadian kita. Gagasan Adler akan fiksionalisme berasal dari buku Hans Vaihinger yang berjudul The Philosophy o f “As 7/*” (1911/1925). Vaihinger percaya bahwa fiksi adalah gagasan yang tidak mempunyai bentuk nyata, namun memengaruhi manusia sehingga seakan-akan gagasan tersebut adalah nyata. Salah satu contoh sebuah fiksi adalah “Pria lebih superior dibanding wanita”. Walaupun gagasan ini fiksi, banyak orang, baik pria maupun wanita bertindak seolah-olah hal ini nyata. Contoh kedua misalnya “Manusia mempunyai kehendak bebas yang memampukan mereka membuat pilihan-pilihan”. Sekali lagi, banyak orang berlaku seolah-olah mereka dan orang lain mempunyai kehendak bebas dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka. Tidak ada yang bisa membuktikan bahwa kehendak bebas itu nyata, namun fiksi ini menuntun kehidupan sebagian besar dari kita. Manusia tidak dimotivasi oleh sesuatu yang nyata, tetapi oleh persepsi subjektif mereka tentang apa yang benar. Contoh ketiga dari fiksi adalah tentang kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang memberi imbalan kepada yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat.

Teori Kepribadian

Kepercayaan seperti itu menuntun kehidupan sehari-hari jutaan manusia dan membantu pembentukan tindakan-tindakan mereka. Entah itu benar atau salah, fiksi berpengaruh kuat terhadap kehidupan manusia.

Penekanan Adler pada fiksi, konsisten dengan pendekatan teleologis tentang motivasi yang ia pegang erat. Teleologi adalah penjelasan tentang perilaku dalam pengertian tujuan atau sasaran akhirnya. Ini berlawanan dengan kausalitas, yang melihat perilaku sebagai hal yang tumbuh dari sebab spesifik. Teleologi biasanya memperhatikan tujuan masa depan, sedangkan kausalitas banyak berhubungan dengan pengalaman masa lalu yang menghasilkan pengaruh di masa sekarang. Pandangan Freud tentang motivasi pada dasarnya adalah kausal. Ia percaya bahwa pengalaman masa lalu memotivasi perilaku saat ini. Sebaliknya, Adler memakai pendekatan teleologis di mana manusia dimotivasi oleh persepsi mereka pada saat ini tentang masa depan. Sebagai fiksi, persepsi-persepsi ini tidak perlu disadari atau dimengerti. Namun demikian, persepsi ini memberikan tujuan pada semua tindakan manusia dan bertanggung jawab untuk pola konsisten yang berjalan disepanjang hidup mereka.

Lebih dari B iografi Mengapa Adler berpisah dengan Freud? Untuk <3jE5EE0E> mengetahui motivasi dibalik perpisahan Adler-Freud, kunjungi situs Web

W kami di www.mhhe.com/feist7.

Kelemahan FisikOleh karena manusia memulai hidupnya dari kondisi yang kecil, lemah, dan inferior, maka mereka mengembangkan fiksi atau sistem kepercayaan tentang bagaimana mengatasi kelemahan fisik ini dengan menjadi besar, kuat, dan superior. Akan tetapi, bahkan setelah mereka memperoleh ukuran yang besar, kekuatan, dan superioritas, mereka bersikap seolah- olah mereka masih kecil, lemah, dan inferior.

Adler (1929/1969) bersikeras bahwa semua umat manusia “dikaruniai” kelemahan anggota tubuh. Keterbatasan fisik sedikit atau bahkan tidak berarti sama sekali bagi manusia, kecuali keterbatasan ini menstimulasi perasaan subjektif tentang inferioritas, yang berfungsi sebagai dorongan menuju kesempurnaan atau keutuhan. Beberapa orang mengganti perasaan inferior ini dengan bergerak menuju keadaan psikologis yang sehat dan gaya hidup yang bermanfaat, sementara yang lain melakukan kompensasi secara berlebihan dan termotivasi untuk menaklukkan orang lain atau menarik diri dari orang lain.

Sejarah memberikan banyak contoh, seperti Demosthenes atau Beethoven yang mengatasi kelemahannya dan memberikan kontribusi penting dalam masyarakat. Adler sendiri lemah dan sakit-sakitan ketika ia masih kecil, dan penyakitnya ini mendorongnya untuk mengalahkan kematian dengan menjadi seorang dokter serta mendorongnya bersaing dengan kakak laki-lakinya dan Sigmund Freud.

Adler (1929/1969) menekankan bahwa kelemahan fisik saja tidak menyebabkan seseorang menjalani gaya hidup tertentu. Kelemahan fisik hanya memberikan motivasi pada saat ini untuk meraih tujuan masa depan. Motivasi seperti ini, seperti semua aspek kepribadian, menyatu dan self-consistent.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual 87

Kesatuan dan Self-Consistency dari KepribadianPrinsip ketiga dari teori Adlerian adalah: Kepribadian itu menyatu dan self-consistent.

Ketika memilih istilah psikologi individual, Adler berharap untuk menekankan keyakinannya bahwa setiap orang itu unik dan tak terpisahkan. Jadi, psikologi individual menekankan pada kesatuan fundamental dari kepribadian dan gagasan bahwa perilaku yang tidak konsisten itu tidak ada. Pikiran, perasaan, dan tindakan, semuanya mengarah pada satu sasaran dan berfungsi untuk mencapai satu tujuan. Ketika seseorang bersikap tidak teratur atau tidak bisa diprediksi, perilaku mereka memaksa orang lain menjadi defensif dan waspada terhadap tindakan yang tak terduga. Meskipun perilaku mereka kelihatan tidak konsisten, ketika dilihat dari perspektif tujuan akhir, perilaku tersebut terlihat baik. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa perilaku yang mereka tunjukkan merupakan usaha-usaha yang tidak disadari untuk mengecoh dan menempatkan orang lain lebih rendah dari dirinya. Perilaku yang membingungkan dan tampak tidak konsisten ini memberikan orang tersebut keuntungan dalam hubungan interpersonal. Walaupun orang seperti ini sering berhasil dalam usahanya untuk mengungguli orang lain, mereka biasanya tetap tidak menyadari motif yang mendasari perilaku mereka dan tetap bersikeras menolak setiap gagasan bahwa mereka berhasrat meraih keunggulan di atas orang lain.

Adler (1956) mengenali beberapa cara di mana keseluruhan diri manusia berfungsi dengan kesatuan dan self-consistency. Cara pertama disebutnya sebagai bahasa organ.

Bahasa OrganMenurut Adler (1956), keseluruhan diri manusia berjuang dengan cara yang self-consistent demi satu tujuan, dan setiap tindakan serta fungsi masing-masing hanya dapat dipahami sebagai bagian dari tujuan tersebut. Gangguan terhadap satu bagian tubuh tidak bisa dilihat secara terpisah atau tersendiri karena hal ini memengaruhi keseluruhan diri seseorang. Faktanya, kelemahan suatu organ tubuh memperlihatkan arah dari tujuan seseorang, suatu kondisi yang dikenal sebagai bahasa organ (organ dialect). Melalui bahasa organ, organ- organ tubuh “berbicara sebuah bahasa yang biasanya lebih ekspresif dan mengungkapkan pikiran seseorang dengan lebih jelas daripada yang bisa diungkapkan oleh kata-kata” (Adler,

1956, him. 223).

Salah satu contoh bahasa organ adalah seorang pria yang menderita rheumatoid arthritis di tangannya. Sendinya yang kaku dan cacat menyuarakan seluruh gaya hidup pria tersebut. Seolah-olah organ tubuhnya berseru, “Lihatlah kelainan pada diri saya. Lihat kecacatan pada diri saya. Anda tidak bisa mengharapkan saya untuk menggunakan tangan dalam melakukan pekerjaan”. Tanpa adanya suara, tangannya berbicara tentang keinginannya mendapatkan

simpati dari orang lain.

Adler (1956) memberikan contoh lain dari bahasa organ—kasus seorang anak laki-laki yang sangat patuh yang mengompol di malam hari memberitahukan pesan bahwa ia tidak ingin mematuhi harapan orang tuanya. Perilakunya “benar-benar ekspresi kreatif karena anak tersebut berbicara melalui kandung kemihnya bukan dengan mulutnya” (him. 223).

Teori Kepribadian

Kesadaran dan KetidaksadaranContoh kedua dari kepribadian yang menyatu adalah keserasian antara tindakan sadar dan tindakan tidak sadar. Adler (1956) mendefinisikan ketidaksadaran sebagai bagian dari tujuan yang tidak dirumuskan dengan jelas atau tidak dipahami secara utuh oleh seseorang. Berdasarkan definisi ini, Adler menghindari dikotomi antara ketidaksadaran dan kesadaran, di mana ia memandangnya sebagai dua bagian yang bekerja sama dalam sistem yang menyatu. Pikiran-pikiran sadar adalah pikiran yang dipahami dan diperlakukan seseorang sebagai hal yang membantunya dalam usaha meraih keberhasilan, sedangkan pikiran-pikiran tidak sadar adalah pikiran yang tidak membantu usaha tersebut.

Kita tidak bisa mempertentangkan antara “kesadaran” dan “ketidaksadaran” seolah- olah mereka setengah bagian yang antagonis dari eksistensi seseorang. Kehidupan sadar menjadi tidak sadar ketika kita gagal untuk memahaminya—dan segera setelah kita memahami kecenderungan tidak sadar, maka hal itu sudah menjadi kesadaran (Adler, 1929/1964, him. 163).

Apakah perilaku seseorang mengarah ke gaya hidup yang sehat atau tidak sehat tergantung pada tingkat minat sosial yang mereka kembangkan selama masa kanak-kanak.

Minat SosialPrinsip Adler yang keempat adalah Nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial.

Minat sosial (social interest) adalah terjemahan Adler, yang sedikit menyesatkan, dari istilah Jerman yang asli, yaitu Gem einschaftsgefiihl. Terjemahan yang lebih baik bisa jadi “perasaan sosial” atau “perasaan berkomunitas”, tetapi Gemeinschaftsgefiihl sebenarnya mempunyai makna yang tidak bisa diekspresikan secara penuh dalam kata atau frasa bahasa Inggris. Kira-kira maknanya adalah perasaan menjadi satu dengan umat manusia; menyatakan secara tidak langsung keanggotaan dalam komunitas sosial seluruh manusia. Seseorang dengan Gemeinschaftsgefiihl yang berkembang dengan baik tidak berjuang untuk superioritas pribadi, tetapi untuk kesempurnaan semua manusia dalam komunitas masyarakat yang ideal. Minat sosial bisa didefinisikan sebagai sikap keterikatan dengan umat manusia secara umum maupun sebagai empati untuk setiap anggota masyarakat. Minat sosial ini termanifestasi dalam bentuk kerja sama dengan orang lain untuk kemajuan sosial daripada keuntungan pribadi (Adler, 1964).

Minat sosial adalah kondisi alamiah dari manusia dan bahan perekat yang mengikat masyarakat bersama-sama (Adler, 1967). Inferioritas alamiah dari manusia menyebabkan mereka mengikatkan diri bersama-sama untuk membentuk masyarakat. Tanpa perlindungan dan pemeliharaan dari seorang ibu atau ayah, seorang bayi akan binasa. Tanpa perlindungan dari keluarga atau suku, nenek moyang kita tentu sudah dibinasakan oleh binatang yang lebih kuat, lebih buas, dan yang mempunyai indra lebih tajam. Oleh karena itu, minat sosial adalah suatu keharusan untuk melestarikan umat manusia.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

Baik ibu maupun ayah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan minat sosial anak-anak mereka.

Sumber dari Minat SosialMinat sosial berakar dari potensi dalam setiap orang, namun hal ini harus dikembangkan sebelum bisa digunakan sebagai gaya hidup yang bermanfaat. Minat sosial bersumber dari hubungan ibu dan anak selama bulan-bulan pertama masa kanak-kanak. Setiap orang yang telah berhasil melewati masa kanak-kanak dipelihara oleh seorang pengasuh yang memiliki sejumlah minat sosial. Jadi, setiap orang memiliki benih minat sosial yang ditabur selama tahun-tahun pertama kehidupan mereka.

Adler percaya bahwa pernikahan dan menjadi orang tua adalah tugas untuk dua orang. Akan tetapi, kedua orang tua mungkin memengaruhi minat sosial seorang anak dengan cara yang agak berbeda. Tugas seorang ibu adalah mengembangkan sebuah ikatan yang mendorong kedewasaan minat sosial seorang anak dan membantu berkembangnya minat bekerja sama. Idealnya, seorang ibu harus memiliki kasih yang sejati dan mendalam untuk anaknya—kasih yang terpusat pada kesejahteraan si anak, bukan pada kebutuhan atau keinginan sang ibu. Hubungan kasih yang sehat ini berkembang dari perhatian yang tulus untuk anaknya, suaminya, dan orang lain. Jika seorang ibu telah belajar untuk memberi dan menerima cinta dari orang lain, maka ia tidak akan mendapatkan kesulitan yang berarti untuk memperbesar minat sosial anaknya. Akan tetapi, jika ibu lebih mendahulukan anak daripada ayah, maka anak akan menjadi manja. Sebaliknya, jika ibu lebih mendahulukan suami dan orang lain di dalam masyarakat, anak akan merasa diabaikan dan tidak dicintai.

Teori Kepribadian

Ayah adalah orang penting kedua dalam lingkungan sosial seorang anak. Ia harus memperlihatkan sikap perhatian kepada istri dan juga kepada orang lain. Ayah yang ideal bekerja sama dengan ibu dalam kedudukan yang sama untuk memperhatikan dan memperlakukan anaknya sebagai manusia. Menurut standar Adler (1956), ayah yang berhasil adalah ayah yang bisa menghindari dua kesalahan, yaitu keterlepasan emosional dan autoritarianisme orang tua. Kesalahan-kesalahan ini bisa memperlihatkan dua sikap, tetapi keduanya sering ditemukan di sosok ayah yang sama. Kedua kesalahan ini menghalangi pertumbuhan dan perluasan minat sosial seorang anak. Keterlepasan emosional seorang ayah bisa memengaruhi anaknya sehingga anak tersebut membentuk pengertian yang salah tentang minat sosial, perasaan diabaikan, dan kemungkinan keterikatan yang bersifat parasit kepada sang ibu. Seorang anak yang mengalami keterlepasan emosi dari ayahnya akan membentuk tujuan yang didasari superioritas pribadi daripada tujuan yang didasari oleh minat sosial. Kesalahan yang kedua—autoritarianisme orang tua—juga bisa menyebabkan gaya hidup yang tidak sehat. Seorang anak yang melihat ayahnya sebagai seorang tiran akan belajar untuk meraih kekuasaan dan superioritas pribadi.

Adler (1956) percaya bahwa dampak dari lingkungan sosial pada tahun-tahun pertama sangatlah penting. Hubungan yang dimiliki seorang anak dengan ayah ibunya sangat penting sehingga bisa mengalahkan pengaruh dari keturunan. Adler meyakini bahwa setelah umur lima tahun, efek dari keturunan dikaburkan oleh pengaruh kuat dari lingkungan sosial anak. Pada saat itu, pengaruh dari lingkungan telah mengubah dan membentuk hampir setiap aspek kepribadian anak.

Pentingnya Minat SosialMinat sosial adalah ukuran Adler untuk mengukur kesehatan psikologis sehingga hal ini dianggap sebagai “kriteria tunggal dari nilai manusia” (Adler, 1927, him. 167). Bagi Adler, minat sosial adalah satu-satunya standar untuk menilai seberapa berharganya seseorang. Sebagai barometer kenormalan, minat sosial adalah standar yang digunakan untuk menentukan seberapa bermanfaatnya hidup seseorang. Sampai pada tingkat di mana seseorang memiliki minat sosial, maka ia dianggap dewasa secara psikologis. Orang yang tidak dewasa kurang memiliki Gemeinschaftsgefuhl, mereka berpusat pada diri sendiri (self- centered), dan berjuang untuk meraih kekuasaan juga superioritas pribadi atas orang lain. Individu yang dewasa sungguh-sungguh menaruh perhatian pada manusia dan mempunyai tujuan keberhasilan yang meliputi kesejahteraan umat manusia.

Minat sosial tidak memiliki arti yang sama dengan derma atau sifat tidak mementingkan diri sendiri. Tindakan kedermawanan dan kebaikan mungkin atau tidak mungkin dimotivasi oleh Gemeinschaftsgefuhl. Seorang wanita yang kaya mungkin secara teratur memberikan banyak uang untuk orang miskin dan orang yang membutuhkan, bukan karena ia merasa menjadi satu dengan mereka, tetapi justru sebaliknya, karena ia ingin mempertahankan keterpisahan dengan orang-orang miskin tersebut. Pemberiannya menyiratkan, “Anda inferior, saya superior, dan sumbangan ini membuktikan superioritas saya”. Adler percaya bahwa harga dari tindakan semacam itu hanya bisa dinilai berlawanan dengan kriteria minat sosial.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

Singkatnya, manusia memulai hidup dengan daya juang dasar yang digerakkan oleh keterbatasan fisik yang dialami. Kelemahan ini tanpa diragukan menyebabkan perasaan inferior. Jadi, semua manusia memiliki perasaan inferior dan semuanya menetapkan tujuan akhir pada sekitar umur empat atau lima tahun. Namun, individu yang secara psikologis tidak sehat, mengembangkan perasaan inferior yang dilebih-lebihkan dan berusaha mengatasi perasaan ini dengan menetapkan tujuan untuk meraih superioritas pribadi. Mereka lebih dimotivasi oleh keuntungan pribadi daripada oleh minat sosial, sedangkan orang yang sehat secara psikologis dimotivasi oleh perasaan tidak lengkap yang wajar dan tingkat minat sosial yang tinggi. Mereka berjuang untuk meraih tujuan keberhasilan, yang didefinisikan dalam pengertian kesempurnaan dan keutuhan untuk setiap orang. Figur 3.1 menggambarkan bagaimana daya juang bawaan yang digabungkan dengan keterbatasan fisik yang ada menghasilkan perasaan inferior universal, yang kemudian bisa menjadi berlebihan atau normal. Perasaan inferior yang dilebih-lebihkan menyebabkan gaya hidup yang neurotis, sedangkan perasaan inferior yang wajar menghasilkan gaya hidup yang sehat. Seseorang membentuk gaya hidup yang tidak berguna atau gaya hidup yang secara sosial bermanfaat tergantung pada bagaimana orang tersebut memandang perasaan inferior yang ada dalam dirinya.

Tujuan akhir disam arkan

Tujuan akhir tam pak jelas

Superioritas pribadi

Keuntungan pribadi

Perasaan yang berlebihan

tKeberhasilan

tMinat sosial

tPerasaan tidak lengkap yang wajar

Perasaan inferior

tKeterbatasan fisik

tDaya juang bawaan

FIG UR 3.1 D ua M etode D asar untuk M eraih Tujuan Akhir.

Gaya HidupPrinsip Adler yang kelima adalah struktur kepribadian yang self-consistent berkembang

menjadi gaya hidup seseorang.

Gaya hidup (style o f life) adalah istilah yang digunakan Adler untuk menunjukkan selera hidup seseorang. Gaya hidup mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan

Teori Kepribadian

terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup adalah hasil interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan, dan daya kreatif yang dimiliki seseorang. Adler (1956) menggunakan analogi musik untuk menjelaskan istilah gaya hidup . Nada-nada yang terpisah adalah komposisi tanpa makna jika tanpa keseluruhan lagu, namun lagu memperoleh makna tambahan ketika kita mengenali gaya seorang pencipta lagu atau ekspresi sikapnya yang unik.

Gaya hidup seseorang terbentuk dengan cukup baik ketika mencapai umur empat atau lima tahun. Setelah masa tersebut, semua tindakan kita berputar disekitar gaya hidup kita yang sudah terbentuk itu. Walaupun tujuan akhir hanya satu, gaya hidup tidak perlu sempit atau kaku. Individu yang tidak sehat secara psikologis sering menjalani hidup yang tidak fleksibel yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk memilih cara baru dalam bereaksi dengan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang sehat secara psikologis berperilaku dengan cara yang berbeda dan fleksibel dalam gaya hidup yang kompleks, selalu berkembang, dan berubah. Manusia yang sehat melihat banyak cara dalam meraih keberhasilan dan terus- menerus mencari cara untuk menciptakan pilihan-pilihan baru dalam hidup mereka. Meskipun tujuan akhir mereka tetap sama, cara mereka menghayati dan menerima tujuan tersebut yang selalu berubah. Jadi, mereka bisa memilih pilihan baru dalam setiap titik kehidupan mereka.

Manusia dengan gaya hidup yang sehat dan bermanfaat secara sosial menunjukkan minat sosial mereka melalui tindakan. Mereka secara aktif berusaha mencari penyelesaian dari apa yang disebut Adler dengan tiga masalah utama dalam kehidupan—kasih, cinta secara seksual, dan pekerjaan—dan mereka melakukannya dengan kerja sama, keteguhan hati, dan kerelaan untuk memberikan kontribusi demi kesejahteraan orang lain. Adler (1956) percaya bahwa manusia dengan gaya hidup yang bermanfaat secara sosial memperlihatkan bentuk kemanusiaan yang paling tinggi dalam proses evolusi dan bentuk ini sangat mungkin memenuhi dunia di masa depan.

Daya KreatifPrinsip terakhir dari teori Adlerian adalah gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif yang ada dalam diri manusia.

Adler percaya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidup nya sendiri. Pada akhirnya, setiap orang bertanggung jawab akan dirinya sendiri dan bagaimana mereka berperilaku. Daya kreatif (creative pow er) yang mereka miliki membuat mereka mengendalikan kehidupan mereka sendiri, bertanggung jawab akan tujuan akhir mereka, menentukan cara yang mereka pakai untuk meraih tujuan tersebut, dan berperan dalam membentuk minat sosial mereka. Singkatnya, daya kreatif membuat setiap orang menjadi individu bebas. Daya kreatif adalah konsep dinamis yang menggambarkan pergerakan {m ovem ent), dan pergerakan ini adalah karakteristik hidup yang paling penting. Semua kehidupan psikis mencakup pergerakan ke tujuan dan pergerakan dengan arah (Adler, 1964).

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

Adler (1956) menjelaskan pentingnya keturunan dan lingkungan dalam membentuk kepribadian. Kecuali kembar identik, setiap anak terlahir dengan susunan genetik yang unik dan segera sampai pada pengalaman sosial yang berbeda dengan manusia lain. Bagaimanapun, manusia lebih dari sekadar produk keturunan dan lingkungan. Manusia adalah makhluk kreatif yang tidak hanya bereaksi terhadap lingkungan, namun juga melakukan tindakan atasnya dan menyebabkan lingkungan bereaksi terhadap mereka.

Setiap orang menggunakan keturunan dan lingkungan sebagai bata dan palu untuk membangun kepribadian, namun rancangan arsitekturalnya menggambarkan gaya hidup seseorang. Hal yang terpenting adalah bukan apa yang ada dalam diri seseorang, tetapi bagaimana seseorang bisa menggunakan semua hal yang ada dalam dirinya. Kita adalah arsitek untuk kehidupan kita sendiri, dan kita bisa membangun gaya hidup yang berguna atau tidak berguna. Kita bisa memilih untuk membangun sesuatu dengan permukaan yang mencolok atau menonjolkan inti dari struktur yang ada. Kita tidak dipaksa untuk menumbuhkan minat sosial karena kita tidak mempunyai sifat bawaan yang mengharuskan kita menjadi orang baik. Sebaliknya, kita tidak mempunyai sifat jahat bawaan yang membuat kita harus melepaskan sifat tersebut. Kita adalah kita karena kita sudah memanfaatkan semua bahan-bahan yang ada dalam diri kita.

Adler (1929/1964) menggunakan analogi yang menarik, yang ia sebut sebagai “hukum ambang pintu rendah” (the law o f the low doorway). Jika Anda mencoba masuk melalui ambang pintu setinggi empat kaki, maka Anda mempunyai dua pilihan. Pertama, Anda bisa menggunakan kemampuan berpikir kreatif untuk membungkuk ketika mendekati pintu masuk sehingga masalah dapat dipecahkan dengan baik. Ini adalah sikap di mana seseorang yang sehat secara psikologis memecahkan sebagian besar masalah hidupnya. Sebaliknya, jika Anda terbentur dan terjatuh ke belakang, maka Anda masih harus menyelesaikan masalah dengan benar atau Anda akan terus-menerus terbentur. Orang-orang neurotis sering kali memilih untuk membenturkan kepala ketika menghadapi masalah dalam kehidupan mereka. Ketika mendekati pintu masuk yang rendah, Anda bisa membungkuk atau membenturkan kepala. Anda memiliki daya kreatif yang membantu Anda untuk mengikuti salah satu

tindakan tersebut.

Perkembangan AbnormalAdler percaya bahwa manusia adalah gambaran dari apa yang mereka ciptakan atau mereka buat dalam hidupnya sendiri. Daya kreatif membantu manusia, sampai batasan tertentu, dengan kebebasan untuk menjadi sehat secara psikologis atau tidak sehat secara psikologis dan untuk mengikuti gaya hidup yang berguna atau tidak.

Deskripsi UmumMenurut Adler (1956), satu faktor yang mendasari semua jenis ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri adalah m in a t sosial yang tidak berkembang. Selain kurangnya minat sosial,

Teori Kepribadian

orang-orang neurotik cenderung untuk (1) menetapkan tujuan yang terlalu tinggi, (2) hidup dalam dunianya sendiri, dan (3) mempunyai gaya hidup yang kaku dan dogmatis. Ketiga karakteristik ini terjadi karena kurangnya minat sosial. Pendeknya, manusia mengalami kegagalan dalam hidupnya karena mereka terlalu memperhatikan diri mereka sendiri dan kurang memperhatikan orang lain. Orang yang tidak mampu menyesuaikan diri menetapkan tujuan hidup yang tinggi sebagai kompensasi yang berlebih karena adanya perasaan inferior yang berlebihan. Tujuan yang tinggi ini menyebabkan adanya perilaku yang dogmatis, dan semakin tinggi tujuan semakin kaku perjuangan yang dilakukan untuk meraihnya. Untuk mengompensasi perasaan tidak mampu dan tidak aman yang sangat mendalam, individu-individu seperti ini mempersempit cara pandangnya dan berjuang secara kompulsif serta kaku untuk mencapai tujuannya.

Sifat dasar seorang neurotik yang berlebihan dan tidak realistis memisahkan mereka dari orang lain. Pendekatan mereka untuk masalah-masalah pertemanan, seks, dan pekerjaan berasal dari cara pandang pribadi yang menghalangi munculnya solusi yang tepat. Cara mereka memandang dunia tidak berfokus pada orang lain dan mereka memiliki apa yang disebut Adler (1956) sebagai “makna pribadi” (him. 156). Orang- orang ini setiap hari menjalani hidup dengan kerja keras dan usaha yang besar. Adler (1929/1964) menggunakan analogi untuk menggambarkan bagaimana orang-orang ini menjalani hidup.

Dalam suatu gedung pertunjukan musik populer, seorang pria yang kuat masuk dan mengangkat sebuah beban berat dengan susah payah. Kemudian, di tengah-tengah tepuk tangan penonton, seorang anak masuk dan mengungkapkan aksi kecurangan dengan membawa beban berat tersebut menggunakan satu tangan. Ada banyak orang neurotik yang mengecoh kita dengan beban seperti itu dan mereka terlihat begitu terbebani. Padahal mereka bisa dengan mudah mengangkat beban yang membuat mereka terhuyung-huyung tersebut (him. 91).

Faktor Eksternal Penyebab Ketidakmampuan Menyesuaikan DiriMengapa ada orang-orang yang mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri? Adler (1964) menyebutkan tiga faktor penyebab, satu dari ketiganya cukup untuk menyebabkan munculnya ketidaknormalan: (1) kelemahan fisik yang berlebihan, (2) gaya hidup manja, dan (3) gaya hidup terabaikan.

Kelemahan Fisik yang BerlebihanKelemahan fisik yang berlebihan, baik itu karena faktor bawaan ataupun akibat kecelakaan maupun penyakit, tidak cukup untuk menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Hal ini harus disertai dengan perasaan inferior yang menonjol. Perasaan subjektif ini mungkin timbul karena tubuh yang tidak sempurna, namun perasaan ini adalah hasil dari daya kreatif.

Setiap orang lahir ke dunia dengan “dikaruniai” kelemahan fisik, dan kelemahan ini mengarah pada perasaan inferior. Orang-orang dengan kelemahan fisik yang berlebihan

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

terkadang membentuk perasaan inferior yang berlebihan karena mereka berusaha keras untuk melakukan kompensasi terhadap kelemahan mereka. Mereka cenderung menjadi terlalu peduli pada diri sendiri dan kurang mempertimbangkan keadaan orang lain. Mereka merasa seakan-akan hidup di tempat musuh, rasa takut telah mengalahkan hasrat mereka untuk mencapai keberhasilan, dan mereka yakin bahwa masalah utama dalam hidup dapat diselesaikan hanya dengan sikap mementingkan diri sendiri (Adler, 1927).

Gaya Hidup ManjaGaya hidup manja kebanyakan ada dalam hidup orang-orang neurotik. Orang-orang yang manja memiliki minat sosial yang lemah, namun punya hasrat yang kuat untuk terus mempertahankan hubungan yang sifatnya parasit, seperti hubungan yang mereka miliki sebelumnya dengan salah satu atau kedua orang tua mereka. Mereka mengharapkan orang lain untuk merawat, melindungi, dan memuaskan kebutuhan mereka. Karakteristik yang menonjol dari mereka adalah putus asa yang berlebihan, kebimbangan, oversensitif, tidak sabar, dan emosi yang berlebihan, terutama kecemasan. Mereka memandang dunia dengan kacamata pribadi dan meyakini bahwa mereka berhak untuk menjadi yang pertama dari segalanya (Adler, 1927, 1964).

Anak-anak yang manja tidak menerima terlalu banyak kasih sayang. Sebaliknya, mereka merasa tidak dicintai. Orang tua mereka memperlihatkan kurangnya kasih sayang dengan cara melakukan terlalu banyak untuk anaknya dan memperlakukan mereka seolah-olah mereka tidak mampu untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Oleh karena anak-anak ini merasa dimanja, maka mereka membentuk gaya hidup yang manja pula. Anak-anak ini mungkin juga merasa diabaikan. Terbiasa dilindungi oleh orang tua yang kekanak-kanakan sehingga mereka takut untuk berpisah dengan orang tua seperti itu. Ketika mereka harus mengurus diri mereka sendiri, mereka merasa ditinggalkan, diperlakukan tidak baik, dan diabaikan. Pengalaman-pengalaman seperti ini menambah timbunan perasaan inferior.

Gaya Hidup TerabaikanFaktor eksternal ketiga yang menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri adalah pengabaian. Anak-anak yang merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan akan membentuk gaya hidup yang terabaikan. Pengabaian adalah konsep relatif. Tidak ada orang yang merasa benar-benar diabaikan atau tidak diinginkan. Kenyataan bahwa seorang anak bisa melewati masa bayi adalah bukti bahwa seseorang merawat anaknya dan bahwa benih minat sosial

telah ditanam (Adler, 1927).

Anak-anak yang disiksa dan diperlakukan tidak baik mempunyai minat sosial yang minim dan cenderung menciptakan gaya hidup terabaikan. Mereka hanya sedikit memiliki rasa percaya diri dan membuat perkiraan yang terlalu jauh yang berkaitan dengan masalah- masalah utama dalam hidup. Mereka tidak percaya pada orang lain dan tidak mampu bekerja sama untuk kebaikan bersama. Mereka melihat masyarakat sebagai musuh, merasa terasing dari orang lain, dan mengalami rasa iri yang kuat terhadap keberhasilan orang lain.

Teori Kepribadian

Anak-anak yang terabaikan punya banyak karakteristik seperti anak-anak manja, tetapi secara umum mereka lebih mudah curiga dan memiliki kemungkinan lebih besar untuk membahayakan orang lain (Adler, 1927).

Kecenderungan untuk MelindungiAdler percaya bahwa manusia menciptakan pola perilaku untuk melindungi perasaan berlebihan akan harga diri mereka terhadap rasa malu di muka umum. Alat perlindungan ini, yang disebut kecenderungan untuk melindungi (safeguarding tendencies) membuat manusia mampu menyembunyikan citra diri mereka yang tinggi (inflated self-image) dan mempertahankan gaya hidup yang mereka jalani saat ini.

Konsep Adler mengenai kecenderungan untuk melindungi ini bisa dibandingkan dengan konsep Freud tentang mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Dasar dari keduanya adalah gagasan tentang gejala-gejala yang dibentuk sebagai perlindungan terhadap kecemasan. Akan tetapi, ada perbedaan penting di antara kedua konsep tersebut. Mekanisme pertahanan diri Freudian dilakukan secara tidak sadar untuk melindungi ego dari kecemasan, sedangkan kecenderungan untuk melindungi yang dikemukakan Adler sebagian besar dilakukan secara sadar untuk melindungi harga diri seseorang yang rapuh dari rasa malu di muka umum. Selain itu, mekanisme pertahanan diri dari Freud adalah hal yang umumnya ada pada setiap orang, tetapi Adler (1956) mengaitkan kecenderungan untuk melindungi hanya dengan hal-hal yang berkenaan dengan konstruksi gejala-gejala neurotik. Membuat alasan, agresi, dan penarikan diri adalah tiga hal yang umumnya terjadi akibat kecenderungan untuk melindungi. Masing-masing hal tersebut dibentuk untuk melindungi gaya hidup seseorang yang dijalaninya dan untuk mempertahankan perasaan self-importance yang tinggi dan fiksional (Adler, 1964).

Membuat AlasanKecenderungan untuk melindungi yang paling umum adalah membuat alasan (excuses), yang sering diekspresikan dalam bentuk “Ya, tetapi” (Yes, but) atau “Jika saja” (I f only). Dalam alasan “Ya, tetapi”, orang pertama-tama akan menyatakan sesuatu yang akan mereka lakukan—sesuatu yang terdengar bagus untuk orang lain—kemudian diikuti dengan alasan. Seorang wanita bisa berkata, “ Ya, saya ingin kuliah, tetapi anak-anak saya menuntut perhatian lebih dari saya”. Seorang eksekutif menjelaskan, “ Ya, saya setuju dengan proposal Anda, tetapi kebijakan perusahaan tidak akan memperbolehkannya”.

Pernyataan “Jika saja” adalah bentuk alasan yang sama seperti “Ya, tetapi” yang diekspresikan dengan cara lain. “Jika saja suami saya lebih mendukung, maka saya akan lebih cepat berkembang dalam pekerjaan saya”. “Jika saja saya tidak memiliki kekurangan fisik ini, maka saya bisa bersaing dalam pekerjaan”. Alasan-alasan ini melindungi rasa harga diri yang lemah—namun dibesar-besarkan secara artifisial—dan mengecoh orang untuk percaya bahwa mereka lebih superior daripada yang sesungguhnya (Adler, 1956).

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

AgresiAdler (1956) meyakini bahwa beberapa orang menggunakan a g resi (agression) untuk melindungi superioritas mereka yang berlebihan, yaitu untuk melindungi harga diri mereka yang rapuh. Perlindungan melalui agresi bisa berbentuk depresiasi, dakwaan, atau mendakwa diri sendiri.

Depresiasi (depredafron)adalah kecenderungan untuk menilai rendah pencapaian orang lain dan meninggikan penilaian terhadap diri sendiri. Kecenderungan untuk melindungi semacam ini jelas terlihat dalam perilaku agresi, seperti kecaman dan gosip. “Satu-satunya alasan mengapa Kenneth mendapatkan pekerjaan yang saya lamar adalah karena ia seorang African American \ “Kalau kamu teliti lebih jauh, maka kamu akan melihat bahwa Jill berusaha keras untuk menghindari pekerjaan”. Maksud di belakang perilaku depresiasi semacam itu adalah untuk merendahkan orang lain sehingga orang yang berbicara itu akan ditempatkan dengan lebih baik.

Dakwaan (accusation) adalah kecenderungan menyalahkan orang lain untuk kegagalan seseorang dan untuk membalas dendam demi melindungi harga dirinya yang lemah. “Saya ingin menjadi seorang seniman, tetapi orang tua memaksa saya untuk masuk sekolah kedokteran. Sekarang, saya memiliki pekerjaan yang membuat saya menderita”. Adler (1956) percaya bahwa ada elemen dakwaan agresif dalam semua gaya hidup yang tidak sehat. Orang yang tidak sehat, tanpa kecuali, bertindak untuk membuat orang lain disekitarnya lebih menderita daripada dirinya.

Mendakwa diri sendiri (self-accusation) ditandai dengan menyiksa diri sendiri dan memenuhi diri sendiri dengan perasaan bersalah. Beberapa orang menyiksa dirinya sendiri, termasuk di dalamnya masokisme, depresi, dan bunuh diri, sebagai cara untuk melukai orang yang dekat dengan mereka. Rasa bersalah sering kali adalah bentuk perilaku mendakwa diri sendiri secara agresif. “Saya merasa tertekan karena saya tidak berlaku baik kepada nenek saya ketika ia masih hidup. Sekarang, sudah terlambat”.

Mendakwa diri sendiri adalah kebalikan dari depresiasi, walaupun keduanya ditujukan untuk memperoleh superioritas pribadi. Dalam depresiasi, orang yang merasa inferior merendahkan orang lain untuk membuat dirinya terlihat baik. Sedangkan mendakwa diri sendiri, orang merendahkan dirinya untuk menimbulkan penderitaan pada orang lain sambil melindungi harga dirinya yang dibesar-besarkan.

M enarikDiriPerkembangan kepribadian bisa terhenti ketika manusia lari dari kesulitan. Adler menyebut kecenderungan ini sebagai menarik diri atau perlindungan dengan membuat jarak. Beberapa orang secara tidak sadar melarikan diri dari masalah hidup dengan membuat jarak antara diri mereka dengan masalah-masalah yang ada.

Adler (1956) menyebutkan empat cara perlindungan dalam menarik diri: (1) bergerak mundur, (2) berdiam diri, (3) keragu-raguan, dan (4) membangun penghalang.

B e rg e ra k m u n d u r (moving backward) adalah kecenderungan untuk melindungi tujuan superioritas fiksional seseorang dengan secara psikologis kembali pada periode kehidupan yang lebih aman. Bergerak mundur mirip dengan konsep regresi dari Freud

Teori Kepribadian

di mana keduanya melingkupi usaha untuk kembali pada fase kehidupan awal yang lebih nyaman. Regresi terjadi secara tidak sadar dan melindungi seseorang dari pengalaman yang penuh kecemasan, sedangkan bergerak mundur kadang-kadang terjadi secara sadar dan dimaksudkan untuk mempertahankan superioritas yang berlebihan. Bergerak mundur bertujuan untuk memperoleh simpati, sikap mengganggu yang ditawarkan secara berlebihan kepada anak-anak yang manja.

Jarak psikologis juga bisa dibentuk dengan berdiam diri (standingstill). Kecenderungan menarik diri ini mirip dengan bergerak mundur, tetapi secara umum tidak terlalu parah. Orang-orang yang berdiam diri tidak bergerak ke arah mana pun. Jadi, mereka menghindari semua tanggung jawab dengan melindungi diri mereka sendiri dari ancaman kegagalan. Mereka melindungi harapan fiksional mereka karena mereka tidak pernah melakukan sesuatu untuk membuktikan bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan tujuan-tujuan mereka. Seseorang yang tidak pernah mendaftar untuk lulus sekolah tidak akan pernah ditolak masuk sekolah; seorang anak yang malu dan menjauh dari anak-anak lain tidak akan pernah ditolak oleh anak-anak tersebut. Dengan tidak melakukan apapun, seseorang melindungi harga dirinya dan melindungi dirinya dari kegagalan.

Berkaitan erat dengan berdiam diri adalah keragu-raguan (hesitating). Ada orang yang ragu-ragu atau bimbang ketika dihadapkan dengan masalah yang sulit. Penundaan- penundaan yang mereka lakukan pada akhirnya memberikan mereka alasan untuk berkata “Sekarang sudah terlambat” Adler percaya bahwa kebanyakan perilaku kompulsif ditujukan untuk membuang-buang waktu. Mencuci tangan berulang kali, mengikuti kembali langkah kaki, secara obsesif harus bertindak sesuai urutan, menghancurkan pekerjaan yang sudah dimulai, dan meninggalkan pekerjaan yang tidak terselesaikan adalah contoh dari keragu- raguan. Walaupun keragu-raguan tampak di mata orang lain sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri, namun keadaan ini membantu individu-individu neurotik untuk mempertahankan rasa harga diri mereka yang tinggi.

Bentuk penarikan diri yang paling tidak parah adalah membangun penghalang (constructing obstacles). Beberapa orang membangun rumah dari jerami untuk menunjukkan kalau mereka bisa merobohkannya. Dengan mampu mengatasi masalah, mereka melindungi harga diri dan wibawa mereka. Jika mereka gagal untuk mengatasinya, maka mereka selalu bisa mencari alasan.

Secara ringkas, kecenderungan untuk melindungi ditemukan hampir di setiap orang, tetapi ketika kecenderungan itu berubah menjadi terlalu kaku, maka perlindungan ini menjadi perilaku yang merusak diri. Orang yang terlalu sensitif menciptakan kecenderungan untuk melindungi diri mereka sendiri dari ketakutan akan rasa malu, untuk menghilangkan perasaan inferior yang berlebihan, dan untuk memperoleh harga diri. Akan tetapi, kecenderungan untuk melindungi adalah hal yang merusak diri karena bentuk tujuan mereka akan kepentingan diri sendiri dan superioritas pribadi sebenarnya menghalangi mereka untuk memperoleh harga diri yang sebenarnya. Banyak orang gagal menyadari bahwa harga diri mereka bisa lebih terlindungi kalau mereka berhenti mementingkan diri sendiri dan mengembangkan kepedulian kepada orang lain. Perbandingan gagasan Adler tentang kecenderungan untuk melindungi dan gagasan Freud akan mekanisme pertahanan

diri dapat dilihat di Tabel 3.1.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual

TABEL 3.1

Perbandingan antara Kecenderungan untuk Melindungi dengan Mekanisme Pertahanan Diri

Kecenderungan untuk Melindungi Menurut Adler

Mekanisme Pertahanan Diri Menurut Freud

1. Terbatas, sebagian besar, pada konstruksi

gaya hidup yang neurotik1. Ditemukan pada setiap orang

2. Melindungi harga diri seseorang yang rapuh 2. Melindungi ego dari rasa sakit akibat

dari rasa malu di muka umum kecemasan

3. Bisa sebagian besar terjadi secara sadar 3. Terjadi hanya di level ketidaksadaran

4. Tipe-tipe umumnya mencakup: 4. Tipe-tipe umumnya mencakup:

A. membuat alasan A. represi

B. agresi B. pembentukan reaksi

(1) depresiasi C. pengalihan

(2) mendakwa D. fiksasi

(3) mendakwa diri E. regresi

C. menarik diri F. proyeksi

(1) bergerak mundur G. introyeksi

(2) berdiam diri

(3) keragu-raguan

(4) membangun penghalang

H. sublimasi

Masculine ProtestKontras dengan Freud, Adler (1930, 1956) percaya bahwa kehidupan psikis wanita pada dasarnya sama dengan pria dan bahwa masyarakat yang didominasi oleh pria bukan sesuatu yang alamiah, tetapi lebih merupakan hasil artifisial dari perkembangan sejarah. Menurut Adler, budaya dan praktik sosial—bukan anatomi—memengaruhi banyak pria dan wanita dalam melebih-lebihkan pentingnya kejantanan, suatu kondisi yang disebutnya sebagai masculine protest.

Asal Mula Masculine ProtestPada sebagian besar masyarakat, pria dan wanita menempatkan nilai atau kondisi inferior akan keberadaan menjadi seorang wanita. Anak laki-laki sering diajarkan sejak kecil bahwa menjadi seseorang yang maskulin artinya menjadi berani, kuat, dan dominan. Lambang keberhasilan untuk anak laki-laki adalah menang, berkuasa, dan berada di atas. Sebaliknya, anak perempuan belajar untuk berlaku pasif dan menerima posisi inferior dalam masyarakat.

Beberapa wanita melakukan perlawanan terhadap peran feminin mereka dengan cara membentuk orientasi maskulin dan menjadi asertif serta kompetitif; yang lain memberontak dengan cara mengambil peran pasif, tidak berdaya, dan patuh secara berlebihan; yang lain berhenti untuk memercayai bahwa mereka adalah makhluk yang inferior, mengakui posisi

Teori Kepribadian

pria yang istimewa dengan mengalihkan tanggung jawab pada mereka. Masing-masing bentuk penyesuaian ini adalah hasil dari pengaruh budaya dan sosial, bukan dari perbedaan psikis bawaan antara kedua gender.

Adler, Freud, dan Masculine ProtestPada bab sebelumnya, kita melihat bagaimana Freud (1924/1961) meyakini bahwa “anatomi adalah takdir” (him. 178), dan bahwa ia memandang wanita sebagai “wilayah misterius” dalam psikologi (Freud 1926/1959b, him. 212). Lebih jauh lagi, di akhir hidupnya, ia masih bertanya, “Apa yang diinginkan wanita?” (E. Jones, 1955, him. 421). Menurut Adler, sikap terhadap wanita bisa menjadi bukti dari seseorang dengan masculine protest yang kuat. Berlawanan dengan pandangan Freud terhadap wanita, Adler mengasumsikan bahwa wanita—karena mereka memiliki kebutuhan fisiologis dan psikologis sama seperti pria— menginginkan hal-hal yang kurang lebih sama dengan pria.

Pandangan yang berbeda akan femininitas terlihat semakin besar dari wanita yang dinikahi Freud dan Adler. Martha Bernays Freud adalah ibu rumah tangga yang patuh dan mengabdi pada anak-anak dan suaminya, namun ia tidak menaruh minat terhadap pekerjaan suaminya. Sebaliknya, Raissa Epstein Adler adalah wanita independen yang membenci peran domestik tradisional dan lebih memilih karier aktif di bidang politik.

Selama tahun-tahun awal pernikahan, Raissa dan Alfred Adler memiliki pandangan politik yang sama, tetapi dengan berjalannya waktu, pandangan mereka menjadi berbeda. Alfred menjadi lebih kapitalis dan mendukung tanggung jawab pribadi, sedangkan Raissa terlibat dalam politik komunis yang berbahaya dari negara kebangsaannya, Rusia. Kemandirian semacam ini disukai oleh Adler, yang bersikap sefeminis istrinya yang berkemauan keras.

Penerapan Psikologi IndividualKami telah membagi penerapan praktis dari psikologi individual ke dalam empat area: (1) konstelasi keluarga, (2) ingatan masa kecil, (3) mimpi, dan (4) psikoterapi.

Konstelasi KeluargaKetika melakukan terapi, Adler hampir selalu bertanya kepada pasien tentang konstelasi keluarga mereka, yaitu urutan kelahiran, gender dari saudara kandung, dan umur yang terbentang di antara mereka. Walaupun persepsi seseorang terhadap situasi di mana mereka dilahirkan lebih penting daripada sekadar nomor urut, Adler tetap membuat hipotesis tentang urutan kelahiran.

Anak sulung, menurut Adler (1931), kemungkinan besar memiliki perasaan berkuasa dan superioritas yang kuat, kecemasan tinggi, serta kecenderungan untuk overprotektif. (Ingat bahwa Freud adalah anak sulung). Anak-anak sulung menempati posisi yang unik, sempat menjadi anak tunggal selama beberapa waktu dan kemudian mengalami penurunan

Bab 3 Adler: Psikologi Individual | 1 0 1

posisi yang traumatis ketika saudara yang lebih muda lahir. Peristiwa ini secara dramatis mengubah situasi dan cara pandang anak terhadap dunia.

Jika anak sulung berumur tiga tahun atau lebih ketika adiknya lahir, mereka akan menggabungkan peristiwa ini ke dalam gaya hidup mereka sebelumnya yang telah terbentuk. Kalau mereka telah membentuk gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri (self-centered), maka mereka kemungkinan besar akan merasakan permusuhan dan kemarahan kepada bayi yang baru lahir. Akan tetapi, jika mereka telah membentuk gaya hidup yang bisa bekerja sama, maka mereka pada akhirnya akan memakai sikap yang sama terhadap adiknya. Jika si anak sulung usianya kurang dari tiga tahun, maka permusuhan dan kemarahan mereka sebagian besar terjadi secara tidak sadar, yang membuat sikap-sikap ini lebih sulit diubah di kehidupan selanjutnya.

Menurut Adler, anak kedua (seperti dirinya) memulai hidup dalam situasi yang lebih baik untuk membentuk kerja sama dan minat sosial. Sampai tingkat tertentu, kepribadian anak kedua dibentuk oleh persepsi mereka akan sikap anak sulung terhadap mereka. Jika sikap yang ditunjukkan anak sulung adalah permusuhan dan balas dendam yang berlebihan, maka anak kedua mungkin menjadi sangat kompetitif atau sangat berkecil hati. Namun, tipikal anak kedua tidak terbentuk ke kedua arah tersebut. Sebaliknya, anak kedua tumbuh dengan memiliki daya saing yang cukup serta keinginan sehat untuk mengalahkan saingannya yang lebih tua. Jika suatu keberhasilan dicapai, maka anak tersebut kemungkinan besar membentuk sikap revolusioner dan menganggap bahwa setiap otoritas bisa ditantang. Sekali lagi, interpretasi anak lebih penting daripada posisi kronologis mereka.

Saudara sekandung bisa superior atau inferior dan memperlihatkan perilaku yang berbeda terhadap dunia tergantung dari urutan kelahirannya.

102 | Teori Kepribadian

Anak bungsu, diyakini Adler, biasanya yang paling dimanja dan konsekuensinya, memiliki risiko tinggi menjadi anak yang bermasalah. Mereka sering memiliki perasaan inferior yang kuat dan kurang mandiri. Meskipun begitu, mereka memiliki beberapa kelebihan. Mereka sering memiliki motivasi tinggi untuk melebihi kakak-kakaknya dan menjadi pelari yang paling cepat, musisi terbaik, atlet yang memiliki kemampuan tinggi atau menjadi murid yang paling ambisius.

Anak tunggal berada dalam posisi unik dalam hal daya saing, yaitu tidak bersaing dengan saudara-saudaranya, namun terhadap ayah atau ibunya. Hidup dalam dunia orang dewasa, mereka sering membentuk rasa superioritas yang tinggi dan konsep diri yang besar. Adler (1931) menyatakan bahwa bisa saja anak tunggal kurang memiliki sifat kerja sama dan minat sosial, bersikap parasit, serta mengharapkan orang lain untuk memanjakan dan melindungi mereka. Tipikal sifat-sifat positif dan negatif dari anak sulung, anak kedua, anak bungsu, dan anak tunggal ditunjukkan pada Tabel 3.2.

TABEL 3.2

Pandangan Adler tentang Sifat-sifat yang M uncul Sesuai dengan U rutan Kelahiran

Sifat Positif Sifat Negatif

Anak sulung

Memiliki kecemasan tinggi Memiliki perasaan berkuasa yang berlebihan Permusuhan secara tidak sadar Berjuang untuk mendapat pengakuan Harus selalu “benar” sedangkan yang lain selalu

“salah”Sangat mengkritik orang lain Tidak bisa bekerja sama

Anak kedua

Bermotivasi tinggi Daya saing sangat tinggiBisa bekerjasama Mudah berkecil hatiDaya saing yang cukup

Anak bungsu

Ambisi yang realistis Gaya hidup manjaBergantung pada orang lain Ingin selalu unggul dalam segala hal Ambisi yang tidak realistis

Anak tunggal

Matang secara sosial Perasaan superior yang berlebihanSifat kerja sama yang rendah Harga diri yang tinggi Cara hidup manja

Merawat dan melindungi orang lain Organisator yang baik

Bab 3 Adler: Psikologi Individual | 1Q 3

Ingatan Masa KecilUntuk memperoleh pemahaman terhadap kepribadian pasien, Adler akan meminta mereka untuk mengungkapkan ingatan masa kecil (early recollections— ERs) mereka. Walaupun Adler berpendapat bahwa ingatan yang diungkap kembali akan memberikan petunjuk untuk memahami gaya hidup pasien, ia tidak menganggap bahwa ingatan-ingatan ini mempunyai dampak kausal. Apakah pengalaman yang diungkap kembali berhubungan dengan realitas objektif atau khayalan, itu tidak penting. Seseorang merekonstruksi peristiwa-peristiwa untuk membuat dirinya konsisten dengan tema atau pola yang berlangsung dalam kehidupannya.

Adler (1929/1969, 1931) menegaskan bahwa ingatan masa kecil selalu konsisten dengan gaya hidup seseorang pada saat ini, dan laporan subjektif mereka akan pengalaman- pengalaman ini menghasilkan pemahaman tentang tujuan akhir dan gaya hidup mereka saat ini. Salah satu ingatan masa kecil Adler adalah perbedaan menyolok antara kesehatan yang baik yang dimiliki kakaknya, Sigmund dan keadaan sakit-sakitan yang dialami Adler. Ketika dewasa, Adler menceritakan bahwa

Salah satu ingatan masa kecilku adalah ketika duduk di pantai ... penuh balutan karena penyakit rakhitis, dan kakakku yang sehat duduk di depanku. Ia bisa berlari, melompat, dan bergerak ke sana ke mari dengan mudahnya, sedangkan untukku bergerak sedikit saja harus bersusah payah .... Semua orang berusaha menolongku (Bottome, 1957, him. 30).

Jika asumsi Adler bahwa ingatan masa kecil merupakan indikator yang valid untuk mengetahui gaya hidup seseorang, maka cerita ini bisa menghasilkan petunjuk tentang gaya hidup Adler ketika ia dewasa. Pertama, cerita ini memberitahu kita bahwa Adler pasti memandang dirinya sebagai seorang yang lemah, bersaing dengan gagah berani melawan musuh yang kuat. Akan tetapi, ingatan masa kecil ini juga menunjukkan bahwa ia mendapatkan pertolongan dari orang lain. Menerima pertolongan dari orang lain akan memberikan Adler rasa percaya diri untuk bersaing menghadapi saingan yang kuat. Rasa percaya diri ini digabung dengan sikap kompetitif akan terbawa pada hubungannya dengan Sigmund Freud sehingga membuat hubungan di antara keduanya lemah sejak awal.

Adler (1929/1964) memberikan contoh lain tentang hubungan antara ingatan masa kecil dengan gaya hidup. Selama terapi, seorang pria yang tampak berhasil dan sangat tidak memercayai wanita menceritakan ingatan masa kecilnya: “Saya sedang pergi bersama ibu dan adik saya ke pasar. Tiba-tiba hujan turun dan ibu menggendong saya, dan kemudian, teringat kalau saya anak yang lebih besar sehingga ia menurunkan saya dan menggendong adik saya” (him. 123). Adler melihat bahwa ingatan ini berhubungan langsung dengan rasa tidak percaya terhadap wanita yang dialami pria tersebut. Awalnya ia adalah anak istimewa ibunya, pada akhirnya posisi tersebut menjadi milik adiknya. Walaupun orang lain mungkin menyatakan bahwa mereka mencintai pria tersebut, mereka dengan segera akan menarik cinta mereka. Perhatikan bahwa Adler tidak percaya bahwa pengalaman masa kecil menyebabkan pria tersebut memiliki ketidakpercayaan terhadap wanita, tetapi lebih melihat bahwa gaya hidupnya yang penuh ketidakpercayaan membentuk dan mewarnai ingatan masa kecilnya.

Adler yakin bahwa pasien-pasien yang memiliki kecemasan tinggi akan sering memproyeksikan gaya hidup yang dijalaninya ke dalam ingatan akan pengalaman masa

Teori Kepribadian

kecil mereka dengan mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa yang menyebabkan timbulnya rasa takut dan kecemasan, seperti mengalami kecelakaan kendaraan bermotor; kehilangan orang tua, baik sementara ataupun permanen; pengalaman diganggu oleh anak- anak lain. Sebaliknya, orang-orang yang percaya diri cenderung mengungkapkan ingatan yang melibatkan hubungan yang menyenangkan dengan orang lain. Dalam setiap kasus tersebut, pengalaman masa kecil tidak menentukan gaya hidup seseorang. Adler yakin bahwa yang sebaliknyalah yang terjadi, yaitu ingatan akan pengalaman masa kecil sesungguhnya dibentuk oleh gaya hidup yang dijalani seseorang.

MimpiWalaupun mimpi tidak bisa meramalkan masa depan, mimpi bisa memberikan petunjuk untuk mengatasi masalah di masa depan. Namun demikian, orang yang bermimpi tidak ingin mengatasi masalahnya dengan cara yang produktif. Adler (1956) melaporkan mimpi seorang pria berusia 35 tahun yang sedang mempertimbangkan untuk menikah. Dalam mimpinya, pria tersebut “menyeberangi perbatasan antara Austria dan Hungaria, dan mereka ingin memenjarakan saya” (him. 361). Adler menginterpretasikan mimpi ini bahwa si pemimpi ingin berdiam diri karena ia akan kalah bila ia terus maju. Dengan kata lain, pria tersebut ingin membatasi aktivitasnya dan tidak punya keinginan kuat untuk mengubah statusnya. Ia tidak ingin “dipenjarakan” oleh perkawinan. Setiap interpretasi akan hal ini atau mimpi yang lain seharusnya bersifat sementara dan terbuka untuk diinterpretasi ulang. Adler (1956) menyatakan peraturan emas tentang psikologi individual dalam mempelajari mimpi, yaitu “Segalanya bisa berbeda” (him. 363). Jika satu interpretasi tidak terasa tepat, maka cobalah interpretasi yang lain.

Segera sebelum perjalanan Adler yang pertama ke Amerika Serikat pada tahun 1926, ia mendapat mimpi yang jelas sehingga membuatnya gelisah, dan mimpi ini berhubungan langsung dengan hasratnya untuk mengembangkan psikologi individual ke dunia baru dan membebaskan dirinya dari belenggu Freud dan Wina. Malam sebelum ia berangkat ke Amerika, Adler bermimpi bahwa ia di atas kapal ketika

Tiba-tiba kapal itu terbalik dan tenggelam. Semua harta benda Adler ada di dalamnya dan dihancurkan oleh gelombang yang mengamuk. Terlempar ke dalam samudera, Adler berenang untuk menyelamatkan nyawanya. Sendirian ia menggelepar dan berjuang dalam air yang bergelombang. Akan tetapi, melalui kekuatan kemauan dan kebulatan tekad, ia akhirnya mencapai daratan dengan selamat (Hoffman, 1994, him. 151).

Adler menginterpretasikan mimpinya bahwa ia harus mengerahkan keberanian untuk pergi ke dunia baru dan melepaskan diri dari dunianya yang lama

Walaupun Adler percaya bahwa ia bisa dengan mudah menginterpretasikan mimpinya, ia menyatakan bahwa kebanyakan mimpi itu bersifat menipu dan tidak mudah dipahami oleh si pemimpi. Mimpi itu tersamar untuk mengecoh si pemimpi, membuatnya sulit untuk menginterpretasikan sendiri mimpi tersebut. Semakin tidak konsisten tujuan seseorang dengan realitas, semakin besar kemungkinan mimpi orang tersebut digunakan untuk mengecoh diri. Contohnya, seorang pria ingin meraih tujuan menjadi terkenal, berada di posisi atas, atau menjadi figur militer yang penting. Jika pria ini juga memiliki gaya hidup yang bergantung pada orang lain, maka tujuannya yang ambisius mungkin akan

Bab 3 Adler: Psikologi Individual | 1 0 5

diekspresikan dalam mimpi di mana ia sedang diangkat di atas bahu orang lain atau sedang ditembakkan dari sebuah meriam. Mimpi membuka selubung tentang gaya hidup seseorang, tetapi mimpi mengecoh si pemimpi dengan menyajikan suatu pencapaian dan kekuasaan yang tidak realistis dan berlebihan. Sebaliknya, seorang yang mempunyai keberanian dan kemandirian dengan ambisi yang sama besarnya seperti pria tadi mungkin akan bermimpi sedang terbang sendiri atau mencapai tujuan tanpa banyak bantuan, sama seperti yang Adler alami ketika ia bermimpi selamat dari kapal yang tenggelam.

PsikoterapiTeori Adlerian memberikan dalil bahwa psikopatologi berasal dari kurangnya keberanian, perasaan inferior yang berlebihan, dan minat sosial yang kurang berkembang. Jadi, tujuan utama dari psikoterapi Adlerian adalah untuk meningkatkan keberanian, memperkecil perasaan inferior, dan menumbuhkan minat sosial. Akan tetapi, tugas ini tidak mudah karena pasien berusaha untuk bertahan pada pandangan terhadap diri mereka sendiri yang sudah menetap dan nyaman. Untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan, Adler terkadang akan bertanya kepada pasien, “Apa yang akan Anda lakukan kalau saya bisa menyembuhkan Anda dengan segera?” Pertanyaan seperti itu biasanya mendorong pasien untuk mempelajari tujuan-tujuan hidup mereka dan melihat bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab terhadap penderitaan mereka.

Adler sering menggunakan moto “Setiap orang bisa mencapai segala hal”. Kecuali karena batasan tertentu yang disebabkan faktor keturunan, ia sangat yakin akan perkataan ini dan berulangkali menekankan bahwa apa yang dilakukan seseorang dengan apa yang dimilikinya lebih penting daripada apa yang mereka miliki (Adler, 1925/1968, 1956). Melalui humor dan penerimaan yang baik, Adler berusaha untuk meningkatkan keberanian, harga diri, dan minat sosial pasiennya. Ia percaya bahwa sikap yang baik dan peduli yang diekspresikan terapis akan mendorong pasien untuk memperluas minat sosial mereka dalam tiga area masalah dalam hidup: cinta seksual, pertemanan, dan pekerjaan.

Adler menemukan suatu metode terapi unik untuk anak-anak bermasalah dengan cara memberi mereka terapi di depan orang tua, guru, dan tenaga kesehatan profesional. Ketika anak-anak mendapat terapi di depan orang lain, mereka lebih siap memahami bahwa masalah mereka adalah juga masalah komunitas. Adler (1964) percaya bahwa cara ini akan meningkatkan minat sosial anak dengan membantu mereka memahami bahwa mereka milik komunitas yang terdiri dari orang-orang dewasa yang peduli. Adler berhati-hati untuk tidak menyalahkan orang tua atas perilaku anak yang salah. Sebaliknya, ia berusaha untuk memulihkan kepercayaan diri orang tua dan meyakinkan mereka untuk mengubah sikap terhadap anak mereka.

Walaupun Adler cukup aktif dalam menetapkan tujuan dan arah psikoterapi, ia mem­pertahankan sikap yang ramah dan toleran terhadap pasien. Adler menetapkan dirinya sebagai teman kerja yang menyenangkan (congenial coworker), menahan diri dari khotbah moral, dan menjunjung nilai pada hubungan antarmanusia. Dengan cara bekerja sama dengan terapisnya, pasien akan membentuk hubungan dengan orang lain. Hubungan terapeutik membangkitkan minat sosial mereka sama seperti anak-anak yang memperoleh minat sosial dari orang tua mereka. Sekali bisa dibangkitkan, minat sosial pasien pasti menyebar ke keluarga, teman, dan orang-orang di luar hubungan terapeutik tersebut (Adler, 1956).

1 0 6 Teori Kepribadian

Penelitian TerkaitTeori Adlerian berlanjut dan menghasilkan sejumlah penelitian pada topik-topik seperti pemilihan karier, kelainan makan (eating disorder), kebiasaan minum yang berlebihan (binge drinking), dan isu-isu penting lainnya. Masing-masing topik dapat dijadikan sumber yang kaya untuk memahami konsep Adler yang beragam.

Ingatan Masa Kecil dan Pilihan KarierApakah ingatan masa kecil memprediksi pilihan karier di antara para murid? Adler percaya bahwa pilihan karier mencerminkan kepribadian seseorang. “Jika saya diminta untuk memberikan bimbingan karier, maka saya selalu bertanya kepada orang tersebut mengenai apa yang ia minati selama masa kecilnya. Ingatannya akan periode ini menunjukkan dengan jelas dalam hal apa ia sudah melatih dirinya secara kontinu (Adler, 1958, seperti dikutip di Kasler & Nevo, 2005, him. 221). Peneliti yang terinspirasi dengan Adler kemudian memprediksi bahwa jenis karier yang dipilih seseorang ketika dewasa sering tergambar di ingatan masa kecilnya.

Untuk menguji hipotesis ini, Jon Kasler dan Ofra Nevo (2005) mengumpulkan ingatan masa kecil dari 130 partisipan. Ingatan ini kemudian dikodekan oleh dua orang penilai berdasarkan jenis karier yang digambarkan oleh ingatan tersebut. Ingatan-ingatan ini diklasifikasikan menggunakan tipe minat pekerjaan Holland (1973), yaitu Realistic, Investigative, Artistic, Social, Enterprising, dan Conventional (lihat Tabel 3.3 untuk deskripsi masing-masing tipe minat). Sebagai contoh, ingatan masa kecil yang menggambarkan minat karier dalam bidang sosial ketika seseorang dewasa: “Saya masuk taman kanak-kanak pertama kali dalam hidup saya ketika berumur empat atau lima tahun. Saya tidak ingat apa yang saya rasakan pada saat itu. Akan tetapi, saya pergi dengan ibu dan ketika sampai di sana, saya bertemu dengan teman saya yang pertama, seorang anak laki-laki bernama P. Saya ingat dengan jelas P sedang bermain di pagar dan saya ikut bermain dengannya. Saya bersenang-senang sepanjang hari” (Kasler & Nevo, 2005, him. 226). Ingatan masa kecil tersebut berpusat pada interaksi sosial dan hubungan. Sebuah contoh ingatan masa kecil yang menggambarkan minat karier realistis adalah: “Ketika saya masih kecil, saya suka membongkar barang-barang, terutama peralatan listrik. Suatu ketika saya ingin tahu apa yang ada di dalam televisi, jadi saya mengambil pisau dan membuka televisi itu. Oleh karena saya masih sangat kecil, maka saya tidak cukup kuat untuk melakukannya hingga akhirnya ayah melihat dan memarahi saya” (Kasler & Nevo, 2005, him. 225).

Minat karier dari para partisipan diukur dengan alat ukur berupa penilaian diri (self-report), kuesioner the Self-Directed Search (SDS) (Holland, 1973). SDS mengukur minat pekerjaan, yang secara independen dikategorikan ke dalam enam tipe Holland, di mana ingatan masa kecil juga dikategorikan di dalamnya. Oleh karena itu, para peneliti sebelumnya telah mengklasifikasikan ingatan masa kecil dan minat karier ketika dewasa ke dalam enam tipe karier, dan mereka ingin memeriksa apakah ingatan masa kecil sesuai dengan minat karier.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual 107

TABEL 3.3

Kualitas Enam Tipe Karier M enurut Holland: Realistic, Investigative, A rtistic, Social, Enterprising, dan Conventional

RealisticSuka bekerja dengan binatang, peralatan, atau mesin; umumnya menghindari aktivitas sosial, seperti mengajar, penyembuhan, dan memberikan informasi untuk orang lain;

Mempunyai keahlian yang baik dalam bekerja dengan peralatan, gambar mesin atau elektrik, mesin, atau tumbuhan dan binatang;

Menghargai hal-hal praktis yang bisa dilihat, disentuh, dan digunakan, seperti tumbuhan dan hewan, perlengkapan, atau mesin; dan

Memandang diri sendiri sebagai individu yang praktis, mekanis, dan realistis.

InvestigativeSuka mempelajari dan memecahkan persoalan matematis atau sains, umumnya menghindari kepemimpinan, penjualan, atau membujuk orang lain;

Baik dalam memahami dan memecahkan persoalan matematis dan sains;

Menghargai ilmu pengetahuan; dan

Memandang diri sebagai individu yang akurat, ilmiah, dan intelektual.

ArtisticSenang melakukan aktivitas kreatif, seperti seni, drama, kerajinan, tari, musik, atau penulisan kreatif; umumnya menghindari aktivitas yang sangat teratur atau berulang;

Mempunyai kemampuan artistik yang baik— dalam penulisan kreatif, drama, kerajinan, musik, atau seni;Menghargai seni kreatif— seperti drama, musik, seni, atau pekerjaan sebagai penulis kreatif; dan

Memandang diri sebagai individu yang ekspresif, orisinil, dan mandiri.

SocialSenang melakukan hal-hal untuk menolong orang lain— seperti mengajar, merawat, atau memberi pertolongan pertama, memberi informasi; menghindari untuk menggunakan mesin, peralatan, atau hewan untuk mencapai suatu tujuan;

Baik dalam mengajar, konseling, merawat, atau memberi informasi;

Menghargai menolong orang lain dan memecahkan persoalan sosial; dan

Memandang diri sebagai individu yang suka menolong, ramah, dan dapat dipercaya

EnterprisingSuka untuk memimpin dan membujuk orang lain, dan menjual barang atau ide; menghindari aktivitas yang membutuhkan pengamatan cermat dan hal ilmiah, pemikiran analitis;

Baik dalam mengarahkan orang dan menjual barang atau ide;

Menghargai keberhasilan dalam politik, kepemimpinan, atau bisnis; dan

Memandang diri sebagai individu yang enerjik, ambisius, dan suka bergaul

ConventionalSenang bekerja dengan angka, dokumen, perangkat mesin, cara yang teratur; umumnya menghindari aktivitas yang ambigu dan tidak terstruktur;

Baik dalam bekerja dengan dokumen tertulis dan angka dalam cara yang teratur dan sistematis;

Menghargai keberhasilan dalam bisnis; dan

Memandang diri sebagai individu yang teratur dan baik dalam mengikuti rencana

Kasler dan Nevo (2005) menemukan bahwa ingatan masa kecil memang sesuai dengan tipe karier ketika dewasa, sedikitnya untuk tiga tipe karier yang diwakili dengan baik oleh sampel mereka (Realistic, Artistic, dan Social). Arah umum dari jalur karier partisipan bisa

1 0 8 Teori Kepribadian

diidentifikasi dari tema-tema yang muncul dalam ingatan masa kecil. Gambaran ini konsisten dengan pendapat Adler tentang ingatan masa kecil dan memperlihatkan bagaimana gaya hidup mempunyai kaitan dengan pilihan pekerjaan.

Masa Kanak-kanak Awal dan Isu yang Terkait dengan KesehatanPara psikolog telah mempelajari isu-isu yang terkait dengan kesehatan selama bertahun- tahun, tetapi baru-baru ini saja topik ini menjadi minat para psikolog Adlerian. Ternyata, teori Adler tentang inferioritas, superioritas, dan perasaan sosial bisa digunakan untuk menjelaskan perilaku-perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, seperti kelainan makan dan kebiasaan minum yang berlebihan.

Menurut Susan Belangee (2006), diet, makan berlebihan, dan bulimia bisa dilihat sebagai cara yang umum untuk mengeskpresikan perasaan inferior. Belangee menyebutkan penelitian oleh Lowes dan Tiggeman (2003), yang meneliti kepuasan terhadap tubuh pada 135 anak usia lima sampai delapan tahun dan hasilnya ditemukan bahwa 59% dari mereka ingin lebih kurus. Penelitian lain menemukan bahwa 35% pelaku diet yang masih muda berkembang menjadi diet yang patologis. Psikolog Adlerian telah mengenali perkembangan ini dan melihatnya sebagai cara kompensasi untuk inferioritas dan perasaan tidak berharga. Dengan kata lain, kelainan makan dan usahanya mencapai superioritas adalah cara yang tidak sehat untuk melakukan kompensasi terhadap inferioritas. Lebih jauh, kelainan makan menunjukkan Gemeinschaftsgefiihl seseorang, atau perasaan sosialnya tidak berfungsi dengan benar. Bukannya berfokus untuk menolong orang lain dan berbelas kasihan pada orang lain, orang-orang dengan kelainan makan lebih banyak berfokus pada hidupnya dan kesulitannya sendiri (Belangee, 2007).

Teori Adlerian juga bisa menjelaskan tentang perilaku lain yang terkait kesehatan— kebiasaan minum yang berlebihan. Walaupun peminum berat di antara para mahasiswa sudah menjadi sejarah lama dan menghancurkan, pola konsumsi alkohol ini semakin meningkat dalam tahun-tahun terakhir di mana mahasiswa memiliki kemungkinan lebih besar daripada mahasiswi untuk mengalami kebiasaan minum berlebihan dalam periode waktu yang singkat (Brannon & Feist, 2007). Mahasiswa dan mahasiswi berusia antara delapan belas dan tiga puluh tahun mempunyai risiko tinggi untuk menjadi peminum berat. Akan tetapi, tingkat kebiasaan minum ini belum dianalisis berdasarkan urutan kelahiran, gender dari saudara kandung, etnis, dan topik-topik Adlerian lainnya.

Namun, akhir-akhir ini, Teresa Laird dan Andrea Shelton (2006) meneliti isu tentang kebiasaan minum yang berlebihan dan urutan kelahiran pada mahasiswa dan mahasiswi. Para peneliti ini menemukan perbedaan signifikan di antara mahasiswa yang berkenaan dengan dinamika keluarga, konsumsi alkohol, dan pola minum. Anak bungsu dalam sebuah keluarga memiliki kemungkinan untuk minum berlebihan, di mana anak-anak yang lebih tua dalam keluarga menunjukkan lebih bisa mengendalikan kebiasaan minum. Peneliti menjelaskan hubungan ini menggunakan teori Adlerian bahwa anak bungsu lebih bergantung pada orang lain, dan ketika orang yang dependen mengalami stres, mereka kemungkinan besar mengatasinya dengan minum berlebihan.

Bab 3 Adler: Psikologi Individual | 1 0 9

Ingatan Masa Kecil dan Hasil KonselingJika ingatan masa kecil adalah konstruksi fiksional yang bertanggung jawab untuk menghadirkan perubahan dalam gaya hidup seseorang, maka ingatan masa kecil seharusnya berubah sesuai perubahan gaya hidup. Hipotesis ini sulit untuk diuji karena peneliti harus (1) menentukan ingatan masa kecil, (2) mengukur/menilai gaya hidup saat ini, (3) mengungkapkan perubahan gaya hidup, dan (4) mengukur kembali ingatan masa kecil. Jika perubahan dalam ingatan masa kecil cenderung untuk mengikuti perubahan dalam variabel kepribadian, maka ingatan masa kecil (ERs) bisa digunakan sebagai kriteria untuk mengukur hasil psikoterapi.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa ingatan masa kecil memang berubah melalui serangkaian konseling. Contohnya, Gary Savill dan Daniel Eckstein (1987) mendapatkan ingatan masa kecil dan status mental pasien psikiatris sebelum dan sesudah konseling kemudian membandingkannya dengan ERs dan status mental kelompok kontrol. Mereka menemukan perubahan signifikan dalam status mental dan ingatan masa kecil pada kelompok yang mendapatkan konseling, tetapi tidak untuk kelompok kontrol. Konsisten dengan teori Adlerian, penemuan ini menunjukkan bahwa ketika konseling berhasil dengan baik, pasien mengubah ingatan masa kecil mereka.

Sama dengan penelitian di atas, Jane Statton dan Bobbie Wilborn (1991) memeriksa tiga ingatan paling awal pada anak-anak umur lima sampai dua belas tahun setelah masing- masing mendapatkan sesi konseling selama sepuluh minggu dan membandingkannya dengan ingatan masa kecil anak-anak yang berada dalam kelompok kontrol yang tidak mendapatkan konseling. Para peneliti menemukan bahwa kelompok yang dikonseling menunjukkan perubahan besar dalam tema, karakter, tempat, jumlah detil, dan tingkat pengaruh dari ingatan masa kecil mereka. Sebagai tambahan, mereka melaporkan satu contoh dramatis bagaimana ingatan masa kecil berubah ketika gaya hidup berubah. Salah seorang anak mengungkapkan bahwa

Paman dan ayah mengajak saya memancing. Mereka sedang memancing kemudian tali pancing pamanku tersangkut di balok kayu di air. Ia menarik tali pancing itu dan kailnya melayang kembali kemudian tersangkut di kepala saya. ... Saya menunggu mereka untuk menarik kail itu dari kepala saya (him. 341).

Setelah konseling, anak tersebut mengungkapkan kembali ingatan masa kecilnya yang pasif dengan penekanan yang lebih aktif.

Saya pergi memancing ketika saya berumur lima tahun.... Saya menangkap ikan ... dan paman saya melemparkan tali pancingnya kemudian tali itu tersangkut di balok kayu dan ia menariknya kembali hingga kailnya melayang dan tersangkut di kepala saya ... Saya menariknya keluar (him. 344).

Penelitian ini membangkitkan minat karena menunjukkan bahwa ingatan masa kecil bisa berubah sebagai hasil dari psikoterapi atau karena pengalaman hidup yang mengubah lainnya. Hasil penelitian ini mendukung pendekatan teleologis Adler terhadap kepribadian, yaitu pengalaman masa kecil kurang penting dibandingkan cara pandang orang tersebut

ketika dewasa terhadap pengalaman itu.

Teori Kepribadian

Kritik terhadap AdlerTeori Adler, seperti juga Freud, menghasilkan banyak konsep yang sulit untuk dibuktikan atau disanggah. Contohnya, walaupun penelitian secara konsisten telah menunjukkan hubungan antara ingatan masa kecil dengan gaya hidup seseorang saat ini (Clark, 2002), hasil ini tidak membuktikan pemikiran Adler bahwa gaya hidup yang dianut seseorang saat ini membentuk ingatan masa kecilnya. Sebagai gantinya, penjelasan kausal juga mungkin, yaitu pengalaman masa kecil bisa menyebabkan munculnya gaya hidup saat ini. Jadi, salah satu konsep Adler yang paling penting—asumsi bahwa gaya hidup saat ini menentukan ingatan masa kecil dan bukan sebaliknya—sulit dibuktikan ataupun disanggah.

Fungsi lain dari teori yang bermanfaat adalah untuk mengembangkan penelitian, dan pada kriteria ini kami menilai teori Adler di atas rata-rata. Banyak dari penelitian yang dilandaskan pada psikologi individual telah meneliti tentang ingatan masa kecil, minat sosial, dan gaya hidup. Arthur J. Clark (2002), contohnya, menyebutkan bukti yang memperlihatkan bahwa ingatan masa kecil berkaitan dengan banyak sekali faktor kepribadian, mencakup dimensi atau kelainan klinis kepribadian, pilihan pekerjaan, cara penggambaran, dan proses psikoterapi serta hasilnya. Sebagai tambahan, teori Adler telah mendukung peneliti untuk membangun beberapa skala minat sosial, contohnya, Social Interest Scale (Crandall, 1975, 1981), Social Interest Index (Greever, Tseng, & Friedland, 1973), dan Sulliman Scale o f Social Interest (Sulliman, 1973). Aktivitas penelitian pada skala-skala ini dan pada urutan kelahiran, ingatan masa kecil, dan gaya hidup memberikan teori Adlerian peringkat yang cukup hingga tinggi pada kemampuannya untuk mengembangkan penelitian.

Seberapa baik teori Adlerian mampu mengorganisasi pengetahuan ke dalam kerangka yangbermakna? Secara umum, psikologi individual cukup lebar untuk mencakup penjelasan yang mungkin untuk apa yang sudah diketahui tentang perilaku dan perkembangan manusia. Bahkan perilaku yang tampaknya merusak diri dan inkonsisten bisa sesuai dalam kerangka tentang berjuang untuk mencapai superioritas. Pandangan praktis Adler tentang masalah-masalah hidup membantu kami untuk menilai tinggi terhadap teorinya dalam kemampuannya untuk memahami apa yang kita ketahui tentang perilaku manusia.

Kami juga menilai tinggi teori Adlerian dalam kemampuannya memberikan panduan pem ecahan masalah. Teori ini membantu psikoterapis, guru, dan orang tua dalam mencari solusi masalah-masalah praktis pada berbagai kondisi. Praktisi Adlerian mengumpulkan informasi melalui laporan tentang urutan kelahiran, mimpi, ingatan masa kecil, kesulitan masa kecil, dan kelemahan fisik. Mereka kemudian menggunakan informasi ini untuk memahami gaya hidup seseorang dan mengaplikasikan teknik khusus yang akan meningkatkan tanggung jawab pribadi seseorang dan memperluas kebebasan individu tersebut dalam memilih.

Apakah psikologi individual konsisten secara internal? Apakah teori ini mencakup istilah-istilah yang didefinisikan secara operasional? Walaupun teori Adlerian adalah model untuk self-consistency, teori ini mempunyai kekurangan dalam definisi operasional yang tepat. Istilah-istilah seperti tujuan untuk superioritas {goal o f superiority) dan daya kreatif tidak memiliki definisi ilmiah. Dalam hasil karya Adler manapun, istilah-istilah tersebut tidak didefinisikan secara operasional, dan seseorang yang akan melakukan penelitian

Bab 3 Adler: Psikologi Individual 111

akan menemui kesulitan untuk mendapatkan definisi yang tepat. Pada akhirnya, akan menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam penelitian. Istilah daya kreatif adalah istilah yang sering kali menyesatkan. Kekuatan ajaib macam apakah yang membuat bahan- bahan dasar keturunan dan lingkungan membentuk satu kepribadian yang unik? Bagaimana daya kreatif mengubah dirinya menjadi tindakan atau proses spesifik yang diperlukan oleh peneliti untuk melakukan penelitian? Sayangnya, psikologi individual sedikit filosofis— bahkan moralistis—dan tidak menyediakan jawaban untuk permasalahan ini.

Konsep daya kreatif sangat menarik. Mungkin kebanyakan orang lebih memilih untuk percaya bahwa mereka diciptakan dari sesuatu yang lebih daripada sekadar interaksi antara faktor keturunan dan lingkungan. Banyak orang secara intuitif merasa bahwa mereka memiliki suatu instrumen (j iwa, ego, diri, dan daya kreatif) dalam diri mereka yang membantu mereka memilih dan menciptakan gaya hidup mereka. Walaupun menarik, konsep daya kreatif hanyalah sebuah fiksi dan tidak bisa dipelajari secara ilmiah. Oleh karena kurangnya definisi operasional, kami menilai psikologi individual rendah dalam konsistensi internal.

Kriteria akhir dari sebuah teori yang bermanfaat adalah kesederhanaan atau parsimony. Pada standar ini kami menilai psikologi individual dalam taraf rata-rata. Walaupun cara penulisan Adler yang kaku dan tidak teratur membingungkan penilaian teori dalam hal parsimony, usaha yang dilakukan Ansbacher dan Ansbacher (Adler, 1956, 1964) telah membuat psikologi individual menjadi lebih sederhana.

Konsep KemanusiaanAdler percaya bahwa manusia pada dasarnya mampu menentukan dirinya sendiri dan bahwa mereka m embentuk kepribadian mereka dari makna yang mereka berikan atas pengalaman mereka. Bahan untuk membangun kepribadian disediakan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi daya kreatiflah yang m embentuk bahan-bahan ini dan menjadikannya berguna. Adler berulangkali menekankan bahwa kemampuan yang dimanfaatkan lebih penting daripada jum lah kemampuan yang dimiliki seseorang. Faktor keturunan membantu manusia dengan kem am puan-kem am puan tertentu dan lingkungan m em berikan mereka kesempatan untuk meningkatkan kemampuan tersebut. Akan tetapi, pada akhirnya kita bertanggung jawab atas manfaat yang diberikan dari kemampuan tersebut.

Adler juga yakin bahwa interpretasi manusia terhadap pengalaman lebih penting daripada pengalaman itu sendiri. Bukan masa lalu atau masa depan yang menentukan perilaku saat ini. Namun sebaliknya, manusia dimotivasi oleh persepsi mereka saat ini terhadap masa lalu dan harapan mereka saat ini akan masa depan. Persepsi ini tidak harus sesuai dengan realitas, dan seperti yang dinyatakan oleh Adler (1956), “makna tidak ditentukan oleh situasi, tetapi kita menentukan diri kita sendiri dengan makna yang kita berikan untuk situasi yang ada” (him. 208).

Manusia itu bergerak maju, lebih termotivasi oleh tujuan di masa depan daripada oleh insting bawaan atau keadaan sebab akibat. Tujuan-tujuan masa depan ini sering kali kaku dan tidak realistis, tetapi faktor kebebasan pribadi manusia membantu mereka untuk m embentuk kembali tujuan-tujuan mereka dan dengan dem ikian mengubah hidup mereka. Manusia menciptakan kepribadian mereka dan mampu m engubahnya dengan mempelajari sikap-sikap baru. Sikap-sikap ini mencakup pemahaman bahwa perubahan bisa terjadi, bahwa tidak ada orang atau situasi yang bertanggung jawab untuk pribadi seseorang, dan bahwa tujuan-tujuan pribadi harus berada di bawah m inat sosial.

112 Teori Kepribadian

Walaupun tujuan akhir kita secara relatif menetap selam a masa kanak-kanak, kita tetap bebas untuk mengubah gaya hidup kita kapan pun juga. Oleh karena tujuan akhir bersifat fiksional dan tidak sadar, maka kita bisa menetapkan dan mengejar tujuan- tujuan yang sifatnya sementara. Tujuan-tujuan sem entara ini tidak secara kaku dibatasi oleh tujuan akhir, tetapi kita ciptakan hanya sebagai solusi yang parsial. Adler (1927) menyatakan ide ini sebagai berikut: “Kita harus memahami bahwa reaksi dari jiwa manusia tidak final dan absolut: Setiap respons selain respons parsial, berlaku sementara, tetapi tidak bisa diterima sebagai solusi akhir dari suatu m asalah” (him. 24). Dengan kata lain, walaupun tujuan akhir kita telah ada selama masa kanak-kanak, kita mampu mengubahnya di tiap titik kehidupan kita. Akan tetapi, Adler bersikeras bahwa tidak semua pilihan kita itu di alam sadar dan bahwa gaya hidup tercipta melalui pilihan sadar dan tidak sadar.

Adler percaya bahwa pada akhirnya m anusia bertanggung jawab terhadap kepribadian mereka sendiri. Daya kreatif manusia m embuatnya mampu mengubah perasaan tidak berdaya menjadi minat sosial atau menjadi tujuan egois untuk memperoleh superioritas pribadi. Kemampuan seperti ini berarti bahwa manusia tetap bebas untuk memilih antara psikologis yang sehat dan neurotisme. Adler m enganggap self-centeredness sebagai keadaan patologis dan menetapkan m inat sosial sebagai standar dari kematangan psikologis. Orang yang sehat memiliki tingkat m inat sosial yang tinggi, tetapi sepanjang hidup mereka, mereka tetap bebas untuk menerima atau menolak norm alitas dan menjadi seperti yang m ereka kehendaki.

Berdasarkan enam dimensi konsep kemanusiaan yang kami kemukakan di Bab 1, kami menilai Adler sangat tinggi pada dimensi kebebasan memilih dan optim isme; sangat rendah pada kausalitas; cukup untuk pengaruh ketidaksadaran; dan tinggi pada faktor sosial serta pada keunikan individual. Singkatnya, Adler berprinsip bahwa m anusia adalah m akhluk sosial yang mampu menentukan dirinya sendiri, bergerak maju, dan termotivasi oleh fiksi saat ini untuk berjuang mencapai kesempurnaan untuk diri mereka sendiri dan untuk masyarakat.

Istilah dan Konsep Penting• Manusia memulai hidupnya dengan daya juang bawaan dan keterbatasan fisik, yang

keduanya menghasilkan perasaan tidak berdaya atau inferior.

• Perasaan tersebut mendorong manusia untuk menetapkan tujuan untuk mengatasi ketidakberdayaan mereka.

Manusia yang menganggap diri mereka memiliki keterbatasan fisik yang berlebihan, atau yang mengalami gaya hidup yang dimanja atau diabaikan melakukan kompensasi berlebihan untuk keterbatasan ini dan kemungkinan besar memiliki perasaan inferior yang besar, berjuang untuk mencapai kepentingan pribadi, dan menetapkan tujuan yang tinggi secara tidak realistis.

Manusia dengan perasaan inferior yang wajar melakukan kompensasi terhadap ketidakberdayaan mereka dengan cara bekerja sama dengan orang lain dan membangun tingkat sosial yang tinggi.

Minat sosial, atau kepedulian yang dalam terhadap kesejahteraan orang lain adalah kriteria tunggal untuk menilai tindakan manusia.

• Ada tiga masalah utama dalam hidup—cinta, pekerjaan, dan seks—yang hanya bisa diatasi melalui minat sosial

Bab 3 Adler: Psikologi Individual 113

• Semua perilaku, bahkan yang terlihat tidak sesuai, konsisten dengan tujuan final seseorang.

• Perilaku manusia tidak dibentuk oleh peristiwa masa lalu atau realitas objektif, tetapi oleh persepsi subjektif seseorang terhadap suatu situasi.

• Keturunan dan lingkungan merupakan bahan dasar untuk membentuk kepribadian, namun daya kreatif seseorang menyebabkan munculnya gaya hidup yang dijalani seseorang.

• Semua manusia, terutama orang-orang yang neurotik, menggunakan beberapa kecenderungan untuk melindungi—seperti membuat alasan, agresi, dan penarikan diri—sebagai usaha sadar atau tidak sadar untuk melindungi perasaan superioritas yang berlebihan terhadap rasa malu di depan umum

• Masculine protest—keyakinan bahwa pria lebih unggul dari wanita—adalah fiksi yang mendasari banyak terjadinya neurosis, baik pada pria maupun wanita.

• Terapi Adlerian menggunakan urutan kelahiran, ingatan masa kecil, dan mimpi untuk mendorong munculnya keberanian, harga diri, dan minat sosial.

Teori Kepribadian

Bab 4

Jung: Psikologi Analitis mg,, -

Gambaran Umum Psikologi Analitis Biografi Carl Jung Tingkatan PsikeKesadaranKetidaksadaran Personal Ketidaksadaran Kolektif Arketipe

PersonaBayangan (Shadow )Anima Animus Great Mother Wise Old Man Pahlawan Diri

Dinamika KepribadianKausalitas dan Teleologi Progresi dan Regresi Tipe Psikologis Sikap

Introversi Ekstraversi

Fungsi-fungsi Thinking Feeling Sensing Intuiting

Perkembangan Kepribadian Tahapan perkembangan

Masa Kanak-kanak Masa Muda

Masa Pertengahan (Paruh Baya)Masa Tua

Realisasi diri• Metode Investigasi Jung

Tes Asosiasi Kata Analisis Mimpi Imajinatif Aktif Psikoterapi

• Penelitian TerkaitTipe Kepribadian dan Menginvestasikan Uang Tipe Kepribadian dan Minat terhadap Bidang

Gesekan di Jurusan Teknik• Kritik terhadap Jung• Konsep Kemanusiaan• Istilah dan Konsep Penting

1 1 6 | Teori Kepribadian

Seorang dokter paruh baya duduk di meja kerjanya, tampak prihatin dan berpikir. Hubungan yang sudah dibangun selama enam tahun dengan guru yang juga teman lama,

berakhir dengan pahit. Dokter itu merasa frustrasi dan tidak yakin akan masa depannya. Ia tidak lagi memiliki keyakinan untuk menangani pasiennya, apabila berurusan dengan pasiennya pun, hanya dengan memintanya untuk berbicara, tanpa menawarkan saran spesifik untuk membantunya memecahkan masalah.

Selama beberapa bulan, sang dokter mengalami keanehan, mimpi-mimpi yang tidak lazim, serta penglihatan (vision) yang aneh dan misterius. Kejadian-kejadian itu tidak ada yang masuk akal baginya. Ia merasa tersesat dan kehilangan orientasi—tidak yakin apakah hasil kerjanya selama ini ilmiah atau tidak.

Sebagai seorang seniman yang tidak terlalu menonjol bakatnya dan dengan keterbatasan pemahamannya, ia berupaya menggambarkan mimpi-mimpi dan penglihatannya mengenai hasil pemikiran yang belum selesai dan apa maknanya. Ia juga mulai menuliskan fantasi- fantasinya tanpa benar-benar berupaya untuk memahaminya.

Pada saat-saat ini, ia mulai berpikir ulang: “Apa yang sebenarnya saya kerjakan?” la meragukan bahwa yang dikerjakannya merupakan hasil karya ilmiah. Tiba-tiba, yang membuatnya terpana, ia mendengar dengan jelas, suara wanita dari dalam dirinya mengatakan, “Itu adalah seni”. Ia mengenali suara itu sebagai suara pasien wanitanya yang berbakat dan memiliki perasaan khusus padanya. Ia memprotes suara itu dengan mengatakan bahwa yang dikerjakannya bukan seni. Akan tetapi, suara itu kembali menjawab dengan suara membujuk. Kemudian, saat ia kembali menulis, ia mendengar lagi suara itu mengatakan,”Itu adalah seni”. Ia kembali mencoba untuk membantah suara itu, namun tidak ada jawaban. Ia berpikir bahwa “wanita dari dalam dirinya” itu tidak mempunyai pusat bicara, jadi ia menyarankan agar wanita itu menggunakan miliknya. Hal inilah yang kemudian dilakukannya dan mulailah percakapan yang panjang.

Dokter paruh baya yang berbicara dengan “wanita dari dalam diri” adalah Carl Gustav Jung dan saat itu adalah musim semi tahun 1913-1914. Jung sebelumnya adalah pengagum dan teman Sigmund Freud, tetapi ketika kemudian muncul perbedaan teoretis di antara mereka, hubungan personal mereka menjadi pecah. Perpecahan ini membuat Jung merasakan kehilangan yang mendalam.

Cerita di atas adalah salah satu dari banyak kejadian yang aneh dan tidak lazim yang dialami Jung. Selama masa pertengahan (paruh baya) kehidupannya, ia sering kali mengalami “konfrontasi dengan ketidaksadaran”. Dalam autobiografi Jung yang berjudul Memories, Dreams, Reflections (Jung, 1961) banyak diceritakan kejadian yang menarik dan tidak lazim dari perjalanannya menuju bagian terdalam dari psikenya {psyche).

Gambaran Umum Psikologi AnalitisRekan kerja Freud, Carl Gustav Jung, mendobrak psikoanalisis ortodoks dan membangun teori kepribadian yang terpisah yang disebut dengan psikologi analitis. Teori ini berasumsi bahwa fenomena yang berhubungan dengan kekuatan gaib atau magis (occult) bisa dan

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis 1 1 7

memang berpengaruh pada kehidupan semua manusia. Jung percaya bahwa setiap dari kita termotivasi bukan hanya oleh pengalaman yang ditekan, melainkan juga oleh pengalaman emosional tertentu yang dipengaruhi oleh para leluhur. Gambaran-gambaran yang diturunkan (inherited image) merupakan sesuatu yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran kolektif meliputi elemen-elemen yang tidak pernah dialami seseorang secara individual, tetapi merupakan sesuatu yang diturunkan oleh leluhur kita.

Beberapa elemen dari ketidaksadaran kolektif menjadi sangat berkembang kemudian disebut sebagai arketipe-arketipe (archetypes). Pengertian arketipe yang paling meluas adalah gagasan mengenai realisasi diri (self-realization), yang hanya bisa dicapai dengan adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan kepribadian yang berlawanan. Jadi, teori Jung mengungkapkan mengenai kepribadian yang berlawanan. Kepribadian setiap orang meliputi introver dan ekstrover, rasional dan irasional, laki-laki dan perempuan, kesadaran dan ketidaksadaran, serta didorong oleh kejadian-kejadian di masa lalu yang ditarik oleh harapan-harapan di masa depan.

Bab ini meninjau beberapa detil kehidupan Carl Jung yang panjang dan berwarna. Bab ini juga memaparkan beberapa bagian dari sejarah kehidupannya untuk menggambarkan konsep-konsep dan teori yang dikemukakan oleh Jung. Pandangannya mengenai ketidaksadaran kolektif menjadikan teorinya sebagai salah satu yang paling menarik dari seluruh konsep kepribadian.

Biografi Carl JungCarl Gustav Jung lahir pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswil, sebuah kotadi Danau Constance, Swiss. Kakeknya dari pihak ayah, Carl Gustav Jung tua, adalah seorang fisikawan terkenal di Basel dan seorang yang dikenal baik di kota itu. Rumor yang berkembang di daerah itu mengatakan bahwa kakek Carl Jung adalah anak tidak sah dari sastrawan Jerman yang terkenal, Goethe. Walaupun ayah Jung tidak pernah mengakui rumor tersebut, kadang- kadang Jung memercayai bahwa ia adalah cicit dari Goethe (Ellenberger, 1970).

Ayah dan ibu Jung adalah anak terakhir dari tiga belas bersaudara. Situasi dengan keluarga besar seperti itu diperkirakan turut berperan dalam beberapa masalah yang mereka hadapi dalam perkawinan mereka. Ayah Jung, Johann Paul Jung, seorang pejabat dalam Pembentukan Gereja Swiss (Swiss Reformed Church). Ibunya, Emilie Preiswerk Jung, adalah anak dari ahli teologi. Pada kenyataannya, empat paman Jung dari pihak ayah dan dua dari pihak ibu adalah pastor. Jadi, aspek agama dan medis berpengaruh dalam keluarga ini. Keluarga Jung dari pihak ibu mempunyai tradisi spiritual dan mistis. Kakek dari pihak ibu, Samuel Preiswerk, merupakan penganut occult dan sering berbicara dengan orang yang sudah meninggal. Di rumahnya, ia menyimpan sebuah kursi kosong untuk arwah istri pertamanya dan suka berbincang-bincang seperti biasa dan intim dengannya. Oleh karena itu, bisa dimengerti jika kegiatannya ini sangat mengganggu istri keduanya.

Orang tua Jung mempunyai tiga orang anak. Seorang putra, lahir sebelum Carl, hanya bertahan hidup selama tiga hari dan seorang putri yang usianya lebih muda sembilan tahun dari fung. Jadi, pada tahun-tahun awal kehidupannya, Jung merupakan anak satu-satunya.

1 1 8 Teori Kepribadian

Jung (1961) menggambarkan ayahnya sebagai seseorang yang idealis sentimental dengan keragu-raguan mengenai keyakinan agamanya. Terhadap ibunya, Jung melihatnya sebagai orang yang mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama, ibunya adalah orang yang realistis, praktis, dan berhati hangat. Namun di sisi lainnya, ibunya tidak stabil, percaya pada hal-hal mistis, spiritual, kuno, dan keji. Jung, sebagai anak yang emosional dan sensitif, lebih mengidentifikasi ibunya pada sisi yang kedua, yang disebutnya dengan kepribadian nomor dua, atau kepribadian malam (night personality) (Alexander, 1990). Pada usia tiga tahun, Jung dipisahkan selama beberapa bulan dari ibunya, yang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Pemisahan ini menyebabkan masalah mendalam pada diri Carl yang masih kecil. Selama beberapa waktu sesudahnya, ia tidak pernah percaya setiap kali kata ’’cinta” diucapkan. Beberapa tahun sesudahnya, Jung masih mengasosiasikan ’’wanita” dengan sesuatu yang tidak bisa dipercaya, sementara kata ’’ayah” berarti sesuatu yang bisa dipercaya, namun tidak berkuasa (Jung, 1961).

Sebelum ulang tahun Jung yang keempat, ia dan keluarganya pindah ke daerah pinggiran kota Basel. Pada masa inilah, muncul mimpi-mimpinya yang paling awal. Mimpi ini, yang memengaruhi kehidupannya di masa mendatang, dan konsepnya mengenai ketidaksadaran kolektif (collective unconscious) akan digambarkan kemudian dalam bab ini.

Selama bersekolah, Jung secara bertahap mulai menyadari adanya dua aspek yang terpisah dari dirinya. Ia menyebut kedua aspek ini sebagai kepribadian No. 1 dan No. 2. Awalnya, ia melihat kedua kepribadian ini sebagai bagian dari dunia pribadinya. Akan tetapi, ketika dewasa, Jung mulai menyadari bahwa kepribadian No. 2 merupakan refleksi dari sesuatu yang lain selain dirinya—seorang laki-laki tua lama setelah kematiannya. Pada saat itu, Jung tidak sepenuhnya menguasai kedua kekuatan yang terpisah ini. Namun, di tahun-tahun berikutnya, Jung mengenali kepribadian No. 2 selama ini berhubungan dengan perasaan dan intuisi yang tidak dimiliki oleh kepribadian No. 1. Dalam bukunya yang berjudul Memories, Dreams, Reflections, Jung (1961) menulis mengenai kepribadian No. 2:

Saya mengalami pengaruhnya (laki-laki tua itu) ketika ia muncul, dengan keingintahuan yang tidak terefleksikan. Kepribadian No.l tersamar sampai titik ketakberadaan dan ketika ego yang menjadi identik dengan kepribadian No. 1 mendominasi gambaran itu, laki-laki tua itu, jika berusaha diingat-ingat, terlihat sebagai mimpi yang tidak nyata dan sangat jauh (him. 68).

Ketika Jung berusia 16-19 tahun, teori kepribadian yang dikemukakannya mengenai kepribadian No. 1 tampil lebih dominan dan secara bertahap “menekan dunia perasaan intuitif” (repressed the world o f intuitive premonitions) (Jung, 1961, him. 68). Ia mampu berkonsentrasi terhadap sekolah dan kariernya karena setiap hari didukung oleh kesadaran akan keberhasilan kepribadiannya. Pada teori Jung mengenai sikap, teori kepribadian No. 1 adalah orang dengan kepribadian ekstrover dan bisa menerima dunianya secara objektif, sedangkan kepribadian No. 2 adalah orang yang introver dan melihat dunianya secara subjektif. Meskipun demikian, selama masa sekolahnya, Jung berkepribadian introver. Jung menjadi lebih ektrovert pada waktu menjadi profesional dan mulai menemukan tujuan tanggung jawab hidupnya. Kepribadiannya yang ekstrover ini muncul hingga ia mengalami krisis pada pertengahan kehidupannya dan memasuki periode di mana ia menjadi orang yang sangat introver.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis 119

Profesi pertama yang dipilih oleh Jung adalah arkeologi, tetapi ia juga tertarik pada bidang filologi, sejarah, filsafat, dan ilmu alam. Terlepas dari latar belakang kebangsawanannya, Jung tidak memiliki banyak sumber keuangan (Noll, 1994). Oleh karena kekurangan uang, Jung terpaksa bersekolah di dekat rumahnya dan masuk Universitas Basel. Universitas ini merupakan institusi sekolah tanpa guru arkeologi. Dengan demikian, Jung harus memilih bidang lain dan akhirnya memilih ilmu alam. Selain itu, ia bermimpi dua kali bahwa ia akan membuat penemuan penting di bidang ilmu alam (Jung, 1961). Pilihan kariemya akhirnya mengarah pada bidang kedokteran dan lebih spesifik lagi mengarah ke psikiatri di mana ia memahami bidang ini sebagai bidang yang berurusan dengan fenomena subjektif (Singer, 1994).

Padatahunpertamajungdisekolahkedokteran.ayahnyameninggalduniadanmeninggalkan Jung dalam pengasuhan ibu dan saudara perempuannya. Pada masa-masa ini juga, Jung mulai menghadiri serangkaian pertemuan (seances) di mana mereka berusaha berkomunikasi dengan arwah (orang yang sudah meninggal) dengan keluarga Preiswerk, termasuk sepupu pertamanya yang bernama Helene Preiswerk yang mengaku dapat berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Jung menghadiri pertemuan ini sebagai anggota keluarga, namun kemudian ia menulis disertasi kedokterannya mengenai fenomena occult. Jung melaporkan bahwa proses seances itu sebagai eksperimen yang dikontrol (McLynn, 1996).

Setelah memperoleh gelar kedokterannya dari Universitas Basel pada tahun 1900, Jung menjadi asisten psikiater Eugene Bleuler di Rumah Sakit Jiwa Burgholtzli di Zurich. Pada masa itu, mungkin rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit tempat magang bidang psikiatri yang paling bergengsi di dunia. Pada tahun 1902-1903, Jung belajar selama enam bulan di Paris bersama Pierre Janet, yang merupakan penerus Charcot. Ketika kembali ke Swiss di tahun 1903, Jung menikahi Emma Rauschenbach, wanita muda dari keluarga Swiss yang terpandang. Dua tahun kemudian, Jung mulai mengajar di Universitas Zurich dan menerima pasien pada praktik pribadinya, sekaligus bertugas di rumah sakit.

Jung membaca buku Freud yang berjudul Interpretation o f Dreams (Freud, 1900/1953) tidak lama setelah buku itu terbit, namun ia tidak terlalu terkesan (Singer, 1994). Ketika Jung membaca ulang buku itu beberapa tahun kemudian, ia mempunyai pemahaman lebih baik mengenai gagasan Freud dan mulai mengartikan mimpinya sendiri. Pada tahun 1906, Jung dan Freud mulai berkorespondensi (lihat McGuire & McGlashan, 1994, pada surat- surat Freud/Jung). Tahun-tahun berikutnya, Freud mengundang Carl dan Emma Jung ke Wina. Dalam perbincangan itu, Jung dan Freud sama-sama mengembangkan rasa hormat dan kepedulian yang kuat satu sama lain. Mereka berdiskusi selama tiga belas jam tanpa henti, bahkan sampai pagi. Selama diskusi ini berlangsung, Martha Freud dan Emma Jung menyibukkan diri mereka dengan berbincang-bincang (Ferris, 1997).

Freud yakin bahwa Jung adalah orang yang ideal untuk menjadi penggantinya. Tidak seperti orang lain di sekeliling Freud yang menjadi teman atau pengikutnya, Jung bukan orang Yahudi ataupun orang Wina. Selain itu, Freud merasa nyaman dengan Jung dan menghormatinya karena ia sangat terpelajar. Kualifikasi tersebut mendorong Freud untuk menunjuk Jung sebagai ketua International Psychoanalytic Association yang pertama.

Pada tahun 1909, G. Stanley Hall, presiden Universitas Clark, yang juga salah seorang psikolog pertama di Amerika Serikat, mengundang Jung dan Freud untuk menyampaikan

Teori Kepribadian

serangkaian kuliah di Universitas Clark, Worcester, Massachusetts. Bersama Sandor Ferenczi, seorang psikonalis lainnya, kedua pria ini pergi ke Amerika Serikat. Ini merupakan kunjungan Jung yang pertama ke Amerika Serikat dari sembilan kunjungan berikutnya. Selama tujuh minggu perjalanan di mana mereka harus berhubungan setiap hari, ketegangan yang mendasari hubungan Jung dan Freud perlahan-lahan membesar. Ketegangan pribadi ini tidak juga hilang ketika dua psikoanalis terkenal ini mulai mengartikan mimpinya satu sama lain, ketegangan yang sepertinya dipengaruhi oleh masa lalu yang memperburuk hubungan mereka.

Dalam buku Memories, Dreams, Reflection, Jung (1961) menyatakan bahwa Freud tidak berkeinginan untuk membuka kehidupan pribadinya secara terperinci—perincian ini dibutuhkan Jung untuk mengartikan salah satu mimpi Freud. Menurut pernyataan Jung waktu ia bertanya mengenai perincian itu, Freud memprotes, “tetapi saya tidak dapat mempertaruhkan otoritas saya!” (Jung, 1961, him. 158). Jung berkesimpulan, pada saat itulah sebenarnya Freud kehilangan otoritasnya. “Kalimat terekam dalam ingatan saya dan itulah yang melatarbelakangi berakhirnya hubungan kami” (him. 158).

Jung juga menyatakan bahwa selama perjalanannya ke Amerika, Freud tidak dapat menginterpretasikan mimpinya, terutama pada mimpi yang penuh dengan material ketidaksadaran kolektif Jung. Kita akan membahas mengenai mimpi ini lebih terperinci, tetapi kami hanya menyampaikan bahwa aspek-aspek dalam mimpinya itu mungkin berhubungan dengan masalah kehidupan Jung yang berkaitan dengan wanita. Dalam mimpi ini, digambarkan Jung dan keluarganya tinggal di tingkat dua dalam rumahnya ketika ia memutuskan untuk menjelajahi tingkat yang tidak diketahuinya dalam rumahnya itu. Pada suatu tingkat rumahnya, ia sampai pada suatu gua di mana ia menemukan “dua tengkorak manusia, yang satu sangat tua dan yang satunya lagi separuh dari tengkoraknya terpisah-pisah” (him. 159).

Setelah Jung menggambarkan mimpinya, Freud menjadi tertarik pada bagian dua tengkorak, tetapi bukan sebagai materi ketidaksadaran kolektif. Bahkan, Freud bersikeras bahwa Jung mengasosiasikan tengkorak itu sebagai suatu keinginan. Siapa yang diinginkan mati oleh Jung? Oleh karena Jung belum benar-benar memercayai penilaiannya sendiri dan mengetahui jawaban yang diharapkan oleh Freud, maka Jung menjawab, “Istri dan adik ipar saya yang perempuan—bagaimanapun juga, saya harus menyebutkan nama yang kematiannya sepadan dengan keinginan itu!”

“Saat itu, saya baru saja menikah dan mengetahui dengan pasti bahwa sama sekali tidak ada keinginan seperti itu dari dalam diri saya” (Jung, 1961, him. 159-160).

Meskipun interpretasi Jung terhadap mimpinya mungkin lebih akurat daripada interpretasi Freud, sebenarnya ada kemungkinan Jung memang menginginkan kematian istrinya. Saat itu, Jung bukan “pengantin baru”, tetapi sudah menikah selama hampir tujuh tahun dan selama lima tahun di antaranya, Jung terlibat hubungan intim dengan pasiennya yang bernama Sabina Spielrein. Frank McLynn (1996) menyatakan bahwa Jung terlalu dipengaruhi oleh sosok ibu (mother complex) sehingga ia mengendapkan keinginan untuk menyakiti istrinya. Namun, penjelasan yang lebih bisa diterima adalah Jung membutuhkan lebih dari satu wanita untuk dapat memenuhi kedua aspek kepribadiannya.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | J 2 1

Bagaimanapun, dua wanita yang berbagi kehidupan Jung selama hampir 40 tahun adalah istrinya, Emma dan pasiennya yang bernama Antonia (Toni) Wolff (Blair, 2003). Emma Jung sepertinya lebih cocok berhubungan dengan kepribadian Jung No.l, sementara Toni Wolff lebih sesuai dengan kepribadian Jung No. 2. Hubungan segitiga ini tidak selalu berjalan mulus. Meskipun demikian, Emma Jung menyadari bahwa Toni Wolff bisa berbuat lebih banyak bagi Carl dibanding dirinya sendiri (ataupun orang lain) dan ia berterima kasih pada Wolff (Dunne, 2000).

Meskipun Jung dan Wolff tidak bermaksud menyembunyikan hubungan mereka, namun nama Toni Wolff tidak muncul dalam biografi Jung yang diterbitkan, Memories, Dreams, Reflection. Alan Elms (1994) menemukan bahwa Jung menulis satu bab penuh mengenai Toni Wolff, namun bab itu tidak pernah dipublikasikan. Ketiadaan nama Wolff dalam autobiografi Jung mungkin disebabkan karena kebencian anak-anak Jung terhadap Wolff. Mereka mengetahui hubungan terbuka antara ayahnya dengan Wolff. Hanya saja, mereka sebagai orang dewasa yang dapat memutuskan apa saja yang boleh muncul dalam autobiografi ayah mereka, tidak berbaik hati untuk menampilkan hubungan ini.

Pada banyak kesempatan, terdapat sedikit keraguan yang muncul mengenai Jung membutuhkan wanita lain dalam hidupnya. Pada surat yang ditujukan untuk Freud tertanggal 30 Januari 1910, Jung menulis: “Sepertinya bagi saya, persyaratan untuk mewujudkan pernikahan yang indah adalah jika saya diperbolehkan untuk merasa tidak yakin” (McGuire, 1974, him. 289).

Tidak lama setelah Jung dan Freud kembali dari perjalanannya ke Amerika Serikat, perbedaan personal dan teoretis di antara mereka semakin terasa seiring dengan men- dinginnya hubungan mereka. Pada tahun 1913, mereka menghentikan korespondensi pribadi mereka. Pada tahun berikutnya, Jung mengundurkan diri dari jabatan ketua International Psychoanalytic Association dan tidak lama kemudian, ia menarik semua pengikutnya dari keanggotaan asosiasi tersebut.

Perpecahan Jung dengan Freud kemungkinan berhubungan dengan suatu kejadian yang tidak dibahas dalam Memories, Dreams, Reflection (Jung, 1961). Pada tahun 1907, Jung menulis surat pada Freud dan menyatakan “kekaguman tidak terbatas” padanya. Ia juga mengaku bahwa kekagumannya ini “ada kaitannya dengan karakter keagamaan” dan mengandung “perasaan erotis yang tidak dapat dipungkiri” (undeniable erotic undertone) (McGuire, 1974, him. 95). Jung melanjutkan pengakuannya dengan mengatakan “perasaan mengerikan itu datang dari kenyataan bahwa saya, sebagai anak, merupakan korban seksual yang disebabkan oleh pria yang pernah saya hormati” (him. 95). Jung pernah mengalami penyerangan seksual ketika ia masih berusia 18 tahun di mana ia melihat sosok pria yang lebih tua sebagai teman yang kebapakan dan bisa dijadikan tempat bercerita mengenai apapun. Alan Elms (1994) berpendapat bahwa perasaan erotis Jung terhadap Freud—sejalan dengan pengalamannya ketika diserang secara seksual oleh pria lebih tua yang pernah dihormatinya—bisa jadi merupakan alasan utama perpecahan mereka. Elms lebih jauh mengemukakan bahwa penolakan Jung terhadap teori seksual Freud bisa disebabkan karena perasaan seksualnya yang ambivalen terhadap Freud.

Tahun-tahun setelah perpecahan dengan Freud, Jung dipenuhi dengan rasa kesepian dan analisis pribadi. Pada bulan Desember 1913 sampai 1917, ia mengalami pengalaman

1 22 Teori Kepribadian

yang paling kuat dan berbahaya, yaitu perjalanan yang mendalam menuju psike (psyche) ketidaksadarannya sendiri. Marvin Goldwert (1992) mengatakan periode ini sebagai periode “creative illness” dalam kehidupan Jung. Istilah yang juga digunakan oleh Henri Ellenberger (1970) untuk menggambarkan Freud pada tahun-tahun setelah kematian ayahnya. Periode “creative illness” yang dialami Jung, sama dengan analisis diri yang dilakukan oleh Freud. Kedua pria ini melakukan pencarian dirinya pada usia akhir 30 atau awal 40-an. Pencarian diri Freud, merupakan reaksi atas kematian ayahnya, sedangkan pencarian diri Jung sebagai hasil dari perpisahannya dengan sosok ayah spiritualnya, Freud. Keduanya mengalami periode kesepian dan terasing. Pengalaman yang mengubah keduanya secara mendalam.

Meskipun perjalanan Jung menuju ketidaksadaran merupakan pengalaman yang berbahaya dan menyakitkan, tetapi merupakan pengalaman yang penting dan menghasilkan. Akhirnya, Jung dapat menciptakan teori kepribadian yang unik dengan memaksa dirinya melalui perjalanan ke bawah sadarnya dan melakukan interpretasi mimpi serta imajinasi aktif.

Selama masa ini, Jung menuliskan mimpinya, menggambarkan, dan menceritakan mimpi tersebut kepada dirinya sendiri kemudian mengikuti ceritanya ini kemanapun ia pindah. Setelah melewati prosedur ini, ia menjadi terlibat dengan ketidaksadaran personalnya (lihat Jung, 1979, dan Dunne, 2000, untuk melihat banyaknya koleksi lukisannya selama masa ini). Jung melanjutkan metodenya dan turun lebih dalam lagi menuju ketidaksadarannya di mana ia berhasil mencapai inti dari ketidaksadaran kolektif—yaitu arketipe. Ia mendengar anim a-nya berbicara padanya dengan suara feminin yang terdengar jelas; ia menemukan bayangannya (shadow), sisi buruk dari kepribadiannya; ia berbicara dengan arketipe orang tua bijak (wise old man) dan ibu agung {great mother); terakhir, di penghujung perjalanannya, ia juga berhasil mencapai kelahiran kembali psikologisnya, yang disebutnya sebagai individuasi (individuation) (Jung, 1961)

Meskipun Jung banyak bepergian untuk mempelajari kepribadian, ia tetap warga negara Swiss yang berkarya di Kiisnacht, dekat Zurich. Ia dan istrinya, yang dulunya juga seorang analis, memiliki lima orang anak, yaitu empat putri dan satu putra. Dulunya, Jung beragama kristen, tetapi tidak pernah ke gereja. Hobinya antara lain mengukir kayu, memotong batu, berlayar di Danau Constance. Jung juga menjaga minatnya pada kimia, arkeologi, Gnostisisme, filsafat timur, sejarah, agama, mitologi, dan etnologi.

Pada tahun 1944, Jung mengajar psikologi kedokteran di Universitas Basel. Akan tetapi, karena kesehatannya memburuk, ia harus mengundurkan diri di tahun berikutnya. Setelah kematian istrinya di tahun 1955, ia banyak menghabiskan waktu sendirian sebagai “pria tua bijak dari Kiisnacht”. Setelah ia meninggal, reputasi Jung sudah mendunia, tidak hanya di bidang psikologi, tetapi juga bidang filsafat, agama, dan kebudayaan populer (Brone, 1978)

Tingkatan PsikeSeperti Freud, Jung juga mendasarkan teori kepribadiannya pada asumsi bahwa pikiran atau psike (psyche), mempunyai level kesadaran dan ketidaksadaran. Namun tidak seperti Freud,

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | 1 2 3

Jung sangat menekankan bahwa bagian yang paling penting dari labirin ketidaksadaran seseorang bukan berasal dari pengalaman personal, melainkan dari keberadaan manusia di masa lalu. Konsep ini yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif. Poin penting dari teori Jung adalah kesadaran dan ketidaksadaran personal.

KesadaranMenurut Jung, bayangan mengenai kesadaran (conscious) merupakan hal yang dapat dirasakan oleh ego, sementara elemen ketidaksadaran tidak ada kaitannya dengan ego. Keyakinan Jung mengenai ego lebih ketat daripada pandangan Freud. Jung melihat ego sebagai pusat dari kesadaran, tetapi bukan merupakan inti (core) dari kesadaran itu sendiri. Ego bukan keseluruhan dari kepribadian dan harus dipenuhi dengan diri (self). Diri inilah yang merupakan pusat dari kepribadian yang kebanyakan di antaranya berupa ketidaksadaran. Pada orang yang sehat secara psikologis, ego merupakan aspek kedua dari ketidaksadaran diri (Jung, 1951/1959a). Jadi, kesadaran memainkan peranan yang relatifkecil dalam psikologi analitis. Psikologi analitis yang dikemukakan oleh Jung lebih menekankan pada penjelajahan kesadaran psike seseorang yang menyebabkan ketidakseimbangan psikologis. Individu yang sehat adalah individu yang dapat berhubungan dengan dunia kesadarannya dan dapat mengalami ketidaksadaran diri kemudian mencapai individuasi. Konsep mengenai individuasi dibahas pada bagian yang berjudul Realisasi Diri.

Ketidaksadaran PersonalKetidaksadaran personal (personal unconscious) merangkum seluruh pengalaman yang terlupakan, ditekan, atau dipersepsikan secara subliminal pada seseorang. Ketidaksadaran tersebut mengandung ingatan dan impuls masa silam, kejadian yang terlupakan, serta berbagai pengalaman yang disimpan dalam alam bawah sadar. Ketidaksadaran kita dibentuk oleh pengalaman individual. Dengan demikian, hal tersebut akan menjadi sangat unik bagi kita. Gambaran ketidaksadaran personal ada yang dapat diingat secara mudah atau sulit, namun ada juga beberapa bagian yang jauh dari jangkauan kesadaran manusia. Konsep Jung ini sedikit berbeda dengan pandangan Freud mengenai ketidaksadaran dan kombinasi

bawah sadar (Jung, 1931/1960b)

Materi ketidaksadaran personal ini disebut dengan kompleks. Sebuah kompleks merupakan akumulasi dari kumpulan gagasan yang diwarnai dengan perasaan. Sebagai contoh, pengalaman seseorang dengan ibunya akan terkumpul menjadi sebuah pusat emosi sehingga bahkan kata “Ibu” akan memicu respons emosi yang dapat memblokir laju pemikirannya. Kompleks secara umum dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang personal, namun kompleks dapat pula diturunkan dari pengalaman kolektif kemanusiaan seseorang. Pada contoh ini, mother complex tidak hanya berasal dari hubungan personal dengan ibunya, tetapi juga dipicu oleh pengalaman seluruh spesies dengan ibunya dan sebagian dibentuk oleh gambaran seseorang terhadap ibunya. Oleh karenanya, kompleks dapat menjadi sesuatu yang disadari serta menghambat ketidaksadaran personal dan kolektif (Jung, 1928/1960).

Teori Kepribadian

Ketidaksadaran KolektifKebalikan dari ketidaksadaran personal yang dihasilkan dari pengalaman individu, ketidaksadaran kolektif (collective unconscious) sudah mengakar dari masa lalu leluhur seluruh spesies. Hal ini merepresentasikan konsep Jung yang paling kontroversial dan mungkin yang paling penting. Isi fisik yang menyertai ketidaksadaran kolektif diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai sebuah kondisi psikis yang potensial. Pengalaman nenek moyang terdahulu dengan konsep universal seperti Tuhan, Ibu, Bumi, dan lainnya telah ditransmisikan dalam beberapa generasi sehingga orang berada dalam suatu kondisi dan waktu yang dipengaruhi oleh pengalaman primordial primitif nenek moyangnya (Jung, 1937/1959). Dengan demikian, isi dari ketidaksadaran kolektif adalah kurang lebih sama pada seluruh budaya di dunia ini (Jung, 1934/1959).

Isi dari ketidaksadaran kolektif ini tidak diam begitu saja tanpa berkembang, melainkan ia aktif dan memengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan seseorang. Ketidaksadaran kolektif bertanggung jawab terhadap kepercayaan terhadap agama, mitos, serta legenda. Hal tersebut juga memunculkan “impian besar” yaitu mimpi yang memiliki arti di luar jangkauan impian seseorang dan dipenuhi dengan kepentingan manusia pada setiap waktu dan tempat (Jung, 1948/1960b).

Ketidaksadaran kolektif tidak merujuk pada ide yang diturunkan, tetapi lebih kepada kecenderungan kuat manusia untuk bereaksi dengan cara tertentu pada saat pengalaman mereka menstimulasikan kecenderungan turunan secara biologis. Sebagai contoh, seorang ibu muda akan secara langsung merasakan cinta dan sayang terhadap anaknya yang baru lahir walaupun sebelumnya ia pernah merasakan perasaan negatif atau biasa saja terhadap bayi semasa di kandungan. Kecenderungan untuk merespons ini merupakan bagian dari potensi diri seorang wanita atau dapat kita sebut sebagai cetak biru yang diturunkan. Akan tetapi, potensi seperti ini membutuhkan pengalaman seseorang sebelum dapat menjadi aktif. Manusia, seperti halnya hewan, datang ke dunia ini dengan sifat turunan yang telah ditentukan sebelumnya untuk dapat beraksi dan bereaksi dengan cara tertentu jika pengalamannya menyentuh sisi biologisnya ini. Sebagai contoh, seorang pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang wanita mungkin akan sangat terkejut dengan perasaannya sendiri. Kekasihnya mungkin tidak seperti sosok wanita ideal yang ada dalam kesadarannya. Namun, tetap saja ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya merasa tertarik pada wanita itu. Jung mengatakan bahwa ketidaksadaran kolektif pria itu yang mengandung impresi-impresi biologis pada seorang wanita yang kemudian berperan ketika pria ini melihat wanita yang dicintainya.

Ada berapa predisposisi biologis yang dimiliki oleh manusia? Jung mengatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang diturunkan dan jumlahnya sama dengan situasi tipikal dalam kehidupan manusia. Pengulangan situasi tipikal yang jumlahnya tidak terhingga akan menjadikannya sebagai bagian dari konstitusi biologis manusia. Pada mulanya, mereka ter bentuk tanpa isi, mewakili kemungkinan adanya tipe persepsi atau tindakan tertentu”

(Jung, 1937/1959, him. 48). Dengan lebih banyak lagi pengulangan, pembentukan ini mulai mengembangkan beberapa isi dan muncul sebagai arketipe otonomi yang relatif.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis 125

ArketipeArketipe (archetype) adalah bayangan-bayangan leluhur atau arkaik (archaic) yang datang dari ketidaksadaran kolektif. Arketipe sama dengan kompleks karena mereka merupakan kumpulan bayangan-bayangan yang diasosiasikan dan diwarnai dengan sangat kuat oleh perasaan. Perbedaan kompleks dengan arketipe adalah kompleks merupakan komponen ketidaksadaran personal yang diindividuasi, sedangkan arketipe merupakan konsep yang umum dan muncul dari isi ketidaksadaran kolektif.

Arketipe harus dibedakan dari insting. Jung (1948/1960a) mendefinisikan insting sebagai ketidaksadaran impuls fisik pada tindakan, sedangkan arketipe adalah pasangan psikis dari sebuah insting. Untuk membandingkan antara arketipe dan insting, Jung (1975) menulis:

Seperti binatang dari jenis yang sama, yang menunjukkan fenomena instingtual yang serupa di seluruh dunia, manusia juga menampilkan bentuk arketipe yang bentuknya sama di mana pun ia tinggal. Seperti binatang yang tidak perlu diajari kegiatan instingtif, manusia juga memiliki pola psikis primordial dan mengulangnya secara spontan, tidak dipengaruhi oleh proses pengajaran apapun. Sebagai manusia yang sadar dan mampu melakukan introspeksi, mereka juga dapat memersepsi pola instingtifnya dalam bentuk representasi dari arketipe (him. 152).

Pendek kata, arketipe dan insting dibentuk secara tidak sadar dan keduanya berperan dalam membentuk kepribadian.

Arketipe mempunyai dasar biologis, tetapi asalnya terbentuk melalui pengulangan pengalaman dari para leluhur manusia. Pada seorang manusia, terdapat arketipe yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Arketipe ini aktif pada saat proses pertemuan pengalaman personal dengan bayangan primordial laten.

Arketipe itu sendiri tidak dapat muncul sendiri, tetapi ketika aktif muncul dalam beberapa bentuk, kebanyakan muncul dalam bentuk mimpi, fantasi, dan delusi. Selama pertengahan kehidupannya, Jung mengalami banyak mimpi arketipe dan fantasi. Ia sering kali memunculkan fantasinya dengan membayangkan dirinya menuju luar semesta (cosmic abbys) yang sangat dalam. Pada saat tersebut, ia dapat merasakan bayangan dan mimpinya. Kemudian, ketika ia mulai memahami bahwa bayangan mimpi dan bentuk fantasinya adalah arketipe, pengalaman- pengalaman ini menjadi sangat bermakna dan sama sekali baru (Jung, 1961).

Mimpi merupakan sumber utama material arketipe. Beberapa mimpi diajukan Jung sebagai bukti dari keberadaan arketipe. Mimpi ini menghasilkan dorongan yang tidak dikenal oleh orang yang memimpikannya melalui pengalaman personal. Dorongan-dorongan ini sering kali berhubungan dengan sesuatu yang dikenal sebagai orang di zaman kuno atau penduduk asli yang menggantikan suku aborigin.

Jung percaya bahwa halusinasi pada pasien psikotik juga merupakan bukti dari arketipe universal (Bair, 2003). Ketika bekerja sebagai asisten psikiater di Burgholtzli, Jung mengamati pasien schizoprenia sedang melihat matahari melalui jendela. Pasien itu memohon kepada sang psikiater muda untuk mengamatinya juga.

Teori Kepribadian

Ia mengatakan saya harus lihat matahari itu dengan mata setengah tertutup dan saya dapat melihat falus matahari. Kalau saya menggerakkan kepala saya dari sisi satu ke sisi lainnya, maka falus matahari itu akan bergerak juga dan itulah asal mulanya angin (Jung, 1931/1960b, him. 150).

Empat tahun kemudian, Jung muncul dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang filologis dari Jerman, Albrecht Dieterich yang diterbitkan tahun 1903, beberapa tahun setelah pasien tersebut diterima. Buku itu ditulis dalam bahasa Yunani, berkaitan dengan liturgi yang diturunkan dari papirus ajaib Paris, yang digambarkan sebagai pemuja Mithras, dewa cahaya dari Persia. Dalam liturgi ini, seseorang diminta untuk menatap matahari sampai ia dapat melihat sebuah tabung tergantung. Tabung itu berayun dari timur ke barat dan dianggap asal mula dari angin. Pendapat Dieterich tentang falus matahari dalam kutukan Mithraic identik dengan halusinasi pasien sakit mental itu, yang hampir bisa dipastikan tidak memiliki pengetahuan mengenai ritual kuno. Jung (1931/1960b) mengajukan banyak contoh serupa mengenai bukti keberadaan arketipe dan ketidaksadaran kolektif.

Seperti yang ditulis pada Bab 2, Freud juga percaya bahwa setiap orang mewarisi pre- disposisi terhadap tindakan tertentu. Bagaimanapun, konsepnya mengenai bawaan filogenetis berbeda dengan formulasi yang diajukan Jung. Salah satu perbedaannya adalah, Freud lebih menekankan pada ketidaksadaran personal. Bawaan filogenetis (phylogenetic endowment) lebih merupakan alternatif, hanya jika individunya menjelaskan kegagalan—seperti yang terkadang ia lakukan untuk menjelaskan Oedipus complex (Freud, 1933/1964). Sebaliknya, Jung lebih menekankan pada ketidaksadaran kolektif dan menggunakan pengalaman personal untuk mengemas kepribadian secara utuh.

Perbedaan utama antara keduanya adalah Jung membedakan ketidaksadaran kolektif menjadi dorongan otonomi yang disebut arketipe, masing-masing dengan kehidupan dan keperibadiannya. Meskipun banyak arketipe yang muncul dalam bayangan yang lazim, namun hanya sebagian yang sampai pada titik di mana bayangan itu bisa dikonseptualisasikan. Hal yang menjadi catatan penting dari konsep yang diajukan Jung adalah persona, bayangan, anima, animus, ibu agung {great mother), orang tua bijak (wise old man), pahlawan (hero), dan diri (self).

PersonaSisi kepribadian yang ditunjukkan orang kepada dunia disebut persona. Pemilihan istilah ini sangat tepat karena mengacu pada topeng yang digunakan oleh pemain teater pada masa itu. Konsep Jung mengenai persona mungkin bisa muncul dari pengalamannya dengan kepribadian No. 1 yang harus mengakomodasi dunia luarnya. Jung percaya bahwa setiap manusia terlibat dalam peranan tertentu yang dituntut oleh sosial. Misalnya, seorang fisikawan diharapkan untuk mengadopsi karakteristik dari “bedside manner”, seorang politikus diharapkan menampilkan muka penuh keyakinan untuk memenangkan kepercayaan dan suara masyarakat, serta seorang aktor diharapkan memamerkan gaya hidupnya sesuai dengan keinginan publik (Jung, 1950/1959).

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis 127

Meskipun persona merupakan sisi yang penting dalam kepribadian kita, sebaiknya kita tidak mencampurkan bagian yang ditampilkan di depan publik dengan diri kita. Jika kita terlalu dekat dengan persona, maka kita akan membangun ketidaksadaran mengenai individualitas dan dibatasi dalam proses mencapai realisasi diri. Benar, bahwa kita harus diterima oleh masyarakat, tetapi jika kita terlalu identik dengan persona, maka kita akan kehilangan sentuhan inner self dan cenderung untuk memenuhi harapan sosial. Agar menjadi sehat secara psikologis, Jung percaya bahwa kita harus bisa mempertahankan keseimbangan antara harapan sosial dengan bagaimana kepribadian kita sebenarnya. Agar kita dapat melupakan persona seseorang adalah dengan cara mengurangi tingkat kepentingan harapan sosial, tetapi untuk tidak menyadari individualitas terdalam seseorang adalah dengan menjadi boneka masyarakat (Jung, 1950/1959).

Menjelang pemisahan Jung dengan realitas pada tahun 1913 sampai 1917, ia berusaha keras untuk tetap berhubungan dengan personanya. Ia mengetahui bahwa ia harus menjaga kehidupan normal, pekerjaan, dan keluarganya agar tetap berhubungan dengan realitas. Ia sering kali memaksa dirinya sendiri dengan berbicara “saya memiliki gelar di bidang kedokteran dari Universitas Swiss, saya harus menolong pasien-pasien saya, saya mempunyai istri dan anak-anak, saya tinggal di 228 Seestrasse di Kiisnacht” (Jung, 1961, him. 189). Cara ia bicara dengan dirinya sendiri ini dapat mempertahankan kaki Jung tetap berada di tanah dan memastikan bahwa ia benar-benar ada.

BayanganBayangan (Shadow) merupakan arketipe dari kegelapan dan represi yang menampilkan kualitas-kualitas yang tidak kita akui keberadaannya serta berusaha disembunyikan dari diri kita sendiri dan orang lain. Bayangan mengandung kecenderungan keberatan moral sama dengan sejumlah kualitas konstruktif dan kreatif yang juga tidak ingin kita hadapi (Jung, 1951/1959a).

Jung bersikeras bahwa sepenuhnya kita harus bertahan secara berkelanjutan untuk mengetahui bayangan kita dan ini merupakan pencarian dari ujian keberanian yang pertam a. Lebih mudah memproyeksikan sisi gelap kepribadian kita pada orang lain, dengan melihat kejelekan dan sifat jahat pada orang lain yang tidak ingin kita lihat pada diri sendiri. Untuk dapat menguasai kegelapan dalam diri kita adalah dengan mencapai “realisasi bayangan”. Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak pernah menyadari bayangan kita dan hanya mengidentifikasi sisi baik kepribadian kita. Orang yang tidak pernah menyadari bayangannya, tidak mempunyai kekuasaan dan mengarah pada kehidupan tragis dan secara terus-menerus berada dalam “peruntungan buruk” serta menuai kekalahan juga tidak mendapatkan dukungan untuk diri mereka sendiri (Jung, 1954/1959).

Dalam Memories, Dreams, Reflection, Jung (1961) menceritakan sebuah mimpi yang terjadi ketika ia mengalami perpecahan dengan Freud. Dalam mimpinya, bayangannya muncul sebagai seseorang yang jahat, berkulit coklat, membunuh seorang pahlawan, yaitu seorang pria bernama Siegfried yang muncul sebagai orang Jerman. Jung menginterpretasikan mimpi ini dengan makna bahwa ia tidak lagi membutuhkan Sig Freud (Siegfried) sehingga bayangannya menampilkan tugas konstruktif menghancurkan sosok pahlawannya terdahulu.

Teori Kepribadian

AnimaSeperti Freud, Jung juga percaya bahwa semua manusia secara psikologis bersifat biseksual dan memiliki sisi maskulin dan feminin. Sisi feminin seorang pria terbentuk dalam ketidaksadaran kolektif sebagai arketipe dan menetap di kesadaran. Beberapa pria dapat mengenali animanya. Tugas ini membutuhkan keberanian yang besar dan bahkan lebih sulit daripada menjadi lebih dekat dengan bayangannya. Untuk dapat menguasai anima, seorang pria harus melampaui batasan intelektualnya, jauh ke bagian terdalam ketidaksadarannya dan menyadari sisi feminin dari kepribadiannya.

Seperti yang dijelaskan di awal bab ini, Jung pertama kali menemukan animanya ketika perjalanannya menembus ketidaksadaran psikenya tidak lama setelah perpecahannya dengan Freud. Proses mendapatkan animanya merupakan ujian keberanian yang kedua. Seperti pria pada umumnya, Jung dapat mengenali animanya hanya setelah ia belajar untuk merasa nyaman dengan bayangannya (Jung, 1954/1959a, 1954/1959b).

Dalam Memories, Dreams, Reflections, Jung menggambarkan dengan jelas pengalamannya. Dipicu oleh “seorang wanita dari dalam dirinya”, Jung menyimpulkan bahwa:

Wanita itu pasti adalah “roh (soul) dalam perasaan primitif dan saya mulai berspekulasi dengan penalaran mengapa nama “anima” diberikan pada roh itu.Mengapa ia berpikir seperti feminin? Kemudian, saya melihat bahwa perasaan feminin figur ini memerankan peran yang tipikal atau arketipikal, peranan dalam ketidaksadaran akan pria, dan saya menyebutnya “anima”. Figur ketidaksadaran wanita disebut “animus” (him. 186).

Jung percaya bahwa anima berasal dari pengalaman seorang pria dengan wanita— ibu, kakak perempuan, dan kekasih—yang digabungkan untuk membentuk gambaran umum mengenai wanita. Dalam perjalanannya, konsep umum ini menjadi bagian dalam ketidaksadaran kolektif dalam semua pria sebagai arketipe anima. Sejak jaman prasejarah, setiap pria datang ke dunia ini dengan konsep awal seorang wanita yang membentuk dan memengaruhi setiap hubungannya dengan wanita. Setiap pria secara khusus memproyeksikan anima terhadap istri atau kekasihnya dan melihat mereka tidak seperti adanya mereka, tetapi sebagaimana ketidaksadaran personal dan kolektif sang pria membentuknya. Anima ini dapat menjadi sumber kesalahpahaman dalam hubungan pria-wanita dan juga merupakan faktor yang berperan dalam psike pria tentang seorang wanita yang memikat secara mistis (Hayman, 2001; Hillman, 1985).

Seorang pria bisa bermimpi mengenai wanita tanpa bayangan yang pasti dan identitas tertentu. Wanita yang dibayangkan itu tidak mewakili siapa pun pada pengalaman pria, tetapi masuk ke dalam mimpi dari kedalaman ketidaksadaran kolektifnya. Anima itu tidak selalu tampil dalam mimpi sebagai sosok wanita, tetapi bisa berupa perasaan atau mood (Jung, 1945/1953). Anima memengaruhi sisi perasaan pria dan merupakan penjelasan untuk perasaan-perasaan tertentu yang tidak masuk akal. Selama mengalami hal ini, seorang pria tidak pernah mengakui bahwa sisi feminin ini sedang menguasai dirinya. Ada kemungkinan pria itu akan mengacuhkan ketidakrasionalan perasaannya dan mencoba menjelaskan dengan rasional yang sangat maskulin. Pada kesempatan lain, ia menyangkal adanya arketipe yang bersifat otonomi, yaitu anima yang bertanggung jawab terhadap perasaannya itu.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | J 2 9

Kualitas penyamaran Anima ini dijabarkan oleh Jung (1961) dalam gambarannya mengenai “wanita dari dalam dirinya” yang berbicara padanya selama perjalanannya menuju ketidaksadaran ketika ia sedang memikirkan apakah pekerjaan yang sedang dilakukannya ini adalah sebuah ilmu pengetahuan.

Bagi saya, apa yang dikatakan anima sangat penuh dengan kelicikan yang mendalam.Jika saya mengambil fantasi ini sebagai seni ketidaksadaran, maka mereka hanya merupakan pembuktian yang tidak lebih dari sebuah persepsi visual, seperti saat saya sedang menonton film. Saya tidak merasakan kewajiban apapun terhadapnya. Anima akan dengan mudah menggoda saya bahwa saya adalah seorang artis yang salah paham, dan bahwa alam artistik memberikan saya hak untuk mengabaikan realitas.Jika saya mengikuti suaranya, maka ia mungkin akan mengatakan pada saya suatu hari nanti “Apakah kau berpikir semua omong kosong yang kau miliki ini adalah sebuah seni? Tidak sama sekali” Kemudian, sindiran anima itu sebagai awal dari ketidaksadaran, akan menghancurkan seorang pria (him. 187).

AnimusArketipe maskulin pada wanita disebut animus. Bila anima merepresentasikan m ood dan perasaan yang irasional, maka animus merupakan simbol dari proses berpikir dan bernalar. Animus mampu memengaruhi proses berpikir seorang wanita, yang sebenarnya tidak dimiliki oleh seorang wanita. Hal itu sebenarnya berasal dari ketidaksadaran kolektif yang bermula dari cerita hubungan prasejarah pria dan wanita. Dalam hubungan pria-wanita, seorang wanita memiliki risiko untuk memproyeksikan pengalaman antara leluhurnya dengan ayah, saudara laki-laki, dan anak laki-laki terhadap pria yang tidak diharapkan. Selain itu, tentu saja, pengalaman pribadinya dengan pria di masa lalu, yang terkubur dalam ketidaksadaran personal, memengaruhi hubungannya dengan pria. Gabungkan pengalaman-pengalaman tersebut dengan proyeksi dari anima pria dan gambaran dari ketidaksadaran personal pria, maka Anda mendapatkan hal-hal yang mendasari setiap hubungan pria-wanita.

Jung percaya bahwa animus bertanggung jawab dalam proses berpikir dan berpendapat seorang wanita, sama dengan anima yang menghasilkan perasaan dan m ood seorang pria. Animus juga merupakan penjelasan mengapa perempuan terkenal dengan proses berpikir yang irasional dan pendapatnya yang tidak logis. Menurut Jung, ada banyak pendapat wanita yang valid dan objektif. Pemikiran-pemikiran ini bukan merupakan hasil proses berpikir, namun sudah tersedia untuk digunakan. Bila seorang wanita lebih didominasi oleh animus, maka tidak ada pemikiran logis atau penampakan emosi yang mampu menggoyahkan kepercayaannya (Jung, 1951/1959a). Seperti anima, animus juga muncul dalam bentuk mimpi, penampakan, dan fantasi yang dilebih-lebihkan.

Great MotherIbu agung {great mother) dan orang tua bijak (the wise old man) adalah dua arketipe lain yang diturunkan dari anima dan animus. Setiap orang, baik pria maupun wanita memiliki arketipe great mother. Konsep yang sudah ada mengenai ibu ini selalu dikaitkan dengan perasaan

130 Teori Kepribadian

positif dan negatif. Contohnya, Jung (1954/1959c), mengungkapkan “ibu yang penuh cinta dan jahat” (him. 82). Great mother menampilkan dua dorongan yang berlawanan. Pada satu sisi, dorongan untuk kesuburan dan pengasuhan serta di sisi lain, kekuatan untuk menghancurkan. Arketipe ini mampu untuk menghasilkan dan mempertahankan sebuah kehidupan (kesuburan dan pengasuhan), namun ia juga bisa mengambil atau mengabaikan anak-anaknya (penghancuran). Perlu diingat bahwa Jung melihat ibunya sebagai orang yang mempunyai dua kepribadian—sebagai ibu yang penuh cinta dan mengayomi serta ibu yang menakutkan, konservatif, dan kejam.

Jung (1954/1959c) percaya bahwa pandangan kita mengenai sosok ibu yang penuh cinta, tetapi juga payah telah dinilai secara berlebihan. “Semua pengaruh yang dideskripsikan dan diaplikasikan kepada anak-anak tidak hanya datang dari si ibu sendiri, tetapi lebih kepada arketipe yang diproyeksikan kepada si ibu itu sendiri, yang pada akhirnya akan memberikan si ibu sebuah latar belakang mitos” (him. 83). Dengan kata lain, daya tarik yang kuat dari seorang ibu yang dirasakan, baik pada pria maupun wanita, sering kali muncul meskipun tidak ada hubungan personal di antara mereka. Inilah yang dianggap Jung sebagai bukti adanya arketipe great mother.

Dimensi kesuburan dan pengasuhan dari sebuah arketipe great mother disimbolkan dengan pepohonan, kebun, kebun bunga, laut, surga, rumah, negara, gereja, dan berbagai objek kosong, seperti oven dan peralatan memasak. Oleh karena great mother juga merupakan representasi dari kekuatan dan kehancuran, maka ia juga kerap disimbolkan sebagai Godmother, Tuhan Ibu (Mother o f God), ibu alam (mother nature), ibupertiwi (mother earth), ibu tiri, atau penyihir. Satu contoh yang mempertemukan antara dorongan kebaikan dan kehancuran adalah cerita Cinderella di mana ibu peri merupakan karakter Godmother yang menciptakan sebuah dunia untuk Cinderella. Dunia di mana terdapat kuda, kereta, pesta dansa, dan seorang pangeran tampan. Akan tetapi, ibu peri pun dapat menghancurkan dunia itu dalam seketika saat tengah malam tiba. Legenda, mitos, keyakinan beragama, seni, dan cerita sastra penuh dengan simbol great mother, yaitu seseorang yang memiliki, baik kebaikan maupun kehancuran dalam satu karakter.

Kesuburan dan kekuatan dikombinasikan untuk melahirkan sebuah konsep rebirth (kelahiran kembali), yang mungkin merupakan sebuah arketipe yang berbeda, tetapi hubungannya dengan great mother sudah sangat jelas. Rebirth dilambangkan dengan sebuah proses yang disebut dengan reinkarnasi, baptis, kebangkitan, dan individuasi atau realisasi diri. Manusia di seluruh dunia digerakkan oleh keinginan untuk dilahirkan kembali, dengan tujuan mencapai apa yang disebut dengan realisasi diri, surga, atau kesempurnaan (Jung, 1952/1956, 1954/1959c).

Wise Old ManOrang tua yang bijak (wise old man) merupakan sebuah arketipe dari kebijaksanaan dan keberartian yang menyimbolkan pengetahuan manusia akan misteri kehidupan. Arti dari arketipe ini, bagaimanapun, tidak disadari dan tidak dapat secara langsung dialami oleh seorang individu. Politisi dan orang lain yang berbicara dengan meyakinkan—walaupun

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis 131

kadang hal tersebut bukan hal yang jujur— kerap terdengar masuk akal dan bijak bagi orang lain yang secara sadar ingin dibohongi oleh persepsi mereka mengenai arketipe orang bijak. Hal yang serupa diperlihatkan oleh penyihir di Wizard of Oz di mana ia merupakan karakter yang sangat mengesankan dan menarik perhatian walaupun kata-kata yang diucapkannya kadang tidak memiliki makna. Seseorang yang didominasi oleh arketipe jenis ini mungkin akan memiliki banyak pengikut dengan menggunakan berbagai pendapat yang terdengar meyakinkan, tetapi sesungguhnya tidak berarti karena ketidaksadaran kolektif tidak dapat mengarahkan kebijakan pada individu tertentu. Pembawa pesan politik, agama, dan sosial yang tampil dengan berbagai argumentasi, seperti halnya dengan berbagai emosi (arketipe umumnya selalu terikat secara emosi) dipandu oleh arketipe ketidaksadaran ini. Bahaya bagi komunitas dan masyarakat akan timbul saat orang mulai terpengaruh oleh berbagai kebohongan dari pembawa pesan yang berpengaruh dan menyalahartikan kebijaksanaan dengan kebohongan. Perhatikan bahwa Jung melihat khotbah dari ayahnya yang seorang pastor sebagai sesuatu yang kosong dan tidak didasari oleh keyakinan yang kuat terhadap agamanya sendiri.

Di dalam mimpi, arketipe wise old man muncul dalam bentuk ayah, kakek, guru, filsuf, pembimbing spiritual, dokter, atau pendeta. Ia akan tampil dalam cerita dongeng sebagai seorang raja, penasihat yang bijak, atau penyihir yang akan datang menolong tokoh protagonis dan melalui kekuatan kebajikannya, ia akan membantu tokoh tersebut untuk keluar dari berbagai kesulitan dalam petualangannya. Orang bijak juga akan disimbolkan dengan kehidupan itu sendiri. Cerita literatur dipenuhi oleh kisah mengenai anak-anak muda yang pergi dari rumah kemudian pada akhirnya meraih kebijakan di akhir kisahnya (Jung, 1954/1959a).

PahlawanArketipe pahlawan (hero) direpresentasikan dalam mitologi dan legenda sebagai seseorang yang sangat kuat, bahkan terkadang merupakan bagian dari Tuhan, yang memerangi kejahatan dalam bentuk naga, monster, atau iblis. Pada akhirnya, seorang pahlawan kerap dikalahkan oleh seseorang atau sesuatu yang sepele (Jung, 1951, 1959b). Sebagai contoh, Achilles, seorang tokoh besar dalam Perang Trojan (Trojan War) terbunuh karena sebuah panah yang menancap di bagian tubuh yang merupakan satu-satunya letak kelemahannya, yaitu di tumitnya. Hal yang serupa juga dialami oleh Macbeth, seorang figur pahlawan dengan sebuah kelemahan, yaitu ambisi. Ambisinya itu pula yang membuatnya meraih kejayaan, sekaligus berperan besar dalam kejatuhannya. Kisah kepahlawanan hanya bisa diperankan oleh seseorang yang mudah dikalahkan, seperti Achilles atau Superman (karakter dari komik). Superman hanya memiliki satu kelemahan, yaitu pada elemen kimia Kriptonit. Orang yang tidak bisa mati atau yang tidak memiliki kelemahan tidak akan pernah bisa menjadi seorang pahlawan.

Gambaran tentang pahlawan sangat menyentuh diri kita semua, seperti diperlihatkan ketertarikan kita pada karakter pahlawan di film, komik, drama, dan program TV. Saat pahlawan yang tampil mengalahkan karakter jahat, mereka membebaskan kita dari perasaan tidak berdaya dan kesengsaraan. Pada saat yang sama, mereka juga menjadi model kepribadian yang ideal bagi kita (Jung, 1934/1954a).

132 Teori Kepribadian

Asal muasal pahlawan bemula dari masa awal sejarah manusia hingga timbulnya kesadaran. Ketika mengalahkan seorang karakter jahat, seorang pahlawan secara simbolis mengatasi masalah ketidaksadaran pramanusia. Pencapaian dari kesadaran merupakan satu dari sekian asal-usul pencapaian yang besar dan arketipe mengenai seorang pahlawan yang memenangi pertempuran merepresentasikan kemenangan dalam mengatasi kegelapan atau masalah (Jung, 1951, 1959b).

Arketipe seorang pahlawan memiliki kelemahan. Superman, kelemahannya adalah Kriptonit.

DiriJung memercayai bahwa setiap orang memiliki kecenderungan, untuk bergerak menuju perubahan, kesempurnaan, dan kelengkapan, yang diwarisi. Ia menyebut disposisi bawaan ini sebagai diri (self). Sebuah arketipe yang paling komprehensif dibandingkan arketipe lainnya. Diri merupakan arketipe dari banyak arketipe karena sifatnya yang menarik arketipe jenis lain dan menyatukan kesemuanya dalam sebuah realisasi diri (self realization). Seperti arketipe lainnya, arketipe ini memiliki komponen kesadaran dan personal, tetapi itu semua sebagian besar dibentuk oleh gambaran-gambaran ketidaksadaran kolektif.

Sebagai sebuah arketipe, diri disimbolkan sebagai ide seseorang akan kesempurnaan, keutuhan, dan kelengkapan. Akan tetapi, simbol yang utuh dari semua itu adalah sebuah mandala yang diperlihatkan sebagai sebuah lingkaran dalam sebuah persegi, sebuah persegi dalam lingkaran, atau bentuk konsentris lainnya. Kesemuanya melambangkan adanya ketidaksadaran kolektif antara kesatuan, keseimbangan, dan keutuhan.

Diri meliputi gambaran ketidaksadaran personal dan kolektif. Dengan demikian, tidak dapat disalahartikan sebagai ego, yang hanya melambangkan kesadaran semata.

t

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis

Pada Figur 4.1 kesadaran (ego) direpresentasikan sebagai lingkaran luar dan hanya merupakan bagian kecil dari kepribadian secara keseluruhan; kesadaran personal digambarkan pada lingkaran di tengah; ketidaksadaran kolektif digambarkan sebagai lingkaran ^alam. Keseluruhan dari tiga simbol itu melambangkan diri. Hanya empat jenis arketipe yang digambarkan dalam m an dala ini—p erson a , shadow , an im us , serta an im a— dan masing-masing digambarkan secara ideal dalam ukuran yang sama besar. Bagi kebanyakan orang, person a lebih terlihat sadar jika dibanding dengan shadow , dan shadow akan lebih Figur 4.1, setiap arketipe digambarkan separuh kesadaran, separuh ketidaksadaran personal, dan separuh ketidaksadaran kolektif.

Keseimbangan yang ditunjukkan oleh gambar tersebut antara ketidaksadaran dan diri secara keseluruhan tampak sangat idealistis. Banyak orang dengan ketidaksadaran yang berlimpah dan kekurangan kepribadian “soul sparck”, gagal menyadari kekayaan dan vitalitas dari ketidaksadaran personal dan terutama ketidaksadaran kolektif mereka.

Di lain pihak, orang-orang dengan kesadaran yang terlalu tinggi kerap kali patologis, dengan satu sisi kepribadian (Jung, 1951/1959a)

FIGUR 4.1 Konsep Jung Mengenai Kepribadian.

Walaupun diri tidak pernah mencapai keseimbangan yang sempurna, setiap orang dalam ketidaksadaran kolektifnya memiliki sebuah konsep tentang diri yang sempurna dan terpadu. Mandala merepresentasikan sebuah diri yang sempurna, susunan arketipe,

I

kesatuan, dan keutuhan. Oleh karena realisasi diri meliputi keseluruhan dan keutuhan, maka hal tersebut merepresentasikan simbol yang sama dari kesempurnaan (mandala) yang mengindikasikan spiritualisme. Dalam ketidaksadaran kolektif, diri muncul sebagai kepribadian yang ideal, terkadang dalam bentuk Yesus Kristus, Budha, Khrisna, atau bentuk figur lainnya.

Jung menemukan sebuah bukti adanya arketipe diri dalam simbol di mandala yang mucul dalam mimpi dan fantasi orang-orang kontemporer yang tidak pernah menyadari keberadaan dan artinya. Secara historis, orang memproduksi banyak mandala tanpa menunjukkan pengertian yang mendalam tentang arti sesungguhnya. Jung (1951/1959a) percaya bahwa pasien psikotik mengalami kenaikan jumlah motif mandala dalam mimpi- mimpinya pada waktu tertentu, yang mereka alami pada kurun waktu gangguan kejiwaan. Ia juga percaya hal ini merupakan bukti lebih lanjut bahwa orang akan berusaha mencapai keseimbangan dan keteraturan. Seolah-olah simbol ketidaksadaran terhadap keteraturan akan menstabilkan manifestasi gangguan kesadaran.

Ringkasnya, diri terdiri atas kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, dan bahwa hal tersebut menyatukan elemen-elemen yang saling bertentangan dari psike—kekuatan pria-wanita, kebaikan dan kejahatan, serta terang dan gelap. Elemen-elemen yang saling bertentangan tersebut kerap kali direpresentasikan dengan sebuah simbol yin dan yang (lihat Figur 4.2) di mana diri biasanya disimbolkan dengan mandala. Motif ini berarti kesatuan, totalitas, dan keteraturan yang merujuk pada realisasi diri. Realisasi diri yang utuh jarang dicapai, tetapi sebagai kondisi ideal hal tersebut akan eksis di dalam ketidaksadaran kolektif dalam diri semua orang. Untuk mengaktualisasikan atau mengalami keseluruhan diri, orang harus dapat mengatasi ketakutan akan ketidaksadaran, melindungi persona mereka dari kepribadian yang mendominasi, mengenali sisi hitam dari dirinya sendiri (bayangan mereka), dan bahkan mengumpulkan keberanian untuk menghadapi anima atau animus.

134 Teori Kepribadian

FIGUR 4.2 Yin dan Yang.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | 1 3 5

Pada satu kesempatan saat Jung mengalami krisis paruh baya, ia bahkan mendapatkan visi di mana ia dikonfrontasikan dengan seorang tua berjanggut yang tinggal dengan seorang wanita muda yang cantik dan sebuah ular hitam yang besar. Orang tua itu menjelaskan bahwa ia adalah Elijah dan wanita muda yang bersamanya adalah Salome, keduanya adalah figur yang ada dalam Injil. Elijah memiliki inteligensi yang tajam walaupun Jung tidak terlalu yakin dengannya. Salome memberikan Jung perasaan curiga, sedangkan ular menunjukkan kesukaan yang amat sangat terhadap Jung. Pada saat ia mengalami visi seperti itu, Jung tidak dapat memahami artinya, tetapi beberapa tahun kemudian, ia dapat melihat tiga sosok tersebut sebagai figur dalam arketipe. Elijah merepresentasikan wise old man, yang tampak bijaksana, tetapi tidak masuk akal. Salome merepresentasikan figur anim a yang cantik dan menarik, tetapi tidak dapat mengambil hikmah dari suatu hal. Terakhir, sang ular merepresentasikan kebalikan dari tokoh pahlawan (hero) yang menunjukkan kesukaan terhadap Jung, pahlawan dalam visinya. Jung (1961) percaya bahwa ia harus mengidentifikasikan semua gambaran ketidaksadaran ini agar dapat mengatur identitasnya sendiri dan tidak kehilangan dirinya pada kekuatan ketidaksadaran kolektif. Kemudian, ia menulis:

Hal penting yang harus diingat adalah membedakan seseorang dari konten ketidaksadaran yang mempersonifikasikan mereka dan pada saat yang sama membawa mereka dalam sebuah hubungan pada kesadaran. Ini merupakan sebuah teknik untuk melucuti kekuatan mereka. Tidak terlalu sulit untuk mempersonifikasikan mereka karena mereka memiliki derajat otonomi tertentu yang terpisah dari identitas asli mereka. Otonomi tersebut merupakan hal yang paling tidak nyaman untuk dilakukan oleh seseorang. Walaupun begitu, fakta bahwa ketidaksadaran menunjukkan penampakannya dengan nyata membuat kita menemukan cara yang paling nyata untuk mengatasinya (him. 187).

Dinamika KepribadianPada bagian ini, kita akan melihat ide Jung tentang kausalitas dan teleologi serta progresi dan

regresi

Kausalitas dan TeleologiApakah motivasi lahir dari akibat masa lalu atau akibat dari tujuan yang bersifat teleologi? Jung bersikeras bahwa hal itu berasal dari keduanya. Kausalitas menyatakan bahwa masa kini menyajikan kondisi pada saat ini dan dalam pengalaman yang asli. Freud sangat bersandar pada penjelasannya bahwa sikap orang dewasa bergantung pada pengalaman masa kecilnya (lihat Bab 2). Jung mengkritisi pendapat ini dan mengatakan bahwa Freud bergantung pada satu sisi saja, yaitu kausalitas dan bersikeras bahwa pandangan kausal tidak dapat menjelaskan seluruh motivasi. Sebaliknya, teleologi menyatakan bahwa kejadian masa kini dimotivasi oleh tujuan dan aspirasi akan masa depan yang secara langsung menentukan nasib seseorang. Adler juga berpendapat mengenai hal ini dan bersikeras bahwa orang- orang termotivasi oleh persepsi kesadaran dan ketidaksadaran dari tujuan akhir fiktif (lihat

Teori Kepribadian

Bab 3). Jung tidak sekeras Adler dalam masalah ini, tetapi Jung mengatakan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh kedua faktor kekuatan kausal serta teleologi dan bahwa penjelasan kausal haruslah seimbang dengan penjelasan teleologi.

Pendapat Jung pada keseimbangan terlihat dari konsepnya tentang mimpi. Ia setuju dengan Freud bahwa kebanyakan mimpi dilahirkan akibat kejadian masa lalu dan itu dikarenakan pengalaman sebelumnya. Di lain pihak, Jung mengklaim bahwa beberapa mimpi dapat membantu seseorang untk menentukan arah masa depannya, seperti mimpi mengambil penemuan yang penting dalam bidang pengetahuan alam yang akan membantunya menentukan kariernya di kemudian hari.

Progresi dan RegresiUntuk mencapai realisasi diri, orang harus mengadaptasi tidak hanya lingkungan luar mereka, tetapi juga dunia dalam diri mereka sendiri. Adaptasi kepada dunia luar meliputi aliran keluar dari energi psikis yang disebut dengan progresi, sedangkan adaptasi ke dalam bergantung pada energi yang berlawanan arahnya yang disebut dengan regresi. Kedua hal tersebut sangat penting bagi manusia jika mereka ingin mencapai tingkat perkembangan individu dan realisasi diri.

Progresi akan membuat manusia bereaksi secara konsisten terhadap kondisi lingkungan tertentu, sedangkan regresi adalah suatu langkah mundur yang diperlukan dalam sebuah perjalanan menuju kesuksesan. Regresi mengaktifkan psikis ketidaksadaran, sebuah alat penting untuk mencari solusi bagi semua masalah. Jika berdiri sendiri, baik progresi ataupun regresi, maka tidak ada yang dapat bergerak menuju pembangunan diri. Masing-masing dapat menjadi terlalu berpengaruh sehingga akan berakibat kegagalan dalam proses adaptasi. Akan tetapi, jika keduanya bersatu, maka keduanya dapat bekerja sama mengaktifkan proses pengembangan kepribadian yang sehat (Jung, 1928/1960).

Regresi dapat dilihat dalam krisis paruh baya yang dialami Jung, masa di mana kondisi psikisnya berbalik menuju ketidaksadaran dan menjauh dari pencapaian yang signifikan. Jung menghabiskan sebagian besar waktunya bergulat dengan ketidaksadaran psikisnya dan sedikit sekali meluangkan waktu untuk menulis atau mengajar (memberikan kuliah). Regresi mendominasi hidupnya pada saat progresi hampir mendekati titik nadir. Setelah itu, Jung bergerak dari periode ini menuju keseimbangan psikis dan sekali lagi ia menjadi tertarik dengan dunia luar. Akan tetapi, pengalaman regresifnya dengan dunia dalam (introverted world) telah membekas secara permanen dan membuatnya berubah. Jung (1961) percaya bahwa langkah regresif diperlukan untuk menciptakan kepribadian yang seimbang dan untuk menumbuhkan proses realisasi diri.

Tipe PsikologisSelain tingkatan psikis dan kepribadian yang dinamis, Jung mengenali berbagai jenis psikologis yang menumbuhkan kesatuan dari dua sikap dasar—introversi dan ekstroversi— serta empat fungsi yang terpisah—berpikir (thinking), merasakan dengan indra (feeling), merasakan dengan hati (sensing), dan intuisi (intuition).

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | 1 3 7

SikapJung (1921/1971) mendefinisikan sikap (attitude) sebagai suatu kecenderungan untuk beraksi atau bereaksi dalam sebuah arah karakter. Ia bersikeras bahwa setiap orang memiliki kedua sisi sikap ekstrover dan introver, walaupun hanya satu yang dapat aktif pada saat satu sikap lainnya tidak aktif. Seperti kekuatan psikologi analitis lainnya, introversi dan ekstroversi menyumbangkan hubungan satu dengan lainnya yang dapat diilustrasikan dengan motif yin dan yang (Figur 4.2).

IntroversiMenurut Jung, introversi adalah aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki orientasi subjektif. Introver memiliki pemahaman yang baik terhadap dunia dalam diri mereka, dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang bersifat individu. Orang-orang ini akan menerima dunia luar dengan sangat selektif dan dengan pandangan subjektif mereka (Jung, 1921/1971).

Cerita mengenai Jung menunjukkan adanya dua tahapan yang terjadi saat introversi menjadi sikap yang dominan. Tahapan pertama terjadi saat remaja, pada saat ia baru memahami tentang kepribadiannya yang lain, yang berada diluar kepribadian ekstrovernya. Sedangkan tahapan kedua, terjadi saat Jung menghadapi konfrontasi pada krisis paruh baya dengan ketidaksadarannya sendiri, yaitu saat ia mengalami percakapan dengan anima, mengalami mimpi-mimpi yang aneh, dan mendapatkan visi tentang psikosis yang tidak dapat ia jelaskan (Jung, 1961 him. 188). Dalam tahap krisis introver tersebut, fantasi yang dimilikinya menjadi sangat personal dan subjektif. Orang lain, termasuk istrinya tidak dapat memahami apa yang sedang ia lalui. Mungkin hanya Toni Wolff yang dapat membantunya keluar dari konfrontasi yang ia alami dengan ketidaksadarannya sendiri. Dalam konfrontasi tersebut, Jung mengabaikan sebagian besar sikap ekstrovernya. Ia berhenti mengurus pasiennya, berhenti dari pekerjaannya sebagai pengajar di University of Zurich, mengabaikan tulisan-tulisannya, dan selama tiga tahun berikutnya, ia mendapati dirinya tidak mampu membaca buku buku sains (him. 193). Jung sedang dalam proses menemukan kutub introversi dari keberadaan dirinya.

Perjalanan Jung untuk menemukan hal tersebut, bagaimanapun, tidak seluruhnya introver. Ia mengetahui bahwa ia mengambil risiko terbelenggu oleh dunia introvernya sendiri kecuali ia tetap berpegangan pada sisi ekstrovernya. Oleh karena takut akan menjadi psikotik, maka ia memaksa dirinya untuk melanjutkan hidup senormal mungkin dengan keluarganya dan profesinya. Dengan cara ini, secara perlahan, Jung dapat keluar dari perjalanannya ke dunia dalamnya dan berhasil membangun keseimbangan antara dunia introver dan ekstrovernya.

EkstraversiKontras dengan introversi, ekstraversi adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektif. Ekstrover akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh sekelilingnya

138 Teori Kepribadian

dibanding oleh kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung untuk berfokus pada sikap objektif dan menekan sisi subjektifnya. Kepribadian Jung yang pertama saat kanak-kanak adalah sesuatu yang pragmatis dan tertanam dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang bersamaan, mereka juga terlalu curiga dengan sikap subjektif, apakah itu sikap subjektif orang lain atau dirinya sendiri.

Kesimpulannya, orang tidak ada yang seluruhnya introver atau seluruhnya ekstrover. Orang-orangintrover dapat diibaratkansebagaikondisijungkat-janglcityangtidaksetimbang (lihat Figur 4.3.A). Di lain pihak, orang-orang ekstrover mengalami ketidakseimbangan di sisi lainnya (lihat Figur 4.3.B). Bagaimanapun, orang yang sehat secara psikologis akan mendapati dirinya berada dalam keseimbangan dari dua jenis sikap ini dan merasa nyaman dengan dunia internal dan eksternalnya (lihat Figur 4.3 C).

Introver Ekstrover

A

B

C

FIGUR 4.3 Keseimbangan antara Introver dan Ekstrover.

Pada Bab 3, disebutkan bahwa Adler mengembangkan teori tentang kepribadian yang dapat dikatakan berseberangan dengan Freud. Di manakah teori Jung berada di antara teori yang dikemukakan kedua orang ini? Jung (1921/1971) mengatakan bahwa pandangan Freud sangat ekstrover dan Adler introver (him. 62). Dari biografi Freud dan Adler, kita dapat melihat bahwa kedua kubu yang berlawanan ini adalah benar. Freud secara personal lebih introver, sejalan dengan mimpi-mimpi dan kehidupan fantasinya. Sementara itu, Adler

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis

secara personal lebih ekstrover. Adler memiliki perasaan lebih nyaman jika berada di dalam sebuah kelompok, bernyanyi, dan memainkan piano di kedai kopi di Wina. Kemudian, Jung berpendapat bahwa teori Freud tergolong ekstrover karena teorinya mengarah pada pengurangan pengalaman di dunia seks dan agresi. Berlawanan dengan teori Freud, Jung percaya bahwa teori Adler lebih introver karena teorinya menitikberatkan fiksi dan persepsi subjektif. Bagaimanapun juga, Jung melihat teorinya sendiri berada dalam keseimbangan dan melihat bahwa teorinya mampu menerima kedua sisi tersebut, baik secara subjektif

maupun objektif.

FungsiKedua sisi introversi dan ekstroversi dapat dikombinasikan dengan satu atau lebih dari empat fungsi dan membentuk delapan kemungkinan orientasi atau jenis. Empat fungsi tersebut—sensing, thinking, feeling , dan intuiting— dapat dideskripsikan sebagai berikut: Sensing membuat orang dapat menjelaskan bahwa sesuatu itu benar-benar ada, thinking membuat kita dapat mengerti arti sesuatu, feeling membuat manusia mengerti nilai atau seberapa berharganya sesuatu, serta intuition dapat membuat manusia mengetahui sesuatu

tanpa mengetahui bagaimana caranya.

ThinkingAktivitas intelektual logika dapat memproduksi serangkaian ide yang disebut dengan berpikir (thinking). Jenis-jenis thinking dapat dikatakan ekstrover atau introver, bergantung

pada sikap seseorang.

Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir ekstrover sangat bergantung pada pemikiran yang nyata, tetapi mereka juga menggunakan ide abstrak jika ide tersebut dapat ditransmisikan kepada mereka secara langsung, contohnya dari guru atau orang tua. Ahli matematika dan insinyur menggunakan tipe pemikiran seperti ini. Demikian pula dengan

akuntan karena mereka harus sangat objektif saat berhubungan dengan angka. Bagaimanapun, tidak semua pemikiran objektif tergolong produktif. Tanpa interpretasi dari beberapa individu, ide dapat dikatakan fakta tanpa keaslian atau kreativitas (Jung, 1921/1971).

Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir introver bereaksi terhadap rangsangan eksternal, tetapi interpretasi mereka terhadap suatu kejadian lebih diwarnai oleh pemaknaan internal yang mereka bawa dalam dirinya sendiri dibanding dengan fakta objektif yang ada. Penemu dan filsuf adalah contoh profesi yang menggunakan cara berpikir introver karena mereka bereaksi terhadap dunia eksternal dalam sikap yang sangat subjektif juga kreatif dan menginterpretasikan data lama dengan cara yang baru. Saat mereka terbawa dalam situasi yang ekstrem, mereka akan terbawa dalam pemikiran mistis yang tidak produktif dan sangat individualistis sehingga mereka menjadi tidak berguna bagi orang lain (Jung, 1921/1971).

FeelingJung menggunakan kata perasaan (feeling) untuk mendeskripsikan proses evaluasi sebuah ide atau kejadian. Mungkin kata yang lebih tepat adalah pem berian nilai (valuing), sebuah

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis

interpretasi mereka akan rangsangan sensing dibanding dengan rangsangan itu sendiri. Pelukis, terutama yang gambarannya dipersonalisasi, bergantung pada sikap sensing introver. Mereka memberikan interpretasi subjektif kepada sebuah objek fenomenal, tetapi disaat yang bersamaan juga mampu mengomunikasikan maknanya kepada orang lain. Saat sikap sensing subjektif terbawa secara ekstrem, bagaimanapun, hal ini dapat mengakibatkan halusinasi atau ketidakmampuan berbicara (Jung, 1921/1971).

IntuisiIntuisi (intuition) meliputi persepsi yang berada jauh di luar sistem kesadaran. Seperti sensing, intuisi berdasarkan persepsi dari fakta mutlakyang mendasar, sesuatu yang disediakan secara natural untuk berpikir dan merasa. Intuisi berbeda dari sensing karena intuisi lebih kreatif dan kerap menambahkan atau mengurangi elemen dari sensasi kesadaran.

Orang-orang dengan intuisi extravert selalu berorientasi pada fakta dalam dunia eksternal. Dibanding melakukan sensing secara keseluruhan, mereka lebih suka mengidentifikasi fakta secara subliminal. Oleh karena rangsangan sensori yang kuat kerap mengintervensi intuisi, maka orang yang intuitif menekan sensasi mereka dan dipandu oleh firasat dan perkiraan yang kontras jika dibandingkan dengan data dari indra. Sebuah contoh dari ekstrover yang intuitif adalah para penemu yang harus mencegah terjadinya distraksi data sensori (indra) dan berkonsentrasi pada solusi nyata untuk masalah objektif. Mereka dapat menciptakan benda yang dapat memenuhi kebutuhan sebagian kecil orang yang menyadari bahwa benda

tersebut benar-benar ada.

Orang-orang dengan intuisi introver dipandu oleh persepsi ketidaksadaran terhadap fakta yang umumnya subjektif dan memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kesamaan dengan kenyataan eksternal. Persepsi subjektif intuisi mereka kerap digambarkan sangat kuat dan mampu memotivasi pengambilan keputusan dalam momen yang besar. Orang-orang introver yang intuitif, seperti mistis, nabi, seniman surealis, atau para fanatik agamis, kerap digambarkan sebagai orang aneh dibanding dengan orang lain yang sedikit sekali mengerti tentang motivasi mereka. Sesungguhnya, Jung (1921/1971) percaya bahwa orang introver intuitif mungkin tidak mengerti motivasi mereka sendiri dengan jelas, meskipun demikian mereka sangat terbawa oleh intuisi mereka (lihat Tabel 4.1 untuk delapan jenis Jungian dengan masing-masing contohnya).

Empat fungsi biasanya tampil dalam urutan hierarki, dengan satu fungsi menempati posisi superior, lainnya menjadi posisi kedua, dan dua lainnya menjadi posisi inferior Banyak orang memperlihatkan hanya satu fungsi saja sehingga mereka secara karakteristik mendekati sebuah situasi yang bergantung pada satu dominan fungsi (fungsi superior). Beberapa orang mengembangkan dua fungsi dan sedikit orang yang sangat dewasa memiliki t.ga fungsi Seseorang yang secara teori memiliki realisasi diri yang tinggi atau individuasi akan memiliki empat fungsi yang terbangun dengan baik.

Teori Kepribadian

1 TABEL 4.1

Berbagai Contoh dari Delapan Jenis Jungian

Fungsi Sikap

Introversi EkstraversiThinking Filsuf, ilmuwan teoretis, beberapa Peneliti, akuntan, matematikawan

penemuFeeling Kritikus film yang subjektif, Pengamat real estate, kritikus film

pemerhati seni yang objektifSensation Seniman, musisi klasik Pencicip anggur (wine), pembaca,

musisi terkenal, pengecat rumahIntuition Nabi, mistis, fanatik yang religius Beberapa penemu, reformis yang

religius

Perkembangan KepribadianJung percaya bahwa kepribadian berkembang melalui serangkaian tahap yang berujung pada sebuah keutuhan pribadi atau realisasi diri. Berlawanan dengan Freud, Jung menggarisbawahi tahap kedua dari kehidupan, yaitu periode usia 35 atau 40-an saat

seseorangmemilikikesempatanuntukmembawaseluruhaspekkepribadiansecarabersama- sama untuk mencapai tahap realisasi diri. Bagaimanapun, kesempatan untuk degenerasi atau mengalami reaksi kaku juga hadir pada waktu tersebut. Faktor kesehatan psikologis seseorang sangat bergantung pada kemampuannya dalam mencapai keseimbangan antara berbagai kutub proses yang saling berlawanan. Kemampuan ini proporsional dengan pencapaian sukses dalam perjalanan melewati berbagai tahapan kehidupan.

Tahap PerkembanganJung mengategorikan perkembangan menjadi empat periode utama, yaitu masa kanak-kanak, masa muda, masa pertengahan (paruh baya), dan masa tua (lanjut usia). Ia membandingkan perjalanan setiap tahapan itu dengan perjalanan ke matahari melewati langit, dengan kecerahan matahari diibaratkan sebagai faktor kesadaran. Matahari saat fajar diibaratkan sebagai masa kanak-kanak, penuh dengan potensi, tetapi masih belum memahami apa arti sebuah kesadaran. Matahari pagi diibaratkan masa muda. baru saja beranjak dari horison dan tidak mengetahui apapun yang akan terjadi di masa depan. Matahari menjelang tengah har, diibaratkan sebagai masa pertengahan, bersinar penuh, tetapi sudah mengetahui bahwa la akan tenggelam sore nanti. Matahari sore adalah manusia di masa tuanya yang bahwa sebentar lagi akan ada waktunya untuk tenggelam (Figur 4.4). )ung <1931/1960a) berargumentasi bahwa nUai, pandangan, dan cara berperilaku yang sesua! dengan keh.dupan di pagi hari, tidak akan sesuai untuk paruh kedua, dan orang harus belajar untuk menemu an

maksud dan tujuan hidup seiring terus berkurangnya usia mereka.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | 143

FIGUR 4.4 Jung Membandittgkan Tahap Kehidupan dengan Perjalanan Matahari Melewati Langit, di mana Sinar Matahari Merepresentasikan Kesadaran.

Masa Kanak-kanakJung membagi periode ini menjadi tiga bagian, yaitu (1) anarkis, (2) monarkis, dan (3) dualistis. Fase Anarkis dikarakterisasikan dengan banyaknya kesadaran yang kacau dan sporadis. “Pulau-pulau kesadaran” mungkin akan tampak, tetapi sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali hubungan di antara pulau-pulau kecil ini. Pengalaman pada fase anarkis terkadang masuk ke kesadaran sebagai gambaran yang primitif yang tidak mampu

digambarkan secara akurat.

Fase monarkis dari usia ini dikarakterisasikan dengan perkembangan ego dan mulainya masa berpikir secara logis dan verbal. Pada kurun waktu ini, anak-anak akan melihat dirinya sendiri secara objektif dan kerap mendeskripsikan diri mereka sebagai orang ketiga. “Pulau- pulau kesadaran” akan berkembang semakin besar, lebih banyak, dan lebih dihuni oleh ego primitif, walaupun ego dipersepsikan sebagai objek dan belum disadari sebagai penerima.

Ego sebagai penerima mulai tumbuh dalam fa se dualistis pada saat ego terbagi menjadi objektif dan subjektif. Sekarang, anak-anak menyadari dirinya sendiri sebagai orang pertama dan mulai sadar akan eksistensinya sebagai individu yang terpisah. Selama masa tersebut, “Pulau-pulau kesadaran” menjadi sebuah pulau yang menyatu dan dihuni oleh ego kompleks yang menyadari dirinya sebagai objek dan subjek (Jung, 1931/1960a)

Masa MudaPeriode yang ditandai dari pubertas sampai dengan masa pertengahan (paruh baya) disebutdengan masa muda (youth). Anak muda mencoba bertahan untuk mencapai kebebasan fisikdan psikis dari orang tuanya, mendapatkan pasangan, membangun keluarga, dan mencaritempat di dunia ini. Menurut Jung (1931/1960a), masa muda seharusnya menjadi periodeketika aktivitas meningkat, mencapai kematangan seksual, menumbuhkan kesadaran, danpengenalan bahwa dunia di mana tidak ada masalah, seperti pada waktu kanak-kanak sudahtidak ada lagi. Kesulitan utama yang dialami anak-anak muda adalah bagaimana merekabisa mengatasi kecenderungan alami (juga dialami pada masa pertengahan dan usia lanjut)untuk menyadari perbedaan yang teramat tipis antara masa muda dengan kanak-kanakyaitu dengan menghindari masalah yang relevan pada masanya. Keinginan ini disebut dengan prinsip konservatif.

Teori Kepribadian

Seseorang yang berada di paruh baya atau lanjut usia yang berupaya untuk memegang nilai-nilai masa mudanya akan mengalami ketidakmampuan dalam menghadapi tahapan hidup setelahnya, dianggap tidak mampu dalam kapasitas mencapai realisasi diri, dan merusak kemampuannya dalam membangun tujuan baru serta mencari arti kehidupan (Jung, 1931/1960a).

Masa pertengahan (paruh baya)Jung percaya bahwa masa pertengahan atau paruh baya (middle life) berawal di usia 35-40 tahun, pada saat matahari telah melewati tengah hari dan mulai berjalan menuju terbenam. Walaupun penurunan ini dapat menyebabkan sejumlah orang di usia ini meningkat kecemasannya, tetapi fase ini juga merupakan sebuah fase yang potensial.

Jika orang di masa pertengahan dapat memegang teguh nilai moral dan sosial pada masa kecilnya, maka mereka dapat menjadi kokoh dan fanatik dalam menjaga ketertarikan fisik dan kemampuannya. Dalam usahanya menemukan idealisme, mereka akan berjuang keras untuk menjaga penampilan dan gaya hidup masa mudanya. Menurut Jung (193l/1960a), kebanyakan dari kita tidak siap untuk” mengambil langkah menuju masa atau fase berikutnya. Bahkan, lebih buruk lagi, kita mengambil langkah tersebut dengan asumsi yang salah bahwa keyakinan dan idealisme kita akan terus ada sampai saat in i.... Kita tidak dapat hidup di fase berikutnya (masa senja) dengan mengandalkan kehidupan kita di masa muda karena segala sesuatu yang tampak baik di masa muda, tidak akan terlihat baik di masa tua, dan apa yang dianggap benar di masa muda akan menjadi kebohongan di masa tua” (him. 399).

Bagaimana masa pertengahan dapat kita jalani dengan sepenuhnya? Orang yang telah hidup pada masa mudanya tanpa bersikap kekanak-kanakan atau dengan nilai-nilai masa pertengahan akan lebih siap untuk hidup di fase ini. Mereka akan mampu memberikan tujuan ekstrovernya di masa muda dan bergerak menuju kesadaran introver yang berkembang. Kesehatan psikologis mereka tidak dipengaruhi oleh sukses dalam bisnis, prestise dalam lingkungan, atau kepuasan dalam kehidupan keluarga. Mereka harus menatap ke depan dengan harapan dan antisipasi, menyerahkan gaya hidup masa muda, dan menemukan arti baru dalam masa pertengahan. Langkah ini sering kali, tetapi tidak selalu, meliputi orientasi beragama yang dewasa, terutama kepercayaan akan kehidupan setelah kematian (Jung,

1931/1960a).

Masa TuaPada saat masa tua (old age) atau lanjut usia menjelang, orang akan mengalami penurunan kesadaran, seperti pada saat matahari berkurang sinarnya di waktu senja. Jika orang merasa ketakutan dengan kehidupan di fase sebelumnya, maka hampir bisa dipastikan mereka akan takut dengan kematian pada fase hidup berikutnya. Takut akan kematian sering disebut sebagai proses yang normal, tetapi Jung percaya bahwa kematian adalah tujuan dan kehidupan dan hidup hanya bisa terpenuhi saat kematian terlihat. Pada tahun 1934 saat

berusia 60 tahun, Jung menulis:

Biasanya kita berpegangan pada m asa lalu kita M enjadi tua bukanlah hal yang populer. T idak

dan bertahan dengan ilusi m asa muda. ada yang m em ikirkan kem ungkinan

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis J

bahwa tidak bisa menjadi tua adalah sama tidak mungkinnya dengan menahan perkembangan sepatu anak-anak. Seorang anak muda yang tidak berjuang dan menaklukkan, akan kehilangan bagian terbaik dari masa mudanya, dan seorang tua yang tidak tahu bagaimana cara mendengarkan cerita dari sebuah cerita saat mereka mulai jatuh dari kejayaan, akan dianggap tidak masuk akal. Ia akan menjadi mumi spiritual yang tidak akan menjadi seseorang kecuali menjadi tonggak masa lalu saja (Jung, 1934/1969, him. 407).

Banyak pasien Jung berasal dari masa pertengahan (paruh baya) atau lebih tua lagi dan banyak di antara mereka yang menderita akibat terlalu berorientasi masa lalu, susah payah bergantung pada gaya hidup dan tujuan masa lalu, serta menjalani alur hidup tanpa tujuan yang jelas. Jung merawat orang-orang ini dengan membantu mereka membangun tujuan dan arti hidup baru dalam kehidupannya, dengan mempelajari arti kematian. Ia mendapatkan cara perawatan ini lewat sebuah interpretasi mimpi karena impian dari orang-orang berusia lanjut terkadang penuh dengan simbol kelahiran kembali, seperti perjalanan jauh atau perubahan lokasi. Jung menggunakan semua ini dan simbol-simbol yang menjelaskan ketidaksadaran pasiennya terhadap kematian dan membantu mereka untuk menemukan filosofi kehidupan yang berarti (Jung, 1934/1960).

Realisasi DiriKelahiran kembali psikologis atau terkadang disebut dengan realisasi diri atau individuasi adalah proses untuk menjadi seseorang atau seseorang secara utuh (Jung, 1939/1959, 1945/1953). Psikologi analitis sesungguhnya adalah psikologi kebalikan dan realisasi diri merupakan sebuah proses penyatuan kedua kutub menjadi sebuah individu yang homogen. Proses ini berarti seseorang memiliki seluruh komponen psikologis yang berfungsi dalam satu kesatuan, tanpa melemahkan proses kemampuan psikis. Orang yang telah melewati proses ini telah mencapai realisasi diri, meminimalkan persona mereka, mengenali anima dan animus-nya, serta telah mencapai keseimbangan antara introversi dan ekstraversi. Selain itu, individu-individu ini telah menempatkan seluruh empat tahapan fungsi ke dalam posisi superior, sebuah pencapaian yang luar biasa sulit didapat.

Realisasi diri adalah suatu hal yang amat langka dan bisa dicapai hanya oleh mereka yang telah dengan baik mengasimilasi kesadaran mereka dengan keseluruhan kepribadian mereka. Untuk sampai pada proses ini, dibutuhkan keberanian untuk menghadapi berbagai kejahatan alami dari bayangan seseorang dan bahkan lebih banyak lagi dibutuhkan keberanian untuk menerima sisi maskulin atau feminin seseorang. Proses ini hampir tidak pernah tercapai sebelum paruh baya dan hanya tercapai oleh mereka yang telah mampu menanggalkan egonya, satu hal yang menjadi perhatian utama dari kepribadiannya, dan menggantinya dengan diri. Orang-orang yang telah mencapai realisasi diri harus mengizinkan ketidaksadaran dirinya menjadi inti dari kepribadiannya. Tujuan memperbesar kesadarannya adalah untuk meningkatkan ego dan memproduksi satu sisi manusia yang kekurangan jiwa dari kepribadiannya. Orang yang sadar dengan kepribadiannya tidaklah didominasi oleh proses ketidaksadarannya atau oleh ego kesadarannya, tetapi mencapai keseimbangan antara semua aspek kepribadiannya.

Orang yang mencapai realisasi diri mampu menempatkan dirinya di dunia eksternal dan internalnya. Tidak sama seperti individu yang terganggu secara psikologis, orang yang

Teori Kepribadian

kata yang tidak membingungkan jika dibandingkan dengan sensing atau intuisi. Sebagai contoh, saat orang mengatakan “permukaan benda ini terasa haius” mereka menggunakan fungsi sensing mereka. Pada saat mereka mengatakan “saya merasa hari ini merupakan hari keberuntungan saya”, mereka menggunakan intuisi, bukan perasaan.

Fungsi perasaan harus bisa dipisahkan dari emosi. Perasaan adalah sebuah evaluasi dari aktivitas sadar yang dilakukan. Kebanyakan evaluasi tidak memiliki konten emosi, tetapi mereka memiliki kemampuan untuk menjadi emosi jika intensitasnya meningkat sampai pada suatu tahap yang memicu perubahan psikologis seseorang. Bagaimanapun, emosi tidak terbatas hanya pada perasaan. Dari empat fungsi yang disebutkan sebelumnya, bisa berubah menjadi emosi jika intensitasnya meningkat.

Orang-orang dengan perasaan ekstrover menggunakan data objektif untuk melakukan evaluasi. Mereka tidak banyak dipandu oleh opini subjektif mereka, tetapi lebih oleh nilai eksternal dan penilaian standar yang diterima luas. Mereka dapat dimudahkan oleh situasi sosial, dengan mengetahui saat yang tepat untuk mengatakan sesuatu dan bagaimana cara mengatakannya. Mereka juga biasanya disukai karena kemampuan sosialnya, tetapi dalam perjalanannya untuk menemukan standar sosialnya, mungkin saja mereka tampak berpura- pura, dangkal, dan tidak dapat dipercaya. Penilaian mereka dapat dideteksi dengan mudah sebagai kebohongan. Orang-orang dengan kemampuan ini biasanya menjadi pebisnis atau politisi karena tuntutan profesi pekerjaan ini yang menghargai proses penilaian berdasarkan informasi yang objektif (Jung, 1921/1971).

Orang-orang dengan perasaan introver mendasarkan penilaian mereka sebagian besar pada persepsi subjektif dibanding dengan fakta objektif. Kritik terhadap berbagai bentuk seni membutuhkan perasaan introver karena membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan data individual subjektif. Mereka mengabaikan opini tradisional serta kepercayaan, menjauhi dunia objektif (temasuk orang-orangnya), dan kerap kali menyebabkan orang disekitar mereka merasa tidak nyaman dan bereaksi dingin terhadap mereka (Jung, 1921/1971).

SensingFungsi yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan fisik dan mengubahnya ke dalam bentuk kesadaran perseptual yang disebut dengan sensasi (sensation). Sensing tidak dapat disamakan dengan rangsangan fisik, tetapi bisa dikatakan sebagai sebuah persepsi individual terhadap impuls sensor. Persepsi ini tidak bergantung pada pemikiran logis atau perasaan, tetapi muncul sebagai fakta yang mutlak dan mendasar dalam diri setiap orang.

Orang-orang dengan sensing ekstrover menerima rangsangan eksternal secara objektif, kurang lebih sama seperti rangsangan ini eksis dalam kenyataan. Sensasi mereka tidak dipengaruhi secara signifikan oleh sikap subjektifnya. Hal ini menjadi sesuatu yang penting bagi pekerjaan, seperti pengecat rumah, pencicip anggur (wine), pemeriksa salah cetak, atau profesi lain yang mensyaratkan kepekaan dalam hal sensori (indra) dengan kebanyakan

orang lain (Jung, 1921/1971).

Orang-orang dengan sensing introver biasanya sangat dipengaruhi oleh sensasi subjektif akan penglihatan, pendengaran, rasa, sentuhan, dan lainnya. Mereka dipengaruhi oleh

146 Teori Kepribadian

mencapai kesadaran-pribadi hidup di dunia nyata dan membuat beberapa pertimbangan. Bagaimanapun, tidak seperti orang lain, mereka sadar bahwa progres regresi dapat mem- bimbing mereka menemukan jati diri mereka. Melihat gambaran secara tidak sadar, dianggapnya sebagai bahan potensial untuk kehidupan psikis yang baru dan orang-orang ini menerima gambaran tersebut sebagaimana mereka muncul dalam mimpi kemudian merefleksikannya setelah memikirkannya secara mendalam (introspective reflections) (Jung, 1939/1959, 1945/1953).

Metode Investigasi JungJung melihat jauh melewati batasan psikologi, dalam usahanya memperoleh data untuk membangun konsepnya mengenai kemanusiaan. Ia tidak meyesali perjalanannya dalam berbagai bidang mulai dari sosiologi, sejarah, antropologi, biologi, fisika, filologi, agama, mitologi, hingga filosofi. Ia sangat percaya bahwa pembelajaran tentang kepribadian bukan hanya hak prerogatif sebuah ilmu tertentu dan bahwa untuk memahami seseorang secara utuh, kita harus mengejar pengetahuan di manapun ia berada. Sama seperti Freud, Jung secara konsisten menganggap dirinya sebagai peneliti sains, menghilangkan label mistis dan filosofis. Dalam suratnya kepada Calvin Hall, tertanggal 6 Oktober 1954, ia mengatakan bahwa “Jika Anda mengatakan pada saya bahwa saya adalah seseorang yang mempelajari kekuatan gaib, magis, atau sihir (occultist) karena saya dengan serius mempelajari agama, mitologi, cerita rakyat, serta fantasi filosofis pada individu modern dan naskah kuno, maka sama saja kamu mengatakan bahwa Freud adalah seseorang yang melakukan pelecehan seksual karena ia melakukan hal yang sama melalu fantasi seksual (Jung, 1975, him. 186). Walaupun demikian, Jung menegaskan bahwa psike tidak hanya bisa dimengerti secara intelektual, tetapi harus dilihat dari keseluruhan diri seseorang. Sejalan dengan itu, ia juga mengatakan bahwa “Tidak semua yang saya kemukakan tertulis di kepala saya, tetapi banyak di antaranya juga berasal dari hati saya” (Jung, 1943/1953, him. 116).

Jung mengumpulkan data untuk teorinya tidak hanya melalui pemahaman menyeluruh di berbagai disiplin ilmu, tetapi juga dari asosiasi kata, analisis mimpi, imajinasi aktif, dan psikoterapi. Informasi ini kemudian dikombinasikan dengan bacaan dari Kimia abad pertengahan (alchemy), fenomena kekuatan gaib (occult), atau subjek lainnya dalam usahanya mengonfirmasi hipotesis dari psikologi analitis.

Tes Asosiasi KataJung bukanlah orang pertama yang menggunakan tes asosiasi kata, tetapi ia dianggap telah membantu mengembangkan dan mendefinisikan ulang tes tersebut. Awalnya, ia menggunakan tes tersebut pada tahun 1903 ketika ia menjadi asisten muda seorang psikiater di Burgholtzli, dan ia berbicara tentang tes asosiasi kata selama perjalanannya dengan Freud di Amerika Serikat pada tahun 1909. Bagaimanapun, ia jarang menggunakan tes ini dalam kariernya. Walaupun kerap diabaikan, tes ini terus-menerus dikaitkan dengan nama Jung.

Ide awal pengunaan tes ini adalah untuk mendemonstrasikan validitas hipotesis Freud bahwa ketidaksadaran akan mengoperasikan proses yang bersifat otonomi. Bagaimanapun,

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | 1 4 7

kegunaan utama tes ini dalam psikologi Jungian adalah untuk membuka feeling-toned complexes. Seperti yang telah dibahas pada bagian tingkatan psike, kompleks adalah berbagai hal individualis dan bersifat emosional yang bergabung dan membentuk sekumpulan gambaran di sekitar pusat inti kepribadian.

Dalam melakukan tes ini, Jung menggunakan sekitar seratus kata-kata yang dipilih dan diatur untuk menstimulus atau merangsang reaksi emosi. Ia menginstruksikan seseorang untuk merespons setiap stimulus kata dengan kata pertama yang dipikirkan responden. Jung merekam setiap respons verbal, waktu yang dibutuhkan untuk merespons, laju pernafasan, dan respons pada kulit terhadap reaksi yang dihasilkan. Biasanya, ia melakukan pengulangan eksperimen ini untuk meningkatkan konsistensi tes dan pengulangan tesnya.

Beberapa jenis reaksi mengindikasikan bahwa kata-kata yang menstimulus dapat me- nyentuh kompleks. Respons kritis meliputi pernafasan yang terbatas, perubahan dalam konduktivitas listrik kulit, reaksi penundaan, beragam respons, pengabaian instruksi, ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata sederhana, ketidakmampuan merespons, dan ketidakkonsistenan antara hasil tes dan pengulangan tes. Respons signifikan lainnya meliputi pipi yang bersemu merah, gagap, tertawa, batuk, menghela nafas, mendehem, menangis, gerakan badan yang berlebihan, dan pengulangan kata stimulus. Seseorang yang menunjukkan kombinasi respons ini mungkin mengindikasikan bahwa sebuah kompleks telah tercapai (Jung, 1935/1968, Jung & Riklin, 1904/1973).

Analisis MimpiJung setuju dengan Freud bahwa mimpi memiliki makna dan makna itu harus disikapi dengan serius. Ia juga setuju dengan Freud bahwa mimpi berangkat dari timbulnya kedalaman kondisi ketidaksadaran dan maknanya kemudian akan diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang simbolis. Namun bagaimanapun, ia keberatan dengan pendapat Freud yang mengatakan bahwa hampir semua mimpi adalah sebuah bentuk keinginan dan simbol dari keinginan serta kebutuhan seksual. Jung (1964) percaya bahwa orang menggunakan berbagai simbol untuk merepresentasikan berbagai konsep—tidak hanya seksual—untuk dapat memahami “berbagai hal yang ada diluar jangkauan pengetahuan manusia” (him. 21). Mimpi adalah kondisi ketidaksadaran dan percobaan spontan untuk mengetahui dan memahami sebuah kenyataan yang hanya bisa diwujudkan dalam bentuk simbol.

Maksud dari interpretasi mimpi Jungian adalah untuk membuka elemen dari ketidaksadaran personal dan kolektif serta mengintegrasikannya dalam sebuah kesadaran untuk memfasilitasi proses realisasi diri. Terapis Jungian harus dapat memahami bahwa mimpi kerap kali merupakan kompensasi atau pengalihan, yaitu perasaan dan sikap yang tidak diwujudkan dalam perjalanan hidup akan menemukan jalannya melalui mimpi. Jung percaya bahwa dalam kondisi alami, manusia bergerak menuju kesempurnaan atau realisasi diri. Dengan demikian, jika kesadaran seseorang mendapatkan dirinya tidak sempurna, maka ketidaksadaran orang itu akan mencoba mencari jalan untuk memenuhi bagian yang tidak sempurna lewat proses mimpi. Sebagai contoh, jika sebuah anima seseorang menerima perkembangan kesadaran, maka ia akan mengekspresikan dirinya lewat proses mimpi yang

148 Teori Kepribadian

penuh dengan motif realisasi diri, yang nantinya akan menyeimbangkan sisi maskulin dari orang tersebut (Jung, 1916/1960).

Jung merasa yakin bahwa mimpi menawarkan bukti keberadaan ketidaksadaran kolektif. Mimpi ini termasuk mimpi besar (big dreams), yang memiliki arti khusus bagi semua orang; mimpi umum (typical dreams), merupakan mimpi yang umum bagi kebanyakan orang; dan mimpi paling awal yang diingat (earliest dreams remembered).

Dalam Memories, Dreams, Reflections, Jung (1960) menulis tentang sebuah mimpi besar yang ia alami ketika ia berkeliling Amerika Serikat dengan Freud pada tahun 1909. Dalam mimpinya—secara singkat telah diceritakan di bagian biografi Carl Jung—ia menjelaskan bahwa ia tinggal di lantai atas sebuah rumah berlantai dua. Lantai atas ini menurutnya sangat nyaman, walaupun perabotannya terbilang sudah tua. Dalam mimpinya itu, Jung menyadari bahwa ia tidak mengetahui seperti apa bentuk lantai bawah dari tempat tinggalnya, jadi ia memutuskan untuk menyelidikinya. Setelah menuruni tangga, ia menyadari bahwa seluruh perabot rumah tangganya seperti perabot dari abad ke-15 atau ke-16. Saat ia sedang menjelaj ahi lantai satu tempat tinggalnya, ia menemukan sebuah tangga yang menuju ke sebuah pelataran. “Pada saat saya menuruni tangga itu, saya menemukan diri saya tengah berada disebuah ruangan yang indah dan tampak sangat kuno. ... Sejak pertama saya melihat ruangan ini, saya segera menyadari bahwa saya berada di ruangan pada masa Romawi” (Jung, 1961, him. 159). Pada saat ia mengelilingi ruangan itu, ia melihat sebuah cincin di lantai batu. Ketika ia menarik cincin itu, tampak sebuah tangga sempit yang menuju ke sebuah ruangan gua kuno. Di sana ia melihat pecahan gerabah, tulang-tulang binatang, dan dua buah tengkorak manusia. Dengan kata-katanya sendiri, ia menggambarkan bahwa ia telah “menemukan sebuah dunia orang primitif di dalam diri saya sendiri—sebuah dunia yang sangat jarang saya masuki atau tersembunyi dibalik kesadaran saya” (Jung, 1961, him. 160).

Jung kemudian menerima mimpi tersebut sebagai sebuah bukti dari adanya tingkatan kesadaran psike. Lantai atas yang ia huni dalam mimpinya merupakan lapisan psike paling atas. Lantai bawah merupakan lapisan pertama, kemudian lantai bawah tanah yang ditemukan menjadi simbol bagi lapisan kesadaran psike yang terdalam. Pada bagian gua, di mana Jung menemukan dua tengkorak manusia, Freud bersikeras bahwa itu merupakan pertanda bahwa Jung memiliki keinginan untuk mati. Akan tetapi, Jung melihat ini sebagai pertanda kedalaman dari ketidaksadaran kolektifnya.

Lebih dari B iografi Apakah Jung mengharapkan kematian istrinya?Untuk mengetahui informasi tentang hubungan Jung dengan wanita dan melihat bagaimana satu dari beberapa mimpi besarnya mungkin merefleksikan sebuah keinginan atas kematian istrinya, kunjungi situs Web kami di www.mhhe.com/feist7

Jenis yang kedua dari mimpi kolektif adalah mimpi biasa, yaitu mimpi yang biasa dialami oleh kebanyakan orang. Mimpi ini meliputi gambaran arketipe, seperti ibu, ayah, Tuhan, iblis, atau orang tua bijak. Mimpi itu juga bisa berarti kejadian arketipe, seperti kelahiran, kematian, perpisahan dari orang tua, baptis, pernikahan, terbang, atau menjelajahi gua. Mimpi-mimpi ini, termasuk juga objek arketipe, seperti matahari, air, ikan, ular, atau

binatang predator lainnya.

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis | 149

Kategori ketiga dari mimpi adalah mimpi paling awal yang diingat. Mimpi-mimpi ini dialami saat kita berusia tiga atau empat tahun dan mengandung banyak unsur mitologis, gambaran, dan motif simbol yang tidak dapat dijelaskan oleh anak-anak. Mimpi ini bisa saja meliputi simbol, seperti pahlawan, orang tua bijak, pohon, ikan, dan mandala. Jung (1948/1960b) menulis mengenai gambaran dan motif tersebut, yaitu “Kemunculan mimpi ini dalam material individu sama seperti distribusi universalnya, membuktikan bahwa psike manusia itu unik, subjektif, dan personal hanya pada beberapa bagian, sedangkan selebihnya adalah kolektif dan objektif” (him. 291).

Carl Jung, orang tua bijak dari Kiisnacht.

Jung (1961) menunjukkan tentang gambaran samar dari mimpi awalnya, yang terjadi sebelum ia berusia empat tahun. Ia bermimpi sedang berada di sebuah padang rumput ketika tiba-tiba ia melihat sebuah lubang berbentuk persegi empat yang gelap di tanah. Dengan takut, ia menghampiri dan masuk ke dalam lubang itu yang ternyata adalah sebuah tangga. Sampai di bawah, ia menemukan sebuah pintu yang dinaungi sebuah patung melengkung dihiasi tirai berwarna hijau. Di balik tirai itu terlihat adanya cahaya redup dengan karpet merah yang mengarah ke dalam pintu. Di atas panggungnya terdapat sebuah mahkota dan di mahkota tersebut tampak sebuah objek panjang yang tampak oleh Jung seperti sebuah batang pohon besar yang panjang. “Benda itu sangat besar dan hampir menyentuh langit- langit. Bentuknya cukup aneh, terbuat dari kulit dan daging. Di atasnya terdapat, seperti sebuah kepala tanpa rambut dan muka. Di bagian paling atas, ada sebuah mata yang terus- menerus menatap ke atas tanpa bergerak” (him. 12). Penuh dengan ketakutan, si anak kecil mendengar ibunya berteriak “Ya, terus saja tatap dia. Ia adalah pemakan manusia!” Komentar ini sangat menakutkan Jung dan membuatnya terbangun dari tidur.

Teori Kepribadian

Jung kerap berpikir tentang mimpinya, tetapi baru setelah tiga puluh tahun ia menyadari gambaran mengenai falus yang sangat jelas. Beberapa tahun lagi dibutuhkan, sebelum ia menerima mimpi itu sebagai ekspresi dari ketidaksadaran kolektifnya, bukan sebagai produk dari jejak memorinya. Dalam interpretasinya sendiri, lubang berbentuk persegi empat itu direpresentasikan sebagai kematian; tirai hijau sebagai misteri bumi dengan vegetasi hijaunya; karpet merah sebagai simbol darah; pohon yang berdiri di atas sebuah mahkota sebagai simbol penis yang digambarkan sangat detil. Setelah menginterpretasikan mimpinya, Jung dipaksa untuk menyimpulkan bahwa tidak ada anak berusia 3,5 tahun yang dapat menghasilkan sebuah simbol yang universal seperti itu hanya dari pengalaman pribadinya sendiri. Sebuah ketidaksadaran kolektif, yang umum dialami spesies ini, merupakan penjelasan terbaik yang bisa diberikan oleh Jung (Jung, 1961).

Imajinasi AktifSebuah teknik yang digunakan Jung dalam melakukan analisis terhadap dirinya sendiri, sama seperti yang dilakukannya terhadap pasiennya, adalah dengan menggunakan imajinasi aktif. Metode ini dimulai dengan impresi berupa gambaran mimpi, visi, tampilan, atau fantasi milik seseorang. Orang ini kemudian berkonsentrasi hingga impresinya “bergerak”. Orang ini harus mengikuti gambaran tersebut kemanapun gambaran itu bergerak hingga akhirnya berkomunikasi dengannya.

Tujuan dari imajinasi aktif adalah untuk membuka gambaran arketipe yang bermula dari ketidaksadaran. Hal ini akan sangat berguna bagi orang-orang yang ingin lebih mengenai ketidaksadaran personal dan kolektifnya juga bagi mereka yang ingin mengatasi resistensi dari komunikasi dengan ketidaksadarannya. Jung percaya bahwa gambaran ini diproduksi pada fase sadar, yang membuatnya lebih jelas dan bisa diperbanyak. Perasaannya juga lebih spesifik dan biasanya orang jarang memiliki kesulitan saat mereka harus mereproduksi visi atau mengingat m ood (Jung, 1937/1959).

Sebagai variasi dari imajinasi aktif kerap bertanya kepada pasiennya apakah mereka suka menggambar, melukis, atau mengekspresikan fantasinya dalam bentuk nonverbal lainnya. Jung mengandalkan teknik ini selama ia menganalisis dirinya sendiri dan banyak dari hasilnya yang kaya akan simbol dan kerap menampilkan mandala, tergambar dalam buku-bukunya. Man and His Symbols (1964), Word and Image (1979), Psychology and Alchemy (1952/1968), dan ilustrasi Claire Dunne’s (2000) tentang biografi Carl Jung: Wounded H ealer o f the Soul merupakan beberapa buku yang dapat dijadikan sumber untuk melihat gambar-gambar dan fotonya.

Pada tahun 1961, selama masa pertengahan (paruh baya) Jung menulis tentang pengalaman-pengalamannya dengan imajinasi aktif selama konfrontasi dengan ketidaksadaran:

Ketika aku menoleh ke belakang pada hari ini dan mempertimbangkan apa yang terjadi pada saya selama periode bekerja di khayalan-khayalan, kelihatannya seoiah- olah suatu pesan telah datang kepada saya dengan kekuatan besar. Ada banyak hal di dalam gambaran-gambaran itu yang terkait tidak hanya dengan diri saya, tetapi juga

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis

dengan hal lainnya. Pada saat itulah, saya berhenti menjadi diri saya sendiri, berhenti untuk memiliki hak untuk melakukannya. Sejak saat itu, hidup saya menjadi milik umum.... Kemudian, saya mendedikasikan diri saya untuk melayani psike: Saya mencintainya dan juga membencinya. Akan tetapi, itu adalah kekayaan terbesar saya. Kembalinya diri saya menjadi diri saya yang sebelumnya, merupakan satu-satunya cara agar saya dapat mempertahankan keberadaan saya dan menjalani kehidupan saya sepenuh dan semampu saya (him. 192).

PsikoterapiJung (1931/1954b) mengidentifikasi empat pendekatan dasar dalam terapi, mewakili empat langkah pengembangan di dalam sejarah psikoterapi. Pertama adalah pengakuan rahasia patogenik. Ini adalah metode menghilangkan emosi atau metode katarsis {chathartic m ethod ) yang dipraktikkan oleh Josef Breuer pada pasiennya, Anna O. Terhadap pasien yang memiliki kebutuhan untuk berbagi rahasia-rahasia mereka, katarsis adalah suatu langkah yang efektif. Langkah kedua melibatkan penafsiran, penjelasan, dan teknik menerangkan. Pendekatan ini digunakan oleh Freud, untuk memberi kesempatan pada pasien untuk mencari sendiri pengertian mengenai penyebab neurosis mereka, tetapi pasien masih memilliki perasaan tidak mampu untuk mengatasi permasalahan sosialnya. Langkah yang ketiga adalah pendekatan yang diadopsi oleh Adler, dengan memasukkan faktor pendidikan pasien-pasiennya sebagai mahluk sosial. Sayangnya, menurut Jung, pendekatan ini sering kali meninggalkan pasien-pasiennya hanya dalam keadaan mampu menyesuaikan diri secara sosial dengan baik.

Untuk melampaui ketiga pendekatan ini, Jung mengusulkan suatu tahap keempat, yaitu transformasi. Transformasi adalah terapis harus menjadi orang pertama yang diubah atau ditransformasi menjadi manusia yang sehat, terutama dengan melakukan proses psikoterapi. Seorang terapis hanya mampu membantu pasien-pasien setelah melakukan transformasi dengan membangun falsafah hidup yang mapan melalui individuasi, keseluruhan, atau realisasi diri. Tahap keempat ini terutama dilakukan pada pasien-pasien yang sedang dalam tahap kedua hidupnya dan mempunyai perhatian terhadap kesadaran dari dalam diri sendiri, dengan permasalahan moral dan religius serta dalam menemukan filosofi hidup (Jung, 1931/1954b).

Jung tampak berwawasan luas di dalam teori dan praktik psikoterapinya. Perawatannya memberikan variasi menurut usia, tahap perkembangan, dan permasalahan khusus dari pasiennya. Sekitar dua pertiga dari pasien-pasien Jung berusia paruh baya dan banyak sekali dari mereka menderita kehilangan arti, tujuan umum, dan takut akan kematian. Jung mencoba untuk membantu pasien-pasiennya tersebut menemukan orientasi filosofis mereka sendiri.

Tujuan utama dari terapi Jungian adalah untuk membantu pasien-pasien penderita neurotik menjadi sehat dan mendorong orang yang sehat untuk bekerja dengan mandiri melalui teknik realisasi diri. Jung melihat kesempatan untuk mencapai tujuan ini melalui teknik-teknik, seperti analisis mimpi dan imajinasi aktif untuk membantu pasien menemukan ketidaksadaran kolektif dan pribadi serta menyeimbangkan gambaran ketidaksadaran dengan sikap kesadaran mereka (Jung, 1931/1954a).

Teori Kepribadian

Meski Jung mendorong pasien-pasien untuk menjadi mandiri, ia mengakui pentingnya proses transferens (transference), terutama pada tiga tahap pertama dari langkah terapinya. ‘Ia mengemukakan kedua sisi transferens, baik positif maupun negatif sebagai suatu proses alami untuk mencapai informasi personal yang lebih tinggi. Ia beranggapan bahwa sejumlah pasien pria yang memanggilnya dengan sebutan “Bunda Jung” (“M other Jung”) adalah hal yang biasa. Ia juga mengerti bahwa yang lain melihatnya sebagai Tuhan atau juru selamat. Jung juga memperkenalkan istilah transferens balik (counter transference), yaitu suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan terapis pada pasiennya. Seperti transferens, transferens balik juga dapat membantu proses terapi, namun dapat juga menjadi rintangan, tergantung pada apakah transferens balik ini mengarah pada hubungan yang lebih baik antara dokter dan pasien. Hal ini merupakan sesuatu yang dirasakan Jung tidak dapat dihapuskan dari keberhasilan psikoterapi.

Psikoterapi Jungian mempunyai pendekatan dengan sasaran-sasaran kecil melalui bermacam teknik. Oleh karenanya, tidak ada uraian universal yang menggambarkan orang yang berhasil menggunakan pendekatan analitis. Untuk orang dewasa, bisa jadi tujuannya adalah untuk menemukan makna kehidupannya dan berupaya untuk meraih keseimbangan serta keutuhan. Orang yang memiliki kesadaran diri mampu berasimilasi ke dalam kesadaran dirinya dengan sebagian besar ketidaksadaran dirinya. Akan tetapi, pada waktu yang sama, tetap menyadari sepenuhnya akan bahaya potensial yang tersembunyi di dalam ruang psikenya. Jung memperingatkan supaya berhati-hati saat menggali terlalu dalam di tempat yang belum dikenal. Ia membandingkan proses ini dengan proses orang yang menggali satu sumur dengan adanya risiko mengaktifkan suatu lahar api dalam bumi.

Penelitian TerkaitPendekatan Jung mengenai kepribadian ini sangat berpengaruh pada pengembangan psikologi kepribadian. Akhir-akhir ini pengaruhnya memang sudah menurun, meskipun masih ada beberapa institusi di seluruh dunia yang berkiprah dalam psikologi analitis. Dewasa ini, kebanyakan riset yang berhubungan dengan Jung lebih berfokus pada uraiannya mengenai tipe kepribadian. Myers-Briggs Type Indicator (MBTI; Myers, 1962) adalah pengukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tipe kepribadian Jung. Pengukuran ini juga sering digunakan oleh penasihat sekolah dalam mengarahkan para siswa untuk melihat belajar sebagai proses yang menyenangkan. Sebagai contoh, riset menemukan bahwa orang yang tinggi pada dimensi intuisi dan perasaannya, menganggap bahwa mengajar adalah hal yang menyenangkan (Willing, Guest & Morford, 2001). Baru- baru ini, peneliti memperluas kajiannya untuk melihat kegunaan dari tipe kepribadian Jungian dengan menjelajah peranan tipe kepribadian orang dalam mengatur keuangan pribadi dan jenis karier yang mereka kejar.

Tipe Kepribadian dan Menginvestasikan UangRiset di bidang kepribadian tidak hanya diselenggarakan oleh psikolog-psikolog kepribadian. Kepribadian adalah studi mengenai keunikan masing-masing orang, oleh karenanya selalu

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis 153

berkaitan dengan setiap orang dan setiap tempat. Sebagai contoh, meskipun riset di bidang psikologi dan keuangan tidak sepenuhnya sejalan, kepribadian bisa menjadi sesuatu yang umum dalam kedua bidang tersebut karena keunikan seseorang dirasa sangat penting dan dibutuhkan di kedua bidang itu. Baru-baru ini, peneliti di bidang keuangan tertarik mempelajari bagaimana tipe kepribadian memengaruhi orang dalam menginvestasikan uang mereka (Filbeck, Hatfield, & Horvath, 2005). Secara terperinci, Filbeck dan koleganya (2005) ingin memahami lebih baik mengenai tingkat toleransi individu terhadap risiko untuk menginvestasikan uang. Investasi sering kali penuh risiko. Anda dapat menghasilkan banyak uang dalam bursa saham, tetapi Anda juga dapat kehilangan segalanya. Sebagian orang mempunyai toleransi alami terhadap fluktuasi yang terjadi di dalam investasi mereka, namun ada juga yang tidak. Orang seperti apa yang mau mengambil risiko-risiko tersebut?

Filbeck dan koleganya (2005) menggunakan MBTI untuk menentukan tipe kepribadian Jung mana yang memungkinkan toleransi risiko dalam menginvestasikan uang. MBTI merupakan pengukuran penilaian diri (self-report) untuk menilai masing-masing dari delapan tipe kepribadian Jungian yang diuraikan di Tabel 4.1. Untuk mengukur toleransi risiko ketika menginvestasikan uang, peneliti-peneliti menggunakan kuesioner, yaitu daftar pertanyaan mengenai situasi-situasi hipotetis yang berbeda. Pertanyaan ini berupa situasi yang meningkatkan atau mengurangi kekayaan mereka. Berdasarkan tanggapan orang- orang pada situasi hipotetis tersebut, peneliti kemudian menentukan pada titik mana (persentase mana yang paling merugikan) orang merasa investasi-investasi mereka terlalu keras dan berisiko. Peneliti mengambil sampel penelitian para siswa dan orang dewasa untuk melengkapi kuesioner MBTI, yang mengukur tingkat toleransi dan risiko ini, kemudian menguji hipotesis bahwa ada beberapa tipe kepribadian akan lebih tolerir pada banyaknya risiko dibanding yang lain.

Penemuan mereka mengungkapkan bahwa MBTI merupakan cara memprediksi yang baik untuk melihat siapa yang mau menoleransi risiko dan siapa yang tidak. Secara terperinci, peneliti menemukan bahwa mereka yang merupakan tipe pemikir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap risiko, sedangkan mereka yang merupakan tipe perasa mempunyai toleransi relatif rendah pada tingkat risiko yang sama. Anehnya, dimensi extraversi- introversi bukanlah prediktor yang baik untuk mengukur tingkat toleransi risiko. Dengan demikian, hal tersebut sulit digunakan untuk memperkirakan secara spesifik tipe mana dari tipe pemikir atau perasa (ekstrover atau introver) yang paling toleran atau tidak toleran terhadap risiko. Meski demikian, penemuan itu bersifat informatif dan tetap sejalan dengan tipe Jungian. Sebagai contoh, tipe kepribadian pemikir (yang bukan tipe sangat ekstrover atau sangat introver) adalah orang yang sangat mementingkan aktivitas logis. Jika dilihat secara logis, adanya situasi ekonomi yang naik turun, merupakan hal yang bijaksana untuk lebih bertoleransi pada risiko bahkan ketika investasi sedang jatuh. Hal ini dilandasi dengan adanya kemungkinan (pada akhirnya) situasi akan kembali membaik dan ekonomi akan menguat. lipe kepribadian perasa menggambarkan cara orang mengevaluasi informasi. Evaluasi ini tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan logika dan alasan tertentu. Oleh karena itu, tipe perasa lebih menilai toleransi pada risiko berdasarkan penilaian pribadi, yang sebagian besar sejalan dengan tren yang logis dari situasi ekonomi.

Teori Kepribadian

Meskipun demikian, tidaksemua tipe kepribadian Jungian dihubungkan dengan toleransi risiko di dalam kajian ini. Peneliti menyimpulkan kepribadian investor merupakan faktor penting untuk menjadi penasihat keuangan. Hal ini penting dalam mempertimbangkan waktu yang tepat untuk berinvestasi dengan menyesuaikan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi investor.

Tipe Kepribadian dan Minat terhadap Bidang Gesekan di Jurusan TeknikBidang gesekan di jurusan teknik ini sepertinya merupakan suatu masalah utama yang akut karena hampir 50% siswanya tidak lulus di bidang ini. Penjelasan yang paling umum adalah karena performa mereka lemah di bidang tersebut dan persepsi diri yang salah mengenai tipikal insinyur. Suatu studi di dalam Jurnal Psychological Type menguji apakah tipe kepribadian dan kesesuaiannya terhadap bidang gesekan pada jurusan teknik dapat meramalkan minat akan bidang ini. Kajian ini dilakukan dengan sampel mahasiswa jurusan Teknik di Georgia Tech (Thomas, Benne, Marr, Thomas, & Hume, 2000). Peneliti melihat 195 mahasiswa (72% pria) mendaftar pada jurusan teknik (listrik dan magnetisme) yang dikenal sebagai kelas “weedingout” di mana 30% dari mahasiswa biasanya menerima nilai di bawah C. Para siswa menyelesaikan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) pada suatu sesi laboratorium. Thomas dan koleganya memperkirakan bahwa skor MBTI berhubungan dengan nilai-nilai ujian akhir, level kualitas kuliah, dan pengunduran diri dari kuliah tersebut.

Seperti yang diperkirakan, hasil kajian itu menunjukkan bahwa sebagai kelompok, sampel diwakili oleh tipe kepribadian pemikir (75%), introversi (57%), dan penilai atau judging (56%). Dari sampel itu, hasilnya terbagi dua hampir sama rata untuk Intuitive- Sensing (51% Sensing). Lebih penting lagi, para siswa yang mengundurkan diri dari kuliah mempunyai skor tinggi pada skala Extraversi dan Perasa, dengan skor tinggi sebesar 96% pada setidaknya satu skala. Hal yang menarik adalah tenyata tipe kepribadian tidak ada hubungannya dengan nilai pelajaran. Sebagai tambahan, Thomas dan koleganya menemukan bahwa para siswa gugur (drop out) merupakan tipe kebalikan dari mereka yang ingin masuk jurusan itu. Hasil dari kajian itu mendukung teori mengenai tipe orang dan organisasi, yang menyatakan bahwa mereka yang mempunyai tipe kepribadian yang sangat sesuai dengan mereka yang sudah berkecimpung pada suatu profesi, bisa tampil paling baik di bidang

profesi yang serupa (Schneider, 1987).

Kritik terhadap JungCarl Jung melanjutkan tulisan-tulisannya untuk menarik perhatian mahasiswa humaniora. Meskipun kualitas tulisannya subjektif dan filosofis, psikologi Jungian telah menarik perhatian banyak orang, baik orang awam maupun para profesional. Bagaimanapun, Jung menganggap dirinya sebagai seorang ilmuwan dan merasa yakin bahwa kajian ilmiah mengenai agama, mitologi, dongeng, dan khayalan filosofis, tidak membuatnya menjadi

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis

sesuatu yang mistis dibandingkan dengan kajian Freud mengenai seks yang membuat Freud menjadi seseorang dengan kelainan seksual (Jung, 1975).

Meskipun demikian, seperti teori-teori pada umumnya, psikologi analitis juga harus dapat memenuhi enam kriteria teori yang bermanfaat seperti yang dijelaskan di Bab 1. Pertama, suatu teori yang bermanfaat harus menghasilkan hipotesis yang bisa diuji dan kajian yang deskriptif. Kedua, sebuah teori harus mempunyai kapasitas untuk diverifikasi atau diulang. Sayangnya, sama seperti teori Freud, hampir mustahil untuk melakukan verifikasi pada teori Jung. Teori utama Jung mengenai ketidaksadaran kolektif merupakan konsep yang sangat sulit untuk diuji secara empiris.

Sebagian besar bukti mengenai konsep dari arketipe dan ketidaksadaran kolektif berasal dari pengalaman mendalam yang dialami oleh Jung sendiri. Hal ini juga diakuinya, bahwa sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain sehingga penerimaan orang mengenai konsep ini lebih berdasarkan keyakinan daripada bukti empiris. Jung (1961) mengklaim bahwa “pernyataan-pernyataan arketipe itu berdasarkan prasyarat yang instingtif dan tidak ada hubungannya dengan suatu alasan tertentu, tidak berdasarkan rasional dan tidak juga bisa dibuang dalam argumentasi yang masuk akal” (him. 353). Pernyataan seperti itu bisa diterima oleh seniman atau ahli teologi, tetapi tidak mungkin diterima oleh peneliti ilmiah yang mengedepankan rancangan penelitian dan rumusan hipotesis.

Sebaliknya, ada bagian dari teori Jung yang terkait dengan penggolongan dan ilmu bentuk tubuh (tipologi), yaitu mengenai fungsi dan sikap, yang bisa dikaji serta diuji dan sudah menghasilkan sejumlah penelitian. Myers-Briggs Type Indicator sudah menghasilkan banyak penelitian. Oleh karenanya kami memberi nilai rata-rata untuk teori Jung atas kemampuannya menghasilkan penelitian terkait.

Ketiga, suatu teori yang bermanfaat perlu mengorganisir pengamatan ke dalam suatu kerangka yang bermakna. Psikologi analitis merupakan teori yang unik karena menambahkan suatu dimensi yang baru dalam teori kepribadian, yaitu ketidaksadaran kolektif. Aspek dari kepribadian manusia yang berhadapan dengan hal-hal mistis, misterius, dan parapsikologis itu tidak disinggung oleh hampir semua teori-teori kepribadian. Meskipun ketidaksadaran kolektif bukan satu-satunya penjelasan bagi suatu fenomena dan konsep lain dapat dirumuskan untuk menjelaskan semuanya. Jung adalah satu-satunya ahli teori kepribadian modern yang membuat suatu usaha serius untuk cakupan yang luas mengenai aktivitas manusia di dalam suatu kerangka teoretis. Oleh karena kemampuannya yang baik untuk mengorganisir pengetahuan inilah yang membuat Jung diberi penilaian rata-rata.

Kriteria yang keempat untuk teori yang bermanfaat adalah kemampuan teori tersebut untuk diterapkan. Apakah teori dapat membantu terapis, guru, orang tua, atau yang lain dalam memecahkan permasalahan sehari-hari? Teori mengenai tipe atau sikap psikologis dan MBTI digunakan oleh banyak praktisi klinis, tetapi kegunaan dari sebagian besar psikologi analitis terbatas untuk terapis yang menggunakan ajaran Jungian dasar secara berkelanjutan. Konsep ketidaksadaran kolektif tidak mudah diteliti secara empiris, tetapi mungkin berguna dalam membantu orang memahami mitos budaya dan melakukan penyesuaian terhadap trauma-trauma hidup. Secara keseluruhan, teori Jung dinilai rendah untuk kemampuan penerapannya.

156 Teori Kepribadian

Apakah teori kepribadian Jung konsisten secara internal? Apakah memiliki seperangkat terminologi yang digambarkan secara operasional? Pertanyaan yang pertama bisa dijawab dengan jawaban yang berkualitas, sedangkan yang kedua, jawabannya negatif. Secara umum Jung menggunakan terminologi secara konsisten, tetapi ia sering kali menggunakan beberapa terminologi untuk menguraikan konsep yang sama. Istilah regresi dan intoversi berhubungan sangat erat sehingga dapat dikatakan kedua istilah itu menguraikan proses yang sama. Hal ini juga berlaku untuk istilah progresi dan ekstraversi. Daftar istilah yang serupa ini bisa jadi panjang, misalnya individuasi dan realisasi diri. Kedua istilah ini bahkan tidak dibedakan secara jelas. Bahasa Jung sering kali bersifat rahasia dan banyak dari istilahnya yang tidak didefinisikan dengan jelas. Seperti teori-teori kepribadian pendahulunya, Jung juga tidak menggambarkan definisi istilah secara operasional. Oleh karena itu, konsistensi internal dalam teori Jung ini dinilai rendah.

Kriteria terakhir untuk teori yang bermanfaat adalah bersifat parsimony (kesederhanaan). Psikologi Jung bukanlah teori sederhana, tetapi kepribadian manusia juga tidak sederhana. Bagaimanapun juga, oleh karena teorinya lebih mengarah pada ketidakefektifan daripada kegunaannya, maka nilai kesederhanaan pada teori ini rendah. Teori Jung bersifat kompleks dengan ruang lingkup yang luas. Hal ini disebabkan kecenderungan Jung untuk mencari-cari data dari bermacam disiplin ilmu dan kesediaannya untuk menjelajah sendiri ketidaksadarannya, bahkan sampai di bawah level pribadi. Hukum parsimony menyatakan, “Ketika terdapat dua teori yang manfaatnya setara, teori yang lebih disukai adalah teori yang sederhana”. Sebenarnya, tentu saja tidak pernah ada teori yang selalu sama, namun teori Jung menambahkan suatu dimensi kepribadian manusia, tidak terlalu banyak berurusan dengan yang lain sehingga menjadi lebih rumit daripada yang diperlukan.

Konsep KemanusiaanJung memandang manusia sebagai makhluk yang kompleks dengan banyak kutub yang berlawanan. Pandangannya mengenai m anusia ini tidak pesim istis maupun optimistis, tidak d e te rm in e s ataupun purposif. Baginya, orang banyak dimotivasi oleh pikiran-pikiran sadarnya, sebagian oleh gambaran ketidaksadaran personalnya dan sebagian lagi karena jejak memori laten yang diturunkan dari masa lampaunya. Motivasi mereka berasal dari

faktor kausal dan teleologikal.

Kerumitan manusia ini membuat teorinya tidak sederhana atau tidak bisa digambarkan dari satu sisi saja. Tidak ada seorangpun yang sepenuhnya introver atau ekstrover; sepenuhnya fem inin atau maskulin, sepenuhnya pemikir, perasa, sensing, atau intuitif saja; dan tidak seorang pun hanya mengarah pada progresi atau regresi saja.

Persona merupakan pecahan dari individu. Apa yang ingin ditunjukkan kepada orang lain biasanya merupakan sisi kepribadian yang bisa diterima secara sosial. Setiap orang mempunyai suatu sisi yang gelap, suatu bayangan. Kebanyakan orang berusaha untuk merahasiakan dirinya dari m asyarakat dan dirinya sendiri. Selain itu, setiap pria memiliki

anima dan setiap wanita memiliki animus.

Berbagai kompleks dan arketipe m enarik perhatian orang-orang dan hal tersebut bertanggung jawab atas sebagian besar kata-kata, tindakan, serta khayalan mereka. Meskipun orang bukanlah penguasa dalam rumah mereka sendiri, tidak ada satu orang pun yang sepenuhnya didominasi oleh dorongan di luar kendali mereka. Orang mempunyai

Bab 4 Jung: Psikologi Analitis

kapasitas yang terbatas untuk menentukan hidup mereka. Mereka dapat menjelajah bagian yang tersembunyi dari jiwa (psike) mereka melalui keinginan yang kuat dan keberanian yang besar. Mereka dapat mengenali bayangan mereka sebagai mereka sendiri, menjadi sadar akan sisi maskulin atau feminin, dan dapat menangani lebih dari satu fungsi. Proses yang disebut oleh Jung sebagai individuasi atau realisasi diri ini tidak gam pang dan menuntut lebih banyak kesabaran dibanding yang mampu dikumpulkan oleh kebanyakan orang. Biasanya, seseorang yang mencapai realisasi diri sudah berada pada tahapan pertengahan kehidupan dan berhasil menjalani hidup setelah berhasil melalui tahap sebelumnya, yaitu masa kanak-kanak dan masa muda. Selam a masa pertengahan (paruh baya), mereka dituntut untuk menentukan sasaran dan perilaku orang muda dengan m enyesuaikan suatu gaya baru yang sesuai perkembangan mereka.

Mereka akan tetap berada di bawah pengaruh ketidaksadaran kolektif yang m engendalikan prasangka mereka, minat, ketakutan, mimpi, dan aktivitas kreatif, bahkan setelah mencapai individuasi yang m em buat mereka berkenalan dengan dunia bagian dalam dan mengupayakan dorongan-dorongan yang berlawanan menuju keseimbangan.

Pada dimensi aspek biologi atau sosial dari kepribadian, Jung benar-benar melandaskan teorinya pada aspek biologi. Ketidaksadaran kolektif yang bertanggung jawab pada begitu banyak tindakan, menjadi bagian dari warisan ilmu biologi. Selain mengenai hubungan antara dokter dan pasien, Jung tidak banyak mengungkapkan tentang efek diferensial dari praktik-praktik sosial yang spesifik. Sebenarnya, di dalam kajiannya mengenai berbagai kebudayaan, ia menemukan perbedaan yang bersifat dangkal, dalam persamaan. Jadi, psikologi analitis dapat dinilai cukup tinggi dalam hal persamaan antarindividu dan dinilai rendah dalam hal perbedaan individu.

Istilah dan Konsep Penting• Ketidaksadaran personal dibentuk oleh pengalaman-pengalaman individu yang

direpresi dari individu tertentu dan menjadi sumber kompleks.

• Manusia mewarisi ketidaksadaran kolektif yang membentuk sikap, perilaku, dan mimpi.

• Arketipe merupakan sebuah contoh ketidaksadaran kolektif. Arketipe umum meliputi persona, bayangan, anima, animus, great mother, wise old man, pahlawan, dan diri.

• Persona mewakili sisi dari kepribadian yang diperlihatkan orang-orang kepada seluruh dunia ini. Orang yang sehat secara psikologis mengenali persona mereka, tetapi jangan salah mengartikannya sebagai kepribadian secara keseluruhan.

• Anima adalah sisi feminin dari seorang pria yang bertanggung jawab atas suasana hati (mood) irasional dan perasaan tidak logis.

Animus adalah sisi maskulin dari seorang wanita yang bertanggung jawab atas pemikiran tidak logis dan pendapat-pendapat tidak masuk akal dari seorang wanita.

The great mother adalah arketipe dari kesuburan dan kehancuran.

Orang tua yang bijak (wise old man) adalah gambaran seseorang yang cerdas, tetapi merupakan tampilan menipu dari pengalaman yang terakumulasi.

. Pahlawan adalah gambaran ketidaksadaran seseorang yang berhasil menaklukkan sosok penjahat, tetapi juga memiliki kelemahan.

158 Teori Kepribadian

Diri merupakan arketipe dari keutuhan, keseluruhan, dan kesempurnaan.

Kedua sikap, yaitu introversi dan extraversi dapat dikombinasikan dengan satu atau lebih dari empat fungsi— thinking, feeling, sensing, sensasi, dan intuisi—untuk menghasilkan delapan tipe dasar kepribadian.

Cara hidup yang sehat pada masa pertengahan (paruh baya) dan masa tua bergantung pada solusi-solusi yang tepat dari permasalahan pada masa kanak-kanak dan masa muda.

Terapis Jungian menggunakan analisis mimpi dan imajinasi aktif untuk menemukan ketidaksadaran kolektif dari pasiennya.

Bab 5

Klein: Teori Relasi Objek

• Gambaran Umum Teori Relasi Objek• Biografi Melanie Klein• Pengantar Teori Relasi Objek• Kehidupan Psikis pada Bayi

FantasiObjek

• PosisiPosisi Paranoid-Schizoid Posisi Depresif

• Mekanisme Pertahanan Psikis IntroyeksiProyeksiPemisahanIndentifikasi Proyektif InternalisasiEgoSuperego Oedipus Complex

Perkembangan Oedipal pada Perempuan Perkembangan Oedipal pada Laki-laki

• Pandangan Selanjutnya mengenai Relasi ObjekPandangan Margaret Mahler Pandangan Heinz Kohut Teori Kedekatan John Bowlby Mary Ainsworth dan Teori Situasi Asing

m BrKlein

• Psikoterapi• Penelitian Terkait

Relasi Objek dan Gangguan Makan Teori Kedekatan dan Hubungan Orang

Dewasa• Kritik terhadap Teori Relasi Objek• Konsep Kemanusiaan• Istilah dan Konsep Penting

1 6 0 | Teori Kepribadian

Melanie Klein adalah wanita yang mengembangkan teori yang menekankan pada konsep pengasuhan dan hubungan penuh cinta kasih antara orang tua dan anak.

Walaupun demikian, ia sendiri tidak mengalami hubungan yang seperti itu dengan anak perempuannya, Melitta. Perpecahan antara ibu dengan putrinya ini terjadi di awal kelahiran putrinya. Melitta adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari orang tua yang sebenarnya tidak saling mencintai. Saat Melitta berusia 15 tahun, orang tuanya berpisah. Melitta menyalahkan ibunya atas perpisahan ini, juga atas perceraian mereka yang terjadi kemudian. Semakin Melitta dewasa, hubungannya dengan ibunya semakin tidak harmonis.

Setelah Melitta memperoleh gelar kedokterannya, ia menjalani analisis personal, dan menampilkan makalah profesional pada British Psycho-Analytical Society, perkumpulan di mana ia bergabung secara profesional sebagai anggota resrai, sama seperti ibunya.

Edward Glover, orang yang berperan sebagai analis Melitta, merupakan saingan Melanie Klein. Glover, yang mendorong kemandirian Melitta, setidaknya secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap penyerangan terselubung yang dilakukan Melitta terhadap ibunya. Ketidakharmonisan antara ibu dan putrinya ini menjadi semakin intens ketika Melitta menikahi Walter Schmideberg, seorang analis lain yang sangat berlawanan dengan Klein, yang secara terang-terangan mendukung Anna Freud, saingan Klein yang paling tidak disukainya.

Meskipun menjadi anggota dalam British Psycho-Analytical Society, Melitta Schmideberg merasa ibunya memandangnya sebelah mata, bukan sebagai kolega. Pada musim panas tahun 1934, Melitta pernah menulis surat kepada ibunya menggunakan kata- kata yang keras. Ia menulis:

Aku berharap Ibu akan... juga mengijinkan saya untuk memberi Ibu beberapa saran... saya sangat berbeda dengan Ibu. Saya sudah pernah mengatakan pada Ibu beberapa tahun yang lalu bahwa saya akan bereaksi buruk ketika mencoba untuk menekan perasaan saya—adalah cara yang menyakitkan bagi saya jika harus membunuh semua perasaan itu. Sekarang saya sudah tumbuh dewasa dan harus mandiri. Saya mempunyai suami dan kehidupan saya sendiri (dikutip dalam Grosskurth, 1986, him. 199).

Melitta mengungkapkan keinginannya untuk berhubungan dengan ibunya tidak lagi dengan cara neurotik, seperti ketika ia masih muda. Ia berprofesi sama dengan ibunya dan ingin diperlakukan setara oleh ibunya.

Cerita mengenai Melanie Klein dan anaknya menimbulkan perspektif baru yang menekankan bahwa teori relasi objek betul-betul menempatkan pentingnya hubungan ibu

dengan putrinya.

Gambaran Umum Teori Relasi ObjekTeori relasi objek dari Melanie Klein dibangun berdasarkan observasi yang cermat pada anak-anak. Kebalikan dari Freud, yang menekankan empat sampai enam tahun pertama kehidupan, Klein menekankan pentingnya empat sampai enam bulan setelah kelahiran. Ia juga sangat menekankan bahwa dorongan-dorongan pada bayi (lapar, seks, dan lainnya)

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek | 1 6 1

dilandasi oleh sebuah objek, yaitu payudara, penis, vagina, dan seterusnya. Menurut Klein, hubungan anak dengan payudara merupakan dasar dari sebuah hubungan dan berperan sebagai prototipe dari hubungan selanjutnya, seperti ibu dan ayah. Kecenderungan awal seorang bayi untuk menghubungkan bagian -bagian dari suatu objek membuatnya mengalami suatu kondisi tidak realistis atau serupa dengan khayalan yang memengaruhi hubungan interpersonalnya di kemudian hari.

Selain teori Klein, ada beberapa teori lain yang juga berspekulasi mengenai pentingnya pengalaman awal seorang anak dengan ibunya. Margaret Mahler percaya bahwa pengindraan pembentukan identitas seorang anak bergantung pada tiga tahap hubungan dengan ibunya. Pertama, bayi memiliki kebutuhan dasar untuk disayangi dan diasuh oleh ibunya; kemudian, mereka mengembangkan hubungan simbiotik yang aman; dan akhirnya, mereka keluar dari lingkaran protektif ibunya dan membangun individualitas mereka. Heinz Kohut berteori bahwa anak mengembangkan pengindraan diri selama periode awal kehidupan bayi. Hal ini terjadi ketika orang tua dan yang lainnya memperlakukan mereka layaknya bayi yang bisa mengenali identitas diri mereka sendiri. John Bowlby menyelidiki kedekatan bayi dengan ibunya. Mary Ainsworth dan koleganya mengembangkan teknik untuk mengukur tipe gaya kedekatan yang dikembangkan seorang bayi terhadap orang yang mengasuhnya.

Biografi Melanie KleinMelanie Reizes Klein lahir pada tanggal 30 Maret 1882 di Wina, Austria. Ia lahir sebagai anak terakhir dari empat bersaudara, dari pasangan Dr. Moriz Reizes dan istri keduanya, Libussa Deutsch Reizes. Klein percaya bahwa ia lahir sebagai seorang anak yang kehadirannya tidak direncanakan. Keyakinannya ini membuatnya merasa ditolak oleh orang tuanya. Melanie merasa ada jarak dengan ayahnya, yang lebih mencintai kakak perempuannya, Emilie (Sayers, 1991). Ketika Melanie lahir, ayahnya sudah lama melawan Yahudi Ortodoks dan menolak untuk menerapkan agama apapun dalam kehidupannya. Akibatnya, Klein tumbuh dalam keluarga yang tidak proagama, namun juga tidak antiagama.

Pada masa kanak-kanak, Klein mengamati kedua orang tuanya menjalani pekerjaan yang tidak mereka sukai. Ayahnya seorang dokter yang bekerja dibidang obat-obatan, yang kemudian berakhir dengan bekerja sebagai asisten dokter gigi. Ibunya memiliki sebuah toko tumbuhan dan reptil. Sebuah pekerjaan yang sulit, memalukan, dan menakutkan untuk seseorang yang takut akan ular (H. Segal, 1979). Meskipun ayahnya bergelar dokter dan tidak memiliki penghasilan yang mencukupi keluarganya, Klein bercita-cita menjadi seorang dokter sama seperti ayahnya.

Hubungan-hubungan Klein di awal kehidupannya merupakan hubungan-hubungan yang tidak sehat atau berakhir dengan tragedi. Ia merasa diabaikan oleh ayahnya, yang dipandangnya sebagai sosok yang dingin dan jauh, sedangkan hubungan dengan ibunya dirasakan sangat kaku, walaupun ia sangat mencintai dan mengidolakan ibunya. Klein memiliki kedekatan dengan kakak perempuannya Sidonie, yang lebih tua empat tahun darinya dan sering mengajarkannya aritmatika juga membaca. Sayangnya, Sidonie

j Teori Kepribadian

meninggal ketika Melanie berusia empat tahun. Pada tahun-tahun berikutnya, Melanie mengaku bahwa ia tidak pernah merasa sangat sedih atas kematian Sidonie (H. Segal, 1992). Setelah kematian Sidonie, Klein menjadi sangat dekat dengan kakak laki-lakinya Emmanuel, yang merupakan kakak laki-laki satu-satunya dan berusia lima tahun lebih tua dari Melanie. Ia sangat mengagumi dan terobsesi pada Emmanuel. Kemungkinan obsesi ini kemudian berpengaruh pada kesulitannya dalam membina hubungan dengan laki-laki. Seperti Sidonie, Emmanuel juga mengajari Melanie dengan sangat baik sehingga Melanie berhasil lolos dalam ujian masuk sebuah sekolah persiapan yang bereputasi baik (Petot, 1990).

Saat Klein berusia 18 tahun, ayahnya meninggal, tetapi tragedi yang lebih besar terjadi dua tahun kemudian, yaitu ketika kakak laki-laki yang sangat dicintainya, Emmanuel, meninggal. Kematian Emmanuel sangat mengguncang Klein. Ketika masih berduka atas kematiannya, Melanie menikahi Arthur Klein, seorang Insinyur teman dekat Emmanuel. Pernikahan ini diyakini Melanie sebagai penyebab dari kegagalannya menjadi seorang dokter sehingga di sepanjang sisa hidupnya, ia terus menyesal karena tidak mencapai tujuannya itu (Grosskurth, 1986).

Sayangnya, pernikahan Klein tidak bahagia, ia menghindari hubungan seksual dan tidak ingin hamil (Grosskurth, 1986). Meskipun demikian, ia mempunyai tiga anak dari pernikahannya dengan Arthur, yaitu Melitta, lahir tahun 1904; Hans, lahir tahun 1907; dan Erich, lahir tahun 1914. Pada tahun 1909, keluarga Klein pindah ke Budapest karena Arthur ditugaskan di sana. Di tempat itu, Klein bertemu dengan Sandor Ferenczi, salah satu anggota lingkaran dalam Freud, yang kemudian mengenalkannya pada dunia psikoanalisis. Ketika ibunya meninggal pada tahun 1914, Klein mengalami depresi dan meminta Ferenczi untuk menganalisisnya. Pengalaman ini merupakan titik balik dalam kehidupannya. Pada tahun yang sama, ia membaca buku Freud yang berjudul On Dreams (1901/1953) “dan dalam seketika menyadari apa yang menjadi tujuan saya. Setidaknya, untuk tahun-tahun di mana saya merasa sangat antusias mencari apa yang dapat memuaskan saya, baik secara intelektual maupun emosional” (dikutip dalam Grosskurth, 1986, him. 69). Pada saat yang sama ketika ia mulai mengenai Freud, lahirlah anak ketiganya, Erich. Klein sangat memercayai psikoanalisis dan mengajar anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip Freudian. Sebagai bagian dari pengajarannya, ia mulai menerapkan psikoanalisis terhadap Erich sejak ia masih kecil. Selain itu, ia juga menganalisis Melitta dan Hans, yang di masa mendatang keduanya malah menemui analis lain. Melitta, yang kemudian menjadi psikoanalis, menemui Karen Horney (lihat Bab 6) dan juga analis lain. Hubungan antara Homey dan Klein sangat menarik karena di kemudian hari, Klein menganalisis dua puteri Horney yang termuda ketika usia mereka dua belas dan sembilan tahun (putri tertua Horney yang berusia empat belas tahun menolak dianalisis). Tidak seperti Melitta yang dianalisis dengan sukarela, kedua putri Horney merasa terpaksa menghadiri sesi analisis. Sesi ini bukan sesi untuk menyembuhkan gangguan neurotik, melainkan sesi dengan tujuan pencegahan (Quinn, 1987).

Klein berpisah dengan suaminya pada tahun 1919, namun perceraiannya baru terjadi beberapa tahun kemudian. Setelah perpisahannya, ia membangun praktik psikoanalisis di Berlin dan membuat makalah mengenai analisisnya terhadap Erich. Makalah ini merupakan kontribusi pertamanya dalam literatur psikoanalisis. Erich, dalam makalah tersebut, tidak diperkenalkan sebagai anaknya bahkan sampai beberapa waktu lamanya setelah kematian

Klein (Grosskurth, 1998). Tidak merasa puas akan analisis yang dilakukan oleh Fe. terhadap dirinya sendiri, Klein mengakhiri hubungan dengannya. Kemudian, ia m. dianalisis oleh Karl Abraham, anggota lain dari lingkaran dalam Freud. Setelah hubungan ii. berjalan selama empat belas bulan, Klein mengalami tragedi lain yaitu kematian Abraham. Pada titik saat itu, Klein memutuskan untuk melakukan analisis terhadap diri sendiri (self- analysis), analisis yang terus dilakukan selama sisa hidupnya. Sebelum tahun 1919, semua psikoanalis, termasuk Freud, membuat teori mengenai perkembangan anak berdasarkan penanganan terapi mereka pada orang dewasa. Kasus tunggal Freud yang berhubungan dengan anak hanyalah Little Hans. Ia adalah anak laki-laki yang menjadi pasiennya hanya dalam sekali pertemuan. Melanie Klein mengubah situasi tersebut dengan melakukan psikoanalisis langsung pada anak. Terapi yang dilakukannya pada anak yang sangat muda, termasuk anaknya sendiri, meyakinkannya bahwa anak-anak menyimpan perasaan positif dan negatif terhadap ibunya. Mereka juga mengembangkan superego lebih awal daripada yang diyakini oleh Freud. Pandangan yang berbeda dari standar teori psikoanalisis ini menyebabkan munculnya banyak kritik dari koleganya di Berlin sehingga membuatnya tidak merasa nyaman lagi tinggal di kota tersebut . Kemudian, pada tahun 1926, Ernest Jones mengundangnya ke London untuk menganalisis anak-anaknya dan menyampaikan serangkaian kuliah mengenai analisis anak. Serangkaian kuliah tersebut kemudian menghasilkan buku pertamanya, The Psycho-Analysis o f Children (Klein, 1932). Pada tahun 1927, ia memutuskan pindah ke Inggris dan menetap di sana sampai ia meninggal pada tanggal 22 September 1960. Pada hari pemakaman Klein, putrinya (Melitta) melakukan penghinaan terhadapnya dengan memberikan ceramah profesional menggunakan sepatu bot merah sehingga mengejutkan para pengunjung yang hadir di sana (Grosskurth, 1986).

Selama tinggal di London, kehidupan Klein ditandai dengan perbedaan dan kontroversi. Meskipun ia tetap menyebut dirinya sebagai Freudian, namun Freud dan anaknya (Anna) tidak menerima konsepnya yang menekankan pentingnya masa kanak-kanak awal dalam teknik analisis yang dilakukannya pada anak-anak. Perseteruannya dengan Anna Freud dimulai ketika keluarga Freud masih tinggal di Wina, dan semakin memuncak ketika Anna beserta ayah dan ibunya pindah ke London pada tahun 1938. Sebelum kepindahan Anna Freud ke London, sekolah psikoanalisis di Inggris sudah menjadi “Sekolah Kleinian” dan Klein berseteru terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki hubungan dengan anaknya (Mellita). Perseteruan-perseteruan Klein ini biasanya sangat keras dan personal.

Pada tahun 1934, putra Klein yang kedua (Hans) meninggal karena jatuh. Melitta, yang baru saja pindah ke London dengan suaminya yang juga seorang psikoanalis, Walter Schmideberg, meyakini bahwa adiknya meninggal karena bunuh dini dan ia menyalahkan ibunya atas kematian adiknya. Pada tahun yang sama, Melitta memulai analisis dengan Edward Glover, salah satu saingan Klein dalam British Society. Hal ini membuat hubungan Klein dengan putrinya semakin memburuk, baik secara personal maupun profesional. Bahkan, Melitta terus menyimpan rasa permusuhannya hingga setelah kematian ibunya.

Meskipun Melitta Schmideberg bukan pendukung Anna Freud, namun permusuhan Melitta dengan Klein ini memperuncing perseteruan Klein dengan Anna Freud, yang tidak pernah mengakui kemungkinan untuk menganalisis anak-anak (King & Steiner, 1991; Mitchel & Black, 1995). Perseteruan antara Klein dan Anna Freud tidak pernah mereda, dan masing-

Teori Kepribadian

masing menetapkan dirinya lebih “Freudian” daripada yang lain (Hughes, 1989). Akhirnya pada tahun 1946, British Society menerima tiga prosedur pengajaran, yaitu pengajaran tradisional dari Melanie Klein, pengajaran yang didukung oleh Anna Freud, dan Kelompok Tengah yaitu pengajaran dengan pendekatan lebih bebas yang tidak menerima kedua teknik pengajaran tersebut. Dengan demikian, British Society tidak terpecah, meskipun dengan pencapaian kesepakatan yang tidak mudah.

Pengantar Teori Relasi ObjekTeori relasi objek merupakan bagian dari teori Freud mengenai teori insting, tetapi penyebabnya berbeda setidaknya dalam tiga hal. Pertama, teori relasi objek tidak terlalu menekankan dorongan-dorongan biologis dan lebih menekankan pada pentingnya pola yang konsisten dalam hubungan interpersonal. Kedua, kebalikan dari teori Freud yang bersifat paternalistis dan menekankan pada kekuatan dan kontrol ayah, teori relasi objek cenderung lebih maternal dengan menekankan keintiman dan pengasuhan ibu. Ketiga, teori relasi objek umumnya lebih memandang kontak dan hubungan sebagai motif utama tingkah laku manusia—bukan kesenangan seksual.

Secara lebih spesifik dijabarkan bahwa teori mengandung banyak makna sesuai dengan jumlahnya. Pada dasarnya, bab ini berkonsentrasi pada hasil kerja Melanie Klein, tetapi akan dibahas pula sekilas mengenai teori lain, di antaranya Margaret S. Mahler, Heinz Kohut, John Bowlby, dan Mary Ainsworth. Sebagai gambaran, Mahler menganggap penting kemampuan mempertahankan diri pada bayi untuk mencapai otonomi dan indra mengenai diri sendiri. Kohut lebih menekankan pada pembentukan diri sendiri, sedangkan Bowlby menekankan tahapan pemisahan kecemasan dan Aisworth lebih kepada membedakan gaya kedekatan.

Jika Klein disebut sebagai ibu dari teori relasi objek, maka Freud adalah ayahnya. Telah disebutkan dalam Bab 2 bahwa Freud (1915/1957) meyakini setiap insting atau dorongan memiliki sebuah dorongan (impetus), sumber (a source), tujuan (an aim), dan objek (an object). Tujuan dan objek berdampak pada faktor psikologis. Walaupun kelihatannya tiap dorongan yang berbeda mempunyai tujuannya masing-masing, namun tujuan dasar keduanya selalu sama—yaitu untuk mengurangi ketegangan dengan mencapai kesenangan. Dalam istilah Freudian, manusia adalah objek suatu dorongan, bagian dari seseorang atau sesuatu yang dapat membuat tercapainya suatu tujuan. Klein dan teori relasi objek lainnya memulai dari asumsi dasar yang dikemukakan Freud tersebut. Kemudian, mereka berspekulasi mengenai bagaimana kenyataan atau khayalan seorang bayi di awal hubungan dengan ibunya atau dengan payudara ibunya. Juga bagaimana keduanya menjadi model dari hubungan interpersonalnya di masa mendatang. Bagaimanapun, hubungan pada orang dewasa tidak selalu seperti pandangan mereka. Bagian terpenting dari hubungan ini adalah representasi dari psikis internal pada objek-objek yang terkait erat, seperti payudara ibunya dan penis ayahnya yang pernah diintroyeksikan atau diambil dari struktur psikis seorang bayi dan kemudian diproyeksikan terhadap pasangan hidupnya. Gambaran-gambaran internal ini bukan representasi akurat dari orang lain, tetapi merupakan bagian atau sisa pengalaman

awal setiap orang.

Meskipun Klein terus menyebut dirinya sebagai Freudian, namun ia m teori psikoanalisisnya di luar batasan yang telah ditetapkan oleh Freud. Di lai*Freud sendiri cenderung mengabaikan Klein. Freud tidak banyak berpendapat Klein memintanya memberikan saran. Contohnya pada tahun 1925, ketika Ernest K mengemukakan pujiannya dan menuliskan betapa Klein mengembangkan “hasil kerjayai sangat bernilai” mengenai analisis masa kanak-kanak dan terapi bermain, Freud hanya menjawab “hasil karya Melanie Klein di Wina ini mengundang keraguan dan kontroversi”

(Steiner, 1985, him. 30).

Bab 5 Klein: Teori

Kehidupan Psikis pada BayiJika Freud menekankan pada beberapa tahun pertama dalam kehidupan manusia, maka Klein lebih menekankan pada pentingnya empat sampai enam bulan pertama. Baginya, seorang bayi tidak memulai hidupnya sebagai individu yang kosong. Bayi membawa predisposisi untuk mengurangi pengalaman kecemasan yang dihasilkan oleh dorongan insting hidup dan insting mati. Kesiapan bayi untuk bertindak atau bereaksi seperti yang diharapkan secara filogenetis merupakan faktor bawaan, sebuah konsep yang juga disetujui oleh Freud.

FantasiSalah satu asumsi dasar yang dikemukakan oleh Klein adalah walaupun baru lahir, seorang bayi sudah memiliki fantasi atau khayalan kehidupan yang aktif. Fantasi ini merupakan representasi psikis dari ketaksadaran insting id; yang tidak bisa dicampuradukkan dengan fantasi kesadaran yang dimiliki oleh anak-anak dan orang dewasa. Klein memang sengaja mengejanya dengan fantasi (phantasy) untuk membedakannya dengan kesadaran. Ketika Klein (1932) menulis mengenai dinamika kehidupan fantasi pada bayi, ia tidak mengatakan bahwa bayi yang baru lahir bisa merangkum pemikirannya melalui kata-kata. Maksudnya adalah bahkan sejak masih sangat kecil, bayi memiliki gambaran ketaksadaran dari “baik” dan “buruk”. Contohnya, perut penuh adalah baik; perut kosong tidak baik. Selanjutnya, Klein mengemukakan bayi yang tertidur saat sedang mengisap jarinya sedang berfantasi bahwa ia mengisap puting payudara ibunya yang baik. Bayi yang kelaparan dan menangis serta kakinya menendang berfantasi buruk sedang menendang atau menghancurkan payudara ibunya yang buruk. Pemikiran mengenai payudara baik dan payudara buruk ini sama dengan gagasan Sullivan mengenai ibu baik dan ibu buruk (lihat Bab 8 tentang teori Sullivan).

Seiring dengan berkembangnya sang bayi, fantasi ketidaksadaran mengenai payudara ini masih berlanjut dan berdampak pada kehidupan psikisnya sehingga muncul fantasi ketidaksadaran lainnya. Fantasi ketidaksadaran yang muncul belakangan ini dibentuk melalui kenyataan yang dialami dan predisposisi bawaan. Salah satu dari fantasi ini adalah Oedipus complex atau keinginan anak untuk menghancurkan salah satu orang tuanya dan untuk terlibat secara seksual dengan orang tua satunya. (Gagasan Klein mengenai Oedipus complex ini akan dibahas pada bagian yang berjudul Internalisasi). Fantasi-fantasi ini bisa

j Teori Kepribadian

kontradiksi satu sama lain karena merupakan fantasi ketidaksadaran. Contohnya, seorang anak laki-laki bisa berkhayal memukuli ibunya, namun pada saat yang bersamaan ia juga ingin memiliki anak dari sang ibu. Fantasi tertentu sebagian terbentuk dari pengalaman seorang anak laki-laki bersama ibunya, sebagian lagi terbentuk dari predisposisi universal untuk menghancurkan payudara ibunya dan untuk menyukai payudara yang baik.

ObjekKlein setuju dengan Freud bahwa manusia mempunyai dorongan bawaan atau insting, termasuk insting kematian. Dorongan-dorongan tersebut berupa objek. Objek-objek tersebut adalah dorongan lapar untuk mendapatkan payudara baik, dorongan berhubungan badan dan memiliki organ seksual, juga lainnya. Klein (1948) yakin bahwa sejak masa bayi awal, anak sudah berkaitan dengan objek-objek eksternal ini, “dan kemudian mulai berminat pada wajah dan tangan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka” (Klein, 1991, him. 757). Dalam khayalan aktifnya, bayi mengintroyeksi atau mencapai struktur psikis pada objek- objek eksternal, termasuk penis ayahnya, tangan, dan wajah ibunya, serta bagian tubuh lainnya. Objek yang diintroyeksikan lebih dari sekadar pemikiran internal mengenai objek eksternal; mereka juga berkhayalan dengan menginternalisasikan objek dalam istilah-istilah yang berwujud dan konkret. Contohnya, anak yang mengintroyeksikan sang ibu percaya bahwa ibunya akan selalu ada di dalam dirinya. Pendapat Klein mengenai objek internal mengungkapkan bahwa objek ini mempunyai kekuatannya sendiri. Hal ini sebanding dengan konsep Freud mengenai superego, yang mengasumsikan kesadaran ayah dan ibunya

terbawa dalam diri anak.

PosisiKlein (1946) memandang bayi manusia secara konstan terlibat dalam konflik mendasar antara insting hidup dan insting mati, yaitu antara baik dan buruk, cinta dan benci, serta mencipta dan merusak. Seiring dengan pergerakan ego menuju integrasi dan menjauhi disintegrasi, secara alamiah bayi akan memilih sensasi yang menyenangkan daripada yang membuatnya frustrasi.

Dalam usahanya untuk menghadapi dikotomi baik dan buruk atau dalam menghadapi objek internal dan eksternal, bayi mengatur pengalaman mereka berdasarkan posisi tertentu. Klein memilih istilah “posisi” daripada “tahapan perkembangan untuk mengindikasikan bahwa posisi dapat maju dan mundur. Posisi bukanlah merupakan periode perkembangan dalam rentang waktu tertentu dalam fase kehidupan manusia. Meskipun ia menggunakan label-label psikiatris atau patologis, Klein bertujuan menempatkan posisi untuk mewakili pertumbuhan dan perkembangan normal. Dua posisi yang dikemukakannya adalah posisi

paranoid-schizoid dan posisi depresif.

Posisi Paranoid-SchizoidPada bulan-bulan awal hidupnya, bayi melakukan kontak dengan payudara baik dan payudara buruk. Pengalaman yangberkelanjutan ini memberikan pilihan antara keberhasilan

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek 167

dan frustrasi akan kegagalan, yang kemudian mengancam keberadaan ego bayi tersebut. Bayi berkeinginan untuk mengontrol payudara dengan penuh kuasa. Selain itu, bayi juga merasakan adanya bawaan dari dalam dirinya untuk menghancurkan. Kedua keinginan yang bertentangan ini kemudian memaksa bayi untuk menciptakan khayalan merusak payudara dengan mengigit, mengoyak, ataupun merobeknya. Untuk mengimbangi perasaan yang bertolak belakang ini, ego membelah diri untuk menjaga kelangsungan insting hidup dan mati sebagai bagian dari payudara ibunya. Saat ini, bayi mulai merasa takut akan payudara yang mengancam dibanding merasa takut akan insting kematiannya. Namun, ia juga berhubungan dengan payudara ideal yang menyediakan rasa cinta, rasa nyaman, dan rasa terima kasih. Keinginan bayi untuk tetap meyakini perasaan akan payudara baik merupakan keinginan untuk menjaga dirinya sendiri dan melawan ancaman tersebut. Oleh karena itu, bayi mengadopsi posisi yang disebut Klein (1946) sebagai posisi paranoid-schizoid, yaitu cara bayi untuk mengatur pengalamannya yang juga mengandung perasaan paranoid sebagai pelaksana pemisahan objek internal dan eksternal menjadi objek yang baik dan buruk.

Menurut Klein, bayi mengembangkan posisi paranoid-schizoid ketika berusia tiga sampai empat bulan. Pada saat ini, egonya mempersepsi dunia eksternal sebagai dunia yang subjektif dan fantastis, bukan objektif dan nyata. Perasaan terancam pada seorang bayi merupakan perasaan paranoid, yaitu perasaan yang tidak didasari oleh kenyataan atau bahaya dunia. Anak harus bisa membedakan payudara baik dan payudara buruk sebab kalau konsep ini bercampur aduk, maka ia akan kehilangan payudara baik sebagai labuhan akan rasa hangat yang aman. Dalam dunia anak schizoid, kekerasan dan perasaan diasosiasikan dengan payudara buruk, sementara perasaan cinta dan nyaman diasosiasikan dengan payudara baik.

Tentu saja, bayi tidak menggunakan bahasa untuk mengidentifikasi payudara baik dan payudara buruk, tetapi mereka menggunakan predisposisi biologis untuk menilai positif pada pengasuhan dan insting hidup, serta menilai negatif pada rasa lapar dan insting mati. Pembagian objek-objek di dunia dalam kategori baik dan buruk menjadi prototipe ketika ia menilai orang lain dengan mengembangkan perasaan ambivalen. Contohnya, Klein (1946) membandingkan posisi paranoid-schizoid infantil dengan transferens yang dikembangkan oleh pasien terapi terhadap terapisnya.

Di bawah tekanan ambivalen, konflik, dan perasaan bersalah, pasien tersebut sering kali memisahkan sosok analisnya sehingga pada suatu saat ia bisa merasa mencintai analisnya itu, namun di kesempatan lain ia malah membencinya. Atau analisnya itu malah mengingatkannya pada sosok baik (atau buruk) sementara sosok lainnya menjadi kebalikannya (him. 19).

Perasaan ambivalen ini tentunya tidak terbatas hanya pada situasi terapi. Kebanyakan manusia memiliki perasaan positif dan negatif terhadap kekasihnya. Meskipun demikian, perasaan ambivalen yang disadari bukan merupakan esensi dari posisi paranoid-schizoid. Orang dewasa mengadopsi posisi paranoid-schizoid dengan cara yang primitif dan mengandalkan ketaksadarannya. Seperti yang ditegaskan Ogden (1990), mereka mungkin menjadikan diri mereka sebagai objek yang pasif ketimbang sebagai subjek aktif. Mereka cenderung berkata, ia adalah orang yang berbahaya” ketimbang mengatakan “saya merasa

Teori Kepribadian

bahwa ia berbahaya bagi saya.” Orang lain bisa memproyeksikan perasaan paranoid yang tak disadari terhadap orang lain, yang kemudian melihat orang tersebut sebagai orang yang sempurna sementara memandang dirinya kosong dan tidak bermakna.

Posisi DepresifSaat usia lima atau enam bulan, bayi mulai dapat melihat objek eksternal secara utuh dan melihat bahwa terdapat kebaikan sekaligus keburukan pada seseorang. Pada saat ini, bayi mengembangkan gambaran yang lebih realistis sebagai individu yang independen dan dapat melakukan kebaikan dan keburukan. Egonya juga mulai lebih matang sampai pada titik di mana perasaan destruktifnya bisa diterima, ketimbang memproyeksikannya keluar. Bayi juga menyadari bahwa ibunya bisa pergi jauh dan hilang selamanya. Bayi memiliki perasaan takut akan kemungkinan kehilangan ibunya, keinginan untuk melindungi ibunya, dan menjauhkannya dari segala bahaya yang disebabkan oleh dirinya sendiri dan semua impuls-impuls yang bisa mencelakai sesama manusia yang sebelumnya diproyeksikan terhadap ibunya. Akan tetapi, ego bayi sudah cukup matang untuk menyadari bahwa ia tidak mampu melindungi ibunya sehingga bayi mengalami perasaan bersalah pada ibunya. Kekhawatiran akan kehilangan objek yang dicintainya bergabung dengan perasaan bersalah karena menginginkan kehancuran konstitusi objek, yang disebut dengan Klein sebagai posisi depresif.

Anak yang sedang berada pada posisi depresif dapat mengenali objek yang dicintainya menjelma menjadi satu di waktu yang sama. Mereka saling mendekati satu sama lain untuk keinginan menghancurkan ibunya dan keinginan untuk memperbaiki atas penyerangan ini. Anak melihat ibunya sebagai suatu kesatuan dan dalam posisi yang berbahaya, jadi mereka bisa merasa empati terhadapnya. Kualitas ini merupakan faktor yang menguntungkan bagi hubungan interpersonal mereka di masa mendatang.

Posisi depresif ini menghilang saat anak berkhayalan bahwa mereka sudah membuat perbaikan dan mengenali bahwa ibunya tidak akan menghilang selamanya, tetapi akan kembali setiap kali ia pergi. Saat posisi depresif menghilang, anak menghapuskan pandangan mengenai ibu baik dan ibu buruk. Mereka juga dapat merasakan cinta tidak hanya dari ibunya, tetapi juga dapat menunjukkan rasa cintanya kepada ibunya. Meskipun demikian, resolusi yang tidak selesai dapat mengakibatkan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, dihantui akan kematian dan kehilangan orang yang dicintainya, serta bermacam-macam gangguan psikis.

Mekanisme Pertahanan PsikisKlein (1955) mengemukakan bahwa sejak awal masa bayinya, anak dapat mengadopsi beberapa mekanisme pertahanan psikis untuk melindungi perasaan yang berasal dari kecemasan sadistis oral mengenai payudara—payudara sebagai objek yang destruktif dan menakutkan di satu sisi, namun payudara sebagai objek yang menyenangkan dan sangat membantunya di sisi yang lain. Untuk mengontrol kecemasan ini, bayi menggunakan

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek 169

beberapa mekanisme pertahanan diri, seperti introyeksi (introjection), proyeksi (projection), pemisahan (splitting), dan identifikasi proyektif (projective identification).

IntroyeksiIntroyeksi yang dimaksud Klein adalah khayalan yang diperoleh bayi mengenai persepsi dan pengalaman mereka dengan objek eksternal, yang asalnya dari payudara ibu. Introyeksi dimulai saat pertama kali bayi disusui, ketika dilakukannya usaha untuk memasukkan puting ibu ke dalam mulut bayi. Biasanya, bayi mencoba untuk mengintroyeksi objek- objek baik dan menyambut puting ibunya itu sebagai objek yang dapat melindunginya dari rasa cemas. Namun kadangkala, bayi juga mengintroyeksikan objek-objek buruk, seperti payudara buruk dan penis buruk untuk mengambil kendali dari objek-objek tersebut. Ketika yang diintroyeksikan berupa objek yang berbahaya, mereka menjadi ancaman internal yang mampu menakut-nakuti sang bayi dan meninggalkan residu ketakutan yang mungkin bisa diekspresikan dalam mimpi atau dalam minat terhadap dongeng, seperti “The Big Bad W olf

atau “Snow White and the Seven Dwarfs

Objek-objek yang diintroyeksi bukan representasi akurat dari objek nyata, tetapi sudah diwarnai dengan khayalan anak-anak. Misalnya, bayi berkhayalan bahwa ibunya selalu ada bersamanya sehingga mereka merasa sosok ibunya berada di dalam badannya. lentu saja sebenarnya seorang ibu tidak selalu ada, namun bayi tidak ingin menghilangkan khayalannya

mengenai kehadiran ibunya sehingga sosok ibunya ini menjadi objek internal.

ProyeksiBayi menggunakan introyeksi pada objek baik dan buruk, kemudian mereka menggunakan proyeksi untuk mengeluarkannya. Proyeksi merupakan khayalan yang dirasakan oleh

seseorang dan impuls-impuls yang sebetulnya dipindahkan pada orang lain, tidak berasal

dari dalam diri sendiri. Bayi menyisihkan kecemasannya mengenai penghancuran yang dilakukan oleh dorongan-dorongan internal yang berbahaya dengan cara memproyeksikan impuls destruktif yang tidak dapat dijadikan sebagai objek eksternal (Klein, 1935).

Anak memproyeksikan gambaran buruk dan baik dalam objek eksternal, terutama objek mengenai orang tua mereka. Contohnya, anak laki-laki yang mempunyai keinginan

untuk mengebiri ayahnya kemungkinan merupakan proyeksi dengan menyalahkan ayahnya karena mempunyai keinginan seperti itu. Sama halnya dengan seorang anak perempuan

kemudian mengatributkan perasaan baiknya inUerhada ‘" “ T ^ menenangkan' Ba>'i terus-menerus. Orang dewasa juga kadanpk I &P Pa>udara dan membayangkannya

terhadap orang lain dan kemudian merasa v a k i l PeraSi>an dntanyamerasa yakm bahwa orang itulah yang sebetulnya jatuh

170 Teori Kepribadian

cinta padanya. Proyeksi juga membuat seseorang merasa yakin bahwa pendapatnya yang subyektif itulah yang benar.

PemisahanBayi hanya dapat mengatur aspek-aspek baik dan buruk serta objek eksternal dengan cara memisahkan impuls-impuls yang tidak sesuai. Ego itu sendiri sudah harus terpisah saat proses ini dilakukan. Baru kemudian bayi mengembangkan gambaran mengenai “saya yang baik” dan “saya yang buruk”. Hal ini memungkinkan mereka berhubungan dengan impuls menyenangkan dan impuls destruktif terhadap objek eksternal.

Pemisahan ini bisa berakibat positif atau negatif pada anak. Apabila pemisahan ini dilakukan secara tidak ekstrem dan tidak kaku, maka bisa berdampak positif dan bermakna, baik pada bayi maupun pada orang dewasa. Selain itu, pemisahan ini juga memungkinkan seseorang untuk melihat aspek positif dan negatif pada kepribadiannya sendiri dan membedakan antara kepribadian yang disukai dan tidak disukai. Sebaliknya, jika pemisahan dilakukan secara berlebihan dan tidak luwes, maka bisa menyebabkan represi patologis. Misalnya, jika ego anak sangat kaku untuk dipisahkan menjadi saya yang baik dan saya yang buruk, maka mereka tidak dapat mengintroyeksikan pengalaman buruknya menjadi ego baik. Ketika anak tidak dapat menerima perilaku buruknya, mereka harus berurusan dengan impuls menakutkan dan destruktif sehingga berupaya untuk menekannya.

Indentifikasi ProyektifProses mengurangi kecemasan yang keempat adalah indentifikasi proyektif, yang merupakan mekanisme pertahanan psikis di mana bayi memisahkan bagian dari diri mereka yang tidak dapat diterimanya. Hasil pemisahan ini kemudian diproyeksikan menjadi objek lain. Terakhir, diintroyeksikan kembali ke dalam diri mereka dalam bentukyang berbeda. Dengan memasukkan kembali objek tersebut ke dalam diri mereka, bayi merasa bahwa meraka sudah menjadi seperti objek yang diinginkannya. Misalnya, bayi biasanya memisahkan bagian dari impuls destruktif mereka dan memproyeksikannya pada payudara sebagai payudara yang buruk dan membuat frustrasi. Berikutnya, identifikasi akan payudara ini diintroyeksikan kembali. Proses ini membuat mereka mempunyai kontrol akan payudara sebagai objek yang

menyenangkan sekaligus menyulitkan.

Identifikasi proyektif menghasilkan pengaruh yang sangat kuat pada hubungan interpersonal orang dewasa. Tidak seperti proyeksi yang sepenuhnya berupa khayalan, indentifikasi proyektif hanya ada dalam hubungan interpersonal yang nyata. Contohnya,

„ momnnnvai kecenderunean kuat untuk mendominasi orang lain,

"= r- i — =sangat submisif sehingga memaksa istnny

yang ia tanamkan pada istrinya tersebut.

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek

InternalisasiKetika teori relasi objek berbicara mengenai internalisasi, hal ini berarti bahwa orang melakukan introyeksi, yaitu memasukkan aspek eksternal kemudian diolahnya menjadi rangka kerja yang bermakna secara psikologis. Teori Kleinian menekankan tiga internalisasi penting, yaitu ego, superego, dan Oedipus complex.

EgoKlein (1930, 1946) meyakini bahwa ego atau sifat mementingkan diri sendiri, sudah matang pada tahap yang jauh lebih awal daripada yang diperkirakan oleh Freud. Sebenarnya Freud menduga ego memang sudah ada pada saat kelahiran, namun ia tidak menghubungkan kompleks fungsi-fungsi psikisnya sampai sekitar usia tiga atau empat tahun. Bagi Freud, anak kecil didominasi oleh id. Klein tidak menghiraukan id dan mendasarkan teorinya pada ego sejak awal lahirnya sudah mampu mengenali adanya dorongan destruktif juga mencintai, dan mengolahnya melalui pemisahan, proyeksi, dan introyeksi.

Klein (1959) meyakini bahwa meskipun pada saat kelahiran sesorang, ego merupakan aspek yang paling tidak teratur, namun ego cukup kuat untuk merasakan kecemasan, untuk menggunakan mekanisme pertahanan, serta untuk membentuk objek relasi awal pada khayalan dan kenyataan. Ego mulai bergabung dengan pengalaman pertama bayi saat menyusui ketika payudara baik tidak hanya berisi susu, namun juga berisi cinta dan rasa aman. Akan tetapi, bayi juga bisa mengalami payudara buruk—payudara yang tidak berisi susu, rasa cinta, dan rasa aman. Bayi mengintroyeksikan payudara baik dan payudara buruk, dan gambaran ini merupakan titik utama untuk pembentukan ego selanjutnya. Seluruh pengalaman ini, tidak hanya yang terkait langsung dengan menyusui, dinilai oleh ego dan menentukan apakah akan berkaitan dengan payudara baik atau payudara buruk. Contohnya, saat ego mengalami payudara baik, maka ego mengharapkan pengalaman yang sama dengan objek lain, seperti tangan, dot, atau ayahnya. Dengan demikian, relasi objek yang pertama (payudara) menjadi prototipe untuk perkembangan ego dan hubungan personal seseorang di kemudian hari.

Namun demikian, sebelum bergabung, ego harus terpisah terlebih dulu. Klein berasumsi bahwa secara bawaan, bayi tidak hanya didorong untuk berintegrasi, tetapi juga dipaksa untuk menghadapi dorongan-dorongan hidup dan mati, seperti yang direfleksikan dalam pengalaman mereka terhadap payudara baik dan payudara buruk. Untuk menghindari terjadinya disintregasi, ego yang baru bergabung tersebut harus memisahkan diri menjadi saya yang baik dan saya yang buruk. Saya yang baik akan dialami dengan susu dan rasa cinta, sedangkan saya yang buruk akan dialami ketika tidak menerima susu dan rasa cinta. Gambaran yang berlawanan ini memungkinkan mereka untuk mengatur aspek baik dan buruk pada objek eksternal. Seiring dengan bertambahnya kematangan, persepsi mereka menjadi semakin realistis sehingga mereka tidak lagi melihat dunia sebagai bagian-bagian dari objek, dan ego mereka menjadi semakin terintegrasi.

172 Teori Kepribadian

SuperegoGambaran Klein mengenai superego berbeda dari gambaran Freud. Setidaknya ada tiga aspek penting yang membedakan pandangannya ini. Pertama, proses penggabungan yang terjadi pada waktu kehidupan yang lebih awal. Kedua, pertumbuhan Oedipus complex yang tidak mencukupi. Ketiga, pandangannya lebih keji dan kasar. Klein (1933) sampai pada perbedaan ini melalui analisisnya terhadap anak-anak, sebuah pengalaman yang tidak dialami oleh Freud.

Tidak ada keraguan bahwa superego mengambil peranan penuh pada pasien-pasien kecil saya, yaitu antara usia dua tiga perempat sampai empat tahun, sementara menurut pandangan yang sudah ada (Freudian) melihat superego tidak akan aktif sampai Oedipus complex mati, yaitu sampai sekitar usia lima tahun. Lebih jauh lagi, data saya menunjukkan bahwa superego pada usia awal ini mengalami peningkatan dalam hal kekasaran dan kekejiannya pada anak atau orang dewasa dengan cara yang tidak dapat diukur, dan itulah yang benar-benar dihancurkan oleh ego pada anak kecil (him. 267).

Perlu diingat bahwa konsep superego yang diajukan Freud terdiri dari dua subsistem, egoideal yang menghasilkan perasaan inferior dan, yang kedua, kesimpulan yang menghasilkan perasaan bersalah. Klein menyimpulkan bahwa semakin dewasa maka superego akan menghasilkan perasaan-bersalah dan inferior, tetapi analisisnya terhadap anak-anak membuatnya percaya bahwa superego awal yang muncul pada anak-anak bukan menghasilkan perasaan bersalah, melainkan perasaan terancam.

Menurut Klein, anak kecil merasa takut dihancurkan, dipotong, dan dikoyak-koyak menjadi potongan-potongan kecil—ketakutan ini benar-benar tidak proporsional dan tidak realistis terhadap kenyataan. Mengapa superego pada anak-anak secara drastis dipisahkan dari kenyataan oleh orang tua mereka? Klein (1933) mengemukakan bahwa jawabannya muncul dari insting destruktif yang berasal dari bayi itu sendiri, yang dirasakannya sebagai kecemasan. Untuk mengatur kecemasan ini, ego seorang anak menggerakkan libido (insting hidup) melawan insting mati. Meskipun demikian, insting hidup dan mati tidak bisa sepenuhnya dipisahkan sehingga ego dipaksa untuk membela dirinya melawan tindakannya sendiri. Pertahanan yang dilakukan oleh ego awal ini merupakan pondasi bagi perkembangan superego di mana kekerasan yang ekstrem merupakan reaksi terhadap keagresifan ego dalam melawan kecenderungan destruktif dari dirinya sendiri. Klein memercayai bahwa superego yang keji dan kejam ini bertanggung jawab terhadap kecenderungan-kecenderungan antisosial dan tindakan kriminal pada orang dewasa.

Klein menggambarkan superego anak usia lima tahun dengan cara yang sama seperti yang digambarkan oleh Freud. Pada usia lima atau enam tahun, superego memunculkan sedikit kecemasan dan rasa bersalah yang besar. Superego juga kehilangan sebagian besar kekejamannya dan secara bertahap berubah menjadi kesadaran yang realistis. Meskipun demikian, Klein menolak gagasan Freud yang menyatakan bahwa superego merupakan konsekuensi dari Oedipus complex. Klein malah menyatakan bahwa superego berkembang sejalan dengan perkembangan Oedipus complex dan akhirnya menyatu dalam perasaan bersalah yang realistis setelah Oedipus complex berkembang sepenuhnya.

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek | 173

Oedipus ComplexMeskipun Klein percaya bahwa pandangannya mengenai Oedipus complex merupakan lanjutan dan tidak sepenuhnya menerima gagasan Freud, namun sebagian konsepnya berawal dari beberapa pandangan Freudian. Pertama, Klein (1946, 1948, 1952) menyatakan bahwa Oedipus complex dimulai jauh lebih awal daripada yang diungkapkan oleh Freud. Freud percaya bahwa Oedipus complex terjadi selama tahap lalik, yaitu ketika anak berusia sekitar empat sampai lima tahun dan setelah mereka melewati tahap oral dan anal. Sebaliknya, Klein mengungkapkan bahwa Oedipus complex terjadi bersamaan dengan tahap oral dan anal, dan mencapai puncaknya pada tahap genital, yaitu sekitar usia tiga atau empat tahun (Klein lebih suka menggunakan istilah tahap “genital” dibanding “falik” karena tahap lalik lebih mengarah pada psikologi maskulin). Kedua, Klein percaya bahwa bagian terpenting dari Oedipus complex adalah bahwa ketakutan anak akan adanya ancaman dari orang tuanya karena anak berkhayalan mengosongkan tubuh orang tuanya. Ketiga, ia menekankan pentingnya anak-anak menjaga perasaan positif terhadap kedua orang tuanya selama tahun- tahun Oedipal. Keempat, ia berhipotesis bahwa selama tahap-tahap awal, Oedipus complex menyediakan kebutuhan yang sama, baik terhadap anak laki-laki ataupun perempuan, yaitu untuk membangun sikap positif dengan objek yang baik dan menyenangkan (payudara dan penis) dan menghindari objek yang buruk dan menakutkan (payudara dan penis). Pada posisi ini, anak-anak laki-laki ataupun perempuan dapat mengarahkan rasa cintanya terhadap orang tuanya, baik pada masing-masing orang tua maupun pada keduanya. Anak- anak juga mampu membangun hubungan homoseksual atau heteroseksual terhadap orang tuanya. Seperti yang diungkapkan Freud, Klein berasumsi bahwa anak perempuan dan laki- laki mengalami Oedipus complex secara berbeda.

Perkembangan Oedipal pada PerempuanPada awal perkembangan Oedipal feminin, yaitu selama bulan pertama dalam kehidupan, seorang anak perempuan melihat payudara ibunya sebagai objek “baik dan buruk”. Kemudian,sekitar usia enam bulan ia mulai melihat payudara lfhih Sfihnnii 1 I 1 nepatif Sitnlnk 1 ' , . . t * a u ll> objek yang positif daripada

O ’ ̂ ia mulai melihat ibunya secara keseluruhan sebagai objek yang penuhdengan kebaikan dan sikap ini membuatnya berimajinasi mengenai bagaimana hadirnya seorang bayi. Ia juga berkhayal bahwa penis ayahnya memberi ibunya berbagai hal, termasuk bayi-bayi. Oleh karena anak perempuan kecil ini melihat penis ayahnya sebagai pemberi bayi, maka ia mengembangkan hubungan positif terhadap penis ayahnya dan berkhayal

rrsebagaiss^annyadrn^rl^aya/im ^ukn^erebut^' mdihat ^bayi-bayi ibunya. Keinginannva ini nw h 11 Penls ayahnya dan ibunya dan mengambil

dalam dmnya yang merasa dilukai oleh ibunya,

Teori Kepribadian

suatu kecemasan yang hanya akan berkurang ketika ia kemudian melahirkan seorang bayi yang sehat. Menurut Klein (1945), rasa iri akan penis (penis envy) datang dari keinginan anak perempuan untuk diinternalisasi oleh penis ayahnya dan untuk memperoleh bayi darinya. Khayalan ini menjadi penyebab semua hasrat akan penis eksternal. Bertolak belakang dengan pandangan Freud, Klein tidak dapat menemukan adanya bukti mengapa anak perempuan menyalahkan ibunya karena menghadirkannya di dunia tanpa penis. Sebaliknya, Klein memandang anak perempuan memiliki kedekatan yang sangat kuat dengan ibunya selama periode Oedipal.

Perkembangan Oedipal pada laki-lakiSeperti pada anak perempuan, anak laki-laki juga memandang payudara ibunya sebagai objek baik dan buruk (Klein, 1945). Kemudian selama bulan-bulan pertama perkembangan Oedipal, anak laki-laki mengganti hasrat oralnya, yang semula pada payudara ibunya diganti mejadi hasrat terhadap penis ayahnya. Pada masa ini, anak laki-laki sedang berada pada posisi fem inin di mana ia mengadopsi sikap homoseksual pasif terhadap ayahnya. Kemudian, ia bergerak menuju hubungan heteroseksual dengan ibunya. Oleh karena perasaan homoseksual terhadap ayahnya yang pernah dimilikinya, maka ia tidak takut ayahnya akan mengebirinya. Klein percaya bahwa posisi homoseksual pasif ini merupakan faktor awal terbentuknya hubungan heteroseksual yang sehat dengan ibunya. Sederhananya, seorang anak laki-laki harus memiliki perasaan yang baik terhadap penis ayahnya terlebih dulu, sebelum ia dapat menilai miliknya.

Semakin ia dewasa, bagaimanapun, anak laki-laki mengembangkan impuls oral-sadistis terhadap ayahnya dan ingin menggigit penisnya dan membunuhnya. Perasaan-perasaan ini menumbuhkan kecemasan kastrasi dan ketakutan bahwa ayahnya akan menyiksanya dengan cara menggigit penisnya. Ketakutan ini meyakinkannya bahwa hubungan seksual dengan ibunya adalah hal yang paling berbahaya baginya.

Oedipus complex anak laki-laki ini melebur sebagian karena kecemasan kastrasinya. Faktor yang terpenting adalah kemampuannya untuk membangun hubungan positif dengan kedua orang tuanya pada waktu yang bersamaan. Pada titik ini, anak laki-laki melihat orang

Pada anak laki-laki maupun perempuan, resolusi yang sehat pada Oedipus complex bergantung pada kemampuannya untuk membiarkan ayah dan ibunya berhubungan seksual. Tidak ada rasa keberatan atau merasa tersaingi. Perasaan positif pada anak terhadap orang

tuanya ini menguatkan hubungan seksualnya ketika mereka dewasa.

tuanya sebagai objek yang u posisi depresifnya.

iSi Yang memungkinkannya untuk melalui

bahwa setiap orang terlahir dengan dua dorongan k u a t-

,ayi mengembangkan hdSfat roengayomi pada payudara ba.k

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek 175

objek signifikan lainnya menjadi model untuk hubungan interpersonal di kemudian hari. Kemampuan orang dewasa untuk mencintai atau membenci berasal dari relasi objek yang didapatnya pada masa-masa awal kehidupannya.

Pandangan Selanjutnya Mengenai Relasi ObjekSejak pemikiran Melanie Klein yang menggambarkan teori relasi objek dengan sangat jelas dan kuat, ada beberapa orang yang mengembangkan dan memodifikasi teori ini. Beberapa di antaranya adalah Margaret Mahler, Heinz Kohut, John Bowlby, dan Mary Ainsworth.

Pandangan Margaret MahlerMargaret Schoenberger Mahler (1897-1985) lahir di Sopron, Hongaria. Ia mendapat gelar kedokteran dari University of Vienna pada tahun 1923. Pada tahun 1938, Ia pindah ke New York di mana ia menjadi konsultan di Children’s Service of The New York State Psychiatric Institute. Kemudian, ia mengembangkan observasinya di Masters Children’s Center, New York. Dari tahun 1955 hingga 1974, ia menjadi profesor psikiatri klinis di Albert Einstein College of Medicine.

Awalnya, Mahler tertarik pada kelahiran psikologis individual yang terjadi pada tiga tahun awal dari kehidupan seseorang. Pada waktu di mana seorang anak secara bertahap mengubah rasa aman menjadi rasa otonomi. Gagasan Mahler berasal dari Margaret Mahler

observasinya terhadap perilaku anak yang terganggu dalam berinteraksi dengan ibunya. Kemudian, ia mengobservasi bayi-bayi normal yang sudah mulai dekat dengan ibunya selama 36 bulan pertama kehidupannya (Mahler, 1952).

Bagi Mahler, psikologis individu muncul pada minggu awal dalam kehidupan setelah kelahirannya dan berlanjut hingga tiga tahun kemudian dan seterusnya. Menurut Mahler, kelahiran psikologis (psychological birth) adalah seorang anak bisa menjadi individu yang terpisah dari pengasuh utamanya (ibunya), dan pencapaian ini mendorong munculnya kepekaan akan identitas (sense o f identity).

Untuk mencapai kelahiran psikologis dan individu, seorang anak melewati serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap perkembangan mayor dan empat subtahap (Mahler, 1967, 1972; Mahler, Pine, & Bergman, 1975). Tahap perkembangan mayor yang pertama adalah autisme normal (normal autism), yang berlangsung dari lahir hingga usia tiga atau empat tahun. Untuk menggambarkan tahap autisme normal, Mahler (1967) meminjam analogi Freud (1911/1958) yang membandingkan kelahiran psikologi dengan telur burung yang

1 7 6 Teori Kepribadian

tidak menetas. Burung tersebut mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya secara autis (tanpa adanya realitas eksternal) karena asupan makanannya terdapat pada cangkang telur. Hal ini sama saja dengan bayi yang baru lahir, yang memenuhi berbagai kebutuhannya dari asuhan ibunya yang sangat kuat dan protektif. Bayi yang baru lahir merasa memiliki kekuatan sendiri karena kebutuhannya tersedia secara otomatis tanpa harus melakukan berbagai usaha, seperti telur burung yang belum menetas. Tidak seperti Klein yang mengemukakan konsep rasa takut yang dialami oleh bayi yang baru lahir, Mahler justru menekankan pada periode tidur yang relatif panjang dan narsisme awal yang absolut di mana seorang bayi tidak menyadari kehadiran orang lain. Ia mengacu pada autisme normal sebagai tahap “tanpa objek”, yaitu waktu di mana bayi secara alamiah mencari payudara ibunya. Ia juga tidak setuju dengan gagasan Klein yang menyatakan bahwa bayi memasukkan objek payudara baik dan objek lain ke dalam egonya.

Bayi yang secara bertahap mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, mulai mencoba untuk mengenal pengasuh utama mereka dan mencari simbol hubungan dengannya. Hal tersebut merupakan suatu kondisi yang menjadi simbiosis normal, yang merupakan tahap perkembangan kedua dalam teori Mahler. Simbiosis normal (normal symbiosis) dimulai sekitar usia empat sampai lima minggu dan mencapai puncaknya pada usia empat sampai lima bulan. Selama masa ini “bayi berperilaku dan berfungsi layaknya ia dan ibunya adalah sistem omnipotent—satu kesatuan dalam satu batasan umum” (Mahler, 1967, him. 741). Jika dianalogikan dengan telur burung, maka pada saat inilah cangkang telur sudah mulai retak, namun membran psikologis dalam membentuk hubungan simbiosis masih melindungi janinnya. Mahler mengenali bahwa hubungannya tidak benar-benar hubungan simbiosis. Walaupun hidup seorang bayi sangat bergantung pada ibunya, ibunya tidak betul-betul membutuhkan janinnya. Simbiosis ini ditandai dengan adanya sinyal-sinyal dari seorang bayi ke ibunya. Bayi mengirimkan sinyal kepada ibunya bahwa ia lapar, sakit, senang, dan sebagainya. Ibunya merespons sinyal yang diperoleh dengan caranya sendiri, misalnya menyusui, memegang, atau tersenyum. Pada usia ini, bayi dapat mengenali wajah ibunya dan mempersepsikan apakah ibunya senang atau sedih. Bagaimanapun, pada tahap ini relasi objek belum dimulai—ibu dan objek lainnya masih sekadar menjadi “praobjek” bagi sang bayi. Bagi anak yang lebih besar, bahkan orang dewasa kadangkala mengalami kemunduran sampai pada tahap ini. Mereka cenderung mencari kekuatan dan rasa aman pada pengasuhan ibunya.

Tahap perkembangan mayor yang ketiga adalah pemisahan individuasi (separation- individuation), yang berlangsung pada usia 4 atau 5 bulan sampai pada usia 30 sampai 36 bulan. Pada masa ini, anak-anak mengalami pemisahan secara psikologis dari ibunya, mencapai perasaan individuasi dan mulai mengembangkan identitas personal. Mereka mengalami delusi omnipotence dan mulai menghadapi ketakutan mereka terhadap ancaman eksternal karena ia dan ibunya tidak lagi bersatu. Anak-anak pada tahap pemisahan individuasi merasakan dunia eksternal sebagai dunia yang lebih berbahaya daripada yang mereka kenal di dua tahap sebelumnya.

Mahler membagi tahap pemisahan individuasi ke dalam empat subtahap yang tumpang tindih. Pertama adalah tahap diferensiasi, terjadi di sekitar usia lima sampai tujuh bulan

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek 1 7 7

hingga usia sepuluh bulan. Tahap ini ditandai oleh suatu pemisahan pada orbit simbiotik antara bayi dan ibunya. Untuk alasan ini, setiap subtahap bisa dianalogikan sebagai proses menetasnya sebuah telur. Mahler mengamati respons bayi, pada usia ini, yang tersenyum kepada ibunya menandakan suatu ikatan yang spesifik pada orang lain. Bayi-bayi yang sehat secara psikologis dan memperluas dunia mereka di luar hubungannya dengan ibu, merasa curiga akan kehadiran orang asing dan terhadap orang asing itu sendiri. Sebaliknya, bayi- bayi yang tidak sehat akan merasa takut pada orang asing dan menghindarinya.

Bayi-bayi secara fisik memisahkan diri dari ibunya dengan cara mulai merayap dan berjalan. Saat ini, mereka mulai berlatih memasuki subtahap pemisahan-individuasi, yaitu periode sekitar usia tujuh sampai sepuluh bulan hingga sekitar usia enam belas atau lima belas bulan. Selama subtahap ini, anak-anak dengan mudah mencirikan tubuhnya dari milik ibu mereka, menetapkan suatu ikatan yang spesifik dengan ibunya, dan mulai untuk mengembangkan satu ego yang otonomi. Meskipun demikian, pada tahap awal dari periode ini, mereka tidak suka jika tidak dapat melihat ibu mereka sehingga mata mereka selalu mengikutinya dan menunjukkan bahwa mereka tidak nyaman jika ibunya pergi. Kemudian, mereka mulai dapat berjalan dan dapat menerima dunia luar, yang mereka rasakan sebagai dunia yang memesona dan menggairahkan.

Pada usia sekitar 16 sampai 25 bulan, anak-anak kem bali mengalami kedekatan (rapprochement) dengan ibu mereka, dan menginginkan ibunya untuk kembali mendekatkan diri bersama-sama, baik secara fisik maupun psikologis. Mahler mencatat bahwa pada usia ini anak-anak ingin berbagi setiap pencapaian keterampilan dan pengalaman yang baru diperolehnya dengan sang ibu. Sejak mereka dapat berjalan, anak-anak lebih terpisah dengan ibunya secara fisik. Akan tetapi, pada tahap rapprochement, mereka lebih menunjukkan kecemasan karena terpisah dengan ibunya dibanding pada tahap sebelumnya. Meningkatnya keterampilan kognitif mereka membuat mereka lebih sadar akan terjadinya pemisahan ini sehingga mereka mencoba berbagai cara untuk memperoleh kembali kedekatan yang mereka pernah alami dengan sang ibu. Usaha ini tidak pernah sepenuhnya berhasil. Oleh karenanya, pada usia ini anak-anak sering kali bertengkar secara dramatis dengan ibu mereka. Kondisi ini disebut sebagai krisis rapprochement (rapprochement crisis).

Subtahap terakhir dari proses pemisahan individuasi adalah objek kesetiaan konstan (libidinal object constancy) yang terjadi ketika anak-anak mendekati usia tiga tahun. Selama masa ini, anak-anak membuat representasi ibu mereka secara konstan di dalam diri mereka. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mesnaklumi perpisahan dari ibunya secara fisik. Jika mereka tidak dapat mengembangkan objek kesetiaan konstan ini, maka mereka akan menjadi tergantung dan memerlukan kehadiran ibunya secara fisik agar tetap merasa aman. Di samping memperoleh beberapa derajat tingkat dari objek kesetiaan ini, anak-anak harus memperkuat identitas mereka. Hal ini bertujuan agar mereka dapat berfungsi walaupun tanpa ibu mereka dan dapat mengembangkan relasi objek lainnya (Mahler dkk., 1975).

Kekuatan teori Mahler terletak pada uraiannya yang elegan mengenai kelahiran psikologis yang dibuat bersama rekan-rekannya berdasarkan pengamatan empiris pada hubungan ibu dan anak. Meskipun banyak dari teorinya berdasarkan pada reaksi bayi pada masa sebelum bayi dapat berbicara (praverbal), namun gagasannya ini dapat dengan mudah

178 Teori Kepribadian

diterapkan pada pula orang dewasa. Setiap kesalahan yang dibuat pada 3 tahun pertama dari kelahiran psikologis, dapat mengakibatkan regresi menuju tahap di mana belum tercapainya pemisahan dari ibu dan juga pemahamannya terhadap identitas diri.

Pandangan Heinz KohutHeinz Kohut (1913-1981) lahir di Wina dari orang tua Yahudi yang berpendidikan dan berbakat (Strozier,2001). Pada saat Perang Dunia II, ia pindah ke Inggris.Satu tahun kemudian, ia pindah ke Amerika Serikat di mana ia menghabiskan sebagian besar kehidupan profesionalnya. Ia adalah dosen profesional pada Department of Pscychiatry, Universitas Chicago. Ia juga merupakan anggota Chicago Institute for Psychoanalysis dan dosen tamu kuliah psikoanalisis di University of Cincinnati. Sebagai seorang neurologis dan psikoanalis,Kohut banyak menyinggung para psikoanalis dengan terbitnya The Analysis o f the Self pada tahun 1971.Dalam buku tersebut, konsep mengenai ego diganti dengan konsep mengenai diri sendiri. Melengkapi buku tersebut, aspek psikologi diri sendiri yang dikemukakan olehnya ditemukan dalam buku The Restoration Self (1977) dan The Kohut Seminars (1987) yang diedit oleh Miriam Elson dan diterbitkan setelah kematian Kohut.

Melebihi pencetus relasi objek yang lain, Kohut menekankan proses di mana diri (self) berkembang dari suatu gambaran yang tak terdiferensiasi dan samar-samar hingga menjadi identitas individu yang jelas dan tepat. Seperti halnya pencetus relasi objek lainnya, ia juga memfokuskan awal hubungan ibu dan anak sebagai pemahaman kunci untuk pengembangan manusia di kemudian hari. Kohut percaya bahwa inti dari kepribadian manusia adalah hubungan antarmanusia, bukan insting bawaan.

Menurut Kohut, bayi memerlukan pengasuhan orang dewasa tidak hanya untuk memuaskan kebutuhan secara fisik, tetapi juga untuk mencukupi kebutuhan dasar psikologis. Dalam mengemban kebutuhan fisik dan psikologis, orang dewasa atau objek diri (selfobjects) memperlakukan bayi seolah-olah mereka mempunyai pengertian mengenai dirinya sendiri. Sebagai contoh, orang tua akan bertindak hangat, dingin, atau acuh tak acuh, tergantung pada sebagian perilaku bayi mereka. Melalui proses interaksi yang menimbulkan rasa empati, bayi menerima respons objek terhadap diri sebagai rasa bangga, bersalah, malu, atau iri hati semua sikap yang pada akhirnya membentuk struktur bangunan diri sendiri. Kohut (1977) menggambarkan diri sebagai “pusat dari alam semesta psikologis setiap individu” (him. 311). Diri memberi keutuhan dan konsistensi pada pengalaman seseorang yang relatif stabil dari waktu ke waktu dan sebagai “pusat dari prakarsa dan penerima suatu impresi” (him. 99). Diri juga merupakan fokus seorang anak pada hubungan antarpribadi, yang membentuk bagaimana ia akan berhubungan dengan orang tua dan objek diri lainnya.

Heinz Kohut

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek | 179

Kohut (1971,1977) percaya bahwa bayi mempunyai sifat narsistik alami. Mereka berpusat pada diri sendiri dan mencari kesejahteraan untuk mereka sendiri secara eksklusif serta berharap dikagumi orang lain sebagai diri mereka sendiri dan atas apa yang mereka lakukan. Diri terbentuk di seputar kebutuhan narsistik, yaitu (1) kebutuhan untuk menampilkan kemegahan diri, dan (2) kebutuhan untuk mencapai suatu gambaran ideal mengenai salah satu atau kedua orang tuanya. Keinginan untuk menampilkan kemegahan diri dibangun ketika bayi menghubungkan objek diri “pencerminan” yang merefleksikan pembenaran dari perilakunya. Bayi kemudian membentuk gambaran diri yang mendasar dari pesan-pesan seperti “Jika orang lain melihat saya sempurna, maka saya memang sempurna”. Gambaran orang tua yang ideal berlawanan dengan gambaran diri yang megah karena hal tersebut menyiratkan adanya orang lain yang sempurna juga. Meskipun demikian, gambaran tersebut juga memenuhi kebutuhan narsistik karena mereka mengadopsi sikap “Anda sempurna,

tetapi saya juga bagian dari Anda”.

Kedua gambaran diri yang narsistik tersebut merupakan bagian yang penting bagi pengembangan kepribadian yang sehat. Bagaimanapun, keduanya harus berubah seiring dengan tumbuhnya anak menjadi dewasa. Jika mereka tak berubah, maka akan mengakibatkan suatu kepribadian orang dewasa yang narsistik secara patologis. Gambaran kemegahan ini harus berubah menjadi suatu pandangan yang realistis terhadap diri sendiri. Gambaran orang tua yang ideal juga harus tumbuh menjadi gambaran yang realistis dari orang tua. Kedua gambaran diri sebenarnya tidak hilang sama sekali. Orang dewasa yang sehat tetap memiliki sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan tetap melihat kualitas baik pada orang tua mereka. Bagaimanapun, orang dewasa yang narsistik tidak melampaui

kebutuhan yang bersifat kekanakan ini dan tetap menjadi individu yang berpusat pada diri

sendiri. Mereka juga melihat seluruh isi dunia sebagai pengagumnya. Freud menganggap orang narsistik semacam itu sebagai calon yang lemah untuk psikoanalisis. Sebaliknya, Kohut malah menganggap bahwa psikoterapi bisa berjalan secara efektif terhadap pasien- pasien semacam itu.

Teori Kedekatan John BowlbyJohn Bowlby (1907-1990) lahir di London. Ayahnya adalah seorang ahli bedah yang terkenal. Sejak kecil, Bowlby tertarik pada ilmu pengetahuan alam, kedokteran, dan sujek-subjek psikologi yang kemudian ia pelajan di Cambridge University. Setelah menerima gdar kedokteran, ia memulai praktiknya di bidang psikiatri dan psikoanalisis pada tahun 1933. Pada waktu yang sama, ia mengikuti pelatihan Melanie Klein di bidang psikiatri anak. Selama Perang Dunia II, Bowlby mengabdikan diri sebagai psikiater pada angkatan bersenjata. Pada tahun 1946, ia ditetapkan sebagai direktur Department for Children and Parents di Tavistock Clinic. Selama akhir tahun 1950-an, Bowlby

John Bowlby

1 8 0 | Teori Kepribadian

menghabiskan waktunya di Stanfords Center for the Advanced Study dengan mempelajari Ilmu tingkah laku. Kemudian, ia kembali ke London di mana ia menghabiskan waktu sampai kematiannya di tahun 1990 (van Dijken, 1998).

Pada tahun 1950-an, Bowlby tidak puas dengan perspektif relasi objek, terutama pada kurangnya teori motivasi dan kurang empirisnya teori relasi objek. Berbekal pengetahuannya tentang teori etologi dan teori evolusioner (terutama gagasan Konrad Lorenz mengenai kedekatan awal pada sosok ibu), ia menyadari bahwa teori relasi objek bisa terintegrasi dalam satu perspektif yang evolusioner. Dengan membentuk pengintegrasian seperti itu, Bowbly berpikir ia bisa memperbaiki kurang empirisnya teori tersebut dan memperluasnya menuju arah yang baru. Teori kedekatan (attachment theory) Bowlby juga berangkat dari pemikiran psikoanalitis dengan masa kanak-kanak sebagai titik awalnya dan lalu meramalkan kemungkinan masa dewasanya (Bowlby, 1969/1982, 1988). Bowlby sangat memercayai bahwa proses kedekatan pada masa kanak-kanak berdampak penting terhadap masa dewasa. Oleh karena itu, Bowlby berargumentasi bahwa peneliti perlu mengkaji masa kanak-kanak secara langsung dan tidak bersandar pada hal yang sudah ada secara retrospektif pada orang dewasa.

Teori kedekatan ini berasal dari pengamatan Bowlby bahwa, baik bayi manusia maupun primata bereaksi dengan urutan yang jelas ketika terpisah dari pengasuh utama mereka. Bowlby mengamati tiga tahap kecemasan dari perpisahan (separation anxiety). Pertama, ketika pengasuh mereka tidak terlihat, bayi akan menangis dan menolak ditenangkan oleh orang lain serta mencari-cari pengasuh mereka. Tahap ini disebut tahap protes (protest), sedangkan tahap kedua disebut tahap putus asa (despair), yaitu tahap yang menunjukkan reaksi bayi ketika masih terpisah dari pengasuhnya. Pada tahap ini, bayi-bayi menjadi diam, sedih, pasif, lesu, dan bersikap masa bodoh. Tahap yang terakhir—satu-satunya keunikan

yang hanya terjadi pada manusia—yaitu tahap melepaskan (detachment). Pada tahap ini, bayi mulai bisa melepaskan orang lain secara emosional, termasuk pengasuh mereka. Jika pengasuh mereka (ibu) kembali, maka bayi tidak lagi mengindahkannya dan menghindarinya. Anak- anak yang belajar melepaskan sudah tidak lagi merasa kecewa jika sang ibu meninggalkan mereka. Ketika mereka beranjak besar, mereka dapat bermain dan saling berhubungan dengan yang lain. Mereka pandai membawa diri walaupun berinteraksi dengan emosi yang terbatas. Bagaimanapun, hubungan antarpribadi mereka bersifat dangkal dan kurang hangat.

Dari pengamatan tersebut, Bowlby mengembangkan teori kedekatan yang dipublikasikan

dalam suatu trilogi yang berjudul Attachment and Loss (1969/1982,1973,1980). Teori Bowlby ini bersandar pada dua asumsi utama. Pertama, suatu tanggung jawab dan hubungan pengasuh (biasanya ibu) harus menciptakan dasar rasa aman untuk anak. Bayi perlu mengetahui bahwa ia dapat mengandalkan dan bergantung pada pengasuhnya. Jika rasa ketergantungan dapat tercipta, maka seorang anak akan mampu mengembangkan rasa percaya diri dan rasa aman dengan lebih baik untuk menjelajahi dunianya. Hubungan ketergantungan ini berperan penting dalam proses kedekatan antara pengasuh dengan bayinya sehingga hamp.r dapat dipast,! an

, . i i :___— narla iimumnva.bayi akan bertahan hidup, dan juga spesiesnya pada umumnya.Asumsi yang kedua pada teori kedekatan adalah suatu hubungan y a n g meng.kat (atau

kurang mengikat) menjadi terinternallsasi dan bertindak sebagai con,oh mental bag. hubungan

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek | 1 8 1

persahabatan dan cinta yang dibangun di masa depan. Kedekatan terikat yang pertama kali merupakan kedekatan yang penting untuk membangun hubungan-hubungan lain. Bagaimanapun, untuk berlangsungnya suatu ikatan, seorang bayi memerlukan lebih dari sekadar sel yang peka terhadap rangsangan pasif dari perilaku pengasuhnya, meskipun perilaku tersebut mengupayakan keterikatan tertentu. Gaya kedekatan (attachment style) merupakan suatu hubungan antara dua orang, bukan sebuah karakter yang diberikan pada bayi oleh pengasuhnya. Hubungan ini merupakan hubungan dua arah'baik bayi maupun pengasuhnya harus responsif terhadap satu sama lain dan memengaruhi perilaku satu sama lainnya.

Maria Ainsworth dan Teori Situasi AsingMaria Dinsmore Salter Ainsworth (1919-1999) lahir di Glendale, Ohio, sebagai putri presiden pengusaha barang-barang aluminium. Ia memperoleh gelar BA,MA, dan Ph.D. dari University of Toronto di mana ia juga bekerja sebagai instruktur dan dosen. Selama kariernya yang panjang, ia mengajar dan melakukan penelitian di beberapa universitas dan institut-institut di Canada,Amerika Serikat, Inggris, dan Uganda.

Dipengaruhi oleh teori Bowlby, Ainsworth dan rekan-rekannya (Ainsworth, Biehar, Waters, & Wall,1978) mengembangkan suatu teknik untuk mengukur jenis gaya kedekatan yang ada antara pengasuh dan bayinya, yang dikenal sebagai Situasi Asing (Strange Situation). Prosedurnya meliputi sesi laboratorium selama 20 menit dengan situasi di mana seorang ibu dan bayi pada awalnya hanya berduaan di suatu kamar bermain. Kemudian, masuk orang asing ke dalam ruangan tersebut. Setelah beberapa menit, orang asing tersebut memulai interaksi yang singkat dengan bayi. Lalu, sang ibu pergi menjauh sebanyak dua kali (periode) masing- masing selama dua menit. Selama periode yang pertama, bayi tersebut ditinggalkan sendirian bersama orang asing. Namun, di periode yang kedua, bayi tersebut ditinggalkan sepenuhnya sendirian. Perilaku yang penting adalah bagaimana bayi bereaksi ketika sang ibu kembali. Perilaku inilah yang dijadikan dasar pengukuran skala gaya kedekatan. Ainsworth dan rekan-rekannya menemukan tiga skala gaya kedekatan, yaitu rasa aman, cemas-menolak, dan cemas-menghindar.

Pada kedekatan rasa am an (secure attachment), bayi merasa gembira dan antusias ketika ibu mereka kembali dan mau memulai kontak. Contohnya, mereka akan mendatangi ibu mereka dan ingin dipegang oleh ibunya. Bayi yang mengembangkan kedekatan dengan rasa aman merasa yakin bahwa pengasuhnya mudah didatangi dan bertanggung jawab atas dirinya. Perasaan aman dan bergantung pada pengasuh ini merupakan pondasi untuk keinginan bermain dan eksplorasi.

Pada gaya kedekatan cemas menolak (anxious-resistant), bayi bersifat ambivalen. Ketika ibu mereka meninggalkan ruangan, mereka menjadi kesal dengan cara yang tidak biasa.

M ary Ainsworth

Teori Kepribadian

Namun, ketika ibu mereka kembali, mereka berupaya membina kontak sekaligus juga menolak kedekatan dengan ibunya. Pada kedekatan cemas-menolak, bayi-bayi memberi pesan yang sangat bertolak-belakang. Di satu sisi mereka mencari kontak dengan ibu mereka, namun di sisi lain mereka menggeliat untuk diturunkan dan bisa melemparkan mainan yang disodorkan oleh ibunya.

Gaya kedekatan yang ketiga adalah cemas menghindar (anxious-avoidant). Pada gaya kedekatan ini, bayi tetap tenang ketika sang ibu meninggalkan mereka dan mereka juga menerima kehadiran orang asing. Ketika ibu mereka kembali, mereka cenderung mengabaikan dan menghindarinya. Bayi yang tergolong dalam kedua jenis gaya kedekatan yang diikuti perasaan tidak aman (cemas menghindar dan cemas menolak) cenderung kurang memiliki kemampuan untuk terlibat dalam permainan dan eksplorasi efektif.

PsikoterapiKlein, Mahler, Kohut, dan Bowlby adalah psikoanalis yang terlatih dalam praktik-praktik ortodoks Freudian. Meskipun demikian, masing-masing dari mereka memodifikasi penanganan psikoanalitisnya sesuai dengan orientasi teoretisnya. Banyak ahli mengemukakan teori yang bervariasi mengenai pendekatan terapi. Oleh karena itu, bahasan diskusi dalam buku ini akan dibatasi pada pendekatan terapi yang digunakan oleh Melanie Klein.

Kepeloporan Klein menggunakan psikoanalisis terhadap anak-anak tidak diterima dengan baik oleh analis-analislain selama tahun 1920-an hingga 1930-an. Penolakan gagasan mengenai psikoanalisis terhadap masa kanak-kanak ini terutama dilakukan oleh Anna Freud, yang menyatakan bahwa terapis tidak dapat mengembangkan transferens pada anak kecil yang masih sangat dekat dengan orang tuanya karena mereka tidak memiliki khayalan atau gambaran yang tidak sadar. Oleh karena itu, ia mengklaim bahwa anak kecil tidak bisa memperoleh keuntungan dari terapi psikoanalisis. Sebaliknya, Klein percaya bahwa, baik anak-anak yang sehat maupun yang mengalami gangguan harus melakukan psikoanalisis. Anak-anak yang mengalami gangguan akan memperoleh keuntungan dari penanganan terapeutik, sementara anak-anak yang sehat akan memperoleh keuntungan dari analisis prophilactic. Konsisten dengan keyakinannya, ia bersikeras melakukan analisis terhadap anak-anaknya sendiri . Ia juga bersikeras bahwa keberhasilan psikoanalisis terhadap anak ditentukan dengan adanya transferens negatif, sebuah pandangan yang tidak disetujui Anna

Freud dan banyak psikonalis lainnya.

Untuk memunculkan transferens negatif dan khayalan agresif, Klein menyediakan mainan kecil, pensil dan kertas, cat, krayon, dan sebagainya untuk setiap anak. Ia mengganti pendekatan analisis mimpi dan asosiasi bebas dari Freud dengan terapi bermain. Ia percaya bahwa anak kecil dapat mengekspresikan berbagai keinginan mereka yang tidak sadar dan sadar melalui terapi bermain. Terapi bermain juga mendukung adanya tiansferens negatif, yaitu ketika pasien Klein yang masih anak-anak menyerangnya secara lisan. Hal ini memberinya peluang untuk menginterpretasikan alasan-alasan tidak sadar di balik

serangan-serangan tersebut (Klein, 1943).

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek | 1 8 3

Tujuan dari terapi Kleinian adalah mengurangi perasaan kecemasan yang depresif dan ketakutan yang mengancam dan untuk mengurangi kekerasan objek yang terinternalisasi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, Klein mendorong pasien-pasiennya untuk mengalami kembali emosi dan khayalan awal, namun kali ini dengan bantuan terapis. Tugas terapis adalah menunjukkan perbedaan antara kenyataan dan khayalan serta antara tidak sadar dan yang sadar. Ia juga mengizinkan pasiennya untuk mengekspresikan transferens positif dan negatif. Situasi ini penting agar terbentuk pemahaman pasien mengenai bagaimana khayalan tidak sadar berhubungan dengan situasi-situasi sehari-hari. Begitu hubungan ini dibuat, pasien-pasien merasakan berkurangnya penderitaan yang diakibatkan oleh objek yang diinternalisasinya, berkurangnya kecemasan depresifnya, dan mampu memproyeksikan ketakutan internal yang dialaminya pada dunia luar.

Penelitian TerkaitTeori relasi objek dan kedekatan terus mendorong dilakukannya beberapa riset empiris. Contohnya, teori relasi objek digunakan untuk menjelaskan terbentuknya gangguan makan (eatingdisorders). Penelitian ini berasumsi bahwa ketidakmampuan anak untuk mengurangi perasaan cemas dan frustrasinya disebabkan pengasuhan orang tua yang tidak responsif dan tidak konsisten. Seperti yang terjadi pada gangguan makan, ketika seseorang merasa cemas, mereka cenderung mencari ketenangan dari sumber eksternal, yaitu makanan. Makanan ini dirasakan sebagai objek yang mampu menenangkan kecemasannya. Penelitian sebelumnya sudah ada yang mendukung asumsi ini, yang terjadi terutama pada wanita. Salah satu contohnya adalah penelitan dari Smolak dan Levine (1993) yang menemukan hubungan antara bulimia dengan pemisahan yang berlebihan (overseparation atau detachement) dari orang tua, sedangkan anoreksia berhubungan dengan tingkat tingginya perasaan bersalah dan konflik seputar pemisahannya dengan orang tua.

Relasi Objek dan Gangguan MakanSaat ini, teori dan penelitian mengenai relasi objek dan gangguan makan sudah diterapkan pada para laki-laki dan perempuan. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Steven Huprich dan rekan-rekannya (Huprich, Stepp, Graham, & Johnson, 2004), yang membuktikan adanya hubungan antara gangguan pada relasi objek dan gangguan makan pada wanita dan pria, mahasiswa perguruan tinggi. Oleh karena gangguan makan sering kali ditemukan pada wanita daripada pria (Brannon & Feist, 2007), maka penyelidikan yang dilakukan oleh Huprich dan rekan-rekannya merupakan suatu tambahan penting terhadap penelitian mengenai gangguan makan, baik pada pria ataupun wanita. Peneliti melakukan tiga pengukuran relasi objek dan tiga pengukuran gangguan makan pada peserta untuk melihat apakah hubungan antara relasi objek dengan gangguan makan bisa ditemukan pada pria, seperti ditemukannya hal ini pada wanita.

Peneliti menggunakan metode eksperimen dengan tiga pengukuran relasi objek: (1) ketergantungan hubungan interpesonal; (2) pemisahan individuasi; dan (3) pengukuran

Teori Kepribadian

umum pada relasi objek, yang mengukur pengasingan, kedekatan yang kurang kuat, egosentrisitas, dan ketidakcakapan sosial. Sementara, pengukuran gangguan makan digunakan untuk mengukur (1) kecenderungan anoreksia, (2) kecenderungan bulimia, serta (3) pengindraan kontrol seseorang dan keyakinan diri (self-efficacy) pada pola makan kompulsif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin pada salah satu pengukuran relasi objek (Skala Ketergantungan Hubungan Interpersonal atau the Interpersonal Dependency Scale). Pada pengukuran gangguan makan, skor pada pria lebih rendah daripada skor pada wanita. Hal ini terlihat pada setiap skala pengukuran gangguan makan. Dengan kata lain, gangguan makan dan kecenderungan minum minuman keras yang dialami para pria tidak sebanyak yang dialami oleh para wanita. Para pria juga tidak terlalu tergantung dalam hubungan interpersonal jika dibandingkan dengan para wanita. Meskipun demikian, penelitian pada pria dan wanita di perguruan tinggi menunjukkan hasil yang tumpang-tindih. Penelitian ini menyatakan bahwa walaupun ada perbedaan yang signifikan mengenai perbedaan jenis kelamin, namun pengukuran ini tidak dapat membedakan secara jelas mengenai ketergantungan hubungan interpersonal dengan gangguan makan. Sebagai contoh, Huprich dan rekan-rekannya menemukan bahwa, baik pria maupun wanita yang mempunyai ketergantungan yang tinggi dalam hubungan interpersonalnya dan fokus pada dirinya sendiri (egosentris), cenderung mengalami kesulitan yang lebih besar dalam mengontrol kompulsivitas makannya, dibanding mereka yang lebih kuat, lebih merasa aman, dan tidak fokus pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, orang yang sangat bergantung pada orang lain cenderung untuk “menjadikan makanan sebagai objek eksternalnya untuk menenangkan dirinya sendiri” (Huprich dkk., 2004, him. 808).

Teori Kedekatan dan Hubungan Orang DewasaSeperti yang dikonsepkan oleh John Bowlby, teori kedekatan (attachment) menekankan hubungan antara orang tua dan anak. Sejak tahun 1980-an, peneliti sudah mulai meneliti secara sistematis hubungan pada orang dewasa, terutama pada hubungan yang romantis.

Cindy Hazan dan Phil Shaver (1987) melakukan kajian klasik mengenai hubungan orang dewasa. Mereka memperkirakan bahwa tipe kedekatan awal akan membedakan jenis, durasi, dan stabilitas hubungan percintaan orang dewasa. Secara rinci, peneliti mengasumsikan bahwa orang yang memiliki kedekatan rasa aman dengan pengasuhnya (ibu) akan lebih memercayai adanya kedekatan dan emosi positif pada saat mereka mengalami masa hubungan dewasa, dibanding dengan orang yang di awal hubungannya mengalami ketidaknyamanan. Demikian juga, mereka memprediksi bahwa orang dewasa tipe penghindar akan mengalami ketakutan akan kedekatan dan kekurangan kepercayaan. Di lain pihak, orang dewasa yang ambivalen akan bersemangat dan terobsesi dengan hubungan-hubungan mereka.

Pada kajian lain yang melibatkan para mahasiswa perguruan tinggi dan orang dewasa lainnya, Hazan dan Shaver menemukan adanya dukungan untuk masing-masing prediksi yang disebutkan di atas. Orang dewasa yang memiliki kedekatan rasa aman memiliki kepercayaan dan kedekatan dalam hubungan percintaan mereka, dibanding orang-orang tipe penghindar atau orang cemas-ambivalen. Lebih lanjut, para peneliti juga menemukan bahwa kehidupan percintaan orang dewasa yang memiliki kedekatan rasa aman akan lebih bertahan lama. Selain itu, mereka juga tidak memandang konsep cinta dengan sinis, memiliki

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek 185

hubungan percintaan yang lebih awet, dan memiliki sedikit kecenderungan untuk bercerai dibandingkan orang dewasa tipe penghindar atau cemas ambivalen.

Peneliti lain melanjutkan penelitian mengenai konsep kedekatan dan hubungan romantis orang dewasa. Salah satunya adalah Steven Rholes dan rekan-rekannya. Mereka menguji gagasan gaya kedekatan yang dihubungkan dengan jenis informasi yang dicari atau dihindari oleh orang bersangkutan terhadap hubungan romantis mereka dengan pasangannya (Rholes, Simpson, Tran, Martin, & Friedman, 2007). Peneliti meramalkan bahwa individu penghindar, tidak mencari informasi tambahan tentang perasaan dan mimpi-mimpi terdalam pasangan mereka, sedangkan individu yang bersemangat akan menyatakan suatu keinginan yang kuat untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang pasangannya. Individu tipe penghindar umumnya bekerja keras untuk memelihara kebebasan emosional. Oleh karena itu, mereka tidak memerlukan informasi yang bisa meningkatkan kedekatan. Mereka memandang kedekatan ini akan menjadi penghambat dari kebebasan mereka. Sebaliknya, individu pencemas merasa cemas akan status hubungan mereka dan ingin memperkuat ikatan emosional dengan mencari sebanyak mungkin informasi perasaan yang intim dari

pasangan mereka.

Untuk menguji perkiraan mereka, Rholes dan rekan-rekannya melibatkan beberapa pasangan dalam sebuah laboratorium psikologi untuk mengukur kedekatan dan informasi lainnya. Gaya hubungan diukur dengan suatu kuesioner yang memuat pertanyaan tentang informasi diri sendiri; seberapa cemas atau penghindar seseorang dalam hubungan romantis mereka. Proses pencarian informasi diukur dengan tugas yang terkomputerisasi sehingga memungkinkan setiap partisipan secara independen menyelesaikan beberapa pertanyaan tentang hubungan mereka. Pertanyaan ini juga termasuk tentang bagaimana perasaan pasangan mereka dan cita-cita mereka di masa depan. Para partisipan diberitahu bahwa komputer akan menyimpulkan hubungan mereka dalam sebuah profil yang dapat mereka lihat pada akhir tes. Peneliti kemudian dapat mengukur seberapa banyak informasi yang disediakan oleh profil hubungan tersebut, yang dapat dibaca oleh setiap pasangan. Sejalan dengan perkiraan mereka dan teori hubungan secara umum, individu penghindar akan menunjukkan sedikit ketertarikan dalam membaca profil pasangan mereka, sementara individu pencemas akan berusaha mencari informasi tentang pasangannya dan cita-cita mereka.

Penelitian tidak hanya menghubungkan gaya kedekatan seseorang dengan orang tua dan pasangannya. Penelitian terbaru juga telah melihat peran gaya kedekatan di antara para pemimpin dan pengikutnya (contohnya, para pemimpin militer dan prajuritnya;

Davidovitz, Mikulincer, Shaver, Izsak, & Popper, 2007; Popper & Mayseless, 2003) Teori yang dikemukakannya adalah gaya kedekatan akan relevan di antara pemimpin dan anak buahnya. Hal m, d.sebabkan karena para pemimpin akan berperan sebagai pengasuh dan umber dar, keamanan, serupa dengan dukungan yang ditawarkan oleh para pengasuh dan

rasa a m a n T k 1'8' Penellti memperkirakan bahwa Para P ^ im p tn gaya kedekatan a aman (bukan pencemas maupun penghindar) akan lebih efektif dibanding dengan

pemimpin yang tidak memiliki perasaan aman. 8 8

dan “ a l r o n t " 1 Perai; kedekata" da'am ^ Davidovitzan rekannya (2007) mempelajari kelompok pejaba, militer dan para prajurlt yang

186 Teori Kepribadian

sedang bertugas. Para pejabat militer melakukan pengukuran kedekatan yang sama seperti yang digunakan digunakan sebelumnya dalam pencarian informasi dan kedekatan, tetapi bukanlah dengan melaporkan kedekatan mereka secara umum. Prajurit akan menyelesaikan pengukuran tentang keefektifan tugas mereka, tingkat kohesif unit militer mereka, dan mengukur kondisi psikologis.

Hasil yang didapat dari penelitian tersebut mendukung gagasan mengenai pentingnya gaya kedekatan pada berbagai tipe hubungan. Unit pejabat militer yang memiliki kedekatan jenis penghindar akan kurang kohesif dan prajuritnya menunjukkan kondisi kepuasan secara psikologis (psychological well-being) yang lebih rendah dibandingkan oleh prajurit lain dalam unit yang sama. Serupa dengan hasil tesebut, pengaruh dari gaya kedekatan para pemimpin penghindar ini disebabkan keinginan petugas itu sendiri untuk menghindari informasi sosial dan emosional dari unit mereka. Pejabat tipe pencemas akan memimpin unit yang dinilai rendah dalam fungsi instrumental (tingkat keseriusan kerja). Sejalan dengan itu, unit yang sama dinilai lebih tinggi secara sosial-emosional (tingkat di mana para pejabat dinilai bebas dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka). Penemuan terakhir mengenai sosial-emosional ini cukup mengejutkan para peneliti, tetapi masuk akal dengan mempertimbangkan penemuan dari Rholes dan rekan-rekannya (Rholes dkk., 2007). Gaya kedekatan pejabat tipe pencemas cenderung mencari informasi mengenai perasaan prajurit mereka dan bagaimana mereka bisa berinteraksi satu dengan lainnya.

Kedekatan (attachment) merupakan konstruk psikologi kepribadian yang secara terus- menerus menghasilkan banyak penelitian penting. Saat kajian mengenai teori kedekatan mulai memahami perbedaan dalam hubungan anak-orang tua, penelitian terkini menyebutkan bahwa dinamika yang sama (gaya kedekatan rasa aman, penghindar, dan pencemas) dinilai penting untuk memahami konsep hubungan, mulai dari hubungan pasangan romantis hingga hubungan pemimpin militer dan prajuritnya.

Kritik terhadap Teori Relasi ObjekSaat ini, teori relasi objek menjadi lebih populer di Inggris dibanding di Amerika Serikat. “British School” memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam psikoanalisis dan psikiatris di Inggris. Di Amerika, meskipun masih tetap berkembang, pengaruh dari teori iclasi objek

tidak terlalu dirasakan secara langsung.

Bagaimanakah penilaian terhadap teori ini dalam hal mengembangkan penelitian? Pada tahun 1986, Moriss Bell dan rekan-rekannya memublikasikan Bell Object Relations Inventory (BOR1), sebuah kuesioner penilaian diri (self-report) yang mengidentifikasi empat aspek relasi objek, yaitu alienation, kedekatan (attachment), egosentrisitas (egocentnctty), dan ketidakkompetenan sosial (social incompetence). Sampai saat ini, hanya beberapa penelitian

, PQDT untuk meneliti relasi objek secara empiris. Bagaimanapun juga,

pada ^at'fnM^ri^ebsi^ibjek^elah mendorong munculnya banyak penelitian. Oleh itu kami memberikan nilai yang rendah pada teori relasi objek dalam kemampuannya menghasilkan penelitian, namun dilihat dari aspek kegunaannya, »eo„ .m dinilai cu up

tinggi untuk memenuhi kriteria.

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek j 1 8 7

Oleh karena teori relasi objek berkembang dari teori psikoanalisis orthodoks, maka sama seperti teori Freud, teori ini menghadapi permasalahan dalam hal ketidakmampuannya untuk diulang atau diuji kebenarannya. Kebanyakan gagasannya didasarkan pada apa yang terjadi dalam diri psikis seorang bayi sehingga asumsi tersebut tidak dapat diulang untuk disangkal atau dibenarkan. Teori ini tidak membiarkannya untuk di sangkal atau dibenarkan karena teori ini hanya memunculkan sangat sedikit hipotesis yang bisa diuji. Di lain pihak, teori kedekatan dinilai tinggi dalam hal ketidakmampuannya untuk diulangi.

Mungkin, kegunaan yang paling penting dari teori relasi objek adalah kemampuannya dalam mengorganisasi atau mengelola informasi tentang perilaku bayi. Melebihi kebanyakan pencetus lain, pencetus relasi obj ek berspekulasi terhadap bagaimana manusia secara bertahap menjadi lebih peka terhadap identitas mereka. Klein, dan terutama Mahler, Bowlby, dan Ainsworth, membangun teori mereka secara hati-hati berdasarkan pengamatan terhadap hubungan ibu dan anak. Mereka melihat interaksi antara bayi dan ibunya dan mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang mereka lihat. Bagaimanapun, di luar masa kanak-kanak, teori relasi objek kurang bermanfaat sebagai pengorganisasi (pengelola) pengetahuan.

Sebagai panduan untuk para praktisi, teori relasi objek dinilai lebih baik dibanding sebagai pengorganisasi data atau hipotesis teruji yang dihasilkannya. Orang tua para bayi dapat belajar banyak tentang kehangatan, penerimaan, dan pengasuhan yang baik. Psikoterapis menemukan bahwa teori ini berguna tidak hanya bagi pemahaman perkembangan awal dari klien mereka, tetapi juga untuk memahami dan bekerja dengan hubungan yang jelas yang dibentuk klien dengan para terapisnya, yang mereka lihat sebagai pengganti orang tua.

Dalam kriteria konsistensi, setiap teori yang didiskusikan dalam bab ini memiliki konsistensi internal yang tinggi, tetapi beberapa pencetus teori menyatakan ketidaksetujuannya dalam beberapa hal. Walaupun mereka semua memiliki kepentingan utama yang sama dalam hubungan manusia, tetapi perbedaan di antara mereka melebihi persamaan yang ada pada mereka.

Sebagai tambahan, kami menilai rendah teori relasi objek dalam hal kriteria kesederhanaan (parsimony). Khususnya pada teori Klein yang menggunakan frase-frase yang kompleks dan tidak perlu dalam mengekspresikan teorinya.

Konsep KemanusiaanPara pencetus teori relasi objek secara umum melihat kepribadian manusia sebagai produk dari hubungan awal antara bayi dan ibunya. Interaksi yang terjadi merupakan dasar dari kepribadian yang akan tumbuh dan menjadi semacam prototipe dalam menjalankan hubungan interpersonal. Klein melihat psikis manusia sebagai sesuatu yang “tidak stabil, mengalir (fluid), secara konstan dipenuhi oleh kecemasan psikotik” (Mitchell & Black, 1995, him. 87). Lebih lanjut, “setiap manusia berjuang melawan ancaman yang kuat atas penghancuran ... dan pengabaian sepenuhnya” (him. 88).

Pencetus teori relasi objek menilai determ inism e sebagai sesuatu yang tinggi dan rendah dalam kemungkinan kebebasan memilih karena mereka menggarisbawahi hubungan antara ibu dan bayi dan m elihat bahwa pengalaman ini akan menjadi sangat penting dalam perkembangan tahap berikutnya.

1 8 8 Teori Kepribadian

Dengan alasan yang sama, mereka dapat dikategorikan sebagai seorang yang pesim is atau optimis, tergantung dari kualitas hubungan ibu dan bayi yang dialaminya. Jika hubungan tersebut sehat, maka seorang anak akan tumbuh sehat secara psikologis. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, maka anak akan berkembang menjadi seorang yang patologis dan memiliki kepribadian yang diserapnya dari luar (self absorbed personality).

Dalam dimensi kausal versus teleologi, teori relasi objek cenderung lebih mengarah pada dimensi kausal. Pengalaman awal adalah pembentuk utama dari sebuah kepribadian. Harapan tentang masa depan hanya sedikit berperan dalam teori relasi objek.

Teori ini dinilai tinggi dalam hal penentuan perilaku tak dasar (unconcious determ inants of behavior) karena kebanyakan pencetus teori ini mendeteksi kepribadi­an mutai dari usia dini, yaitu masa sebelum munculnya bahasa verbal. Oleh karenanya, orang dapat memperoleh banyak sifat dan sikap personal pada level praverbal dan tidak menyadari adanya faktor alam pada sifat dan sikap personalnya ini. Sebagai tambahan, Klein m enempatkan teorinya mengenai insting kematian bawaan dan sifat filogenetik sebagai penentu arah ketaksadaran seseorang.

Pentingnya insting kematian dan sifat filogenetik yang dikemukakan Klein dalam teorinya memperlihatkan bahwa ia memandang faktor biologis lebih penting dalam m embentuk kepribadian dibandingkan faktor lingkungan. Bagaimanapun, Klein mengubah penekanan teori dari tahapan biologis Freud menjadi interpersonal. Klein dan pencetus teori relasi objek lainnya berpedoman pada determ inasi sosial dari sebuah kepribadian karena kedekatan dan kehangatan yang diterima oleh bayi dari ibunya merupakan pengalaman lingkungan.

Dalam dimensi keunikan versus kesamaan, para pencetus teori cenderung memilih dimensi kesamaan. Sebagai terapis klinis yang lebih banyak berurusan dengan pasien yang terganggu jiwanya, Klein, Mahler, Kohler, dan Bowlby membatasi diskusi mereka dalam hal membedakan kepribadian yang sehat dan kepribadian yang mengalami patologis. Sedangkan perhatian mereka pada perbedaan kesehatan kepribadian secara psikologis sangatlah sedikit.

Istilah dan Konsep Penting• Pencetus teori relasi objek mengasumsikan bahwa hubungan antara ibu dan anak

pada masa usia empat sampai lima bulan pertama adalah masa paling kritis untuk perkembangan kepribadian

• Klein percaya bahwa representasi internal psikis adalah bagian yang terpenting dalam objek signifikan awal, seperti pada payudara ibu atau penis ayah.

• Bayi mengintroyeksikan representasi psikis sebagai struktur psikis mereka sendiri dan memproyeksikannya sebagai eksternal objek, yaitu orang lain. Gambaran internal ini bukan merupakan gambaran yang akurat dari orang lain, tetapi akan tetap menjadi bagian dari pengalaman interpersonal.

• Ego, yang sudah ada sejak bayi lahir, dapat mendeteksi kekuatan cinta dan jahat pada saat pengasuhan.

• Untuk menghadapi masalah payudara yang mengayomi (nurturing breast) dan payudara yang membuat frustrasi (frustrating breast), bayi membedakan objek menjadi objek baik dan buruk dan pada saat yang bersamaan, mereka juga membagi ego mereka sendiri sehingga memberi tampilan ganda tentang dirinya sendiri.

Bab 5 Klein: Teori Relasi Objek

Klein percaya bahwa kehadiran superego jauh lebih awal daripada yang diungkapkan oleh Freud. Ia juga berspekulasi bahwa pertumbuhan superego ini seiring dengan proses Oedipal, bukan produk yang dihasilkan dari proses Oedipal.

Selama awal Oedipus complex pada perempuan, anak perempuan mengadopsi posisi fem inin terhadap kedua orang tuanya. Ia juga mengembangkan perasaan positif, baik terhadap payudara ibunya juga terhadap penis ayahnya. Penis ayahnya ini dipercaya bisa memberikannya bayi.

Terkadang, anak perempuan mengembangkan keinginan untuk berbuat jahat terhadap ibunya. Ia takut ibunya akan menyerangnya dan mengambil bayi-bayinya.

Bagaimanapun, pada kebanyakan anak perempuan, Oedipus complex pada perempuan dapat melebur tanpa adanya antagonisme atau rasa cemburu terhadap ibunya.

Anak laki-laki juga mengadopsi posisi feminin pada masa awal tahun-tahun Oedipal. Pada masa ini, ia tidak merasa takut dikebiri atau dihukum atas perasaan seksualnya terhadap ibunya.

Kemudian, anak laki-laki akan memproyeksikan dorongan destruktif kepada ayahnya, yang ia takuti akan menggigit atau mengebirinya.

Oedipus complex pada laki-laki melebur ketika seorang anak laki-laki sudah membangun hubungan yang baik dengan kedua orang tuanya dan merasa nyaman serta menerima jika kedua orang tuanya melakukan hubungan seksual satu sama lain.

190 Teori Kepribadian

Bab 6

Horney:Teori Psikoanalisis Sosial

• Gambaran Umum Teori Psikoanalisis Sosial• Biografi Karen Horney

• Pengantar Teori Psikoanalisis Sosial

Perbedaan antara Horney dan Freud Pengaruh KulturPentingnya Pengalaman Masa Kanak-kanak

• Perm usuhan D asar dan Kecemasan Dasar

Penelitian Terkait

Dorongan Neurotik untuk Menghindari Hal- hal Negatif

Mungkinkah Neurotisme Merupakan Hal yang Baik?

Kritik terhadap Horney

Konsep Kemanusiaan

Istilah dan Konsep Penting

• Psikologi Fem inin• Psikoterapi

• Dorongan Kom pulsif

Kebutuhan-kebutuhan Neurotik Kecenderungan Neurotik

Mendekati Orang Lain Melawan Orang Lain Menjauhi Orang Lain

• Konflik Intrapsikis

Gambaran Diri IdealPencarian Neurotik akan Kemuliaan Permintaan Neurotik Kebanggaan Neurotik

Kebencian Diri

Horney

2 | Teori Kepribadian

Tandai “B enar” atau “S alah” Sesuai dengan Diri Anda

1. B S Sangat penting bagi saya untuk menyenangkan orang lain.

2. B S Ketika saya merasa tertekan, saya menceritakan masalah-masalah saya kepada seseorang yang kuat secara emosional.

3. B s Saya lebih suka menjalani rutinitas daripada menjalani perubahan.4 B s Saya menikmati berada pada posisi kepemimpinan yang memiliki kekuasaan

besar.5. B s Saya percaya dan mengikuti pendapat yang mengatakan: “Lakukan sesuatu

untuk orang lain sebelum orang lain melakukan sesuatu untuk saya.”6. B s Saya senang membuat suasana menjadi lebih hidup.7. B s Sangat penting bagi saya untuk dihargai atas hasil yang saya capai.8. B s Saya senang melihat hasil-hasil yang dicapai teman-teman saya.9. B s Saya biasanya mengakhiri hubungan apabila hubungan tersebut mulai terlalu

erat.10. B s Sangat sulit bagi saya untuk tidak memperhatikan kesalahan-kesalahan saya

dan kekurangan diri sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mewakili sepuluh kebutuhan penting yang diajukan oleh Karen Horney. Kita akan membahas pertanyaan tersebut pada bagian mengenai kebutuhan-kebutuhan neurotik. Mohon dipahami bahwa menandai satu hal yang mengarah pada kebutuhan neurotik belum tentu mengindikasikan bahwa Anda mempunyai emosi yang tidak stabil atau terdorong oleh kebutuhan-kebutuhan neurotik.

Gambaran Umum Teori Psikoanalisis SosiaiTeori psikoanalisis sosial dari Karen Horney (dibaca Horn-eye) dibentuk berdasarkan asumsi bahwa kondisi sosial dan kultural, terutama pengalaman-pengalaman masa kanak- kanak, sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian seseorang. Orang-orang yang tidak mendapatkan kebutuhan akan cinta dan kasih sayang yang cukup selama masa kanak-kanak mengembangkan rasa perm usuhan dasar (basic hostility) terhadap orang tua mereka dan, sebagai akibatnya, mengalami kecem asan dasar (basic anxiety). Horney mengatakan bahwa seseorang melawan kecemasan dasar dengan melakukan salah satu dari tiga cara pokok dalam berhubungan dengan orang lain, yaitu (1) mendekati orang lain, (2) melawan orang lain, atau (3) menjauhi orang lain. Individu normal mungkin menggunakan cara manapun dari ketiga cara tersebut, tetapi orang-orang neurotik terdorong untuk menggunakan hanya satu cara. Tingkah laku kompulsif mereka dapat berkembang menjadi sebuah konflik intrapsikis dasar yang dapat berupa sebuah gambaran diri ideal atau kebencian diri. Gambaran diri ideal diekspresikan dalam bentuk (1) pencarian neurotik akan kemuliaan (neurotic search fo r glory), (2) permintaan neurotik (neurotic claims), atau (3) kebanggaan neurotik (neuroticpride). Kebencian diri diekspresikan dalam bentuk penghinaan terhadap diri (self-contempt) atau tidak menjadi diri sendiri (alienation

from self).

Bab 6 Homey: Teori Psikoanalisis Sosial | 193

Walaupun tulisan Horney lebih ditujukan untuk kepribadian neurotik, banyak ide- idenya dapat berlaku pula pada individu normal. Bab ini membicarakan tentang teori dasar neurosis dari Horney, membandingkan ide-ide Horney dengan ide-ide Freud, membahas pandangan Horney mengenai psikologi feminin, dan membahas singkat mengenai ide- idenya tentang psikoterapi.

Sama halnya seperti teoretikus kepribadian lainnya, pandangan Horney mengenai kepribadian merupakan refleksi dari pengalaman-pengalaman hidupnya. Bernard Paris (1994) menulis bahwa “Pemikiran-pemikiran Horney diperoleh dari usahanya untuk mengatasi penderitaan batinnya dan juga penderitaan batin pasien-pasiennya. Apabila penderitaan yang ia alami tidak kuat, maka pemikiran-pemikirannya akan menjadi kurang mendalam” (him. xxv). Sekarang kita akan membahas tentang kehidupan wanita yang sering bermasalah ini.

Biografi Karen HorneyBiografi Karen Horney mempunyai beberapa persamaan dengan kehidupan Melanie Klein (lihat Bab 5). Masing-masing dilahirkan pada era tahun 1880-an, merupakan anak bungsu dari seorang ayah berusia 50 tahun dan istri keduanya. Masing-masing mempunyai kakak yang lebih disukai oleh orang tuanya dan merasa tidak diinginkan juga tidak dicintai. Keduanya bercita-cita menjadi seorang dokter, tetapi hanya Horney yang dapat meraih cita- cita tersebut. Terakhir, baik Horney maupun Klein melakukan analisis diri yang panjang— Horney, memulai analisis diri melalui buku harian dari usia 13 sampai 26, dilanjutkan dengan analisis dirinya oleh Karl Abraham, dan diakhiri dengan bukunya Self-Analysis (Quinn, 1987).

Karen Danielsen Horney lahir di Eilbek, sebuah kota kecil dekat Hamburg, Jerman, pada 15 September 1885. Ia adalah anak perempuan satu-satunya Berndt (Wackels) Danielsen, seorang kapten kapal, dan Clothilda van Ronzelen Danielsen, seorang wanita yang berusia hampir 18 tahun lebih muda dari suaminya. Satu-satunya anak lainnya dari pernikahan ini adalah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 4 tahun lebih tua dari Karen. Akan tetapi, kapten tua ini telah menikah sebelumnya dan mempunyai empat orang anak, yang sebagian besar sudah dewasa pada saat Horney dilahirkan. Keluarga Danielsen adalah sebuah keluarga yang tidak bahagia, sebagian dipicu oleh perbuatan saudara tiri Karen yang membuat ayah mereka membenci istri keduanya. Karen merasakan permusuhan yang besar terhadap ayahnya yang keras dan taat beragama, dan menganggap sang ayah sebagai seorang munafik yang taat. Akan tetapi, ia mengidolakan ibunya yang selalu mendukung dan menjaganya dari sang kapten tua yang keras. Walaupun demikian, Karen bukanlah seorang anak yang bahagia. Ia membenci perlakuan pilih kasih yang diberikan kepada kakak laki-lakinya, dan selain itu, ia khawatir dengan kebencian dan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

Ketika ia berusia 13 tahun, Horney memutuskan untuk menjadi seorang dokter, tetapi pada saat itu tidak ada satupun universitas di Jerman yang menerima perempuan. Pada saat ia berusia 16 tahun, situasi telah berubah sehingga Horney—dengan keberatan dari sang ayah yang menginginkan ia tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga—memasuki

194 j Teori Kepribadian

Gymnasium, sebuah sekolah yang akan berlanjut ke universitas dan kemudian ke sekolah kedokteran. Sendiri untuk pertama kalinya, Karen kemudian tetap mandiri selama sisa hidupnya. Akan tetapi, menurut Paris (1994), kemandirian Horney hanyalah di luarnya saja. Dalam hatinya, ia memendam sebuah kebutuhan kompulsif untuk bisa bersama dengan seseorang yang hebat. Ketergantungan yang tidak wajar ini, yang biasanya berkaitan dengan perasaan idealis akan sesuatu dan ketakutan akan penolakan secara kasar, menghantui hubungan Horney dengan beberapa laki-laki.

Pada tahun 1906, ia memulai studinya di University of Freiburg dan ia menjadi salah satu wanita pertama di Jerman yang belajar mengenai obat-obatan. Di sana, ia bertemu dengan Oskar Horney, seorang mahasiswa ilmu politik. Hubungan mereka berawal dari pertemanan, tetapi lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah hubungan romantis. Setelah pernikahan mereka di tahun 1909, pasangan ini menetap di Berlin, di mana Oskar, yang telah memiliki gelar Ph.D., bekerja di sebuah perusahaan batubara dan Karen, yang belum mendapatkan gelar MD (gelar doktoral untuk profesi dokter), mengambil spesialisasi untuk psikiatri.

Pada saat itu, psikoanalisis Freudian sedang sangat berkembang, dan Karen Horney menjadi terbiasa membaca tulisan-tulisan Freud. Pada awal tahun 1910, ia mulai mengerjakan sebuah analisis bersama Karl Abraham, yang merupakan salah seorang kolega dekat Freud dan orang yang nantinya akan membuat analisis tentang Melanie Klein. Setelah analisis Horney dihentikan, ia menghadiri seminar-serninar malam hari yang diadakan oleh Abraham, di mana ia kemudian berkenalan dengan beberapa orang psikoanalislainnya. Pada tahun 1917, ia telah menyelesaikan tulisan pertamanya tentang psikoanalisis, “The Technique o f Psychoanalytic Therapy” (Horney, 1917/1968), yang mencerminkan pandangan Freudian yang konvensional dan memperlihatkan sedikit indikasi adanya pemikiran pribadi Horney di kemudian hari.

Tahun-tahun awal pernikahan Horney diisi dengan terjadinyabanyakperistiwa personal yang menyita perhatiannya. Ayah dan ibunya, yang telah berpisah, meninggal dunia dalam waktu yang hanya berselang satu tahun; Horney melahirkan tiga anak perempuan dalam jangka waktu 5 tahun; ia memperoleh gelar MD pada tahun 1915 setelah 5 tahun melakukan psikoanalisis; dan, dalam pencariannya akan laki-laki yang tepat, Horney terlibat dalam beberapa hubungan asmara (Paris, 1994; Quinn, 1987).

Setelah Perang Dunia I, keluarga Horney hidup makmur di pinggir kota dan memiliki beberapa orang pembantu rumah tangga serta seorang sopir. Oskar memperoleh pendapatan yang cukup sementara Karen menikmati kesuksesan sebagai psikiatri. Akan tetapi, keadaan sempurna ini segera berakhir. Inflasi dan ketidakstabilan ekonomi pada tahun 1923 menyebabkan Oskar kehilangan pekerjaannya, dan keluarga ini terpaksa harus kembali tinggal di sebuah apartemen di Berlin. Pada tahun 1926, Karen dan Oskar berpisah, tetapi tidak pernah resmi bercerai hingga tahun 1938 (Paris, 1994).

Tahun-tahun awal setelah perpisahannya dengan Oskar merupakan masa paling produktif dalam kehidupan Horney. Selain menemui pasien-pasien dan mengurus ketiga anaknya, Horney semakin menyukai menulis, mengajar, bepergian, dan memberi kuliah. Tulisan-tulisannya makin memperlihatkan perbedaan penting dengan teori Freudian. Horney percaya bahwa kultur, bukan anatomi, berperan dalam membuat perbedaan psikis

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 195

antara laki-laki dan perempuan. Ketika Freud bereaksi negatif terhadap pemikiran Horney, ia menjadi lebih terbuka mengungkapkan ketidaksetujuannya.

Pada tahun 1932, Horney meninggalkan Jerman untuk bekerja sebagai associate director di Chicago Psychoanalytic Institute yang baru berdiri. Beberapa alasan berperan dalam pengambilan keputusannya untuk berimigrasi—karena adanya iklim politik anti-Yahudi di Jerman (walaupun Horney bukan seorang Yahudi), karena semakin berkembangnya ketidaksetujuan terhadap pandangannya yang baru/tidak konvensional, dan karena adanya kesempatan untuk memperluas penyebaran pemikirannya ke luar Berlin. Selama dua tahun ia menetap di Chicago, Horney bertemu dengan Margaret Mead, John Dollard, dan beberapa akademisi yang memengaruhi Harry Stack Sullivan (lihat Bab 8). Selain itu, Horney memperdalam pertemanannya dengan Erich Fromm dan istrinya, Frieda Fromm- Reichmann, yang telah ia kenal semasa di Berlin. Selama 10 tahun berikutnya, Horney dan Fromm menjadi teman akrab yang saling memengaruhi satu sama lain hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih (Hornstein, 2000).

Setelah menetap selama dua tahun di Chicago, Horney pindah ke New York, di mana ia mengajar di New School for Social Research. Selama di New York, ia menjadi anggota grup Zodiac yang juga beranggotakan Fromm, Fromm-Reichmann, Sullivan, dan lainnya. Walaupun Horney adalah anggota New York Psychoanalytic Institute, ia jarang sependapat dengan anggota-anggota lama. Lebih lanjut, bukunya yang berjudul New Ways in Psychoanalysis (1939) menjadikannya sebagai pemimpin kelompok oposisi. Dalam buku ini, Horney mengajak untuk meninggalkan teori insting dan lebih menitik beratkan pada ego dan pengaruh sosial. Pada tahun 1941, Horney berhenti menjadi anggota institut akibat masalah dogma (keharusan menerima sebuah pandangan tanpa terkecuali) dan orthodoxy (pandangan yang selalu diterima) dan membantu terbentuknya organisasi tandingan— Association for the Advancement of Psychoanalysis (AAP). Akan tetapi, kelompok baru ini juga dengan cepat mengalami konflik internal. Pada tahun 1943, Fromm (yang hubungan cintanya dengan Horney baru saja berakhir) dan beberapa orang lainnya berhenti dari AAP, meninggalkan organisasi tersebut tanpa anggota-anggota terkuatnya. Walaupun terdapat perpecahan, organisasi ini terus berlanjut, tetapi berubah nama—menjadi Karen Horney Psychoanalytic Institute. Pada tahun 1952, Horney mendirikan Klinik Karen Horney (Karen

Horney Clinic).

Pada tahun 1950, Horney memublikasikan karya paling penting dalam hidupnya, Neurosis and Human Growth. Buku ini menjabarkan teori-teori yang tidak lagi hanya sebuah reaksi terhadap pemikiran Freud melainkan teori-teori yang merupakan ekspresi pemikiran pribadinya yang kreatif. Setelah mengalami sakit dalam waktu singkat, Horney meninggal

dunia akibat kanker pada 4 Desember 1952 di usia 65 tahun.

Pengantar Teori Psikoanalisis SosialTulisan-tulisan awal Karen Horney, seperti juga tulisan-tulisan Adler, Jung, dan Klein, mempunyai ciri khas Freudian. Seperti Adler dan Jung, Horney lama-kelamaan tidak

Teori Kepribadian

sepaham dengan psikoanalisis ortodoks/konvensional dan membentuk sebuah teori revisi yang merefleksikan pengalaman-pengalaman pribadinya baik pengalaman klinis

maupun bukan.

Walaupun tulisan-tulisan Horney hampir sebagian besar berkaitan dengan masalah kejiwaan dan kepribadian neurotik, pemikiranrya dapat pula diterapkan pada kepribadian normal dan sehat. Kultur, terutama pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak awal, mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian manusia, menjadi kepribadian neurotik atau sehat. Horney setuju dengan pendapat Freud bahwa trauma pada kanak- kanak awal merupakan hal yang penting, tetap. letak perbedaannya dengan Freud adalah pada keyakinannya bahwa dorongan sosial leb:h berperan penting dalam perkembangan kepribadian dibandingkan dengan dorongan biclogis.

Perbedaan antara Horney dan FreudHorney mengkritik teori-teori Freud dalam beberapa aspek. Pertama, ia memperingatkan bahwa mengikuti sepenuhnya pandangan psikoanalisis ortodoks/konvensional akan mengarah pada tidak berkembangnya pemikiran teoretis dan praktek terapi (Horney, 1937). Kedua, Horney (1937, 1939) tidak sependapat dengan ide Freud tentang psikologi feminin, materi yang akan kita bahas belakangart. Ketiga, ia menegaskan pandangan bahwa psikoanalisis sebaiknya menyoroti lebih dari sekadar teori insting dan menitikberatkan pentingnya pengaruh kultur dalam membentuk kepribadian. “Manusia tidak hanya diatur oleh prinsip kesenangan saja, tetapi oleh dua prinsip, yaitu keamanan dan kepuasan” (Horney, 1939, him. 73). Serupa dengan hal ini, ia mengatakan bahwa masalah kejiwaan bukan merupakan akibat dari insting melainkan akibat dari “usaha seseorang mencari jalan agar dapat melalui keadaan yang penuh dengan rintangan” (him. 10). Keadaan ini diciptakan oleh lingkungan sekitar dan bukan oleh insting atau anatomi.

Walaupun semakin menentang pandangan Freud, Horney tetap mengakui pengetahuan yang dimiliki Freud. Perdebatan utamanya dengan Freud bukan berkaitan dengan keakuratan observasi yang dilakukan Freud melainkan berkaitan dengan validitas dari interpretasinya. Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa penjelasan Freud menyebabkan cara pandang konsep kemanusiaan yang pesimis berdasarkan insting bawaan dan kepribadian yang tidak berkembang. Di lain pihak, cara pandangnya tentang kemanusiaan adalah cara pandang yang optimis dan berpusat pada dorongan kultural yang mudah mengalami perubahan (Horney, 1950).

Pengaruh KulturWalaupun Horney tidak gagal mempertimbangkan pentingnya faktor genetis, ia berulang kali menitikberatkan pengaruh kultural sebagai dasar utama perkembangan kepribadian neurotik dan kepribadian normal. Ia meyakini bahwa kultur modern terbentuk berdasarkan kompetisi antarindividual. “Setiap orang adalah seorang pesaing yang nyata atau pesaing yang potensial bagi orang lain” (Horney, 1937, him. 284). Daya saing dan rasa permusuhan dasar) yang ditimbulkan oleh kultur modern menyebabkan perasaan terpisah. Perasaan

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 197

sendirian di dunia yang tidak ramah ini akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan kasih sayang (needs fo r affection), yang pada akhirnya membuat orang menilai cinta terlalu tinggi. Sebagai akibatnya, banyak orang melihat cinta dan kasih sayang sebagai jawaban atas semua permasalahan yang mereka hadapi. Memang, cinta yang tulus dapat menjadi pengalaman yang baik dan bermanfaat bagi seseorang.Akan tetapi, kebutuhan akan cinta yang berlebihan (seperti yang dilakukan oleh Horney sendiri) akan menjadi dasar yang kuat bagi berkembangnya neurosis. Alih-alih mendapat manfaat dari kebutuhan akan cinta, orang-orang neurotik akan berusaha mendapatkan cinta dengan cara apapun. Usaha untuk mengalahkan diri sendiri yang mereka lakukan menyebabkan harga diri yang rendah, meningkatnya rasa permusuhan/ketidakramahan, kecemasan dasar, keinginan bersaing yang lebih tinggi, serta kebutuhan akan cinta dan kasih sayang yang berlebihan dan tiada berhenti.

Menurut Horney, masyarakat Barat mempunyai peranan dalam menimbulkan lingkaran setan ini, di antaranya dalam beberapa hal. Pertama, orang-orang dalam masyarakat ini diperkenalkan dengan ajaran kultur tentang kekeluargaan dan kerendahan hati. Akan tetapi, ajaran ini bertentangan dengan sikap lain yang juga terkenal di masyarakat, yaitu agresivitas dan dorongan untuk menang atau untuk menjadi lebih baik daripada orang lain. Kedua, keinginan masyarakat untuk sukses dan berhasil mencapai sesuatu tidak pernah berakhir. Dengan demikian, biarpun orang telah memperoleh ambisi materiil, keinginan-keinginan lain akan selalu bertambah. Ketiga, masyarakat Barat meyakinkan orang-orang bahwa mereka hidup bebas dan dapat memperoleh apapun yang mereka inginkan melalui kerja keras dan ketekunan. Akan tetapi, kenyataannya, bagi sebagian besar orang kebebasannya dibatasi oleh faktor genetis, posisi sosial, dan daya saing orang lain.

Kontradiksi-kontradiksi ini—semuanya ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan dan bukan oleh pengaruh biologis—menghasilkan konflik-konflik intrapsikis yang mengancam kesehatan mental dari orang-orang normal dan menghasilkan rintangan-rintangan yang sulit dihadapi oleh orang-orang neurotik.

Pentingnya Pengalaman Masa Kanak-kanakHomey percaya bahwa konflik neurotik dapat muncul dari hampir semua tahapan perkembangan, tetapi masa kanak-kanak adalah masa di mana sebagian besar masalah timbul. Peristiwa-peristiwa traumatis yang berbeda-beda, seperti pelecehan seksual, pemukulan, penolakan, atau pengabaian, dapat memengaruhi perkembangan anak di masa depan. Akan tetapi, Horney (1937) meyakini bahwa pengalaman-pengalaman yang merusak ini hampir selalu ditimbulkan oleh kurangnya kehangatan dan kasih sayang yang tulus. Pengalaman pribadi Horney, yang kekurangan kasih sayang dari sang ayah dan hubungannya yang akrab dengan sang ibu, pastinya mempunyai pengaruh yang kuat pada perkembangan pribadinya dan juga pada pemikiran-pemikiran teoretisnya.

Horney (1939) membuat hipotesis bahwa masa kanak-kanak yang berat berperan penting dalam menimbulkan kebutuhan-kebutuhan neurotik. Kebutuhan-kebutuhan ini menjadi kuat karena hal ini merupakan satu-satunya cara bagi sang anak untuk merasakan

198 Teori Kepribadian

perasaan aman. Walaupun demikian, satu pengalaman awal tidak bisa berperan membentuk kepribadian di kemudian hari. Horney berpendapat bahwa “keseluruhan pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak membentuk struktur karakter tertentu, atau juga, memulai perkembangannya” (him. 152). Dengan kata lain, keseluruhan hubungan yang terjalin di masa-masa awal membentuk perkembangan kepribadian seseorang. “Dengan demikian, sikap-sikap terhadap orang lain yang dilakukan di masa dewasa bukan merupakan pengulangan dari sikap-sikap yang dilakukan di masa bayi, melainkan timbul dari struktur karakter yang dasarnya berkembang pada masa kanak- kanak” (him. 87).

Walaupun pengalaman-pengalaman pada masa dewasa dapat juga berpengaruh penting, terutama bagi individu normal, pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak mempunyai peranan utama dalam perkembangan kepribadian. Orang-orang yang terus- menerus menjalani pola-pola tingkah laku yang sama melakukan hal semacam itu karena mereka mengartikan pengalaman-pengalaman baru sesuai dengan pola-pola tingkah laku yang sudah berkembang dalam diri mereka.

Permusuhan Dasar dan Kecemasan DasarHorney (1950) percaya bahwa setiap manusia memulai hidupnya dengan kemungkinan berkembang secara sehat. Akan tetapi, sama halnya dengan organisme hidup lainnya, manusia membutuhkan kondisi-kondisi yang mendukung untuk berkembang. Kondisi- kondisi ini harus mencakup lingkungan yang hangat dan saling mencintai, tetapi bukan lingkungan yang terlalu permisif. Anak-anak perlu untuk merasakan cinta yang tulus dan kedisiplinan yang baik. Kondisi-kondisi seperti ini akan memberikan perasaan am an dan puas kepada mereka dan memungkinkan mereka tumbuh sesuai dengan diri mereka sebenarnya (real self).

Sayangnya, sejumlah pengaruh buruk dapat mengganggu kondisi-kondisi yang mendukung tersebut. Salah satu pengaruh buruk utama adalah ketidakmampuan atau ketidakinginan orang tua untuk mencintai anak mereka. Oleh karena kebutuhan neurotik mereka sendiri, maka orang tua sering kali mendominasi, mengabaikan, terlalu melindungi, menolak, atau terlalu memanjakan. Apabila orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan- kebutuhan sang anak akan keamanan dan kepuasan, maka sang anak akan mengembangkan perasaan permusuhan dasar (basic hostility) terhadap orang tuanya. Akan tetapi, anak- anak jarang menunjukkan secara terang-terangan rasa permusuhan ini sebagai kemarahan, melainkan mereka menekan rasa permusuhan mereka terhadap orang tuanya dan tidak menyadari akan keberadaan rasa permusuhan tersebut. Rasa permusuhan yang ditekan kemudian mengarah kepada perasaan tidak aman yang kuat dan kecemasan yang samar- samar. Kondisi ini disebut sebagai kecemasan dasar (basic anxiety), yang Horney (1950) jelaskan sebagai “perasaan terisolasi dan tidak berdaya di dunia yang dianggap tidak ramah” (him. 18). Sebelumnya, ia memberikan gambaran yang lebih jelas dengan menyebutkan kecemasan dasar sebagai “perasaan kecil, tidak berarti, tidak berdaya, ditinggalkan, terancam

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 199

bahaya, di dunia yang siap untuk menyiksa, menipu, menyerang, mempermalukan, mengkhianati, dan iri” (Horney, 1937, him. 92).

Horney (1937, him. 75) meyakini bahwa permusuhan dasar dan kecemasan dasar “saling terkait satu sama lain”. Dorongan-dorongan permusuhan adalah sumber utama timbulnya kecemasan dasar. Akan tetapi, kecemasan dasar dapat juga berperan menciptakan perasaan permusuhan. Sebagai contoh mengenai bagaimana permusuhan dasar dapat mengarah kepada kecemasan, Horney (1937) menulis tentang seorang pria muda dengan rasa permusuhan yang ditekan, yang pergi mendaki gunung dengan seorang wanita muda yang dicintainya. Akan tetapi, rasa permusuhan yang ditekannya tersebut membuatnya cemburu terhadap sang wanita. Ketika berjalan pada puncak gunung yang berbahaya, si pria muda tiba-tiba mengalami “serangan kecemasan” (anxiety attack) yang sangat hebat, yaitu jantung yang berdetak sangat cepat dan kesulitan bernapas. Kecemasan tersebut muncul karena adanya keinginan kuat, yang tampak tidak pantas untuk ia lakukan, untuk mendorong sang wanita muda ke tepian puncak gunung.

Dalam hal ini, permusuhan dasar mengarah pada munculnya kecemasan yang berlebihan. Akan tetapi, kecemasan dan ketakutan dapat pula mengarah pada munculnya rasa permusuhan yang kuat. Anak-anak yang merasa terancam oleh orang tuanya mengembangkan rasa permusuhan sebagai reaksi untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut. Reaksi permusuhan ini, pada akhirnya, dapat menyebabkan kecemasan tambahan, yang dengan demikian melengkapi lingkaran interaksi antara permusuhan dan kecemasan. Horney (1937) menyatakan bahwa “tidak menjadi masalah apakah kecemasan atau permusuhan yang merupakan faktor utama” (him. 74). Hal yang paling penting adalah bahwa pengaruh timbal-balik antara keduanya dapat memperkuat neurosis walaupun si penderita tidak mengalami konflik tambahan di luar dirinya.

Kecemasan dasar itu sendiri bukanlah neurosis, melainkan “lahan subur di mana neurosis dapat berkembang setiap saat” (Horney, 1937, him. 89). Kecemasan dasar terjadi secara terus-menerus dan sulit dihentikan, serta tidak membutuhkan stimulus tertentu, seperti menjalani ujian di sekolah atau berpidato. Kecemasan dasar memengaruhi semua hubungan yang terjalin dengan orang lain dan mengarah pada cara-cara yang tidak sehat untuk berhadapan dengan orang lain.

Walaupun ia kemudian mengubah tulisannya tentang cara-cara mempertahankan diri dari kecemasan dasar, Horney (1937) pada awalnya mengidentifikasi empat cara umum yang dilakukan orang untuk menjaga diri mereka dari perasaan sendirian di dunia yang tidak ramah. Cara pertama adalah kasih sayang, sebuah strategi yang tidak selalu mengarah pada cinta tulus. Dalam pencarian akan kasih sayang, beberapa orang mungkin berusaha untuk membeli cinta dengan cara menuruti permintaan orang lain, barang-barang materiil, atau hasrat seksual.

Cara mempertahankan diri yang kedua adalah submissiveness. Orang-orang neurotik dapat patuh kepada orang lain, kepada institusi seperti perusahaan, atau kepada agama. Orang-orang neurotik yang patuh kepada orang lain sering kali melakukannya untuk bisa mendapatkan kasih sayang.

Teori Kepribadian

Orang-orang neurotik dapat pula melindungi diri mereka sendiri dengan cara mendapatkan kekuasaan (power), gengsi/penghargaan karena status sosial yang tinggi (prestige), atau kepemilikan (possession). Power adalah pertahanan diri terhadap rasa permusuhan dari orang lain yang nyata atau khayalan dan biasanya muncul dalam wujud kecenderungan untuk mendominasi orang lain; prestige adalah perlindungan terhadap rasa malu dan biasanya diekspresikan dengan cara mempermalukan orang lain; possession bertindak sebagai pelindung terhadap kemiskinan dan biasanya menjelma dalam bentuk kecenderungan untuk tidak suka berbagi dengan orang lain.

Cara pertahanan diri yang keempat adalah menjauh (withdrawal). Orang-orang neurotik sering kali melindungi diri mereka dari kecemasan dasar dengan cara mengembangkan kemandirian dari orang lain atau dengan memisahkan diri secara emosional dari orang lain. Dengan menjauh secara psikologis, orang-orang neurotik merasa tidak bisa disakiti oleh orang lain.

Cara-cara pertahanan diri ini tidak langsung mengindikasikan neurosis dan Horney percaya bahwa semua orang menggunakan cara-cara tersebut sampai batas tertentu. Cara-cara ini menjadi cara-cara yang tidak sehat ketika seseorang merasa harus selalu menggunakan cara-cara tersebut dan oleh karenanya tidak dapat menggunakan strategi- strategi interpersonal yang beragam. Sehingga, dorongan yang kuat untuk selalu melakukan sesuatu merupakan karakteristik paling nyata dari semua dorongan neurotik.

Dorongan KompulsifIndividu-individu neurotik mempunyai masalah yang sama dengan masalah yang memengaruhi orang-orang normal, hanya saja orang-orang neurotik mengalami masalah tersebut dengan tingkatan yang lebih besar. Semua orang menggunakan beragam cara pertahanan diri untuk melindungi diri mereka dari penolakan, permusuhan, dan kompetisi dengan orang lain. Akan tetapi, individu-individu normal dapat menggunakan beragam tindakan pertahanan diri dengan baik, sementara individu-individu neurotik berulang kali menggunakan strategi yang sama secara tidak produktif.

Horney (1942) meyakini bahwa orang-orang neurotik tidak menikmati penderitaan dan ketidakbahagiaan. Mereka tidak dapat mengubah tingkah laku mereka atas kemauan mereka sendiri. Akan tetapi, mereka harus secara terus-menerus dan berulang kali menjaga diri mereka dari kecemasan dasar. Strategi pertahanan diri ini membuat mereka terperangkap dalam lingkaran setan di mana kebutuhan-kebutuhan kompulsif untuk mengurangi kecemasan dasar mengarah pada tingkah laku yang memupuk harga diri rendah, rasa permusuhan kepada siapapun/apapun, pencarian kekuasaan yang tidak wajar, meningkatnya perasaan lebih baik dari orang lain, dan ketakutan yang terasa terus-menerus, yang semuanya itu akan mengakibatkan kecemasan dasar yang lebih besar lagi.

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial | 201

Kebutuhan-kebutuhan NeurotikDi awal bab ini, kami meminta Anda untuk memilih antara “Benar” atau “Salah” untuk masing-masing dari sepuluh pernyataan yang mungkin mengindikasikan kebutuhan neurotik. Untuk setiap pernyataan kecuali nomor 8, jawaban “Benar” sesuai dengan salah satu dari kebutuhan-kebutuhan neurotik yang disebutkan Horney. Untuk nomor 8, jawaban “Salah” sesuai dengan kebutuhan neurotik akan kecenderungan memikirkan diri sendiri. Harap diingat bahwa menjawab sebagian besar atau bahkan semua pernyataan ini dengan jawaban yang mengarah kepada kecenderungan “neurotik” belum tentu merupakan indikasi adanya ketidakstabilan emosi, melainkan hal-hal ini dapat memberikan gambaran yang lebih baik mengenai apa yang Horney maksud dengan kebutuhan-kebutuhan neurotik.

Horney menemukan sepuluh kategori kebutuhan neurotik—yang belakangan akan berubah—yang menggambarkan orang-orang neurotik dalam usahanya untuk melawan kecemasan dasar. Kebutuhan-kebutuhan ini lebih spesifik daripada empat cara per- lindungan diri yang telah kita bahas sebelumnya. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan ini menggambarkan strategi pertahanan diri dasar yang serupa. Sepuluh kategori kebutuhan neurotik saling tumpang tindih satu sama lain, dan satu orang dapat menerapkan lebih dari satu kebutuhan. Masing-masing kebutuhan-kebutuhan neurotik berikut ini berhubungan dengan orang lain dalam berbagai cara.

1. Kebutuhan neurotik akan kasih sayang dan penerim aan diri (the neurotic need fo r affection and approval). Dalam pencarian akan kasih sayang dan penerimaan diri, orang- orang neurotik berusaha dengan cara apapun untuk menyenangkan orang lain. Mereka berusaha untuk memenuhi harapan orang lain, cenderung takut mengatakan bahwa dirinya benar (self-assertion), serta cenderung kurang nyaman dengan permusuhan/ pertengkaran orang lain dan rasa permusuhan dalam dirinya.

2. Kebutuhan neurotik akan rekan yang kuat (the neurotic need fo r a powerful partner). Kurangnya rasa percaya diri membuat orang-orang neurotik berusaha mendekatkan diri mereka dengan pasangan yang lebih kuat/berpengaruh. Termasuk dalam kebutuhan ini adalah penilaian yang terlalu tinggi terhadap cinta dan ketakutan jika sendirian atau ditinggalkan. Pengalaman hidup Horney pribadi mengungkapkan adanya kebutuhan yang besar untuk bisa bersama seorang laki-laki yang berpengaruh dan ia memiliki serangkaian hubungan dengan laki-laki yang berpengaruh sepanjang masa dewasanya.

3. Kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya dalam lingkup yang sempit (the neurotic need to restrict ones life within narrow borders). Orang-orang neurotik sering kali berusaha untuk tidak menonjol, berada di tempat kedua, dan merasa puas dengan stimulus yang sangat sedikit. Mereka menurunkan kemampuan mereka ke tingkatan yang lebih rendah dan takut membuat permintaan yang membebani orang lain.

4. Kebutuhan neurotik akan kekuasaan (the neurotic need fo r power). Kekuasaan dan kasih sayang mungkin merupakan dua kebutuhan neurotik yang paling besar. Kebutuhan akan kekuasaan biasanya dibarengi dengan adanya kebutuhan akan penghargaan sosial dan kepemilikan yang menjelma dalam bentuk kebutuhan untuk mengatur orang lain dan menghindari perasaan lemah atau tidak pintar.

Teori Kepribadian

5. Kebutuhan neurotik untuk m emanfaatkan orang lain (the neurotic need to exploit others). Orang-orang neurotik sering kali menilai orang lain berdasarkan bagaimana orang- orang tersebut bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tetapi pada saat yang sama, mereka takut dimanfaatkan oleh orang lain.

6. Kebutuhan neurotik akan penghargaan sosial atau gengsi (the neurotic need fo r social recognition or prestige). Beberapa orang melawan kecemasan dasar dengan berusaha menjadi orang pertama, orang paling penting, atau menarik perhatian orang lain agar tertuju pada dirinya.

7. Kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi (the neurotic need fo r personal admiration). Orang-orang neurotik mempunyai kebutuhan untuk dikagumi atas diri mereka daripada atas apa yang mereka miliki. Harga diri mereka yang tinggi harus terus- menerus ditunjang dengan kekaguman dan penerimaan dari orang lain.

8. Kebutuhan neurotik akan ambisi dan pencapaian pribadi (the neurotic need fo r ambition and personal achievement). Orang-orang neurotik sering kali mempunyai dorongan kuat untuk menjadi yang terbaik—sales terbaik, pemain boling terbaik, atau kekasih terbaik. Mereka harus mengalahkan orang lain untuk membuktikan keunggulan mereka.

9. Kebutuhan neurotik akan kemandirian dan kebebasan (the neurotic need fo r self- sufficiency and independence). Banyak orang-orang neurotik yang mempunyai ke­butuhan yang kuat untuk menjauh dari orang lain, yang membuktikan bahwa mereka bisa bertahan hidup tanpa orang lain. Playboy yang tidak bisa terikat dalam sebuah hubungan merupakan contoh dari kebutuhan neurotik ini.

10. Kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketidakmungkinan untuk salah (the neurotic need fo r perfection and unassailability). Dengan berusaha semaksimal mungkin untuk sempurna, orang-orang neurotik mendapat “bukti” atas harga diri dan keunggulan pribadi mereka. Mereka takut membuat kesalahan dan mempunyai kelemahan pribadi sehingga mereka selalu berusaha untuk menyembunyikan kelemahan mereka dari orang lain.

Kecenderungan NeurotikSeiring dengan perkembangan teorinya, Horney mulai melihat bahwa sepuluh kebutuhan neurotik yang ia temukan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yang masing- masing berhubungan dengan sikap dasar seseorang terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Pada tahun 1945, Horney mengidentifikasi tiga sikap dasar, yang disebut kecenderungan neurotik (neurotic trends), yaitu (1) m endekati orang lain, (2) melawan orang lain, dan (3) menjauhi orang lain.

Walaupun kecenderungan neurotik ini merupakan bagian dari teori Horney tentang neurosis, tetapi kecenderungan ini juga bisa berlaku untuk individu-individu normal. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang penting antara sikap yang diambil individu-individu normal dan individu-individu neurotik. Individu-individu normal sering kali sadar ketika menjalankan strateginya dalam menghadapi orang lain, sementara individu-individu neurotik tidak sadar akan sikap-sikap yang mereka ambil. Individu-individu normal me-

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial I 2 0 3

miliki kebebasan memilih tindakan mana yang akan mereka pilih, sementara individu- individu neurotik terpaksa untuk bertindak. Individu-individu normal mengalami konflik ringan, sementara individu-individu neurotik mengalami konflik yang berat dan sulit diatasi. Individu-individu normal dapat memilih satu dari beragam strategi pertahanan diri, sementara individu-individu neurotik terbatas hanya pada satu kecenderungan strategi pertahanan diri. Figur 6.1 menunjukkan pemikiran Horney tentang pengaruh timbal-balik antara permusuhan dasar dan kecemasan dasar serta pertahanan diri terhadap kecemasan yang diambil oleh individu-individu normal dan individu-individu neurotik.

Seseorang dapat menggunakan masing-masing dari kecenderungan neurotik untuk mengatasi konflik dasar, tetapi sayangnya solusi-solusi ini pada dasarnya tidak produktif atau neurotik. Horney (1950) menggunakan istilah konflik dasar karena anak-anak yang sangat muda terdorong ke tiga arah pertahanan diri—mendekati, melawan, dan menjauhi orang lain.

FIGUR 6.1 Interaksi antara Permusuhan Dasar dan Kecemasan Dasar dengan Pertahanan Diri terhadap Kecemasan.

Teori Kepribadian

Pada anak-anak yang sehat, ketiga dorongan ini tidak selalu bertentangan. Akan tetapi, perasaan terpisah dan tidak berdaya yang Horney jelaskan sebagai kecemasan dasar mendorong sebagian anak-anak untuk bertindak secara kompulsif, yang kemudian membuat perbendaharaan mereka menjadi terbatas hanya pada satu kecenderungan neurotik saja. Dengan mengambil sikap terhadap orang lain yang berbeda-beda, anak-anak ini berusaha untuk mengatasi konflik dasar yang mereka hadapi dengan cara menjadikan satu dari ketiga kecenderungan neurotik dominan. Sebagian anak-anak mendekati orang lain dengan bertingkah laku menuruti apa yang orang lain katakan sebagai cara untuk melindungi dari perasaan tidak berdaya. Anak-anak lain melawan orang lain dengan bertindak agresif untuk mencegah orang lain bersikap tidak ramah atau memusuhi. Anak-anak lainnya menjauhi orang lain dengan cara memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan mengurangi perasaan sendirian atau terpisah (Horney, 1945).

Mendekati Orang LainKonsep mendekati orang lain yang diutarakan Horney tidak berarti mendekati orang lain melalui cinta yang tulus. Melainkan, mendekati orang lain dalam hal ini mengacu kepada sebuah kebutuhan neurotik untuk melindungi diri dari perasaan ketidakberdayaan.

Dalam usaha mereka untuk melindungi diri mereka dari perasaan ketidakberdayaan, orang-orang yang penurut menggunakan salah satu atau kedua kebutuhan neurotik yang pertama, yaitu mereka berusaha mendapatkan kasih sayang dan penerimaan dari orang lain atau mereka mencari pasangan yang kuat yang akan bertanggung jawab atas hidup mereka. Horney (1937) menjelaskan kebutuhan-kebutuhan ini sebagai “ketergantungan yang tidak wajar” (morbid dependency), sebuah konsep yang mendahului istilah “codependency!’

Kecenderungan neurotik dengan cara mendekati orang lain melibatkan serangkaian strategi. Kecenderungan ini merupakan “sebuah cara berpikir, merasakan, bertingkah laku—sebuah cara untuk hidup” (Horney, 1945, him. 55). Horney juga menyebutnya sebagai filosofi hidup. Orang-orang neurotik yang mengadopsi filosofi ini sangat mungkin melihat diri mereka sebagai orang yang penuh kasih sayang, murah hati, tidak egois, rendah hati, dan memahami perasaan orang lain. Mereka bersedia untuk mementingkan orang lain daripada dirinya, menganggap orang lain lebih pintar atau lebih menarik, dan menilai diri mereka sesuai apa yang orang lain pikirkan tentang mereka.

Melawan Orang LainJika orang-orang penurut menganggap semua orang baik, maka orang-orang agresif menganggap semua orang tidak ramah. Sebagai akibatnya, mereka mengadopsi strategi melawan orang lain. Orang-orang neurotik yang agresif sama kompulsifnya dengan orang-orang penurut, dan tingkah laku mereka juga sama-sama dipicu oleh kecemasan dasar. Daripada mendekati orang lain dengan selalu menurut dan bergantung, orang- orang neurotik yang agresif lebih memilih untuk melawan orang lain dengan cara tampil kuat dan kejam. Mereka termotivasi oleh keinginan kuat untuk memeras orang lain dan

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 205

memanfaatkan orang-orang tersebut untuk kepentingan diri mereka sendiri. Mereka jarang mengakui kesalahan mereka dan tidak henti-hentinya berusaha tampil sempurna, kuat, dan unggul.

Lima dari sepuluh kebutuhan neurotik dirangkum menjadi kecenderungan neurotik melawan orang lain. Di antaranya adalah kebutuhan untuk kekuasaan, memanfaatkan orang lain, memperoleh penghargaan dan gengsi, dikagumi, dan mencapai sesuatu. Orang- orang agresif lebih condong untuk bermain dengan tujuan menang daripada hanya untuk menikmati perlombaan. Mereka sering kali tampak bekerja keras dan banyak akal dalam bekerja, tetapi mereka tidak terlalu menikmati pekerjaan itu sendiri. Motivasi utama mereka adalah untuk mendapat kekuasaan, gengsi, dan ambisi pribadi.

Di Amerika Serikat, usaha mendapatkan tujuan-tujuan ini biasanya dianggap mengagumkan. Bahkan, orang-orang yang agresif secara kompulsif biasanya tampil di posisi tertinggi di banyak hal yang dinilai penting oleh masyarakat Amerika. Mereka bisa mendapat pasangan seksual yang diidamkan, pekerjaan berpenghasilan tinggi, dan dikagumi oleh banyak orang. Horney (1945) mengatakan bukanlah masyarakat Amerika yang menyebabkan karakteristik tersebut dinilai baik, sementara cinta, kasih sayang, dan persahabatan yang tulus—yang mana hal-hal ini tidak dimiliki oleh orang-orang yang agresif—dinilai lebih rendah.

Mendekati orang lain dan melawan orang lain, dalam banyak hal, merupakan dua hal yang bertolak belakang. Orang penurut terdorong untuk mendapatkan kasih sayang dari semua orang, sementara orang agresif menganggap semua orang sebagai musuh potensial. Akan tetapi, bagi kedua tipe ini, “pusat gravitasi terletak di luar dirinya” (Horney, 1945, him. 65). Kedua tipe ini sama-sama membutuhkan orang lain. Orang-orang penurut membutuhkan orang lain untuk membuktikan perasaan ketidakberdayaan mereka, sedangkan orang- orang agresif menggunakan orang lain sebagai pelindung terhadap rasa permusuhan dari orang lain yang nyata atau imajiner. Sebaliknya bagi kecenderungan neurotik yang ketiga, keberadaan orang lain tidak terlalu penting.

Menjauhi Orang LainSupaya dapat mengatasi konflik dasar terisolasi, beberapa orang memisahkan diri dari orang lain dan mengadopsi sebuah kecenderungan neurotik yaitu menjauhi orang lain. Strategi ini merupakan ekspresi dari kebutuhan akan kesendirian, kebebasan, dan kemandirian. Sama seperti sebelumnya, masing-masing kebutuhan ini dapat mengarah kepada tingkah laku positif, dan beberapa orang memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dengan cara yang sehat. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan ini menjadi neurotik ketika orang berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan membuat jarak emosional antara diri mereka dan

orang lain secara terus-menerus.

Banyak dari orang-orang neurotik menganggap berhubungan dengan orang lain sebagai tekanan yang berat. Sebagai akibatnya, mereka terdorong untuk menjauh dari orang lain secara terus-menerus, untuk memperoleh kebebasan dan terpisah dari orang lain. Mereka sering kali membangun dunianya sendiri dan menolak orang lain yang berusaha dekat dengan mereka. Mereka menghargai kebebasan dan kemandirian serta sering kali terlihat

Teori Kepribadian

menyendiri dan sulit didekati. Jika telah menikah, mereka tetap memisahkan diri dari orang lain, bahkan dari pasangan mereka. Mereka menghindari komitmen sosial, tetapi ketakutan terbesar mereka adalah apabila mereka membutuhkan orang lain.

Semua orang neurotik memiliki keinginan untuk merasa lebih baik dari orang lain (superior), tetapi orang-orang yang memisahkan diri dari orang lain mempunyai kebutuhan yang sangat kuat untuk menjadi kuat dan berpengaruh. Perasaan terpisah yang mereka miliki hanya bisa diterima oleh keyakinan yang salah tentang diri mereka bahwa mereka sempurna dan oleh karena itu tidak bisa dikritik. Mereka takut akan kompetisi, takut hal itu dapat membuyarkan perasaan keunggulan mereka yang tidak nyata. Mereka lebih memilih kehebatan mereka yang tersembunyi diketahui orang lain tanpa mereka harus memberitahu orang lain (Horney, 1945).

Menjauhi orang lain adalah kecenderungan neurotik yang digunakan banyak orang dalam usahanya untuk mengatasi konflik dasar sendirian/terpisah

Kesimpulannya, masing-masing dari ketiga kecenderungan neurotik memiliki serang­kaian karakteristik yang serupa dengan yang dimiliki individu-individu normal dan masing-masing dari sepuluh kebutuhan neurotik dapat dengan mudah ditempatkan di dalam ketiga kecenderungan neurotik. Tabel 6.1. merangkum tiga kecenderungan neurotik, konflik-konflik dasar yang menyebabkan kecenderungan neurotik, karakteristik penting dari masing-masing kecenderungan neurotik, sepuluh kebutuhan-kebutuhan neurotik yang membentuk kecenderungan neurotik, dan tiga karakter serupa yang merupakan ciri dari orang-orang normal.

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 207

TABEL 6.1

Rangkuman dari Kecenderungan N eurotik Horney

Kecenderungan Neurotik

Mendekati Orang Lain Melawan Orang Lain Menjauhi Orang Lain

Kepribadian Penurut (The Compliant

Personality)

Kepribadian Agresif (The Aggressive

Personality)

Kepribadian Memisahkan Diri ( The Detached Personality)

Konflik dasar atau sumber dari kecenderungan neurotik

Perasaan ketidakber- dayaan

Perlindungan dari permusuhan atau ketidakramahan orang lain

Perasaan terpisah

Kebutuhan neurotik 1. Kasih sayang dan penerimaan

4. Kekuasaan

5. Pemerasan

9. Kemandirian dan kebebasan

2. Rekan yang berpengaruh atau kuat

6. Penghargaan dan ketidakmungkinan untuk salah

10. Kesempurnaan dan gengsi

3. Batasan sempit dalam hidup

7. Kekaguman pribadi

8. Pencapaian pribadi

Ciri normal yang serupa

Ramah, penuh cinta kasih

Kemampuan untuk bertahan di lingkungan yang kompetitif

Mandiri dan tenang

Konflik IntrapsikisKecenderungan neurotik muncul dari kecemasan dasar yang merupakan akibat dari hubungan seorang anak dengan orang lain. Sampai batas ini, kita menitikberatkan pada kultur dan konflik interpersonal. Akan tetapi, Horney tidak mengabaikan dampak dari faktor-faktor intrapsikis terhadap perkembangan kepribadian. Seiring dengan perkembangan teorinya, Horney mulai memberi perhatian lebih pada konflik-konflik dalam diri yang dialami, baik oleh individu-individu normal maupun oleh individu-individu neurotik. Proses-proses intrapsikis muncul dari pengalaman-pengalaman interpersonal, tetapi seiring dengan perkembangannya menjadi bagian dari sistem keyakinan seseorang, proses-proses intrapsikis tersebut menjadi berkembang secara terpisah—sebuah hal yang terpisah dari konflik-konflik interpersonal yang membentuknya.

Bagian ini akan menyoroti dua konflik intrapsikis paling penting, yaitu gam baran diri ideal dan kebencian diri. Secara singkat, gambaran diri ideal (idealized self-image) merupakan usaha untuk mengatasi konflik dengan membuat gambaran diri sendiri yang seperti dewa. Kebencian diri (self-hatred) merupakan kecenderungan yang saling berhubungan, tetapi juga tidak masuk akal dan kuat untuk menganggap rendah dirinya

Teori Kepribadian

yang sebenarnya (real self). Seiring dengan pembentukan gambaran ideal tentang diri mereka, diri mereka yang sebenarnya tertinggal semakin jauh di belakang. Jarak ini menciptakan keterpisahan yang semakin berkembang antara diri sebenarnya dan diri ideal sehingga mengarahkan orang-orang neurotik untuk membenci dan menganggap rendah diri mereka sebenarnya karena diri sebenarnya sangat tidak sesuai dengan gambaran diri yang dibanggakan (Horney, 1950).

Gambaran Diri IdealHorney percaya bahwa makhluk hidup, jika diberikan sebuah lingkungan dengan kedisiplinan dan kehangatan, akan mengembangkan perasaan aman dan percaya diri serta kecenderungan untuk memiliki pem aham an diri. Sayangnya, pengaruh-pengaruh negatif awal sering kali menghambat kecenderungan alami seseorang untuk memperoleh pemahaman diri atau mencapai realisasi diri, sebuah situasi yang membuat mereka merasakan perasaan terpisah dan rendah diri. Selain itu juga, terdapat perasaan terpisah dari diri mereka yang semakin berkembang.

Oleh karena merasa terpisah dari diri mereka sendiri, maka seseorang merasa harus mendapatkan kepekaan akan identitas (sense o f identity) yang stabil. Dilema ini dapat diatasi hanya dengan menciptakan sebuah gambaran diri ideal, pandangan yang sangat positif tentang diri mereka yang hanya ada di sistem keyakinan pribadi mereka saja. Mereka yakin bahwa mereka memiliki kekuasaan sangat besar dan kemampuan tak terbatas. Mereka menganggap diri mereka sebagai “seorang pahlawan, seorang jenius, seorang pecinta ulung, seorang yang suci, atau seorang dewa” (Horney, 1950, him. 22). Gambaran diri ideal tidak berlaku sama untuk setiap orang. Orang-orang neurotik mengagungkan dan memuja diri mereka sendiri dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang penurut memandang diri mereka baik dan suci; orang-orang agresif membangun gambaran diri mereka yang ideal sebagai kuat, heroik, dan mengetahui segalanya; dan orang-orang neurotik yang memisahkan diri membuat gambaran diri mereka sebagai bijaksana, bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri, dan mandiri.

Seiring dengan gambaran diri ideal menjadi semakin kuat, orang-orang neurotik mulai percaya dengan gambaran tersebut. Mereka tidak lagi sadar dengan diri mereka sebenarnya dan menggunakan diri ideal sebagai standar untuk evaluasi diri. Mereka tidak berkembang menuju pemahaman diri, melainkan semakin membuat diri ideal mereka menjadi nyata.

Horney (1950) mengungkapkan tiga aspek dari gambaran ideal, yaitu (1) pencarian neurotik akan kemuliaan (the neurotic search fo r glory), (2) pernyataan neurotik (neurotic claims), dan (3) kebanggaan neurotik (neurotic pride).

Pencarian Neurotik akan KemuliaanSetelah orang-orang neurotik semakin meyakini bahwa diri ideal mereka adalah sesuatu yang nyata, mereka mulai menjadikan diri ideal mereka bagian dari seluruh aspek kehidupan mereka—tujuan hidup mereka, konsep diri mereka, dan hubungan mereka dengan orang lain. Horney (1950) menamakan gerakan menyeluruh untuk membuat diri ideal menjadi nyata ini sebagai pencarian neurotik akan kemuliaan (neurotic search fo r glory).

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 209

Selain mencakup pengidealan diri, pencarian neurotik akan kemuliaan mencakup pula tiga elemen lain: kebutuhan akan kesempurnaan, ambisi neurotik, dan dorongan untuk mencapai kesuksesan dengan cara menjatuhkan orang lain.

Kebutuhan akan kesempurnaan mengacu pada dorongan untuk mengubah keseluruhan kepribadian menjadi seperti diri ideal. Orang-orang neurotik tidak puas hanya dengan melakukan sedikit perubahan; tidak ada yang bisa diterima kecuali kesempurnaan total atau menyeluruh. Mereka berusaha untuk mendapatkan kesempurnaan dengan membuat sebuah daftar lengkap tentang “apa yang sebaiknya” (shoulds) dan “apa yang tidak sebaiknya” (should nots). Horney (1950) menyebutkan dorongan ini sebagai tirani atas apa yang sebaiknya (tyranny o f the should). Oleh karena berusaha mencapai sebuah gambaran kesempurnaan, maka orang-orang neurotik secara tidak sadar mengatakan pada diri mereka: “Lupakan bahwa kamu adalah makhlukyang jelek; kamu seharusnya seperti ini” (him. 64).

Elemen penting kedua dalam pencarian neurotik akan kemuliaan adalah ambisi neurotik, yang merupakan dorongan terus-menerus untuk meraih keunggulan. Walaupun orang-orang neurotik mempunyai keinginan yang berlebihan untuk bisa melakukan apapun dengan sangat baik, mereka biasanya menyalurkan energi mereka pada aktivitas- aktivitas yang lebih mungkin memberikan mereka kesuksesan. Oleh sebab itu, dorongan ini bisa mempunyai bentuk yang berbeda-beda selama perjalanan hidup seseorang (Horney, 1950). Contohnya, ketika masih sekolah, seorang anak gadis dapat mengarahkan ambisi neurotiknya untuk menjadi murid terbaik di sekolah. Ketika dewasa, dia bisa terdorong untuk menjalankan bisnis dengan sangat baik atau membuat acara terbaik tentang anjing. Ambisi neurotik bisa juga tampil tidak dalam bentuk kebendaan, misalnya dengan menjadi orang paling baik atau orang paling dermawan di masyarakat.

Elemen ketiga dari pencarian neurotik akan kemuliaan adalah dorongan untuk mencapai kesuksesan dengan cara menjatuhkan orang lain, yang merupakan elemen paling berbahaya. Dorongan untuk mencapai kesuksesan dengan cara menjatuhkan orang lain dapat tampil sebagai dorongan untuk mencapai kesuksesan saja. Akan tetapi, “tujuan utamanya adalah untuk membuat orang lain malu atau kalah melalui kesuksesannya atau untuk memperoleh kekuasaan ... untuk menimbulkan ketidakbahagiaan pada orang lain—yang lebih sering merupakan tujuan untuk mempermalukan orang lain” (Horney, 1950, him. 27). Hal yang menarik adalah dalam hubungan pribadi Horney dengan pria-pria, ia tampak senang membuat mereka merasa malu dan terhina (Hornstein, 2000).

Dorongan untuk mencapai kesuksesan dengan cara menjatuhkan orang lain timbul dari keinginan masa kanak-kanak untuk membalas dendam atas penghinaan nyata maupun imajiner. Bagaimanapun keberhasilan orang-orang neurotik dalam meraih kesuksesan dengan mempermalukan orang lain, mereka tidak akan pernah kehilangan dorongan untuk meraih kesuksesan dengan mempermalukan orang lain lagi—bahkan, keinginan tersebut bertambah kuat seiring dengan makin suksesnya mereka. Setiap kesuksesan meningkatkan ketakutan mereka akan kekalahan dan meningkatkan keyakinan akan kehebatan mereka yang kemudian membuat mereka lebih menginginkan kesuksesan dengan mempermalukan

orang lain lagi.

210 Teori Kepribadian

Permintaan NeurotikAspek kedua dari gambaran ideal adalah permintaan neurotik (neurotic claims). Dalam pencarian akan kemuliaan, orang-orang neurotik membangun dunia imajinasi—yaitu sebuah dunia yang bertolak belakang dengan dunia nyata. Oleh karena memercayai bahwa ada sesuatu yang salah dengan dunia luar, maka mereka menyatakan bahwa mereka spesial dan oleh karena itu berhak mendapat -perlakukan yang sesuai dengan pandangan ideal tentang diri mereka. Oleh karena permintaan mereka sangat disesuaikan dengan gambaran diri ideal mereka, maka mereka tidak melihat bahwa permintaan mereka akan perlakuan spesial adalah hal yang berlebihan.

Permintaan neurotik tumbuh dari kebutuhan dan harapan normal, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Ketika harapan normal tidak terpenuhi maka orang menjadi frustrasi, tetapi ketika permintaan neurotik tidak terpenuhi, orang-orang neurotik menjadi marah, bingung, dan tidak dapat memahami mengapa orang lain tidak bisa mengabulkan permintaan mereka. Perbedaan antara keinginan normal dan permintaan neurotik digambarkan melalui sebuah situasi di mana banyak orang mengantri untuk membeli tiket sebuah film populer. Sebagian besar orang di belakang antrian menginginkan untuk bisa lebih maju dan sebagian dari mereka bahkan merencanakan untuk bisa mendapat posisi yang lebih baik. Walaupun demikian, orang-orang ini mengetahui bahwa mereka tidak berhak menyelak antrian orang lain di depannya. Di sisi lain, orang-orang neurotik benar-benar percaya bahwa mereka berhak untuk bisa mendekat ke antrian terdepan dan mereka tidak merasa bersalah atau menyesal telah menyelak antrian orang lain.

Kebanggaan NeurotikAspek ketiga dari gambaran ideal adalah kebanggaan neurotik (neurotic pride), kebang­gaan yang salah dan didasari bukan pada pandangan realistis dari diri sebenarnya, tetapi pada gambaran yang salah dari diri ideal. Kebanggaan neurotik sama sekali berbeda dengan kebanggaan yang sehat atau harga diri yang realistis. Harga diri realistis timbul berdasarkan atribut-atribut serta pencapaian-pencapaian realistis dan biasanya tidak diekspresikan dengan nyata. Di lain sisi, kebanggaan neurotik timbul berdasarkan gambaran diri yang ideal dan biasanya dinyatakan dengan lantang untuk menjaga dan mendukung pandangan yang mulia tentang diri sendiri (Horney, 1950).

Orang-orang neurotik membayangkan diri mereka sebagai seorang yang mulia, hebat, dan sempurna sehingga ketika orang lain tidak memberi mereka perlakuan spesial, kebanggaan neurotik mereka tersakiti. Untuk mencegah rasa sakit ini, mereka menghindari orang-orang yang menolak untuk menyetujui permintaan neurotik mereka, bahkan, mereka berusaha untuk dikaitkan dengan institusi dan pembelian yang penting dan bergengsi secara sosial.

Kebencian DiriOrang-orang yang melakukan pencarian neurotik akan kemuliaan tidak akan pernah bahagia dengan diri mereka. Ketika mereka menyadari bahwa diri mereka sebenarnya tidak

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial | 211

bisa memenuhi tuntutan yang tak pernah terpuaskan tentang diri ideal mereka, mereka akan mulai membenci dan menganggap rendah diri mereka:

Diri idaman tidak hanya menjadi bayangan yang harus didapat, hal ini juga menjadi tolok ukur untuk menilai dirinya yang sebenarnya. Diri sebenarnya ini merupakan sesuatu yang memalukan ketika dipandang dari perspektif kesempurnaan mirip dewa, yang tidak bisa ia peroleh, sehingga menimbulkan rasa benci terhadap diri sebenarnya (Horney, 1950, him. 110)

Horney (1950) menemukan enam cara utama mengekspresikan kebencian diri. Pertama, kebencian diri dapat menyebabkan tuntutan yang tak henti-henti terhadap diri, yang digambarkan oleh tirani atas apa yang sebaiknya. Sebagai contoh, beberapa orang membuat tuntutan terhadap diri mereka sendiri yang tidak akan pernah berhenti meskipun mereka telah mencapai sebuah kesuksesan. Orang-orang ini terus-menerus berusaha untuk menjadi sempurna karena mereka percaya bahwa mereka harus sempurna.

Cara kedua untuk mengekspresikan kebencian diri adalah dakwaan terhadap diri yang kejam. Orang-orang neurotik berulang kali memaki diri mereka sendiri. “Jika orang mengenai saya, maka mereka akan tahu bahwa saya berpura-pura menjadi seseorang yang berpengetahuan, kompeten, dan jujur. Saya sesungguhnya adalah seorang penipu, tetapi tidak ada satupun orang tahu hal itu, kecuali saya”. Dakwaan terhadap diri muncul dalam beragam bentuk—dari ekspresi yang tampak mengagumkan dan nyata (grandiose expressions), seperti merasa bertanggung jawab atas terjadinya bencana alam hingga mempertanyakan secara mendetail tentang manfaat dari motivasi mereka sendiri.

Ketiga, kebencian diri dapat berupa penghinaan terhadap diri, yang diekspresikan dengan cara meremehkan, merendahkan, meragukan, mendiskreditkan, dan mengolok- olok diri sendiri. Penghinaan terhadap diri mencegah orang untuk berusaha melakukan perbaikan atau mendapatkan keberhasilan. Seorang pria muda mungkin berkata pada dirinya, “Kamu terlalu sombong! Apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu bisa berkencan dengan wanita paling cantik di kota ini?” Seorang wanita bisa menganggap kesuksesan kariernya diakibatkan oleh “keberuntungan”. Walaupun orang-orang ini mungkin sadar akan tingkah laku mereka, mereka tidak menyadari adanya kebencian diri yang mendasari tingkah laku mereka.

Ekspresi keempat dari kebencian diri adalah frustrasi diri. Horney (1950) membedakan antara disiplin diri sehat dan frustrasi diri neurotik. Disiplin diri sehat menyangkut menunda atau menghentikan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan dengan tujuan untuk tujuan-tujuan yang masuk akal. Frustrasi diri

bermula dari kebencian diri dan dibentuk untuk Kebendan din terkadang diekspresikanmembuat gambaran diri yang mengagumkan dengan meminum alkohol secara berlebihan

r

Teori Kepribadian

menjadi nyata. Orang-orang neurotik sering kali terhambat dalam melakukan hal-hal menyenangkan yang dianggap tabu. “Saya tidak berhak untuk mendapat sebuah mobil baru”. “Saya tidak seharusnya mengenakan pakaian yang bagus karena banyak orang di dunia yang mengenakan pakaian compang-camping”. “Saya tidak seharusnya mencari pekerjaan yang lebih baik karena saya tidak cukup baik untuk mendapatkannya”.

Kelima, kebencian diri dapat muncul dalam bentuk penyiksaan diri atau penganiayaan diri. Walaupun penyiksaan diri dapat muncul pada setiap bentuk kebencian diri lainnya, hal ini menjadi sebuah kategori yang terpisah. Ketika tujuan utama orang adalah untuk mencelakai atau menimbulkan penderitaan pada diri mereka sendiri. Beberapa orang mendapat kepuasan masochistic dengan cara merasa menderita ketika mengambil keputusan, membesar-besarkan rasa sakit ketika mengalami sakit kepala, menyilet diri mereka dengan pisau, mengajak berkelahi orang-orang yang sudah pasti bisa mengalahkan mereka, atau memicu dirinya menjadi korban penyiksaan fisik.

Keenam dan bentuk terakhir dari kebencian diri adalah tindakan dan dorongan menghancurkan diri, yang dapat berupa kehancuran fisik maupun psikologis, disadari atau tidak sadari, akut maupun kronis, dan yang benar-benar dilakukan maupun yang hanya dibayangkan. Makan berlebihan, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, bekerja terlalu keras, mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan, dan bunuh diri adalah contoh-contoh tingkah laku penghancuran diri secara fisik. Orang-orang neurotik dapat pula menyerang dirinya sendiri secara psikologis, misalnya berhenti dari pekerjaan ketika kariernya mulai menanjak, putus dari hubungan yang sehat demi memilih hubungan yang neurotik, atau melakukan perilaku seks bebas.

Horney (1950) menyimpulkan pencarian neurotik akan kemuliaan dan kebencian diri yang berhubungan dengannya dengan penjelasan berikut ini.

Dalam meneliti kebencian diri dan kekuatannya yang hebat, kita tidak bisa untuk tidak melihat sebuah tragedi besar di dalamnya, yang mungkin merupakan tragedi terbesar dalam pemikiran manusia. Manusia juga mulai menghancurkan dirinya sendiri dalam upayanya menjangkau sesuatu yang Tak Terbatas dan Absolut. Saat manusia membuat perjanjian dengan setan, yang menjanjikannya kemuliaan, ia harus masuk neraka—neraka yang ada di dalam dirinya (him. 154).

Psikologi FemininSebagai seorang wanita yang dilatih dalam Psikologi Promaskulin dari Freud, Horney perlahan-lahan menyadari bahwa pandangan psikoanalisis tradisional terhadap wanita tidaklah berimbang. Ia kemudian menyusun teorinya sendiri, yang menolak beberapa ide- ide dasar Freud.

Bagi Horney, perbedaan psikis antara pria dan wanita bukanlah hasil dari perbedaan anatomi, melainkan hasil dari perbedaan kultur dan harapan sosial terhadap masing-masing dari mereka. Pria yang menaklukkan dan mengatur wanita serta wanita yang meremehkan dan iri terhadap pria melakukan hal tersebut akibat adanya daya saing neurotik yang terdapat pada sebagian besar masyarakat. Horney (1937) meyakini bahwa kecemasan dasar

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 21 3

merupakan penyebab utama dari kebutuhan pria untuk mengalahkan wanita dan dari ke­inginan wanita untuk mempermalukan pria.

Walaupun Horney (1939) mengakui keberadaan Oedipus complex, ia meyakini bahwa hal ini merupakan akibat dari kondisi-kondisi lingkungan dan bukan akibat dari penyebab biologi. Apabila hal itu memang merupakan akibat dari penyebab anatomi, seperti yang Freud katakan, maka hal itu akan berlaku universal di seluruh dunia (seperti yang Freud benar-benar yakini). Akan tetapi, Horney (1967) tidak melihat adanya bukti terjadinya Oedipus complex di seluruh dunia. Bahkan, ia mengatakan bahwa hal itu hanya ditemukan pada beberapa kasus saja dan merupakan ekspresi neurotik dari kebutuhan akan cinta. Kebutuhan neurotik akan kasih sayang dan kebutuhan neurotik akan agresi biasanya berawal di masa kanak-kanak dan merupakan dua dari tiga kecenderungan neurotik dasar. Seorang anak bisa lebih dekat dengan salah satu orang tua dan menampilkan tingkah laku cemburu kepada orang tua lainnya. Akan tetapi, perilaku ini merupakan cara untuk mengurangi kecemasan dasar dan bukanlah pertanda dari Oedipus complex yang berdasarkan penyebab anatomi. Walaupun terdapat aspek seksual yang berhubungan dengan perilaku ini, tujuan utama dari sang anak adalah untuk mendapat rasa aman dan bukan untuk melakukan hubungan seksual.

Horney (1939) menemukan bahwa konsep rasa iri akan penis (penis envy) semakin kurang bisa dipertahankan. Ia mengatakan bahwa tidak ada lagi alasan anatomi mengapa anak-anak perempuan harus iri akan penis dan mengapa anak-anak laki-laki menginginkan payudara atau rahim. Pada kenyataannya, anak laki-laki terkadang mengungkapkan keinginannya untuk mempunyai bayi, tetapi keinginan ini bukanlah akibat dari adanya “rasa iri akan rahim” (womb envy) dari laki-laki yang berlaku universal.

Horney sepaham dengan pemikiran Adler bahwa banyak wanita memiliki masculine protest, yaitu mereka mempunyai kepercayaan tidak masuk akal bahwa pria lebih baik daripada wanita. Persepsi ini dengan mudah mengarah pada keinginan neurotik untuk menjadi seorang pria. Akan tetapi, keinginan ini bukanlah ungkapan dari penis envy melainkan “keinginan untuk mempunyai semua kelebihan-kelebihan atau keuntungan-keuntungan yang di kultur kita dianggap sebagai maskulin” (Horney, 1939, him. 108). (Pandangan ini hampir serupa dengan pandangan yang diungkapkan oleh Erikson yang dibahas pada Bab 9).

Pada tahun 1994, Bernard}. Paris memublikasikan sebuah pidato yang Horney berikan di tahun 1935 pada sebuah klub profesional dan pebisnis wanita di mana ia mengungkapkan ide-idenya tentang psikologi feminin. Pada saat itu Horney tidak terlalu tertarik dengan perbedaan antara pria dan wanita dibandingkan dengan psikologi umum yang membahas kedua jenis kelamin. Oleh karena kultur dan lingkungan berperan dalam perbedaan psikologis antara wanita dan pria, maka Horney merasa bahwa “tidak terlalu penting untuk mencari jawaban dari pertanyaan tentang perbedaan dibandingkan dengan memahami dan menganalisis signifikansi nyata dari ketertarikan pada sudut pandang’ feminin” (Horney, 1994, him. 233). Horney menyimpulkan pidatonya dengan mengatakan bahwa:

Sekarang dan selamanya, kita sebaiknya berhenti mencari tahu apa yang feminin dan apa yang tidak feminin. Hal-hal semacam ini hanya membuang-buang energi kita. Aturan tentang maskulinitas dan feminitas merupakan aturan yang dibuat-buat.

Teori Kepribadian

Apa yang kita ketahui dengan pasti pada saat ini tentang perbedaan jenis kelamin adalah bahwa kita tidak mengetahui tentang hal itu. Perbedaan ilmiah antara kedua jenis kelamin ini memang ada, tetapi kita tidak akan pernah bisa menemukan apa perbedaan-perbedaan tersebut sebelum kita mengembangkan kemampuan kita sebagai makhluk hidup. Walaupun terdengar aneh, kita akan bisa mencari tahu tentang perbedaan-perbedaan ini hanya jika kita melupakannya (him. 238).

PsikoterapiHorney percaya bahwa neurosis muncul dari konflik dasar yang biasanya berawal dari masa kanak-kanak. Seiring dengan orang berusaha untuk mengatasi konflik ini, mereka cenderung mengadopsi satu dari tiga kecenderungan neurotik, yaitu, mendekati, melawan, atau menjauhi orang lain. Masing-masing dari cara ini menimbulkan rasa lega sementara, tetapi lama-kelamaan kecenderungan ini akan mendorong orang semakin menjauh dari menerima diri mereka yang sebenarnya dan semakin terlibat dalam keadaan neurotik (Horney, 1950).

Tujuan umum dari terapi Horney adalah untuk membantu pasien berkembang perlahan menuju realisasi diri. Lebih spesifik, tujuan dari terapinya adalah agar pasien menghilangkan gambaran diri ideal mereka, menghentikan pencarian neurotik akan kemuliaan mereka, dan mengubah kebencian diri menjadi penerimaan terhadap diri mereka yang sebenarnya. Sayangnya, pasien-pasien biasanya yakin bahwa solusi neurotik mereka sudah benar, jadi mereka enggan menghilangkan kecenderungan neurotik mereka. Walaupun pasien-pasien ingin mempertahankan kecenderungan neurotik, mereka tidak ingin terus-menerus sakit. Mereka tidak terlalu senang dengan penderitaan mereka dan ingin terbebas dari penderitaan tersebut. Sayangnya, mereka cenderung tidak mau berubah dan tetap melakukan perilaku yang mendukung penyakit mereka. Ketiga kecenderungan neurotik dapat digambarkan dengan istilah-istilah positif, seperti “cinta”, “kebisaan”, atau “kebebasan”. Oleh karena biasanya pasien menyebutkan perilaku mereka dengan istilah-istilah positif tersebut, maka tindakan-tindakan mereka tampaknya merupakan tindakan yang sehat, benar, dan diinginkan (Horney, 1942, 1950).

Tugas terapis adalah untuk meyakinkan pasien-pasien bahwa solusi mereka saat ini lebih condong pada mendukung daripada mengurangi inti masalah dari neurosis, yang mana tugas ini membutuhkan banyak waktu dan kerja keras. Pasien-pasien dapat mencari pengobatan atau solusi yang cepat, tetapi hanya melalui proses panjang dan kerja keras untuk memperoleh pengenalan diri yang dapat memberikan perubahan positif. Pengenalan diri harus lebih dari sekadar pencarian informasi. Hal ini harus didampingi oleh adalah pengalaman emosional. Pasien-pasien harus memahami sistem kebanggaan mereka, gambaran ideal mereka, pencarian neurotik akan kemuliaan mereka, kebencian diri mereka, apa yang seharusnya mereka lakukan, bagaimana mereka menjauh dari diri mereka, dan konflik-konflik mereka. Lebih jauh lagi, mereka harus melihat bagaimana semua faktor ini berkaitan dan bekerja untuk mempertahankan neurosis dasar mereka.

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 215

Walaupun seorang terapis dapat membantu mengarahkan pasien-pasien menuju pengenalan diri, terapi baru benar-benar berhasil jika dibangun dari analisis diri (Horney, 1942, 1950). Pasien-pasien harus memahami perbedaan antara gambaran diri ideal mereka dan diri mereka sebenarnya. Untungnya, orang memiliki kekuatan penyembuhan yang melekat erat sehingga memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman diri setelah pengenalan diri dan analisis diri berhasil dicapai.

Berbicara mengenai teknik-teknik yang dilakukan, terapis-terapis yang berdasarkan teori Horney menggunakan banyak teknik yang sama yang juga digunakan oleh terapis- terapis yang berdasarkan teori Freud, terutama dalam hal interpretasi mimpi dan asosiasi bebas. Horney menganggap mimpi sebagai usaha untuk mengatasi konflik-konflik, tetapi solusi yang diperoleh dapat berupa solusi neurotik maupun solusi yang sehat. Ketika terapis memberikan interpretasi yang benar, pasien dapat terbantu untuk mengenai lebih baik diri mereka sebenarnya. “Dari mimpi-mimpi ... bahkan di fase awal dari analisis, pasien dapat melihat sekilas sebuah dunia dalam dirinya yang benar-benar merupakan dunianya sendiri dan yang lebih nyata menggambarkan perasaannya daripada dunia ilusinya” (Horney, 1950,

him. 349).

Pada teknik kedua, yaitu asosiasi bebas, pasien-pasien diminta untuk mengatakan segala hal yang muncul di pikiran mereka betapapun sepelenya atau memalukannya hal- hal tersebut. (Horney, 1987). Mereka juga diminta untuk mengekspresikan perasaan apapun yang muncul dari asosiasi tersebut. Sama seperti interpretasi mimpi, asosiasi bebas akan dapat mengungkap gambaran diri ideal pasien-pasien dan usaha-usaha mereka yang pantang menyerah, tetapi tidak pernah berhasil untuk mencapai gambaran diri ideal tersebut.

Ketika terapi berhasil, pasien-pasien secara bertahap membangun rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk bertanggung jawab atas perkembangan psikologis mereka. Mereka akan semakin memahami diri dan memahami semua proses yang menyertai proses realisasi diri tersebut. Mereka akan mendapat pemahaman yang lebih mendalam dan jelas mengenai perasaan, apa yang mereka yakini, serta harapan-harapan mereka. Mereka akan berhubungan dengan orang lain dengan perasaan yang tulus dan tidak menggunakan orang lain untuk mengatasi konflik-konflik dasar. Dalam pekerjaan, mereka akan lebih menyukai pekerjaan itu sendiri daripada sekadar melihat pekerjaannya sebagai cara untuk mencapai pencarian neurotik akan kemuliaan.

Penelitian TerkaitTeori psikoanalisis sosial dari Horney tidak secara langsung menginspirasi sejumlah besar penelitian di psikologi kepribadian modern. Akan tetapi, pemikirannya tentang kecenderungan neurotik cukup relevan dengan banyak penelitian tentang neurotisme yang dilakukan di masa kini.

216 Teori Kepribadian

Dorongan Neurotik untuk Menghindari Hal-hal NegatifSebagian besar penelitian tentang neurotisme menitikberatkan pada sisi negatifnya. Tingkat neurotisme yang tinggi diasosiasikan dengan kemungkinan mengalami lebih banyak emosi negatif dan kemungkinan mengembangkan masalah kecemasan umum (Borkovec & Sharpless, 2004). Neurotisme juga diasosiasikan dengan penciptaan tujuan-tujuan menjauh di mana seseorang menghindari hasil-hasil negatif, daripada penciptaan tujuan-tujuan mendekat di mana seseorang mendekati hasil-hasil positif (Elliot & Thrash, 2002). Dalam pandangan Horney (1942), orang-orang neurotik terus-menerus melindungi diri mereka dari kecemasan dasar dan strategi pertahanan diri ini memerangkap mereka dalam sebuah siklus negatif. Menciptakan tujuan-tujuan yang dikembangkan sebagai proses mendekati hasil-hasil yang positif secara umum dianggap sebagai cara hidup yang lebih sehat daripada sibuk menghindari hasil-hasil negatif., Akan tetapi, orang-orang neurotik biasanya tidak mampu lepas dari pola pikir menghindar (Elliot & Thrash, 2002). Penemuan-penemuan ini tidak akan menjadi suatu hal yang mengejutkan bagi Horney karena hal-hal ini cukup sesuai dengan pandangannya tentang kecenderungan neurotik. Apakah mengenai perjuangan terus-menerus melawan kecemasan dasar atau terjebak dalam sebuah kerangka pikir yang berfokus pada menghindari hasil-hasil negatif, pertahanan diri neurotik bukan merupakan cara untuk memperoleh pemahaman yang kuat tentang kesejahteraan.

Mungkinkah Neurotisme Merupakan Hal yang Baik?Teori Horney, seperti halnya sebagian besar teori pada psikologi kepribadian, menggambarkan neurotisme sebagai sesuatu yang agak negatif. Berdasarkan penelitian yang dibahas di bagian sebelumnya tentang neurotisme dan tujuan menghindar serta hasil negatif yang terkait, munculnya penilaian negatif terhadap neurotisme adalah suatu hal yang dapat dimaklumi. Beberapa penelitian terbaru telah mulai menginvestigasi kondisi- kondisi di mana neurotisme mungkin tidak sepenuhnya negatif dan, ironisnya, mungkin memiliki beberapa manfaat.

Michael Robinson dan rekan (Robinson, Ode, Wilkowski, & Amodio, 2007) melempar pertanyaan “Bagaimana seseorang bisa menjadi seorang neurotik yang berhasil?” Pastinya tidak mudah menjadi seorang neurotik yang sukses. Orang-orang dengan kecenderungan tinggi pada neurotisme terus-menerus terdorong pada tujuan-tujuan menjauh dan untuk berhadapan dengan kecemasan dasar menggunakan semua cara pertahanan diri neurotik yang berbahaya seperti dijelaskan Horney. Akan tetapi, mungkin ada beberapa kasus di mana neurotisme merupakan sesuatu yang baik, terutama untuk mendeteksi ancaman- ancaman. Orang-orang neurotik cenderung menjauhi ancaman-ancaman (dan segala bentuk hasil negatif). Oleh karena itu, Robinson dan rekan membuat sebuah penelitian untuk mencari tahu tentang hubungan antara neurotisme, pengenalan ancaman, dan mood. Mereka memprediksi bahwa bagi orang-orang yang mempunyai kecondongan neurotisme yang tinggi, kemampuan untuk bisa mengenali ancaman secara akurat di lingkungan akan berkaitan dengan penurunan m ood negatif. Dengan kata lain, sensitivitas

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 217

neurotik terhadap ancaman akan bisa bermanfaat karena orang-orang semacam ini dapat mengenali masalah kemudian mungkin akan menjauhi masalah tersebut, dan kesuksesan dalam menjauhi masalah itu akan membuat mereka merasa lebih baik.

Untuk menguji hipotesis ini, Robinson dan rekan (2007) meminta 181 mahasiswa untuk datang ke laboratorium dan melengkapi sebuah penilaian diri yang berupa pengukuran neurotisme. Kemudian, mengerjakan tugas di komputer untuk mengukur kemampuan mereka dalam mendeteksi ancaman secara akurat dan menilai apa yang mereka lakukan ketika melakukan kesalahan dalam mendeteksi sebuah ancaman. Jika seseorang melakukan kesalahan, maka cara mengatasinya adalah dengan memperlambat respons dan memperhatikan situasi dengan lebih seksama. Akan tetapi, tidak semua orang melakukan hal itu dan di sinilah tugas komputer yang Robinson dan rekan gunakan berperan untuk mengukur apakah orang-orang menunjukkan respons yang tepat ketika melakukan kesalahan. Tugas komputer tersebut terdiri dari sebuah kata yang muncul di layar komputer lalu partisipan, secepat mungkin, harus memutuskan apakah kata tersebut menggambarkan ancaman atau tidak. Sebagai contoh, kata “stench” (bau yang sangat tidak enak) tidak menggambarkan sebuah ancaman, tetapi kata “knife” (pisau) menggambarkan sebuah ancaman. Komputer merekam berapa waktu yang partisipan butuhkan untuk memutuskan apakah sebuah kata merupakan sebuah ancaman atau tidak dan apakah partisipan mengindentifikasi ancaman dengan benar atau tidak. Ketika partisipan membuat kesalahan, komputer juga merekam berapa waktu yang diperlukan partisipan untuk menentukan apakah kata berikutnya yang muncul di layar menggambarkan ancaman atau tidak. Setelah peneliti mendapatkan skor neurotisme dari masing-masing partisipan dan penilaian tentang seberapa baik mereka mendeteksi ancaman-ancaman dan beraksi terhadap kesalahan-kesalahan, partisipan diminta untuk memonitor m ood mereka selama tujuh hari ke depan.

Yang menarik adalah Robinson dan rekan menemukan bahwa ternyata ada cara untuk menjadi “orang neurotik yang sukses”. Secara spesifik, mereka menemukan bahwa bagi mereka yang mempunyai kecenderungan menjadi neurotik, kemampuan mereka untuk bereaksi secara adaptif terhadap kesalahan (yaitu untuk memperlambat respons dan berpikir lebih hati-hati) sambil menilai ancaman berhubungan dengan bahwa mereka mengalami lebih sedikit m ood negatif dalam kehidupan sehari-hari (Robinson dan rekan, 2007).

Secara garis besar, mungkin menjadi neurotik dan terus-menerus terobsesi dengan menjadi hasil-hasil negatif bukanlah sebuah hal yang positif, tetapi kemampuan kita untuk mengontrol kepribadian kita sangatlah terbatas. Orang-orang neurotik tidak dapat bangun tidur suatu hari dan dengan mudah berhenti menjadi neurotik. Kecenderungan neurotik dan berbagai pertahanan diri yang terkait seperti diungkapkan Horney merupakan aspek- aspek dari kepribadian individu yang stabil dan bertahan lama yang tidak mudah berubah secara tiba-tiba. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyadari bahwa walaupun banyak penelitian yang menunjukkan sisi buruk dari neurotisme, tidak semua aspek dari hal tersebut merupakan sesuatu yang buruk. Banyak orang-orang neurotik yang berkemampuan baik dalam menghindari hasil-hasil negatif sehingga membuat hari-hari

mereka terasa lebih baik.

i

Teori Kepribadian

Kritik terhadap HorneyTeori psikoanalisis sosial Horney menyediakan perspektif menarik tentang ciri-ciri humanisme, tetapi teorinya tidak mempunyai penelitian terkini yang cukup untuk mendukung ide-idenya. Kekuatan teori Horney adalah pada gambarannya yang jelas tentang kepribadian neurotik. Tidak ada pembuat teori kepribadian lainnya yang menulis tentang neurosis, sebaik (atau sebanyak) Horney. Penjelasannya yang sangat lengkap tentang kepribadian neurotik menyediakan ide-ide yang sangat baik untuk memahami orang-orang yang kurang sehat secara mental. Akan tetapi, ide-idenya yang hampir sebagian besar dikhususkan membahas tentang orang-orang neurotik telah membatasi teorinya. Ide-idenya mengenai kepribadian normal atau sehat sangatlah umum dan tidak dijelaskan dengan baik. Ia percaya bahwa setiap orang pada dasarnya akan selalu berusaha meraih pemahaman diri, tetapi ia tidak menggambarkan dengan jelas tentang pemahaman diri tersebut.

Teori Horney tidak cukup kuat untuk mengembangkan penelitian dan untuk memenuhi kriteria falsifiability (kemungkinan logis bahwa sebuah ide dapat dianggap salah atau benar berdasarkan observasi atau penelitian). Spekulasi dari teori tidak dapat dengan mudah menghasilkan hipotesis yang bisa diteliti dan oleh karena itu teori tersebut kurang dalam hal verifiability (kemungkinan bahwa sebuah ide dapat diverifikasi) dan falsifiability. Teori Horney sebagian besar didasari oleh pengalaman-pengalaman klinis di mana ia sering kali berhubungan dengan individu-individu neurotik. Ia keberatan untuk membuat asumsi-asumsi spesifik tentang keadaan psikologis dari individu-individu sehat. Oleh karena teorinya lebih banyak tentang neurotik, maka teori tersebut dinilai tinggi dalam kemampuannya mengorganisasi pengetahuan mengenai neurotik. Akan tetapi, teori Horney dinilai rendah dalam kemampuannya menjelaskan tentang orang- orang pada umumnya.

Teori Horney dianggap lebih berhasil dalam fungsinya sebagai panduan pem ecahan masalah. Guru-guru, terapis-terapis, dan terutama orang tua dapat menggunakan asumsinya mengenai perkembangan kecenderungan neurotik agar dapat memberikan lingkungan yang hangat, aman, dan menerima bagi para siswa, pasien, atau anak-anak mereka. Akan tetapi, di luar fungsi-fungsi tersebut, teori ini tidak cukup spesifik dalam memberikan cara penanganan yang jelas dan mendetail bagi para praktisi. Untuk kriteria ini, teori Horney menerima penilaian yang rendah.

Apakah teori Horney konsisten secara internal, dengan istilah-istilah yang didefinisikan secara jelas yang digunakan secara seragam? Dalam buku Neurosis and Human Growth yang ditulis Horney (1950), konsep-konsep dan ide-idenya jelas, konsisten, dan tidak ambigu. Akan tetapi, ketika semua karyanya diteliti, sebuah gambaran yang berbeda muncul. Dalam sekian tahun, ia menggunakan istilah-istilah seperti “kebutuhan neurotik” dan “kecenderungan neurotik” kadang sebagai istilah-istilah yang berbeda dan kadang sebagai istilah-istilah yang saling menggantikan sedangkan istilah-istilah “kecemasan dasar” dan “konflik dasar” tidak selalu dibedakan dengan jelas. Ketidakkonsistenan ini membuat keseluruhan karyanya menjadi agak tidak konsisten, tetapi tetap saja teori terakhirnya (1950) adalah sebuah teori yang dibahas dengan jelas dan konsisten.

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 219

Kriteria lain dari sebuah teori yang berguna adalah parsimony (penggunaan asumsi atau penjelasan yang sederhana dalam pembentukan teori), dan teori terakhir dari Horney, sebagaimana dijelaskan pada bab terakhir dari Neurosis and human Growth (Horney, 1950, Bab 15), mendapat penilaian tinggi untuk kriteria ini. Bab terakhir dalam buku itu, yang membahas pengantar teori Horney tentang perkembangan neurotik, merupakan bab yang sederhana, mudah dipahami, dan ditulis dengan jelas.

Konsep KemanusiaanKonsep humanisme dari Horney berdasarkan ham pir seturuh pengalaman klinisnya dengan pasien-pasien neurotik. Oleh karena itu, pandangannya terhadap kepribadian manusia sangat kuat diwarnai oleh konsepnya tentang neurosis. Menurut Horney, perbedaan utama antara orang yang sehat dan orang yang neurotik adalah pada tingkat kompulsivitas di mana m asing-masing bergerak mendekati, melawan, atau menjauhi orang lain.

Ciri-ciri kompulsif dari kecenderungan neurotik menegaskan bahwa konsep humanisme Horney m enganut konsep determ inistik (bahwa orang tidak dapat dengan bebas memilih apa yang mereka inginkan karena hal ini telah ditentukan oleh masa lalu, lingkungan, atau hal lain yang tidak dapat mereka kontrol). Akan tetapi, seseorang yang sehat mempunyai kebebasan untuk memilih. Bahkan individu neurotik, melatui psikoterapi dan kerja keras, dapat m emperoleh kontrol atas konflik-konflik intrapsikis mereka. Untuk alasan ini, teori psikoanalisis sosial Horney mendapat nilai sedikit lebih tinggi dalam hal kebebasan memilih daripada dalam hal determinisme.

Dalam hal yang sama, teori Horney dinilai lebih optim is daripada pesimis. Horney percaya bahwa orang memiliki kekuatan penyembuhan yang melekat dapat mengarahkan mereka untuk memperoleh pemahaman diri. Jika kecemasan dasar (perasaan sendirian dan tidak berdaya di dunia yang tidak ramah) dapat dihindari, maka orang akan merasa aman dan nyaman dalam menjalin hubungan interpersonal kemudian akan mengembangkan kepribadian yang sehat.

Saya meyakini bahwa manusia memiliki, baik kapasitas maupun keinginan untuk mengembangkan potensi yang dim iliki dan menjadi makhluk hidup yang baik, dan bahwa kedua hal ini akan m emburuk jika hubungannya dengan orang lain dan juga dengan dirinya sendiri mengalami dan terus-m enerus mengalami gangguan. Saya percaya bahwa manusia dapat berubah dan terus berubah selama dia hidup (Horney, 1945, him. 19).

Pada dimensi kausalitas versus te/eo/og/, Horney mengadopsi posisi menengah. la menyatakan bahwa tujuan alami orang-orang adalah pemahaman diri, tetapi ia juga percaya bahwa pengalam an-pengalam an masa kanak-kanak dapat menghambat tujuan tersebut. “Masa lalu dalam berbagai cara selalu ada di masa kin i” (Horney, 1939, him. 153). Akan tetapi, term asuk pula dalam pengalam an-pengalam an masa lalu orang adalah pembentukan filosofi kehidupan dan serangkaian nilai yang memberikan arah pada masa kini dan masa depan mereka.

Walaupun Horney mengambil posisi tengah dalam hal motivasi sadar versus tidak

sadar, ia percaya bahwa sebagian besar orang hanya memiliki sedikit kesadaran akan

motivasi mereka. Orang-orang neurotik, terutama, mempunyai sedikit pemahaman

tentang diri mereka sendiri dan tidak mengetahui bahwa tingkah laku mereka memastikan

kelanjutan neurosis yang mereka alami. Mereka salah mengartikan karakteristik pribadi

mereka, menganggap diri mereka dapat diterima secara sosial, tetapi mereka tetap

tidak menyadari konflik dasar mereka, kebencian diri mereka, kebanggaan neurotik, dan

220 Teori Kepribadian

permintaan neurotik mereka, serta kebutuhan mereka untuk mencapai kesuksesan dengan

cara menjatuhkan orang lain.

Konsep kepribadian Horney sangat m enitikberatkan pada pengaruh-pengaruh sosial dibandingkan dengan pengaruh-pengaruh biologis. Perbedaan psikologis antara pria dan wanita, contohnya, lebih disebabkan oleh harapan-harapan kultural dan sosial dibandingkan dengan perbedaan anatomi. Bagi Horney, Oedipus com plex dan penis envy bukanlah akibat- akibat yang tak terelakkan dari hal-hal biologis, tetapi lebih dibentuk oleh dorongan- dorongan sosial. Horney tidak sepenuhnya m engabaikan faktor-faktor biologis, tetapi titik berat utamanya adalah pada pengaruh-pengaruh sosial.

Oleh karena teori Horney lebih menyoroti neurosis, maka teorinya cenderung me-

nyoroti persam aan antarm anusia dibandingkan dengan keunikan yang dim iliki setiap

manusia. Tidak semua orang neurotik mirip, tentunya, dan Horney mendeskripsikan tiga

tipe da sa r-yang tidak berdaya (the helpless), yang bermusuhan (the hostile), dan yang

memisahkan diri (the detached). Akan tetapi, ia tidak terlalu menitikberatkan perbedaan

individual pada m asing-m asing kategori ini.

Istilah dan Konsep Penting• Horney meyakini bahwa pengaruh-pengaruh sosial dan kultural lebih penting daripada

pengaruh-pengaruh biologis.

• Anak-anak yang kurang mendapat kehangatan dan kasih sayang mempunyai kebutuhan akan rasa aman dan puas yang tidak terpenuhi.

• Perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan memicu kecemasan dasar atau perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan dalam dunia yang cenderung penuh permusuhan.

• Ketidakmampuan seseorang untuk menggunakan taktik yang berbeda dalam hubungan mereka dengan orang lain menimbulkan konflik dasar, yaitu kecenderungan yang tidak sesuai untuk mendekati, melawan, dan menjauhi orang lain.

• Horney menamai kecenderungan untuk mendekati, melawan, atau menjauhi orang lain sebagai tiga kecenderungan neurotik.

Orang normal menyelesaikan konflik dasar mereka menggunakan ketiga kecenderungan neurotik ini. Di sisi lain, orang neurotik hanya mengadopsi satu kecenderungan secara berulang-ulang.

Tiga kecenderungan neurotik ini (mendekati, melawan, atau menjauhi orang lain) adalah kombinasi dari 10 kecenderungan neurotik yang telah diidentifikasi oleh Horney.

Baik orang normal maupun neurotik mengalami konflik intrapsikis yang telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan mereka. Dua konflik intrapsikis utama adalah gambaran diri ideal dan kebencian diri.

• Gambaran diri ideal menyebabkan usaha-usaha neurotik untuk membangun potret diri yang terlalu sempurna.

Bab 6 Horney: Teori Psikoanalisis Sosial 221

• Kebencian diri adalah kecenderungan orang neurotik untuk membeci dan melecehkan diri mereka sebenarnya.

• Perbedaan psikologis antara pria dan wanita disebabkan oleh pengharapan budaya dan sosial, bukan faktor biologis.

• Psikoterapi aliran Horney bertujuan untuk menimbulkan pertumbuhan menuju aktualisasi akan diri sebenarnya.

222

. '■ •; ' .. • f i t . . ->

«i»fc u -q 'hk a'd-Uds* h siutf.w am •

.

Bab 7

Fromm:PsikoanalisisHumanistis

• Gambaran Umum Psikoanalisis

Humanistis• Biografi Erich From m

• Asumsi D asar Fromm

• Kebutuhan Manusia

Keterhubungan Keunggulan Keberakaran Kepekaan akan Identitas Kerangka orientasi Rangkuman Kebutuhan Manusia

. Beban Kebebasan

Mekanisme Pelarian Authoritarianism Sifat Merusak Konformitas

Kebebasan positif• Orientasi Karakter

Orientasi nonproduktifReseptif Eksploitatif Menimbun Memasarkan

Orientasi produktif• Gangguan Kepribadian

NekrofiliaNarsisme berat Simbiosis inses

Fromm

• Psikoterapi

• Metode Investigasi From mKarakter Sosial Sebuah Desa di Meksiko Studi Psikohistoris mengenai Hitler

• Penelitian TerkaitKerenggangan Kultur dan Kesejahteraan Beban Kebebasan dan Bujukan Politik

• Kritik terhadap From m

• Konsep Kemanusiaan

• Istilah dan Konsep Penting

224 ! Teori Kepribadian

Mengapaberperang?Mengapabangsa-bangsadiduniatidakbisahiduprukun? Mengapa orang-orang dari negara yang berbeda-beda tidak dapat memahami satu sama lain,

bila tidak dengan cara yang sopan, maka paling tidak dengan cara yang dapat diterima? Bagaimana orang-orang bisa menghindari kekerasan yang mendorong dan menimbulkan pembantaian di medan perang?

Ketika seorang anak muda memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, perang sedang terjadi di kampung halamannya. Perang yang ia lihat secara langsung ini ada ah Perang Dunia I, Perang Besar, Perang untuk Mengakhiri Semua Perang. Ia melihat orang-orang dari negaranya—Jerman—membenci orang-orang dari negara lawan—terutama Prancis dan Inggris, dan ia yakin bahwa orang-orang Prancis juga Inggris membenci orang-orang Jerman. Perang tersebut tidak masuk akal. Mengapa orang-orang yang biasanya rasional dan bersahabat melakukan hal yang begitu rendah, seperti membunuh tanpa perasaan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah satu-satunya hal yang menggangu pikiran si anak muda. Ia juga sulit memahami kejadian bunuh diri seorang seniman cantikyang masih muda, yang membunuh dirinya sendiri segera setelah kematian ayahnya—sebuah kejadian yang membuat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun merasa bingung dan galau. Sang perempuan muda tersebut—teman dari keluarga si anak—cantik dan berbakat, sedangkan ayahnya tua dan tidak menarik. Namun demikian, ia meninggalkan pesan sebelum bunuh diri menyatakan bahwa ia ingin dikuburkan bersama ayahnya. Sang anak tidak dapat memahami keinginan ataupun tindakannya tersebut. Seniman cantik itu tampak memiliki segalanya untuk hidup, tetapi ia memilih kematian daripada kehidupan tanpa ayahnya. Bagaimana bisa perempuan muda itu membuat keputusan sedemikian rupa?

Pengalaman ketiga yang membantu terbentuknya awal kehidupan sang anak adalah bimbingan dari guru-guru Talmud (kumpulan naskah hasil diskusi para Rabi mengenai ajaran Yahudi). Ia terutama tergerak dengan belas kasih dan spiritualitas Nabi dalam Kesaksian Lama, yaitu Yesaya, Hosea, dan Amos yang dapat menyelamatkan manusia dari iblis. Walaupun akhirnya ia menelantarkan agamanya, pengalaman dengan ahli-ahli Talmud ini 'bercampur dengan kebenciannya terhadap perang dan kebingungannya akan seniman yang bunuh diri, menghasilkan pandangan humanistis yang substansial dari Erich Fromm.

Gambaran Umum Teori Psikoanalisis HumanistisTesis dasar Erich Fromm menyatakan bahwa manusia pada masa modern ini telah terpisah dari kesatuan prasejarah mereka dengan alam dan juga dengan satu sama lain, namun mereka memiliki kekuatan akal, antisipasi, dan imajinasi. Paduan akan kurangnya insting kebinatangan dan adanya pikiran rasional manjadikan manusia sebagai suatu keganjilan dalam alam semesta. Kesadaran diri turut ambil bagian dalam adanya perasaan kesendirian, isolasi, dan kehilangan tempat berpulang. Untuk melarikan diri dari perasaan-perasaan ini, manusia berusaha untuk bersatu kembali dengan alam dan sesama manusia lain.

Dengan latar belakang pendidikan ajaran psikoanalisis Freud dan dipengaruhi oleh Karl Marx, Karen Horney, dan teoretikus berorientasi sosial lainnya, Fromm mengembangkan

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis | 225

teori kepribadian yang menekankan pengaruh faktor sosiobiologis, sejarah, ekonomi, dan struktur kelas. Psikoanalisis humanistis berasumsi bahwa terpisahnya manusia dengan dunia alam menghasilkan perasaan kesendirian dan isolasi, kondisi yang disebut sebagai kecemasan dasar (basic anxiety).

Fromm lebih dari sekadar teoretikus kepribadian. Ia juga seorang kritikus sosial, psikoterapis, filsuf, ahli kitab, antropologis budaya, dan psikobiografis. Psikoanalisis humanis- tisnya lebih melihat manusia dari sudut pandang sejarah dan budaya daripada murni sudut pandang psikologis saja. Psikoanalisis ini juga tidak terlalu memikirkan individu dan lebih memikirkan karakteristik yang secara umum berkaitan dengan kultur.

Fromm mengadopsi pandangan evolusioner humanistis. Ketika manusia muncul sebagai spesies yang terpisah dari evolusi binatang, mereka kehilangan sebagian besar insting kebinatangannya, namun mendapat “peningkatan dalam perkembangan otak yang membuat mereka memiliki realisasi diri, imajinasi, perencanaan, dan keraguan” (Fromm, 1992, him. 5). Paduan antara lemahnya insting kebinatangan dan otak yang sangat berkembang inilah yang membedakan manusia dengan semua binatang lain.

Kejadian yang lebih baru dalam sejarah manusia adalah bangkitnya kapitalisme, yang di sisi lain telah berkontribusi dalam pertumbuhan waktu luang dan kebebasan pribadi. Namun di sisi lain, hal ini juga menghasilkan perasaan cemas, isolasi, dan ketidakberdayaan. Harga kebebasan, Fromm menyatakan, telah melampaui manfaatnya. Isolasi yang dihasilkan oleh kapitalisme sudah tidak dapat lagi diterima, meninggalkan manusia dengan dua pilihan: (1) melarikan diri dari kebebasan dan menuju ketergantungan interpersonal atau (2) bergerak menuju realisasi diri melalui cinta dan kerja yang produktif.

Biografi Erich FrommSeperti juga pandangan-pandangan teoritikus kepribadian lainnya, pandangan Erich

Fromm akan sifat manusia terbentuk oleh pengalaman masa kecil mereka. Bagi Fromm,

kehidupan keluarga Yahudi, bunuh dirinya seorang wanita muda, dan nasionalisme ekstrem bangsa Jerman berkontribusi dalam pemikirannya akan kemanusiaan.

Fromm lahir pada tanggal 23 Maret, 1900, di Frankfurt, Jerman. Ia merupakan anak tunggal dari orang tua Yahudi Ortodoks kelas menengah. Ayahnya, Naphtali Fromm, adalah

anak seorang rabi dan cucu dari dua rabi. Ibunya, Rosa Krause Fromm, adalah keponakan Ludwig Krause, seorang ahli Talmud yang terpandang. Semasa kanak-kanak, Erich mempelajari Kesaksian Lama dengan beberapa ahli ternama, orang-orang yang dianggap sebagai humams dengan toleransi luar biasa” (Landis & Tauber, 1971, him. xi). Psikologi humanistis Fromm dapat dilacak melalui ayat-ayat ini, “denean nandanaan

-nidupan ideal. Ia ingat bahwa ia memiliki “orang tua

nan seorang anak neurotik yang agak di luar batas”

226 Teori Kepribadian

(Evans, 1966, him. 56). Ia melihat ayahnya dalam keadaan gusar dan ibunya yang rentan akan depresi. Kemudian, ia tumbuh di dua dunia yang sangat berbeda, salah satunya adalah dunia Yahudi Ortodoks, yang lainnya adalah dunia kapitalis modem. Eksistensi terpisah ini menciptakan ketegangan yang hampir tak tertahankan lagi, namun mengakibatkan Fromm memiliki kecenderungan untuk melihat peristiwa lebih dari satu sudut pandang (Fromm, 1986; Hausdorff, 1972).

Pembukaan bab ini menceritakan peristiwa mengejutkan dan membingungkan tentang seorang seniman wanita muda yang menarik yang bunuh diri sehingga ia dapat dikubur bersama ayahnya, yang baru saja meninggal dunia. Bagaimana mungkin wanita muda ini memilih kematian daripada “menikmati kehidupan dan melukis”? (Fromm, 1962, him. 4). Pertanyaan ini menghantui Fromm selama sepuluh tahun berikutnya dan akhirnya membuatnya tertarik akan Sigmund Freud serta psikoanalisis. Dengan membaca Freud, ia mulai mempelajari Oedipus complex dan mengerti bahwa peristiwa bunuh diri tersebut mungkin saja terjadi. Kemudian, Fromm mengartikan ketergantungan irasional akan ayahnya tersebut sebagai hubungan simbiosis nonproduktif, namun pada awalnya ia puas dengan penjelasan Freud.

Fromm berusia empat belas tahun pada saat pecahnya Perang Dunia I. Ia terlalu muda untuk ikut berjuang, namun tidak terlalu muda untuk terkesan pada irasionalitas nasionalisme bangsa Jerman yang ia amati langsung. Ia yakin Inggris dan Prancis juga bertindak irasional dan sekali lagi ia dilanda oleh pertanyaan yang pelik: Bagaimana mungkin orang-orang yang biasanya berlaku rasional dan damai menjadi sangat tergerak oleh ideologi nasional, sangat berniat untuk membunuh, dan sangat siap untuk mati?

Ketika perang berakhir pada tahun 1918, saya adalah seorang anak muda yang sangat terganggu dan terobsesi dengan pertanyaan bagaimana mungkin terjadi perang, dengan keinginan untuk mengerti irasionalitas tingkah laku manusia secara massal, dengan keinginan mendalam akan perdamaian dan saling pengertian dalam dunia internasional”

(Fromm, 1962, him. 9).

Semasa remaja, Fromm sangat tergerak oleh tulisan Freud dan Karl Marx, namun ia juga terstimulasi oleh perbedaan di antara keduanya. Semakin ia mempelajarinya, ia mulai

mempertanyakan validitas kedua sistem tersebut. “Ketertarikan utama saya jelas terencana

secara terperinci. Saya ingin mengerti hukum yang mengatur kehidupan manusia secara

individu dan hukum masyarakat” (Fromm, 1962, him. 9).

Setelah perang, From menjadi seorang sosialis, walaupun pada saat itu la tidak mau bergabung dengan Partai Sosialis. Melainkan, ia berkonsentrasi pada sekolahnya di bidang

psikologi, filosofi, dan sosiologi di Universitas Heidelberg di mana ia menerima gelar Ph.D. dalam ilmu sosiologi saat berusia 22 atau 25 tahun. [Fromm adalah orang yang sangat tertutup sehingga penulis biografinya tidak dapat mencocokkan banyak fakta dalam

hidupnya (Hornstein, 2000).]Oleh karena ia masih belum percaya diri bahwa pendidikannya dapat menjawab

peranyaan-pertanyaan yang begitn mengganggu, seperti kasus bunuh dm dan kegilaan perang, maka Fromm beralih ke psikoanalisis. Ia percaya bahwa psikoa menja, jikan jawaban untuk pertanyaan-pertauyaanuya tentang mottvas, manusta yang

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 227

terjawab di bidang-bidang lain. Dari tahun 1925 sampai 1930, ia mempelajari psikoanalisis, pertama di Munich lalu di Frankfurt dan akhirnya di Berlin Psychoanalytic Institute, di mana ia dianalisis oleh Hanns Sachs, seorang murid Freud. Walaupun Fromm tidak pernah bertemu Freud, sebagian besar gurunya selama tahun-tahun tersebut adalah pendukung setia teori Freud (Knapp, 1989).

Pada tahun 1926, tahun yang sama di mana ia keluar dari agama Yahudi Ortodoks, Fromm menikahi Frieda Reichmann (analisnya) yang berusia lebih tua sepuluh tahun darinya. Di kemudian hari, Reichmann memperoleh reputasi internasional untuk hasil kerjanya dengan pasien-pasien skizofrenia. G. P. Knapp (1989) menyatakan bahwa Reichmann jelas seorang figur ibu bagi Fromm dan bahkan secara fisik pun mirip dengan ibunya. Gail Hornstein (2000) menambahkan bahwa Fromm tampak langsung beralih dari menjadi kesayangan ibunya ke hubungan-hubungan dengan beberapa wanita lebih tua yang menyayanginya. Bagaimanapun, pernikahan Fromm dan istrinya bukan pernikahan yang bahagia. Mereka berpisah pada tahun 1930, namun tidak langsung bercerai sampai tidak lama kemudian, setelah keduanya berhijrah ke Amerika Serikat.

Pada tahun 1930, Fromm dan beberapa orang lainnya mendirikan South German Institute for Psychoanalytic di Frankfurt. Akan tetapi, dengan ancaman Nazi yang semakin kuat, ia segera pindah ke Swiss di mana ia bergabung dengan International Institute of Social Research di Jenewa. Pada tahun 1933, ia menerima undangan untuk mengajar kuliah di Chicago Psychoanalytic Institute. Pada tahun berikutnya, ia berhijrah ke Amerika Serikat dan membuka praktik pribadi di kota New York.

Di Chicago dan New York, Fromm berteman dengan Karen Horney, yang ia kenal di Berlin Psychoanalytic Institute. Horney yang berusia lima belas tahun lebih tua dari Fromm, akhirnya menjadi figur ibu yang kuat dan guru baginya (Knapp, 1989). Pada tahun 1941, Fromm bergabung dengan Asosiasi untuk Perkembangan Psikoanalisis (Association for Advancement of Psychoanalisis-AAP). Walaupun ia dan Horney pernah menjadi sepasang kekasih, mereka menjadi lawan ketika terjadi perpecahan dalam asosiasi pada tahun 1943. Ketika para mahasiswa meminta Fromm, yang tidak bergelar MD, untuk mengajar mata kuliah klinis, organisasi terpecah ketika memutuskan kualifikasinya.

Dengan Horney di sisi lawan, Fromm bersama Harry Stack Sullivan, Clara Thompson, dan beberapa anggota lainnya berhenti dari asosiasi dan segera berencana untuk memulai organisasi alternatif (Quinn, 1987). Pada tahun 1946, kelompok orang-orang ini mendirikan William Alanson White Institute of Psychiatry, Psychoanalysis, and Psychology dengan Fromm sebagai dekan fakultas dan ketua komite pelatihan.

Pada tahun 1944, Fromm menikahi Henny Gurland, seorang wanita yang dua tahun lebih muda darinya dan memiliki minat terhadap agama dan pikiran mistis yang kemudian mendorong hasrat Fromm akan Budhisme Zen lebih jauh. Pada tahun 1951, pasangan ini pindah ke Meksiko, untuk iklim yang lebih bersahabat, demi Gurland yang menderita radang sendi (rheumatoid arthritis). Fromm kemudian bekerja di National Autonomous University, Mexico City di mana ia mendirikan departemen psikoanalisis di sekolah kedokteran. Setelah istrinya meninggal pada tahun 1952, ia terus tinggal di Meksiko dan pulang pergi antara

Teori Kepribadian

rumahnya di Cuernavaca dan Amerika Serikat, di mana ia memegang berbagai posisi akademis, termasuk Profesor psikologi di Michigan State University dari tahun 1957 sampai 1961 dan profesor pembantu di New York University dari tahun 1962 sampai 1970. DiMeksiko, ia bertemu dengan Annis Freeman yang ia nikahi pada tahun 1953. Pada tahun 1968, Fromm menderita serangan jantung akut dan terpaksa mengurangi kesibukannya. Di tahun 1974, dalam keadaan masih sakit, ia dan istrinya pindah ke Muralto, Swiss di mana ia meninggal dunia pada tanggal 18 Maret 1980, beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-80.

Orang seperti apakah Erich Fromm itu? Ternyata, orang-orang melihatnya dengan cara yang berbeda-beda. Hornstein (2000) membuat daftar sejumlah ciri kepribadian yang berlainan satu sama lainnya untuk menggambarkan kepribadian Fromm. Dalam daftar ini, Fromm adalah seseorang yang otoriter, lembut, berambisi, arogan, saleh, otokratis, pemalu,

tulus, palsu, dan brilian.

Fromm, memulai karier profesionalnya sebagai psikoterapis menggunakan teknik psikoanalisis ortodoks. Sepuluh tahun setelah ia “bosan” dengan pendekatan Freud, ia mengembangkan metodenya sendiri yang lebih aktif dan konfrontasional (Fromm, 1986, 1992; Sobel, 1980). Selama bertahun-tahun, gagasan-gagasannya mengenai budaya, sosial, ekonomi, psikologis telah menjadi perhatian banyak orang. Buku-buku terbaiknya di antaranya adalah Escape from Freedom (1941), Man fo r Himself (1947), Pscyhoanalysis and Religion (1950), (The Sane Society (1955), The Art o f Loving (1956), Marx's Concept o f Man (1961), The Heart o f Man (1964), The Anatomy o f Human Destructiveness (1973), To Have or Be (1976), dan For the Love o f Life (1986).

Teori kepribadian Fromm dipinjam dari banyak sumber dan mungkin teori dengan dasar yang paling luas dalam buku ini. Landis dan Tauber (1971) membuat daftar lima pengaruh penting dalam pemikiran Fromm: (1) ajaran dari rabi-rabi humanistis; (2) semangat revolusioner Karl Marx; (3) gagasan yang juga revolusioner dari Sigmund Freud; (4) rasionalitas dari ajaran Budisme Zen yang didukung oleh D. T. Suzuki; dan (5) tulisan- tulisan Johann Jakob Bachofen (1851-1887) mengenai masyarakat matriarkal.

Asumsi Dasar FrommAsumsi dasar Fromm adalah bahwa kepribadian individu dapat dimengerti hanya dengan memahami sejarah manusia. “Diskusi mengenai keadaan manusia harus mendahulukan fakta bahwa kepribadian, [dan] psikologi harus didasari oleh konsep antropologis-filosofis akan keberadaan manusia” (Fromm, 1947, him. 45).

Fromm (1947) percaya bahwa manusia, tidak seperti binatang lainnya, telah “tercerai berai dari kesatuan prasejarahnya dengan alam. Mereka tidak memiliki insting kuat untuk beradaptasi dengan dunia yang berubah, melainkan mereka telah memperoleh kemampuan bernalar—-keadaan yang disebut Fromm sebagai dilema manusia. Manusia mengalami dilema dasar ini karena mereka telah terpisah dengan alam, namun memiliki kemampuan utnuk menyadari bahwa diri mereka telah menjadi makhluk yang terasing. Oleh karenanya,

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 229

kemampuan bernalar manusia adalah anugerah dan juga kutukan. Di satu sisi, kemampuan ini membiarkan manusia bertahan, namun di sisi lain, hal ini memaksa manusia berusaha untuk menyelesaikan dikotomi dasar yang tidak ada jalan keluarnya. Fromm menyebut hal tersebut sebagai “dikotomi eksistensial” (existensial dichotomies) karena hal ini berakar dari keberadaan atau eksistensi manusia. Manusia tidak dapat menghapuskan dikotomi eksistensial ini. Mereka hanya bisa bereaksi terhadap dikotomi ini tergantung pada kultur dan kepribadian masing-masing individu.

Dikotomi pertama dan paling fundamental adalah antara hidup dan mati. Realisasi diri dan nalar mengatakan bahwa kita akan mati, namun kita berusaha mengingkari hal ini dengan menganggap adanya kehidupan setelah kematian, usaha yang tidak merubah fakta bahwa hidup kita akan diakhiri dengan kematian.

Dikotomi eksistensial kedua adalah bahwa manusia mampu membentuk konsep tujuan dari realisasi diri utuh, namun kita juga menyadari bahwa hidup terlalu singkat untuk mencapai tujuan itu. “Hanya bila rentang kehidupan seorang individu sama panjangnya dengan rentang kehidupan seluruh umat manusia, maka ia bisa berpartisipasi dalam perkembangan manusia yang terjadi dalam proses sejarah” (Fromm, 1947, him. 42). Beberapa orang mencoba mengatasi dikotomi ini dengan berasumsi bahwa masa lalu dalam sejarah mereka adalah pencapaian sempurna dalam kemanusiaan, sedangkan yang lain menganggap adanya kelanjutan hidup setelah kematian.

Dikotomi eksistensial ketiga adalah bahwa manusia pada akhirnya hanya sendiri, namun kita tetap tidak bisa menerima pengucilan atau isolasi. Mereka sadar bahwa dirinya adalah individu yang terpisah, di saat yang bersamaan mereka percaya bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada ikatan mereka dengan manusia lain. Walaupun manusia tidak dapat menyelesaikan permasalahan antara kesendirian atau ikatan kebersamaan, mereka harus berusaha atau mereka terancam menjadi gila.

Kebutuhan ManusiaSebagai hewan, manusia terdorong oleh kebutuhan-kebutuhan fisiologis, seperti rasa lapar, seks, dan keamanan. Akan tetapi, mereka tidak akan pernah menyelesaikan dilema mereka sebagai manusia dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hewani ini. Hanya kebutuhan manusia khusus yang bisa mendorong manusia menuju ikatan kembali dengan dunia alam. Kebutuhan-kebutuhan eksistensial telah muncul saat evolusi budaya manusia, tumbuh dari usaha mareka untuk menemukan jawaban atas keberadaan mereka dan untuk menghindari ketidakwarasan. Fromm (1955) menyatakan bahwa satu perbedaan penting antara manusia yang sehat secara mental dan manusia neurotik atau tidak waras adalah bahwa manusia yang sehat secara mental menemukan jawaban atas keberadaan mereka—jawaban yang lebih sesuai dengan jumlah kebutuhan manusia. Dengan kata lain, individu yang sehat lebih mampu menemukan cara untuk bersatu kembali dengan dunia, dengan secara produktif memenuhi kebutuhan manusiawi akan keterhubungan, keunggulan, keberakaran, kepekaan

akan identitas, dan kerangka orientasi).

Teori Kepribadian

KeterhubunganKebutuhan manusia atau kebutuhan eksistensial pertama adalah keterhubungan (relatedness), dorongan untuk bersatu dengan satu orang atau lebih. Fromm menyatakan tiga cara dasar bagi manusia untuk terhubung dengan dunia: (1) kepasrahan, (2) kekuasaan, dan (3) cinta. Seseorang dapat pasrah pada orang lain, kelompok, atau institusi agar menjadi satu dengan dunia. “Dengan cara ini keberadaannya sebagai individu tidak lagi terpisah dan ia menjadi bagian dari seseorang atau sesuatu yang lebih besar dari dirinya dan merasakan jati diri dalam hubungannya dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siapapun tempat manusia tersebut memasrahkan dirinya” (Fromm, 1981, him. 2).

Sama halnya seperti orang-orang pasrah atau submisif mencari hubungan dengan orang- orang dominan, pencari kekuasaan menyambut orang-orang pasrah yang menj adi pasangannya. Ketika seorang dominan dan seorang pasrah (submisif) saling menemukan, mereka sering kali menciptakan hubungan simbiosis, yang memuaskan untuk keduanya. Walaupun simbiosis tersebut menyenangkan, hal ini menghalangi pertumbuhan menuju integritas dan kesehatan psikologis. Keduanya “hidup dari satu sama lain, memuaskan kebutuhan mereka akan kedekatan, namun kekurangan kekuatan dari dalam diri sendiri dan ketergantungan diri yang membutuhkan kebebasan dan kemandirian” (Fromm, 1981, him. 2).

Orang-orang dalam hubungan simbiosis saling tertarik bukan disebabkan oleh cinta, namun karena putus asa dalam memenuhi kebutuhan akan keterhubungan, yang tidak akan terpuaskan secara utuh dengan hubungan seperti itu. Kesatuannya didasari oleh rasa permusuhan. Orang-orang dalam hubungan simbiosis menyalahkan pasangan mereka karena mereka tidak memuaskan kebutuhan yang lain secara utuh. Mereka akan mencari kepasrahan atau kekuasaan tambahan dan hasilnya, mereka akan semakin bergantung pada pasangan mereka dan semakin tidak individual.

Fromm percaya bahwa cinta adalah satu-satunya jalan untuk seseorang bersatu dengan dunia dan dalam waktu yang sama, mencapai individualitas dan integritas. Ia mendefinisikan cinta sebagai, “kesatuan dengan seseorang atau sesuatu di luar diri dengan kondisi memegang teguh keterpisahan dan integritas diri sendiri” (Fromm, 1981, him. 3). Cinta meliputi persamaan dan berbagi dengan orang lain, namun tetap membiarkan seseorang mendapat kebebasan untuk menjadi unik dan terpisah. Cinta membiarkan seseorang untuk memuaskan kebutuhan mereka akan keterhubungan tanpa mengorbankan integritas dan kemandirian. Dalam cinta, dua orang dapat menjadi satu, namun tetap terpisah.

Dalam buku Seni Mencintai (The Art o f Loving), Fromm (1956) menyebutkan rasa peduli, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan sebagai empat elemen dasar yang biasa ditemukan dalam semua bentuk cinta yang tulus. Seseorang yang mencintai orang lain harus peduli akan orang tersebut dan mau menjaganya. Cinta juga berarti tanggung jawab, yaitu kemauan dan kemampuan untuk merespons atau menanggapi. Seseorang yang mencintai orang lain akan menanggapi kebutuhan fisik dan psikologis pasangannya, menghormati mereka apa adanya dan menghindari keinginan untuk berusaha mengubah mereka. Akan tetapi, seseorang bisa menghormati orang lain hanya jika mereka memiliki pengetahuan mengenai orang tersebut. Mengenali seseorang berarti melihat mereka dari sudut pandang mereka. Dengan demikian, rasa peduli, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan saling berkaitan dalam hubungan cinta.

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis | 2 3 1

Keterhubungan dapat berupa kepasrahan, kekuasaan, atau cinta

KeunggulanSeperti hewan lainnya, manusia dilempar ke dunia tanpa persetujuan dan keinginan mereka serta ditiadakan dari dunia—juga tanpa persetujuan dan kemauan mereka. Akan tetapi, berbeda dengan hewan, manusia tergerak oleh kebutuhan akan keunggulan (transcendence) yang didefinisikan sebagai dorongan untuk melampaui keberadaan yang pasif dan kebetulan menuju “alam penuh makna dan kebebasan” (Fromm, 1981, him. 4). Sebagaimana keterhubungan dapat dicapai dengan cara produktif dan nonproduktif, keunggulan dapat dicari melalui pendekatan positif dan negatif. Manusia dapat mengungguli sifat pasif mereka, baik dengan cara menciptakan maupun menghancurkan kehidupan. Meskipun hewan lainnya dapat menciptakan kehidupan melalui reproduksi, hanya manusia yang menyadari dirinya sebagai pencipta. Selain itu, manusia juga menjadi kreatif dengan banyak cara lain. Mereka dapat berkreasi dalam seni, agama, gagasan, hukum, produksi materi, dan cinta.

Berkreasi berarti aktif dan peduli akan hal-hal yang diciptakan. Akan tetapi, kita juga dapat mengungguli hidup dengan menghancurkannya dan oleh karena itu melampaui korban-korban yang kita musnahkan. Dalam Anatomi Sifat M erusak Manusia (Anatomy o f Human Destructiveness), Fromm (1973) menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang menggunakan agresi keji (malignant aggresion), yaitu membunuh untuk alasan selain mempertahankan diri. Walaupun agresi keji dominan dan kuat pada beberapa individu dan kultur, hal ini tidak umum dimiliki semua manusia. Hal ini ternyata tidak diketahui oleh banyak masyarakat prasejarah sebagaimana masyarakat “primitif” kontemporer.

2 3 2 | Teori Kepribadian

KeberakaranKebutuhan eksistensial ketiga adalah keberakaran (rootedness) atau kebutuhan untuk berakar atau merasa berpulang kembali di dunia. Ketika manusia berevolusi sebagai spesies terpisah, mereka kehilangan rumah mereka di dunia alam. Di saat yang bersamaan, kapasitas pikiran mereka membuat mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki rumah dan tidak memiliki akar. Konsekuensinya adalah perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan ini tak tertahankan.

Keberakaran juga dapat dicari melalui cara produktif dan nonproduktif. Dengan cara produktif, ketika manusia berhenti disapih oleh ibu mereka dan lahir secara utuh, mereka secara aktif dan kreatif berhubungan dengan dunia dan menjadi utuh atau terintegrasi. Ikatan baru dengan dunia alam ini memberikan rasa aman dan menciptakan kembali rasa keterlibatan dan keberakaran. Walaupun demikian, manusia dapat mencari keberakaran melalui cara nonproduktif yaitu fiksasi—keengganan yang kuat untuk bergerak melampaui keamanan dan perlindungan yang diberikan oleh seorang ibu. Orang-orang yang mencari keberakaran melalui fiksasi adalah orang-orang yang “takut akan langkah selanjutnya setelah kelahiran dan untuk berhenti disapih oleh ibu mereka. [Mereka] ... memiliki keinginan kuat untuk dirawat, diasuh, dan dilindungi oleh figur ibu. Mereka adalah orang-orang yang bergantung secara eksternal dan takut serta merasa tidak aman ketika tidak lagi mendapat perlindungan sang ibu” (Fromm, 1955, him. 40).

Keberakaran juga dapat dilihat secara filogenetis dalam evolusi spesies manusia. Fromm setuju dengan Freud bahwa keinginan untuk melakukan hubungan sedarah adalah universal, namun ia tidak setuju dengan keyakinan Freud bahwa hubungan yang diinginkan tersebut secara esensial adalah hubungan seksual. Menurut Fromm (1955, him. 40-41), perasaan untuk melakukan hubungan sedarah didasari oleh “keinginan yang sangat kuat untuk tetap berada atau kembali ke rahim yang melindungi atau payudara sibu yang memberi mereka makan”. Fromm dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Johann Jakob Bechofen (1861/1967) mengenai masyarakat matriarkal. Tidak seperti Freud, yang percaya bahwa masyarakat terdahulu adalah patriarkal, Bachofen menyatakan bahwa ibu adalah figur utama dalam kelompok sosial kuno. Adalah ibu yang yang meyediakan akar bagi anak-anak dan memotivasi mereka untuk mengembangkan individualitas dan nalar mereka atau menjadi terfiksasi dan tidak mampu tumbuh secara psikologis.

Fromm memilih (1977) teori Bachofen yang berpusat pada ibu dan berkaitan dengan situasi Oedipal (menyukai wanita yang lebih tua) dibandingkan pemikiran Freud yang lebih berpusat pada ayah. Hal ini konsisten dengan kecenderungan Fromm untuk menyukai wanita-wanita yang lebih tua. Istri pertama Fromm, Frieda Fromm-Reichmann, berusia sepuluh tahun lebih tua darinya. Kekasihnya, Karen Horney, berusia lima belas tahun lebih tua darinya. Menurut Fromm, Oedipus complex adalah keinginan untuk kembali ke rahim ibu atau seseorang dengan fungsi keibuan yang harus dilihat dalam ketertarikannya pada wanita lebih tua.

Kepekaan akan IdentitasKebutuhan manusia yang keempat adalah kepekaan akan identitas (sense o f identity) atau kemampuan untuk menyadari diri sendiri sebagai wujud terpisah. Oleh karena kita telah

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 233

terpisahkan dari alam, maka kita harus membentuk konsep akan diri kita sendiri dan untuk mampu berkata “saya adalah saya” atau “saya adalah subjek dari tindakan saya”. Fromm(1981) percaya bahwa manusia primitif mengidentifikasi diri mereka lebih dekat dengan klan mereka dan tidak melihat dirinya sebagai individu yang terpisah dari kelompok. Bahkan ketika abad pertengahan, sebagian besar manusia diidentifikasi menurut peran sosial mereka dalam hierarki feodal. Fromm setuju dengan Marx bahwa bangkitnya kapitalisme lebih memberikan kebebasan politik dan ekonomi kepada manusia. Walaupun demikian, kebebasan ini hanya memberikan rasa “saya” kepada sebagian kecil orang. Identitas sebagian besar orang tetap bergantung pada keterikatan mereka dengan orang-orang lain atau institusi, seperti bangsa, agama, pekerjaan, dan kelompok sosial.

Identitas kelompok baru berkembang di mana kepekaan akan identitas tersebut bergantung pada rasa keterlibatan yang tak tersangkalkan pada sebuah kelompok besar, bukan identitas praindividualistis klan. Fakta bahwa kesegaraman dan konformitas sering kali tidak dikenali sebagai identitas tersebut, dan juga diselimuti oleh khayalan individualitas, tidak dapat mengingkari fakta yang ada.

Tanpa kepekaan akan identitas, manusia tidak dapat mempertahankan kewarasan mereka dan ancaman ini mendorong mereka untuk melakukan hampir segala hal untuk mendapatkan kepekaan akan identitas. Orang-orang neurotik berusaha untuk mengikat diri mereka dengan orang yang lebih berkuasa atau institusi sosial atau politik. Akan tetapi, orang normal memiliki sedikit kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya dan sedikit kebutuhan untuk menyerahkan rasa dan kesadaran mereka sebagai individu. Mereka tidak perlu menyerahkan kebebasan dan individualitas mereka demi masuk dan diterima dalam masyarakat karena mereka memiliki kepekaan akan identitas yang otentik.

Kerangka OrientasiKebutuhan terakhir manusia adalah kerangka orientasi (frame o f orientation). Oleh karena terpisah dari dunia alam, maka manusia membutuhkan peta jalan, kerangka arah atau orientasi, untuk mencari jalannya dalam dunia. Tanpa peta tersebut, manusia akan “kebingungan dan tidak mampu melakukan tindakan dengan tujuan dan konsisten” (Fromm, 1973, him. 230). Kerangka orientasi membuat manusia bisa mengatur berbagai macam rangsang yang mengganggu mereka. Manusia yang memiliki kerangka orientasi yang kuat dapat menjelaskan kejadian dan fenomena yang terjadi, sedangkan mereka yang tidak memilikinya akan berusaha menempatkan kejadian-kejadian tersebut dalam suatu kerangka agar ia mendapat penjelasan yang masuk akal mengenainya. Contohnya, seorang Amerika dengan kerangka orientasi yang rapuh dan pengertian yang lemah akan sejarah mungkin berusaha untuk mengerti kejadian 11 September 2001 dengan menyalahkan para pelaku sebagai orang yang “biadab” dan “jahat”.

Setiap orang memiliki filosofi, suatu cara konsisten dalam memandang sesuatu. Banyak orang terlalu menganggap benar filosofi dan kerangka panduan mereka sehingga apapun

2 3 4 v Teori Kepribadian

yang asing dalam pandangan mereka akan dinilai “gila” atau “tidak masuk akal”. Apapun yang konsisten dengan filosofi dan kerangka panduan mereka semata-mata dianggap sebagai “akal sehat” (common sense). Manusia akan melakukan hampir apa saja untuk mendapatkan dan mempertahankan kerangka orientasi, bahkan sampai filosofi ekstrem yang irasional dan aneh, seperti yang didukung oleh pemimpin-pemimpin politik dan fanatik agama.

Peta jalan tanpa sasaran atau tujuan tidak ada artinya. Manusia memiliki kapasitas untuk membayangkan jalur alternatif untuk diikuti. Untuk menjaga kewarasan, bagaimanapun, mereka membutuhkan sasaran akhir atau “objek pengabdian” (Fromm, 1976, him. 137). Menurut Fromm, sasaran atau objek pengabdian ini memusatkan energi manusia menuju satu arah, memungkinkan manusia untuk mengungguli keberadaannya yang terasing, dan mengubah arti hidup mereka.

Rangkuman Kebutuhan ManusiaSebagai tambahan untuk kebutuhan kebutuhan fisiologis dan hewani, manusia termotivasi oleh lima kebutuhan yang berbeda—keterhubungan, keunggulan, keberakaran, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi. Kelima kebutuhan ini berevolusi dari keberadaan manusia sebagai spesies terpisah dan menggerakkan manusia ke arah kesatuan kembali dengan dunia alam. Fromm percaya bahwa kurang terpuaskannya kebutuhan-kebutuhan ini akan membuat manusia tidak tahan dan akhirnya kehilangan kewarasan. Oleh karena itu, manusia tergerak dengan sangat kuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan satu cara atau lainnya, baik secara positif atau negatif.

Tabel 7.1 menunjukkan bahwa keterhubungan dapat dipenuhi melalui pemasrahan, dominasi, atau cinta. Akan tetapi, hanya cinta yang menghasilkan pemenuhan sebenarnya; keunggulan dapat dipenuhi baik dengan hal-hal destruktif maupun kreatif, namun pilihan kedualah yang menghasilkan kebahagiaan. Keberakaran dapat dipenuhi baik melalui cara fiksasi dengan ibu atau dengan bergerak menuju kelahiran sempurna atau keutuhan. Rasa jati diri bisa diperoleh berdasarkan penyesuaian diri dengan kelompok atau dapat dipenuhi melalui gerakan kreatif menuju individualitas. Kerangka orientasi mungkin irasional atau rasional, namun hanya filosofi rasional yang dapat menyediakan landasan untuk per- tumbuhan kepribadian secara utuh (Fromm, 1981).

Rangkuman Kebutuhan Manusia menurut Fromm

Komponen Negatif Komponen Positif

Keterhubungan Keunggulan Keberakaran Kepekaan akan identitas Kerangka orientasi

Kepasrahan atau dominasi Hal-hal destruktif FiksasiPenyesuaian dengan kelompok Tujuan irasional

CintaHal-hal kreatif Keutuhan Individualitas Tujuan rasional

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 235

Beban Kebebasanlesis utama dari tulisan-tulisan Fromm adalah bahwa manusia telah terpisah dari alam, namun tetap menjadi bagian dari alam semesta, subjek bagi batasan-batasan fisik sebagai hewan lain. Sebagai satu-satunya hewan yang memiliki kesadaran diri, imajinasi, dan akal pikiran, manusia adalah “suatu keganjilan dalam alam semesta” (Fromm, 1955, him. 23). Akal pikiran adalah kutukan dan juga anugerah. Akal pikiran bertanggung jawab atas timbulnya perasaan keterasingan dan kesendirian, namun juga merupakan proses yang membiarkan manusia bersatu kembali dengan dunia.

Menurut sejarah, seiring manusia semakin memperoleh kebebasan ekonomi dan politik, mereka semakin merasa terasing. Contohnya, selama abad pertengahan manusia memiliki kebebasan pribadi yang terbatas. Mereka terkurung peran yang diberikan oleh masyarakat, peran yang menyediakan rasa aman, tempat bergantung, dan kepastian. Kemudian, setelah mereka mendapatkan kebebasan untuk bergerak secara sosial dan geografis, mereka paham bahwa mereka bebas dari rasa aman pada tempat tertentu di dunia. Mereka tidak lagi terikat pada wilayah geografis, suatu urutan sosial, atau suatu pekerjaan. Mereka menjadi terpisah dari asal (akar) mereka dan terasingkan dari satu sama lain.

Pengalaman yang sama (paralel) terjadi di tingkat pribadi. Sejalan dengan anak menjadi lebih mandiri dan tidak membutuhkan ibunya, mereka mendapat kebebasan lebih untuk mengungkapkan individualitas mereka, bergerak tanpa diawasi, memilih teman, pakaian, dan seterusnya. Di saat yang bersamaan, mereka merasakan beban dari kebebasan, yaitu mereka bebas dari rasa aman saat berada dekat dengan ibunya. Di tingkat sosial dan individu, beban ini menciptakan kecemasan dasar (basic anxiety), yaitu perasaan bahwa

kita sendirian di dunia.

Mekanisme PelarianOleh karena kecemasan dasar menghasilkan rasa keterasingan dan kesendirian yang menakutkan, maka manusia berusaha untuk lari dari kebebasan melalui berbagai macam mekanisme pelarian. Dalam K abur dari Kebebasan (Escape from Freedom ), Fromm (1941) menyebutkan tiga mekanisme dasar dari pelarian—authoritarianism , merusak, dan konformitas. Berbeda dengan kecenderungan neurotik Horney (lihat Bab 6), mekanisme pelarian Fromm adalah kekuatan yang mendorong manusia, baik secara

individu maupun kolektif.

AuthoritarianismFromm (1941) mendefinisikan authoritarian ism sebagai “kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian seseorang secara individu dan meleburkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya demi mendapatkan kekuatan yang tidak dimilikinya” (him. 141). Kebutuhan untuk bersatu dengan mitra yang kuat ini dapat berupa dua hal— masokisme atau sadisme. M asokisme timbul dari rasa ketidakberdayaan, lemah, serta rendah diri dan bertujuan untuk menggabungkan diri dengan orang atau mstitusi yang lebih kuat. Usaha masokis sering berkedok sebagai cinta atau kesetiaan, namun berbeda

2 3 6 Teori Kepribadian

dengan cinta dan kesetiaan, usaha tersebut tidak akan berkontribusi secara positif pada kemandirian dan otentisitas.

Dibandingkan dengan masokisme, sadisme lebih neurotik dan lebih berbahaya secara sosial. Seperti masokisme, sadisme bertujuan mengurangi kecemasan dasar dengan men­capai kesatuan dengan satu orang atau lebih. Fromm (1941) memperkenalkan tiga jenis kecenderungan sadisme yang semuanya lebih kurang tergolong sama. Pertama adalah kebutuhan untuk membuat orang lain bergantung pada dirinya dan berkuasa akan mereka yang lemah. Kedua adalah keinginan untuk mengeksploitasi orang lain, memanfaatkan mereka, dan menggunakan mereka untuk keuntungan dan kesenangan dirinya sendiri. Kecenderungan sadistis ketiga adalah keinginan untuk melihat orang lain menderita, baik secara fisik maupun psikologis.

Sifat MerusakSeperti authoriatarianism, sifat merusak (destructiveness) berasal dari perasaan kesendirian, keterasingan, dan ketidakberdayaan. Namun berbeda dengan sadisme dan masokisme, sifat merusak tidak bergantung pada hubungan berkesinambungan dengan orang lain; melainkan mencari jalan untuk menghilangkan orang lain.

Baik individu maupun bangsa dapat merusak sebagai mekanisme pelarian. Dengan menghancurkan orang atau objek, seseorang atau sebuah bangsa berusaha untuk mendapatkan kembali rasa kekuasaan yang hilang. Walau demikian, dengan menghancurkan orang atau bangsa lain, orang-orang dengan sifat merusak menghapuskan banyak hal dari dunia luar sehingga memperoleh keterasingan yang tidak diterima di masyarakat.

KonformitasCara ketiga untuk melarikan diri adalah konformitas (conformity). Orang yang melakukan konformitas berusaha melarikan diri dari rasa kesendirian dan keterasingan dengan menyerahkan individualitas mereka dan menjadi apapun yang orang lain inginkan. Dengan demikian, mereka jadi seperti robot, memberikan reaksi yang dapat diperkirakan secara otomatis sesuai dengan olah orang lain. Mereka jarang mengungkapkan pendapat mereka sendiri, berpegangan erat pada patokan perilaku, dan sering tampak kaku dan terprogram.

Manusia di dunia modern, bebas dari ikatan eksternal dan bebas untuk bertindak menurut kehendak mereka, namun di saat yang bersamaan, mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan, pikirkan, atau rasakan. Mereka menyesuaikan diri, seperti robot, terhadap kekuasaan anonim dan mengadopsi diri yang tidak otentik. Semakin mereka melakukan konformitas, semakin mereka merasa tak berdaya. Semakin mereka merasa tak berdaya, semakin mereka harus melakukan konformitas. Manusia dapat lepas dari siklus konformitas dan ketidakberdayaan ini hanya dengan mencapai realisasi diri dan kebebasan positif (Fromm, 1941).

Kebebasan PositifMunculnya kebebasan politik dan ekonomi mau tidak mau mendorong kita ke arah perbudakan akan keterasingan dan ketidakberdayaan. Seseorang “dapat bebas dan tidak sendiri, kritis namun tidak dipenuhi keraguan, mandiri namun tetap menjadi bagian dari

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 237

kesatuan umat manusia” (Fromm, 1941, him. 257). Manusia dapat mencapai kebebasan semacam itu, kebebasan yang disebut sebagai kebebasan positif dengan pengungkapan penuh dan spontan dari potensi rasional maupun emosionalnya. Aktivitas spontan sering kali terlihat pada anak-anak dan seniman yang memiliki sedikit kecenderungan atau tidak sama sekali untuk menyesuaikan diri dengan apapun yang orang lain ingin jadikan dari mereka. Mereka bertindak menurut sifat dasar dan tidak menurut aturan-aturan konvensional

Kebebasan positif merepresentasikan keberhasilan mencari solusi bagi dilema manusia yang menjadi bagian dari dunia alam, namun juga terpisah darinya. Dengan kebebasan positif dan aktivitas spontan, manusia dapat mengatasi ketakutan akan kesendirian, mencapai kesatuan dengan dunia, dan mempertahankan individualitas. Fromm (1941) menyatakan bahwa cinta dan kerja adalah dua komponen kembar dari kebebasan positif. Melalui cinta dan kerja yang aktif, manusia bersatu dunia dan dengan yang lainnya tanpa mengorbankan integritas mereka. Mereka menegaskan keunikan mereka sebagai individu dan mencapai kesadaran penuh akan potensi mereka.

Orientasi KarakterDalam teori Fromm, kepribadian tercermin pada orientasi karakter seseorang, yaitu cara relatif manusia yang permanen untuk berhubungan dengan orang atau hal lain. Fromm (1947) mendefinisikan kepribadian sebagai “keseluruhan kualitas psikis yang diwarisi dan diperoleh yang merupakan karakteristik individu dan menjadikannya individu yang unik” (him. 50). Kualitas yang diperoleh dan yang paling penting bagi kepribadian adalah karakter, yang didefinisikan sebagai “sistem yang relatif permanen dari semua dorongan noninstingtif di mana melaluinya manusia menghubungkan dirinya dengan dunia manusia dan alam ” (Fromm, 1973, him. 226). Fromm (1992) percaya bahwa karakter adalah pengganti kurangnya insting. Bukannya bertindak sesuai dengan insting, manusia malah bertindak menurut karakter mereka. Apabila mereka harus berhenti dan memikirkan akibat dari perilaku mereka, maka tindakan mereka akan menjadi tidak efisien dan tidak konsisten.

Manusia menghubungkan diri dengan dunia melalui dua cara—dengan memperoleh dan menggunakan suatu hal (asimilasi) dan dengan menghubungkan dirinya dengan yang lain (sosialisasi). Secara umum, manusia dapat menghubungkan dirinya dengan hal atau orang lain dengan cara nonproduktif maupun produktif.

' Orientasi NonproduktifManusia dapat memperoleh sesuatu melalui keempat orientasi nonproduktif ini, yaitu (1) menerima segala sesuatu secara pasif, (2) eksploitasi atau mengambil sesuatu dengan paksa, (3) menimbun objek, dan (4) memasarkan atau menukar sesuatu. Fromm menggunakan istilah “nonproduktif” untuk menerangkan cara-cara yang gagal untuk menggerakkan manusia lebih dekat pada kebebasan positif dan realisasi diri. Orientasi nonproduktif, bagaimanapun, tidak sepenuhnya negatif, masing-masing memiliki aspek negatif dan positif. Kepribadian selalu merupakan paduan atau kombinasi dari beberapa orientasi, walaupun salah satunya dominan.

Teori Kepribadian

ReseptifKarakter reseptif merasa bahwa sumber segala hal yang baik berada di luar diri mereka dan satu-satunya cara untuk berhubungan dengan dunia adalah dengan menerima sesuatu, termasuk cinta, pengetahuan, dan kepemilikan materi. Mereka lebih berpikir untuk menerima daripada memberi dan mereka ingin orang lain menyirami mereka dengan cinta, gagasan, dan hadiah.

Kualitas negatif orang-orang reseptif mencakup kepasifan, kepasrahan, dan kurangnya rasa percaya diri. Sifat positif mereka adalah kesetiaan, penerimaan, dan rasa percaya.

EksploitatifSeperti orang-orang reseptif, karakter eksploitatif percaya bahwa sumber segala hal yang baik berada di luar mereka. Berbeda dengan orang-orang reseptif, mereka mengambil dengan agresif apa yang mereka inginkan, bukannya menerima secara pasif. Dalam hubungan sosial mereka, mereka cenderung menggunakan kelicikan atau kekuatan untuk mengambil pasangan, gagasan, atau milik orang lain. Seorang pria eksploitatif akan mungkin “jatuh cinta” dengan istri seseorang, bukan karena ia benar-benar menyukainya, namun karena ia ingin memeras suaminya. Dalam bidang gagasan, orang-orang eksploitatif lebih memilih untuk mencuri atau membajak daripada menciptakan. Berbeda dengan karakter reseptif, mereka ingin mengungkapkan pendapat mereka, namun biasanya merupakan pendapat yang dicuri.

Sisi negatif karakter eksploitatif yaitu egosentris, angkuh, arogan, dan penggoda. Sisi positifnya, yaitu impulsif, bangga, menarik, dan percaya diri.

MenimbunBukannya memberi nilai terhadap hal-hal di luar mereka, karakter menimbun bertujuan untuk menyimpan apa yang sudah mereka dapatkan. Mereka memendam semuanya di dalam dan tidak mau melepaskannya sama sekali. Mereka menyimpan uang, perasaan, dan pikirannya sendiri. Dalam hubungan cinta, mereka berusaha untuk memiliki orang yang mereka cintai serta menjaga hubungan mareka dan bukannya membiarkan hubungan tersebut berubah dan tumbuh. Mereka cenderung untuk hidup di masa lampau dan menolak segala sesuatu yang baru. Mereka sama dengan karakter anal Freud dalam arti teratur berlebihan, keras kepala, dan pelit. Akan tetapi, Fromm (1964) percaya bahwa sifat anal karakter menimbun bukanlah hasil dorongan seksual, namun lebih kepada bagian dari ketertarikan utama mereka pada segala sesuatu yang tidak hidup, termasuk kotoran mereka.

Sifat negatif dari kepribadian menimbun termasuk kekakuan, kegersangan, bersikeras, perilaku kompulsif, dan kurangnya kreativitas, sedangkan karakter positif mereka adalah keteraturan, kebersihan, dan ketepatan waktu.

MemasarkanKarakter memasarkan adalah perkembangan dari perniagaan modern di mana perdagangan bukan lagi sesuatu yang pribadi, namun dijalankan oleh perusahaan besar tanpa identitas

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 239

yang jelas. Sesuai dengan tuntutan perniagaan modern, karakter pemasaran melihat diri mereka sebagai komoditas, dengan nilai pribadi mereka bergantung pada nilai pertukaran, yaitu kemampuan mereka untuk menjual dirinya.

Kepribadian memasarkan atau menukar harus melihat diri mereka dalam tuntutan yang konstan. Mereka harus membuat orang lain percaya bahwa mereka berketerampilan dan dapat dijual. Rasa aman pribadi mereka berpijak pada landasan yang goyah karena mereka harus menyesuaikan kepribadian mereka dengan kepribadian yang sedang tren. Mereka memainkan banyak peran dan mengikuti semboyan “aku seperti apa yang kau inginkan” (Fromm, 1947, him. 73).

Orang-orang yang berkepribadian memasarkan tidak memiliki masa lalu maupun masa depan dan tidak memiliki prinsip atau nilai yang tetap. Mereka memiliki lebih sedikit sifat positif dibandingkan orientasi-orientasi yang lain karena pada dasarnya mereka adalah bejana kosong yang siap diisi oleh karakteristik apapun yang paling dapat dipasarkan.

Sifat negatif dari karakter pemasaran adalah tanpa tujuan, oportunistis, tidak konsisten, dan sia-sia. Beberapa kualitas positif mereka di antaranya adalah kemampuan untuk berubah, berpikiran terbuka, kemampuan adaptasi, dan kemurahan hati.

Orientasi ProduktifOrientasi produktif tunggal memiliki tiga dimensi—bekerja, mencintai, dan bernalar. Oleh karena orang-orang produktif bekerja menuju kebebasan positif dan realisasi berkesinambungan akan potensi mereka, maka mereka merupakan karakter yang paling sehat di antara semuanya. Hanya melalui aktivitas produktif manusia dapat menyelesaikan dilema mereka, yaitu bersatu dengan dunia dan hal-hal lainnya dengan mempertahankan keunikan dan individualitas. Solusi ini dapat tercapai hanya dengan kerja, cinta, dan berpikir menggunakan nalar.

Manusia yang sehat menilai kerja bukan sebagai akhir suatu hal, namun sebagai jalan untuk mengungkapkan diri secara kreatif. Mereka tidak bekerja untuk mengeksploitasi orang lain, memasarkan diri mereka, menarik diri dari orang lain, atau untuk menimbun kepemilikan materi yang tidak dibutuhkan. Mereka bukannya malas atau aktif secara kompulsif, namun menggunakan kerja sebagai alat untuk menghasilkan keperluan hidup.

Cinta yang produktif digambarkan melalui empat kualitas cinta sebagaimana telah dibahas sebelumnya—rasa peduli, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Sebagai tambahan untuk empat karakter ini, orang-orang yang sehat memiliki biofilia atau biophilia (bio = hidup, philos/philia = cinta), yaitu cinta penuh hasrat akan hidup dan segala sesuatu yang hidup. Orang-orang dengan biofilia menginginkan hidup lebih lanjut— hidup manusia, hewan, tumbuhan, gagasan, dan kultur. Mereka memikirkan pertumbuhan dan perkembangan diri mereka dan juga yang lainnya. Individu dengan biofilia ingin memengaruhi manusia lain melalui cinta, alasan, dan teladan—tidak dengan pemaksaan.

Fromm percaya bahwa cinta akan hal-hal lain dan diri sendiri adalah sesuatu yang tidak terpisah, namun cinta terhadap diri harus datang lebih dulu. Semua orang mampu untuk

2 4 0 Teori Kepribadian

memiliki cinta produktif, namun kebanyakan orang tidak mencapainya karena mereka tidak bisa mencintai diri mereka terlebih dahulu.

Pemikiran produktif tidak dapat dipisahkan dengan kerja dan cinta produktif serta didorong oleh ketertarikan akan orang atau objek lain. Manusia yang sehat melihat orang apa adanya, bukan sebagai orang yang mereka ingin jadikan. Sama halnya, mereka mengenali diri sendiri apa adanya dan tidak membutuhkan pemahaman akan diri mereka.

Fromm (1947) percaya bahwa orang yang sehat bergantung pada kombinasi dari kelima orientasi karakter yang ada. Bertahannya mereka sebagai individu yang sehat bergantung pada kemampuan mereka untuk menerima sesuatu dari orang lain, mengambil saat sesuai, memelihara suatu hal, menukar suatu hal, dan untuk bekerja, mencintai, serta berpikir secara produktif.

Gangguan KepribadianJika manusia yang sehat mampu bekerja, mencintai, dan berpikir secara produktif, maka kepribadian tidak sehat ditandai dengan masalah dalam tiga area, khususnya kegagalan untuk mencintai secara produktif. Fromm (1981) menyatakan bahwa orang-orang yang terganggu secara psikologis tidak mampu mencintai dan gagal mencapai kesatuan dengan yang lainnya. Ia membahas tiga gangguan kepribadian yang berat—nekrofilia, narsisme berat, dan simbiosis inses.

NekrofiliaIstilah “nekrofilia” (necrophilia) berarti cinta akan kematian dan biasanya mengacu pada kelainan seksual di mana seseorang menginginkan kontak seksual dengan mayat. Akan tetapi, Fromm (1964, 1973) menggunakan istilah nekrofilia dalam arti yang lebih umum untuk menunjukkan ketertarikan akan kematian. Nekrofilia adalah orientasi karakter alternatif bagi biofilia. Secara alami, manusia mencintai kehidupan, namun ketika keadaan sosial menghambat biofilia, mereka mungkin mengadopsi orientasi nekrofilia.

Kepribadian nekrofilia membenci kemanusiaan. Mereka rasis, penghasut perang, dan preman. Mereka menyukai pertumpahan darah, kehancuran, teror, dan penyiksaan. Mereka mendapat kesenangan dengan menghacurkan kehidupan. Mereka adalah pendukung hukum dan keteraturan; mereka suka membicarakan penyakit, kematian, dan penguburan; mereka terpesona oleh kotoran, pembusukan, mayat, dan feses. Mereka lebih memilih malam daripada siang dan suka mengerjakan sesuatu dalam kegelapan dan di bawah bayangan.

Orang-orang dengan nekrofilia tidak semata-mata bertingkah laku destruktif, melainkan tingkah laku destruktif mereka adalah cerminan karakter dasar mereka. Semua orang bertingkah laku agresif dan destruktif sewaktu-waktu, namun keseluruhan gaya hidup orang-orang dengan nekrofilia adalah seputar kematian, kehancuran, penyakit, dan pembusukan.

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 241

Narsisme BeratSebagaimana semua orang memperlihatkan sebagian tingkah laku nekrofilia, semua orang juga memiliki kecenderungan narsistis. Manusia yang sehat menunjukkan bentuk narsisme yang baik, yaitu ketertarikan akan tubuh sendiri. Walaupun demikian, dalam bentuk buruk- nya, narsisme menghalangi persepsi akan kenyataan sehingga segala sesuatu yang dimiliki orang narsistis dinilai tinggi dan segala sesuatu milik orang lain tidak bernilai.

Individu narsistis terpaku pada diri sendiri, namun hal ini tidak terbatas hanya pada mengagumi diri dalam kaca. Keterpakuan pada tubuh sering menyebabkan hipokondriasis atau perhatian obsesif akan kesehatan seseorang. Fromm (1964) juga membahas hipokondriasis moral atau keterpakuan dengan rasa bersalah akan pelanggaran yang sebelumnya terjadi. Orang-orang yang terfiksasi akan diri mereka sendiri cenderung menginternalisasi pengalaman-pengalaman mereka dan merenungkan kesehatan fisik serta kebaikan moral mereka.

Orang-orang narsistis memiliki apa yang disebut Horney (lihat Bab 6) “tuntutan neurotik”. Mereka mencapai rasa aman dengan berpegang pada kepercayaan yang berubah bentuk bahwa kualitas pribadi mereka yang luar biasa merupakan keunggulan dari orang lain. Oleh karena apa yang mereka miliki—penampilan, fisik, dan harta—sangatlah hebat, maka mereka percaya bahwa mereka tidak perlu melakukan apapun untuk membuktikan betapa bernilainya diri mereka. Rasa berharga diri mereka bergantung pada gambaran diri narsistis, bukan pada pencapaian mereka. Ketika usaha mereka dikritik oleh orang lain, mereka bereaksi dengan amarah dan kemurkaan, bahkan sering kali mulai melawan orang yang mengkritiknya dan berusaha menghancurkannya. Apabila kritik tersebut berlimpah, mereka mungkin tidak bisa menghancurkannya sehingga mereka memendam amarah tersebut. Hasilnya adalah depresi, yaitu perasaan tidak berharga. Walaupun depresi, rasa bersalah yang kuat dan hipokondriasis dapat berupa apapun selain pemujaan diri, Fromm percaya bahwa masing-masing hal tersebut dapat menjadi gejala yang melandasi narsisme.

Simbiosis insesOrientasi patologis ketiga adalah simbiosis inses (incestuous symbiosis) atau ketergantungan ekstrem akan ibu atau pengganti ibu. Simbiosis inses adalah bentuk berlebihan dari fiksasi terhadap ibu yang lebih umum dan lebih baik. Pria dengan fiksasi terhadap ibu membutuhkan wanita yang peduli, memanjakan, dan mengagumi mereka. Mereka merasa sedikit cemas dan tertekan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi. Keadaan ini secara umum normal dan tidak terlalu mengganggu kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, dengan simbiosis inses, manusia menjadi takterpisahkan dengan inangnya. Kepribadian mereka bercampur dengan orang lain (inang) sehingga jati diri mereka hilang. Simbiosis inses bermula ketika masa bayi sebagai keterikatan alami dengan ibu. Keterikatan ini lebih krusial dan fundamental dari ketertarikan seksual apapun yang mungkin berkembang selama masa Oedipal. Fromm lebih setuju dengan Harry Stack Sullivan (lihat Bab 8) daripada dengan Freud bahwa keterikatan terhadap ibu didasari oleh kebutuhan akan rasa aman, bukan kebutuhan seks. “Dorongan seksual bukanlah penyebab dari fiksasi terhadap ibu, namun merupakan hasiF’ (Fromm, 1964, him. 99).

242 Teori Kepribadian

Orang-orang yang hidup dalam hubungan simbiosis inses merasa sangat cemas dan takut apabila hubungan tersebut terancam. Mereka yakin mereka tak dapat hidup tanpa pengganti ibu. (Sang inang tidak harus berupa manusia—bisa berupa keluarga, usaha, gereja, atau bangsa). Orientasi inses merubah kekuatan bernalar, menghancurkan kapasitas untuk cinta otentik, serta mencegah manusia mencapai kemandirian dan integritas.

Sebagian individu patologis memiliki tiga gangguan kepribadian, yaitu mereka tertarik pada kematian (nekrofilia), memiliki kesenangan dalam menghancurkan mereka yang inferior (narsisme berat), dan memiliki hubungan simbiosis neurotik dengan ibu mereka atau pengganti ibu (simbiosis inses). Orang-orang seperti itu membentuk apa yang disebut Fromm sindrom pembusukan (syndrom o f decay). Ia membandingkan orang-orang patologis ini dengan mereka yang memiliki sindrom pertumbuhan (syndrom o f growth) yang terbentuk oleh kualitas yang berlawanan, yaitu biofilia, cinta, dan kebebasan positif. Sebagaimana ditunjukkan pada Figur 7.1, kedua sindrom pembusukan dan pertumbuhan adalah bentuk ekstrem dari perkembangan. Kebanyakan orang memiliki kesehatan psikologis rata-rata.

FIGUR 7.1 Tiga orientasi patologis— nekrofilia, narsisme, dan simbiosis inses— bersatu

membentuk sindrom pembusukan di mana tiga orientasi sehat— biophilia, cinta, dan kebebasan

positif—bersatu dalam sindrom pertumbuhan. Sebagian besar orang memiliki perkembangan rata-rata dan tidak didorang oleh sindrom pembusukan maupun sindrom pertumbuhan.

PsikoterapiFromm terlatih sebagai analis Freudian yang ortodoks, namun ia menjadi bosan dengan teknik analisis yang standar. “Seiring waktu, saya menyadari bahwa kebosanan saya berakar dari fakta bahwa saya tidak menyentuh kehidupan pasien-pasien saya” (Fromm, 1986, him. 106). Ia lalu mengembangkan sistem terapinya sendiri yang ia sebut psikoanalisis humanistis. Dibandingkan dengan Freud, Fromm lebih memikirkan aspek interpersonal dari pengalaman terapeutik. Ia percaya bahwa tujuan dari terapi adalah untuk pasien mengenali dirinya sendiri. Tanpa pengenalan akan diri sendiri, kita tidak bisa mengetahui orang ataupun hal lain.

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 2 4 3

Fromm percaya bahwa pasien melakukan terapi untuk mencari kepuasan akan kebutuhan dasar manusia merek—keterhubungan, keunggulan, keberakaran, rasa jati diri, dan kerangka orientasi. Oleh karena itu, terapi harus membangun hubungan pribadi antara terapis dan pasien. Oleh karena komunikasi yang tepat sangat esensial untuk pertumbuhan terapeutik, maka terapis harus berhubungan “sebagai manusia dengan manusia lainnya dengan konsentrasi dan ketulusan penuh” (Fromm, 1963, him. 184). Dalam semangat keterhubungan ini, pasien sekali lagi akan merasa satu dengan orang lain. Walaupun transferens (transference) dan bahkan transferens balik (countertransference) mungkin terjadi dalam hubungan ini, tujuan utamanya adalah bahwa dua manusia secara nyata terlibat satu sama lain.

Sebagai bagian dari usahanya untuk mencapai komunikasi aktif yang saling berbagi, Fromm meminta pasien untuk mengungkapkan mimpi-mimpi mereka. Ia percaya bahwa mimpi, sebagaimana dongeng dan mitos, diungkapkan dengan bahasa simbolis—satu- satunya bahasa universal yang dikembangkan oleh manusia (Fromm, 1951). Oleh karena mimpi memiliki arti di balik individu pemimpi, maka Fromm akan meminta asosiasi pasien terhadap materi mimpi tersebut. Akan tetapi, tidak semua simbol-simbol mimpi universal, sebagian hanya kebetulan dan bergantung pada suasana hati sebelum tidur. Lainnya hanya merupakan regional atau bergantung pada iklim, geografi, dan dialek. Banyak simbol memiliki beberapa makna karena variasi pengalaman yang berkaitan dengannya. Api dapat menyimbolkan kehangatan dan rumah untuk sebagian orang, namun juga dapat menyimbolkan kematian dan kehancuran bagi yang lain. Dengan cara yang sama, matahari dapat mewakili ancaman bagi orang-orang di padang pasir, namun mewakili pertumbuhan dan kehidupan bagi orang-orang di iklim dingin.

Fromm (1963) percaya bahwa terapis seharusnya tidak terlalu ilmiah dalam memahami pasien. Hanya dengan sikap keterhubungan maka seseorang dapat seutuhnya dimengerti. Terapis seharusnya tidak melihat pasien sebagai suatu penyakit atau benda, namun sebagai manusia dengan kebutuhan manusiawi yang sama, seperti yang semua orang miliki.

Metode Investigasi FrommFromm mengumpulkan data mengenai kepribadian manusia melalui banyak sumber termasuk psikoterapi, antropologi budaya, dan sejarah kejiwaan. Dalam bagian ini, kita lihat secara singkat kajian antropologisnya tentang kehidupan sebuah desa di Meksiko dan

analisis psikobiografis terhadap Adolf Hitler.

Karakter Sosial Sebuah Desa di MeksikoDimulai pada akhir 1950-an dan berkembang sampai pertengahan 1960-an, Fromm dan sekelompok psikologis, psikoanalis, antropologis, dokter, dan ahli statistik mempelajari karakter sosial di Chiconcuac, sebuah desa di [Meksiko sekitar 50 mil di Selatan Mexico City. Tim ini mewawancarai setiap orang dewasa dan sebagian anak-anak di desa pertanian terpencil dengan 162 kepala keluarga dan 800 penduduk ini. Penduduk desa tersebut

2 4 4 Teori Kepribadian

sebagian besar adalah petani yang hidup dari sepetak tanah kecil yang subur. Sebagaimana Fromm dan Michael Maccoby (1970) menggambarkan mereka:

Mereka egois, curiga akan motif satu sama lain, pesimis terhadap masa depan, dan bersikap fatalis (pasrah kepada nasib). Sebagian juga tunduk dan protes terhadap diri sendiri (self-deprecatory), walaupun mereka memiliki potensi untuk pemberontakan dan revolusi. Mereka merasa inferior terhadap orang-orang kota, lebih bodoh, dan lebih tidak berbudaya. Terdapat rasa ketidakberdayaan yang melimpah untuk memengaruhi, baik alam maupun mesin industri yang menaklukkan mereka (him. 37).

Adakah yang bisa menemukan orientasi karakter Fromm dalam masyarakat seperti itu? Setelah hidup di antara penduduk desa dan diterima oleh mereka, tim peneliti menggunakan berbagai macam teknik yang dirancang untuk menjawab pertanyaan tersebut dan pertanyaan- pertanyaan lain. Termasuk dalam alat penelitian adalah wawancara ekstensif, laporan mimpi, kuesioner terperinci, dan dua teknik proyektif—Tes noda tinta Rorschach (the Rorschach Inkblot Test) dan Tes Apersepsi Tematik (the Thematic Apperception Test).

Fromm percaya bahwa karakter m emasarkan adalah hasil dari perniagaan modern dan cenderung ada dalam masyarakat di mana perdagangan bukan lagi sesuatu yang pribadi dan manusia menganggap diri mereka sebagai komoditas. Bukan sesuatu yang mengejutkan saat tim peneliti menemukan bahwa orientasi pemasaran tidak ada pada petani-petani desa ini.

Walaupun demikian, para peneliti menemukan bukti-bukti lain mengenai beberapa tipe karakter lain, yang paling umum adalah tipe reseptif nonproduktif. Orang-orang dengan orientasi ini cenderung untuk mengidolakan orang lain dan mengabdikan banyak energi untuk berusaha menyenangkan orang yang mereka anggap superior. Saat hari pembayaran, para pekerja dengan tipe tersebut akan menerima bayaran mereka dengan cara hina, seolah mereka tidak pantas mendapatkannya.

Tipe kepribadian kedua yang sering ditemukan adalah karakter menimbun produktif. Orang-orang dengan tipe seperti ini tergolong pekerja keras, produktif, dan mandiri. Mereka biasanya bercocok tanam di lahan mereka sendiri dan bergantung pada bagian hasil panen dan biji yang disimpan apabila terjadi gagal panen di masa depan. Menimbun, bukan mengonsumsi, esensial bagi hidup mereka.

Kepribadian eksploitatif nonproduktif dikenali sebagai karakter orientasi ketiga. Orang- orang seperti ini cenderung terlibat perkelahian dengan pisau atau pistol, sedangkan para wanitanya cenderung menjadi penyebar gosip (Fromm & Maccoby, 1970). Hanya 10% dari populasi yang eksploitatif dan banyak berpengaruh, sebuah persentase yang mengejutkan mengingat parahnya kemiskinan di desa tersebut.

Bahkan lebih sedikit penduduk yang digambarkan sebagai eksploitatif produktif, yaitu tidak lebih dari 15 individu di seluruh desa. Di antara mereka adalah orang-orang terkaya dan paling berkuasa di desa itu—orang-orang yang telah mengumpulkan harta dengan cara memanfaatkan teknologi agrikultural dan peningkatan wisata. Mereka juga memanfaatkan penduduk desa yang reseptif nonproduktif dengan tetap membuat mereka bergantung secara ekonomi.

Secara umum, Fromm dan Maccoby (1970) melaporkan kemiripan yang luar biasa antara orientasi karakter sebuah desa di Meksiko ini dan orientasi teoretis yang dinyatakan

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 245

Fromm beberapa tahun sebelumnya. Studi antropologis ini tentu tidak bisa dianggap sebagai konfrimasi dari teori Fromm. Sebagai salah satu kepala penelitian studi ini, Fromm mungkin telah menemukan apa yang ia harap akan temukan.

Studi Psikohistoris mengenai HitlerMengikuti jejak Freud (lihat Bab 2), Fromm meneliti dokumen sejarah untuk mendapat gambaran dari profil orang terkenal melalui sebuah teknik yang disebut psikohistoris atau psikobiografi. Subjek dari studi biografis Fromm yang terlengkap adalah Freud (Fromm, 1959), namun Fromm (1941, 1973, 1986) juga menulis kehidupan Adolf Hitler.

Fromm menganggap Hitler sebagai contoh manusia dengan sindrom pembusukan yang paling jelas di dunia. Hitler memiliki kombinasi nekrofilia, narsisme berat, dan simbiosis inses. Hitler menunjukkan ketiga gangguan patologis. Ia sangat tertarik akan kematian dan kehancuran, terfokus secara sempit pada minat diri sendiri, dan digerakkan oleh pengabdian bersifat inses pada “ras” Jerman serta berdedikasi secara fanatik untuk mencegah darah ras

tersebut dikotori oleh Yahudi atau “non-Aria” lainnya.

Berbeda dengan psikoanalis lain yang hanya melihat masa kecil awal sebagai petunjuk bagi kepribadian saat dewasa, Fromm percaya bahwa dari tiap tahapan perkembangan yang penting tidak ada sesuatu dalam kehidupan awal Hitler yang mendorongnya ke arah

sindrom pembusukan.

Sebagai anak, Hitler dimanjakan oleh ibunya, namun kelembutan ibunya tidak menyebabkan patologi Hitler. Walaupun demikian, perlakuan ibunya tersebut membesarkan rasa narsistis akan pentingnya diri sendiri. “Ibu Hitler tidak pernah menjadi seseorang di mana Hitler terikat dalam ikatan kasih sayang atau kelembutan. Ibunya adalah simbol dewi yang melindungi dan mengaguminya, namun juga dewi kematian dan kehancuran” (Fromm, 1973, him. 738).

Hitler tergolong murid di atas rata-rata pada saat bersekolah dasar, namun ia gagal di sekolah tinggi. Selama remaja, ia mengalami konflik dengan ayahnya, yang menginginkan ia untuk lebih bertanggung jawab dan memiliki pekerjaan yang dapat diandalkan sebagai pegawai negeri. Hitler, di sisi lain, memiliki keinginan tidak realistis untuk menjadi artis. Juga pada masa ini, dirinya semakin menghilang dalam fantasi. Narsismenya menyalakan hasrat berapi-api akan kehebatan sebagai artis atau arsitek, namun kenyataan membawanya pada kegagalan demi kegagalan dalam bidang ini. “Tiap kegagalan menorehkan luka pada narsismenya dan penghinaan lebih dalam dari yang sebelumnya (Fromm, 1973, him. 395). Sebagaimana kegagalannya semakin bertambah, ia semakin tenggelam dalam dunia fantasinya, semakin mendendam pada oran lain, semakin termotivasi untuk balas dendam, dan semakin sifat nekrofilia dalam dirinya.

Kesadaran Hitler yang mengerikan akan kegagalannya sebagai seniman semakin jelas dengan pecahnya Perang Dunia I. Ambisinya yang kuat sekarang dapat disalurkan dengan menjadi pahlawan perang yang berjuang untuk tanah airnya. Walaupun ia bukan pahlawan

besar, ia adalah seorang prajurit yang bertanggung jawab, disiplin, dan berbakti. Akan tetapi, seusai perang ia mengalami kegagalan lagi. Bukan saja bangsa tercintanya kalah dalam perang,

Teori Kepribadian

namun revolusi di Jerman menyerang segala sesuatu yang berharga bagi nasionalisme reaksioner Hitler, dan mereka menang ... kemenangan revolusi menyebabkan sifat destruktif Hitler mencapai puncaknya dan menjadi tak terbinasakan (Fromm, 1973, him. 394).

Adolf Hitler dianggap sebagai contoh sindrom pembusukan yang dikemukakan Fromm.

Nekrofilia tidak semata-mata mengacu pada tingkah laku, namun menyebar dalam keseluruhan karakter seseorang. Demikian juga halnya dengan Hitler, ketika ia memegang kekuasaan, ia menuntut musuh-musuhnya bukan saja untuk menyerah, namun juga untuk dimusnahkan. Nekrofilianya terlihat dari kesenangannya dalam menghancurkan gedung- gedung dan kota-kota, perintahnya untuk membunuh orang-orang yang “tidak baik”, kebosanannya, dan pembantaiannya terhadap orang Yahudi.

Sifat Hitler yang juga termanifestasi adalah narsisme berat. Ia hanya tertarik pada dirinya, rencana-rencananya, dan ideologinya. Keyakinannya bahwa ia mampu membangun “Reich Seribu Tahun” (Thousand-Year Reich) menunjukkan rasa kepentingan diri yang melambung tinggi. Ia tidak memiliki minat pada orang lain, kecuali orang tersebut mengabdi padanya. Hubungannya dengan wanita-wanita menunjukkan kurangnya cinta dan kelembutan. Tampaknya, ia hanya menggunakan hubungan tersebut semata-mata untuk kesenangan pribadi yang tidak wajar, khususnya kepuasan dalam mengintip (voyeuristic).

Menurut analisis Fromm, Hitler juga memiliki simbiosis inses yang tidak terlihat dari pengabdiannya yang dalam pada ibunya, melainkan pada ras Jerman. Konsisten dengan sifat ini, ia juga seorang sadomasokis, terasing, dan kurang memiliki rasa cinta yang tulus atau rasa iba. Semua karakteristik ini, menurut anggapan Fromm, tidak membuat Hitler menjadi psikotik. Karakter-karakter tersebut, bagaimanapun, membuatnya menjadi orang

yang sakit dan berbahaya.Fromm menyatakan bahwa orang-orang tidak melihat Hitler sebagai seseorang yang

tidak manusiawi, Fromm (1973) menyimpulkan psikohistoris Hitler dengan kata-kata

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 247

berikut ini: “Analisis mana pun yang merubah gambaran Hitler dengan menutupinya dengan kemanusiaan, hanya akan meningkatkan kecenderungan orang-orang terbutakan dari calon-calon Hitler yang baru, kecuali mereka memiliki tanduk” (him. 433).

Penelitian TerkaitWalaupun tulisan-tulisan Erich Fromm sangat menarik dan bermakna, gagasannya hanya menghasilkan sedikit penelitian empiris dalam bidang psikologi kepribadian. Salah satu alasannya mungkin karena pendekatan Fromm yang terlalu luas. Dalam banyak arti, gagasan Fromm lebih sosiologis daripada psikologis di mana teorinya berhubungan dengan pengasingan dari kultur dan alam secara umum, dua topik yang biasanya lebih diajarkan di kelas sosiologi daripada psikologi. Akan tetapi, hal ini tidak berarti topik yang luas ini tidak penting bagi psikologi kepribadian. Bahkan sebaliknya, walaupun luas dan sosiologis, kerenggangan dari satu kultur merupakan topik yang dapat dipelajari pada tingkat individu dalam studi psikologis yang dapat mengimplikasi kesejahteraan.

Kerenggangan Kultur dan KesejahteraanIngat bahwa tema utama dari teori kepribadian Fromm mencakup kerenggangan dan keterasingan: manusia telah disingkirkan dari lingkungan alam dan mereka dirancang untuk menetap dan tepisah dari satu sama lain. Selain itu, menurut Fromm, kekayaan materi yang diciptakan oleh kapitalisme memberikan kebebasan berlebihan yang begitu banyak sehingga terus terang kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Kecemasan dan keterasingan, ironisnya, adalah hasil dari kebebasan yang berlebihan. Mark Bernard dan rekan-rekannya (2006) mencoba menguji komponen-komponen utama dari teori Fromm dengan menggunakan pengukuran penilaian diri dalam sampel mahasiswa program sarjana di Inggris. Khususnya, para peneliti ingin menguji apakah benar perbedaan antara keyakinan diri seseorang dan cara seseorang menerima keyakinan dari masyarakat menyebabkan rasa kerenggangan.

Tujuh puluh dua partisipan melengkapi kuesioner yang terdiri dari beberapa nilai yang telah diidentifikasi oleh penelitian sebelumnya bahwa nilai-nilai tersebut terdapat di banyak kultur yang berbeda (seperti pentingnya kebebasan, kekayaan, keimanan, dan sebagainya). Pertama, para partisipan memberi peringkat tiap-tiap nilai, seberapa penting nilai tersebut sebagai prinsip yang membimbing mereka dalam hidup, lalu mereka memberi peringkat pada nilai yang sama akan seberapa penting nilai tersebut sebagai prinsip yang membimbing bagi masyarakat. Memberikan kuesioner seperti ini memungkinkan peneliti untuk mengukur tingkat perbedaan nilai yang dipegang partisipan dengan nilai dalam masyarakat secara umum. Kedua, kerenggangan diukur dengan cara meminta partisipan untuk melengkapi kuesioner dengan bagian di mana mereka harus menjawab seberapa dalam mereka merasakan perbedaan dengan masyarakat dan tingkat di mana mereka merasa tidak “normal” dalam kultur mereka.

Penemuan dari penelitian ini seperti yang diperkirakan. Semakin seseorang menyatakan bahwa nilai-nilai mereka berbeda dengan masyarakat secara umum,

Teori Kepribadian

semakin ia cenderung merasakan kerenggangan (Bernard, Gebauer, & Maio, 2006). Hal ini tidak mengejutkan karena pada dasarnya, apabila nilai-nilai kita berbeda dengan nilai masyarakat atau kultur kita, maka kita akan merasa bahwa diri kita berbeda dan tidak normal. Hal ini juga persis seperti yang diperkirakan oleh teori Fromm. Semakin seseorang merasa jauh dengan orang-orang di lingkungannya, semakin ia cenderung merasa terasingkan.

Untuk menguji gagasan Fromm lebih jauh, Bernard dan rekan-rekannya (2006) lalu menguji apakah dengan merasa renggang dari suatu kultur berhubungan dengan meningkatnya perasaan cemas dan depresi. Para partisipan yang sama yang melengkapi pengukuran penilaian diri mengenai perbedaan nilai dan kerenggangan juga melengkapi pengukuran rasa cemas dan depresi. Seperti yang diperkirakan para peneliti dan teori Fromm, semakin renggang seseorang dari masyarakat secara umum, semakin mereka merasa cemas dan depresi. Walaupun kerenggangan dengan masyarakat secara umum merugikan kesejahteraan, ada tipe kerenggangan khusus yang buruk bagi manusia. Mereka yang merasa terpisah dari teman-teman mereka menunjukkan meningkatnya perasaan cemas dan depresi. Penemuan ini menunjukkan bahwa kerenggangan dengan masyarakat membuat orang rentan terhadap depresi, namun perasaan ini dapat berkurang apabila seseorang menemukan sekelompok orang di mana ia bisa berbagi keyakinan, walaupun keyakinan tersebut tidak sama dengan masyarakat secara umum. Hal yang sangat berbahaya adalah apabila seseorang merasa renggang tidak hanya dengan masyarakat secara umum, namun juga dengan orang-orang yang terdekat dengannya.

Penemuan-penemuan ini jelas mendukung gagasan-gagasan Erich Fromm. Masyarakat modern di mana kita hidup menyediakan kita banyak sekali kenyamanan dan keuntungan. Akan tetapi, kenyamanan tersebut tidak datang begitu saja. Kebebasan pribadi dan individualitas memang penting, namun ketika muncul paksaan-paksaan yang mendorong manusia merasa renggang dari masyarakat, hal ini bisa berbahaya bagi kesejahteraan mereka.

Beban Kebebasan dan Bujukan PolitikSatu area di mana gagasan-gagasan Fxomm terus berpengaruh adalah perkembangan keyakinan politik (de Zavala & Van Bergh, 2007; Jost, Glaser, Kruglanski, & Sulloway, 2003; Oesterreich, 2005). Mekanisme pelarian sebagai tanggapan dari beban kebebasan terimplikasi dalam keyakinan politik, khususnya dalam authoritarianism dan konformitas. Authoritarianism , contohnya, mencakup perolehan kekuatan dengan cara bersatu dengan seseorang atau sistem keyakinan yang lebih kuat dairpada individu yang mencari kekuatan (Fromm, 1941). Setia secara tulus pada satu partai politik adalah satu cara untuk bersatu dengan sistem yang lebih kuat daripada individu. Dengan cara yang sama, konformitas mencakup penyerahan invidualitas seseorang dan menjadi apapun yang orang lain inginkan.

Bagi psikolog kepribadian, salah satu aspek menarik dari keyakinan politik adalah untuk mengukur bagaimana manusia mengembangkan bujukan politik yang mereka lakukan dan apakah kepribadian dapat memperkirakan jenis partai politik yang akan

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis | 249

menarik bagi tiap individu. Fromm (1941) menyatakan dengan jelas bagaimana manusia dapat tertarik untuk mendukung kuat satu partai politik melebihi yang lain, namun teorinya tidak menjelaskan partai apa yang akan membuat individu tertentu tertarik. Di Amerika Serikat, terdapat dua partai besar politik, yaitu partai Republik (konservatif) dan Demokrat (liberal). Akan tetapi, orang seperti apa yang cenderung menjadi seorang

Republikan dan Demokrat?

Jack dan Jeanne Block (2006) melakukan penelitian longitudinal di mana mereka mengukur kepribadian sekelompok murid taman kanak-kanak. Hampir dua puluh tahun kemudian, mereka melanjutkan penelitian dengan partisipan-partisipan ini (banyak di antara mereka yang sedang atau sudah lulus kuliah) kemudian menanyakan keyakinan politik mereka. Ketika para partisipan masih di taman kanak-kanak, mereka dievaluasi berdasarkan dimensi kepribadian oleh para guru mereka yang telah dilatih dalam

pengukuran kepribadian sebelumnya.

Dua puluh tahun setelah taman kanak-kanak, para peneliti meminta para dewasa muda tersebut untuk melengkapi kuesioner penilaian diri untuk mengukur keyakinan politik mereka. Anak-anak yang digambarkan oleh guru-guru mereka dua puluh tahun yang lalu sebagai anak yang mudah tersinggung, sulit membuat keputusan, penakut, dan kaku cenderung untuk memilih politik konservatif di usia 20-an. Anak-anak yang digambarkan yakin pada diri sendiri, enerjik, agak dominan, dan cukup dapat diatur di taman kanak- kanak tumbuh menjadi orang-orang dengan pandangan politik liberal. Penelitian ini tidak hanya menunjukkan bagaimana manusia tumbuh untuk mengatasi “beban kebebasan” dengan cara berbeda, meminjam kata-kata Fromm, namun juga menunjukkan betapa kuatnya kepribadian mampu memperkirakan, bahkan ketika kepribadian diukur saat usia masih sangat muda.

Kritik terhadap FrommErich Fromm mungkin salah satu penulis esai paling cerdas dari semua teoretikus kepribadian. Ia menulis esai-esai yang indah mengenai politik internasional (Fromm, 1961); kaitan dengan kitab nabi-nabi bagi manusia di masa ini (Fromm, 1986); masalah-masalah psikologis akan penuaan (Fromm, 1981); mengenai Marx, Hitler, Freud, dan Kristus; serta sejumlah besar topik-topik lainnya. Terlepas dari topik yang dikemukakannya, dalam inti semua tulisan Fromm dapat ditemukan esensi dari sifat manusia yang belum terungkap.

Sebagaimana teoretikus teori psikodinamika lainnya, Fromm cenderung menggunakan

pendekatan global untuk konstruksi teori, menegaldcan bentuk abstrak yang tinggi dan megahyang lebih bersifat filosofis ketimbang ilmiah. Pemahamannya akan sifat manusia disambut gem ira oleh banyak orang, terbukti dengan popularitas buku-bukunya. Sayangnya esai-

r d“Zren-argU,mennya SeP°PUler Seper,i Hma Puluh tahu" y»g 1̂- P»»lazen ( 996) menyatakan bahwa, seseorang tidak dianggap terdidik bila ia tidak membaca

tuhsan Fromm, yamt Escape from Freedom yang ditulis secara fasih. Akan tetapi sekarang ini buku-buku Fromm bukan bacaan wajib di kampus-kampus perguruan tinggi.

Teori Kepribadian

Fasihat, tentunya, tidak sama artinya dengan ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang ilmiah, kita harus mempertanyakan bagaimana gagasan-gagasan Fromm memenuhi keenam kriteria teori yang berguna. Pertama, istilah-istilah Fromm yang tidak jelas dan samar menjadikan gagasan-gagasannya tidak dapat dijadikan generator penelitian empiris. Sebenarnya, pencarian kita selama 45 tahun terakhir akan literatur psikologi menghasilkan kurang dari selusin penelitian empiris yang menguji langsung asumsi teori-teori Fromm. Kekurangan investigasi ilmiah ini menempatkannya di antara teoretikus-teoretikus yang paling tidak terbukti secara empiris dalam buku ini.

Kedua, teori Fromm terlalu filosofis untuk dapat dibenarkan atau diverifikasi. Hampir semua penemuan empiris yang dihasilkan teori Fromm (apabila benar-benar ada) dapat dijelaskan dengan teori-teori alternatif.

Ketiga, teori Fromm memungkinkannya untuk mengorganisir dan menjelaskan banyak hal yang dikenal sebagai kepribadian manusia. Sudut pandang sosial, politik, dan sejarah Fromm memberikan cakupan yang luas dan kedalaman untuk memahami kondisi manusia, namun teorinya yang kurang memiliki ketepatan menyebabkan sulitnya prediksi dan mustahilnya pembenaran.

Keempat, sebagai pem andu tindakan, nilai utama tulisan Fromm terlalu mendorong pembaca untuk berpikir produktif. Sayangnya, baik peneliti maupun terapis tidak menerima informasi praktis dari esai Fromm.

Kelima, pandangan Fromm konsisten secara internal dalam arti terdapat tema tunggal dalam seluruh tulisannya. Akan tetapi, teori tersebut kurang memiliki taksonomi yang terstruktur, serangkaian istilah yang didefinisikan secara operasional, dan batasan lingkup yang jelas. Oleh karena itu, teori Fromm mendapatkan nilai rendah dalam hal konsistensi internal.

Terakhir, oleh karena Fromm enggan untuk meninggalkan konsep-konsepnya yang terdahulu dan untuk menghubungkannya dengan gagasan-gagasan selanjutnya, maka teorinya kurang memiliki kelugasan dan kesatuan. Untuk alasan-alasan ini, kami menilai

teori Fromm rendah dalam kriteria kesederhanaan (parsimony).

Konsep Kemanusiaan

manusia dan hewan. a iia i ebi alam dan subjek bagi semua 1992, him. 24). la percaya b| // -ik Q raH aan n \ / a

Bab 7 Fromm: Psikoanalisis Humanistis 251

diri, bernalar, dan im a jina s i... spesies manusia memerlukan kerangka orientasi dan objek pengabdian untuk bertahan hidup” (him. 137).

Akan tetapi, kelangsungan hidup manusia terbayar dengan harga kecemasan dasar, kesendirian, dan ketidakberdayaan. Dalam tiap usia dan kultur, manusia dihadapkan pada dengan masalah fundam ental yang sama, yaitu bagaimana melarikan diri dari perasaan terasingkan dan menemukan kesatuan kembali dengan alam dan orang-orang lain.

Secara umum, Fromm pesim is dan juga optimis. Di satu sisi, ia percaya bahwa sebagian besar manusia tidak mencapai kesatuan kembali dengan alam dan orang lain, dan hanya sedikit orang yang mencapai kebebasan positif. la juga agak memiliki sikap negatif terhadap kapitalisme modern, yang ia nyatakan bertanggung jawab terhadap rasa keterasingan dan kesendirian manusia, sementara mereka m enggantungkan diri tanpa asa pada khayalan kemandirian dan kebebasan. Di sisi lain, Fromm cukup memiliki harapan untuk percaya bahwa sebagian orang akan mencapai kesatuan kembali dan oleh karena itu akan menyadari potensi kemanusiaan mereka. la juga percaya bahwa manusia dapat mencapai kepekaan akan identitas, kebebasan positif, dan m engembangkan individualitas di dalam kungkungan m asyarakat kapitalis. Dalam Man for H im self (1947), ia menulis “saya sangat terkesan dengan ... kekuatan akan usaha demi kebahagiaan dan kesehatan, yang merupakan bagian dari perlengkapan alami [m anusia]” (him. x).

Dalam dimensi pilihan bebas versus determinisme, Fromm mengambil posisi tengah dan menyatakan bahwa persoalan ini tidak dapat diaplikasikan pada seluruh spesies. Melainkan, ia percaya bahwa individu memiliki derajat kecenderungan terhadap tindakan yang dipilih dengan bebas. Kemampuan mereka untuk bernalar memungkinkan manusia untuk mengambil bagian secara aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri.

Dalam dimensi hubungan kausalitas versus teleologi, Fromm agak cenderung memilih teleologi. la percaya bahwa manusia terus-m enerus berusaha demi kerangka orientasi, sebuah peta jalan, yang dengannya manusia merencanakan hidup mereka di masa depan.

Fromm tidak memihak dalam m otivasi sadar versus bawah sadar, ia sedikit m enekan­kan motivasi dalam sadar dan beranggapan bahwa salah satu sifat unik manusia adalah kesadaran diri. Manusia adalah satu-satunya hewan yang dapat bernalar, membayangkan masa depan, dan secara sadar berjuang untuk tujuan penegakan diri. Akan tetapi, Fromm menyatakan bahwa kesadaran diri adalah anugerah yang tercam pur dan banyak orang tertekan karena karakter dasar mereka untuk menghindari kecemasan yang memuncak.

Dalam hal pengaruh sosial versus pengaruh biologi, Fromm m enganggap pengaruh sejarah, kultur dan m asyarakat lebih penting daripada pengaru biologi. Meskipun ia bersikeras bahwa kepribadian manusia telah ditentukan secara historis dan kultur, ia tidak m engabaikan faktor biologi, dan m endefinisikan manusia sebagai keganjilan dari alam semesta.

Terakhir, walaupun Fromm m enempatkan penekanan moderat pada kesamaan antara manusia, ia juga memberikan ruang untuk individualitas. la percaya walaupun sejarah dan

budaya mengganggu kepribadian, manusia tetap dapat m empertahankan keunikan mereka dalam tingkat tertentu. Manusia adalah satu spesies yang berbagi kebutuhan manusia yang sama, namun pengataman interpersonal sepanjang hidup manusia memberikan mereka beberapa keunikan.

2 5 2 Teori Kepribadian

Istilah dan Konsep Penting• Manusia telah terpisah dari kesatuan ^rasejarah mereka dengan alam dan juga dengan

satu sama lain, namun mereka memililiki kekuatan bernalar, memperkirakan masa depan, dan imajinasi.

• Realisasi diri berkontribusi terhadap rasa kesendirian, terasingkan, dan tanpa tempat berpulang.

• Untuk melarikan diri dari perasaan-perasaan tersebut, manusia berusaha bersatu kembali dengan yang lainnya dan alam.

• Hanya kebutuhan manusia yang unik akan keterhubungan, keunggulan, keberakaran, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi yang dapat menggerakkan manusia menuju kesatuan kembali dengan dunia alami.

• Rasa keterhubungan mendorong manusia untuk bersatu dengan orang lain melalui kepasrahan, kekuasaan, dan cinta.

• Keunggulan adalah kebutuhan manusia untuk mengungguli keberadaan pasif mereka dan menciptakan atau menghancurkan kehidupan.

• Keberakaran adalah kebutuhan akan struktur konsisten dalam hidup manusia.

• Kepekaan akan identitas memberikan manusia rasa “saya” sebagai subjek atau objek.

• Kerangka orientasi merupakan cara konsisten dalam melihat dunia.

• Kecemasan dasar adalah rasa kesendirian di dunia.

• Untuk lepas dari kecemasan dasar, manusia menggunakan berbagai macam mekanisme pelarian diri, khususnya authoritarianism, sifat destruktif, dan konformitas.

• Orang yang sehat secara psikologis memperoleh sindrom pertumbuhan, yang mencakup(1) kebebasan positif atau aktivitas spontan dari kepribadian yang utuh dan erintegrasi;(2) biofilia atau cinta berhasrat akan kehidupan; dan (3) cinta akan sesama manusia.

Akan tetapi, orang lain hidup secara nonproduktif dan memperoleh sesuatu dengan menerima segala sesuatu secara pasif, mengeksploitasi orang lain, menimbun sesuatu, dan memasarkan atau menukar sesuatu, termasuk diri mereka sendiri.

• Orang-orang yang sakit, secara ekstrem termotivasi oleh sindrom pembusukan, yang mencakup (1) nekrofilia atau cinta akan kematian; (2) narsisme berat atau tergila-gila pada diri sendiri, (3) simbiosis inses atau kecenderungan untuk tetap terikat dengan seseorang yang keibuan atau sepadannya.

• Tujuan dari psikoterapi Fromm adalah untuk mencapai kesatuan dengan pasien sehingga mereka bersatu kem bali dengan dunia.

Bab 8

Sullivan: Teori Interpersonal

Gambaran Umum Teori InterpersonalBiografi Harry Stack SullivanKeteganganKebutuhanKecemasanTransformasi energiDinamismeKedengkianKeintimanBerahi SullivanSistem DiriPersonifikasiIbu yang Buruk, Ibu yang Baik Masa Remaja AwalPersonifikasi Saya Masa Remaja AkhirPersonifikasi Eidetik Masa DewasaTingkat Kognisi » Gangguan PsikologisTingkat Prototaksis • PsikoterapiTingkat Parataksis • Penelitian TerkaitTingkat Sintaksis Pro dan Kontra “Sahabat Karib” untuk AnakTahapan Perkembangan Perempuan dan Laki-lakiMasa Bayi Teman KhayalanMasa Kanak-kanak • Kritik terhadap SullivanMasa Juvenil • Konsep KemanusiaanMasa Praremaja • Istilah dan Konsep Penting

254 Teori Kepribadian

Si anaklaki-laki tidak memiliki teman seusianya, namun memiliki beberapa teman bermain khayalan. Di sekolah, aksen Irlandia dan kepintarannya membuat ia tidak populer

di kalangan teman-teman sekolahnya. Kemudian, di usia 8,5 tahun, si anak mengalami hubungan akrab dengan anak laki-laki berusia 13 tahun yang mengubah hidupnya. Kedua anak tersebut tetap tidak populer di kalangan teman-temannya yang lain, namun ikatan yang dekat antara mereka semakin berkembang. Sebagian besar ahli (Alexander, 1990,1995; Chapman. 1976; Havens, 1987) percaya bahwa hubungan antara kedua anak tersebut—Harry Stack Sullivan dan Clarence Bellinger—homoseksual, paling tidak pada tingkat tertentu, namun ahli lainnya (Perry, 1982) percaya bahwa kedua anak laki-laki tersebut tidak pernah intim secara seksual.

Mengapa penting halnya untuk mengetahui orientasi seksual Sullivan? Hal ini penting untuk diketahui setidaknya karena dua alasan. Pertama, kepribadian kehidupan awal teoritikus, termasuk jenis kelamin, urutan lahir, keyakinan agamis, latar belakang etnis, sekolah, dan juga orientasi seksual, semua berhubungan dengan keyakinannya saat dewasa, konsep akan kemanusiaan, dan tipe teori kepribadian yang akan ia kembangkan.

Kedua, dalam kasus Sullivan, orientasi seksualnya mungkin telah mencegahnya dalam mencapai penerimaan dan pengakuan yang mungkin ia bisa dapatkan apabila orang lain tidak mencurigainya homoseksual. A. H. Chapman (1976) menyatakan bahwa pengaruh Sullivan mudah menyebar, namun tidak dihargai karena banyak psikologis dan psikiater di masanya yang sulit menerima konsep teoreti's dan praktik terapeutik dari seseorang yang dicurigai homoseksual. Chapman beranggapan bahwa hal-hal kontemporer Sullivan dapat diterima sebagai seniman homoseksual, musisi, atau penulis. Aka n tetapi, bila berhadapan dengan psikater, maka mereka masih dibimbing oleh konsep “Dokter menyembuhkan diri sendiri”. Frasa ini sangat tertanam di masyarakat Amerika pada masa Sullivan sehingga pekerja kesehatan kesulitan untuk “mengakui hutang mereka pada psikiater yang homoseksualitasnya diketahui banyak orang” (Chapman, 1976, him. 12). Oleh karena itu, Sullivan, yang mungkin saja dapat mencapai popularitas lebih dalam situasi berbeda, terbelenggu oleh prasangka seksual yang menghambatnya untuk dihargai sebagai psikiater Amerika terpenting di paruh pertama abad ke-20.

Gambaran Umum Teori InterpersonalHarry Stack Sullivan, orang Amerika pertama yang membangun teori kepribadian yang komprehensif. Ia percaya bahwa manusia mengembangkan kepribadian mereka dalam konteks sosial. Tanpa orang lain, menurut Sullivan, manusia tidak akan memiliki kepribadian. “Sebuah kepribadian tidak akan dapat terpisahkan dari hubungan interpersonal kompleks di mana seseorang hidup dan memiliki keberadaannya” (Sullivan, 1953a, him. 10). Sullivan menyatakan bahwa pengenalan akan kepribadian manusia hanya dapat diperoleh melalui studi ilmiah mengenai hubungan interpersonal. Teori interpersonal Sullivan menekankan pentingnya ragam tahapan perkembangan—masa bayi, kanak-kanak, juvenil, praremaja, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa. Perkembangan manusia yang sehat bergantung pada kemampuan manusia untuk mencapai keintiman dengan orang lain, namun sayangnya,

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal j 255

kecemasan dapat menggagalkan hubungan interpersonal yang memuaskan pada usia berapapun. Mungkin tahapan paling krusial adalah praremaja—periode di mana seorang anak pertama kalinya memiliki kapasitas untuk keintiman, namun belum mencapai usia di mana hubungan intim mereka diperumit dengan nafsu. Sullivan percaya bahwa manusia dapat mencapai perkembangan yang sehat saat mereka mampu merasakan keintiman dan gairah terhadap orang lain yang sama.

Ironisnya, hubungan Sullivan dengan orang lain sendiri jarang memuaskan. Sebagai seorang anak, ia sendirian dan terasingkan secara fisik; sebagai remaja, ia mengalami setidaknya satu episode skizofrenia; dan sebagai seorang dewasa, ia mengalami hubungan interpersonal superfisial dan ambivalen. Meskipun dengan, atau mungkin karena, kesulitan- kesulitan interpersonal ini, Sullivan berkontribusi banyak terhadap pemahaman kepribadian manusia. Disebutkan oleh Leston Havens (1987), “Ia membuat kontribusinya dengan berjalan menggunakan satu kak i... ia tidak pernah mencapai spontanitas, penerimaan, dan kapasitas untuk keintiman sekolah interpersonalnya berusaha untuk mencapai untuk hal- hal lainnya” (him. 184).

Biografi Harry Stack SullivanHarry Stack Sullivan lahir di sebuah kota pertanian kecil di Norwich, New York, pada tanggal 21 Februari 1892, satu-satunya anak yang berhasil bertahan hidup, dari pasangan Katolik Irlandia. Ibunya, Ella Stack Sullivan, berusia 32 tahun ketika menikah dengan Timothy Sullivan dan berusia 39 tahun ketika melahirkan Harry. Ia telah melahirkan dua anak laki- laki sebelumnya, tetapi tak satu pun yang mampu bertahan hidup di tahun pertamanya. Akibatnya, ia memanjakan dan melindungi anak tunggalnya, di mana kelangsungan hidup Harry merupakan kesempatannya terakhir untuk menjadi seorang ibu. Ayah Harry, Timothy Sullivan, adalah seorang laki-laki pemalu, tertutup, dan pendiam yang tidak pernah memiliki hubungan erat dengan anaknya hingga ketika istrinya meninggal dan Sullivan telah menjadi dokter ternama. Timothy Sullivan pernah menjadi buruh tani dan pabrik yang kemudian pindah ke pertanian keluarga istrinya di luar desa Smyrna, sekitar sepuluh mil dari Norwish, sebelum Harry genap berusia tiga tahun. Di waktu yang kurang lebih bersamaan, Ella Stack Sullivan secara misterius menghilang dari rumah dan Sullivan dirawat oleh neneknya yang keibuan, yang aksen Gaelicnya tidak mudah dipahami oleh Sullivan kecil. Setelah setahun lebih berpisah, ibu Harry—yang sepertinya dirawat di rumah sakit jiwa—kembali pulang. Akibatnya, Sullivan memiliki dua wanita yang merupakan ibu baginya. Bahkan setelah neneknya meninggal, ia tetap memiliki dua ibu karena bibinya yang masih gadis datang untuk berbagi tugas dalam merawat anak.

Walaupun kedua orang tuanya adalah keturunan Katolik Irlandia yang miskin, ibunya beranggapan bahwa keluarga Stack secara sosial lebih superior dibandingkan keluarga Sullivan. Sullivan menerima kedudukan sosial tertinggi keluarga Stack di atas keluarga Sullivan hingga ia menjadi psikiater ternama yang mengembangkan teori interpersonal yang menekankan persamaan antara manusia, bukan perbedaan. Ia lalu menyadari betapa

bodohnya anggapan ibunya.

256 | Teori Kepribadian

Sebagai murid prasekolah, Sullivan tidak memiliki teman maupun kenalan seusianya. Setelah mulai sekolah ia tetap merasa sebagai orang asing, seorang anak Katolik di lingkungan Protestan. Aksen Irlandia dan kepintarannya membuatnya tidak populer di kalangan teman- teman sekelasnya selama tahun-tahun sekolahnya di Smyrna.

Ketika Sullivan berusia 8,5 tahun, ia menjalin persahabatan dengan anak laki-laki berusia 13 tahun dari pertanian setempat. Anak ini adalah Clarence Bellinger, yang tinggal satu mil dari Harry di sekolah distrik lain, namun saat itu mulai bersekolah lanjutan atas di Smyrna. Walaupun dua anak tersebut tidak seusia, namun mereka memiliki banyak kesamaan sosial dan intelektual. Keduanya terbelakang secara sosial, namun sangat maju secara intelektual; keduanya lalu menjadi psikiater dan tidak pernah menikah. Hubungan antara Harry dan Clarence memberi efek perubahan dalam hidup Sullivan. Hal ini membangkitkan kekuatan keintiman dalam dirinya, yaitu kemampuan untuk mencintai seseorang yang lebih kurang sama seperti dirinya sendiri. Dalam teori kepribadian Sullivan yang sudah matang, ia memberi penekanan berat pada kekuatan terapeutik, hampir magis, kekuatan hubungan intim selama tahun-tahun praremaja. Keyakinan ini, seperti juga hipotesis Sullivan lainnya, tampaknya tumbuh dari pengalaman masa kecilnya sendiri.

Sullivan tertarik pada buku-buku dan ilmu, bukan pertanian. Walaupun ia seorang anak tunggal yang tumbuh di pertanian yang membutuhkan kerja keras, Harry bisa melarikan diri dari tugas-tugas rumah dengan berpura-pura “lupa” untuk mengeerjakannya. Taktik ini selalu berhasil karena ibunya yang memanjakan selalu menyelesaikan pekerjaan untuknya dan membiarkan Sullivan yang mendapat pujian.

Sebagai seorang murid yang cerdas, Sullivan lulus dari sekolah lanjutan dengan nilai tertinggi di usia enam belas tahun. Ia lalu bersekolah di Cornell University dan berniat untuk menjadi ahli fisika, walaupun ia juga tertarik pada psikiatri. Performa akademiknya di Cornell benar-benar buruk, bagaimanapun juga, ia dikeluarkan setelah setahun. Dikeluarkannya ia dari universitas ini mungkin bukan semata-mata karena kekurangan akademik. Ia mungkin korban penipuan mahasiswa-mahasiswa lebih tua dan dewasa yang memanfaatkannya untuk mengambil bahan-bahan kimia secara ilegal yang dipesan melalui pos. Pada suatu kejadian, dua tahun berikutnya, Sullivan hilang secara misterius dari tempat kejadian. Perry(1982) melaporkan bahwa ia mungkin mengidap serangan skizofrenia saat itu dan dikurung di rumah sakit jiwa. Akan tetapi, Alexander (1990) menduga bahwa Sullivan meluangkan waktunya di bawah bimbingan seorang laki-laki lebih tua yang membantunya mengatasi kebingungan seksualnya dan menguatkan minatnya akan psikiatri. Apapun jawaban untuk hilangnya Sullivan secara misterius dari tahun 1909 sampai 1911, pengalamannya tampak telah mendewasakanya secara akademik dan mungkin seksual.

Pada tahun 1911, hanya dengan studi sarjana satu tahun yang tidak sukses, Sullivan mendaftar ke Chicago College of Medicine and Surgery, di mana nilai-nilainya, walaupun biasa-biasa saja, merupakan peningkatan dari apa yang ia capai di Cornell. Ia menyelesaikan studi kedokterannya pada tahun 1915, namun tidak menerima gelarnya sampai tahun 1917. Sullivan mengatakan bahwa penundaan tersebut karena ia belum membayar penuh uang kuliahnya,, namun Perry (1982) menemukan bukti bahwa pada tahun 1915, ia belum mengumpulkan semua persyaratan akademik yang dibutuhkan. Di antara persyaratan-

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal | 257

persyaratan tersebut adalah masa magang. Bagaimana mungkin Sullivan dapat memperoleh gelar kedokteran jika ia tidak memenuhi semua persyaratan? Tidak satu pun penulis biografi Sullivan dapat memberikan jawaban memuaskan untuk pertanyaan ini. Alexander (1990) menduga bahwa Sullivan, yang telah hampir setahun menyelesaikan pekerjaan terkait dengan kedokteran, menggunakan kemampuan persuasifnya untuk meyakinkan para tokoh yang berkuasa di Chicago College of Medicine and Surgery untuk menerima pengalamannya sebagai pengganti masa magang. Kekurangan-kekurangan lain mungkin diabaikan bila Sullivan bersedia mendaftar di militer. (Amerika Serikat baru-baru itu memasuki Perang Dunia I dan membutuhkan petugas medis.)

Setelah perang, Sullivan kemudian bekerja sebagai petugas militer, pertama untuk Federal Board for Vocational Education lalu untuk Public Health Service. Akan tetapi, periode dalam hidupnya ini masih membingungkan dan tidak stabil, ia menunjukkan sedikit kesanggupan terhadap karier brilian yang ada dihadapannya (Perry, 1982).

Pada tahun 1921, tanpa pelatihan formal di bidang psikiatri, ia bekerja di St. Elizabeth Hospital di Washington, DC di mana ia berteman dekat dengan William Alanson White, salah satu neuropsikiater (psikiater syaraf) terbaik di Amerika. Di St. Elizabeth, Sullivan mendapatkan kesempatan pertamanya untuk bekerja dengan sejumlah besar pasien skizofrenia. Selama di Washington, ia memulai bergabung dengan Medical School of Maryland dan dengan Enoch Pratt Hospital di Towson, Maryland. Selama periode di Baltimore, ia melakukan studi intensif mengenai skizofrenia, yang mengantarnya pada dugaan akan pentingnya hubungan interpersonal. Dalam usahanya untuk mengerti ucapan pasien-pasien skizofrenia, Sullivan menyimpulkan bahwa penyakit mereka adalah cara mengatasi rasa cemas yang timbul dari lingkungan sosial dan interpersonal. Pengalamannya dalam praktik dokter klinis perlahan-lahan mengubah pengalaman tersebut menjadi awal teori interpersonal psikiatri.

Sullivan menghabiskan banyak waktu dan energinya di Sheppard untuk menyeleksi dan melatih petugas rumah sakit. Walaupun ia melakukan sedikit terapi sendiri, ia mengembangkan sistem di mana petugas pria nonprofesional, namun penuh simpati mampu menangani pasien skizofrenia dengan rasa hormat dan peduli. Program inovatif ini memberikannya reputasi sebagai jagoan klinis. Akan tetapi, ia tidak lagi terpikat dengan iklim politik di Sheppard ketika ia diabaikan untuk sebuah posisi sebagai kepala pusat penerimaan yang telah ia dukung. Pada Maret 1930, ia mengundurkan diri dari Sheppard.

Tak lama kemudian, di tahun yang sama, ia pindah ke kota New York dan membuka praktik pribadi, dengan harapan memperluas pemahamannya akan hubungan interpersonal dengan menyelidiki gangguan nonskizofrenia, terutama mereka dengan sifat obsesif (Perry, 1982). Namun, masa itu adalah masa sulit dan klien-klien berkecukupan yang ia harapkan tidak datang dalam jumlah yang ia butuhkan untuk menutupi pengeluarannya.

Di sisi yang lebih positif, tempat tinggalnya di New York membuatnya lebih dekat dengan beberapa psikiater dan ilmuwan sosial dengan latar belakang Eropa. Di antaranya adalah Karen Horney, Erich Fromm, dan Frieda Fromm-Reichmann yang bersama Sullivan, Clara Thompson, dan lainnya membuat kelompok Zodiac, organisasi informal yang secara reguler bertemu untuk minum-minum sambil membahas gagasan-gagasan lama dan baru

2 5 8 Teori Kepribadian

dalam psikiatri dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bidang sosial. Sullivan, yang telah bertemu Thompson sebelumnya, meyakinkannya untuk pergi ke Eropa dan mendapat pelatihan analisis dari Sandor Ferenczi, murid Freud. Sullivan belajar dari para anggota kelompok Zodiac, melalui Thompson juga Ferenczi sehingga teknik terapeutiknya secara tidak langsung dipengaruhi oleh Freud. Sullivan juga menghargai dua praktisioner, yaitu Adolf Meyer dan William Alanson White karena telah memberikan pengaruh pada praktik terapinya. Walaupun teknik terapinya dipengaruhi Freud, teori Sulivan akan psikiatri interpersonal bukan merupakan psikoanalisis maupun aliran neo-Freud.

Selama ia tinggal di New York, Sullivan juga dipengaruhi oleh beberapa ilmuwan sosial ternama dari Chicago University, yang merupakan pusat studi sosiologi di Amerika selama tahun 1920-an sampai 1930-an. Termasuk di antaranya adalah psikologis sosial, George Herbert Mead, sosiolog Robert Ezra Park, dan W. I. Thomas, antropolog Edward Sapir, serta ilmuwan politik Harold Laswell. Sullivan, Sapir, dan Laswell memiliki peran utama dalam mendirikan Yayasan William Alanson White di Washington DC dengan tujuan menyatukan psikiatri dengan ilmu-ilmu sosial lain. Sullivan mejadi presiden pertama yayasan tersebut dan editor jurnal yayasan, Psikiatri. Di bawah bimbingan Sullivan, yayasan memulai institusi pelatihan yang dikenal sebagai School of Psychiatry. Oleh karena kegiatan-kegiatan ini, Sullivan meninggalkan praktiknya di New York, yang sebetulnya juga tidak menguntungkan, dan pindah kembali ke Washington DC, di mana ia dapat tetap berhubungan dekat dengan sekolah dan jurnal.

Pada Januari 1949, Sullivan menghadiri pertemuan Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental (World Federation for Mental Health) di Amsterdam. Di perjalanan pulangnya, pada tanggal 14 Januari 1949 di kamar hotel di Paris, ia meninggal karena pendarahan otak, beberapa minggu setelah ulang tahunnya yang ke-57. Di luar kebiasaannya, ia sedang sendirian saat itu.

Di sisi pribadinya, Sullivan merasa tidak nyaman dengan dengan seksualitasnya dan memiliki perasaan ambivalen terhadap pernikahan (Perry, 1982). Sebagai orang dewasa, ia membawa pulang seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun yang mungkin adalah mantan pasiennya (Alexander, 1990). Anak muda ini—James Inscoe—tetap bersama Sullivan selama 22 tahun untuk mengurus finansialnya, mengetik naskah, dan secara umum mengurus rumah tangga. Walaupun Sullivan tidak pernah secara resmi mengadopsi Jimmie, namun ia menganggapnya anak dan bahkan secara legal mengubah namanya menjadi James. I. Sullivan.

Lebih dari B iografi Apakah Sullivan seorang homoseksual? Untuk informasi mengenai orientasi seksual Sullivan, lihat situs Web kami di

— www.mhhe.com/feist7

Sullivan juga memiliki sikap ambivalen terhadap agama. Lahir dari pasangan Katolik yang datang ke gereja sekali-kali, ia menelantarkan agama Katolik sedari awal. Lalu dalam hidupnya, teman-teman dan kenalan-kenalannya menganggapnya nonagamis atau bahkan anti-Katolik, namun yang membuat mereka terkejut adalah Sullivan telah menulis di wasiatnya agar dikubur secara Katolik. Permintaan ini dikabulkan walaupun faktanya jasad

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 259

Sullivan telah dikremasi di Paris. Abunya dikembalikan ke Amerika Serikat di mana abu tersebut ditempatkan dalam peti jenazah dan menerima penguburan Katolik secara lengkap juga dengan misa massal.

Kontribusi utama Sullivan terhadap teori interpersonal adalah pemikirannya akan tahapan perkembangan. Sebelum melihat gagasan-gagasan Sullivan akan tahapan per- kembangan, kami akan menjelaskan terminologinya yang unik.

KeteganganSeperti Freud dan Jung, Sullivan (1953b) melihat kepribadian sebagai sistem energi. Energi dapat berupa ketegangan (potensi tindakan) dan tindakan itu sendiri (energi transformasi). Energi transformasi mengubah ketegangan menjadi tingkah laku tersembunyi atau terbuka dan bertujuan memuaskan kebutuhan serta mengurangi ketegangan. Ketegangan adalah potensi tindakan yang mungkin atau tidak mungkin dialami dalam kesadaran. Oleh karena itu, tidak semua ketegangan dirasakan secara sadar. Banyak ketegangan, seperti rasa cemas, firasat, kebosanan, rasa lapar, dan hasrat seksual dirasakan, namun tidak selalu pada tingkat kesadaran. Faktanya, kemungkinan semua ketegangan yang dirasakan merupakan distorsi setidaknya dari sebagian kenyataan. Sullivan menyebutkan dua jenis ketegangan, yaitu kebutuhan dan kecemasan. Kebutuhan biasanya menghasilkan tindakan produktif, sedangkan kecemasan menghasilkan tingkah laku nonproduktif dan bersifat disintegrasi.

KebutuhanKebutuhan adalah ketegangan yang dibawa oleh ketidakseimbangan biologis antara seseorang dengan lingkungan fisiokimiawi, baik di dalam maupun luar organisme. Kebutuhan bersifat sementara—saat mereka terpuaskan, mereka kehilangan kekuatan untuk sementara, namun seiring waktu, mereka cenderung untuk muncul kembali. Walaupun sebenarnya kebutuhan memiliki komponen biologis, banyak kebutuhan yang berakar dari situasi interpersonal. Kebutuhan interpersonal yang paling mendasar adalah kelembutan (tenderness). Seorang bayi mengembangkan kebutuhan untuk menerima kelembutan dari penjaga utamanya (yang disebut Sullivan “seseorang yang keibuan”). Berbeda dengan kebutuhan lainnya, kelembutan membutuhkan tindakan paling tidak dari dua orang. Contohnya, kebutuhan bayi untuk menerima kelembutan akan diungkapkan dengan tangis, senyum, atau dengkuran, sedangkan kebutuhan ibu untuk memberi kelembutan mungkin berubah bentuk menjadi menyentuh, membelai, atau menimang. Dalam contoh ini, kebutuhan akan kelembutan

terpuaskan dengan menggunakan mulut bayi dan tangan ibu.

Kelembutan adalah kebutuhan umum karena berkaitan dengan kesejahteraan seseorang secara menyeluruh. Kebutuhan-kebutuhan umum, termasuk oksigen, makanan, dan air, berlawanan dengan kebutuhan zona khusus (zonal needs) yang timbul dari area tertentu pada tubuh. Beberapa area tubuh berfungsi dalam memenuhi kebutuhan umum maupun zona khusus. Contohnya, mulut memuaskan kebutuhan umum dengan memasukkan makanan dan oksigen, namun juga memenuhi kebutuhan zona khusus untuk kegiatan oral. Tangan

2 6 0 | Teori Kepribadian

juga dapat digunakan untuk memuaskan kebutuhan umum akan kelembutan, tetapi tangan juga dapat digunakan untuk memuaskan kebutuhan zona khusus untuk kegiatan manual. Demikian juga halnya dengan zona tubuh lainnya, seperti anus dan alat genital, dapat digunakan untuk memenuhi kedua jenis kebutuhan tersebut.

Dalam kehidupan awal, berbagai zona tubuh mulai memainkan peran signifikan dan kekal dalam hubungan interpersonal. Sementara memenuhi kebutuhan umum akan makanan, air, dan seterusnya, seorang bayi mengeluarkan energi lebih dari seharusnya, energi yang melampaui batas tersebut diubah bentuk menjadi ragam karakteristik konsisten,

yang Sullivan sebut dinamisme.

KecemasanKetegangan tipe kedua adalah kecemasan, berbeda dengan ketegangan akan kebutuhan dalam arti ia bersifat memisahkan, lebih tersebar dan samar, oleh karena itu tidak menuntut tindakan konsisten untuk menghilangkannya. Apabila seorang bayi kekurangan makanan (kebutuhan), maka rangkaian tindakan mereka jelas. Akan tetapi, bila mereka merasa cemas, maka tidak banyak yang dapat dilakukan untuk melarikan diri dari rasa cemas tersebut.

Bagaimana kecemasan muncul? Sullivan (1953b) menyatakan bahwa kecemasan ditransfer dari orang tua ke anak melalui proses empati. Kecemasan pada seseorang yang keibuan mau tidak mau menyebabkan kecemasan pada bayi. Oleh karena semua ibu memiliki sejumlah kecemasan ketika merawat bayi mereka, maka semua bayi juga merasa cemas hingga tingkat tertentu.

Seperti bayi yang tidak memiliki kapasitas untuk mengurangi kecemasan, orang tua tidak memiliki cara efektif untuk mengatasi kecemasan bayi. Setiap tanda kecemasan atau rasa tidak aman yang ditunjukkan bayi akan membuat orang tua berusaha untuk memuaskan kebutuhan mereka. Contohnya, seorang ibu mungkin akan menyusui bayinya yang menangis dan cemas karena ia salah memahami kecemasan dengan rasa lapar. Apabila si bayi enggan menerima susunya, maka sang ibu mungkin akan semakin cemas, yang akan semakin menambah kecemasan si bayi. Pada akhirnya, kecemasan bayi mencapai titik di mana kegiatan mengemut dan menelan akan mengambil alih. Maka kecemasan bekerja berlawanan dengan ketegangan akan kebutuhan dan mencegah kebutuhan terpuaskan.

Kecemasan juga memiliki efek merusak pada orang dewasa. Kecemasan adalah kekuatan pengganggu utama yang menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang sehat. Sullivan (1953b) menyamakan kecemasan parah dengan pukulan keras pada kepala. Kecemasan membuat manusia tidak mampu belajar, merusak ingatan, menyempitkan sudut pandang, dan bahkan dapat menyebabkan amnesia total. Hal yang unik dari ketegangan adalah bahwa ia mempertahankan keadaan sebagaimana saat itu, walaupun seseorang benar- benai terganggu. Ketika ketegangan menghasilkan tindakan yang secara khusus diarahkan untuk mencapai perasaan lega, kecemasan menghasilkan perilaku yang (1) mencegah manusia untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri, (2) membuat orang tetap mengejar keinginan kekanak-kanakan demi rasa aman, dan (3) secara garis besar memastikan bahwa manusia tidak akan belajar dari pengalaman mereka.

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 2 6 1

Sullivan menyatakan bahwa kecemasan dan kesendirian merupakan pengalaman yang unik dalam arti mereka benar-benar tidak dikehendaki dan tidak diinginkan. Oleh karena kecemasan menyakitkan, maka orang cenderung menghindarinya, secara turun- temurun memilih situasi euforia atau ketiadaan ketegangan. Sullivan (1954) merangkum konsep ini dengan menyatakan bahwa “keberadaan kecemasan jauh lebih buruk dari ketidakberadaannya” (him. 100).

Sullivan membedakan kecemasan dengan rasa takut dalam beberapa pendekatan yang penting. Pertama, kecemasan biasanya berakar dari situasi interpersonal yang kompleks dan hanya tampak samar dalam kesadaran; rasa takut lebih jelas dikenali dan asalnya lebih mudah diketahui. Kedua, kecemasan tidak memiliki nilai positif. Hanya ketika kecemasan berubah bentuk menjadi ketegangan (contohnya rasa marah atau takut) maka ia dapat mendorong ke arah tindakan yang menguntungkan. Ketiga, kecemasan menghambat terpuaskannya kebutuhan, sedangkan rasa takut kadang membantu manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Pertentangan terhadap pemuasan kebutuhan ini diungkapkan dalam kata-kata yang dapat dianggap sebagai definisi Sullivan akan kecemasan: “Kecemasan adalah ketegangan yang bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhan dan bertentangan dengan tindakan yang membuat mereka merasa nyaman” (Sullivan, 1953b, him. 44).

Transformasi energiKetegangan yang diubah bentuk menjadi tindakan, baik tersembunyi maupun terbuka disebut transformasi energi. Istilah yang agak aneh ini semata-mata mengacu pada tingkah laku kita yang bertujuan memuaskan kebutuhan dan mengurangi kecemasan—dua ketegangan utama. Tidak semua transformasi energi terlihat jelas sebagai tindakan terbuka; sebagian besar berbentuk emosi, pikiran atau tingkah laku tersembunyi yang dapat disembunyikan

dari orang lain.

DinamismeTransformasi energi diorganisir menjadi pola tingkah laku umum yang membangun karakter seseorang sepanjang hidup mereka. Sullivan (1953b) menyebut pola tingkah laku ini dinamisme, istilah yang artinya lebih kurang sama dengan sifat atau pola kebiasaan. Dinamisme memiliki dua kelas utama, yaitu pertama, dinamisme yang berkaitan dengan zona khusus pada tubuh termasuk mulut, anus, dan alat genital. Kedua, dinamisme yang berkaitan dengan ketegangan. Kelas kedua ini terdiri dari tiga kategori—yang disjungtif (berlawanan), yang mengasingkan, dan yang konjungtif (menghubungkan). Dinamisme disjungtif mencakup pola tingkah laku destruktif yang berhubungan dengan konsep kedengkian-, dinamisme mengasingkan mencakup pola tingkah laku (seperti berahi) yang tidak berhubungan dengan hubungan interpersonal; dan dinamisme konjungtif mencakup pola tingkah laku bermanfaat, seperti keintiman dan sistem diri.

2 6 2 Teori Kepribadian

KedengkianKedengkian adalah dinamisme disjungtif akan kejahatan dan kebencian yang ditandai oleh perasaan hidup di antara musuh-musuh (Sullivan, 1953b). Kedengkian timbul sekitar usia dua atau tiga tahun, saat tindakan anak sebelumnya menyebabkan kelembutan maternal disangkal, tidak diacuhkan, atau disambut dengan kecemasan dan rasa sakit. Ketika orang tua berusaha mengendalikan tingkah laku anak dengan rasa sakit fisik dan teguran, sebagian anak akan belajar untuk menahan ungkapan kebutuhan akan kelembutan dan untuk melindungi diri mereka sendiri dengan mengadopsi sikap dengki. Orang tua dan kelompok temannya akan semakin sulit untuk memberikan reaksi dengan kelembutan, yang akhirnya menguatkan sikap negatif anak terhadap dunia. Tindakan dengki dapat berupa sifat penakut, kenakalan, kekejaman, dan tingkah laku asosial atau antisosial lainnya. Sullivan mengungkapkan sikap dari kedengkian tersebut dengan pernyataan menarik ini: “Di suatu waktu di masa lampau segalanya indah, namun itu sebelum saya harus berhadapan dengan orang-orang” (him. 216).

M enurut Sullivan, hubungan intim yang signifikan m uncul sebelum masa pubertas dan biasanya berupa pertem anan antaranak laki-laki dan antaranak perempuan.

KeintimanKeintiman tumbuh dari kebutuhan sebelumnya akan kelembutan, namun lebih spesifik dan melibatkan hubungan interpersonal antara dua orang dengan status kurang lebih setara. Keintiman berbeda dengan minat seksual. Bahkan, keintiman berkembang sebelum

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 263

pubertas, idealnya selama praremaja yang biasanya didapati antara dua orang anak-anak, masing-masing memandang pasangannya sebagai orang dengan nilai setara. Oleh karena keintiman adalah dinamisme yang membutuhkan kemitraan yang seimbang, maka hal ini biasanya tidak didapati dalam hubungan orang tua-anak kecuali keduanya dewasa dan memandang satu sama lain sebagai orang yang sebanding.

Keintiman adalah dinamisme dengan sifat integrasi yang cenderung untuk menarik reaksi penuh cinta kasih dari orang lain, oleh karena itu mengurangi kecemasan dan kesendirian, dua pengalaman yang sangat menyakitkan. Oleh karena keintiman membantu kita mengurangi kecemasan dan kesendirian, maka keintiman adalah pengalaman berharga yang sebagian besar orang sehat inginkan (Sullivan, 1953b).

BerahiDi sisi lain, berahi adalah kecenderungan mengasingkan, tidak membutuhkan siapapun untuk memenuhinya. Berahi menampilkan dirinya sebagai tingkah laku otoerotis (autoerotic) bahkan ketika seseorang menjadi objek berahi orang lain. Berahi khususnya merupakan dinamisme yang sangat kuat selama masa remaja, di mana pada masa itu berahi biasanya menyebabkan rasa percaya diri seseorang berkurang. Usaha dalam aktivitas berahi biasanya ditolak oleh orang lain sehingga meningkatkan kecemasan dan mengurangi rasa percaya diri. Sebagai tambahan, berahi sering mengganggu hubungan intim khususnya di masa remaja karena mudah sekali disalahartikan sebagai ketertarikan seksual.

Sistem DiriDinamisme paling kompleks dan inklusif adalah sistem diri, pola tingkah laku konsisten yang mempertahankan rasa aman interpersonal manusia dengan melindunginya dari kecemasan. Seperti keintiman, sistem diri adalah dinamisme konjungtif yang timbul dari situasi interpersonal. Akan tetapi, sistem diri berkembang lebih dahulu dari keintiman, yaitu saat usia sekitar dua belas sampai delapan belas bulan. Sebagaimana anak-anak mengembangkan inteligensi dan antisipasi, mereka mampu mengenali tingkah laku mana yang berkaitan dengan peningkatan atau penurunan kecemasan. Kemampuan untuk mendeteksi peningkatan dan pengurangan sedikit kecemasan ini menghasilkan sistem diri dengan tanda peringatan sebagai bagiannya.

Akan tetapi, peringatan tersebut merupakan anugerah yang tercampur. Di satu sisi, ia bekerja sebagai sinyal, mengingatkan manusia bila kecemasan meningkat dan memberi mereka kesempatan untuk melindungi diri mereka sendiri. Di sisi lain, keinginan untuk perlindungan dari kecemasan ini membuat sistem diri tahan akan perubahan dan mencegah manusia untuk mengambil keuntungan dari pengalaman pemenuhan kecemasan. Oleh karena tugas utama sistem diri adalah melindungi manusia dari kecemasan, maka ia merupakan “penghalang utama perubahan-perubahan yang diinginkan dalam kepribadian” (Sullivan, 1953b, him. 169). Namun, Sullivan (1964) menyatakan bahwa kepribadian tidak statis dan terbuka untuk perubahan pada permulaan berbagai tahapan perkembangan.

2 6 4 Teori Kepribadian

Sebagaimana sistem diri berkembang, manusia mulai membentuk gambaran konsisten akan diri mereka. Dengan demikian, pengalaman interpersonal yang mereka rasa bertentangan dengan anggapan akan diri sendiri mengancam rasa am an mereka. Akibatnya, manusia berusaha untuk membela diri dari ketegangan interpersonal dengan cara operasi rasa aman (security operations) yang tujuannya adalah untuk mengurangi rasa tidak aman atau kecemasan yang merupakan hasil dari rasa percaya diri yang rapuh. Manusia cenderung untuk menyangkal atau mengubah pengalaman interpersonal yang bertentangan dengan anggapan mereka akan diri sendiri. Contohnya, ketika orang yang berpikir terlalu tinggi akan dirinya sendiri dikritik tidak cakap, ia memilih untuk menganggap orang yang mengkritiknya tersebut bodoh atau hanya bergurau. Sullivan (1953b) menyebut operasi rasa aman sebagai “rem tangguh dalam kemajuan pribadi manusia” (him. 374).

Dua operasi rasa aman yang penting adalah keberceraian dan ketidakacuhan selektif. Keberceraian (dissociation) atau perpisahan mencakup semua dorongan, keinginan, dan kebutuhan yang tidak dibiarkan masuk dalam kesadaran. Beberapa pengalaman kekanak- kanakan tercerai ketika tingkah laku seorang bayi tidak dihargai maupun dihukum, maka pengalaman-pengalaman tersebut semata-mata tidak menjadi bagian dari sistem diri. Pengalaman dewasa yang terlalu asing bagi tingkah laku standar juga dapat tercerai. Pengalaman-pengalaman ini tidak lantas lenyap, namun memengaruhi kepribadian pada tingkat ketidaksadaran. Gambaran tercerai menampilkan diri mereka dalam mimpi, lamunan, atau kegiatan yang tidak disengaja lainnya di luar kesadaran dan ditujukan untuk mempertahankan rasa aman interpersonal (Sullivan, 1953b).

Kendali dari kesadaran fokus, disebut ketidakacuhan selektif ( inattention selective), merupakan penolakan untuk melihat apa yang tidak ingin kita lihat. Hal ini berbeda dengan keberceraian, baik dalam derajat dan asalnya. Pengalaman yang tidak diacuhkan secara selektif lebih mudah dicapai dalam kesadaran dan lebih terbatas dalam lingkupnya. Ketidakacuhan selektif bermula setelah kita mencapai sistem diri dan dipicu oleh usaha- usaha kita untuk merintangi pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan sistem diri yang sudah ada. Contohnya, orang yang menganggap dirinya sebagai supir yang patuh pada hukum dan teliti mungkin “melupakan” Oanyak kejadian ketika mereka melampaui batas kecepatan atau saat mereka gagal berhenti saat tanda berhenti. Seperti pengalaman tercerai, persepsi ketidakacuhan selektif juga bertahan aktif walaupun ia tidak sepenuhnya dalam kesadaran. Keduanya krusial dalam menentukan elemem pengalaman yang akan diacuhkan dan mana yang akan tidak diacuhkan atau disangkal (Sullivan, 1953b).

PersonifikasiDimulai saat bayi dan berlanjut selama berbagai tahapan perkembangan, manusia memperoleh gambaran tertentu akan diri mereka dan orang lain. Gambaran-gambaran ini, disebut personifikasi, mungkin cukup akurat atau mungkin karena diwarnai oleh kebutuhan dan kecemasan manusia, personifikasi mungkin banyak diubah. Sullivan (1953b) menggambarkan tiga personifikasi dasar yang berkembang selama masa bayi—ibu yang

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 265

buruk, ibu yang baik, dan saya. Sebagai tambahan, sebagian anak memperoleh personifikasi eidetik (teman khayalan) selama masa kanak-kanak.

Ibu yang Buruk, Ibu yang BaikPengertian Sullivan akan ibu yang buruk dan ibu yang baik sama dengan konsep Klein akan payudara baik dan payudara buruk. Personifikasi ibu yang buruk, sebenarnya tumbuh dari pengalaman bayi terhadap puting-buruk, yaitu puting yang tidak memuaskan kebutuhan akan rasa lapar. Tidak penting apakah puting tersebut adalah milik ibu atau botol yang dipegang oleh ibu, ayah, perawat, atau orang lain. Personifikasi ibu yang buruk hampir tidak bisa dibedakan karena ia mencakup semua orang yang terlibat dalam situasi perawatan. Personifikasi ini bukan gambaran ibu yang “nyata”, namun hanya representasi samar dari bayi akan keadaan disusui yang tidak selayaknya.

Setelah personifikasi ibu yang buruk terbentuk, seorang bayi akan memperoleh dan membentuk personifikasi ibu yang baik berdasarkan kelembutan dan tingkah laku kooperatif dari seseorang yang keibuan. Kedua personikasi tersebut, salah satunya didasari oleh persepsi bayi akan ibu yang jahat dan cemas, dan lainnya didasari oleh ibu yang tenang, lembut, berpadu membentuk personifikasi kompleks yang terdiri dari kualitas- kualitas bertentangan yang diproyeksikan pada orang yang sama. Akan tetapi, hingga bayi mengembangkan bahasa, kedua gambaran ibu yang bertentangan tersebut, hidup bersama dengan mudah (Sullivan, 1953b).

Personifikasi SayaSelama masa pertengahan bayi, seorang anak memperoleh. tiga personifikasi saya (saya yang buruk, saya yang baik, bukan saya) yang membentuk balok pembangun personifikasi diri. Masing-masing berhubungan dengan berkembanganya konsep akan saya dan tubuh saya. Personifikasi saya yang buruk tampil dari pengalaman-pengalaman hukuman dan ketidaksetujuan yang bayi terima dari mereka yang keibuan. Kecemasan yang dihasilkan cukup kuat untuk mengajarkan bayi bahwa mereka buruk, namun tidak cukup parah untuk menyebabkan pengalaman tersebut tercerai atau tidak diacuhkan secara selektif. Sebagaimana semua personifikasi, saya yang buruk dibentuk di luar situasi interpersonal, yaitu bayi bisa belajar bahwa diri mereka buruk hanya dari orang lain, biasanya hanya ibu yang buruk.

Personifikasi saya yang baik dihasilkan dari pengalaman-pengalaman bayi dengan penghargaan dan persetujuan. Bayi merasa baik akan diri mereka sendiri ketika mereka menerima ungkapan kelembutan ibu. Pengalaman demikian mengurangi kecemasan dan menumbuhkan personifikasi saya yang baik. Akan tetapi, kecemasan berat mendadak dapat menyebabkan bayi membentuk personifikasi bukan saya dan entah pengalaman tercerai atau pengalaman tidak diacuhkan secara selektif akan dikaitkan dengan kecemasan itu. Seorang bayi menyangkal pengalaman-pengalaman ini dari gambaran saya agar mereka menjadi bagian dari personifikasi bukan saya. Personifikasi bukan saya yang samar-samar ini juga ditemukan saat dewasa dan diungkapkan dalam mimpi, episode skizofrenia, dan reaksi tercerai lainnya. Sullivan percaya bahwaa pengalaman-pengalaman mengerikan ini selalu

Teori Kepribadian

didahului dengan peringatan. Ketika seorang dewasa diserang kecemasan berat mendadak, mereka terlampaui oleh emosi ajaib. Walaupun pengalaman ini melumpuhkan manusia dalam hubungan interpersonal mereka, ia berfungsi sebagai sinyal berarti akan datangnya reaksi skizofrenia. Emosi ajaib mungkin dialami dalam mimpi atau berbentuk kekaguman, horor, kebencian, atau sensasi “dingin merayap” (Sullivan, 1953b).

Personifikasi EidetikTidak semua hubungan interpersonal terjadi dengan orang nyata. Sebagian adalah personifikasi eidetik, yaitu sifat tidak nyata atau teman khayalan yang banyak diciptakan oleh anak dengan tujuan melindungi rasa percaya diri mereka. Sullivan (1964) percaya bahwa teman khayalan mungkin sama pentingnya dalam perkembangan anak sebagaimana teman nyata.

Personifikasi eidetik, bagaimanapun, tidak terbatas hanya pada anak-anak. Sebagian besar orang dewasa melihat sifat fiktif dalam diri orang lain. Personifikasi eidetik dapat menciptakan konflik dalam hubungan interpersonal ketika manusia memproyeksikan sifat khayalan yang merupakan sisa dari hubungan terdahulu. Personifikasi ini juga mengganggu komunikasi dan mencegah manusia untuk berfungsi pada tingkat kognisi yang sama.

Tingkat KognisiSullivan membagi kognisi menjadi tiga tingkat atau tiga gaya pengalaman, yaitu prototaksis, parataksis, dan sintaksis. Tingkat kognisi mengacu pada cara merasa, membayangkan, dan memahami. Pengalaman pada tingkat prototaksis mustahil untuk dikomunikasikan; pengalaman parataksis merupakan pengalaman pribadi, pralogis, dan dikomunikasikan hanya dalam bentuk yang sudah diubah; dan kognisi sintaksis merupakan komunikasi interpersonal bermakna.

Tingkat PrototaksisPengalaman paling awal dan primitif seorang bayi terjadi pada tingkat prototaksis. Oleh karena pengalaman-pengalaman ini tidak dapat dikomunikasikan dengan orang lain, maka mereka sulit untuk digambarkan atau dijabarkan. Satu cara untuk memahaminya adalah dengan membayangkan pengalaman subjektif paling awal seorang bayi yang baru lahir. Pengalaman-pengalaman ini, dengan cara tertentu, pasti berkaitan dengan zona yang berbeda-beda pada tubuh. Bayi yang baru lahir merasa lapar dan sakit, dan pengalaman prototaksis tampil dalam tindakan yang dapat diamati, contohnya, mengisap atau menangis. Si bayi tidak tahu alasan dari tindakan tersebut dan tidak melihat hubungan antara tindakan tersebut dan terpuaskannya rasa lapar. Sebagai pengalaman yang tidak dikenali, kejadian prototaksis di luar ingatan sadar.

Pada orang dewasa, pengalaman prototaksis berbentuk sensasi-sensasi sementara, bayangan, perasaan, suasana hati, dan kesan. Gambaran-gambaran mimpi primitif dan

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 267

kehidupan dalam keadaan bangun dirasakan dengan lemah dan sepenuhnya tidak sadar. Walaupun manusia tidak mampu untuk mengomunikasikan gambaran-gambaran ini pada orang lain, mereka terkadang bisa memberi tahu orang lain bahwa mereka baru saja merasakan sensasi aneh, yang tidak bisa mereka jelaskan dengan kata-kata.

Tingkat ParataksisPengalaman parataksis adalah pengalaman pralogis dan biasanya timbul ketika seseorang berasumsi bahwa dua kejadian yang terjadi bersamaan memiliki hubungan sebab-akibat. Kognisi parataksis lebih mudah dikenali daripada pengalaman prototaksis, namun maknanya tetap pribadi. Oleh karena itu, pengalaman ini dapat dikomunikasikan dengan orang lain dalam bentuk yang telah diubah.

Contoh pemikiran parataksis adalah ketika seorang anak dikondisikan untuk mengatakan “tolong” untuk mendapatkan permen. Bila “permen” dan “tolong” muncul bersamaan beberapa kali, maka seorang anak akhirnya mencapai kesimpulan tidak logis bahwa permohonannya mendatangkan permen. Kesimpulan ini adalah distorsi parataksis atau keyakinan tak logis akan adanya hubungan sebab-akibat antara dua kejadian dalam waktu dekat. Bagimanapun, berkata “tolong”, tidak hanya dengan itu, menyebabkan munculnya permen. Orang yang memberikan harus hadir untuk mendengar kata tersebut dan mampu serta mau memenuhi permintaannya. Ketika tidak ada orang seperti itu, seorang anak akan meminta Tuhan atau orang-orang khayalan untuk memenuhi permintaannya. Sebagian tingkah laku dewasa datang dari permikiran parataksis yang sama.

Tingkat SintaksisPengalaman yang sudah tervalidasi dalam mufakat dan dapat dikomunikasikan secara simbolis terjadi pada level sintaksis. Pengalaman tervalidasi dalam mufakat adalah pengalaman yang maknanya disetujui dua orang atau lebih. Kata-kata, misalnya, tervalidasi dalam mufakat karena orang-orang lebih kurang setuju dengan maknanya. Simbol yang paling sering digunakan oleh seseorang untuk berkomunikasi satu sama lain adalah bahasa, termasuk kata-kata dan gerakan isyarat.

Sullivan berhipotesis bahwa kognisi sintaksis pertama kali muncul ketika suara atau gerakan isyarat mulai memiliki makna yang sama bagi orang tua dan anak. Tingkat kognisi sintaksis menjadi lebih umum ketika anak mulai mengembangkan bahasa formal, namun ia tidak pernah benar-benar menggantikan kognisi prototaksis dan parataksis. Pengalaman dewasa terjadi di ketiga tingkat.

Sebagai rangkuman, memperkenalkan dua jenis pengalaman—ketegangan dan transformasi energi. Ketegangan atau potensi tindakan, mencakup kebutuhan dan kecemasan. Sementara kebutuhan bersifat berguna dan konjungtif bila dipenuhi, kecemasan selalu bersifat disjungtif, merintangi pemuasan kebutuhan dan mengganggu hubungan interpersonal. Transformasi energi secara harafiah melibatkan transformasi energi potensial menjadi energi aktual (tingkah laku) dengan tujuan memuaskan kebutuhan atau mengurangi kecemasan. Sebagian tingkah laku ini membentuk pola konsisten tingkah laku yang disebut

2 6 8 Teori Kepribadian

dinamisme. Sullivan juga memperkenalkan tiga tingkat kognisi—prototaksis, parataksis, dan sintaksis. Tabel 8.1 merangkum konsep kepribadian Sullivan.

TABEL 8.1

Rangkuman Teori Kepribadian Sullivan

I. Ketegangan (potensi tindakan)A. Kebutuhan (konjungtif; membantu integrasi kepribadian)

1. Kebutuhan umum (memfasilitasi keseluruhan kesejahteraan seseorang)a. Interpersonal (kelembutan, keintiman, dan cinta)b. Fisiologis (makanan, oksigen, air, dan seterusnya)

2. Kebutuhan zona khusus (juga dapat memuaskan kebutuhan umum)a. Oralb. Genitalc. Manual

B. Kecemasan (disjungtif; berhubungan dengan pemuasan kebutuhan)

II. Transformasi Energi (tindakan terbuka atau tersembunyi yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan atau mengurangi kecemasan. Sebagian transformasi energi menjadi pola perilaku yang cukup konsisten disebut dinamisme)

III. Dinamisme (sifat atau pola perilaku)A. Kedengkian (perasaan hidup di negeri musuh)B. Keintiman (pengalaman terintregasi ditandai dengan hubungan pribadi yang erat dengan orang

lain yang memiliki status kurang lebih setara)C. Berahi (dinamisme terasingkan ditandai dengan minat seksual impersonal pada orang lain)

IV. Tingkat Kognisi (cara merasa, membayangkan, dan memahami)A. Prototaksis (pengalaman yang tak dikenali dan bersifat sepenuhnya pribadi)B. Parataksis (pengalaman pralogis yang dikomunikasikan dengan orang lain dalam bentuk yang

telah diubah)C. Sintaksis (pengalaman tervalidasi dalam mufakat yang dapat dikomunikasikan dengan orang lain

secara akurat)

Tahapan PerkembanganSullivan (1953b) menyatakan tujuh masa atau tahapan perkembangan, yang masing- masing krusial bagi pembentukan kepribadiai^ manusia. Tali hubungan interpersonal terulur sepanjang tahapan-tahapan itu; orang lain sangat dibutuhkan untuk perkembangan seseorang dari masa bayi hingga dewasa matang.

Perubahan kepribadian dapat terjadi kapan pun, namun cenderung terjadi selama masa transisi dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Sebenarnya, periode permulaan ini lebih krusial daripada tahapan itu sendiri. Pengalaman tercerai sebelumnya atau pengalaman tidak diacuhkan secara selektif dapat memasuki sistem diri selama masa transisi. Sullivan berhipotesis bahwa, “sebagaimana satu pengalaman melalui salah satu ambang tahap perkembangan yang kurang lebih dapat dipastikan ini, semua yang telah hilang sebelumnya secara masuk akal menjadi terbuka bagi pengaruh” (him. 227). Tujuh masa atau tahapan perkembangan yang dikemukakan Sullivan adalah masa bayi, kanak-kanak, juvenil, praremaja, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa.

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 269

Masa BayiMasa bayi dimulai saat lahir dan berlanjut hingga anak mengembangkan kemampuan bicara yang fasih atau sintaksis, biasanya pada usia 18 sampai 24 bulan. Sullivan percaya bahwa seorang bayi menjadi manusia melalui kelembutan seseorang yang keibuan. Pemuasan kebutuhan tiap manusia pada awalnya menuntut kerja sama dari orang lain. Bayi tidak akan bertahan hidup tanpa seseorang yang keibuan untuk menyediakan makanan, naungan, suhu yang cukup, kontak fisik, dan membersihkan kotorannya.

Hubungan empati antara ibu dan anak pasti menyebabkan perkembangan kecemasan dalam diri bayi. Sebagai manusia, ibu memasuki hubungan dengan tingkat kecemasan yang sebelumnya ia pelajari. Kecemasannya mungkin timbul dari salah satu pengalamannya yang beragam, namun kecemasan pertama bayi selalu dihubungkan dengan situasi perawatan dan zona oral. Tidak seperti pada ibu, tingkah laku yang dapat dilakukan bayi tidak mampu mengatasi kecemasan. Jadi, kapanpun bayi merasa cemas (kondisi yang dihasilkan dari apa yang dipancarkan ibu mereka), mereka akan mencoba cara apapun untuk mengurangi kecemasan. Usaha ini biasanya mencakup menolak puting, namun tidak dapat mengurangi kecemasan atau pun memuaskan kebutuhan akan makanan. Penolakan bayi terhadap puting, tentunya, bukan penyebab kecemasan awal sang ibu, namun sekarang menambah kecemasan tersebut. Pada akhirnya, bayi akan membedakan antara puting yang baik dan puting yang buruk: puting yang baik diasosiasikan dengan proses menyusui yang cukup membahagiakan; puting yang buruk diasosiasikan dengan kecemasan abadi (Sullivan, 1953b).

Seorang bayi mengungkapkan kecemasan dan rasa lapar mereka dengan menangis. Seseorang yang keibuan mungkin salah memahami kecemasan dengan rasa lapar dan memasukkan puting pada bayi yang cemas (namun tidak lapar). Situasi berlawanan mungkin terjadi ketika seorang ibu, dengan alasan apapun, gagal untuk memuaskan kebutuhan bayi. Sang bayi lalu akan mengalami rasa marah, yang akan meningkatkan kecemasan ibu dan mengacaukan kemampuan mereka untuk bekerja sama dengan bayinya. Dengan ketegangan yang memuncak, sang bayi kehilangan kemampuan untuk menerima kepuasan, namun kebutuhan akan makanan tentunya terus meningkat. Akhirnya, sebagaimana ketegangan mendekati teror, bayi mengalami kesulitan bernapas. Sang bayi bahkan mungkin berhenti bernapas dan menjadi kebiruan, namun perlindungan dalam diri akan apatis dan pelepasan kelelahan melindungi bayi dari kematian. Apatis dan pelepasan kelelahan memungkinkan bayi untuk tidur walaupun dalam keadaan lapar (Sullivan, 1953b).

Selama masa menyusui, bayi tidak hanya menerima makanan, namun juga memuaskan kebutuhan akan kelembutan. Kelembutan yang diterima bayi pada masa ini menuntut kerja sama seseorang yang keibuan yang memperkenalkan bayi pada berbagai strategi yang dibutuhkan oleh situasi interpersonal. Akan tetapi, hubungan ibu dan anak seperti koin dua sisi. Bayi mengembangkan personifikasi ganda akan ibu, melihat mereka sebagai yang baik dan buruk; sang ibu dianggap baik ketika memenuhi kebutuhan dan buruk ketika

memancing kecemasan.

Pada sekitar pertengahan masa bayi, bayi mulai belajar berkomunikasi melalui bahasa. Pada awalnya, bahasa mereka tidak tervalidasi dalam mufakat dan terjadi pada level pribadi dan parataksis. Masa bayi ini ditandai dengan bahasa autistik, yaitu bahasa pribadi yang

2 7 0 Teori Kepribadian

sedikit atau tidak masuk akal sama sekali bagi orang lain. Komunikasi awal terjadi dalam bentuk ungkapan wajah dan membunyikan berbagai fonem. Keduanya dipelajari dengan menirukan, hingga akhirnya muncul gerakan isyarat dan suara ucapan yang memiliki makna sama, baik bagi bayi maupun bagi orang lain. Komunikasi ini menandai awal bahasa sintaksis dan akhir dari masa bayi.

Masa Kanak-kanakMasa kanak-kanak dimulai dengan munculnya bahasa sintaksis dan berlanjut sampai timbulnya kebutuhan akan teman dengan status setara. Usia kanak-kanak, beragam dari kultur yang satu dengan kultur yang lain dan dari individu yang satu dengan individu lain, namun dalam masyarakat Barat, biasanya merupakan periode dari usia sekitar 18-24 bulan sampai sekitar 5 atau 6 tahun.

Selama tahapan ini, sang ibu tetap menjadi orang lain yang paling signifikan, namun perannya berbeda dengan ketika masa bayi. Personifikasi ganda akan ibu sekarang melebur menjadi satu dan persepsi anak akan ibu menjadi lebih kongruen dengan ibu “nyata”. Walaupun demikian, personifikasi ibu yang baik dan ibu yang buruk biasanya ditahan di tingkat parataksis. Selain memadukan kedua personifikasi ibu, anak membedakan berbagai orang yang sebelumnya membentuk konsep seseorang yang keibuan, memisahkan ibu dan ayah dan melihat masing-masing mereka memiliki peran yang berbeda.

Pada sekitar waktu yang sama, anak-anak meleburkan personifikasi saya ke dalam dinamisme diri. Ketika mereka telah mencapai bahasa sintaksis, mereka tidak bisa lagi berhadapan secara sadar dengan saya yang buruk dan saya yang baik secara bersamaan. Sekarang mereka memberi label tingkah laku sebagai baik atau buruk dengan menirukan orang tua mereka. Akan tetapi, label ini berbeda dengan personifikasi lama pada masa bayi karena label ini dilambangkan pada tingkat sintaksis dan berasal dari tingkah laku anak, bukan penurunan atau peningkatan kecemasan mereka. Selain itu, baik dan buruk sekarang menyiratkan nilai sosial serta moral dan tidak lagi mengacu pada ketidakhadiran dan kehadiran ketegangan menyakitkan yang disebut kecemasan.

Selama masa kanak-kanak, emosi menjadi berbalasan; seorang anak dapat memberikan kelembutan sebagaimana mereka men'erimanya. Hubungan antara ibu dan anak semakin pribadi dan tidak lagi hanya berlangsung satu sisi. Bukannya melihat ibu sebagai orang yang baik atau buruk berdasarkan pemuasannya akan kebutuhan rasa lapar, anak mengevaluasi ibu secara sintaksis berdasarkan apakah ia menunjukkan perasaan lembut yang berbalasan, mengembangkan hubungan berdasarkan pemuasan kebutuhan timbal balik, atau menunjukkan sikap menolak.

Selain orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah sering memiliki hubungan signifikan lainnya—teman khayalan. Teman khayalan ini memungkinkan anak untuk memiliki hubungan yang aman dan kokoh yang hanya menghasilkan sedikit kecemasan. Orang tua kadang mengamati anak usia prasekolah mereka berbicara dengan teman khayalan mereka, menyebut namanya, dan bahkan mungkin memaksa untuk tempat tambahan di meja, menyediakan ruang di mobil, atau di tempat tidur untuk teman mereka. Banyak orang dewasa juga dapat mengingat kembali pengalaman masa kanak-kanak mereka

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 271

dengan teman khayalan. Sullivan menyatakan bahwa memiliki teman khayalan bukanlah tanda ketidakstabilan atau patologi, namun kejadian positif yang membantu anak agar siap menghadapi keintiman dengan teman nyata selama tahapan praremaja. Teman-teman khayalan ini menawarkan kesempatan bagi anak untuk berinteraksi dengan “orang” lain yang aman dan tidak akan meningkatkan tingkat kecemasan mereka. Hubungan yang nyaman dan tidak mengancam dengan teman khayalan ini memungkinkan anak jadi lebih mandiri dari orang tua dan untuk berteman di tahun-tahun selanjutnya.

Sullivan (1953b) mengacu pada masa kanak-kanak sebagai periode akulturasi yang pesat. Selain memperoleh bahasa, anak-anak belajar pola budaya kebersihan, toilet training, kebiasaan makan, dan harapan peran gender. Mereka juga mempelajari dua proses penting lainnya, yaitu dramatisasi dan keterpakuan. Dramatisasi adalah usaha untuk bertindak atau bersuara seperti figur otoriter yang signifikan, khususnya ibu dan ayah. Keterpakuan adalah strategi untuk menghindari kecemasan dan situasi yang dapat menimbulkan ketakutan dengan tetap terpaku pada kegiatan yang sebelumnya telah terbukti berguna atau berharga.

Sikap kedengkian akan mencapai puncak selama tahun-tahun prasekolah, dan hal ini memberikan anak-anak perasaan kuat akan hidup di tempat musuh atau lawan. Di saat yang bersamaan, anak-anak belajar bahwa masyarakat telah menempatkan batasan-batasan tertentu dalam kebebasan mereka. Dengan batasan-batasan dan dari pengalaman yang disetujui dan tidak disetujui, anak-anak mengembangkan dinanisme diri, yang membantu mereka mengatasi kecemasan dan menstabilkan kepribadian mereka. Sebenarnya, sistem diri memperkenalkan begitu banyak stabilitas yang membuat perubahan di masa depan begitu sulit.

Masa JuvenilMasa juvenil dimulai dengan adanya kebutuhan akan kelompok teman atau teman bermain dengan status setara, dan diakhiri saat seseorang menemukan satu teman untuk memuaskan kebutuhan akan keintiman. Di Amerika Serikat, tahapan juvenil secara paralel kurang lebih merupakan tiga tahun pertama sekolah, awal usia 3 atau 6 tahun dan berakhir sekitar usia 8,5 tahun. (Hal yang menarik bahwa Sullivan begitu spesifik dengan usia di mana periode berakhir dan tahapan praremaja dimulai. Ingat bahwa Sullivan berusia 8,5 tahun ketika ia mulai memiliki hubungan intim dengan anak laki-laki berusia 13 tahun di pertanian setempat.)

Selama tahapan juvenil, Sullivan percaya, bahwa anak seharusnya belajar untuk bersaing, berkompromi, dan bekerja sama. Tingkat persaingan yang ditemukan antara anak-anak usia ini beragam sesuai kulturnya, namun Sullivan percaya bahwa orang-orang di Amerika Serikat pada umumnya terlalu menekankan persaingan. Banyak anak percaya bahwa mereka harus kompetitif untuk menjadi sukses. Kompromi juga dapat berlebihan. Seorang anak berusia tujuh tahun yang terus-menerus menyerah pada orang lain dirugikan dalam proses sosialisasi, sifat mudah mengalah ini mungkin berlanjut dan membentuk karakter orang dalam hidupnya nanti. Kerja sama mencakup semua proses yang dibutuhkan untuk bergaul dengan orang lain. Anak usia juvenil harus belajar bekerja sama dengan orang lain di dunia nyata akan hubungan interpersonal. Kerja sama adalah langkah penting untuk hidup bermasyarakat dan merupakan tugas terpenting yang dihadapi anak pada masa perkembangan ini.

272 | Teori Kepribadian

Selama masa juvenil, anak-anak berhubungan dertgan anak-anak lain yang dianggap setara. Hubungan satu-satu jarang ditemukan, namun bila ada, biasanya cenderung dikarenakan kenyamanan dan bukannya keintiman tulus. Anak laki-laki dan perempuan main dengan satu sama lain tanpa terlalu menganggap jenis kelamin teman mainnya. Walaupun hubungan pasangan permanen tetap ada di masa depan, anak-anak usia ini mulai membedakan diri di antara mereka sendiri dan membedakan orang dewasa. Mereka melihat ada guru yang lebih baik dari yang lainnya, salah satu orang tua lebih memanjakan. Dunia nyata mulai terfokus, memungkinkan mereka untuk semakin beroperasi pada level sintaksis.

Selama masa juvenil, anak-anak harus belajar bersaing, bekerja sama, dan berkompromi.

Di akhir tahapan juvenil, seorang anak seharusnya sudah mengembangkan orientasi terhadap hidup yang memudahkannya untuk secara konsisten mengatasi kecemasan, memuaskan kebutuhan kelembutan dan zona khusus, serta merancang tujuan berdasarkan ingatan dan tinjauan masa depan. Orientasi terhadap hidup ini menyiapkan seseorang untuk hubungan interpersonal lebih dalam di masa yang akan datang (Sullivan, 1953b).

Masa PraremajaMasa praremaja, yang dimulai saat usia 8,5 tahun dan berakhir pada masa remaja adalah waktu untuk keintiman dengan orang tertentu, biasanya seseorang dengan jenis kelamin yang sama. Semua tahapan sebelumnya adalah egosentris (terpusat pada diri sendiri), dengan pertemanan yang didasari oleh minat diri. Seorang praremaja, untuk pertama kali, memiliki minat tulus terhadap orang lain. Sullivan (1953a) menyebut proses menjadi makhuk sosial ini sebagai “keajaiban praremaja” (him. 41), mungkin hal ini merupakan acuan pada transformasi kepribadian yang ia alami selama tahapan praremajanya sendiri.

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 273

Karakteristik luar biasa dari praremaja adalah permulaan dari kemampuan untuk mencintai. Sebelumnya, semua hubungan interpersonal didasari oleh pemuasan kebutuhan, namun selama praremaja, keintiman dan cinta menjadi intisari dari pertemanan. Keintiman mencakup hubungan di mana di dalamnya keduanya bersama-sama memvalidasi nilai keberhargaan temannya. Cinta diperoleh “ketika kepuasan atau rasa aman seseorang menjadi sama signifikannya bagi orang lain sebagaimana kepuasan dan rasa aman itu sendiri” (Sullivan, 1953a, him. 42-43).

Hubungan intim praremaja biasanya mencakup seorang lain dengan jenis kelamin yang sama serta usia dan status sosial yang lebih kurang sama. Kesukaan terhadap guru atau bintang film bukanlah hubungan interpersonal karena hubungan ini tidak tervalidasi bersama-sama. Hubungan signifikan dalam usia ini biasanya pertemanan laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Bagi praremaja, disukai sekelompok teman lebih penting daripada disukai oleh guru atau orang tua. Teman lebih mampu mengungkapkan pendapat dan emosi dengan bebas pada satu sama lain tanpa rasa takut dihina atau dipermalukan. Pertukaran bebas akan pikiran dan perasaan pribadi ini mengawali dunia keintiman pada praremaja. Tiap teman menjadi manusia secara lebih utuh, memperoleh kepribadian yang lebih berkembang, dan mengembangkan minat yang lebih luas dalam kemanusiaan.

Sullivan percaya bahwa praremaja adalah masa paling riang dan tanpa masalah dalam hidup. Orang tua tetap signifikan, walaupun mereka telah ditimbang ulang dalam sorotan yang lebih realistis. praremaja dapat mengalami cinta yang tidak egois dan belum dipusingkan oleh berahi. Kerja sama yang mereka peroleh selama masa juvenil berkembang menjadi kolaborasi dan kemampuan untuk bekerja dengan satu sama lain, bukan untuk reputasi diri, namun untuk kesejahteraan temannya yang lain.

Pengalaman selama praremaja penting untuk perkembangan kepribadian masa depan. Apabila anak-anak tidak belajar mengenai keintiman di masa ini, maka mereka akan cenderung untuk tetap kerdil dalam pertumbuhan kepribadian nantinya. Akan tetapi, pengaruh negatif sebelumnya dapat diperlunak dengan efek positif hubungan intim. Bahkan sikap dengki dapat dibuat berbalik dan masalah-masalah juvenil lain, seperti kesendirian dan keterpusatan diri, dapat dihilangkan dengan pencapaian keintiman. Dengan kata lain, kesalahan-kesalahan yang dibuat selama tahapan-tahapan sebelumnya dapat diatasi selama masa praremaja, namun kesalahan selama masa praremaja akan sulit untuk diatasi di tahapan-tahapan selanjutnya. Periode praremaja yang cukup singkat dan tidak rumit ini dapat dihancurkan oleh munculnya pubertas.

Masa Remaja AwalMasa remaja awal diawali pubertas dan diakhiri dengan kebutuhan akan cinta seksual terhadap seseorang. Masa ini ditandai oleh ledakan ketertarikan genital dan datangnya hubungan yang bersifat berahi. Di Amerika Serikat, remaja awal secara umum paralel dengan tahun-tahun sekolah menengah. Namun, seperti sebagian besar tahapan-tahapan lainnya, Sullivan tidak menekankan pada usia kronologis.

Kebutuhan akan keintiman yang dicapai selama tahapan sebelumnya berlanjut selama remaja awal, namun kali ini disertai kebutuhan paralel, namun terpisah—berahi. Selain itu,

2 7 4 | Teori Kepribadian

rasa aman atau kebutuhan untuk bebas dari kecemasan, tetap aktif selama remaja awal. Oleh karena itu, keintiman, berahi, dan rasa aman sering berlawanan satu sama lain, menimbulkan stres dan konflik pada remaja muda dalam setidaknya tiga cara. Pertama, berahi menganggu operasi rasa aman karena kegiatan genital di budaya Amerika sering kali tertanam dengan kecemasan, rasa bersalah, dan penghinaan. Kedua, keintiman juga bisa mengamcam rasa aman, seperti ketika seorang remaja muda berusaha berteman intim dengan remaja yang jenis kelaminnya berbeda. Usaha-usaha ini dipenuhi dengan keraguan diri, ketidakpastian, dan penghinaan dari orang lain, yang mungkin menyebabkan hilangnya rasa percaya diri dan peningkatan dalam kecemasan. Ketiga, keintiman dan berahi sering kali terlibat konflik selama masa remaja awal. Walaupun pertemanan intim dengan kelompok teman dengan status setara tetap penting, ketegangan genital yang kuat tetap mencari jalan keluar tanpa memikirkan kebutuhan keintiman. Oleh karena itu, remaja muda mungkin mempertahankan pertemanan intim mereka dari praremaja, sementara merasakan berahi terhadap orang yang tidak mereka sukai ataupun kenali.

Oleh karena dinamisme berahi ini biologis, maka ia meluap saat pubertas terlepas dari kesiapan interpersonal individu untuk dinamisme ini. Seorang anak laki-laki tanpa pengalaman akan kentiman sebelumnya mungkin melihat perempuan sebagai objek seksual, tanpa memiliki minat apapun terhadap mereka. Seorang remaja perempuan awal mungkin menggoda anak laki-laki secara seksual tanpa kemaampuan untuk berhubungan dengan mereka pada tingkat intim.

Sullivan (1953b) percaya bahwa remaja awal adalah titik balik dalam perkembangan kepribadian. Seseorang dapat keluar dari taiiapan ini atas perintah keintiman dan dinamisme berahi atau menghadapi kesulitan kepribadian serius selama tahapan-tahapan selanjutnya. Walaupun penyesuaian seksual penting untuk perkembangan kepribadian, Sullivan berpendapat bahwa pokok permasalahan terletak pada pergaulan dengan orang lain.

Pencarian keintim an remaja awal dapat meningkatkan kecemasan dan ancaman terhadap rasa aman.

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 275

Masa Remaja AkhirMasa remaja akhir mulai ketika orang muda mampu merasakan keintiman dan terhadap orang yang sama dan berakhir dengan masa dewasa ketika mereka mencapai hubungan cinta yang abadi. Remaja akhir mencapai periode penemuan diri ketika remaja memutuskan pilihan mereka dalam tingkah laku genital, biasanya di tahun-tahun sekolah lanjutan atas atau sekitar usia 15-17 atau 18 tahun.

keberceraian, dan gejala neurotik. Mereka menghadapi masalah serius dalam menjembatani jurang antara harapan masyarakat dan ketidakmampuan mereka untuk membentuk hubungan intim dengan lawan jenis. Memercayai bahwa cinta adalah kondisi universal bagi anak muda, mereka seringkali merasa tertekan untuk “jatuh cinta”. Akan tetapi, hanya orang dewasa yang memiliki kemampuan untuk mencintai; yang lainnya hanya melewati gelombang “dalam cinta” dengan tujuan mempertahankan rasa aman (Sullivan, 1953b). Selama masa remaja akhir, anak muda merasakan

berahi dan keintiman terhadap orang yang sama.

Masa DewasaKeberhasilan melewati masa remaja akhir, akan mencapai puncaknya di masa dewasa, yaitu periode ketika manusia dapat mencapai hubungan cinta dengan setidaknya satu orang lain

Ciri khas dari remaja akhir adalah peleburan keintiman dan berahi. Usaha-usaha yang sulit akan eksplorasi diri pada saat remaja awal berkembang, menjadi pola tetap akan aktivitas seksual di mana orang yang dicintai juga menjadi objek dari ketertarikan berahi. Lawan jenis tidak lagi semata-mata diinginkan sebagai objek seksual, namun sebagai seseorang yang mampu untuk dicintai tanpa pamrih. Berbeda dengan tahapan sebelumnya yang diiringi perubahan biologis, remaja awal sepenuhnya ditentukan oleh hubungan interpersonal.

Remaja akhir yang sukses mencakup tumbuhnya gaya sintaksis. Di perguruan tinggi atau tempat bekerja, remaja akhir mulai bertukar pikiran dengan orang lain dan mendapatkan gagasan atau keyakinan mereka divalidasi atau disangkal. Mereka belajar dari yang lain bagaimana hidup dalam dunia dewasa, namun perjalanan yang sukses di tahapan-tahapan sebelumnya memfasilitasi penyesuaian ini. Apabila masa perkembangan sebelumnya tidak sukses, maka mereka tiba di remaja akhir tanpa hubungan interpersonal intim, pola tak konsisten akan aktivitas seksual, dan kebutuhan besar untuk mempertahankan operasi rasa aman. Mereka sangat bergantung pada gaya parasintaksis untuk menghindarai kecemasan dan berjuang untuk memepertahankan rasa percaya diri melalui ketidakacuhan selektif,

Teori Kepribadian

yang signifikan. Sullivan (1953b) menulis mengenai hubungan cinta ini, dan menyatakan bahwa, “keintiman yang berkembang pesat dengan orang lain ini bukan urusan utama dalam hidup, namun mungkin merupakan sumber pemuasan utama dalam hidup” (him. 34).

TABEL 8.2

Rangkuman Tahapan Perkembangan Sullivan

Tahapan Usia(tahun)

Orang Lain yang Signifikan

ProsesInterpersonal

PembelajaranPenting

Masa bayi 0-2 Seseorang yang keibuan

Kelembutan Ibu yang baik/ ibu yang buruk; saya yang baik/ saya yang buruk

Masa kanak-kanak 2-6 Orang tua Perlindungan akan rasa aman melalui teman khayalan

Bahasa sintaksis

Masa juvenil 6-8,5 Teman bermain dengan status setara

Orientasi akan hidup dalam dunia bersama kelompok teman

Persaingan, kompromi, kerja sama

Masa praremaja 8,5-13 Teman tunggal Keintiman Afeksi dan rasa hormat dari kelompok teman

Masa remaja awal 13-15 Beberapa teman Keintiman dan berahi terhadap orang yang berbeda

Keseimbangan berahi, keintiman dan operasi rasa aman

Masa remaja akhir 15-... Kekasih ■*- Peleburan keintiman dan Penemuan diri dan duniaberahi terhadap orang di luar diri yang sama

Sullivan tidak banyak berpendapat mengenai tahap akhir ini karena ia percaya bahwa dewasa matang di luar lingkup psikiatri interpersonal; orang yang sudah mencapai kemampuan untuk mencintai tidak membutuhkan konsultasi psikiatris. Oleh karena itu, gambarannya akan orang dewasa tidak ditemukan dalam pengalaman klinis, namun merupakan hasil perkiraan dari tahapan-tahapan sebelumnya.

Dewasa matang adalah persepsi dari kecemasan, kebutuhan, dan rasa aman orang lain. Ketiganya beroperasi lebih banyak pada tingkat sintaksis dan mendapati bahwa hidup itu menarik dan menyenangkan (Sullivan, 1953b).

Tabel 8.2 merangkum keenam tahapan perkembangan pertama Sullivan dan memperlihatkan pentingnya hubungan interpersonal pada setiap tahapan.

Gangguan PsikologisSullivan percaya bahwa gangguan psikologis memiliki asal interpersonal dan dapat dipahami hanya dengan mengacu pada lingkungan sosial pasien. Ia juga menyatakan bahwa kekurangan yang ditemukan pada pasien juga ditemukan di setiap diri orang lain, namun dalam kadar yang lebih rendah. Tidak ada yang unik dari kesulitan psikologis; mereka semua berasal dari masalah interpersonal sejenis yang dihadapi semua orang. Sullivan (1953a) menyatakan bahwa “semua orang adalah sekadar manusia dan tidak unik,

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 277

tak peduli apa yang diidap seorang pasien, ia terutama adalah manusia seperti psikiater yang menanganinya” (him. 96).

Sebagian besar kerja awal terapeutik Sullivan dengan pasien skizofrenia dan banyak kuliah dan tulisannya sesudah itu berkaitan dengan skizofrenia. Sullivan (1962) membedakan dua kelas utama skizofrenia. Pertama, mencakup semua gejala yang berasal dari penyebab organik dan oleh karena itu di luar studi psikiatri interpersonal. Kelas kedua, mencakup semua gangguan skizofrenia yang didasari faktor-faktor situasional. Gangguan-gangguan ini satu-satunya yang menjadi pusat perhatian Sullivan karena merupakan satu-satunya yang dapat diubah melalui psikiatri interpersonal.

Reaksi tercerai yang sering mengawali skizofrenia ditandai dengan kesendirian, rasa percaya diri yang rendah, emosi aneh, dan hubungan tidak memuaskan dengan orang lain, serta kecemasan yang terlalu meningkat (Sullivan, 1953b). Orang dengan kepribadian yang tercerai-berai, lazimnya semua orang, berusaha untuk memperkecil kecemasan dengan membangun sistem diri secara terperinci yang menghalangi pengalaman-pengalaman yang mengancam rasa aman mereka. Sementara individu normal merasa cukup aman dengan hubungan interpersonal mereka dan tidak usah bergantung secara konstan pada keberceraian sebagai cara untuk melindungi rasa percaya diri, individu dengan mental terganggu menceraikan banyak pengalaman-pengalaman dari sistem diri. Bila starategi ini terus-menerus dilakukan, maka orang-orang ini akan mulai semakin beroperasi di dunia pribadi mereka sendiri, dengan distorsi parataksis yang meningkat dan berkurangnya pengalaman tervalidasi dalam mufakat (Sullivan, 1956).

PsikoterapiOleh karena ia percaya bahwa gangguan psikis tumbuh dari kesulitan interpersonal, Sullivan membuat prosedur terapeutiknya berdasarkan usaha untuk memperbaiki hubungan pasien dengan orang lain. Untuk memfasilitasi proses ini, terapis bekerja sebagai pengamatpartisipan, menjadi bagian dari hubungan interpersonal, bertatap muka dengan pasien dan memberikan kesempatan pada pasien untuk mencapai komunikasi sintaksis dengan manusia lain.

Selama di Rumah Sakit St. Elizabeth (St. Elizabeth Hospital), Sullivan memikirkan cara radikal untuk menangani pasien yang benar-benar terganggu. Atasannya setuju untuk memberikannya bangsal bagi pasien-pasiennya dan mengizinkannya memilih serta melatih tenaga nonprofesional yang bisa menangani pasien sebagai teman sesama manusia. Pada saat itu, sebagian besar pasien skizofrenia dan yang sakit secara psikis dikurung dan tidak dianggap manusia sepenuhnya. Akan tetapi, percobaan Sullivan berhasil. Banyak dari pasiennya yang membaik. Erich Fromm (1944) menganggap hasil kerja ajaib Sullivan sebagai bukti bahwa psikosis bukan hanya gangguan fisik dan bahwa hubungan pribadi antara manusia dengan yang lainnya adalah intisari pertumbuhan psikologis.

Secara umum, terapi Sullivan bertujuan untuk mengungkap kesulitan pasien dalam berhubungan dengan orang lain. Untuk mencapai tujuan ini, terapis membantu pasien untuk menyerahkan rasa aman mereka ketika berhadapan dengan orang lain dan untuk menyadari

Teori Kepribadian

bahwa mereka bisa mencapai kesehatan mental hanya melalui hubungan pribadi tervalidasi dalam mufakat. Ramuan terapeutik dalam proses ini adalah hubungan tatap muka antara pasien dengan yang lain pada tingkat sintaksis.

Walaupun terapis adalah partisipan dalam wawancara, terapis beraliran Sullivan menghindari keterlibatan pribadi. Mereka tidak menempatkan diri mereka pada tingkat yang sama dengan pasien. Sebaliknya, mereka berusaha meyakinkan pasien akan kemampuan mereka. Dengan kata lain, pertemanan bukan merupakan kondisi psikoterapi—terapis harus dilatih sebagai ahli dalam pekerjaan sulit untuk membuat pengamatan bijaksana akan hubungan interpersonal pasien (Sullivan, 1954).

Sullivan terutama peduli untuk memahami pasien dan membantu mereka memperbaiki tinjauan masa depan, menemukan kesulitan-kesulitan dalam hubungan interpersonal, dan mengembalikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam pengalaman tervalidasi dalam mufakat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, ia memusatkan usahanya untuk menjawab tiga pertanyaan berkesinambungan ini: Apa yang tepatnya dikatakan pasien ini pada saya? Bagaimana cara terbaik untuk mengatakan apa yang saya ingin katakan pada pasien? Apa pola umum komunikasi di antara kami?

Penelitian TerkaitTeori interpersonal kepribadian Sullivan didasari oleh asumsi bahwa perkembangan kepribadian tidak sehat adalah hasil dari konflik dan kesulitan interpersonal. Dimulai pada sekitar usia 6 tahun dan khususnya sampai usia 9 tahun, hubungan anak dengan kelompok teman mereka menjadi sangat penting bagi perkembangan kepribadian. Sullivan secara khusus menekankan pada pentingnya teman-teman sesama jenis dan menggunakan istilah “sahabat karib” (churn) untuk menggambarkan kategori spesifik dari kelompok teman. Pada bagian ini, kami meninjau ulang penelitian-penelitian dengan dinamika pertemanan sesama jenis di masa kanak-kanak dan bagaimana pertemanan ini secara bersamaan berguna dan juga berbahaya bagi perkembangan kesehatan bergantung pada faktor-faktor tertentu.

Pro dan Kontra “Sahabat Karib” untuk Anak Perempuan dan Laki-lakiHarry Stack Sullivan, seperti banyak psikolog lainnya, menganggap teman selama masa kanak-kanak dan remaja, sebagai hal yang krusial dalam mengembangkan orang dewasa yang sehat. Teman adalah sumber dukungan sosial, dan nyaman rasanya untuk bersandar pada mereka ketika menghadapi kesulitan atau ketika menghadapi hari yang buruk. Teman mungkin terutama penting selama masa kanak-kanak karena anak-anak tidak memiliki mekanisme coping (mengatasi) yang lebih maju, seperti yang dimiliki orang dewasa dan terkadang berupaya untuk berhadapan dengan persoalan, seperti menerima penolakan dari teman kelompok. Selama situasi seperti ini, penting halnya untuk memiliki teman atau “sahabat karib” dalam bahasa Sullivan, sebagai teman bicara. Namun akhir-akhir ini, psikolog mulai menyelidiki aspek potensial berbahaya dari dukungan sosial di masa kanak-kanak. Hal ini mungkin tampak bertentangan dengan apa yang jelas terlihat untuk menyatakan

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal | 279

bahwa memiliki teman dapat menjadi hal yang buruk, namun kadang dinamika pertemanan tertentu dapat bersifat menghancurkan.

Rumination (mengenap) adalah salah satu dinamika tersebut yang memiliki dampak negatif pada kesejahteraan anak-anak. Mengenap adalah tindakan memikirkan atau membicarakan sesuatu secara panjang lebar akan kejadian negatif atau aspek-aspek negatif dari kejadian wajar atau bahkan positif dan biasanya dianggap berbahaya sebagaimana hal ini dihubungkan dengan meningkatnya depresi. Ketika mengenap terjadi dalam konteks pertemanan, ia disebut co-rumination (mengenap bersama), yang didefinisikan sebagai kegiatan membahas masalah pribadi secara berlebihan dalam sebuah hubungan (Rose, Carlson, & Waller, 2007). Sementara secara umum, Sullivan benar adanya ketika ia menekankan pentingnya pertemanan masa kanak-kanak dalam teori kepribadian interpersonalnya, salah satu sifat penting dari ilmu pengetahuan adalah mempertanyakan asumsi yang dinyatakan sebelumnya.

Dan inilah yang telah dilakukan oleh Amanda Rose dan rekan-rekannya dengan penilitian mengenai bagaimana, dalam beberapa kasus, pertemanan dapat menghancurkan. Khususnya, Rose dan koleganya tertarik pada dampak negatif dari co-rumination pada pertemanan kanak-kanak (Rose, 2002; Rose et al., 2007).

Untuk menyelediki adanya co-rumination dalam hubungan di masa kanak-kanak dan dampak mengenap bersama terhadap kesejahteraan anak, Amanda Rose dan koleganya melakukan longitudinal pada anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah. Para peneliti mendatangi sekolah setempat dan merekrut hampir 1.000 anak dari kelas satu, tiga, lima, dan sembilan untuk berpartisipasi dalam studi ini. Di awal tahun sekolah, semua partisipan melengkapi pengukuran penilaian diri akan depresi dan kecemasan dan juga memberi peringkat pada pertemanan mereka berdasarkan mutu keseluruhan dan kegiatan mengenap bersama. Soal-soal untuk co-rumination terdiri dari pernyataan-pernyataan seperti “Ketika kami membicarakan sebuah masalah yang salah satu dari kami miliki, kami biasanya membicarakannya setiap hari walaupun tidak ada kejadian baru yang terjadi” dan “Ketika kami membicarakan sebuah masalah yang salah satu dari kami miliki, kami mencoba untuk mencari tahu segala sesuatu tentang masalah tersebut, walaupun ada bagian-bagian yang mungkin takkan pernah kami mengerti” (Rose et al., 2007, him. 1022). Seperti yang ditunjukkan oleh soal-soal contoh ini, co-rumination bukan merupakan proses membangun, di mana seorang anak berusaha menyelesaikan masalahnya dengan temannya. Melainkan, co-rumination melibatkan pembicaraan tak berujung pangkal akan sisi negatif, bahkan ketika tidak ada penyelesaian yang ditemukan dan tidak menghasilkan apapun yang baik.

Para peneliti kembali ke sekolah saat akhir tahun sekolah dan sekali lagi meminta partisipan untuk melengkapi pengukuran depresi, kecemasan, dan mutu pertemanan. Hampir semua anak melaporkan bahwa teman terdekat mereka adalah sesama jenis (atau “sahabat karib” menurut istilah Sullivan) sehingga para peneliti memusatkan perhatian hanya pada pertemanan yang demikian saja. Secara keseluruhan, co-rumination dalam pertemanan sesama jenis meningkatkan perasaan depresi, namun juga berhubungan dengan mutu pertemanan yang lebih baik (Rose et al., 2007). Dengan kata lain, walaupun co-rumination meningkatkan perasaan negatif, sebenarnya tidak sepenuhnya negatif karena

Teori Kepribadian

juga merupakan tanda dari pertemanan yang baik. Hal ini masuk akal karena membicarakan terus-menerus sebuah masalah dengan teman akan membuat seseorang merasa lebih deperesi, namun membuka perasaan kepada teman dapat membuat kita merasa lebih dekat dengan orang tersebut dan secara umum memperbaiki hubungan.

Para peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah co-rumination berfungsi dengan cara berbeda bagi anak laki-laki dan perempuan. Apakah anak perempuan lebih cenderung untuk terlibat co-rumination daripada laki-laki? Apakah co-rumination lebih baik untuk anak perempuan daripada laki-laki atau sebaliknya? Sebelum studinya akan co-rumination, Rose dan koleganya mengadakan peninjauan terhadap penelitian akan pertemanan anak laki-laki dan perempuan (Rose & Rudolph, 2006). Mereka menemukan bahwa anak laki- laki dan perempuan terlibat dalam kegiatan yang sangat berbeda dalam hubungan mereka sehari-hari. Contohnya, anak perempuan menghabiskan waktu berbincang-bincang, dari secara khusus terlibat dalam pengungkapan diri, sedangkan anak laki-laki lebih cenderung untuk terlibat dalam permainan kasar. Anak perempuan juga menyatakan bahwa mereka menempatkan kepentingan lebih besar akan pertemanan mereka daripada anak laki-laki. Penemuan-penemuan ini menandakan adanya dinamisme yang berbeda dalam pertemanan sesama jenis untuk anak perempuan dan laki-laki.

Kembali ke studi longitudinal akan anak-anak dan teman sesama jenis mereka, Rose dan koleganya mencari tahu perbedaan jenis kelamin terhadap pengaruh co-rumination pada depresi, kecemasan, dan mutu keseluruhan pertemanan. Apa yang mereka temukan cukup menarik karena co-rumination khususnya buruk bagi anak perempuan, namun tidak begitu buruk untuk anak laki-laki. Untuk anak-anak perempuan, keseluruhan pengaruh yang digambarkan sebelumnya bertahan: co-rumination dihubungkan dengan meningkatnya depresi dan kecemasan, namun juga dengan pertemanan yang lebih baik. Sementara, untuk anak laki-laki, co-rumination dihubungkan dengan pertemanan yang lebih baik, namun tidak dihubungkan dengan meningkatnya depresi dan kecemasan. Penemuan-penemuan ini memperjelas bahwa terdapat perbedaan fungsi dinamisme dalam pertemanan sesama jenis pada laki-laki dan perempuan dan bahwa keterlibatannya dapat mendalam.

Sering kali ketika orang tua, terapis, atau konselor sekolah mengevaluasi apakah seorang anak dalam risiko depresi atau persoalan psikologis lainnya atau tidak, mereka memastikan bahwa anak tersebut memiliki kelompok teman atau “sahabat karib” yang mendukung. Penelitian Amanda Rose menunjukkan bahwa untuk anak laki-laki, memiliki teman yang mendukung cukup untuk menangkal depresi dan kecemasan, namun untuk anak perempuan, penelitian menunjukkan gambaran yang berbeda. Apabila anak perempuan terlibat dalam co-rumination dengan teman-teman mereka, maka tak peduli seberapa mendukungnya mereka atau seberapa baik mereka dalam pertemanan, anak perempuan berisiko tinggi akan berkembangnya depresi.

Teman KhayalanMelebihi teoretikus kepribadian lainnya, Sullivan menyatakan pentingnya memiliki teman khayalan, terutama selama tahapan kanak-kanak. Ia percaya bahwa pertemanan ini dapat memfasilitasi kemandirian dari orang tua dan membantu anak membangun hubungan

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 2 8 1

nyata. Mendukung pernyataan Sullivan, penelitian mendapati bahwa anak-anak cenderung melihat teman khayalan sebagai sumber perhatian dan kasih sayang (Gleason, 2002; Gleason & Hohmann, 2006). Lebih dari itu, bukti-bukti mendukung teori Sullivan bahwa anak-anak yang mengembangkan teman khayalan—dibandingkan dengan mereka yang tidak—lebih kreatif, memiliki imajinasi, pintar, ramah, dan bersosialisasi (Fern, 1991; Gleason, 2002). Tentu tidak mudah untuk bergaul dengan teman khayalan saja, namun terdapat bukti-bukti bahwa teman khayalan sama pentingnya dengan teman nyata, setidaknya di mata anak-anak (Gleason & Hohmann, 2006).

Untuk melakukan eksplorasi bagaimana anak-anak melihat dan memandang teman khayalan dalam hubungannya dengan teman nyata mereka, Tracy Gleason dan Lisa Hohmann (2006) mengadakan studi pada anak-anak usia prasekolah. Para peneliti meminta 84 anak yang terdaftar di taman kanak-kanak untuk melengkapi kegiatan di mana di dalamnya mereka mendaftar siapa saja teman mereka di taman kanak-kanak, menggambarkan teman khayalan bila mereka memilikinya, dan memberi peringkat pada setiap teman (termasuk teman khayalan) terhadap berbagai dimensi. Khususnya, anak-anak memberi peringkat akan seberapa senangnya mereka bermain dengan setiap teman, apakah mereka berbagi rahasia, seberapa sukanya mereka pada setiap teman secara umum, dan seberapa baik teman mereka dalam membuat mereka merasa yakin akan kemampuan mereka. Tentunya, karena partisipan dalam studi adalah anak-anak, mereka tidak dapat menanggapi pengukuran penilaian diri standar. Melainkan, pertanyaan-pertanyaan dibacakan untuk tiap anak dan pertanyaan-pertanyaan dirangkai dalam kata-kata dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak prasekolah. Selain itu, karena anak-anak mudah kebingungan, maka jawaban mereka harus dikuatkan oleh orang tua atau guru taman kanak-kanak.

Apa yang ditemukan Gleason dan Hohmann (2006) secara umum mendukung pertanyaan Sullivan bahwa teman khayalan adalah penting dan membantu menirukan bagaimana pertemanan nyata yang seharusnya. Dua puluh enam persen sampel anak-anak prasekolah melaporkan memiliki teman khayalan dan bahwa teman khayalan mereka adalah sumber dukungan dan salah satu sumber kesenangan dengan peringkat tertinggi (Gleason & Hohmann, 2006). Para peneliti juga mampu untuk membandingkan urutan peringkat anak-anak akan teman khayalan dengan teman nyata dan menemukan bahwa teman khayalan dengan sangat mirip menirukan kesenangan yang timbul dari pertemanan dua arah, namun tidak dari pertemanan satu arah. Yaitu, hubungan dengan teman khayalan sama menyenangkannya dengan pertemanan di mana kedua anak menggambarkan satu sama lain sebagai teman (pertemanan dua arah), tapi tidak di mana seorang anak mengatakan bahwa anak lain adalah seorang teman, namun anak lain tersebut tidak membalas dengan perkataan yang sama (pertemanan satu arah).

Sebagai rangkuman, penelitian cenderung untuk mendukung asumsi Sullivan bahwa memiliki teman khayalan adalah pengalaman normal dan sehat. Hal ini bukan merupakan tanda patologi ataupun hasil dari perasaan kesendirian atau pengucilan dari anak-anak lain. Sebenarnya, teman khayalan tidak hanya berguna sebagai sumber kesenangan, namun juga mungkin memiliki tujuan lebih penting sebagai tiruan bagi anak-anak akan

2 8 2 Teori Kepribadian

bagaimana pertemanan yang benar-benar baik dan seharusnya menyenangkan sehingga mereka bisa menghindari hubungan buruk saat mereka tumbuh dan matang menjadi dewasa yang sehat.

Kritik terhadap SullivanWalaupun teori kepribadian Sullivan cukup mudah dipahami, teorinya tidak sepopuler teori- teori Freud, Adler, Jung, atau Erik Erikson (lihat Bab 9) di antara para psikolog akademik. Walaupun demikian, nilai utama teori apapun idak terletak pada popularitasnya, namun pada enam kriteria yang disebutkan di Bab 1.

Kriteria pertama akan teori yang berguna adalah kemampuannya dalam menghasilkan penelitian. Saat ini, sedikit penelitian yang dilakukan untuk meneliti hipotesis yang secara khusus ditarik dari teori Sullivan. Satu kemungkinan penjelasan untuk kurangnya penelitian ini adalah kurangnya popularitas teori Sullivan di kalangan peneliti yang suka mengadakan penelitian—para akademisi. Kurangnya popularitas ini mungkin disebabkan oleh keterkaitan erat Sullivan dengan psikiatri, keterasingannya dari latar belakang universitas, dan kurangnya keteraturan dalam tulisan dan penuturannya.

Kedua, teori yang berguna harus dapat dikaji ulang; yaitu harus terperinci agar dapat dilakukan penelitian yang mampu mendukung atau menyangkal asumsi-asumsi utamanya. Pada kriteria ini, teori Sullivan, seperti juga Freud, Jung, dan Fromm, harus mendapat nilai yang sangat rendah. Pernyataan Sullivan akan pentingnya hubungan interpersonal bagi kesehatan psikologis telah mendapat cukup banyak dukungan secara tidak langsung. Meskipun demikian, penjelasan alternatif mungkin saja digunakan untuk penemuan- penemuan ini.

Ketiga, seberapa baik teori aliran Sullivan menyediakan keteraturan bagi segala sesuatu yang diketahui mengenai kepribadian manusia? Terlepas dari banyaknya dalil yang dijelaskan dalam teori tersebut, teori ini hanya mendapat nilai rata-rata untuk kemampuannya mengorganisasi pengetahuan. Lebih dari itu, penekanan ekstrem teorinya pada hubungan interpersonal mengurangi kemampuan teori ini untukmengatur pengetahuan, sebagian besar yang diketahui mengenai tingkah laku manusia memiliki dasar biologis dan tidak dengan mudah disesuaikan dengan teori yang terbatas hanya pada hubungan interpersonal.

Kurangnya pengujian teori Sullivan mengurangi kegunaannya sebagai panduan praktis bagi orang tua, guru, psikoterapis, dan lainnya yang peduli akan pengasuhan anak dan remaja. Walaupun demikian, apabila seseorang menerima teori tersebut tanpa bukti pendukung, maka banyak masalah praktis yang dapat diatasi dengan menggunakan teori Sullivan. Sebagai bimbingan atas tindakan, teori Sullivan mendapat nilai antara cukup dan sedang (rata-rata).

Apakah teori ini konsisten secara internal? Gagasan-gagasan Sullivan memiliki kekurangan karena ketidakmampuan Sullivan menulis dengan baik, namun teori itu sendiri dipikirkan secara logis dan terjaga sebagai kesatuan wujud. Walaupun Sullivan

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal 283

menggunakan istilah yang tidak biasa, ia menggunakannya dengan konsisten di seluruh tulisan dan penuturannya. Secara keseluruhan, teorinya konsisten, namun kurang memiliki keteraturan yang mungkin bisa ia capai bila ia mengerjakan gagasan-gagasannya lebih pada bentuk tulisan.

Terakhir, apakah teori tersebut cermat atau sederhana? Dalam hal ini Sullivan harus menerima nilai rendah. Kesenangannya untuk menciptakan istilah-istilahnya sendiri dan kecanggungannya dalam menulis menambah bentuk yang tidak dibutuhkan untuk teori yang apabila memiliki garis aliran yang jelas, maka akan jauh lebih berguna.

Konsep KemanusiaanTeori dasar Sullivan akan konsep kemanusiaan terangkum dalam hipotesis satu genusnya, yang menyatakan bahwa “sem ua orang m erupakan manusia yang lebih sederhana dari lainnya” (1953b, him. 32). Hipotesis adalah caranya mengatakan bahwa kesamaan antara manusia jauh lebih penting daripada perbedaannya. Manusia lebih menyerupai manusia dibanding apapun lainnya.

Dengan kata lain, perbedaan antara dua contoh kepribadian manusia-dari imbisil tingkat terendah sampai jenius tingkat tertinggi-tidak sejelas perbedaan antara manusia yang dikaruniai paling sedikit dengan anggota genus biologi yang terdekat

(him. 33).

Kemampuan Sullivan untuk menangani pasien skizofrenia dengan sukses dipastikan meningkat karena keyakinannya yang mendalam bahwa para pasien berbagi rasa kemanusiaan dengan terapis. Memiliki pengalaman sendiri dengan setidaknya satu episode skizofrenianya, m embuat Sullivan mampu m embentuk ikatan empati dengan para pasien melalui perannya sebagai pengamat partisipan.

Satu pengaruh yang memisahkan manusia dengan sem ua makhluk lain adalah hubungan interpersonal. Manusia terlahir sebagai organism e b io log is-hew an tanpa kualitas manusia kecuali potensinya untuk ambil bagian dalam hubungan interpersonal. Segera setelah kelahirannya, manusia mulai menyadari potensi mereka ketika pengalaman interpersonal menjadikan mereka manusia. Sullivan percaya bahwa pikiran tidak memiliki isi apapun kecuali apa yang diberikan melalui pengalaman interpersonal. Manusia tidak tergerak oleh insting, namun oleh pengaruh lingkungan yang datang melalui hubungan interpersonal.

Anak-anak memulai hidup mereka dengan hubungan yang sem ata-m ata satu sisi dengan seseorang yang keibuan yang memenuhi kebutuhan mereka dan juga meningkatkan kecemasan mereka. Setelah itu, mereka mampu berbalas perasaan dengan seseorang yang keibuan, dan hubungan antara anak dan orang tua ini bekerja sebagai landasan hubungan interpersonal yang akan d ibangun. Sekitar waktu anak memasuki tingkat pertama di sekolah, mereka diperkenalkan dengan persaingan, kerja sama, dan kompromi dengan anak-anak lain. Bila mereka menangani tugas-tugas ini dengan baik, maka mereka memperoleh alat yang dibutuhkan untuk keintiman dan cinta yang akan datang. Melalui hubungan intim dan cinta, mereka akan menjadi manusia dengan kepribadian yang sehat. Akan tetapi, ketiadaan hubungan interpersonal akan m enyebabkan terham batnya pertumbuhan psikologis.

Individualitas pribadi adalah khayalan, manusia hanya ada dalam hubungannya dengan manusia lain dan memiliki banyak kepribadian sebanyak mereka memiliki hubungan interpersonal. Oleh karena itu, konsep keunikan dan individualitas hanya mendapat sedikit perrhatian dalam teori interpersonal Sullivan.

284 Teori Kepribadian

Oleh karena Sullivan percaya bahwa kepribadian dibangun sem ata-m ata pada hubungan interpersonal, maka kami menilai teorinya sangat tinggi pada pengaruh sosiai. Hubungan interpersonal bertanggung jawab atas karakteristik positif maupun negatif pada manusia. Bayi yang kebutuhannya dipuaskan oleh seseorang yang keibuan tidak akan terlalu terganggu oleh kecemasan sang ibu, akan menerima perasaan kelembutan yang tulus, dapat menghindari kepribadian yang dengki, dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan perasaan yang lembut terhadap orang lain. Akan tetapi, hubungan interpersonal yang tidak memuaskan dapat memicu kedengkian dan meninggalkan anak- anak dengan perasaan tak dapat dipercaya dan bahwa pada dasarnya mereka sendirian di antara musuh-musuh mereka.

Istilah dan Konsep Penting• Manusia mengembangkan kepribadian mereka melalui hubungan interpersonal.

• Pengalaman terjadi di tiga tingkat —prototaksis (primitif, prasimbolis), parataksis (tidak berkomunikasi dengan orang lain secara akurat), dan sintaksis (komunikasi akurat).

• Dua aspek pengalaman adalah ketegangan (potensi untuk tindakan) dan transformasi energi (tindakan atau perilaku).

• Ketegangan ada dua jenis—kebutuhan dan kecemasan.

• Kebutuhan adalah konjungtif dalam arti ia memfasilitasi perkembangan interpersonal.

• Kecemasan adalah disjungtif dalam arti ia mengganggu pemuasan kebutuhan dan merupakan halangan utama untuk mencapai hubungan interpersonal yang sehat.

Transformasi energi secara teratur menjadi sifat atau pola tingkah laku konsisten yang disebut dinamisme.

• Dinamisme tipikal mencakup kedengkian (perasaan hidup di negeri musuh), keintiman (hubungan interpersonal erat dengan kelompok teman dengan status setara), dan (keinginan seksual impersonal).

• Kontribusi utama Sullivan pada kepribadian adalah konsepnya terhadap beragam tahapan perkembangan.

• Tahap perkembangan pertama adalah masa bayi (dari lahir sampai perkembangan bahasa sintaksis), waktu di mana hubungan interpersonal utama bayi adalah dengan seseorang yang keibuan.

• Selama m asa kanak-kanak (dari bahasa sintaksis sampai pada kebutuhan akan teman bermain dengan status setara), ibu masih merupakan hubungan interpersonal pertama, walaupun anak-anak pada masa ini sering memiliki teman khayalan.

• Tahapan ketiga adalah masa juvenil (dari kebutuhan akan teman bermain dengan status setara sampai dengan perkembangan keintiman), waktu di mana anak-anak harus belajar mengenai persaingan, kompromi, dan kerja sama—keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk bergerak dengan sukses menuju tahapan-tahapan perkembangan selanjutnya.

Bab 8 Sullivan: Teori Interpersonal

Tahapan paling krusial dalam perkembangan adalah masa prarem aja (dari keintiman dengan sahabat sampai awal pubertas). Kesalahan-kesalahan selama tahapan ini akan sulit diatasi nantinya.

Selama masa remaja awal, anak muda tergerak oleh keintiman (biasanya dengan sesama jenis) dan berahi (wajarnya dengan lawan jenis).

Manusia mencapai masa remaja akhir ketika mereka telah mampu mengarahkan keintiman dan berahi mereka pada orang yang sama.

Keberhasilan melewati masa remaja akhir akan mencapai puncaknya pada tahap dewasa, tahapan yang ditandai oleh hubungan cinta yang kokoh.

Dengan psikoterapi Sullivan, terapis bekerja sebagai pengamat partisipan dan berusaha untuk memperbaiki hubungan interpersonal pasien.

.

2 8 6 | Teori Kepribadian

'

..

Bab 9

Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian)

Gambaran Umum Teori Pasca-Aliran FreudBiografi Erik EriksonEgo dalam Teori Pasca-Aliran FreudPengaruh Masyarakat Prinsip Epigenetik Tahapan PerkembanganMasa Bayi Kanak-kanak Awal Usia Bermain Usia Sekolah Remaja Dewasa Muda Dewasa Usia LanjutRangkuman Siklus Hidup Metode Investigasi EriksonStudi Antropologis Psikohistoris

Erikson

Penelitian TerkaitGenerativitas dan Parenting Generativitas versus Stagnasi Kritik terhadap Erikson Konsep Kemanusiaan Istilah dan Konsep Penting

Teori Kepribadian

Sebagai seorang anak, Erik Salomonsen memiliki banyak pertanyaan, namun sedikit jawaban mengenai ayah kandungnya. Ia tahu siapa ibunya—orang Denmark Yahudi

dengan keluarga yang berusaha keras untuk lebih terlihat sebagai orang Denmark daripada Yahudi. Akan tetapi, siapa ayahnya?

Lahir dalam keluarga dengan orang tua tunggal, sang anak memiliki tiga keyakinan terpisah mengenai asal usulnya. Awalnya, ia percaya bahwa suami ibunya, seorang dokter bernama Theodor Homburger, adalah ayah kandungnya. Akan tetapi, dengan semakin dewasanya Erik, ia mulai menyadari bahwa hal itu tidakbenar karena rambut pirang dan mata birunya tidak mirip kedua orang tuanya. Ia menuntut penjelasan dari ibunya, namun ibunya berbohong dan mengatakan bahwa Valdemar Salomonsen—suami pertamanya—adalah ayah kandungnya yang menelantarkan ibunya setelah ia mengandung Erik. Akan tetapi, Erik tidak terlalu percaya cerita kedua ini karena ia tahu bahwa Salomonsen pergi meninggalkan ibunya empat tahun sebelum kelahirannya. Akhirnya, Erik memilih untuk percaya bahwa ia adalah hasil hubungan seksual ibunya dengan seorang bangsawan Denmark berbakat seni. Hampir selama sisa hidupnya, Erik percaya cerita ketiga ini. Walaupun demikian, ia terus mencari jati dirinya sendiri sambil mencari nama ayah kandungnya.

Selama hari-hari sekolahnya, tampilan Skandinavia Erik berdampak pada kebingungan jati dirinya. Ketika ia di sinagog, mata biru dan rambut pirangnya membuat ia tampak seperti orang asing. Di sekolah negeri, teman-temannya yang orang Arya menganggapnya orang Yahudi sehingga Erik merasa berada pada tempat yang salah di kedua tempat tersebut. Selama hidupnya, ia mengalami kesulitan untuk menerima dirinya sendiri sebagai Yahudi atau Kafir.

Ketika ibunya meninggal, Erik yang berusia 58 tahun takut jika ia tak akan pernah mengetahui jati diri ayah kandungnya. Akan tetapi, ia meneruskan pencariannya. Akhirnya, setelah 30 tahun berikutnya dan seiring memburuknya pikiran dan tubuhnya, Erik kehilangan keinginan untuk mencari tahu nama ayahnya. Namun, ia terus menunjukkan kebingungan akan jati dirinya. Contohnya, bahasa yang ia gunakan adalah bahasa Jerman—bahasa di masa mudanya—dan jarang berbicara dalam bahasa Inggris, bahasa utamanya selama lebih dari enam puluh tahun. Selain itu, ia mempertahankan ikatan dengan Denmark dan orang- orang Denmark serta memiliki kebanggaan yang aneh dengan memasang bendera Denmark, negara yang tidak pernah ia tinggali.

Gambaran Umum Teori Pasca-Aliran FreudOrang yang diperkenalkan pada bagian pembukaan, tentunya, adalah Erik Erikson, orang yang menyumbangkan istilah krisis identitas. Erikson tidak memiliki gelar tingkat perguruan tinggi apapun, namun kurangnya pendidikan formal ini tidak menghalanginya untuk menjadi terkenal dalam beragam bidang ilmu yang mengagumkan termasuk psikoanalisis, antropologi, psikohistoris, dan pendidikan.

Berbeda dengan teoretikus psikodinamikalainnyayangbersikap tajam pada psikoanalisis aliran Freud, Erikson bermaksud agar teori kepribadiannya mengembangkan, bukan

Bab 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) I 2 8 9

menyangkal asumsi Freud dan menawarkan “cara baru untuk melihat sesuatu” (Erikson, 1963, him. 403). Teori pasca-aliran Freud yang dikemukakan Erikson mengembangkan tahapan perkembangan anak-anak Freud menjadi remaja, masa dewasa, dan usia lanjut. Erikson menyatakan bahwa pada tiap tahap, perjuangan psikososial spesifik memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian. Dari mulai remaja hingga seterusnya, perjuangan tersebut berbentuk krisis identitas—titik balik dalam hidup seseorang yang dapat memperkuat atau memperlemah kepribadian.

Erikson menganggap teori pasca-aliran Freudnya sebagai pengembangan psikoanalisis, sesuatu yang mungkin dapat dilakukan Freud bila ada waktu. Walaupun ia menggunakan teori Freud sebagai landasan dari pendekatan siklus hidup untuk kepribadian, Erikson berbeda dengan Freud dalam beberapa aspek. Selain itu, untuk menguraikan tahapan psikoseksual setelah masa kanak-kanak, Erikson menekankan pada pengaruh sosial dan sejarah.

Teori pasca-aliran Freud milik Erikson, seperti teoretikus kepribadian lainnya, merupakan cerminan latar belakangnya, latar belakang yang mencakup seni, perjalanan jauh, pengalaman dengan beragam kultur, dan pencarian seumur hidup akan jati dirinya, yang telah kami gambarkan secara singkat di bagian pembukaan.

Biografi Erik EriksonSiapakah Erik Erikson? Apakah ia seorang Denmark, Jerman, atau Amerika? Yahudi atau Kafir? Seniman atau psikoanalis? Erikson sendiri mengalami kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan ia menghabiskan seluruh hidupnya berusaha menentukan siapa dirinya.

Lahir pada tanggal 15 Juni 1902, di Selatan Jerman, Erikson dibesarkan oleh ibu dan ayah tirinya, namun ia tetap tidak tahu pasti identitas ayah kandungnya. Untuk mencari tempatnya dalam hidup, Erikson memberanikan diri pergi dari rumah selama masa remaja akhirnya dan hidup sebagai seniman serta penyair yang berkelana. Setelah hampir tujuh tahun mengembara dan mencari, ia pulang ke rumah dalam keadaan bingung, lelah, depresi, dan tidak mampu menggambar atau melukis. Saat itu, kejadian tak disengaja mengubah hidupnya: Ia menerima surat dari temannya Peter Bios yang mengundangnya untuk mengajar anak-anak di sekolah baru di Wina. Salah satu pendiri sekolah tersebut adalah Anna Freud, yang tidak hanya menjadi atasan Erikson, namun juga psikoanalisnya.

Selama di bawah penanganan analisis, ia menekankan pada Anna Freud bahwa masalah tersulitnya adalah pencariannya akan identitas ayah kandungnya. Akan tetapi, Anna Freud tidak terlalu menunjukkan empati dan menyuruh Erikson untuk berhenti berkhayal mengenai ketiadaan ayahnya. Walaupun Erikson mematuhi psikoanalisnya, ia tidak bisa mengikuti saran Freud untuk berhenti mencari tahu nama ayahnya.

Selama di Wina, Erikson bertemu, dan dengan izin Anna Freud, menikahi Joan Serson yang seorang penari, seniman, dan guru kelahiran Kanada yang juga di bawah penanganan psikoanalisis. Dengan latar belakang psikoanalisis dan kemampuan berbahasa Inggrisnya, Joan Serson menjadi editor yang diperhitungkan dan mengarang beberapa buku bersama

dengan Erikson.

2 9 0 Teori Kepribadian

Keluarga Erikson terdiri atas empat orang anak, yaitu anak-anak laki-laki bernama Kai, Jon, serta Neil dan seorang anak perempuan bernama Sue. Kai dan Sue mengejar karier profesional, sedangkan Jon yang memiliki pengalaman seperti ayahnya yaitu sebagai seniman yang berkelana, bekerja sebagai buruh dan tidak memiliki kedekatan emosional dengan orang tuanya.

Pencarian Erikson akan identitas membuatnya mengalami banyak pengalaman sulit selama tahap perkembangan dewasanya (Friedman, 1999). Menurut Erikson, pada tahapan ini seseorang harus merawat anak-anak, produk, dan gagasan yang dihasilkannya. Dalam hal ini, Erikson tidak mampu memenuhi standarnya sendiri. la tidak mampu mengasuh anaknya dengan baik, terutama Neil, yang lahir dengan sindrom Down. Di rumah sakit ketika Joan masih terbius, Erik setuju untuk menempatkan Neil di institusi. Lalu ia pulang dan memberi tahu ketiga anaknya yang lain bahwa adik mereka telah meninggal saat lahir. Ia berbohong pada mereka, seperti ibunya dulu berbohong padanya mengenai ayah kandungnya. Pada akhirnya, ia memberi tahu anak laki-laki sulungnya Kai, mengenai kebenarannya. Akan tetapi, ia terus membohongi kedua anaknya yang lain, Jon dan Sue. Walaupun kebohongan ibunya membuat ia benar-benar terganggu, ia tidak memahami bahwa kebohongannya tentang Neil pada nantinya akan membuat anak-anaknya yang lain terganggu. Dengan membohongi anak-anaknya seperti yang ia lakukan, Erikson melanggar dua prinsipnya: “Jangan berbohong pada orang-orang yang kau sayangi” dan “Jangan mengadu domba anggota keluarga”. Untuk menyelesaikan situasi ini, ketika Neil meninggal dunia pada usia 20 tahun, keluarga Erikson, yang saat itu berada di Eropa, menghubungi Sue juga Jon dan meminta mereka untuk menangani semua urusan pemakaman untuk seorang saudara yang mereka tak pernah temui dan baru saja ketahui keberadaannya (Friedman, 1999).

Erikson juga mencari identitasnya melalui sejumlah besar perubahan dan tempat tinggal. Oleh karena kurang memiliki gelar akademik, maka ia tidak memiliki identitas profesional dan dikenal sebagai seniman, psikolog, psikoanalis, ahli klinis, profesor, antropologis budaya, penganut aliran eksistensialisme, penulis psikobiografi, dan cendekiawan umum.

Pada tahun 1993, ia mengubah namanya dari Homburger menjadi Erikson. Hal ini menjadi titik balik krusial dalam hidupnya karena hal ini merepresentasikan penarikan dirinya dari identitas seorang Yahudi. Sebenarnya, Erikson menyesali semua implikasi bahwa ia menelantarkanidentitas Yahudinya dengan mengubah namanya. Ia membalikkan tuduhan ini dengan menunjukkan bahwa ia menggunakan nama lengkapnya—Erik Homburger Erikson—dalam buku-bukunya dan karya tulisnya. Akan tetapi, seiring berlalunya waktu, ia tidak lagi menggunakan nama tengahnya dan menggantinya dengan inisial H. Oleh karena itu, orang yang pada akhir hidupnya dikenal sebagai Erik H. Erikson ini sebelumnya dikenal sebagai Erik Salomonsen, Erik Homburger, atau Erik Homburger Erikson.

Di Amerika, Erikson melanjutkan polanya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pertama, ia menetap di daerah Boston di mana ia mendirikan praktik psikoanalisis yang dimodifikasi. Tanpa sertifikat kedokteran atau gelar perguruan tinggi apapun, ia bekerja di bagian penelitian di Rumah Sakit Umum Massachusettes (Massachusetts General Hospital), Sekolah Kedokteran Harvard (Harvard Medical School), dan Klinik Psikologis Harvard. (Harvard Psychological Clinic).

Bab 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 2 9 1

Oleh karena ingin menulis, tetapi membutuhkan waktu lebih banyak dari yang tersedia dalam jadwalnya yang sibuk di Boston dan Cambridge, Erikson mengambil pekerjaan di Yale pada tahun 1936. Akan tetapi, setelah 2,5 tahun, ia pindah ke University of California di Berkeley, namun tidak sebelum tinggal di antara orang-orang Siox dan mempelajari mereka di Pine Ridge Reservation di Dakota Selatan (South Dakota). Ia kemudian tinggal dengan orang-orang Yurok di California Utara (Northern California) dan pengalaman antropologi kultur ini memperkaya serta melengkapi konsep kemanusiaannya.

Selama di California, Erikson perlahan-lahan mengembangkan teori kepribadian yang terpisah, namun tidak bertentangan dengan teori Freud. Pada tahun 1950, Erikson memublikasikan Masa K anak-kanak dan Masyarakat (Childhood and Society), buku yang pada pandangan pertama tampak seperti bab-bab tidak berhubungan yang tercampur aduk. Erikson sendiri sebenarnya mengalami kesulitan untuk menemukan tema umum yang mendasari topik-topik, seperti masa kanak-kanak dan dua suku penduduk Amerika asli, pertumbuhan ego, delapan tahapan perkembangan manusia, dan masa kanak-kanak Hitler. Pada akhirnya, bagaimanapun, ia menyatakan bahwa pengaruh psikologis, kultur, dan faktor sejarah pada identitas merupakan elemen yang mendasari semua bab-bab beragam itu. Childhood and Society, menjadi sebuah karya klasik dan memberikan Erikson reputasi internasional sebagai pemikir imajinatif, memberikan pembukaan yang terbaik bagi teori kepribadian pasca-aliran Freudnya.

Pada tahun 1949, para petinggi Universitas California menuntut anggota fakultas untuk menandatangani sumpah yang menjamin kesetiaan pada Amerika Serikat. Tuntutan seperti itu tidak umum pada masa itu ketika Senator Joseph McCarthy meyakinkan banyak orang Amerika bahwa Komunis dan para simpatisan Komunis berniat untuk menggulingkan pemerintah. Erikson bukan seorang Komunis, namun karena prinsip ia menolak untuk menandatangani sumpah tersebut. Walaupun Komite Hak Istimewa dan Masa Jabatan (Committee on Privilege and Tenure) menyarankan agar ia mempertahankan jabatannya, Erikson meninggalkan California dan kembali ke Massachusetts di mana ia bekerja sebagai terapis di Austen Riggs, pusat penanganan untuk pelatihan psikoanalisis dan penelitian yang berlokasi di Stockbridge. Pada tahun 1960, ia kembali ke Harvard dan selama sepuluh tahun berikutnya, ia menjabat sebagai profesor di bidang perkembangan manusia. Setelah pensiun, Erikson melanjutkan karier aktifnya—menulis, memberikan kuliah, dan menemui beberapa pasien. Selama tahun-tahun awal masa pensiunnya, ia tinggal di Marin County, California; Cambridge, Massachusetts; dan Cape Coe. Melalui semua perubahan ini, Erikson terus mencari tahu nama ayahnya. Ia kemudian meninggal pada tanggal 12 Mei 1994, di usia 91 tahun.

Karya-karya terbaik Erikson mencakup Masa K anak-kanak dan M asyarakat (Childhood and Society) (1950, 1963, 1985); Luther Muda (Young Man Luther) (1958); Identitas: Masa Muda dan Krisis (Identity: Young and Crisis (1968); Kebenaran Ghandi (Ghandis Truth)(1969), sebuah buku yang memenangkan Hadiah Pulitzer dan Penghargaan Buku Nasional; Dimensi Identitas Baru (Dimensions o f a New Identity) (1974); Sejarah Hidup dan Saat-saat Bersejarah (Life History and the Historiscal Moments) (1975); Identitas dan Siklus Kehidupan (Identity and the Life Cycle) (1980); dan Terselesaikannya Siklus Kehidupan (The Life Cycle Completed) (1982). Stephen Schlein menggabungkan banyak naskahnya dalam Sebuah Cara dalam M emandang Sesuatu (A Way o f Looking at Things) (Erikson, 1987).

Teori Kepribadian

Ego dalam Teori Pasca-Aliran FreudPada Bab 2, kami menunjukkan bahwa Freud menggunakan analogi seorang penunggang kuda untuk menggambarkan hubungan antara ego dan id. Penunggang kuda (ego) pada akhirnya bergantung pada belas kasihan kuda yang lebih kuat (id). Ego tidak memiliki kekuatan sendiri, namun harus meminjam dari id. Lebih dari itu, ego terus-menerus berusaha untuk menyeimbangkan tuntutan buta dari superego yang menentang kekuatan bertahan dari id dan kesempatan-kesempatan eksternal di dunia eksternal. Freud percaya bahwa untuk orang-orang yang sehat secara psikologis, ego cukup mengembangkan kendali akan id, walaupun kendali tersebut masih lemah dan dorongan-dorongan id dapat meletus dan menutupi ego setiap saat.

Kebalikannya, Erikson menyatakan bahwa ego kita adalah kekuatan positif yang menciptakan jati diri, rasa “Saya”. Sebagai pusat kepribadian kita, ego menolong kita untuk beradaptasi dengan beragam konflik dan krisis dalam hidup dan menjaga kita agar tidak kehilangan individualitas pada kekuatan yang meningkat pada masyarakat. Selama masa kanak-kanak, ego lemah, lentur, dan rapuh, namun mulai berbentuk dan memiliki kekuatan saat remaja. Sepanjang hidup kita, ego menyatukan kepribadian dan menjaga kita dari keterceraiberaian. Erikson melihat ego sebagai agen pengatur setengah tidak sadar yang mempersatukan pengalaman-pengalaman sekarang dengan jati diri di masa lampau dan juga dengan gambaran diri yang diharapkan. Ia mendefinisikan ago sebagai kemampuan seseorang untuk menyatukan pengalaman-pengalaman dan tindakan-tindakan dengan cara yang adaptif (Erikson, 1963).

Erikson (1968) memperkenalkan tiga aspek ego yang saling berhubungan: ego tubuh, ego ideal, dan ego identitas. Ego tubuh mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, yaitu cara memandang fisik diri kita sebagai sesuatu yang berbeda dengan orang lain. Kita mungkin puas atau tidak puas dengan tampak tubuh kita dan bagaimana ia berfungsi, namun kita menyadari bahwa itu satu-satunya tubuh yang akan pernah kita miliki. Ego ideal mewakili gambaran yang kita miliki terhadap diri kita sendiri dibandingkan dengan apa dicapai diri ideal. Ego ini bertanggung jawab atas kepuasan atau ketidakpuasan diri tidak hanya dari fisik diri, namun juga dari keseluruhan jati diri pribadi. Ego identitas adalah gambaran yang kita miliki terhadap diri kita sendiri dalam ragam peran sosial yang kita mainkan. Walaupun masa remaja adalah masa di mana biasanya ketiga komponen ini berubah pesat, perubahan di ego tubuh, ego ideal, dan ego identitas dapat dan memang terjadi di tahapan kehidupan manapun.

Pengaruh MasyarakatWalaupun kapasitas bawaan lahir penting dalam perkembangan kepribadian, ego muncul dan sebagian besar terbentuk oleh masyarakat. Penekanan Erikson pada faktor sosial dan sejarah bertentangan dengan sudut pandang Freud yang sebagian besar biologis. Bagi Erikson, ego ada sebagai potensi ketika lahir, namun harus muncul dari dalam lingkungan budaya. Masyarakat yang berbeda-beda, dengan ragam praktik pengasuhan anak, cenderung membentuk kepribadian yang cocok dengan kebutuhan dan nilai budaya mereka. Contohnya, Erikson

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 293

(1963) menemukan bahwa cara mengasuh bayi yang serba membolehkan dan berlarut-larut pada bangsa Sioux (kadang selama 4 atau 5 tahun) mengakibatkan apa yang disebut Freud kepribadian “oral”, yaitu orang yang mendapat kesenangan melalui fungsi mulut. Bangsa Sioux menjunjung tinggi kedermawanan dan Erikson percaya bahwa penentraman dari menyusui yang tak terbatas membentuk landasan untuk kedermawanan sebagai kebajikan. Akan tetapi, orang tua bangsa Sioux cepat menghilangkan kebiasaan menggigit, perlakuan yang dapat berkontribusi pada keberanian dan tingkah laku agresif anak. Di sisi lain, orang-orang bangsa Yurok memberlakukan aturan ketat mengenai pembersihan air seni dan feses, perlakuan yang dapat mengembangkan “sifat anal”, atau kerapihan kompulsif, sifat keras kepala, dan kekikiran. Dalam masyarakat Amerika Eropa, sifat oral dan anal sering dianggap sebagai sifat yang tidak diterima dan menunjukkan gejala neurotik. Akan tetapi, Erikson (1963) menyatakan bahwa sifat oral di kalangan pemburu Sioux dan sifat anal di kalangan nelayan Yurok merupakan karakteristik adaptif yang membantu individu dan kultur mereka. Fakta bahwa orang Amerika Eropa memandang sifat oral dan anal sebagai sifat menyimpang, cukup menunjukkan pandangan etnosentris mereka terhadap masyarakat lain. Erikson (1968, 1974) menyatakan bahwa secara sejarah, semua suku dan bangsa termasuk Amerika Serikat, telah mengembangkan apa yang ia sebut pseudospesies, yaitu khayalan yang dibuat dan diabadikan oleh masyarakat tertentu yang seolah-olah dipilih untuk menjadi sang spesies manusia. Di abad lampau, kepercayaan ini telah menolong kelangsungan hidup sebuah suku, namun dengan cara modern akan penindasan dunia, seperti pandangan berprasangka (seperti yang ditunjukkan Nazi Jerman) mengancam kelangsungan hidup setiap bangsa.

Satu kontribusi utama Erikson dalam teori kepribadian adalah pengembangannya terhadap tahapan awal perkembangan aliran Freud yang mencakup usia sekolah, masa muda, masa dewasa, dan usia lanjut. Sebelum melihat lebih dekat teori Erikson akan perkembangan ego, kami membahas pandangannya mengenai bagaimana kepribadian berkembang dari

satu tahap ke tahap selanjutnya.

Prinsip EpigenetikErikson percaya bahwa ego berkembang melalui beragam tahap kehidupan menurut prinsip epigenetik, istilah yang dipinjam dari embriologi. Perkembangan epigenetik menyiratkan pertumbuhan langkah demi langkah dari organ janin. Embrio tidak dimulai dalam bentuk manusia kecil yang lengkap, menanti untuk mengembangkan struktur dan bentuknya. Janin berkembang atau seharusnya berkembang, menurut tingkat yang telah ditetapkan sebelumnya dalam urutan yang tetap. Apabila mata, hati, dan organ-organ lain tidak berkembang selama periode kritis bagi perkembangan mereka, maka mereka takkan pernah

mencapai kematangan yang seharusnya.

Dengan cara yang sama, ego mengikuti perkembangan epigenetik, dengan tiap tahapan berkembang pada waktu yang seharusnya. Satu tahapan muncul dari dan dibangun berdasarkan tahapan sebelumnya, namun tidak menggantikan tahapan sebelumnya. Perkembangan epigenetik ini dapat dianalogikan dengan perkembangan fisik anak-anak, yang merangkak sebelum jalan, jalan sebelum berlari, dan berlari sebelum melompat.

2 9 4 Teori Kepribadian

Kemudian, saat mereka cukup matang untuk melompat, mereka masih mempertahankan kemampuannya untuk berjalan, berlari, dan merangkak. Erikson (1968) menggambarkan prinsip epigenetik dengan mengatakan bahwa “apapun yang tumbuh dari dasar tanah dan yang muncul dari permukaan tanah, tiap bagian memiliki waktu untuk pengaruh khusus, sampai semua bagian tumbuh untuk membentuk keutuhan fungsi” (him. 92). Lebih ringkasnya, “Epigenesis berarti cara sebuah karakteristik berkembang di atas karakteristik lain dalam ruang dan waktu” (Evans, 1967, him. 21-22).

Anak-anak akan merangkak sebelum jalan, jalan sebelum berlari, dan berlari sebelum melompat.

Prinsip epigenetik ini diilustrasikan dalam Figur 9.1, yang menggambarkan tiga tahapan pertama Erikson. Urutan tahapan (1, 2, 3) dan perkembangan bagian komponen mereka (A, B, C) ditunjukkan dalam kotak-kotak bergaris tebal sepanjang diagonal. Figur 9.1 menunjukkan bahwa tiap bagian ada sebelum waktu kritisnya (setidaknya sebagai potensi biologis), timbul di waktu yang seharusnya, dan akhirnya terus berkembang selama tahapan selanjutnya. Contohnya, komponen bagian B dari tahapan 2 (masa kanak-kanak awal) didapati selama tahapan 1 (masa bayi), seperti ditunjukkan kotak IB. Bagian B mencapai pengaruh penuhnya selama tahapan 2 (kotak 2B), namun berlanjut ke tahapan 3 (kotak 3B). Dengan cara yang sama, semua komponen tahapan 3 didapati selama tahapan 1 dan 2, mencapai perkembangan penuh selama tahapan 3, dan berlanjut selama tahapan-tahapan selanjutnya (Erikson, 1982).

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 2 9 5

Tahapan A

Bagian

B c

3

Usia Bermain 3 a 3 C

2

Masa Kanak-kanak Awal 2 a ^B 2 C

1

Masa Bayi' a ' c

FIG UR 9.1 Tiga Tahapan Erikson yang M enggam barkan Prinsip Epigenetik.

Dicetak ulang dari Terselesaikannya Siklus Kehidupan: Sebuah Tinjauan (The Life Cycle Completed: A Review) oleh Erik H. Erikson, dengan izin dari W. W. Norton & Company, Inc. Copyright © 1982 oleh Rikan Enterprises, Ltd.

Tahapan PerkembanganPemahaman akan delapan tahapan perkembangan psikoseksual Erikson membutuhkan pemahaman terhadap beberapa poin penting. Pertama, pertumbuhan terjadi berdasarkan prinsip epigenetik. Yaitu, satu bagian komponen yang tumbuh dari komponen lain dan memiliki pengaruh waktu tersendiri, namun tidak menggantikan komponen sebelumnya. Kedua, di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interaksi berlawanan—yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik (mengacaukan). Contohnya, selama masa bayi, rasa percaya dasar atau basic trust (kecenderungan sintonik) berlawanan dengan rasa tidak percaya dasar atau basic mistrust (kecenderungan distonik). Akan tetapi, baik rasa percaya maupun tidak percaya dibutuhkan untuk adaptasi yang benar. Seorang bayi yang hanya belajar untuk memercayai akan mudah tertipu dan tidak siap untuk kenyataan yang harus dihadapi perkembangan selanjutnya, sedangkan bayi yang hanya belajar untuk tidak percaya menjadi terlalu mencurigai dan sinis. Sama halnya, selama tiap tujuh tahapan lainnya, manusia harus memiliki pengalaman harmonis dan mengacaukan.

Ketiga, di tiap tahapan, konflik antara elemen distonik dan sintonik menghasilkan kualitas ego dan kekuatan ego, yang Erikson sebut sebagai kekuatan dasar (basic strength). Contohnya, dari antitesis antara rasa percaya dan tidak percaya muncul harapan, kualitas ego yang memungkinkan bayi untuk bergerak ke tahapan selanjutnya. Begitu juga halnya, tiap tahapan ditandai dengan kekuatan ego dasar yang muncul dari benturan elemen-elemen harmonis dan mengacaukan di tahapan itu.

Teori Kepribadian

Keempat, terlalu sedikitnya kekuatan pada satu tahap mengakibatkan patologi inti (core pathology) pada tahap tersebut. Contohnya, seorang anak yang tidak memperoleh cukup harapan selama masa bayi akan mengembangkan antitesis atau lawan dari harapan, misalnya penarikan diri (withdrawal). Sekali lagi, setiap tahap memiliki potensi patologi inti.

Kelima, walaupun Erikson mengacu pada kedelapan tahapannya sebagai tahapan psikososial (psychosocial stages), ia tidak pernah meninggalkan aspek biologis dalam perkembangan manusia.

Keenam, peristiwa-peristiwa di tahapan sebelumnya tidak menyebabkan perkembangan kepribadian selanjutnya. Identitas ego dibentuk oleh keanekaragaman konflik dan kejadian— masa lampau, sekarang, dan yang diharapkan.

Ketujuh, selama tiap tahapan, khususnya sejak remaja dan selanjutnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas yang Erikson (1968) sebut sebagai “titik balik, yaitu periode krusial akan meningkatnya kerapuhan dan memuncaknya potensi” (him. 96). Oleh karena itu, selama tiap krisis, seseorang khususnya rentan terhadap modifikasi utama dalam identitas, baik positif maupun negatif. Berlawanan dengan penggunaan istilah pada umumnya, krisis identitas bukan kejadian malapetaka melainkan kesempatan untuk penyesuaian adaptif maupun nonadaptif.

Delapan tahapan perkembangan psikososial Erikson ditunjukkan pada Figur 9.2. Kata-kata yang di cetak tebal dalam huruf kapital adalah kualitas ego atau kekuatan dasar yang timbul dari konflik-konflik atau krisis psikososial yang menjadi ciri khas tiap periode. Sebuah “vs” (versus) memisahkan elemen sintonik dan distonik yang menandakan tidak hanya hubungan antitesis, namun juga hubungan komplementer. Hanya kotak sepanjang diagonal yang terisi, yaitu Figur 9.2. hanya menonjolkan kekuatan dasar dan krisis psikososial yang merupakan sebagian besar karakteristik dari tiap tahap perkembangan. Akan tetapi, prinsip epigenetik menyatakan bahwa semua kotak-kotak yang lain akan terisi (lihat Figur 9.1). Walaupun dengan hal lain yang karakteristiknya kurang dari tahapan perkembangan psikososial mereka. Tiap hal dalam kelompok ini vital bagi perkembangan kepribadian dan tiap-tiap halnya berkaitan dengan satu sama lain.

Masa BayiTahapan psikososial pertama adalah masa bayi, periode yang meliputi kurang lebih setahun pertama kehidupan dan paralel dengan fase oral dalam perkembangan menurut Freud. Akan tetapi, tahapan Erikson mengadopsi fokus yang lebih luas dari tahapan oral Freud, yang hanya memperhatikan terbatas pada mulut. Bagi Erikson (1963, 1989), masa bayi adalah masa pembentukan, di mana bayi “menerima” bukan hanya melalui mulut, namun juga melalui organ indra yang lain. Melalui mata, contohnya, bayi menerima rangsangan visual. Sebagaimana mereka menerima makanan dan informasi sensori, bayi belajar untuk memercayai maupun tidak memercayai dunia luar, keadaan yang memberikan harapan tidak nyata. Oleh karena itu, masa bayi ditandai oleh gaya psikoseksual sensori-oral, krisis psikososial rasa percaya dasar versus rasa tidak percaya dasar, dan kekuatan dasar harapan.

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 297

Gaya Sensori-OralPandangan luas Erikson terhadap bayi diungkapkan dalam istilah sensori-oral, frasa yang mencakup gaya psikoseksual utama dalam penyesuaian diri. Tahapan sensori-oral ditandai oleh dua gaya pembentukan—memperoleh dan menerima apa yang diberikan. Bayi dapat memperoleh walaupun tanpa keberadaan orang lain. Mereka dapat memperoleh udara melalui paru-paru dan dapat memperoleh data sensori tanpa harus memanipulasi data sensori lainnya. Akan tetapi, gaya pembentukan kedua menyiratkan konteks sosial. Pelatihan awal dalam hubungan interpersonal ini membantu mereka belajar untuk menjadi pemberi nantinya. Untuk membuat orang lain memberi, mereka harus belajar untuk memercayai atau tidak memercayai orang lain. Hal inilah yang membangun krisis psikososial dasar di masa kanak-kanak, yang dinamai rasa percaya dasar versus rasa tidak percaya dasar.

Bagian

Tahapan A B c D E F G H

Usia lanjut

8

K EB IJ A K S A N A A N

Integritasvs.keputusasaan,

kejijikan

Dewasa7

K E P E D U L IA NGenerativitasvs.

Stagnasi

Dewasa muda 6

C IN T AKeintiman vs. keterasingan

Remaja5

K E S E T IA A NIdentitas vs. kebingungan

identitas

Usia sekolah 4

K E A H IIA N

Industn vs. rasa rendah diri

Usia bermain

3

T U JU A NInisiatifvs. rasa

bersalah

Masa kanak-kanak awal 2

K E M A U A NOtonomi vs. rasa malu, keraguan

Masa bayi 1

H A R A P A NRasa percaya dasarvs.rasa tidak percaya

dasar

FIG UR 9.2 Delap an Tahapan Perkem bangan Erikson dengan Kekuatan D asar dan KrisisPsikososial yang Sesuai.

Dicetak ulang dari Terselesaikannya Siklus Kehidupan: Sebuah Tinjauan (The Life Cycle Completed. A Review) oleh Erik H. Erikson, dengan izin dari W. W. Norton & Company, Inc. Copyright © 1982 oleh Rikan Enterprises, Ltd.

Teori Kepribadian

Rasa Percaya Dasar versus Rasa Tidak Percaya DasarHubungan interpersonal bayi yang paling signifikan adalah dengan pengasuh utama mereka, biasanya ibu mereka. Apabila mereka menyadari bahwa ibu menyediakan makanan secara reguler, maka mereka mulai belajar rasa percaya dasar. Apabila mereka secara konsisten mendengar suara ibu yang ramah dan ritmis, mereka lebih mengembangkan rasa percaya dasar. Bila mereka bisa bergantung pada lingkungan visual yang menyenangkan, mereka lebih memperkuat rasa percaya dasar. Dengan kata lain, apabila pola menerima segala sesuatu cocok dengan cara kulturnya menerima segala sesuatu, maka bayi belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, mereka belajar rasa tidak percaya dasar bila mereka tidak menemui kecocokan antara kebutuhan sensori-oral mereka dengan lingkungan mereka.

Rasa percaya dasar biasanya sintonik, sementara rasa tidak percaya dasar umumnya distonik. Walaupun demikian, bayi harus mengembangkan kedua sikap tersebut. Rasa percaya terlalu besar membuat mereka mudah ditipu dan rapuh terhadap keanehan dunia, sedangkan sedikit kepercayaan mengakibatkan frustasi, amarah, sifat permusuhan, sikap sinis, atau depresi.

Rasa percaya dan tidak percaya adalah pengalaman yang tak terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup telah diberi makan dan dirawat, oleh karena itu beralasan untuk memercayai. Sebaliknya, bayi yang merasakan frustrasi karena rasa sakit, lapar, dan tidak nyaman beralasan untuk tidak memercayai. Erikson percaya bahwa rasio rasa percaya dan tidak percaya merupakan hal kritis bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi. Ia berkata pada Richard Evans (1967) bahwa “ketika kita berhadapan dengan sebuah situasi, kita harus bisa membedakan seberapa besar kita harus memercayai dan seberapa besar kita tidak boleh memercayai, dan saya menggunakan kata tidak percaya di sini dalam arti kesiapan akan bahaya dan antisipasi akan rasa tidak nyaman” (him. 15).

Benturan yang tak terhindarkan antara rasa percaya dasar dan rasa tidak percaya dasar mengakibatkan krisis psikososial pertama manusia. Apabila manusia menyelesaikan krisis ini dengan sukses, maka mereka memperoleh kekuatan dasar pertama mereka—harapan.

Harapan: Kekuatan Dasar Masa BayiHarapan muncul dari konflik antara rasa percaya dasar dan rasa tidak percaya dasar. Tanpa hubungan antitesis antara rasa percaya dan tidakpercaya, manusia tidak bisa mengembangkan harapan. Bayi harus merasakan lapar, sakit, dan tidak nyaman sebagaimana merasakan pengurangan kondisi tidak menyenangkan ini. Dengan memiliki pengalaman menyakitkan dan menyenangkan, bayi belajar untuk berharap bahwa gangguan mereka di masa depan akan diakhiri oleh hasil yang memuaskan.

Apabila bayi tidak mengembangkan harapan yang cukup pada masa ini, maka mereka akan menampilkan antitesis atau lawan dari harapan—penarikan diri, patologi inti di masa bayi. Dengan hanya sedikit harapan, mereka akan menarik diri dari dunia luar dan memulai perjalanan menuju gangguan psikologis yang serius.

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 2 9 9

Kanak-kanak AwalTahapan psikososial kedua adalah kanak-kanak awal, periode yang paralel dengan tahap anal Freud dan meliputi kurang lebih tahun kedua dan ketiga dalam kehidupan. Sekali lagi, didapati beberapa perbedaan antara pandangan Freud dan Erikson. Kami menjelaskan bahwa Freud menganggap anus sebagai zona yang paling memberikan kepuasan seksual bila tersentuh (erogenous) selama periode ini dan selama fase anal-sadistis awal, anak-anak mendapat kesenangan dengan menghancurkan atau menghilangkan objek dan nantinya mereka mendapat kesenangan dengan buang air besar.

Sekali lagi, Erikson mengambil pandangan yang lebih luas. Baginya, anak-anak mendapat kesenangan bukan hanya karena menguasai otot sirkular yang dapat berkontraksi (sphincter), namun juga menguasai fungsi tubuh lainnya, seperti buang air kecil, jalan, memegang, dan seterusnya. Selain itu, anak-anak mengembangkan rasa kendali akan lingkungan interpersonal mereka, juga pengukuran dari kendali diri. Akan tetapi, masa kanak-kanak awal juga merupakan masa di mana anak-anak mengalami rasa ragu dan malu karena mereka belajar bahwa banyak usaha mereka akan otonomi tidak berakhir dengan sukses.

Gaya Otot-Uretral-AnalSelama tahun kedua dalam kehidupan, penyesuaian psikoseksual utama anak adalah gaya otot-uretral-anal. Pada masa ini, anak belajar untuk mengendalikan tubuh mereka, khususnya berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Masa kanak-kanak awal lebih dari sekadar waktu untuk pelatihan menggunakan toilet (toilet training), namun juga waktu untuk belajar jalan, berlari, memeluk orang tua, berpegangan pada mainan, atau objek lain. Dengan aktivitas-aktivitas ini, anak-anak menunjukkan kecenderungan menjadi keras kepala. Mereka mungkin mempertahankan atau menghilangkan feses mereka atas kehendak sendiri, meringkuk pada ibu mereka atau tiba-tiba menjauhi mereka, dan senang mengumpulkan barang atau tiba-tiba menghancurkannya.

Kanak-kanak awal adalah masanya kontradiksi, masa pemberontakan yang bersikeras dan kepatuhan yang lembut, masa pengungkapan diri yang impulsif dan penyimpangan yang kompulsif, masa kerja sama yang penuh cinta dan penolakan penuh kebencian. Desakan yang bersikeras dan dorongan yang berlawanan ini memicu krisis psikososial utama masa kanak-kanak—otonomi versus rasa malu dan ragu (Erikson, 1968).

Otonomi versus Rasa Malu dan RaguBila masa kanak-kanak adalah masa untuk pengungkapan diri dan otonomi, maka masa ini juga merupakan masa untuk rasa malu dan ragu. Sebagaimana anak-anak dengan keras kepala mengungkapkan gaya otot-uretral-anal mereka, mereka cenderung menemui kultur yang berusaha untuk menghambat pengungkapan diri mereka. Orang tua mungkin mempermalukan anak mereka yang mengotori celana dan mengacaukan makanan mereka. Mereka bahkan mungkin menanamkan rasa ragu akan kemampuan anak untuk memenuhi standar mereka. Konflik antara otonomi dengan rasa malu dan ragu ini menjadi krisis psikososial utama di masa kanak-kanak awal.

Teori Kepribadian

Idealnya, anak-anak seharusnya mengembangkan rasio yang pantas antara otonomi dengan rasa malu dan ragu, dan rasio tersebut harus sedikit condong pada otonomi yang merupakan kualitas sintonik pada masa kanak-kanak awal. Anak-anak yang terlalu sedikit mengembangkan otonomi akan mendapatkan kesulitan di tahapan-tahapan yang akan datang dan kekurangan kekuatan dasar akan tahapan-tahapan selanjutnya.

Menurut diagram epigenetik Erikson (lihat Figur 9.1 dan 9.2), otonomi tumbuh dari rasa percaya dasar, dan bila rasa percaya dasar telah dicapai pada masa bayi, maka anak- anak belajar untuk memiliki keyakinan terhadap diri mereka sendiri, dan dunia tetap utuh selama mereka mengalami krisis psikososial yang ringan. Sebaliknya, bila anak-anak tidak mengembangkan rasa percaya dasar selama masa bayi, maka usaha mereka untuk mengendalikan organ anal, uretral, dan ototnya selama masa kanak-kanak awal akan diakhiri dengan rasa malu dan ragu yang kemudian membangun krisis psikososial yang serius. Rasa malu adalah perasaan sadar diri bahwa ia dipandangi dan dipertontonkan. Rasa ragu, di sisi lain, adalah perasaan tidak pasti, perasaan bahwa sesuatu tetap disembunyikan dan tidak bisa terlihat. Rasa malu dan ragu adalah kualitas distonik, dan keduanya tumbuh dari rasa tidak percaya dasar yang dicapai ketika masa bayi.

Keinginan: Kekuatan Dasar Kanak-kanak AwalKekuatan dasar akan keinginan dan kemauan berkembang dari resolusi krisis otonomi versus rasa malu dan ragu. Langkah ini adalah awal dari kehendak bebas dan kekuatan keinginan— namun hanya awal. Kekuatan keinginan yang matang dan ukuran signifikan kehendak bebas tertahan hingga tahapan perkembangan selanjutnya, namun mereka berasal dari keinginan awal yang timbul pada masa kanak-kanak awal. Siapapun yang menghabiskan banyak waktu dengan anak berusia dua tahun, tahu betapa mereka berkemauan. Pelatihan penggunaan toilet sering melambangkan konflik kehendak antara orang dewasa dan anak-anak, namun ungkapan kehendak tidak terbatas pada area ini saja. Konflik dasar selama kanak-kanak awal adalah antara perjuangan anak akan otonomi dan usaha orang tua untuk mengendalikan anak dengan menggunakan rasa malu dan ragu.

Anak-anak hanya akan berkembang bila lingkungan mereka membiarkan mereka memiliki pengungkapan diri dalam kendali otot sphincter dan otot-otot lainnya. Ketika pengalaman mereka mengakibatkan rasa malu dan ragu yang terlalu besar, anak-anak tidak mampu mengembangkan kekuatan dasar yang penting ini. Ketidakmampuan ini akan diungkapkan sebagai dorongan, patologi inti dari masa kanak-kanak awal. Terlalu kecilnya keinginan dan terlalu besarnya dorongan akan terbawa sampai usia bermain sebagai kurangnya tujuan dan hingga usia sekolah sebagai kurangnya rasa peraya diri.

Usia BermainTahap perkembangan ketiga Erikson adalah usia bermain, periode yang meliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic)—sekitar usia 3 sampai 5 tahun. Sekali lagi, perbedaan timbul antara pandangan Freud dan Erikson. Sementara Freud menempatkan Oedipus complex sebagai inti dari fase alat kelamin, Erikson percaya bahwa Oedipus complex hanya

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 301

salah satu perkembangan penting selama usia bermain. Erikson (1968) menyatakan bahwa selain mengidentifikasikan diri dengan orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah mengembangkan daya gerak, keterampilan berbicara, keingintahuan, imajinasi, dan kemampuan untuk menentukan tujuan.

Gaya Lokomotor-GenitalGaya psikoseksual utama selama usia bermain adalah lokomotor-genital. Erikson (1982) melihat situasi Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia” (him. 77). Dengan kata lain, Oedipus complex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak dan mencakup pengertian yang mulai meningkat akan konsep dasar, seperti reproduksi, pertumbuhan, masa depan, dan kematian. Oedipus complex dan castration complex (penyunatan) tidak selalu diterjemahkan secara harfiah. Seorang anak mungkin memainkan peran sebagai ibu, ayah, istri, dan suami, namun peran tersebut bukan hanya merupakan ungkapan gaya genital, tetapi juga ungkapan berkembang pesatnya kemampuan lokomotor. Seorang anak perempuan mungkin merasa iri pada anak laki-laki, bukan karena anak laki- laki memiliki penis, namun karena masyarakat memberikan lebih banyak hak prerogatif pada anak-anak dengan penis. Seorang anak laki-laki mungkin memiliki kecemasan akan kehilangan sesuatu, namun kecemasan ini tidak hanya mengacu pada penis, namun juga bagian tubuh lain. Oleh karena itu, Oedipus complex kurang dari dan lebih dari apa yang dipercaya oleh Freud sebagai seksualitas kekanak-kanakan “tidak lebih dari isyarat akan hal- hal yang akan datang” (Erikson, 1963, him. 86). Kecuali, ketertarikan seksual didorong oleh peran sekual kultur atau penyiksaan seksual oleh orang dewasa, Oedipus complex tidak akan menghasilkan efek berbahaya bagi perkembangan kepribadian nantinya.

Ketertarikan anak-anak usia bermain akan aktivitas genital diiringi dengan meningkatnya sarana daya gerak mereka. Mereka sekarang dengan mudahnya bergerak, berlari, melompat, dan memanjat tanpa usaha yang berat dan permainan mereka menunjukkan inisiatif serta imajinasi. Keinginan awal ini, berkembang selama tahapan sebelumnya, sekarang berkembang menjadi aktivitas dengan tujuan. Kemampuan kognitif anak memungkinkan mereka untuk menghasilkan khayalan terperinci yang tidak hanya mencakup khayalan Oedipal, namun juga mencakup gambaran, seperti ketika mereka besar nanti, untuk menjadi mahakuasa, atau menjadi binatang buas. Akan tetapi, khayalan- khayalan ini juga menghasilkan rasa bersalah sehingga berkontribusi pada krisis psikososial pada usia sekolah, yang dinamai inisiatif versus rasa bersalah.

Inisiatif versus Rasa BersalahSebagaimana anak mulai bergerak dengan lebih mudah dan lebih kuat dan sebagaimana ketertarikan genital mereka bangkit, mereka mengadopsi gaya intrusif berhadap-hadapan untuk melakukan pendekatan terhadap dunia. Walaupun mereka mulai mengadopsi inisiatif dalam memilih dan mengejar tujuan mereka, banyak tujuan seperti menikahi ayah atau ibu mereka atau meninggalkan rumah harus ditekan atau ditunda. Akibat dari tujuan yang tabu dan terhambat ini adalah rasa bersalah. Konflik antara inisiatif dan rasa bersalah menjadi krisis psikososial utama di usia bermain.

Teori Kepribadian

Sekali lagi, rasio antara keduanya harus lebih condong ke kualitas sintonik—inisiatif. Akan tetapi, inisiatif tak terkendali dapat mengakibatkan kekacauan dan kurangnya prinsip moral. Di sisi lain, apabila rasa bersalah adalah elemen dominan, anak bisa menjadi bermoral dengan terpaksa atau terlalu terkekang. Kekangan, yang merupakan antipati dari tujuan, merupakan patologi inti di usia bermain.

Tujuan: Kekuatan Dasar Usia BermainKonflik antara inisiatif versus rasa bersalah menghasilkan kekuatan dasar tujuan. Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Ketertarikan genital mereka memiliki arah, dengan ibu atau ayah sebagai objek dorongan seksual mereka. Mereka menentukan sasaran dan mengejar sasaran tersebut dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahapan di mana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai menempelkan label benar atau salah pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi “landasan akan moralitas” (Erikson, 1968, him. 119).

Usia SekolahKonsep usia sekolah Erikson meliputi perkembangan dari usia 6 tahun hingga sekitar usia 12 atau 13 tahun dan cocok dengan tahun-tahun reasa laten dalam teori Freud. Pada usia ini, dunia sosial anak-anak meluas di luar keluarga, mencakup kelompok teman, guru, dan panutan dewasa lainnya. Untuk anak usia sekolah, keinginan mereka untuk mengetahui sesuatu menjadi lebih kuat dan terikat dengan usaha dasar akan kompetensi. Pada perkembangan normal, anak-anak berusaha dengan rajin untuk membaca dan menulis, berburu dan memancing, atau untuk mempelajari keterampilan yang dibutuhkan oleh kultur mereka. Usia sekolah tidak harus berarti sekolah formal. Dalam budaya pandai baca-tulis kontemporer, sekolah dan guru profesional memainkan peranan utama dalam pendidikan anak, sedangkan pada masyarakat yang belum bisa baca-tulis, orang dewasa menggunakan metode efektif yang kurang formal, namun efektif untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenai masyarakat.

LatensiErikson setuju dengan Freud bahwa usia sekolah adalah periode latensi psikoseksual. Latensi seksual penting karena memungkinkan anak-anak mengalihkan energi mereka untuk mempelajari teknologi kultur mereka dan strategi akan interaksi sosial mereka. Sebagaimana anak-anak bekerja dan bermain untuk memperoleh hal-hal esensial ini, mereka mulai membentuk gambaran diri mereka sebagai orang yang kompeten dan tidak kompeten. Gambaran diri ini adalah asal dari ego identitas—rasa “saya” atau “kesayaan” yang berkembang hampir secara utuh selama remaja.

Industri versus Rasa Rendah DiriWalaupun usia sekolah adalah periode perkembangan seksual yang kecil, namun merupakan waktu pertumbuhan sosial yang luar biasa. Krisis psikososial pada tahapan ini adalah industri

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-AIiran Freud (Post-Freudian) 303

versus rasa rendah diri. Industri, kualitas sintonik yang berarti kesungguhan, kemauan untuk tetap sibuk akan sesuatu, dan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Anak-anak usia sekolah belajar untuk bekerja dan bermain pada aktivitas yang diarahkan agar memperoleh kemampuan bekerja dan mempelajari aturan dalam bekerja sama.

Sebagaimana anak belajar untuk melakukan sesuatu dengan baik, mereka mengembangkan rasa industri. Akan tetapi, jika pekerjaan mereka tidak cukup baik untuk mencapai sasaran, maka mereka memperoleh rasa rendah diri—kualitas distonik dalam usia sekolah. Ketidakmampuan sebelumnya juga dapat memberikan kontribusi pada rasa rendah diri anak. Contohnya, bila anak memperoleh terlalu banyak rasa bersalah dan tujuan terlalu kecil selama usia bermain, mereka akan cenderung merasa rendah diri dan tidak kompeten selama usia sekolah. Akan tetapi, kegagalan tak dapat dielakkan. Erikson optimis dengan menyatakan bahwa manusia mampu mengatasi krisis dengan sukses di tahapan apapun walaupun mereka tidak sepenuhnya sukses pada tahapan sebelumnya.

Rasio antara industri dan rasa rendah diri harus, tentu saja, condong pada industri, namun rasa rendah diri, seperti kualitas distonik lainnya, tidak perlu dihindari. Seperti yang dikatakan oleh Alfred Adler (Bab 3), rasa rendah diri dapat bekerja sebagai pendorong seseorang untuk melakukan yang terbaik. Sebaliknya, rasa rendah diri yang berlebihan dapat menghalangi aktivitas produktif dan menghambat rasa kompetensi seseorang.

Kompetensi: Kekuatan Dasar Usia SekolahDari konflik industri versus rasa rendah diri, anak usia sekolah mengembangkan kekuatan dasar kompetensi, yaitu rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuan fisik dan kognitif dalam menyelesaikan masalah yang mengiringi usia sekolah. Kompetensi memberikan landasan untuk “partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif” (Erikson, 1968, him. 126).

Apabila pertentangan antara industri dan rasa rendah diri tidak condong, baik pada rasa rendah diri ataupun industri yang berlebihan, maka anak-anak akan cenderung menyerah dan mundur ke tahapan perkembangan sebelumnya. Mereka mungkin akan terpaku dengan khayalan genital dan Oedipal kekanak-kanakan mereka serta menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam permainan nonproduktif. Kemunduran ini disebut inersia, antitesis dari kompetensi dan patologi inti usia sekolah.

RemajaRemaja, periode dari pubertas hingga masa dewasa muda, merupakan salah satu tahapan perkembangan yang paling krusial karena di akhir periode ini, seseorang harus sudah mendapatkan rasa ego identitas yang tetap. Walaupun ego identitas tidak dimulai maupun diakhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya selama tahapan ini. Dari krisis identitas versus kebingungan identitas timbul kesetiaan,

kekuatan dasar masa remaja.

Erikson (1982) melihat remaja sebagai periode latensi sosial, seperti ia melihat usia sekolah sebagai periode latensi seksual Walaupun remaja berkembang secara seksual

3 0 4 Teori Kepribadian

dan kognitif, di sebagian besar masyarakat Barat mereka diperbolehkan untuk menunda komitmen jangka panjangnya terhadap suatu pekerjaan, pasangan seksual, atau filosofi adaptif akan kehidupan. Mereka diizinkan untuk mengalami berbagai cara dan untuk mencoba peran-peran serta keyakinan baru sambil mencari-cari untuk mencapai rasa ego identitas. Jadi, remaja adalah fase adaptif dari perkembangan kepribadian atau periode mencoba-coba.

PubertasPubertas, didefinisikan sebagai kematangan genital yang memainkan peranan cukup kecil dalam konsep remaja Erikson. Untuk sebagian orang muda, kematangan genital tidak menampilkan krisis seksual. Akan tetapi, pubertas penting secara psikologis karena memicu pengharapan akan peran seksual di masa mendatang—peran yang secara esensial sosial dan dapat dipenuhi hanya dengan perjuangan untuk mencapai ego identitas.

Identitas versus Kebingungan IdentitasPencarian akan ego identitas mencapai puncaknya selama remaja sebagai anak muda yang berjuang untuk mencari tahu siapa dirinya dan bukan dirinya. Dengan berkembangnya pubertas, remaja mencari peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka. Dalam pencarian ini, remaja menarik dari beragam gambaran diri sebelumnya yang telah diterima dan ditolak. Oleh karena itu, bibit identitas mulai bertunas selama masa bayi dan terus tumbuh selama masa kanak-kanak, usia bermain, dan usia sekolah. Lalu selama remaja, identitas ini dikuatkan dalam krisis yang anak muda coba atasi dengan konflik psikososial identitas versus kebingungan identitas.

Pada masa remaja akhir terjadi pencarian identitas, termasuk juga menemukan identitas seksual

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 305

Sebuah krisis tidak harus menandakan ancaman atau malapetaka, melainkan “titik balik, periode krusial akan meningkatnya kerapuhan dan memuncaknya potensi” (Erikson, 1968, him. 96). Krisis identitas dapat bertahan selama bertahun-tahun dan dapat mengakibatkan kekuatan ego yang lebih kuat atau lebih lemah.

Menurut Erikson (1982), identitas timbul dari dua sumber: (1) penegasan atau penyangkalan remaja akan identifikasi masa kanak-kanak, dan (2) konteks sosial serta sejarah mereka, yang mendukung konformitas pada standar tertentu. Anak muda sering kali menyangkal standar tetua mereka, memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Bagaimana pun, masyarakat di mana mereka hidup memainkan peran penting dalam membentuk identitas mereka.

Identitas digambarkan, baik dengan cara positif maupun negatif, sebagaimana remaja memutuskan apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka yakini, sementara juga menemukan apa yang mereka tidak inginkan untuk menjadi dan apa yang mereka tidak percayai. Sering kali mereka harus menyangkal nilai-nilai orang tua mereka dan menolak nilai-nilai teman kelompok, dilema yang dapat menguatkan kebingungan identitas mereka.

Kebingungan identitas adalah gejala dari masalah yang mencakup gambaran diri yang terpisah, ketidakmampuan untuk mencapai keintiman, rasa terdesak oleh waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas-tugas yang harus dilakukan, dan penolakan keluarga atau standar komunitas. Seperti kecenderungan distonik lainnya, sebagian kebingungan identitas adalah normal dan dibutuhkan. Anak-anak muda harus mengalami sedikit keraguan dan kebingungan akan diri mereka sebelum dapat mengembangkan identitas yang tetap. Mereka mungkin meninggalkan rumah (seperti yang dilakukan Erikson) untuk berkelana sendiri melakukan pencarian diri; bereksperimen dengan obat-obatan terlarang dan seks; mengidentifikasikan diri dengan gerombolan anak jalanan; bergabung dengan kelompok agama; atau mencaci-maki masyarakat yang ada, tanpa jawaban alternatif. Atau mereka secara sederhana dan tenang memikirkan di mana tempat mereka di dunia dan nilai-nilai apa yang mereka pegang teguh.

Sekali lagi, teori Erikson konsisten dengan hidupnya sendiri. Pada sekitar usia 18 tahun, ketika merasa terasing dari standar hidup keluarganya yang borjuis, Erikson bertekad mencari gaya hidup yang berbeda. Dikaruniai bakat melukis dan masih dengan kebingungan identitas, ia menghabiskan waktu tujuh tahun berkelana di Eropa Selatan dalam pencarian identitasnya sebagai seniman. Erikson (1975) mengacu pada tahapan dalam kehidupannya ini sebagai masa ketidakpuasan, pemberontakan, dan kebingungan identitas.

Walaupun kebingungan identitas merupakan bagian yang dibutuhkan dalam pencarian identitas, kebingungan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan penyesuaian patologis dalam bentuk kemunduran ke tahapan sebelumnya dalam perkembangan. Kita bisa menunda tanggung jawab kedewasaan dan terombang-ambing tanpa sasaran dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari pasangan seks satu ke lainnya, atau dari satu ideologi ke yang lainnya. Sebaliknya, jika kita mengembangkan rasio yang baik akan identitas dan kebingungan identitas, maka kita akan memiliki (1) keyakinan dalam arti prinsip ideologis, (2) kemampuan untuk memutuskan secara bebas bagaimana seharusnya kita bertingkah laku, (3) rasa percaya dari kelompok teman dan orang dewasa yang memberikan saran mengenai sasaran serta aspirasi, dan (4) rasa percaya diri terhadap pilihan pekerjaan kita saat ini.

Teori Kepribadian

Kesetiaan: Kekuatan Dasar RemajaKekuatan dasar yang timbul dari krisis identitas remaja adalah kesetiaan atau keyakinan terhadap satu ideologi. Setelah mencapai standar internal tingkah laku, remaja tidak lagi membutuhkan bimbingan orang tua, namun memiliki rasa percaya diri dalam ideologi agama, politik, dan sosial mereka sendiri.

Rasa percaya yang dipelajari saat bayi adalah dasar dari kesetiaan di masa remaja. Anak- anak muda harus belajar memercayai orang lain sebelum mereka memiliki keyakinan akan pandangan mereka terhadap masa depan. Mereka harus mengembangkan harapan selama masa bayi dan mereka harus mengiringi harapan tersebut dengan kekuatan dasar lain— keinginan, tujuan, dan kompetensi. Tiap-tiap kekuatan dasar tersebut merupakan prasyarat bagi kesetiaan, sebagaimana kesetiaan esensial untuk mencapai kekuatan ego yang cukup.

Pasangan patologis kesetiaan adalah penyangkalan peran, patologi inti remaja yang menghalangi kemampuan seseorang untuk mempersatukan beragam gambaran diri dan nilai- nilai menjadi identitas yang berfungsi. Penyangkalan peran dapat berupa kurangnya percaya diri atau penyimpangan (Erikson, 1982). Kurangnya percaya diri adalah kurangnya keyakinan diri dan kepercayaan diri secara ekstrem yang diungkapkan dengan rasa malu dan ragu untuk mengekspresikan diri sendiri. Sebaliknya, penyimpangan adalah tindakan memberontak melawan penguasa. Remaja menyimpang yang keras kepala, berpegang pada kepercayaan dan praktik yang tidak diterima masyarakat semata-mata karena kepercayaan dan praktik tersebut tidak diterima. Sejumlah penyangkalan peran, Erikson percaya, dibutuhkan bukan hanya karena memungkinkan remaja mengembangkan identitas pribadi mereka, namun juga karena memberikan gagasan-gagasan baru dan vitalitas baru ke dalam struktur sosial.

Dewasa MudaSetelah memperoleh rasa identitas selama remaja, seseorang harus memperoleh kemampuan untuk meleburkan identitas tersebut dengan identitas orang lain sambil mempertahankan rasa individualitas mereka. Dewasa muda—masa dari sekitar usia 19 sampai 30 tahun— tidak terlalu dibatasi oleh waktu, namun dimulai dengan adanya keintiman di awal tahapan dan perkembangan generativitas di akhir. Untuk sebagian orang, tahapan ini cukup singkat, hanya bertahan mungkin selama beberapa tahun. Untuk yang lainnya, dewasa muda mungkin berlanjut selama beberapa dekade. Dewasa muda harus mengembangkan genitalitas yang matang, mengalami konflik antara keintiman dan keterasingan, serta memperoleh kekuatan dasar cinta.

GenitalitasBanyak dari aktivitas seksual selama masa remaja adalah ungkapan pencarian akan identitas dan pada dasarnya harus disediakan oleh diri sendiri. Genetalitas sejati dapat berkembang hanya selama dewasa muda ketika ia dibedakan dengan rasa percaya yang sama dan berbagi secara stabil kepuasan seksual dengan seseorang yang dicintai. Ia merupakan pencapaian utama psikoseksual terhadap masa dewasa muda dan hanya didapati dalam hubungan intim (Erikson, 1963).

Bab 9 Erikson: Teori Pasca-AIiran Freud (Post-Freudian) | 3 0 7

Keintiman versus KeterasinganDewasa muda ditandai dengan krisis psikososial keintiman versus keterasingan. Keintiman adalah kemampuan untuk meleburkan identitas seseorang dengan orang lain tanpa ketakutan akan kehilangan identitas tersebut. Oleh karena keintiman hanya dapat dicapai ketika seseorang sudah membentuk ego yang stabil, maka perasaan tergila-gila akan seseorang yang biasa ditemui pada remaja muda bukanlah keintiman yang sebenarnya. Orang yang tidak yakin akan identitas mereka sendiri, bisa menarik diri dari keintiman psikososial atau dengan putus asa mencari keintiman melalui hubungan seksual yang tidak bermakna.

Sebaliknya, keintiman yang matang berarti kemampuan dan kemauan untuk berbagi rasa percaya yang timbal balik. Hal ini melibatkan pengorbanan, kompromi, dan komitmen dalam hubungan dua orang yang setara. Hal ini seharusnya merupakan syarat pernikahan, namun banyak perkawinan kurang memiliki keintiman karena anak muda menikah sebagai bagian dari pencarian identitas yang mereka gagal lakukan selama remaja.

Dalam psikosoial, lawan dari keintiman adalah keterasingan yang didefinisikan sebagai “ketidakmampuan untuk mengambil kesempatan dengan identitas seseorang dengan berbagi keintiman sejati” (Erikson, 1968, him. 137). Sebagian orang menjadi sukses secara finansial atau sosial, namun tetap memiliki rasa keterasingan karena mereka tidak mampu menerima tanggung jawab orang dewasa, seperti kerja produktif, prokreasi, dan cinta yang matang.

Sekali lagi, tingkat tertentu akan keterasingan dibutuhkan sebelum seseorang dapat memperoleh cinta yang matang. Kebersamaan yang berlebihan dapat menghilangkan rasa ego identitas seseorang, yang mengakibatkan seseorang pada kemunduran psikososial dan ketidakmampuan untuk menghadapi tahapan perkembangan selanjutnya. Bahaya yang lebih besar, tentunya, adalah keterasingan yang berlebihan, keintiman yang terlalu kecil, dan kekurangan kekuatan dasar cinta.

Cinta: Kekuatan Dasar Dewasa MudaCinta merupakan kekuatan dasar dewasa muda yang muncul dari krisis keintiman versus keterasingan. Erikson (1968, 1982) mendefinisikan cinta sebagai pengabdian matang yang mengatasi perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita. Walaupun cinta mencakup keintiman, ia juga mencakup keterasingan dalam tingkat tertentu karena tiap pasangan diizinkan untuk mempertahankan identitasnya secara terpisah. Cinta yang matang berarti komitmen, hasrat seksual, kerja sama, persaingan, dan pertemanan. Ini adalah kekuatan dasar dewasa muda yang memungkinkan seseorang untuk berhasil melalui dua tahapan perkembangan terakhir secara produktif.

Lawan dari cinta adalah eksklusivitas, inti patologi pada dewasa muda. Beberapa eksklusivitas, bagaimanapun juga, diperlukan untuk keintiman. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk mencegah ide, aktivitas, atau orang tertentu demi mengembangkan kepekaannya terhadap identitas. Eksklusivitas menjadi patologi ketika ia menghambat kemampuan seseorang dalam bekerja sama, bersaing, atau berkompromi—semua hal yang mendasari keintiman dan cinta.

Teori Kepribadian

DewasaTahapan perkembangan ketujuh adalah masa dewasa, yaitu masa di mana manusia mulai mengambil bagian dalam masyarakat dan menerima tanggung jawab dari apapun yang diberikan oleh masyarakat. Untuk sebagian besar orang, dewasa muda adalah tahapan perkembangan yang paling lama, menghabiskan waktu dari usia 31 sampai 60 tahun. Masa dewasa ditandai oleh gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial generativitas versus stagnasi, dan kekuatan dasar rasa peduli.

ProkreativitasTeori psikoseksual Erikson berasumsi bahwa dorongan insting mempertahankan spesies. Dorongan ini adalah lawan dari insting binatang orang dewasa terhadap prokreasi dan merupakan perpanjangan dari genitalitas yang menandai masa dewasa muda (Erikson, 1982). Akan tetapi, prokreativitas tidak sekadar mengacu pada kontak genital dengan pasangan intim. Ia juga mencakup tanggung jawab untuk mengasuh keturunan yang merupakan hasil kontak seksual. Idealnya, prokreasi datang dari keintiman yang matang dan cinta yang stabil selama tahapan sebelumnya. Kenyataannya, manusia mampu secara fisik untuk menghasilkan keturunan sebelum mereka siap secara psikologis untuk memikirkan kesejahteraan anak-anak mereka.

Dewasa yang matang menuntut lebih dari prokreasi keturunan. Ia juga mencakup merawat anak-anak sendiri dan juga anak-anak orang lain. Selain itu, ia juga meliputi bekerja secara produktif untuk menyampaikan kultur dari satu generasi ke generasi lain.

Generativitas versus StagnasiKualitas sintonik masa dewasa adalah generativitas yang didefinisikan sebagai “generasi akan keberadaan baru sebagaimana produk-produk baru dan gagasan-gagasan baru” (Erikson, 1982, him. 67). Generativitas, yang berurusan dengan menetapkan dan membimbing generasi selanjutnya, mencakup prokreasi anak, produksi bekerja, dan kreasi hal-hal serta gagasan-gagsan baru yang berkontribusi untuk membangun dunia yang lebih baik.

Manusia memiliki kebutuhan bukan hanya untuk belajar, namun juga untuk memberikan petunjuk. Kebutuhan ini meluas bukan hanya pada anak sendiri, namun menjadi kepedulian altruistik akan anak-anak muda lain. Generativitas tumbuh dari kualitas sintonik lainnya, seperti keintiman dan identitas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keintiman merupakan kemampuan untuk meleburkan ego seseorang dengan orang lain tanpa rasa takut akan kehilangan ego tersebut. Kesatuan identitas ego ini mengakibatkan perluasan berangsur-angsur akan minat. Selama masa dewasa, keintiman satu lawan satu tidak lagi cukup. Orang-orang lain, khususnya anak-anak, menjadi bagian dari rasa peduli kita. Memberikan petunjuk akan kultur adalah praktik yang ditemukan pada semua masyarakat. Untuk dewasa yang sudah matang, dorongan ini bukan semata-mata kewajiban atau kebutuhan egois, namun merupakan dorongan evolusioner untuk berkontribusi pada generasi yang sukses dan untuk memastikan kesinambungan masyarakat manusia juga.

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 309

Rasa Peduli: Kekuatan Dasar DewasaErikson (1982) mendefinisikan rasa peduli sebagai “komitmen meluas untuk merawat seseorang, produk, dan gagasan seseorang yang harus dipedulikan” (him. 67). Sebagai kekuatan dasar dewasa, rasa peduli timbul dari kekuatan dasar ego sebelumnya. Seseorang harus memiliki harapan, kemauan, tujuan, kompetensi, kesetiaan, dan cinta untuk merawat orang-orang yang mereka sayangi. Rasa peduli bukanlah tugas atau kewajiban, namun dorongan alamiah yang muncul dari konflik antara generativitas dan stagnasi atau keterpakuan diri.

Antipati dari rasa peduli adalah penolakan, patologi inti dewasa. Penolakan adalah ketidakinginan untuk merawat orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu (Erikson, 1982). Penolakan tampil sebagai keterpusatan diri, provinsialisme, atau pseudospesiasi, yaitu keyakinan bahwa kelompok manusia lain lebih rendah dari kelompoknya sendiri. Penolakan bertanggung jawab atas kebencian manusia, penghancuran, kekejaman, dan perang. Sebagaimana dikatakan Erikson, penolakan “memiliki implikasi sangat jauh untuk kelangsungan hidup spesies sebagaimana untuk perkembangan psikososial seseorang” (him. 70).

Usia LanjutTahapan perkembangan kedelapan dan terakhir adalah usia lanjut. Erikson berusia sekitar 40 tahunketika ia pertama kali memikirkan konsep tahapan ini dan semena-mena mendefinisikan usia lanjut sebagai periode dari usia 60 tahun sampai akhir kehidupan. Usia lanjut bukan berarti seseorang sudah tak lagi menghasilkan (generative). Prokreasi, dalam artian sempit menghasilkan anak, mungkin sudah tidak lagi, namun orang dalam usia lanjut tetap bisa produktif dan kreatif dalam banyak cara lain.Mereka dapat menjadi kakek nenek yang merawat cucu-cucu mereka' Tahapan perkembangan Erikson terbentang hinggajuga an ggota m asyarakat lam yang usialanjut

lebih muda. Usia lanjut dapat menjadimasa akan kesenangan, keriangan, dan bertanya-tanya, namun juga masa akan kepikunan, depresi, dan keputusasaan. Gaya psikoseksual usia lanjut adalah sensualitas tergeneralisasi, krisis psikososial integritas versus keputusasaan, dan kekuatan dasar kebijaksanaan.

310 Teori Kepribadian

Sensualitas TergeneralisasiTahapan psikoseksual terakhir adalah sensualitas tergeneralisasi. Erikson tidak berkata banyak mengenai gaya kehidupan psikoseksual ini, namun seseorang dapat berkesimpulan bahwa sensualitas tergeneralisasi memiliki arti mendapat kesenangan dalam ragam sensasi fisik yang berbeda—penglihatan, suara, rasa, bau, berpelukan, dan mungkin rangsangan genital. Sensualitas tergeneralisasi juga dapat mencakup apresiasi yang lebih besar akan gaya hidup tradisional dari lawan jenis. Pria dapat lebih menurut dan menerima terhadap kesenangan dalam hubungan nonseksual, termasuk mereka yang memiliki cucu dan cicit. Wanita menjadi semakin tertarik dan terlibat dalam politik, finansial, dan peristiwa dunia (Erikson, Erikson, & Kivnick, 1986). Akan tetapi, sikap sensualitas tergeneralisasi bergantung pada kemampuan seseorang untuk mempertahankan sesuatu, yaitu mempertahankan integritas dalam wajah keputusasaan.

Integritas versus KeputusasaanKrisis identitas manusia terakhir adalah integritas versus keputusasaan. Di akhir kehidupan, kualitas distonik akan keputusasaan mungkin akan unggul, namun bagi orang-orang dengan ego identitas yang kuat dan telah mengalami keintiman serta merawat orang-orang dan hal- hal lain, kualitas sintonik integritas akan dominan. Integritas berarti perasaan akan keutuhan dan koherensi, kemampuan untuk mempertahankan rasa “kesayaan” serta tidak kehilangan kekuatan fisik dan intelektual.

Lebih dari B iografi Siapa Erik Erikson? Untuk informasi mengenai pencarian sepanjang hidup Erikson akan identitas dirinya, silakan kunjungi situs web kami di www.mhhe.com/feist7

Integritas ego kadang sulit dipertahankan ketika seseorang kehilangan aspek familiar dalam keberadaan mereka, seperti suami atau istri, teman, kesehatan fisik, kekuatan tubuh, kewaspadaan mental, kemandirian, dan kebergunaan sosial. Dalam tekanan tersebut, orang sering diliputi rasa keputusasaan, yang dapat mereka ungkapkan sebagai rasa jijik, depresi, muak akan orang lain, atau sikap lainnya yang menunjukkan rasa tidak terima terhadap batasan kehidupan.

Keputusasaan secara harfiah berarti tanpa harapan. Pengkajian ulang Figur 9.2 memperlihatkan keputusasaan, kualitas distonik terakhir dalam siklus kehidupan, terletak di sudut berlawanan dengan harapan, kekuatan dasar pertama manusia. Dari masa bayi hingga usia lanjut, harapan bisa diperoleh. Seketika harapan itu hilang, keputusasaan mengikuti dan hidup tak lagi bermakna.

Kebijaksanaan: Kekuatan Dasar Usia LanjutSejumlah keputusasaan merupakan hal yang wajar dan dibutuhkan untuk kematangan psikologis. Pertarungan tak terelakkan antara integritas dan keputusasaan menghasilkan kebijaksanaan , kekuatan dasar usia lanjut. Erikson (1982) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “kepedulian terdidik dan terpisah dengan kehidupan itu sendiri dalam menghadapi

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 311

kematian itu sendiri” (him. 61). Manusia dengan kepedulian terpisah bukan berarti kurang memiliki kepedulian, melainkan mereka menunjukkan minat aktif, namun tidak berhasrat. Dengan kebijaksanaan yang matang, mereka mempertahankan integritas mereka walaupun kemampuan fisik dan mentalnya menurun. Kebijaksanaan ditarik dari dan berkontribusi pada pengetahuan tradisional dari generasi ke generasi. Di usia lanjut, manusia memikirkan persoalan pokok, termasuk ketidakberadaan (Erikson, Erikson, 8c Kivnick, 1986).

Antitesis dari kebijaksanaan dan patologi inti usia lanjut adalah penghinaan , yang Erikson (1982, him. 61) definisikan sebagai “reaksi terhadap perasaan (atau melihat orang lain) dalam meningkatnya kondisi tamat, bingung, dan tak berdaya”. Penghinaan adalah kelanjutan dari penolakan yang merupakan patologi inti masa dewasa.

Seiring menuanya Erikson, ia menjadi kurang optimis akan usia lanjut. Ia dan istrinya mulai menggambarkan tahapan kesembilan—periode usia sangat lanjut ketika kelemahan fisik dan mental merampas kemampuan generatif dan menguranginya hanya untuk menanti kematian. Joan, khususnya, tertarik pada tahapan kesembilan ini sebagaimana ia melihat kesehatan suaminya memburuk dengan cepat selama tahun-tahun terakhir kehidupannya. Sayangnya, Joan sendiri meninggal dunia sebelum ia menyelesaikan tahapan kesembilan ini.

Rangkuman Siklus HidupSiklus kehidupan Erikson terangkum dalam Tabel 9.1. Masing-masing dari kedelapan tahapan ditandai oleh gaya psikoseksual dan krisis psikososial. Krisis psikososial dipicu oleh konflik antara elemen sintonik yang dominan dengan elemen distonik antitesisnya. Tiap kekuatan dasar memiliki antipati yang mendasarinya menjadi patologi inti pada tahapan tersebut. Manusia memiliki radius hubungan signifikan yang selalu meningkat, dimulai dengan seseorang yang keibuan di masa bayi dan diakhiri dengan identifikasi terhadap semua umat manusia selama masa usia lanjut.

Kepribadian selalu berkembang selama periode sejarah tertentu dan dalam masyarakat. Walaupun demikian, Erikson percaya bahwa kedelapan tahapan perkembangan ini melampaui kronologi dan geografi serta cocok untuk hampir semua kultur, baik di masa lampau ataupun sekarang.

TABEL 9.1

Rangkuman Delapan Tahapan Siklus Kehidupan Erikson

Tahapan Gaya Krisis Kekuatan Patologi Hubungan

Psikoseksual Psikososial Dasar Inti Signifikan

8 Generalisasi Integritas vs. Kebijaksanaan Penghinaan Semua

Usia lanjut gaya sensual keputusasaan umat manusia

7 Prokreativitas Generativitas vs. Kepedulian Penolakan Pekerjaan terpisah

Dewasa stagnasi dan berbagi rumahtangga

Teori Kepribadian

TABEL 9.1

Rangkuman Delapan Tahapan Siklus Kehidupan Erikson

Tahapan Gaya Krisis Kekuatan Patologi Hubungan

Psikoseksual Psikososial Dasar Inti Signifikan

6

Dewasa muda

Genitalitas Keintiman vs. keterasingan

Cinta Eksklusivitas Pasangan seksual,

5

Remaja

Pubertas Identitas vs.kebingunganidentitas

Kesetiaan Penyangkalan

Peran

Kelompok

teman

4

Usia sekolah

Latensi Industri vs. rasa rendah diri

Kompetensi Inersia Lingkungan tempat tinggal, sekolah

3

Usia bermain

Lokomotor-genitalkekanak-kanakan

Inisiatifvs. rasa bersalah

Tujuan Keterhambatan Keluarga

2

Kanak-kanak awal

Otot-uretral-anal Otonomi vs. rasa malu, ragu

Kemauan Paksaan Orang tua

1

Masa bayi

Pernapasan

-oral: sensori- kinestetik

Rasa percaya dasar vs. rasa tidak percaya dasar

Harapan Penarikan diri Seseoarang yang keibuan

Dari Terselesaikannya Siklus Kehidupan: Sebuah Tinjauan (The Life Cycle Completed: A Review) oleh Erik H. Erikson, Hak cipta © 1982 oleh Rikan Enterprises, Ltd. Dicetak ulang dengan izin dari W. W. Norton & Company, Inc.

Metode Investigasi EriksonErikson menyatakan bahwa kepribadian adalah produk sejarah, kultur, serta biologi, dan metode investigasinya yang beragam mencerminkan keyakinan ini. Ia menggunakan metode antropologis, sejarah, sosiologis, dan klinis untuk mempelajari anak-anak, remaja, dewasa yang matang, dan orang usia lanjut. Ia mempelajari bangsa Amerika kelas menengah, anak- anak Eropa, orang bangsa Sioux dan Yurok di Amerika Utara, dan bahkan pelaut di kapal selam. Ia menulis profil biografis Adolf Hitler, Maxim Gorky, Martin Luther, dan Mohandas K. Ghandi dan lainnya. Pada bagian ini, kami menampilkan dua pendekatan yang Erikson gunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan kepribadian manusia—studi antropologis dan psikohistoris.

Studi AntropologisPada tahun 1937, Erikson melakukan darmawisata ke Indian Pine Ridge Reservation di South Dakota untuk menyelidiki penyebab apatis di kalangan anak-anak Sioux. Erikson (1963) melaporkan pelatihan awal Sioux dari sudut pandang teori psikoseksual yang baru berkembang dan perkembangan psikososial. Ia mendapati bahwa apatis adalah ungkapan ketergantungan ekstrem bangsa Sioux yang telah berkembang sebagai hasil rasa percaya

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) | 313

mereka pada program pemerintah federal yang beragam. Di masa lalu, mereka merupakan pemburu banteng yang pemberani. Akan tetapi, pada tahun 1937, bangsa Sioux telah kehilangan identitas kelompok mereka sebagai pemburu dan mencoba setengah hati untuk hidup sebagai petani. Praktik pengasuhan anak yang di masa lalu adalah melatih anak laki-laki menjadi pemburu dan anak perempuan untuk membantu serta menjadi ibu bagi pemburu di masa mendatang, tidak lagi cocok dengan masyarakat pertanian. Akibatnya, pada tahun 1937, anak-anak Sioux mengalami kesulitan untuk mencapai rasa ego identitas, terutama ketika mencapai usia remaja.

Dua tahun kemudian, Erikson melakukan darmawisata yang sama ke Northern California untuk mempelajari bangsa Yurok, yang hidup terutama dari memancing salmon. Walaupun bangsa Sioux dan Yurok memiliki budaya yang sangat luas ragamnya, tiap suku memiliki tradisi pelatihan anak-anak muda mereka yang menjadi kekuatan masyarakat tersebut. Bangsa Yurok terlatih untuk menangkap ikan, oleh karena itu tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan tidak menyukai peperangan. Mendapatkan dan mempertahankan perlengkapan serta kepemilikan, dinilai tinggi oleh orang-orang Yurok. Erikson (1963) dapat menunjukkan bahwa pelatihan di kanak-kanak awal konsisten dengan nilai kultur yang kuat dan bahwa sejarah dan masyarakat membantu terbentuknya kepribadian.

PsikohistorisDisiplin ilmu yang disebut psikohistoris merupakan bidang kontroversial yang memadukan konsep psikoanalisis dengan metode sejarah. Freud (1910/1957) menghasilkan psikohistoris bersamaan dengan investigasi terhadap Leonardo da Vinci dan nantinya berkolaborasi dengan duta Amerika,William Bullit untuk menulis studi psikologis mengenai presiden Amerika, Woodrow Wilson (Freud & Bullit, 1967). Walaupun Erikson (1975) beranggapan buruk mengenai studi itu, ia menggunakan metode psikohistoris tersebut dan memperbaikinya, terutama dalam studinya mengenai Martin Luther (Erikson, 1958, 1975) dan Mahatma Gandhi (Erikson, 1969, 1975). Luther dan Gandhi memiliki dampak sejarah yang penting karena mereka adalah orang-orang luar biasa dengan konflik hak asasi pribadi selama periode sejarah yang membutuhkan penyelesaian kolektif akan apa yang tidak dapat diselesaikan secara individual (E. Hall, 1983).

Erikson (1974) mendefinisikan psikohistoris sebagai “studi individual dan kehidupan kolektif dengan metode yang memadukan psikoanalisis dan sejarah” (him. 13). Ia menggunakan psikohistoris untuk menunjukkan keyakinan utamanya bahwa setiap orang adalah hasil dari masa sejarahnya dan bahwa masa sejarah dipengaruhi oleh pemimpin luar biasa yang mengalami konflik identitas pribadi.

Sebagai pengarang psikohistoris, Erikson percaya bahwa ia harus terlibat secara emosional dengan subjek. Contohnya, ia mengembangkan keterikatan emosional yang kuat dengan Gandhi, yang ia hubungkan dengan pencarian seumur hidup akan ayahnya yang tidak pernah ia temui (Erikson, 1975). Di Kebenaran Gandhi (Gandhis’s Truth), Erikson(1969) menunjukkan perasaan positif yang kuat terhadap Gandhi sebagaimana ia berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana individu yang sehat, seperti Gandhi dapat melalui konflik dan krisis ketika orang-orang lain dilemahkan oleh kurangnya perjuangan.

3 1 4 Teori Kepribadian

Dalam mencari jawabannya, Erikson meninjau seluruh siklus kehidupan Gandhi, namun memusatkan perhatian pada satu krisis tertentu yang memuncak ketika Gandhi berada di masa pertengahan pertama kalinya dan menggunakan metode puasa yang dipaksakan sebagai senjata politik.

Sebagai seorang anak, Gandhi dekat dengan ibunya, namun mengalami konflik dengan ayahnya. Erikson tidak melihat situasi ini sebagai konflik Oedipal, melainkan sebagai kesempatan Gandhi untuk menyelesaikan konflik dengan figur otoriter—kesempatan yang banyak dimiliki Gandhi selama hidupnya.

Gandhi dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1869, di Porbandar, India.Sebagai pemuda, ia belajar hukum di London dan tidak banyak menarik perhatian, baik dalam perbuatan maupun penampilan. Kemudian, dengan berpakaian seperti warga negara Inggris, ia kembali ke India untuk melakukan praktik hukum. Setelah praktik yang tidak sukses selama dua tahun, ia pergi ke Afrika Selatan, yang seperti India juga merupakan koloni Inggris. Ia berniat untuk tinggal selama setahun, namun krisis identitas serius pertamanya menahan Gandhi di sana selama lebih dari dua puluh tahun.

Seminggu setelah hakim mengeluarkannya dari ruang sidang, Gandhi diusir dari kereta karena menolak untuk memberikan tempat duduknya pada orang “kulit putih”. Dua pengalaman dengan prasangka rasialis ini mengubah hidup Gandhi. Pada waktu ia telah menyelesaikan krisis identitas ini, penampilannya berubah secara dramatis. Tidak lagi dihiasi oleh topi sutra dan jas hitam, ia mengenakan cawat dan selendang katun yang akan dikenal jutaan orang di seluruh penjuru dunia. Selama tahun-tahun di Afrika Selatan, ia mengembangkan teknik perlawanan pasif yang dikenal sebagai satyagraha dan menggunakannya untuk menyelesaikan konflik dengan penguasa. Satyagraha dalam istilah Sansekerta berarti metode kekukuhan dan keras kepala dalam mengumpulkan kebenaran.

Setelah kembali ke India, Gandhi mengalami krisis identitas ketika pada tahun 1918 di usianya yang 49 tahun, ia menjadi tokoh utama dalam pemogokan buruh melawan pemilik kilang di Ahmedabad. Erikson menyebut peristiwa-peristiwa sekitar pemogokan ini sebagai “Sang Peristiwa” dan mengabdikan inti dari Gandhiss Truth pada krisis ini. Walaupun pemogokan ini hanya merupakan peristiwa kecil dalam sejarah India dan hanya menerima sedikit perhatian dalam autobiografi Gandhi, Erikson (1969) melihatnya sebagai pengaruh hebat terhadap identitas Gandhi sebagai praktisi militan tanpa kekerasan.

M enurut Erikson, M ahatm a Gandhi mengembangkan kekuatan dasar dari beberapa krisis identitas yang dialaminya.

B a b 9 Erikson: Teori Pasca-Aliran Freud (Post-Freudian) 315

Para pekerja kilang telah bersumpah untuk mogok apabila tuntutan mereka akan kenaikan gaji sebesar 35% tidak dipenuhi. Akan tetapi, para pemilik kilang, yang telah setuju di antara mereka sendiri bahwa mereka hanya menawarkan kenaikan tidak lebih dari 20%, mengunci para buruh di luar dan berusaha memecahkan solidaritas di antara para buruh dengan menawarkan kenaikan 20% bagi mereka yang mau kembali bekerja. Gandhi, juru bicara para buruh, merasa menderita sekali dengan jalan buntu ini. Kemudian, dengan tiba-tiba, ia bersumpah tidak akan makan lagi sampai tuntutan para buruh dipenuhi. Ini, merupakan kali pertama dari tujuh belas “puasa sampai mati’nya yang bukan bertujuan untuk mengancam pemilik kilang, namun untuk menunjukkan pada para buruh bahwa sumpah harus dijaga. Sebenarnya, Gandhi khawatir bila para pemilik kilang menyerah karena bersimpati padanya, bukan karena kesadaran akan situasi sulit yang dihadapi para buruh yang putus asa. Di hari ketiga, para buruh dan pemilik kilang mencapai kesepakatan yang memungkinkan keduanya tidak kehilangan muka—para pekerja akan bekerja sehari dengan kenaikan 35%, sehari dengan kenaikan 20%, dan selanjutnya dengan jumlah yang akan ditentukan oleh pihak ketiga yang netral.

Berbeda dengan individu-individu neurotik yang krisis identitasnya berakhir dengan patologi inti, Gandhi telah mengembangkan kekuatan dari krisis ini dan krisis lainnya. Erikson(1969) menggambarkan perbedaan antara konflik-konflik pada orang-orang hebat, seperti Gandhi dan orang-orang yang terganggu secara psikologis, “Jadi, ini merupakan perbedaan antara kasus sejarah dan sejarah hidup: pasien, besar ataupun kecil, melemahkan konflik dalam diri mereka, tetapi dalam kenyataan sejarah, konflik dalam diri hanya menambah momentum yang sangat dibutuhkan untuk semua usaha manusia super” (him. 363).

Penelitian TerkaitSatu kontribusi utama Erikson adalah memperluas perkembangan kepribadian hingga dewasa. Dengan mengembangkan pernyataan perkembangan Freud hingga usia lanjut, Erikson menantang gagasan bahwa perkembangan psikologis berhenti sampai pada masa kanak-kanak. Peninggalan Erikson yang paling berpengaruh adalah teori perkembangannya dan, khususnya, tahapan remaja sampai usia lanjut. Ia salah satu teoretikus pertama yang menekankan periode kritis pada masa remaja dan konflik-konflik seputar pencarian seseorang akan identitas. Remaja dan dewasa muda sering bertanya: Siapa saya? Kemana saya akan pergi? Dan apa yang ingin saya lakukan sepanjang sisa hidup saya? Bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memainkan peranan penting terhadap hubungan seperti apa yang akan mereka kembangkan, siapa yang akan mereka nikahi, dan jalur karier apa yang akan mereka ikuti.

Berlawanan dengan teoretikus psikodinamika lainnya, Erikson memicu cukup banyak penelitian empiris, terutama pada remaja, dewasa muda, dan dewasa. Di sini, kita akan membahas penelitian akhir-akhir ini mengenai perkembangan dewasa pertengahan, khususnya tahapan generativitas.

316 Teori Kepribadian

Generativitas dan ParentingErikson (1982) mendefinisikan generativitas sebagai “generasi akan manusia baru sebagaimana produk dan gagasan baru” (him. 67). Generativitas (hal-hal menghasilkan) secara khas tidak hanya diungkapkan dengan membesarkan anak dan mengasuh pertumbuhan pada anak-anak muda, tetapi juga dengan mengajar, membimbing, menciptakan, dan aktivitas pembacaan cerita yang membawa pengetahuan baru dalam keberadaan dan menyampaikan pengetahuan lama kepada generasi berikutnya. Dan McAdams dan koleganya (McAdams, 1999; McAdams 8c de St. Aubin, 1992, Bauer 8c McAdams, 2004b) telah menjadi figur utama dalam penelitian mengenai generativitas dan mengembangkan Skala Generativitas Loyola (Loyola Generativity Scale—LGS) untuk mengukurnya. LGS mencakup butir-butir, seperti “Saya memiliki keterampilan penting yang saya coba ajarkan pada orang lain” dan “Saya tidak bekerja secara sukarela untuk sebuah acara amal” Skala ini mengukur beberapa aspek dalam generativitas, termasuk kepedulian terhadap generasi berikutnya; menciptakan dan mempertahankan objek dan hal lainnya; serta narasi seseorang, yaitu cerita atau tema subjektif yang orang dewasa ciptakan untuk menyediakan sesuatu bagi generasi selanjutnya.

Menggunakan skala LGS, para peneliti telah menyelidiki dampak generativitas orang tua pada perkembangan anak. Secara teori, orang tua yang memiliki rasa generativitas yang tinggi seharusnya memberikan usaha dan rasa peduli yang besar dalam membesarkan anak sehingga menghasilkan keturunan yang baik dan bahagia. Bill Peterson menguji gagasan ini dengan studi terhadap mahasiswa dan orang tua mereka (Peterson, 2006). Peterson memprediksikan bahwa anak-anak dengan orang tua yang generatif tidak hanya akan lebih bahagia, namun juga memiliki sudut pandang masa depan, yaitu suatu cara untuk menjelaskan bahwa anak-anak dengan orang tua generatif akan memandang jauh ke depan dan dengan itu memandang optimis hal-hal yang akan datang. Untuk menguji prediksi ini, orang tua diminta melengkapi LGS dan mahasiswa melengkapi pengukuran kesejahteraan yang mencakup butir-butir mengenai kebahagiaan secara keseluruhan, rasa kebebasan, dan keyakinan terhadap diri sendiri. Mahasiswa juga melengkapi pengukuran pandangan masa depan di mana mereka memberikan urutan peringkat mengenai seberapa besar mereka memikirkan tentang hari berikutnya, bulan berikutnya, tahun berikutnya, dan sepuluh tahun dari sekarang. - *

Hasilnya mendukung pernyataan umum bahwa memiliki generativitas tinggi sangat penting untuk menjadi orang tua yang efektif. Anak-anak dengan orang tua yang sangat generatif lebih memiliki keyakinan terhadap diri mereka sendiri, memiliki rasa kebebasan yang lebih besar, dan secara keseluruhan lebih bahagia dalam hidup. Selain itu, anak-anak dengan orang tua yang sangat generatif memiliki orientasi masa depan yang lebih kuat, yang berarti mereka meluangkan waktu memikirkan masa depan mereka, dan berdasarkan pengukuran kesejahteraan secara menyeluruh, merasa cukup baik mengenainya. Ketika penemuan ini ditelaah dengan kerangka Erikson, semuanya masuk akal. Kebalikan dari generativitas adalah keterpakuan diri dan stagnasi. Apabila orang tua terlalu terpaku dan memanjakan diri sendiri, maka mereka kurang meluangkan waktu untuk memedulikan kesejahteraan anak-anak mereka. Sebaliknya, apabila orang tua sangat generatif, maka

B a b 9 E r ik s o n : T e o ri P a s c a -A lir a n F re u d (P o st-F re u d ia n )

mereka peduli akan perkembangan anak dan akan melakukan segalanya untuk menyediakan lingkungan yang merangsang dan mendukung di mana di dalamnya anak akan tumbuh.

Generativitas versus StagnasiSeperti semua tahapan, masa dewasa terdiri dari dua konflik interaktif, yaitu generativitas dan stagnasi. Erikson secara umum menganggap stagnasi dan generativitas sebagai ujung berlawanan dari kontinum yang sama. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki generativitas tinggi akan memiliki stagnasi yang rendah dan juga sebaliknya. Akan tetapi, akhir-akhir ini, para peneliti mulai mempertanyakan seberapa berlawanannya dua aspek perkembangan masa dewasa ini dan telah melakukan eksplorasi stagnasi serta generativitas sebagai konstruk yang mandiri (Van Hiel, Mervielde, & De Fruyt, 2006). Satu alasan untuk pertukaran dari model Erikson ini, yaitu adanya kemungkinan bahwa manusia menjadi generatif dan stagnan. Situasi seperti ini mungkin terjadi ketika seseorang ingin menjadi generatif dan mengerti pentingnya menjadi generatif, namun karena apapun alasannya, tidak bisa mengatasi keterlibatan dirinya sendiri. Ia mungkin menyadari bahwa generativitas adalah tahapan selanjutnya dalam perkembangan, namun tidak bisa mencapainya.

Satu cara untuk menentukan kemandirian dari dua konstruk ini adalah dengan mengukur keduanya secara terpisah dan mengukur beberapa hal yang dihasilkan. Apabila mereka merupakan tingkat berlawanan dalam kontinum yang sama, maka ketika generativitas memprediksikan hasil secara positif, seperti kesehatan mental, stagnasi seharusnya memprediksikan kesehatan mental yang positif. Akan tetapi, bila mereka tidak selalu sesuai, maka kedua konstruk tersebut mungkin merupakan konsep terpisah. Oleh karena stagnasi tidak pernah diukur terpisah dari generativitas sebelumnya, maka para peneliti harus menciptakan pengukuran benar-benar dari awal. Berdasarkan deskripsi stagnasi yang diberikan oleh ahli-ahli lain (contohnya Bradley & Marcia, 1998), Van Hiel dan koleganya (2006) menciptakan pengukuran penilaian diri yang terdiri dari butir-butir, seperti “Saya sering menjaga jarak antara saya dengan anak-anak saya” dan “sulit untuk mengatakan apa tujuan saya.” Untuk mengukur generativitas, para peneliti menggunakan LGS yang sebelumnya dijelaskan dan digunakan di sebagian besar penelitian mengenai generativitas. Untuk melihat bahwa dua konstruk ini sesuai dalam hasil-hasil yang penting, para peneliti menyeleksi pengukuran luas akan kesehatan mental yang mencakup penilaian gejala terkait dengan beragam gangguan kepribadian, seperti ketidakmampuan mengatur emosi dan persoalan keintiman.

Hasil dari studi ini mendukung pemikiran baru bahwa stagnasi dan generativitas harus dilihat sebagai dua hal yang mandiri. Contohnya, stagnasi dan generativitas tidak memprediksikan kesehatan mental dengan cara yang sama. Mereka yang berada pada keadaan stagnasi yang tinggi cenderung tidak mampu mengatur emosi mereka. Akan tetapi, pada saat yang sama, generativitas tidak berkaitan dengan pengaturan emosi. Jika hanya generativitas yang diukur (dan bukan stagnasi secara terpisah), maka para peneliti ini tidak akan menemukan penemuan penting bahwa stagnasi berkaitan dengan masalah regulasi emosi. Para peneliti juga mendapati individu-individu yang berada pada keadaan stagnasi dan generativitas yang tinggi, dan kepribadian seperti ini tidak sehat dalam kesejahteraan

318 T e o ri K e p r ib a d ia n

mental dan emosi. Dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki generativitas tinggi, tetapi stagnasi rendah, orang-orang yang tinggi pada kedua dimensi kurang mampu untuk mengatur emosi mereka dan mengalami lebih banyak kesulitan keintiman. Kedua kualitas ini dianggap sebagai komponen-komponen kepribadian yang tidak adaptif.

Secara konseptual, penelitian ini tidak terlalu jauh berbeda dengan model Erikson (stagnasi dan generativitas tetap tercakup). Akan tetapi, hal ini menunjukkan bahwa untuk tujuan praktis penelitian dan untuk memahami kepribadian dewasa dengan lebih utuh, stagnasi dan generativitas bisa dan kadang beroperasi secara terpisah serta mandiri dalam perkembangan dewasa.

Kritik terhadap EriksonErikson membangun teorinya sebagian besar berdasarkan prinsip etika dan bukan data ilmiah. Ia mendatangi psikologi dari sudut pandang seni dan menyadari bahwa ia melihat dunia lebih dari mata seorang seniman daripada mata seorang ilmuwan. Ia pernah menulis bahwa ia tidak memiliki apapun untuk diberikan kecuali “sebuah cara untuk melihat sesuatu” (Erikson, 1963, him. 403). Buku-bukunya memang subjektif dan personal, yang tak diragukan menambah daya tariknya. Bagaimanapun, teori Erikson harus dinilai dengan standar ilmu pengetahuan, bukan etika atau seni.

Kriteria pertama dari teori yang berguna adalah kemampuannya untuk menghasilkan penelitian dan dengan standar ini, kami menilai teori Erikson lebih tinggi dari rata-rata. Contohnya, topik ego identitas sendiri telah menghasilkan beberapa ratus studi dan aspek- aspek lain dalam tahapan perkembangan Erikson, seperti keintiman versus keterasingan (Gold & Rogers, 1995), generativitas (Arnett, 2000; Pratt, Norris, Arnold, & Filyer, 1999), dan seluruh siklus kehidupan (Whitbourne, Zuschlag, Elliot, & Waterman, 1992) telah memicu penyelidikan empiris aktif.

Terlepas dari penelitian aktif ini, kami hanya memberikan teori Erikson nilai rata- rata untuk kriteria dapat dibenarkan. Banyak penemuan dalam badan penelitian ini dapat dijelaskan dengan teori-teori selain teori tahapan perkembangan Erikson.

Dalam kemampuannya mengorganisasi pengetahuan, teori Erikson sebagian besar terbatas hanya pada tahapan perkembangan. Teorinya tidak mampu mengarahkan persoalan, seperti sifat pribadi atau motivasi dan keterbatasan yang datang dari kurangnya kemampuan teori untuk mencari makna akan apa yang diketahui mengenai kepribadian manusia. Kedelapan tahapan perkembangan mempertahankan pernyataan akan bagaimana siklus kehidupan seharusnya dan penemuan penelitian di area ini biasanya cocok dengan kerangka aliran Erikson. Akan tetapi, teorinya kurang memiliki lingkup yang cukup untuk dinilai tinggi dalam kriteria ini.

Sebagai panduan untuk bertindak, teori Erikson memberikan banyak bimbingan umum, namun sedikit memberikan masukan spesifik. Dibandingkan dengan teori-teori lain yang dibahas dalam buku ini, teorinya memiliki nilai cukup tinggi dalam memberikan pendekatan untuk berhadapan dengan masa pertengahan dan dewasa tua. Pandangan

B a b 9 E r ik s o n : T e o ri P a s c a -A lir a n F re u d (P o s t-F re u d ia n ) 319

Erikson akan penuaan telah membantu orang-orang yang bekerja di bidang gerontologi, dan gagasannya akan ego identitas hampir selalu dikutip di buku teks psikologi remaja. Selain itu, konsepnya akan keintiman versus keterasingan dan generativitas versus stagnasi sangat berguna bagi penasihat perkawinan dan yang lainnya yang peduli akan hubungan intim di kalangan dewasa muda.

Kami memberi nilai tinggi untuk konsistensi internal, sebagian besar karena istilah- istilah yang digunakan untuk menamai krisis psikososial, kekuatan dasar, dan patologi inti yang berbeda-beda dipilih dengan sangat saksama. Bahasa Inggris bukan bahasa pertama Erikson, dan penggunaan ekstensif akan kamus selama menulis meningkatkan presisi terminologinya. Akan tetapi, konsep seperti harapan, kemauan, tujuan, rasa peduli, dan seterusnya tidak didefinisikan secara operasional. Mereka memiliki kegunaan ilmiah yang sedikit walaupun menempati peringkat tinggi dalam bahasa dan nilai emosional. Di sisi lain, prinsip epigenetik dan kefasihannya dalam deskripsi mengenai delapan tahapan perkembangan menandakan bahwa teorinya memiliki konsistensi internal yang luar biasa.

Pada kriteria kesederhanaan, atau kecermatan, kami memberi nilai sedang (rata-rata) pada teorinya. Ketepatan istilahnya merupakan kekuatan, namun deskripsi mengenai tahapan psikoseksual dan krisis psikososial, terutama di tahapan-tahapan akhir, tidak selalu dibedakan dengan jelas. Selain itu, Erikson menggunakan istilah berbeda-beda dan bahkan konsep berbeda-beda untuk mengisi 64 kotak yang sebagian besar kosong di Figur 9.2. Ketidakkonsistenan itu dapat mengurangi kesederhanaan teori.

Konsep KemanusiaanBerkebalikan dengan Freud, yang percaya bahwa anatomi adalah takdir, Erikson mengajukan kemungkinan bahwa ada faktor-faktor lain yang bertanggung jawab terhadap adanya perbedaan antara pria dan wanita. Mengutip dari penelitiannya sendiri, Erikson (1977) mengemukakan bahwa, walaupun anak perempuan dan laki-laki memiliki metode berbeda dalam bermain, perbedaan-perbedaan ini setidaknya sebagian merupakan hasil praktik sosialisasi yang berbeda. Apakah kesimpulan ini berarti bahwa Erikson setuju dengan Freud bahwa anatomi adalah takdir? Jawaban Erikson adalah ya, anatomi adalah takdir. Akan tetapi, ia segera mengkualifikasi pendapat tersebut dengan mengatakan: “anatomi, sejarah, dan kepribadian adalah takdir terpadu k ita” (Erikson, 1968, him. 285). Dengan kata lain, anatomi saja tidak menentukan takdir, namun jika dipadukan dengan kejadian masa lampau, term asuk beragam dimensi kepribadian dan sosial seperti temperamen dan intelejensi, akan menentukan seserong akan menjadi orang yang seperti apa.

Bagaimana teori Erikson memberikan konsep kemanusiaan dalam enam dimensi yang kami perkenalkan di Bab 1? Pertama, apakah siklus kehidupan ditentukan oleh kekuatan eksternal ataukah manusia memiilki pilihan dalam m embentuk kepribadian dan hidup mereka? Erikson tidak sedeterm inistis (serba memastikan segala sesuatu terlebih dahulu) Freud, ia percaya pada pilihan bebas. Posisinya adalah di tengah-tengah. Walaupun kepribadian sebagian dibentuk oleh kultur dan sejarah, manusia memiliki kendali yang terbatas akan takdir mereka. Manusia dapat mencari identitas mereka sendiri dan tidak sepenuhnya dibatasi oleh budaya dan sejarah. individu, sebenarnya dapat mengubah sejarah dan lingkungan mereka. Dua subjek dalam psikohistoris yang paling ekstensif, Martin Luther dan Mahatma Gandhi, m asing-m asing memiliki efek mendalam terhadap sejarah dunia dan lingkungan terdekat mereka. Sama halnya, diri kita pun memiliki

T e o ri K e p r ib a d ia n

kekuatan untuk menentukan siklus kehidupan kita sendiri, walaupun dampak global kita m ungkin dalam skala yang lebih kecil.

Dalam dimensi p esim ism e versus optm ism e, Erikson cenderung untuk optimis. Walaupun patologi inti dapat mendominasi tahapan awal perkembangan, manusia tidak secara pasti hancur dengan meneruskan keberadaan patologi itu di tahapan selanjutnya. Walaupun kelemahan di kehidupan awal membuat seseorang semakin sulit untuk memperoleh kekuatan dasar nantinya, manusia tetap mampu berubah di tahapan manapun dalam hidup. Setiap konflik psikosial terdiri dari kualitas sintonik dan distonik. Setiap krisis dapat diselesaikan dengan kecenderungan sintonik, atau elemen harmonis, terlepas dari resolusi di masa lampau.

Erikson tidak secara spesifik menjabarkan persoalan hub ungan sebab-akibat versus te leologi, namun pandangannya akan kemanusiaan mengajukan bahwa m anusia lebih dipengaruhi oleh kekuatan biologis dan sosial dibandingkan dengan pandangan mereka terhadap masa depan. Manusia adalah produk dari masa sejarah tertentu dan latar sosial spesifik. Walaupun kita bisa menentukan sasaran dan berusaha untuk mencapai sasaran ini, kita tidak bisa sepenuhnya lari dari kekuatan sebab-akibat akan anatomi, sejarah, dan kultur. Untuk alasan ini, kami memberi nilai tinggi pada Erikson untuk hubungan sebab- akibat.

Pada dimensi keempat, determ ina n sadar versus tidak sadar, posisi Erikson tercampur. Sebelum remaja, kepribadian sebagian besar dibentuk oleh dorongan tidak sadar. Konflik psikoseksual dan psikososial selama em pat tahapan perkembangan pertama muncul sebelum anak m emperoleh identitas mereka secara tegas. Kita jarang benar-benar menyadari akan krisis ini dan cara di mana di dalamnya kepribadian kita terbentuk. Akan tetapi, sejak remaja dan seterusnya, manusia biasanya menyadari tindakan mereka serta alasan-alasan utama yang mendasari tindakan tersebut.

Teori Erikson tentunya lebih sosial daripada biologis walaupun tidak melewatkan anatomi dan faktor fisiologis lainnya dalam perkembangan kepribadian. Setiap gaya seksual memiliki komponen biologis yang jelas. Akan tetapi, sebagaimana manusia semakin maju melalui kedelapan tahapan, pengaruh sosial menjadi semakin kuat. Juga, radius perluasan hubungan sosial dari orang keibuan tunggal menjadi identifikasi global dengan seluruh umat manusia. **>

Dimensi keenam dari konsep kemanusiaan adalah keunikan versus keseragam an. Erikson cenderung untuk lebih menekankan perbedaan individual daripada karakteristik universal. Walaupun orang-orang dalam kultur yang berbeda-beda maju melalui delapan tahapan perkembangan dalam urutan yang sama, sejumlah besar perbedaan ditemukan dalam jejak perjalanan tersebut. Tiap orang m enyelesaikan krisis psikososial dengan cara yang unik, dan m asing-m asing menggunakan kekuatan dasar dengan cara mereka tersendiri.

Istilah dan Konsep Penting• Tahap perkembangan Erikson terletak di atas prinsip epigenetik, yang artinya tiap

komponen berlangsung selangkah demi selangkah dengan pertumbuhan lebih lanjut yang dibangun berdasarkan perkembangan sebelumnya.

• Selama tiap tahapan, manusia mengalami interaksi sikap sintonik dan distonik yang berlawanan, yang mengakibatkan konflik atau krisis psikososial.

• Penyelesaian krisis ini menghasilkan kekuatan dasar dan memungkinkan seseorang untuk bergerak ke tahap selanjutnya.

B a b 9 E r ik s o n : T e o r i P a s c a -A lir a n F re u d (P o s t -F re u d ia n )

Komponon biologis memberikan landasan pada tiap individu, namun keragaman peristiwa sejarah dan kultur juga membentuk ego identitas.

Tiap kekuatan dasar memiliki antipati yang mendasarinya menjadi patologi inti dari tahapan tersebut.

Tahapan pertama dari perkembangan adalah masa bayi, ditandai oleh gaya sensori-oral, krisis psikososial rasa percaya dasar versus rasa tidak percaya dasar, kekuatan dasar harapan, dan patologi inti penarikan diri.

Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak mengalami gaya psikoseksual anal, uretral, dan otot; konflik psikososial otonomi versus rasa malu dan ragu\ kekuatan dasar kemauan; patologi inti paksaan.

Selama usia bermain, anak-anak mengalami perkembangan psikoseksual lokomotor- genital dan menjalani krisis psikososial inisiatif versus rasa bersalah dengan kekuatan dasar tujuan atau patologi inti keterhambatan.

Anak-anak usia sekolah berada pada periode latensi seksual, namun menghadapi krisis psikososial industri versus rasa rendah diri yang menghasilkan kekuatan dasar kompetensi atau patologi inti inersia.

Remaja atau pubertas adalah tahapan krusial karena rasa identitas seseorang seharusnya muncul pada periode ini. Akan tetapi, kebingungan identitas dapat mendominasi krisis psikososial, sehingga menunda identitas. Kesetiaan adalah kekuatan dasar remaja, sedangkan penyangkalan peran adalah patologi intinya.

Dewasa muda, di usia sekitar 18 sampai 30 tahun, ditandai dengan gaya psikoseksual genitalitas, krisis psikososial keintiman versus keterasingan, kekuatan dasar cinta, dan patologi inti eksklusivitas.

Dewasa adalah masa di mana orang-orang mengalami gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial generativitas versus stagnasi, kekuatan dasar rasa peduli, dan patologi

inti penolakan.

Usia lanjut ditandai dengn gaya psikoseksual sensualitas tergeneralisasi, krisis integritas versus keputusasaan, dan kekuatan dasar kebijaksanaan atau patologi inti penghinaan.

Erikson menggunakan psikohistoris (paduan psikoanalisis dan sejarah) untuk mempelajari krisis identitas Martin Luther, Mahatma Gandhi, dan lainnya.

T e o ri K e p r ib a d ia n

BAGIAN TIGA

Teori-teori Humanistis/ EksistensialBab 10 M aslow

Teori Holistik-Dinamis 324

Bab 10

Maslow:Teori Holistik-Dinamis

• Gambaran Umum Teori Holistik-Dinamis• Biografi Abraham H. Maslow• Pandangan Maslow tentang Motivasi

Hierarki Kebutuhan Kebutuhan Estetika Kebutuhan Kognitif Kebutuhan NeurotikPembahasan Umum Mengenai Kebutuhan

• Aktualisasi DiriPencarian Maslow akan Orang-orang yang Maslow

Mengaktualisasi Diri Kriteria Aktualisasi DiriNilai-nilai dari Orang-orang yang • Psikoterapi

Penelitian TerkaitMengaktualisasi DiriKarakteristik dari Orang-orang yang Psikologi Positif

Mengaktualisasikan Diri Perkembangan, Pertumbuhan, dan Tujuan-Cinta, Seks, dan Aktualisasi Diri

• Filosofi Ilmu

• M engukur Aktualisasi Diri• Jonah Complex

tujuan Kepribadian• Kritik terhadap Maslow• Konsep Kemanusiaan• Istilah dan Konsep Penting

B a b 10 M a slo w : T e o ri H o lis t ik -D in a m is j 325

Profesor dan mahasiswa perguruan tinggi telah lama mengetahui bahwa sebagian mahasiswa dengan kepandaian “rata-rata” dapat memperoleh nilai tinggi, sementara

sebagian mahasiswa dengan kepandaian cukup tinggi hanya mendapat nilai rata-rata, dan sebagian mahasiswa sangat pandai ternyata mengalami DO (Drop Out). Faktor-faktor apakah yang berperan pada situasi ini? Motivasi adalah salah satu faktornya. Kesehatan pribadi, kematian salah satu anggota keluarga inti, dan terlalu banyak aktivitas yang harus dilakukan adalah kemungkinan faktor lainnya.

Beberapa tahun yang lalu, seorang mahasiswa yang sangat pintar sedang berjuang melalui tahun ketiganya. Walaupun ia menunjukkan nilai yang cukup baik di mata- mata kuliah yang membuatnya tertarik, tetapi nilai-nilainya di mata kuliah lain sangat buruk sehingga ia terancam DO. Belakangan, ia mengikuti tes IQ (inteligensia) di mana ia mendapat nilai 195, sebuah nilai yang sangat tinggi yang hanya bisa dicapai oleh sekitar satu orang dari beberapa juta orang. Oleh karena itu, kurangnya kemampuan intelektual bukanlah alasan mengapa pria muda ini mendapat indeks prestasi yang kurang memuaskan.

Seperti pria muda lainnya, mahasiswa ini sedang jatuh cinta, sebuah keadaan yang membuatnya sulit berkonsentrasi pada kuliahnya. Oleh karena sangat pemalu, pria muda ini tidak dapat mengumpulkan keberanian untuk mendekati orang yang dicintainya dan yang menarik, wanita muda yang dicintainya adalah sepupunya. Situasi ini memungkinkan dirinya mengunjungi sepupunya dengan alasan mengunjungi tantenya. Ia mencintai sepupunya dari kejauhan, malu-malu, tidak pernah menyentuh sang sepupu ataupun menyatakan perasaannya. Kemudia, tiba-tiba sebuah kebetulan mengubah hidupnya. Ketika mengunjungi tantenya, kakak sepupunya mendorong sang pria muda pada sepupunya, seolah menyuruh sang pria muda untuk mencium sepupunya. Ia melakukannya, dan yang mengejutkannya adalah bahwa sang sepupu tidak menolak untuk dicium. Sang sepupu mencium si pria muda balik dan sejak saat itu hidup sang pria muda menjadi lebih berarti.

Pria muda pemalu di cerita ini adalah Abraham Maslow dan sepupunya adalah Bertha Goodman. Setelah ciuman pertama keberuritungan, Abe dan Bertha tak lama kemudian menikah dan pernikahan ini mengubahnya dari mahasiswa rata-rata menjadi mahasiswa pintar yang kemudian membentuk psikologi humanistis di Amerika Serikat. Cerita ini sebaiknya tidak dilihat sebagai rekomendasi untuk menikahi sepupu, tetapi cerita ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang pintar terkadang membutuhkan sedikit dorongan untuk meraih potensi mereka.

Gambaran Umum Teori Holistik-DinamisTeori kepribadian dari Abraham Maslow mempunyai beberapa sebutan, seperti teori humanistik, teori transpersonal, kekuatan ketiga dalam psikologi, kekuatan keempat dalam kepribadian, teori kebutuhan, dan teori aktualisasi diri. Akan tetapi, Maslow (1970) menyebutnya sebagai teori holistik-dinamis karena teori ini menganggap bahwa keseluruhan dari seseorang terus-menerus termotivasi oleh satu atau lebih kebutuhan dan bahwa orang

| T e o r i K e p r ib a d ia n

mempunyai potensi untuk tumbuh menuju kesehatan psikologis, yaitu aktualisasi diri. Untuk meraih aktualisasi diri, orang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih rendah, seperti kebutuhan akan lapar, keamanan, cinta, dan harga diri. Hanya setelah orang merasa cukup puas pada masing-masing dari kebutuhan-kebutuhan ini, maka mereka bisa mencapai aktualisasi diri.

Teori-teori dari Maslow, Gordon Allport, Carl Rogers, Rollo May, dan lainnya kadang disebut sebagai kekuatan ketiga dalam psikologi. (Kekuatan pertama adalah psikoanalisis dan modifikasinya; kekuatan kedua adalah behaviorisme dan beragam bentuknya). Seperti juga teoretikus lainnya, Maslow menerima beberapa dari prinsip-prinsip psikoanalisis dan behaviorisme. Sebagai seorang mahasiswa S2, ia telah mempelajari Interpretasi Mimpi (Interpretation o f Dreams) dari Freud (Freud, 1900/1953) dan menjadi sangat tertarik dengan psikologi. Selain itu, tesisnya yang meneliti primata sangat dipengaruhi oleh Jon B. Watson (Watson, 1925). Akan tetapi, pada teori yang diungkapkannya di kemudian hari, Maslow mengkritik, baik psikoanalisis maupun behaviorisme untuk pandangan kedua teori ini yang terbatas dalam hal humanisme dan pemahaman kedua teori ini yang kurang tepat mengenai seseorang yang sehat secara psikologis. Maslow percaya bahwa manusia mempunyai ciri- ciri yang lebih tinggi daripada yang diungkapkan, baik oleh teori psikoanalisis maupun behaviorisme dan ia menghabiskan tahun-tahun terakhir masa hidupnya untuk berusaha menemukan ciri-ciri dari individu-individu yang sehat secara psikologis.

Biografi Abraham H. MaslowAbraham Harold (Abe) Maslow mungkin mempunyai masa kecil yang paling kesepian dan paling menderita dari semua orang yang dibahas dalam buku ini. Dilahirkan di Manhattan, New York, pada 1 April 1908, Maslow menghabiskan masa kecilnya yang tidak bahagia di Brooklyn. Maslow adalah anak tertua dari tujuh bersaudara dari pasangan Samuel Maslow dan Rose Schilosky Maslow. Pada masa kecilnya, kehidupan Maslow dipenuhi dengan perasaan malu, rendah diri, dan depresi yang kuat.

Maslow tidak terlalu dekat dengan salah satu dari orang tuanya, tetapi ia tidak keberatan dengan ayahnya yang sering kali tidak ada di sampingnya Ayahnya adalah seorang imigran keturunan Rusia-Yahudi yang bekerja mempersiapkan barel/tong. Akan tetapi, kepada ibunya, Maslow merasakan kebencian dan kemarahan yang besar, tidak hanya pada masa kecilnya, tetapi juga hingga hari kematian ibunya yang hanya berjarak beberapa tahun sebelum kematian Maslow sendiri. Walaupun telah beberapa tahun menjalani psikoanalisis, kebenciannya yang kuat terhadap ibunya tak pernah hilang dan ia menolak untuk menghadiri pemakaman ibunya walaupun saudara kandungnya yang tidak membenci ibunya memintanya untuk hadir. Setahun sebelum kematiannya, Maslow (1969) menuliskan pemikirannya di buku hariannya:

Apa yang saya benar-benar benci dan tidak sukai bukan hanya penampilan fisiknya, tetapi juga nilai-nilai dan pandangan mengenai dunia yang dianutnya, kepelitannya, keegoisannya, tidak adanya cinta bagi orang lain di dunia, bahkan bagi suaminya dan anak-anaknya sendiri... asumsinya bahwa orang lain yang tidak sependapat

B a b 10 M a slo w : T e o ri H o lis t ik -D in a m is 327

dengannya telah melakukan kesalahan, ketidakpeduliannya pada cucu-cucunya, keadaannya yang tidak mempunyai teman, kecerobohannya dan kejorokannya, kenyataan bahwa ia tidak mementingkan keluarganya, bahkan orang tua dan saudara- saudara kandungnya sendiri .... Saya selalu berpikir dari manakah asalnya ide-ide pemikiran saya, penekanan pada hal-hal etis yang saya miliki, rasa humanisme saya, penekanan pada hal-hal baik yang saya miliki, kasih sayang saya, rasa pertemanan saya, dan hal-hal lainnya yang ada di diri saya. Saya mengetahui dengan pasti tentang akibat langsung dari tidak adanya cinta-ibu. Akan tetapi, keseluruhan filosofi hidup saya dan semua penelitian serta teori saya juga berakar dari kebencian dan ketidaksukaan terhadap segala sesuatu yang ia (ibu) yakini (him. 958).

Edward Hoffman (1988) melaporkan sebuah cerita yang menggambarkan dengan jelas tentang kekejaman Rose Maslow. Suatu hari Maslow muda menemukan dua anak kucing yang terlantar di dekat rumahnya. Tergerak oleh rasa kasihan, ia membawa anak-anak kucing tersebut pulang ke rumahnya, menempatkan mereka di ruang bawah tanah, dan memberi mereka susu. Ketika ibunya melihat anak-anak kucing ini, ia menjadi sangat marah dan walaupun anak laki-lakinya melihat, ia menendang anak-anak kucing tersebut ke tembok ruang bawah tanah hingga mereka mati.

Ibunda Maslow juga merupakan seorang wanita yang sangat taat beragama yang sering kali menakut-nakuti Maslow muda tentang adanya hukuman dari Tuhan. Ketika masih anak-anak, Maslow memutuskan untuk mengetes ancaman ibunya dengan sengaja melakukan hal-hal yang dilarang. Ketika tidak ada hukuman dari Tuhan yang menimpanya, ia menganggap peringatan ibunya secara ilmiah tidak dapat dipercaya. Dari pengalaman- pengalaman tesebut, Maslow belajar membenci dan tidak memercayai agama sehingga menjadi ateis.

Walaupun mempunyai pandangan ateis, ia merasakan gerakan anti-Yahudi tidak hanya di masa kecilnya, tetapi juga semasa ia dewasa. Mungkin sebagai bentuk pertahanan diri terhadap sikap anti-Yahudi dari teman-teman sekelasnya, ia menjadi suka membaca buku dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan akademis. Ia senang membaca, tetapi untuk bisa selamat sampai ke perpustakaan umum, ia harus menghindari geng-geng anti-Yahudi yang tersebar di lingkungan tempat tinggalnya di Brooklyn dan yang tidak segan-segan untuk mengancam Maslow muda dan anak laki-laki Yahudi lainnya.

Oleh karena berbakat secara intelektual, Abe menemukan kenyamanan ketika berada di Boys High School di Brooklyn, di mana nilai-nilai akademisnya menjadi sedikit lebih tinggi dari nilai rata-rata. Pada saat yang sama, ia menjalin pertemanan yang akrab dengan sepupunya Will Maslow, seorang yang ramah dan aktif bergaul. Melalui jalinan pertemanan ini, Abe mengembangkan beberapa kemampuan sosial dan menjadi tergabung di beberapa aktivitas sekolah (Hoffman, 1988).

Setelah Maslow lulus dari Boys High School, sepupunya Will mendukungnya untuk mendaftar ke Cornell University, sayangnya ia tidak percaya diri untuk mendaftar. Oleh karena itu, Maslow memilih City College of New York yang kurang terkemuka. Kira-kira pada saat yang bersamaan, orang tuanya bercerai dan hubungan ia dengan ayahnya menjadi lebih dekat secara emosional. Ayah Maslow menginginkan anak laki-laki tertuanya menjadi seorang pengacara dan ketika berkuliah di City College, Maslow mendaftar di sekolah hukum. Akan tetapi, ia meninggalkan kelas hukumnya di suatu malam dan meninggalkan

328 T e o ri K e p r ib a d ia n

semua bukunya di kelas tersebut. Ia merasa bahwa hukum terlalu sering berhadapan dengan orang-orang jahat dan tidak cukup peduli dengan kebaikan. Walaupun awalnya kecewa, sang ayah akhirnya bisa menerima keputusan Maslow untuk berhenti sekolah hukum (M. H. Hall, 1968).

Ketika menjadi mahasiswa di City College, Maslow mendapat nilai baik di mata kuliah filosofi dan mata kuliah lain yang menarik minatnya. Akan tetapi, di mata-mata kuliah yang tidak ia sukai, ia mendapatkan nilai yang buruk sehingga ia harus menjalani masa percobaan akademis. Setelah tiga semester, ia pindah ke Cornell University di bagian utara New York. Sebagian alasannya adalah untuk bisa lebih dekat dengan sepupunya Will, yang berkuliah di tempat itu, tetapi juga untuk menjauhkan dirinya dari sepupu dekatnya Bertha Goodman, yang ia cintai (Hoffman, 1988). Di Cornell, nilai akademis Maslow juga hanya rata-rata. Profesor yang memberikan kuliah perkenalan psikologi adalah Edward B. Titchener, seorang pelopor ilmu psikologi yang dihormati dan mengajar semua kelasnya dalam jubah akademis yang lengkap. Maslow tidak terkesan. Ia menganggap pendekatan psikologi yang diambil Titchener sebagai pendekatan yang dingin, “tidak bernyawa”, dan tidak berkaitan dengan manusia.

Setelah menjalani satu semester di Cornell, Maslow kembali ke City College of New York, kali ini alasannya adalah untuk bisa dekat dengan Bertha. Setelah terjadinya sebuah peristiwa keberuntungan yang telah dijelaskan di bagian pembukaan bab ini, tak lama kemudian Abe dan Bertha menikah, tetapi setelah berhasil mengatasi penolakan orang tuanya. Orang tua Maslow keberatan dengan pernikahan tersebut sebagian karena Maslow baru berusia 20 tahun dan Bertha berusia 19 tahun. Akan tetapi, ketakutan terbesar mereka adalah karena pernikahan antarsepupu mungkin akan menghasilkan kelainan genetis pada anak-anak mereka. Ketakutan ini merupakan sesuatu yang ironis terutama karena pada kenyataannya, orang tua Maslow juga merupakan sepupu dan mereka mempunyai enam anak yang sehat. (Satu anak perempuan meninggal dunia ketika masih bayi, tetapi bukan akibat adanya kelainan genetis.)

Satu semester menjelang pernikahannya, Maslow mendaftar di University of Wisconsin, di mana ia memperoleh gelar sarjana filosofi. Selain itu, ia cukup tertarik dengan pandangan behaviorisme dari John B. Watson dan ketertarikan ini membuatnya mengambil mata-mata kuliah psikologi yang cukup untuk memenuhi persyaratan untuk mengejar gelar doktor (Ph. D.) di bidang psikologi. Ketika berstatus mahasiswa S2, ia bekerja bersama Harry Harlow, yang baru memulai penelitiannya mengenai monyet. Penelitian untuk disertasi Maslow mengenai tingkah laku dominan dan seksual dari monyet menunjukkan bahwa dominasi sosial merupakan motivasi yang lebih kuat daripada kebutuhan seksual, setidaknya pada primata (Blum, 2002).

Pada tahun 1934, Maslow mendapatkan gelar doktor, tetapi ia tidak mendapatkan sebuah posisi akademis. Sebagian karena terjadinya era Great Depression dan sebagian lagi karena masih kuatnya prasangka anti-Yahudi di banyak kampus di Amerika pada tahun- tahun tersebut. Akibatnya, ia melanjutkan mengajar di Wisconsin untuk beberapa waktu yang singkat dan bahkan mendaftar di sekolah kedokteran di sana. Akan tetapi, ia tidak merasa nyaman dengan sikap dingin dan tenang dari para ahli bedah yang bisa memotong bagian tubuh yang berpenyakit tanpa menunjukkan emosi apapun. Bagi Maslow, sekolah

B a b 10 M a slo w : T e o ri H o lis t ik -D in a m is 329

kedokteran—sama seperti sekolah hukum—menggambarkan pandangan tanpa emosi dan negatif tentang manusia, dan ia terganggu juga bosan dengan pengalamannya di sekolah kedokteran. Setiap kali Maslow merasa bosan dengan sesuatu, ia biasanya berhenti melakukannya, dan sekolah kedokteran pun ia tinggalkan (Hoffman, 1988).

Tahun berikutnya, ia kembali ke New York untuk menjadi asisten peneliti E. L. Thorndike di Teachers College, Columbia University. Maslow yang merupakan mahasiswa rata-rata pada saat berkuliah di City College dan Cornell, ternyata mendapat skor 195 pada tes inteligensi dari Thorndike, yang kemudian membuat Thorndike memberikan kebebasan kepada asistennya tersebut untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Pikiran Maslow yang produktif bisa berkembang dalam situasi ini. Akan tetapi, setelah satu setengah tahun menjalankan penelitian mengenai dominasi dan seksualitas manusia, ia meninggalkan Columbia untuk bergabung dengan Brooklyn College, sebuah kampus yang baru berdiri dan mempunyai murid-murid yang sebagian besar pintar, yang merupakan remaja dari rumah tangga kelas pekerja, pemuda-pemuda yang sama seperti Maslow sepuluh tahun sebelumnya (Hoffman, 1988).

Tinggal di New York pada rentang tahun 1930-an dan 1940-an membuka kesempatan bagi Maslow untuk bisa berjumpa dengan banyak psikolog asal Eropa yang berhasil melarikan diri dari aturan Nazi. Bahkan, Maslow mengatakan bahwa, dari semua orang yang pernah hidup di dunia, hanya ia yang pernah mempunyai guru-guru terbaik (Goble, 1970). Antara lain, ia bertemu dan belajar dari Erich Fromm, Karen Horney, Max Wertheimer, dan Kurt Goldstein. Ia dipengaruhi oleh masing-masing dari orang-orang ini, yang sebagian besar dari mereka memberi kuliah di New School for Social Research. Maslow juga berhubungan dengan Alfred Adler, yang tinggal di New York pada saat itu. Adler mengadakan seminar di rumahnya setiap Jumat malam dan Maslow merupakan peserta tetap dari sesi-sesi seminar tersebut, begitu pula Julian Rotter (lihat Bab 17).

Salah seorang mentor Maslow lainnya adalah Ruth Benedict, seorang antropolog di Columbia University. Pada tahun 1938, Benedict mendukung Maslow untuk melakukan penelitian antropologi pada orang-orang Indian Northern Blackfoot dari Alberta, Canada. Penelitiannya terhadap Penduduk Asli Amerika ini mengajarkannya bahwa perbedaan antarkultur merupakan suatu hal yang dangkal dan bahwa pertama kali kita harus melihat orang-orang Northern Blackfoot sebagai manusia, baru setelah itu kita melihat mereka sebagai Indian Blackfoot. Temuan ini membantu Maslow di tahun-tahun setelahnya untuk melihat bahwa hierarki kebutuhannya yang terkenal dapat diaplikasikan ke semua orang.

Selama pertengahan tahun 1940-an, kesehatan Maslow mulai menurun. Pada tahun 1946, pada usia 38, ia menderita penyakit aneh yang membuatnya lemah, sering kali pingsan, dan kelelahan. Pada tahun berikutnya, ia mengambil cuti sakit dan bersama dengan Bertha serta kedua anaknya, pindah ke Pleasanton, California, di mana ia menjadi manajer pabrik (walaupun hanya dalam nama) sebuah cabang dari Maslow Cooperage Corporation. Jadwal kerjanya yang sedikit, memungkinkannya untuk membaca biografi- biografi dan sejarah-sejarah dalam pencariannya akan informasi tentang orang-orang yang berhasil mengaktualisasikan diri. Setahun kemudian, kesehatannya membaik dan ia kembali

mengajar di Brooklyn College.

330 T e o ri K e p r ib a d ia n

Pada tahun 1951, Maslow mendapat posisi sebagai kepala departemen psikologi di Brandeis University yang baru berdiri di Waltham, Massachusetts. Selama di Brandeis, ia mulai sering menulis untuk jurnalnya, yaitu secara tidak teratur menuliskan pemikiran, opini, perasaan, aktivitas sosial, percakapan penting, dan kekhawatiran akan kesehatannya (Maslow, 1979).

Walaupun memperoleh ketenaran selama tahun 1960-an, Maslow menjadi semakin tidak bersemangat dengan hari-harinya di Brandeis. Beberapa mahasiswanya tidak menyukai metode mengajarnya dan meminta lebih banyak penerapan ilmu daripada sekadar pendekatan intelektual dan ilmiah.

Selain mengalami masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, pada bulan Desember 1967, Maslow juga mengalami serangan jantung yang parah, namun tidak sampai merenggut nyawanya. Ia kemudian mengetahui bahwa penyakit aneh yang dialaminya lebih dari dua puluh tahun sebelumnya merupakan serangan jantung yang tidak terdiagnosa. Sekarang, dengan kesehatan yang kurang baik dan rasa kecewa terhadap situasi akademis di Brandeis, Maslow menerima tawaran untuk bergabung dengan Saga Administrative Corporation di Menlo Park, California. Ia tidak mempunyai pekerjaan khusus di sana dan dapat bebas berpikir serta menulis apapun yang ia inginkan. Ia menikmati kebebasan tersebut, tetapi pada 8 Juni 1970, ia tiba-tiba terjatuh dan meninggal dunia akibat serangan jantung yang hebat, di usia 62 tahun.

Maslow menerima banyak penghargaan semasa hidupnya, termasuk keikutsertaannya pada pemilihan presiden American Psychological Association untuk masa jabatan tahun 1967-1968. Pada saat ia meninggal, ia adalah seseorang yang terkenal, bukan hanya di profesi psikologi, tetapi juga di antara orang-orang terpelajar pada umumnya, terutama di bidang bisnis manajemen, marketing, teologi, konseling, pendidikan, ilmu keperawatan, dan bidang yang berhubungan dengan kesehatan lainnya.

Kehidupan pribadi Maslow diwarnai dengan rasa sakit, baik fisik maupun psikologis. Pada masa remaja, ia adalah orang yang sangat pemalu, tidak bahagia, terisolasi, dan tidak menyukai dirinya sendiri. Pada tahun-tahun belakangan, ia sering berada dalam keadaan kesehatan fisik yang kurang baik, mengalami beberapa penyakit, termasuk masalah jantung yang kronis. Jurnalnya (Maslow, 1979) dipenuhi dengan tulisan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan yang tidak baik. Pada jurnal terakhirnya (7 Mei 1970), sebulan sebelum kematiannya, ia mengeluh tentang orang-orang yang mengharapkannya untuk menjadi pemimpin dan pembicara yang pemberani. Ia menulis: “Saya tidak mempunyai mental pemberani. Keberanian saya adalah cara untuk mengatasi segala bentuk kegugupan, kesopanan, kelembutan, sifat pemalu—dan hal ini selalu membuat saya lebih cepat lelah, tertekan, khawatir, dan sulit tidur” (him. 1307).

Pandangan Maslow tentang MotivasiTeori kepribadian Maslow dibuat berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. Pertama, Maslow (1970) mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi (holistic

B a b 1 0 M a slo w : T e o ri H o lis t ik -D in a m is 331

approach to motivation). Yaitu, keseluruhan dari seseorang, bukan hanya satu bagian atau fungsi, termotivasi.

Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari beberapa hal (motivation is usually complex), yang berarti bahwa tingkah laku seseorang dapat muncul dari beberapa motivasi yang terpisah. Contohnya, keinginan untuk berhubungan seksual dapat termotivasi tidak hanya oleh adanya kebutuhan yang berkaitan dengan alat kelamin, tetapi juga oleh kebutuhan akan dominasi, kebersamaan, cinta, dan harga diri. Selain itu, motivasi untuk melakukan sebuah tingkah laku dapat disadari maupun tidak disadari oleh orang yang melakukan. Contohnya, motivasi seorang mahasiswa untuk mendapat nilai tinggi dapat menutupi motivasi sesungguhnya yang adalah kebutuhan untuk mendominasi atau memperoleh kekuasaan. Pandangan Maslow tentang pentingnya motivasi yang tidak disadari menggambarkan satu perbedaan penting antara dirinya dan Gordon Allport (Bab 13). Allport mungkin mengatakan bahwa seseorang bermain golf karena mendapat kesenangan dari permainan tersebut, sementara Maslow akan melihat lebih jauh dari sekadar motivasi yang tampak dan melihat alasan-alasan untuk bermain golf yang biasanya terdiri dari beberapa alasan.

Asumsi ketiga adalah bahwa orang-orang berulang kali termotivasi oleh kebutuhan- kebutuhan (people are continually motivated by one need or another). Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain. Contohnya, selama kebutuhan akan makanan/rasa lapar belum terpenuhi, orang akan selalu berusaha mendapatkan makanan. Akan tetapi, ketika mereka sudah mendapat cukup makanan, mereka beralih ke kebutuhan-kebutuhan lain seperti keamanan, pertemanan, dan penghargaan diri.

Asumsi lainnya adalah bahwa semua orang di manapun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sam a (all people everywhere are motivated by the sam e basic needs). Bagaimana cara orang-orang di kultur yang berbeda-beda memperoleh makanan, membangun tempat tinggal, mengekspresikan pertemanan, dan seterusnya bisa bervariasi, tetapi kebutuhan dasar untuk makanan, keamanan, dan pertemanan merupakan kebutuhan yang berlaku umum untuk semua spesies.

Asumsi terakhir mengenai motivasi adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki (needs can be arranged on a hierarchy) (Maslow, 1943, 1970).

Hierarki KebutuhanKonsep hierarki kebutuhan yang diungkapkan Maslow beranggapan bahwa kebutuhan- kebutuhan di level rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi. Lima kebutuhan yang membentuk hierarki ini adalah kebutuhan konatif (conative needs), yang berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan ini memiliki karakter mendorong atau memotivasi. Kebutuhan-kebutuhan ini, yang Maslow sering kali sebut sebagai kebutuhan- kebutuhan dasar dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki atau tangga di mana anak tangga menggambarkan kebutuhan yang lebih tinggi, tetapi bukan merupakan kebutuhan untuk bertahan hidup (lihat Figur 10.1). Kebutuhan-kebutuhan di level rendah mempunyai

332 T e o ri K e p r ib a d ia n

prapotensi atau kekuatan yang lebih besar dibandingkan kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi; dengan demikian, kebutuhan-kebutuhan di level lebih rendah ini harus terpenuhi atau cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi bisa aktif. Contohnya, seseorang yang termotivasi untuk mendapatkan penghargaan atau aktualisasi diri harus terlebih dahulu terpenuhi kebutuhan akan makanan dan keamanannya. Oleh karena itu, rasa lapar dan keamanan mempunyai prapotensi terhadap penghargaan maupun aktualisasi diri.

Maslow (1970) mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan berikut ini berdasarkan prapotensi dari masing-masing: fisiologis (physiological), keamanan (safety), cinta dan keberadaan (love and belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi diri (self- actualization).

FIGUR 10.1 Hierarki Kebutuhan dari Maslow. Seseorang Harus Mencapai Aktualisasi Diri secara Ber tahap.

Kebutuhan FisiologisKebutuhan paling mendasar dari setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis (physiological needs), termasuk di dalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuh, dan lain sebagainya. Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang mempunyai kekuatan/pengaruh paling besar dari semua kebutuhan. Orang-orang yang terus-menerus merasa lapar akan termotivasi untuk makan—tidak termotivasi untuk mencari teman atau memperoleh harga diri. Mereka tidak melihat lebih jauh dari makanan, dan selama kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka motivasi utama mereka adalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan.

Pada masyarakat yang kaya dan berkecukupan, sebagian besar orang memenuhi kebutuhan akan rasa laparnya sebagai suatu hal yang biasa dilakukan. Mereka biasanya mempunyai cukup makanan sehingga jika mereka mengatakan bahwa mereka lapar, yang

B a b 10 M a slo w : T ? o r i H o lis t ik -D in a m is 333

mereka maksudkan sebenarnya adalah tentang selera makan, bukan rasa lapar. Seseorang yang benar-benar lapar tidak akan terlalu memperhatikan rasa, bau, suhu, dan tekstur dari makanan.

Maslow (1970) mengatakan “Adalah hal yang cukup benar apabila manusia hidup hanya dengan roti saja—yaitu ketika tidak ada roti” (him. 38). Ketika orang-orang tidak bisa memenuhi kebutuhan fisiologisnya, mereka akan hidup terutama untuk kebutuhan tersebut dan berulangkali berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Orang-orang yang kelaparan akan terus berpikir tentang makanan dan bersedia untuk melakukan apapun demi mendapatkan makanan (Keys, Brozek, Henschel, Mickelsen, & Taylor, 1950).

Kebutuhan fisiologis berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya setidaknya dalam dua hal penting. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya kebutuhan yang dapat terpenuhi atau bahkan selalu terpenuhi. Orang-orang bisa cukup makan sehingga makanan akan kehilangan kekuatannya untuk memotivasi. Bagi orang yang baru saja selesai makan dalam porsi besar, pikiran tentang makanan bahkan dapat menyebabkan perasaan mual. Karakteristik berbeda yang kedua dari kebutuhan fisiologis adalah kemampuannya untuk muncul kembali (recurring nature). Setelah orang-orang selesai makan, mereka lama- kelamaan menjadi lapar lagi; mereka terus-menerus mengisi ulang pasokan makanan dan air; dan satu tarikan nafas harus dilanjutkan oleh tarikan nafas berikutnya. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan di level lainnya tidak muncul kembali secara terus-menerus. Contohnya, orang yang paling tidak telah memenuhi kebutuhan mereka akan cinta dan penghargaan akan tetap merasa percaya diri bahwa mereka dapat terus memenuhi kebutuhan mereka akan cinta dan harga diri.

Kebutuhan akan KeamananKetika orang telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka menjadi termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan (safety needs), yang termasuk di dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan- kekuatan yang mengancam, seperti perang, terorisme, penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam. Kebutuhan akan hukum, ketenteraman, dan keteraturan juga merupakan bagian dari kebutuhan akan keamanan (Maslow, 1970).

Kebutuhan akan keamanan berbeda dengan kebutuhan fisiologis dalam hal ketidakmungkinan kebutuhan akan keamanan untuk terpenuhi secara berlebihan. Orang- orang tidak akan pernah benar-benar terlindungi dari meteor, kebakaran, banjir, atau

peristiwa berbahaya lainnya.

Pada masyarakat yang tidak sedang mengalami perang, sebagian besar orang-orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan akan keamanan mereka setiap waktu sehingga menjadikan kebutuhan ini cenderung tidak penting. Akan tetapi, anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan rasa aman karena mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang asing, dan hukuman dari orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa cenderung tidak aman karena ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa hingga masa dewasa dan menyebabkan mereka bertindak seolah mereka takut akan hukuman dari orang tua. Mereka menghabiskan lebih banyak energi daripada energi

334 T e o ri K e p r ib a d ia n

yang dibutuhkan orang yang sehat untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan ketika mereka tidak berhasil memenuhi kebutuhan rasa aman tersebut, mereka akan mengalami apa yang Maslow (1970) sebut sebagai kecemasan dasar (basic anxiety).

Kebutuhan akan Cinta dan KeberadaanSetelah orang memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan, mereka menjadi termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love and belongingness needs), seperti keinginan untuk berteman; keinginan untuk mempunyai pasangan dan anak; kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, sebuah perkumpulan, lingkungan masyarakat, atau negara. Cinta dan keberadaan juga mencakup beberapa aspek dari seksualitas dan hubungan dengan manusia lain dan juga kebutuhan untuk memberi dan mendapatkan cinta (Maslow, 1970).

Orang yang kebutuhan akan cinta dan keberadaannya cukup terpenuhi sejak dari masa kecil tidak menjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang semacam ini mempunyai kepercayaan diri bahwa mereka akan diterima oleh orang-orang yang penting bagi mereka, jadi ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak merasa hancur.

Selain kebutuhan fisiologis dan keamanan, anak-anak juga mempunyai kebutuhan akan cinta dan keberadaan

Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak pernah merasakan cinta dan keberadaan, dan oleh karena itu, mereka menjadi tidak mampu memberikan cinta. Mereka jarang atau bahkan tidak pernah dipeluk ataupun disentuh ataupun mendapatkan pernyataan cinta dalam bentuk apapun. Maslow percaya bahwa orang semacam ini lama-kelamaan akan belajar untuk tidak mengutamakan cinta dan terbiasa dengan ketidakhadiran cinta.

Kategori ketiga adalah orang-orang yang menerima cinta dan keberadaan hanya dalam jumlah yang sedikit. Oleh karena hanya menerima sedikit cinta dan keberadaan, maka

B a b 10 M a slo w : T e o ri H o lis t ik -D in a m is 335

mereka akan sangat termotivasi untuk mencarinya. Dengan kata lain, orang yang menerima sedikit cinta mempunyai kebutuhan akan kasih sayang dan penerimaan yang lebih besar daripada orang yang menerima cinta dalam jumlah cukup atau yang tidak menerima cinta sama sekali (Maslow, 1970).

Anak-anak membutuhkan cinta supaya mereka dapat tumbuh secara psikologis dan usaha mereka untuk mendapatkan kebutuhan ini biasanya dilakukan secara jujur dan langsung. Orang dewasa juga membutuhkan cinta, tetapi usaha mereka untuk mendapatkannya kadang kala disembunyikan dengan baik. Orang-orang dewasa ini sering kali melakukan tingkah laku yang mengalahkan diri sendiri, seperti berpura-pura tidak ramah pada orang lain atau bersikap sinis, dingin, dan kasar dalam hubungan interpersonal. Mereka mungkin menunjukkan bahwa mereka tampak mandiri dan bebas, tetapi pada kenyataannya mereka mempunyai kebutuhan yang kuat untuk diterima dan dicintai oleh orang lain. Orang-orang dewasa lain yang kebutuhan akan cintanya tidak terlalu terpenuhi mengadopsi usaha-usaha yang lebih kentara untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi mereka menghancurkan keberhasilan mereka sendiri karena mereka berusaha terlalu keras untuk mendapatkan cinta. Permohonan mereka yang tiada henti untuk mendapat penerimaan dan kasih sayang membuat orang lain curiga, tidak bersahabat, dan sulit didekati.

Kebutuhan akan PenghargaanSetelah orang-orang memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yang mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahuan yang orang lain hargai tinggi. Maslow(1970) mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan—reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri didasari oleh lebih dari sekadar reputasi maupun gengsi. Harga diri menggambarkan sebuah “keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan, kecukupan, penguasaan dan kemampuan, kepercayaan diri di hadapan dunia, serta kemandirian dan kebebasan” (him. 45). Dengan kata lain, harga diri didasari oleh kemampuan nyata dan bukan hanya didasari oleh opini dari orang lain. Setelah orang memenuhi kebutuhan mereka akan penghargaan, mereka siap untuk mengejar aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan tertinggi yang diungkapkan oleh Maslow.

Kebutuhan akan Aktualisasi DiriKetika kebutuhan di level rendah terpenuhi, orang secara otomatis beranjak ke level berikutnya. Akan tetapi, setelah kebutuhan akan penghargaan terpenuhi, orang tidak selalu bergerak menuju level aktualisasi diri. Awalnya, Maslow (1950) berasumsi bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri muncul jika kebutuhan akan penghargaan telah terpenuhi. Akan tetapi, pada tahun 1960-an, ia menyadari bahwa banyak dari mahasiswa-mahasiswa di Brandeis dan kampus lainnya di seluruh negeri telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan level rendah mereka, termasuk reputasi dan harga diri, tetapi mereka tidak lalu berusaha untuk mengaktualisasikan diri (Frick, 1982; Hoffman, 1988; Maslow, 1971). Mengapa ada sebagian

336 T e o ri K e p r ib a d ia n

orang yang melewati pintu gerbang dari harga diri menuju aktualisasi diri sementara sebagian lainnya tidak, merupakan suatu hal yang terkait dengan apakah orang-orang tersebut memiliki nilai-nilai B atau tidak (nilai-nilai B akan didiskusikan di bagian berjudul Aktualisasi Diri).Orang-orang yang menjunjung nilai- nilai seperti kejujuran, keindahan, keadilan, dan nilai-nilai B lainnya akan mengaktualisasikan dirinya setelah kebutuhan akan penghargaannya terpenuhi, sementara orang-orang yang tidak memiliki nilai-nilai ini tidak akan mengaktualisasikan dirinya walaupun mereka telah memenuhi masing- masing dari kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.

Kebutuhan akan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreatif mungkin (Maslow, 1970). Orang-orang yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi orang yang seutuhnya, memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang orang lain hanya lihat sekilas atau bahkan tidak pernah lihat sama sekali. Mereka sangat alami, sama seperti alaminyabinatang dan bayi, yaitu mereka mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan mendasar mereka dan tidak membiarkan diri mereka mendapat tekanan dari kultur.

Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga diri mereka bahkan ketika mereka dimaki, ditolak, dan diremehkan oleh orang lain. Dengan kata lain, orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak bergantung pada pemenuhan kebutuhan cinta maupun kebutuhan akan penghargaan. Mereka menjadi mandiri sejak kebutuhan level rendah yang memberi mereka kehidupan. (Kami memberi gambaran yang lebih lengkap tentang orang yang mengaktualisasikan diri pada bagian berjudul Aktualisasi Diri.)

Selain lima kebutuhan konatif ini, Maslow mengidentifikasi tiga kategori kebutuhan lainnya—estetika, kognitif, dan neurotik. Terpenuhinya kebutuhan estetika dan kognitif sejalan dengan tercapainya kesehatan psikologis, sementara kurang terpenuhinya kedua kebutuhan ini akan berakibat pada munculnya hal-hal patologis atau yang tidak bisa dikontrol. Akan tetapi, kebutuhan neurotik mengarah pada munculnya hal-hal patologis, baik jika kebutuhan ini terpenuhi maupun tidak terpenuhi.

Kebutuhan EstetikaBerbeda dengan kebutuhan-kebutuhan konatif, kebutuhan estetika (aesthetic needs) tidaklah bersifat universal. Akan tetapi, setidaknya beberapa orang di setiap kultur sepertinya termotivasi oleh kebutuhan akan keindahan dan pengalaman yang menyenangkan secara

>

i■ - i

< jum mL ; jP

fSk \ ■ ;lfp

Walaupun tidak selalu artistik, orang-orang yang mengaktualisasikan diri merupakan orang-orang yang kreatif dengan cara mereka sendiri.

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 3 3 7

estetis (Maslow, 1967). Sejak jaman purbakala hingga masa kini, beberapa orang telah menghasilkan seni karena ingin berseni.

Orang-orang dengan kebutuhan estetika yang kuat menginginkan lingkungan yang indah dan teratur dan ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka merasa sakit sama halnya seperti orang-orang yang tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan konatifnya juga merasa sakit. Orang-orang lebih menyukai sesuatu yang indah daripada sesuatu yang jelek dan mereka bahkan bisa mengalami sakit fisik maupun psikologis jika dipaksa untuk tinggal di lingkungan yang kotor dan tidak teratur (Maslow, 1970).

Kebutuhan KognitifSebagian besar orang mempunya keinginan untuk mengetahui, untuk memecahkan misteri, untuk memahami, dan untuk menjadi penasaran. Maslow (1970) menyebut keinginan - keinginan ini sebagai kebutuhan kognitif (cognitive neeeds). Ketika kebutuhan kognitif tidak terpenuhi, semua kebutuhan pada hierarki Maslow terancam tidak bisa terpenuhi pula karena pengetahuan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memenuhi masing- masing dari kelima kebutuhan konatif tersebut. Orang-orang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis mereka dengan cara mengetahui bagaimana mendapatkan makanan, kebutuhan keamanan dapat terpenuhi dengan cara mengetahui bagaimana membangun rumah, kebutuhan cinta terpenuhi dengan cara mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain, kebutuhan akan penghargaan dapat terpenuhi jika mengetahui bagaimana cara mendapatkan rasa percaya diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri dapat terpenuhi dengan cara menggunakan sepenuhnya potensi kognitif mereka.

Maslow (1968b, 1970) percaya bahwa orang-orang yang sehat mempunyai keinginan untuk mengetahui lebih besar, untuk berteori, untuk membuktikan hipotesis, untuk menyelesaikan misteri, atau untuk mencari tahu tentang bagaimana suatu hal berfungsi hanya karena mereka penasaran ingin tahu. Akan tetapi, orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kognitif mereka, yang terus-menerus berbohong, yang rasa penasarannya terhambat, atau yang telah menolak informasi-informasi yang masuk ke dirinya, dapat terjangkit penyakit yang berupa sikap skeptis, kecewa, dan sinis.

Kebutuhan NeurotikPemenuhan kebutuhan konatif, estetika, dan kognitif merupakan dasar bagi tercapainya kesehatan fisik dan psikologis seseorang. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan mengarah pada penyakit. Akan tetapi, kebutuhan neurotik (neurotic needs) hanya mengarah pada kegagalan berkembang dan penyakit (Maslow, 1970).

Jika diartikan, maka kebutuhan neurotik berarti tidak produktif. Kebutuhan- kebutuhan ini memupuk gaya hidup yang tidak sehat dan tidak adanya keinginan untuk berusaha memperoleh aktualisasi diri. Kebutuhan neurotik biasanya bersifat reaktif, yaitu kebutuhan ini berperan sebagai kompensasi atas kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Contohnya, seseorang yang tidak memenuhi kebutuhan akan keamanannya dapat mengembangkan keinginan yang kuat untuk mengumpulkan uang atau barang-barang kepemilikan. Dorongan untuk mengoleksi ini merupakan sebuah kebutuhan neurotik yang

Teori Kepribadian

dapat mengarah pada penyakit jika kebutuhan tersebut terpenuhi maupun tidak terpenuhi. Serupa dengan hal ini, seseorang yang neurotik dapat menjalin hubungan yang erat dengan orang lain, tetapi hubungan tersebut bisa merupakan hubungan yang neurotik dan saling bergantung yang mengarah pada hubungan yang patologis atau bermasalah daripada cinta yang tulus. Maslow (1970) menggambarkan sebuah contoh lagi dari kebutuhan neurotik, yaitu seseorang yang sangat termotivasi oleh kekuasaan dapat mencapai kekuasaan yang hampir tak terbatas, tetapi hal ini tidak membuat orang tersebut tidak neurotik atau tidak menginginkan kekuasaan tambahan. “Bagi seseorang yang sehat sepenuhnya, terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan neurotik hanya membuat sedikit perbedaan” (Maslow, 1970, him. 274).

Pembahasan Umum mengenai KebutuhanMaslow (1970) memperkirakan bahwa rata-rata orang membuat kebutuhannya masing- masing terpenuhi sampai kurang lebih sebanyak ini: fisiologis, 85%; keamanan, 70%; cinta dan keberadaan, 50%; penghargaan, 40%; dan aktualisasi diri, 10%. Semakin besar kebutuhan di level rendah terpenuhi, maka akan semakin besar kemunculan kebutuhan di level selanjutnya. Contohnya, jika kebutuhan akan cinta hanya terpenuhi sebesar 10%, maka kebutuhan penghargaan mungkin tidak akan muncul sama sekali. Akan tetapi, jika kebutuhan akan cinta terpenuhi sebanyak 25%, maka bisa jadi kebutuhan penghargaan dapat muncul sebesar 5%. Jika kebutuhan akan cinta terpenuhi sebesar 75%, maka kebutuhan akan penghargaan dapat muncul sampai 50%, dan seterusnya. Oleh sebab itu, kebutuhan-kebutuhan muncul secara bertahap, dan seseorang dapat termotivasi secara bersamaan oleh kebutuhan-kebutuhan dari dua atau lebih level. Sebagai contoh, orang yang mengaktualisasi diri diundang sebagai tamu kehormatan di sebuah acara makan malam bersama yang diadakan teman-teman dekatnya di sebuah restoran. Tingkah laku makan memenuhi kebutuhan fisiologis; tetapi pada saat yang bersamaan, sang tamu kehormatan bisa juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan keamanan, cinta, penghargaan, dan aktualisasi dirinya.

Urutan yang Terbalik dari Kebutuhan-kebutuhanWalaupun kebutuhan-kebutuhan biasanya terpenuhi dalam urutan hierarki seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10.1, kadang kala urutannya terbalik. Bagi beberapa orang, dorongan kreativitas (sebuah kebutuhan aktualisasi diri) dapat menjadi lebih penting daripada kebutuhan keamanan dan fisiologis. Seorang artis yang sangat antusias dapat mengorbankan keselamatan dan kesehatannya untuk menyelesaikan sebuah karya penting. Bertahun-tahun, almarhum pemahat Korczak Ziolkowski membahayakan kesehatannya dan mengabaikan hubungannya dengan orang lain untuk mengerjakan pahatan gunung di Black Hills menjadi sebuah monumen untuk Kepala Suku Crazy Horse.

Akan tetapi, urutan yang terbalik ini biasanya lebih merupakan sesuatu yang terlihat daripada sesuatu yang terjadi sebenarnya, dan beberapa perbedaan yang sepertinya terlihat jelas dalam urutan kebutuhan ini sebenarnya bukanlah perbedaan sama sekali. Jika kita memahami motivasi tak disadari yang mendasari suatu tingkah laku, kita akan mendapati bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak berada dalam urutan terbalik.

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 3 3 9

Tingkah Laku yang Tidak DimotivasiMaslow (1970) percaya bahwa walaupun semua tingkah laku mempunyai penyebab, tetapi beberapa tingkah laku tidak dimotivasi. Dengan kata lain, tidak semua faktor merupakan penyebab. Beberapa tingkah laku tidak disebabkan oleh kebutuhan tetapi oleh faktor-faktor lain seperti reaksi yang dipelajari, pendewasaan diri, atau obat-obatan. Motivasi dibatasi menjadi usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan. Sebagian besar dari apa yang Maslow(1970) sebut sebagai “tingkah laku ekspresif” tidak dimotivasi.

Tingkah Laku Ekspresif dan Tingkah Laku PenangananMaslow (1970) membedakan antara tingkah laku ekspresif (yang sering kali tidak dimotivasi) dengan tingkah laku penanganan (yang selalu dimotivasi dan ditujukan untuk memenuhi sebuah kebutuhan).

Tingkah laku ekspresif (expressive behavior) sering kali tidak berkelanjutan dan tidak mempunyai tujuan setelah tingkah laku tersebut terlaksana. Tingkah laku ini sering kali tidak disadari dan biasanya terjadi tanpa dibuat-buat dengan membutuhkan sedikit usaha. Tingkah laku ini tidak mempunyai tujuan tetapi hanya merupakan ekspresi seseorang terhadap suatu hal. Tingkah laku ekspresif mencakup tingkah laku seperti duduk malas- malasan, terlihat bodoh, bersantai, menunjukkan kemarahan, dan tampak bahagia. Tingkah laku ekspresif dapat terjadi walaupun tanpa adanya dorongan maupun hadiah (reward). Sebagai contoh, mengerutkan dahi, pipi yang memerah, atau mata yang bercahaya tidak secara khusus didorong terjadinya.

Tingkah laku ekspresif juga termasuk cara berjalan, gerakan tubuh, suara, dan senyuman seseorang (bahkan ketika orang tersebut sedang sendirian). Sebagai contoh, seseorang dapat mengekspresikan kepribadian hati-hati dan kompulsif karena hal tersebut adalah dirinya dan bukan karena adanya kebutuhan untuk melakukan hal tersebut. Contoh lain dari tingkah laku ekpresif adalah berkarya seni, bermain, merasa bahagia, menghargai, bertanya-tanya, kagum, dan merasa senang. Tingkah laku ekspresif biasanya tidak dipelajari, spontan, dan ditentukan oleh kekuatan dalam diri seseorang daripada kekuatan dari lingkungan.

Sementara, tingkah laku penanganan (coping behavior) biasanya disadari, diusahakan, dipelajari, dan ditentukan oleh lingkungan luar. Tingkah laku penanganan terkait dengan usaha-usaha yang dilakukan seorang individu untuk mengatasi lingkungan; seperti untuk mendapatkan makanan dan tempat berlindung; untuk memperoleh teman; dan untuk mendapat penerimaan, penghargaan, dan gengsi dari orang lain. Tingkah laku penanganan mempunyai tujuan (walaupun tidak selalu disadari atau diketahui oleh orang yang melakukan), dan tingkah laku ini selalu dimotivasi oleh kebutuhan tertentu (Maslow, 1970).

Kebutuhan yang Tidak TerpenuhiTidak terpenuhinya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan mendasar dapat mengarah pada beberapa macam penyakit. Kebutuhan fisiologis yang tidak terpenuhi berakibat pada malnutrisi, kelelahan, hilangnya energi, obsesi terhadap seks, dan lain sebagainya. Ancaman terhadap keamanan seseorang akan mengarah pada perasaan bahwa bahaya sedang mengancam, perasaan tidak aman, dan perasaan takut yang sangat besar. Ketika

3 4 0 Teori Kepribadian

kebutuhan cinta tidak terpenuhi, seseorang menjadi defensif, terlalu agresif, atau canggung di lingkungan sosial. Kurangnya penghargaan diri berakibat pada munculnya keraguan diri, tidak menghargai diri, dan kurangnya rasa percaya diri. Tidak terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri juga mengarah pada penyakit atau patologi, atau lebih tepatnya metapatologi. Maslow (1967) mendefinisikan metapatologi sebagai ketiadaan nilai-nilai, ketiadaan pencapaian/keberhasilan, dan hilangnya arti hidup.

Ciri-ciri Instinctoid dari KebutuhanMaslow (1970) mempunyai hipotesis bahwa beberapa kebutuhan manusia ditentukan secara bawaan walaupun kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dimodifikasi melalui pembelajaran. Ia menyebut kebutuhan-kebutuhan ini sebagai kebutuhan instinctoid. Sebagai contoh, seks merupakan sebuah kebutuhan fisiologis, tetapi bagaimana kebutuhan ini diekspresikan tergantung dari pembelajaran. Bagi sebagian besar orang, seks merupakan kebutuhan instinctoid.

Satu kriteria untuk membedakan kebutuhan instinctoid dari kebutuhan non- instinctoid adalah pada level patologis apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan instinctoid dapat menimbulkan penyakit atau patologi, sementara tidak terpenuhinya kebutuhan non-instinctoid tidak menimbulkan penyakit atau patologi. Sebagai contoh, ketika orang tidak dapat tercukupi kebutuhan cintanya, mereka menjadi sakit dan terhambat untuk memperoleh kesehatan psikologis. Serupa dengan hal ini, ketika orang tidak terpenuhi kebutuhan fisiologis, keamanan, penghargaan, dan aktualisasi dirinya, maka orang tersebut menjadi sakit. Oleh karena itu, kebutuhan-kebutuhan ini merupakan kebutuhan instinctoid. Sementara, kebutuhan untuk menyisir rambut atau untuk berbicara dengan bahasa ibu merupakan kebutuhan yang dipelajari, dan tidak terpenuhinya kebutuhan ini biasanya tidak menyebabkan penyakit. Jika seseorang menjadi sakit akibat tidak bisa menyisir rambutnya atau tidak bisa berbicara dengan bahasa ibunya, maka sebenarnya kebutuhan yang tidak terpenuhi adalah kebutuhan instinctoid dasarnya, mungkin kebutuhan cinta dan keberadaan atau mungkin juga kebutuhan akan penghargaan.

Kriteria kedua yang membedakan kebutuhan instinctoid dari kebutuhan non-instinctoid adalah bahwa kebutuhan instinctoid merupakan kebutuhan yang terus-menerus timbul dan terpenuhinya kebutuhan tersebut akan mengarah pada terciptanya kesehatan psikologis. Sebaliknya, kebutuhan non-instinctoid biasanya bersifat sementara dan terpenuhinya kebutuhan ini bukanya persyaratan untuk terciptanya kesehatan.

Perbedaan ketiga adalah bahwa kebutuhan instinctoid merupakan kebutuhan yang spesifik terjadi pada spesies tertentu. Oleh karena itu, insting binatang tidak bisa dipakai sebagai pedoman untuk mempelajari motivasi manusia. Hanya manusia yang dapat termotivasi oleh penghargaan dan aktualisasi diri.

Perbedaan keempat adalah, walaupun sulit untuk berubah, kebutuhan instinctoid dapat dibentuk, dicegah, atau diubah oleh pengaruh-pengaruh lingkungan. Oleh karena banyak kebutuhan instinctoid (contoh: cinta) lebih lemah dibanding tekanan kultural (contoh: agresi dalam bentuk kejahatan atau perang), Maslow (1970) meyakini bahwa masyarakat seharusnya “melindungi kebutuhan-kebutuhan instinctoid yang lemah,

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 3 4 1

tidak kentara, dan lembut supaya kebutuhan-kebutuhan ini tidak kalah oleh kultur yang lebih kuat dan berkuasa” (him. 82). Dengan kata lain, walaupun kebutuhan instinctoid merupakan kebutuhan dasar dan tidak dipelajari, kebutuhan ini dapat diubah dan bahkan dapat dihancurkan oleh dorongan dari adanya perkembangan di masyarakat yang lebih kuat. Oleh karena itu, masyarakat yang sehat seharusnya mencari cara supaya anggota- anggota masyarakat dapat memenuhi tidak hanya kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keamanannya, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan akan cinta, akan penghargaan, dan aktualisasi diri.

Perbandingan antara Kebutuhan di Level Tinggi dan RendahTerdapat persamaan dan perbedaan penting antara kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih tinggi (cinta, penghargaan, dan aktualisasi diri) dan kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih rendah (fisiologis dan keamanan). Kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi serupa dengan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah dalam hal bahwa kebutuhan-kebutuhan ini sama-sama kebutuhan instinctoid. Maslow (1970) meyakini bahwa cinta, penghargaan, dan aktualisasi diri bersifat sama biologisnya seperti rasa haus, seks, dan rasa lapar.

Perbedaan antara kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah adalah berkaitan dengan tingkatan dan bukan dengan jenis. Pertama, kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi berada pada posisi lebih akhir pada skala filogenetis atau evolusi. Sebagai contoh, hanya manusia (spesies yang relatif baru diciptakan) yang mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi muncul belakangan selama masa perkembangan seorang individu; sementara kebutuhan-kebutuhan di level lebih rendah harus dijaga pada masa bayi dan kanak-kanak sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi bisa muncul.

Kedua, kebutuhan-kebutuhan di levc'. lebih tinggi menghasilkan lebih banyak kebahagia- an dan pengalaman-pengalaman puncak, walaupun terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan di level lebih rendah dapat menghasilkan kesenangan. Akan tetapi, kesenangan hedonistik biasanya bersifat sementara dan tidak dapat dibandingkan dengan kualitas kesenangan yang dihasilkan oleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi. Selain itu, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi lebih diinginkan oleh orang-orang yang telah merasakan baik kebutuhan level lebih tinggi maupun level lebih rendah. Dengan kata lain, seseorang yang telah mencapai level aktualisasi diri akan tidak memiliki motivasi untuk kembali ke level perkembangan yang lebih rendah (Maslow, 1970).

Aktualisasi DiriIde-ide Maslow mengenai aktualisasi diri muncul segera setelah ia memperoleh gelar Ph.D., ketika ia bingung dengan dua orang gurunya di New York City—yaitu antropolog Ruth Benedict dan psikolog Maz Wertheimer—yang sangat berbeda dari orang kebanyakan. Bagi Maslow, kedua orang ini menggambarkan level tertinggi dari perkembangan manusia, dan ia sebut level ini sebagai “aktualisasi diri.”

3 4 2 Teori Kepribadian

Pencarian Maslow akan Orang-orang yang Mengaktualisasi DiriSifat-sifat apakah yang membuat Wertheimer dan Benedict begitu spesial? Untuk menjawab pertanyaan ini, Maslow mulai mencatat beberapa hal tentang kedua orang ini; dan ia berharap dapat menemukan orang lain yang ia sebut sebagai “Manusia yang Baik.” Akan tetapi, ia mengalami kesulitan menemukan orang seperti ini. Mahasiswa-mahasiswa muda yang mengikuti kuliahnya bersedia menjadi sukarelawan, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang menyerupai Wertheimer dan Benedict sebagai Manusia yang Baik, yang membuat Maslow bertanya-tanya apakah mahasiswa berusia 20 tahun bisa menjadi Manusia yang Baik (Hoffman, 1988).

Maslow menemukan beberapa orang yang lebih tua yang tampaknya memiliki beberapa karakteristik yang sedang ia cari, tetapi ketika ia mewawancarai orang-orang ini untuk memahami apa yang membuat mereka spesial, ia hampir selalu kecewa dengan hasilnya. Biasanya, ia menemukan mereka sebagai “gampang beradaptasi ... tapi mereka tidak mempunyai perasaan yang kuat, energi, kegairahan, dedikasi yang baik, rasa tanggung jawab” (Lowry, 1973, him. 87). Maslow terpaksa harus menyimpulkan bahwa keamanan emosi dan penyesuaian diri yang baik bukanlah indikator kuat mengenai Manusia yang Baik.

Maslow menghadapi hambatan-hambatan tambahan dalam pencariannya akan seseorang yang sekarang ia sebut sebagai “orang yang mengaktualisasi diri.” Pertama, ia berusaha mencari sebuah sindrom kepribadian yang belum pernah diidentifikasi dengan jelas. Kedua, banyak orang yang ia yakini sebagai orang-orang yang mengaktualisasi diri menolak untuk berpartisipasi pada penelitiannya. Mereka tidak terlalu tertarik dengan apa yang Profesor Maslow lakukan. Maslow (1968a) belakangan berkomentar bahwa tidak ada satupun orang yang ia identifikasi sebagai orang yang benar-benar mengaktualisasi diri bersedia untuk diteliti. Orang-orang tersebut sepertinya menghargai privasi mereka terlalu besar sehingga tidak mau membicarakan tentang dirinya dengan orang lain di dunia.

Daripada menyerah pada ketidakmampuannya menemukan orang-orang yang mengaktualisasi diri, Maslow memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda—ia mulai membaca biografi dari orang-orang terkenal untuk melihat apakah ia bisa menemukan orang-orang yang mengaktualisasi diri di antara orang-orang yang baik, orang-orang yang bijaksana, pahlawan nasional, dan artis-artis. Ketika mempelajari kehidupan Thomas Jefferson, Abraham Lincoln (di masa-masa dewasanya), Albert Einstein, William James, Albert Schweitzer, Benedict de Spinoza, Jane Addams, dan orang-orang hebat lainnya, Maslow tiba-tiba mendapat momen “Aha.” Tidak lagi bertanya “Apa yang membuat Max Wertheimer dan Ruth Benedict mengaktualisasi diri mereka?” ia kemudian membalik pertanyaannya menjadi, “Mengapa tidak semua orang mengaktualisasi diri?” Cara pandang baru terhadap masalah ini akhirnya mengubah pemahaman Maslow akan humanisme dan menambah daftar orang-orang yang mengaktualisasi diri.

Setelah ia menanyakan hal yang tepat, Maslow melanjutkan pencariannya akan orang yang mengaktualisasi diri. Untuk membantu pencariannya, ia mengidentifikasi sebuah sindrom mengenai kesehatan psikologis. Setelah memilih beberapa individu yang sehat, ia kemudian mempelajari orang-orang ini secara hati-hati untuk membangun sebuah sindrom kepribadian. Kemudian, ia memperbaiki definisi awalnya dan kemudian memilih

B a b 1 0 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 3 4 3

ulang orang-orang yang berpotensi untuk mengaktualisasi diri, mempertahankan beberapa orang yang telah dipilihnya, mengeluarkan beberapa orang lain, dan menambah beberapa orang baru. Kemudian ia mengulangi kembali seluruh prosedur pada kelompok kedua, dan membuat beberapa perubahan pada definisi dan kriteria tentang aktualisasi diri. Maslow(1970) melanjutkan proses yang sama berulang kali pada kelompok terpilih ketiga dan keempat atau sampai ia merasa puas dan yakin bahwa ia telah mengubah konsep yang ambigu dan tidak ilmiah tentang orang yang mengaktualisasi diri menjadi definisi yang tepat dan ilmiah.

Kriteria untuk Aktualisasi DiriKriteria apakah yang dimiliki oleh orang-orang yang mengaktualisasi diri? Pertama, mereka bebas dari psikopatologi atau penyakit psikologis. Mereka tidak mengalami neurosis ataupun psikosis ataupun mempunyai kecenderungan terhadap gangguan-gangguan psikologis. Hal ini merupakan kriteria negatif yang penting karena beberapa individu yang neurotik dan psikotik mempunyai beberapa kesamaan dengan orang-orang yang mengaktualisasi diri: yaitu, karakteristik seperti kepekaan akan kenyataan yang tinggi, pengalaman-pengalaman mistis, kreativitas, dan pemisahan diri dari orang lain. Maslow mengeluarkan orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda yang jelas adanya psikopatologi dari daftar orang-orang yang berpotensi mengaktualisasi diri—namun tetap memasukkan orang-orang yang mengalami penyakit psikosomatis dalam daftar.

Kedua, orang-orang yang mengaktualisasi diri ini telah menjalani hierarki kebutuhan dan oleh karena itu mereka hidup dengan level kecukupan yang tinggi dan tidak mengalami ancaman terhadap keamanan mereka. Selain itu, mereka mendapatkan cinta dan mempunyai rasa penghargaan diri yang kuat. Oleh karena kebutuhan level rendah mereka telah terpenuhi, orang-orang yang mengaktualisasi diri lebih bisa menerima apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, bahkan jika menghadapi kritik dan caci-maki. Mereka mampu mencintai bermacam-macam orang, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk mencintai semua orang.

Kriteria ketiga mengenai aktualisasi diri yang diungkapkan Maslow adalah bahwa orang-orang tersebut menjunjung nilai-nilai B. Orang-orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya merasa nyaman dengan dan bahkan menuntut kejujuran, keindahan, keadilan, kesederhanaan, kejenakaan, dan masing-masing dari nilai-nilai B lainnya yang akan kita

bahas nanti.

Kriteria terakhir untuk mencapai aktualisasi diri adalah “menggunakan seluruh bakat, kemampuan, potensi, dan lainnya” (Maslow, 1970, him. 150). Dengan kata lain, individu- individu yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya memenuhi kebutuhan mereka untuk tumbuh, berkembang, dan semakin menjadi apa yang mereka bisa.

Nilai-nilai dari Orang-orang yang Mengaktualisasi DiriMaslow (1971) menyatakan bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri termotivasi oleh “prinsip hidup yang abadi” (eternal verities), yang ia sebutkan sebagai nilai-nilai B. Nilai-nilai

3 4 4 Teori Kepribadian

“Being” (“Kehidupan”) ini merupakan indikator dari kesehatan psikologis dan merupakan kebalikan dari kebutuhan akan kekurangan (deficiency needs), yang memotivasi orang-orang yang nonaktualisasi diri. Nilai-nilai B bukanlah kebutuhan yang sama seperti makanan, perlindungan, atau persahabatan. Maslow menamakan nilai-nilai B sebagai “metakebutuhan” (metaneeds) untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai ini merupakan level tertinggi dari kebutuhan. Ia membedakan antara motivasi berdasarkan kebutuhan biasa dan motivasi dari orang-orang yang mengaktualisasi diri, yang disebutnya sebagai metamotivasi.

Metamotivasi berciri-ciri tingkah laku ekspresif dan bukanlah tingkah laku penanganan dan terasosiasi dengan nilai-nilai B. Hal ini membedakan orang-orang yang mengaktualisasi diri dengan orang-orang yang tidak. Dengan kata lain, metamotivasi merupakan jawaban sementara Maslow terhadap masalah mengapa ada beberapa orang yang telah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan di level lebih rendahnya, yang mampu memberikan dan menerima cinta, yang memiliki rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi, tetapi tidak berhasil mengaktualisasi diri. Kehidupan orang-orang seperti ini tidaklah berarti dan tidak menjunjung nilai-nilai B. Hanya orang-orang yang hidup menjunjung nilai-nilai B yang mengaktualisasi diri, dan mereka sendiri mampu melakukan metamotivasi.

FIGUR 10.2 Nilai-nilai B dari Maslow: Sebuah Permata dengan Banyak Permukaan.

Maslow (1964, 1970) mengidentifikasi 14 nilai-nilai B, tetapi jumlah pastinya tidaklah penting karena semua nilai tersebut pasti menjadi satu, atau setidaknya semua nilai tersebut sangat berhubungan satu sama lain. Nilai-nilai dari orang-orang yang mengaktualisasi diri di

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 345

antaranya adalah kejujuran, kebaikan, keindahan, keutuhan atau melebihi dikotomi atau dua hal yang bertolak belakang, perasaan hidup atau spontanitas, keunikan, kesempurnaan, kelengkapan, keadilan dan keteraturan, kesederhanaan, kekayaan atau totalitas, membutuhkan sedikit usaha, penuh kesenangan atau kejenakaan, dan kemandirian atau kebebasan (lihat Figur 10.2).

Nilai-nilai ini membedakan orang-orang yang mengaktualisasi diri dengan orang- orang yang perkembangan psikologisnya berhenti setelah mereka mencapai kebutuhan akan penghargaan. Maslow (1970) menduga bahwa ketika metakebutuhan orang tidak terpenuhi, mereka akan mengalami penyakit, sebuah penyakit eksistensi. Semua orang mempunyai kecenderungan yang utuh untuk menuju perasaan lengkap atau totalitas; dan ketika pergerakan ini terhambat, mereka akan mengalami perasaan tidak cukup baik, tidak cukup kuat, dan ketidakmampuan untuk mencapai sesuatu. Ketiadaan nilai-nilai B mengarah pada penyakit sama pastinya seperti kekurangan makanan akan berakibat pada malnutrisi. Ketika kejujuran tidak ada, orang-orang mengalami paranoia; ketika mereka tinggal di lingkungan yang tidak indah, mereka merasakan sakit fisik; tanpa adanya keadilan dan keteraturan, mereka merasakan takut dan kecemasan; tanpa rasa senang dan kejenakaan, mereka menjadi tidak menyenangkan, kaku, dan membosankan. Tidak terpenuhinya salah satu dari nilai- nilai B akan berakibat pada metapatologi, atau kurangnya filosofi hidup yang bermakna.

Maslow percaya bahwa semua manusia mempunyai potensi untuk mengaktualisasi diri. Lalu mengapa tidak semua orang mengaktualisasi diri? Untuk beraktualisasi diri, Maslow percaya, orang harus secara teratur memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka lainnya dan harus juga memiliki nilai-nilai B. Dengan menggunakan dua kriteria ini, ia menduga bahwa 1% dari populasi orang dewasa Amerika Serikat yang secara psikologis paling sehat akan mengaktualisasi diri mereka.

Maslow (1970) membuat daftar lima belas karakteristik sementara yang merupakan ciri-ciri orang-orang yang mengaktualisasi diri sampai batasan tertentu.

Persepsi yang Lebih Efisien akan KenyataanOrang-orang yang mengaktualisasi diri dapat lebih mudah mengenali kepalsuan pada orang lain. Mereka dapat membedakan antara ketulusan dan kepalsuan yang terdapat tidak hanya pada orang tetapi juga pada tulisan, karya seni, dan musik. Mereka tidak tertipu oleh apa yang tampak dan dapat melihat baik sifat-sifat positif maupun sifat-sifat negatif pada orang lain yang mungkin tidak secara langsung dapat dilihat oleh sebagian besar orang. Mereka memersepsikan nilai-nilai dasar lebih jelas daripada orang lain dan mereka lebih tidak berprasangka dan lebih tidak mungkin melihat dunia seperti apa yang mereka ingin lihat.

Karakteristik dari Orang-orang yang Mengaktualisasi Diri

Lebih dari B iografi Apa yang membuat Maslow mencari orang-orang yang mengaktualisasi diri? Untuk informasi tentang pencarian Maslow terhadap orang yang mengaktualisasi diri, lihat situs Web kami di www. mhhe.com/feist7

3 4 6 Teori Kepribadian

Selain itu, orang-orang yang mengaktualisasi diri juga lebih tidak takut dan lebih nyaman dengan hal-hal yang tidak diketahui. Mereka tidak hanya memiliki penerimaan yang lebih besar terhadap ambiguitas, tetapi mereka secara aktif mencarinya dan merasa nyaman menghadapi masalah-masalah dan teka-teki yang tidak mempunyai solusi benar atau salah yang jelas. Mereka menerima keragu-raguan, ketidakpastian, ketidakjelasan, dan hal-hal yang tidak dikenali, sebuah ciri yang membuat orang-orang yang mengaktualisasi diri terutama cocok untuk menjadi filsuf, penjelajah, atau peneliti.

Penerimaan akan Diri, Orang Lain, dan Hal-hal alamiahOrang-orang yang mengaktualisasi diri dapat menerima diri mereka sendiri apa adanya. Mereka tidak bersikap defensif, berpura-pura, dan tidak mempunyai perasaan bersalah yang menghancurkan diri; mempunyai selera yang baik terhadap makanan, tidur, dan seks; tidak terlalu mengkritik kekurangannya sendiri; dan tidak terbeban oleh kecemasan atau rasa malu yang berlebihan. Dengan cara yang sama, mereka menerima orang lain dan tidak mempunyai kebutuhan kompulsif untuk menyuruh, memberitahukan, atau mengubah. Mereka dapat menerima kekurangan orang lain dan tidak merasa terancam oleh kelebihan orang lain. Mereka menerima hal-hal alamiah, termasuk hal-hal alamiah dari manusia, apa adanya dan tidak mengharapkan kesempurnaan pada diri mereka dan orang lain. Mereka menyadari bahwa manusia mengalami penderitaan, menjadi tua, dan meninggal dunia.

Spontanitas, Kesederhanaany dan KealamianOrang-orang yang mengaktualisasi merupakan orang-orang yang spontan, sederhana, dan alami. Mereka tidak konvensional, tetapi tidak melakukannya secara kompulsif; mereka sangat etis tetapi dapat tampak tidak etis atau tidak mengikuti peraturan. Mereka biasanya bertindak secara konvensional karena masalah yang dihadapi bukan suatu hal yang penting atau suatu hal yang dihargai oleh orang lain. Akan tetapi, ketika situasinya penting, mereka dapat bertindak tidak konvensional dan tidak ada kompromi bahkan dengan risiko dikucilkan dan mendapat kecaman. Kesamaan antara orang-orang yang mengaktualisasi diri dengan anak-anak dan binatang adalah pada tingkah laku spontan dan alami mereka. Mereka biasanya menjalani hidup yang sederhana dalam artian mereka tidak harus menciptakan penampilan yang kompleks yang bertujuan untuk membohongi dunia. Mereka tidak berpura-pura dan tidak takut ataupun malu untuk mengekspresikan kegembiraan, kekaguman, kegairahan, kesedihan, kemarahan, atau emosi-emosi kuat lainnya.

Berpusatpada MasalahKarakteristik keempat dari orang-orang yang mengaktualisasi diri adalah ketertarikan mereka pada masalah-masalah di luar diri mereka. Orang-orang yang tidak mengaktualisasi diri adalah orang-orang yang memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri (self-centered) dan cenderung melihat masalah-masalah yang terjadi di dunia dalam hubungannya dengan diri mereka, sementara orang-orang yang mengaktualisasi diri adalah orang-orang yang memusatkan perhatiannya pada tugas (task-oriented) dan peduli pada masalah-masalah yang

B a b 1 0 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 347

terjadi di luar diri mereka. Ketertarikan ini memungkinkan orang-orang yang mengaktualisasi diri untuk mengembangkan sebuah misi dalam hidupnya, sebuah tujuan hidup yang melebihi kepentingan diri mereka sendiri. Pekerjaan mereka bukan hanya berfungsi sebagai cara untuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai suatu hal yang sesuai, sebuah panggilan, sebuah hasil.

Orang-orang yang mengaktualisasi diri membuka wawasan mereka jauh melebihi diri mereka sendiri. Mereka peduli dengan masalah-masalah yang sudah ada di dunia ini sejak lama (eternal problem s) dan mengadopsi dasar filosofis dan etis yang kuat untuk mengatasi masalah-masalah ini. Mereka tidak peduli dengan hal-hal yang tidak serius maupun yang tidak penting. Persepsi mereka yang realistis memungkinkan mereka untuk membedakan dengan jelas antara hal-hal yang penting dan yang tidak penting dalam hidup.

Kebutuhan akan PrivasiOrang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai sebuah ciri untuk memisahkan diri yang memungkinkan mereka untuk menjadi sendiri tanpa menjadi kesepian. Mereka merasa santai dan nyaman ketika mereka bersama orang lain maupun ketika sendirian. Oleh karena mereka telah memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka tidak mempunyai kebutuhan yang berlebihan untuk dikelilingi oleh orang lain. Mereka bisa mendapat kesenangan dari kesendirian dan privasi.

Orang-orang yang mengaktualisasi diri dapat terlihat sebagai orang yang tidak ramah atau tidak tertarik, padahal kenyataannya, ketidaktertarikan mereka hanya terbatas pada hal-hal yang tidak penting. Mereka memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa menjadikan mereka harus membuang waktu dan terlibat masalah yang tidak penting. Oleh karena mereka menghabiskan sedikit energi untuk membuat orang lain kagum atau untuk mendapatkan cinta dan penerimaan, maka mereka lebih mampu untuk membuat pilihan-pilihan yang bertanggung jawab. Mereka adalah orang-orang yang tergerak oleh diri mereka sendiri, menolak usaha-usaha yang dilakukan masyarakat untuk menjadikan mereka mengikuti hal-hal yang sudah biasa dilakukan.

KemandirianOrang-orang yang mengaktualisasi diri merupakan orang-orang yang mandiri dan bergantung pada diri mereka sendiri untuk bertumbuh walaupun di masa lalunya mereka pernah menerima cinta dan rasa aman dari orang lain. Tidak ada orang yang dilahirkan mandiri, dan oleh karena itu tidak ada orang yang sepenuhnya tidak bergantung pada orang lain. Kebebasan hanya dapat diperoleh melalui hubungan yang baik dengan orang lain.

Akan tetapi, kepercayaan diri bahwa seseorang dicintai dan diterima apa adanya dapat menjadi dorongan yang kuat yang menyumbang ke timbulnya rasa penghargaan diri. Setelah kepercayaan diri tersebut diperoleh, seseorang tidak lagi bergantung pada orang lain untuk mendapat penghargaan diri. Orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kepercayaan diri tersebut kemudian memiliki kemandirian yang besar yang memungkinkan mereka tidak khawatir terhadap kritik dan juga tidak tergerak oleh pujian. Kemandirian ini juga memberikan mereka kedamaian dan ketenangan jiwa yang tidak dirasakan oleh orang- orang yang hidup dari penerimaan orang lain.

3 4 8 Teori Kepribadian

Penghargaan yang Selalu BaruMaslow (1970) menulis bahwa “orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kapasitas yang luar biasa untuk menghargai hal-hal baik dari kehidupan, lagi dan lagi, secara baru dan polos, dengan kekaguman, kesenangan, keterkejutan, dan bahkan kebahagiaan yang berlebih” (him. 163). Mereka sangat sadar akan kesehatan fisik mereka yang bagus, teman-teman dan orang-orang yang dicintai, keamanan keuangan mereka, dan kebebasan politik mereka. Tidak seperti orang lain yang tidak menghargai berkah yang mereka dapatkan, orang-orang yang mengaktualisasi diri melihat fenomena sehari-hari, seperti bunga, makanan, dan teman- teman dengan sebuah pandangan baru. Mereka menghargai apa yang mereka miliki dan tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh tentang kehidupan yang membosankan dan tidak menyenangkan. Dengan kata lain, mereka “mempertahankan penilaian mereka yang tidak berubah akan keberuntungan yang baik dan menghargai keberuntungan tersebut” (Maslow, 1970, him. 164).

Pengalaman PuncakSeiring dengan terus berlangsungnya penelitian Maslow terhadap orang-orang yang mengaktualisasi diri, ia menemukan hal-hal tak terduga di mana orang-orang ini mengalami pengalaman-pengalaman yang sulit dijelaskan dan memberi mereka perasaan sangat hebat. Pada awalnya, ia berpikir bahwa pengalaman-pengalaman puncak ini lebih sering terjadi di antara orang-orang yang mengaktualisasi diri daripada di antara orang-orang yang tidak mengaktualisasi diri. Akan tetapi, belakangan, Maslow (1971) menyatakan bahwa “sebagian besar orang, atau hampir semua orang, mempunyai pengalaman-pengalaman puncak, atau kebahagiaan yang besar” (him. 175).

Tidak semua pengalaman puncak mempunyai intensitas yang sama; beberapa hanya dapat sedikit dirasakan, pengalaman lainnya dirasakan sedang-sedang saja, dan beberapa lainnya dialami dengan kuat. Dalam bentuk ringan, pengalaman-pengalaman puncak ini mungkin muncul di semua orang, walaupun mereka jarang memperhatikannya. Sebagai contoh, pelari jarak jauh sering kali melaporkan adanya perasaan di luar kendali, kehilangan diri sendiri, atau perasaan terpisah dari tubuhnya. Kadang kala, pada saat mengalami kesenangan atau kepuasan yang sangat kuat, orang akan mengalami pengalaman mistis atau pengalaman puncak. Memandangi matahari terbenam atau peristiwa alam yang memukau lainnya dapat menimbulkan pengalaman puncak, tetapi pengalaman-pengalaman ini tidak bisa disebabkan oleh kemauan; sering kali pengalaman ini muncul pada saat-saat tidak terduga yang terjadi sehari-hari.

Apa rasanya mengalami pengalaman puncak? Maslow (1964) menjelaskan beberapa panduan yang dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Pertama, pengalaman puncak cukup alami dan merupakan bagian dari hal-hal yang membentuk manusia. Kedua, orang- orang yang mengalami pengalaman puncak melihat keseluruhan dunia sebagai kesatuan, dan mereka melihat dengan jelas keberadaan mereka di dunia. Selain itu, selama masa mistis ini, orang-orang yang mengalami pengalaman puncak merasa lebih rendah hati dan juga lebih kuat pada saat yang bersamaan. Mereka tidak mau mengubah hal-hal, merasa bisa menerima hal-hal baru, lebih mau memperhatikan apa yang didengar dan lebih mampu untuk

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 3 4 9

mendengar. Pada saat yang sama, mereka merasa lebih bertanggung jawab atas aktivitas dan persepsi mereka, lebih aktif, dan lebih yakin pada diri sendiri. Orang-orang yang mengalami pengalaman puncak merasakan hilangnya rasa takut, kecemasan, dan konflik serta menjadi lebih mencintai, menerima, dan bersikap spontan. Walaupun orang-orang yang mengalami pengalaman puncak sering kali merasakan emosi seperti kagum, terkejut, senang, bahagia, hormat, rendah hati, dan berserah diri, mereka cenderung tidak menginginkan untuk mendapatkan apapun dari pengalaman tersebut. Mereka sering kali mengalami disorientasi waktu dan ruang, kehilangan kesadaran diri, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dan kemampuan untuk melampaui segala perbedaan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari.

Pengalaman puncak tidak dimotivasi, tidak diusahakan, dan tidak diharapkan, dan selama terjadinya pengalaman ini, seseorang tidak membutuhkan sesuatu, tidak menginginkan sesuatu, atau tidak merasakan kekurangan. Selain itu, Maslow (1964) mengatakan, “Pengalaman puncak hanya dilihat sebagai sesuatu yang indah, diinginkan, menyenangkan, dan sebagainya, serta tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang jahat atau tidak diinginkan” (him. 63). Maslow juga percaya bahwa pengalaman puncak sering kali mempunyai efek yang bertahan lama pada kehidupan seseorang.

GemeinschaftsgefuhlOrang-orang yang mengaktualisasi diri memiliki Gemeinschaftsgefuhl, istilah yang digunakan Adler untuk menggambarkan ketertarikan sosial, perasaan kemasyarakatan, atau perasaan satu dengan semua orang. Maslow menemukan bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai sikap menyayangi orang lain. Walaupun mereka sering kali merasa seperti pendatang di negeri orang, akan tetapi orang-orang yang mengaktualisasi diri memahami orang lain dan mempunyai ketertarikan yang tulus untuk membantu orang lain—baik orang asing maupun teman.

Orang-orang yang mengaktualisasi diri dapat marah, tidak sabar, atau tidak suka dengan orang lain; tetapi mereka mempunyai perasaan kasih sayang terhadap orang lain pada umumnya. Secara lebih spesifik, Maslow (1970) menyatakan bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri “kadang kala merasa sedih, terganggu, dan bahkan marah dengan kekurangan yang dimiliki seseorang yang tidak spesial” (him. 166), namun mereka tetap merasa dekat dengan orang tersebut.

Hubungan Interpersonal yang KuatBerkaitan dengan Gemeinschaftsgefuhl adalah sebuah ciri spesial dari hubungan interpersonal yang melibatkan perasaan mendalam dan kuat bagi individu. Orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai perasaan sayang terhadap orang pada umumnya, tetapi teman-teman dekat mereka hanya terbatas. Merka tidak mempunyai keinginan untuk harus berteman dengan semua orang, tetapi beberapa hubungan interpersonal penting yang mereka miliki cukup mendalam dan kuat. Mereka cenderung memilih orang-orang yang sehat sebagai teman dan menjauhi hubungan interpersonal yang erat dengan orang-orang yang tergantung dan tidak dewasa, walaupun ketertarikan sosial mereka memungkinkan mereka untuk mempunyai perasaan empati untuk orang-orang yang kurang sehat ini.

3 5 0 Teori Kepribadian

Orang-orang yang mengaktualisasi diri sering kali disalahartikan dan kadang kala tidak disukai orang lain. Di sisi lain, banyak di antara orang-orang yang mengaktualisasi diri yang sangat dicintai dan mempunyai banyak pengagum dan pengikut, terutama jika mereka memberi kontribusi penting bagi usaha atau bidang pekerjaan mereka. Orang-orang sehat yang diteliti Maslow merasa tidak nyaman dan malu dengan penghormatan ini, mereka lebih memilih hubungan yang saling membutuhkan daripada hubungan satu sisi.

Struktur Karakter DemokratisMaslow menemukan bahwa semua orang-orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya memiliki nilai-nilai demokratis. Mereka bisa ramah dan perhatian dengan orang lain tanpa memandang kelas sosial, warna kulit, usia, ataupun jenis kelamin, dan bahkan, mereka tampaknya tidak terlalu sadar akan adanya perbedaan yang dangkal di antara orang-orang.

Di luar sikap demokratis ini, orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai keinginan dan kemampuan untuk belajar dari semua orang. Dalam situasi belajar, mereka menyadari bahwa mereka mengetahui sedikit hal dalam hubungannya dengan apa yang mereka bisa ketahui. Mereka menyadari bahwa individu-individu yang kurang sehat mempunyai banyak hal yang diajarkan ke mereka, dan mereka menghargai dan rendah hati terhadap orang-orang ini. Akan tetapi, mereka tidak menerima secara pasif tingkah laku jahat dari orang lain, melainkan mereka berperang dengan orang-orang jahat dan juga tingkah laku jahat.

Diskriminasi antara Cara dan TujuanOrang-orang yang mengaktualisasi diri mengetahui dengan jelas antara perbuatan yang benar dan salah dan mengalami hanya sedikit konflik yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar. Mereka melihat pada tujuan daripada pada cara dan mempunyai kemampuan yang tidak biasa dalam membedakan antara keduanya. Hal-hal yang dianggap oleh orang lain sebagai cara (seperti: makan atau olahraga), justru dilihat sebagai tujuan oleh orang-orang yang mengaktualisasi diri. Mereka menikmati melakukan suatu hal karena hal itu sendiri dan bukan karena hal tersebut merupakan cara untuk mencapai tujuan lain. Maslow (1970) mendeskripsikan orang-orang yang mengaktualisasi diri dengan mengatakan bahwa “mereka sering kali dapat menikmati perjalanan dan juga ketika sampai ke suatu tempat karena hal itu sendiri. Kadang kala, mungkin bagi mereka untuk membuat aktivitas serius dan rutin menjadi sebuah hal yang menyenangkan” (him. 169).

Rasa Jenaka/Humor yang FilosofisKarakteristik lainnya yang membedakan orang-orang yang mengaktualisasi diri adalah rasa humor mereka yang filosofis dan tidak menyerang orang lain. Sebagian besar dari apa yang dibicarakan melalui humor atau komedi biasanya bersifat menyerang, seksual, atau berkaitan dengan kotoran manusia. Lawakannya biasanya ditujukan kepada orang lain. Orang-orang yang sehat kurang menyukai lelucon-lelucon yang merendahkan orang. Mereka bisa melemparkan lelucon tentang diri mereka sendiri, tetapi tidak pernah membuat lelucon yang tidak menyenangkan. Mereka membuat lelucon lebih sedikit daripada orang lain,

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 351

tetapi kalaupun mereka membuat lelucon, maka leluconnya bertujuan lebih dari sekadar membuat orang lain tertawa. Mereka menghibur, memberi informasi, menunjukkan ambiguitas, membuat orang lain tersenyum daripada tertawa terbahak-bahak.

Lelucon yang dibuat oleh orang-orang yang mengaktualisasi diri terjadi secara alamiah berdasarkan situasi yang ada dan tidak dibuat-buat, leluconnya bersifat spontan dan tidak direncanakan. Oleh karena bergantung pada situasi, maka biasanya leluconnya tidak bisa diulang. Bagi orang-orang yang mencari contoh rasa humor yang filosofis, mereka akan mendapat kekecewaan. Ketika situasinya diceritakan kembali, efek menghibur yang muncul pertama kali hampir selalu hilang. Seseorang harus “berada di sana” untuk bisa menghargai lelucon tersebut.

KreativitasSemua orang yang mengaktualisasi diri yang diteliti oleh Maslow merupakan orang-orang yang kreatif. Bahkan, Maslow mengatakan bahwa kreativitas dan aktualisasi diri mungkin merupakan satu hal yang sama. Tidak semua orang yang mengaktualisasi diri kreatif dalam bidang seni, tetapi semuanya kreatif dalam bidangnya masing-masing. Mereka mempunyai ketertarikan yang besar terhadap kejujuran, keindahan, dan kenyataan—bahan-bahan yang merupakan dasar dari kreativitas yang sesungguhnya.

Orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak harus menjadi pembuat puisi atau artis untuk menjadi kreatif. Ketika membicarakan tentang ibu mertuanya (yang juga adalah tantenya), Maslow (1968a) menunjukkan dengan jelas bahwa kreativitas dapat muncul dari mana saja. Ia mengatakan bahwa walaupun ibu mertuanya merupakan orang yang mengaktualisasi diri dan tidak mempunyai bakat khusus sebagai penulis ataupun artis, namun ibu mertuanya sangat kreatif dalam memasak sup. Maslow mengatakan bahwa pembuat sup yang sangat enak lebih kreatif daripada pembuat puisi yang biasa-biasa saja!

Tidak Mengikuti Enkulturasi/Apa yang Diharuskan oleh KulturKarakteristik terakhir yang diidentifikasi Maslow adalah ketidakmauan untuk mengikuti apa yang diharuskan oleh kultur (enkulturasi). Orang-orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kemampuan untuk memisahkan diri dari lingkungannya dan dapat melebihi batas kultur tertentu. Mereka bukanlah orang yang antisosial ataupun yang secara sadar tidak mau mematuhi peraturan. Melainkan, mereka adalah orang-orang yang berdiri sendiri, mengikuti standar perilaku mereka sendiri dan tidak secara buta mematuhi peraturan yang

dibuat orang lain.

Orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak membuang energi mereka untuk melawan kebiasaan dan peraturan dalam masyarakat yang tidak penting. Kebiasaan-kebiasaan seperti cara berpakaian, tatanan rambut, dan peraturan lalu-lintas cenderung dibentuk secara sepihak, dan orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak terang-terangan menunjukkan bahwa mereka menolak aturan-aturan tersebut. Oleh karena mereka menerima gaya dan cara berpakaian yang umum di masyarakat, mereka akan tidak tampak berbeda penampilannya dengan orang lain. Akan tetapi, dalam hal-hal yang penting, mereka dapat menjadi sangat menginginkan perubahan sosial dan menolak mengikuti apa yang diharuskan oleh masyarakat. Orang-orang

352 Teori Kepribadian

yang mengaktualisasi diri tidak hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan sosial yang berbeda, tetapi Maslow (1970) menyatakan bahwa mereka “tidak terlalu mengikuti kebiasaan, tidak terlalu merasa ditekan, dan tidak terlalu terpengaruh” (him. 174).

Untuk alasan ini, orang-orang yang sehat ini lebih bersifat individualis dan tidak terlalu homogen atau serupa dengan orang lain. Mereka tidak mirip satu sama lain. Bahkan, istilah “aktualisasi diri” berarti menjadi apapun yang seseorang inginkan, untuk mengaktualisasi atau memenuhi semua potensi yang dimiliki. Ketika orang bisa mencapai tujuan ini, mereka menjadi lebih unik, berbeda, dan tidak terlalu terpengaruh oleh kultur yang ada

(Maslow, 1970).

Cinta, Seks, dan Aktualisasi DiriSebelum orang bisa mengaktualisasi diri, mereka harus memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan mereka. Kemudian diikuti dengan kenyataan bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri dapat memberi dan menerima cinta dan tidak lagi termotivasi oleh cinta akibat kekurangan atau cinta-D (deficiency lov e-D -lov e) yang umum terjadi pada orang lain. Orang-orang yang mengaktualisasi diri dapat merasakan cinta-B (B-love), yaitu cinta terhadap inti sari atau “kehidupan” (being) dari pasangan. Cinta-B dirasakan dan dibagi secara timbal-balik dan tidak dimotivasi oleh adanya kekurangan atau ketidaklengkapan dalam diri orang yang mencintai. Bahkan, cinta ini adalah tingkah laku yang tidak dimotivasi dan ekspresif. Orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak mencintai karena mereka menginginkan balasan. Mereka hanya mencintai dan dicintai. Cinta mereka tidak pernah berbahaya. Cinta mereka adalah tipe cinta yang memungkinkan orang-orang yang terlibat menjadi lebih santai, terbuka, dan tidak menyembunyikan apapun (Maslow, 1970).

Oleh karena orang-orang yang mengaktualisasi diri mampu merasakan cinta yang lebih mendalam, Maslow (1970) percaya bahwa hubungan seksual antara dua orang pecinta-B sering kali merupakan sebuah jenis pengalaman mistis. Walaupun mereka adalah orang- orang yang sehat dan kuat, sangat menikmati hubungan seks, makanan dan kesenangan- kesenangan lainnya, tetapi orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak didominasi oleh hasrat seks. Mereka dapat dengan mudah menerima ketiadaan hubungan seks (dan juga ketiadaan kebutuhan-kebutuhan dasariainnya), karena mereka tidak merasa kekurangan kebutuhan tersebut. Hubungan seksual antara pecinta-B tidak selalu berkaitan dengan pengalaman emosi yang kuat; kadang kala hubungan seksual tersebut merupakan hal yang ringan dan dirasakan sebagai sarana bermain dan bersenda gurau. Akan tetapi, pendekatan ini sudah bisa diharapkan, karena kesenangan dan senda gurau atau humor merupakan nilai-nilai N, dan seperti juga nilai-nilai B lainnya, nilai-nilai ini merupakan bagian yang penting dalam hidup orang-orang yang mengaktualisasi diri.

Filosofi llmuFilosofi ilmu dari Maslow dan metode penelitiannya merupakan hal yang penting dari pemahaman mengapa ia bisa mencapai konsep aktualisasi diri. Maslow (1966) percaya

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 353

bahwa ilmu yang bebas nilai tidak mengarah pada penelitian yang tepat mengenai kepribadian manusia. Maslow mengusulkan filosofi ilmu yang berbeda, yaitu sebuah pendekatan humanistik dan menyeluruh yang tidak bebas nilai dan yang peneliti- penelitinya perhatian terhadap manusia dan topik yang mereka teliti. Sebagai contoh, Maslow termotivasi untuk meneliti orang-orang yang mengaktualisasi diri karena ia mengidolakan dan sangat mengagumi Max Wertheimer dan Ruth Benedict, dua orang yang pertama kali ia yakini sebagai orang yang mengaktualisasi diri. Akan tetapi, ia juga mengekspresikan kesukaan dan kekaguman pada Abraham Lincoln, Eleanor Roosevelt, dan orang-orang yang mengaktualisasi diri lainnya (Maslow, 1968a).

Maslow sependapat dengan Allport (lihat Bab 13) bahwa ilmu psikologis seharusnya lebih menitikberatkan pada studi tentang individu dan tidak terlalu menitikberatkan pada studi tentang kelompok-kelompok besar. Laporan-laporan subyektif seharusnya lebih diutamakan daripada laporan-laporan obyektif yang kaku, dan orang-orang seharusnya diperbolehkan untuk menceritakan tentang diri mereka secara keseluruhan dibandingkan dengan menerapkan pendekatan lama yang hanya mempelajari bagian-bagian kecil dari diri manusia. Psikologi tradisional telah meneliti sensasi, inteligensi, sikap, stimuli, refleks, skor tes, dan hipotesis-hipotesis dari sudut pandang eksternal. Psikologi tradisional tidak terlalu memperhatikan keseluruhan dari seseorang dengan melihat dari sudut pandang subyektif orang tersebut.

Ketika Maslow kuliah kedokteran, ia terkejut dengan sikap tidak peduli terhadap manusia yang ditunjukkan oleh ahli-ahli bedah yang dengan tenangnya melempar bagian- bagian tubuh yang baru saja dibedah ke atas meja. Observasinya terhadap prosedur yang tanpa emosi dan kasar itu membuat Maslow menciptakan konsep desakralisasi (desacralization): yaitu, jenis pengetahuan yang tanpa emosi, kesenangan, keterkejutan, kekaguman, dan kebahagiaan (Hoffman, 1988). Maslow percaya bahwa ilmu pengetahuan terdahulu/ortodoks tidak mempunyai ritual maupun tingkah laku formal dan ia meminta peneliti-peneliti untuk memasukkan kembali nilai-nilai, kreativitas, emosi, dan ritual ke dalam pekerjaannya. Peneliti-peneliti harus bersedia untuk melakukan resakralisasi ilmu (resacralize science) atau menanamkan nilai-nilai, emosi, dan ritual manusia ke dalam ilmu pengetahuan. Para astronom tidak hanya harus mempelajari tentang bintang-bintang, tetapi mereka juga harus terkagum-kagum dengan bintang-bintang. Psikolog tidak hanya harus mempelajari tentang kepribadian manusia; tetapi juga harus mempelajarinya dengan kesenangan, kegairahan, kekaguman, dan ketertarikan.

Maslow (1966) mengusulkan sebuah sikap Taoistik (Taoistic attitude) untuk psikologi, suatu sikap yang akan tidak berpengaruh, akan menerima, dan akan mendengarkan ide- ide baru. Psikologi baru ini akan menghentikan prediksi dan kontrol sebagai tujuan-tujuan utama dari ilmu dan menggantikan hal-hal tersebut dengan kekaguman murni dan keinginan untuk melepaskan orang dari kontrol sehingga mereka dapat bertumbuh dan menjadi lebih tidak mudah diprediksi. Maslow mengatakan bahwa respons yang tepat terhadap misteri bukanlah analisis tetapi merupakan kekaguman.

Maslow meyakini bahwa psikolog haruslah orang-orang yang sehat, bisa menerima ambiguitas dan ketidakpastian. Mereka harus menggunakan perasaan, tidak rasional, mempunyai wawasan, dan berani menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Mereka

Teori Kepribadian

juga harus bersedia untuk berusaha mengetahui apa yang harus dilakukan, untuk menjadi tidak akurat, untuk mempertanyakan prosedur mereka sendiri, dan untuk memutuskan masalah-masalah penting dari psikologi. Maslow (1966) mengatakan bahwa tidak perlu berbuat yang terbaik untuk sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Melainkan, lebih baik melakukan sesuatu yang penting secara kurang memuaskan.

Dalam penelitiannya mengenai orang-orang yang mengaktualisasi diri dan pengalaman- pengalaman puncak, Maslow menggunakan metode penelitian yang konsisten dengan filosofi ilmu yang diungkapkannya. Ia mulai dengan intuisinya, sering kali “meluncur di atas es yang tipis”, lalu berusaha untuk membuktikan firasatnya menggunakan metode idiografis dan subjektif. Ia sering kali menyerahkan pekerjaan teknis untuk mengumpulkan bukti kepada orang lain. Ia lebih memilih untuk “melihat ke depan”, meninggalkan satu area ketika ia bosan dengan area tersebut dan mengeksplorasi area baru (M. H. Hall, 1968).

Mengukur Aktualisasi DiriEverett L. Shostrom (1974) mengembangkan Personal Orientation Inventory (POI) dalam usahanya untuk mengukur nilai-nilai dan tingkah laku dari orang-orang yang mengaktualisasi diri. Alat ini terdiri dari 150 pernyataan dengan 2 pilihan jawaban (forced-choice items), seperti (a) “Saya merasa nyaman dengan penampilan yang kurang sempurna sekalipun” versus (b) “Saya merasa tidak nyaman dengan penampilan yang kurang sempurna”; (a) Dua orang akan berteman dengan baik jika salah satu orang berusaha untuk menyenangkan orang yang lainnya” versus (b) “Dua orang akan berteman dengan baik jika masing-masing orang merasa bebas untuk mengungkapkan perasaannya”; dan (a) “Nilai-nilai moral saya diatur oleh masyarakat” versus (b) “Nilai-nilai moral saya diatur oleh diri saya sendiri” (Shostrom, 1963). Responden diminta untuk memilih antara pernyataan (a) atau pernyataan (b), tetapi mereka dapat tidak memilih salah satu pernyataan juga kedua pernyataan jika tidak sesuai dengan diri mereka atau jika mereka tidak mengetahui apapun mengenai pernyataan tersebut.

POI mempunyai 2 skala utama dan 10 subskala. Skala utama yang pertama— skala Kemampuan Waktu atau Ketidakmampuan Waktu (Time Competence atau Time Incompetence scale)—mengukur derajat apakah orang berorientasi pada masa kini. Skala utama yang kedua—skala Pendukung (Support scale)— “dibentuk untuk mengukur apakah reaksi seseorang berorientasi pada ‘diri sendiri’ atau berorientasi pada orang lain (Shostrom, 1974, him. 4). Sepuluh subskala mengukur derajat dari (1) nilai-nilai aktualisasi diri, (2) fleksibilitas dalam menerapkan nilai-nilai, (3) sensitivitas terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri, (4) spontanitas dalam mengekspresikan perasaan melalui tingkah laku, (5) penghargaan diri, (6) penerimaan diri, (7) pandangan positif tentang kemanusiaan, (8) kemampuan untuk melihat hal-hal yang berseberangan dalam hidup sebagai sesuatu yang berhubungan dan memiliki arti, (9) penerimaan terhadap agresivitas, dan (10) kapasitas untuk berhubungan erat. Skor tinggi pada 2 skala utama dan 10 subskala mengindikasikan adanya aktualisasi diri sampai derajat tertentu; skor rendah tidak langsung mengindikasikan adanya penyakit/patologi tetapi memberi petunjuk mengenai nilai-nilai dan tingkah laku aktualisasi diri dari seseorang.

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 355

POI sepertinya cukup tidak terpengaruh oleh kepura-puraan—kecuali seseorang yang menjalani POI memahami penjelasan Maslow mengenai orang-orang yang mengaktualisasi diri. Dalam panduan POI, Shostrom (1974) menyebutkan beberapa studi di mana orang yang diteliti diminta untuk “berpura-pura baik” (fake good ) atau “membuat kesan-kesan baik” ketika menjawab alat tersebut. Ketika partisipan mengikuti instruksi ini, mereka umumnya mendapat skor rendah (dengan arah menjauh dari aktualisasi diri) daripada ketika mereka merespons yang sejujurnya terhadap pernyataan-pernyataan tersebut.

Penemuan ini, tentu saja, merupakan penemuan yang menarik. Mengapa orang mendapat skor yang lebih rendah ketika berusaha untuk tampak baik? Jawabannya terletak pada konsep aktualisasi diri dari Maslow. Pernyataan-pernyataan yang mungkin dianggap benar oleh orang-orang yang mengaktualisasi diri belum tentu sesuatu yang diinginkan masyarakat dan tidak selalu sesuai dengan standar lingkungan. Sebagai contoh, pernyataan- pernyataan seperti “Saya dapat mengatasi hambatan apapun asalkan saya percaya pada diri saya sendiri” atau “Tanggung jawab mendasar saya adalah untuk mengetahui kebutuhan- kebutuhan orang lain” dapat terlihat seperti tujuan-tujuan yang diinginkan bagi seseorang yang berusaha untuk berpura-pura melakukan aktualisasi diri, tetapi seseorang yang mengaktualisasi diri mungkin tidak menyetujui kedua pernyataan ini. Di sisi lain, seseorang yang benar-benar mengaktualisasi diri bisa memilih pernyataan seperti “Saya tidak selalu harus hidup berdasarkan peraturan dan standar masyarakat” atau “Saya tidak merasa berhutang budi ketika seseorang memberikan pertolongan kepada saya” (Shostrom, 1974, him. 22). Oleh karena salah satu karakteristik dari orang-orang yang mengaktualisasi diri adalah tidak mengikuti apa yang diharuskan oleh kultur, maka bukanlah suatu hal yang mengejutkan jika usaha-usaha untuk membuat kesan baik tentang diri seseorang biasanya akan berujung kegagalan.

Yang menarik, Maslow sendiri tampaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jujur ketika ia mengisi alat tersebut. Walaupun ia membantu pembuatan POI, skor Maslow hanya mengarah pada aktualisasi diri dan tidak hampir setinggi skor orang-orang yang benar-benar mengaktualisasi diri (Shostrom, 1974).

Walaupun POI telah menunjukkan reliabilitas dan validitas yang cukup baik, beberapa peneliti (Weiss, 1991; Whitson & Olczak, 1991) telah mengkritik alat tersebut karena gagal membedakan antara orang-orang yang benar-benar mengaktualisasi diri dan orang-orang yang tidak mengaktualisasi diri. Lebih lanjut, POI mempunyai dua masalah praktis; pertama, alat ini memakan waktu, partisipan membutuhkan waktu 30 sampai 45 menit untuk menyelesaikannya; dan kedua, format dua pernyataan pilihan jawaban dapat menimbulkan perasaan marah dalam diri partisipan, yang merasa frustrasi dengan terbatasnya pilihan jawaban. Untuk mengatasi dua hambatan praktis ini, Alvin Jones dan Rick Crandall (1986) membuat Short Index o f Self-Actualization, yang meminjam 15 pernyataan dari POI yang paling berkaitan dengan skor aktualisasi diri total. Pernyataan-pernyataan pada Short Index dinilai dengan skala 6 poin Likert (dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju). Penelitian (Compton, Smith, Cornish, & Qualls, 1996; Rowan, Compton, & Rust, 1995; Runco, Ebersole, & Mraz, 1991) mengenai Short Index dari POI telah mengindikasikan bahwa alat ini merupakan skala yang berguna untuk mengukur aktualisasi diri.

Teori Kepribadian

Alat pengukuran aktualisasi diri ketiga adalah B rief Index o f Self-Actualization, yang dibuat oleh John Sumerlin dan Charles Bundrick (1996, 1998). B rief Index pertama (Sumerlin 8c Bundrick, 1996) terdiri dari 40 pernyataan yang menggunakan skala 6 poin Likert kemudian menghasilkan skor antara 40 sampai 240. Analisis faktor menghasilkan empat faktor dari aktualisasi diri, tetapi karena beberapa pernyataan dapat dimasukkan ke lebih dari satu faktor, maka pembuatnya (Sumerlin Bundrick, 1998) merevisi B rief Index o f Self-Actualization dengan menghilangkan delapan pernyataan sehingga tidak ada satupun pernyataan yang ditemukan pada lebih dari satu faktor. Alat ini menghasilkan empat faktor: (I) Inti Aktualisasi Diri (Core Self-Actualization), atau penggunaan keseluruhan dari potensi seseorang; (II) Kemandirian (Autonomy); (III) Keterbukaan terhadap Pengalaman (Openness to Experience); dan (IV) Kenyamanan dalam Kesendirian (Comfort with Solitude). Pernyataan-pernyataan yang termasuk di dalamnya antara lain “Saya menikmati hasil-hasil yang saya capai” (Inti Aktualisasi Diri), “Saya takut saya tidak dapat memenuhi potensi saya” (pernyataan dengan skor terbalik yang mengukur Kemandirian), “Saya dapat memahami kebutuhan-kebutuhan oranglain” (Keterbukaan terhadap Pengalaman), dan “Saya menikmati kesendirian saya” (Kenyamanan dalam Kesendirian). Reliabilitas, validitas, dan kegunaan dari B rief Index ini belum benar-benar dipastikan.

Jonah ComplexMenurut Maslow (1970), semua orang dilahirkan dengan kemauan untuk memperoleh kesehatan, dengan kecenderungan untuk tumbuh menuju aktualisasi diri, tetapi hanya sedikit orang yang berhasil mencapainya. Apa yang mencegah orang-orang dari mencapai level tertinggi dari kesehatan ini? Pertumbuhan menuju kepribadian normal dan sehat dapat dihambat pada masing-masing tahapan pada hierarki kebutuhan. Jika orang tidak mendapatkan makanan dan perlindungan, mereka akan tetap berada pada level kebutuhan fisiologis dan keamanan. Orang-orang lainnya terhambat pada level kebutuhan cinta dan keberadaan. Akan tetapi ada orang-orang yang telah memenuhi kebutuhan akan cinta dan meraih harga diri, tetapi tidak berlanjut ke level aktualisasi diri karena mereka tidak memiliki nilai-nilai B (Maslow, 1970).

Hal lain yang sering kali menghambat pertumbuhan seseorang menuju aktualisasi diri adalah Jonah complex atau ketakutan untuk mencapai puncak (Maslow, 1979). Jonah complex mempunyai ciri-ciri adanya usaha untuk melarikan diri dari takdir seseorang sama seperti nabi Jonah (Yunus) berusaha untuk melarikan diri dari takdirnya. Jonah complex, yang bisa ditemukan di hampir setiap orang, menggambarkan rasa takut akan sukses, rasa takut akan mencapai puncak, dan perasaan kekaguman pada keindahan dan kesempurnaan. Pengalaman hidup Maslow sendiri menggambarkan Jonah complex yang dialaminya. Walaupun mempunyai IQ 195, ia hanyalah mahasiswa dengan nilai rata-rata, dan sebagai seorang psikolog yang terkenal di seluruh dunia, ia sering kali mengalami panik ketika diminta untuk menjadi pembicara.

Mengapa orang-orang melarikan diri dari kebesaran dan pemenuhan diri? Maslow (1971, 1996) memberikan alasan-alasan berikut ini. Pertama, tubuh manusia tidak cukup kuat untuk bertahan melalui kenikmatan dari sebuah keberhasilan untuk jangka waktu

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 357

berapapun, sama seperti pengalaman-pengalaman puncak dan orgasme seksual sangatlah melelahkan jika berlangsung terlalu lama. Oleh karena itu, emosi yang kuat yang menyertai kesempurnaan dan keberhasilan membawa serta sensasi yang mengganggu seperti “Hal ini terlalu berlebihan” atau “Saya tidak bisa bertahan lagi”,

Maslow (1971) memberikan alasan kedua untuk pertanyaan mengapa orang-orang menghindari kehebatan. Menurutnya, sebagian besar orang mempunyai ambisi pribadi untuk menjadi besar, untuk menulis novel yang hebat, untuk menjadi bintang film, untuk menjadi peneliti yang terkenal di seluruh dunia, dan lain sebagainya. Akan tetapi, ketika mereka membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang telah mencapai kehebatan, mereka tidak percaya akan arogansi mereka sendiri: “Siapa saya, mengapa saya berpikir saya bisa melakukan hal sebaik apa yang dilakukan orang hebat ini?” Sebagai pertahanan diri terhadap perasaan besar ini atau “kebanggaan yang salah,” mereka menurunkan aspirasi mereka, merasa bodoh dan rendah hati, dan mengadopsi pendekatan yang mengalahkan diri sendiri dengan cara melarikan diri dari kenyataan akan potensi mereka.

Walaupun Jonah complex dapat dengan jelas terlihat pada orang-orang neurotik, tetapi hampir semua orang memiliki kecemasan ketika mencari kesempurnaan dan kehebatan. Orang-orang mengijinkan perasaan rendah hati yang tidak pada tempatnya untuk menghambat kreativitas, dan kemudian mereka mencegah diri mereka sendiri untuk dapat mengaktualisasi diri.

PsikoterapiBagi Maslow (1970), tujuan terapi adalah agar klien-kliennya dapat memiliki nilai- nilai kehidupan (nilai-nilai B), yaitu, untuk menghargai kejujuran, keadilan, kebaikan, kesederhanaan, dan seterusnya. Untuk mencapai tujuan ini, klien-klien harus terbebas dari ketergantungan mereka terhadap orang lain sehingga keinginan alami mereka mencapai pertumbuhan dan aktualisasi diri dapat aktif. Psikoterapi tidak bisa bebas dari nilai tetapi harus dipertimbangkan kenyataan bahwa semua orang mempunyai kecenderungan bawaan untuk berkembang menuju kondisi yang lebih baik, yaitu aktualisasi diri.

Tujuan psikologi mengikuti dari posisi klien pada hierarki kebutuhan karena kebutuhan fisiologis dan rasa aman merupakan kebutuhan yang kuat. Orang-orang yang berada pada level ini tidak akan langsung termotivasi untuk mendapat psikoterapi. Melainkan, mereka akan berusaha untuk memperoleh makanan dan perlindungan.

Sebagian besar orang yang mencari terapi mempunyai dua kebutuhan di level lebih rendah ini yang relatif terpenuhi dengan baik, tetapi mempunyai kesulitan memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan. Oleh karena itu, psikoterapi sebagian besar merupakan proses interpersonal. Melalui hubungan interpersonal yang hangat dan penuh kasih dengan terapis, klien memperoleh pemenuhan kebutuhan akan cinta dan keberadaan dan kemudian mendapatkan perasaan percaya diri dan penghargaan diri. Oleh karena itu, hubungan interpersonal yang sehat antara klien dan terapis merupakan obat psikologis yang terbaik. Hubungan yang saling menerima ini memberikan klien perasaan berharga untuk

Teori Kepribadian

mendapatkan cinta dan membantu klien membangun hubungan sehat lainnya diluar terapi. Pandangan psikoterapi ini hampir mirip dengan psikoterapi dari Carl Rogers, yang akan kita bicarakan pada Bab 11 (Buku 2).

Penelitian TerkaitSeperti yang Anda baru saja baca, salah satu aspek paling penting dari teori kepribadian Maslow adalah konsep hierarki kebutuhan. Beberapa kebutuhan, seperti fisiologis dan keamanan merupakan kebutuhan-kebutuhan pada level lebih rendah, sementara kebutuhan- kebutuhan seperti harga diri dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan pada level yang lebih tinggi. Secara umum, menurut teori Maslow, kebutuhan-kebutuhan pada level lebih rendah harus terpenuhi di masa-masa awal kehidupan, sementara kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih tinggi seperti aktualisasi diri cenderung terpenuhi belakangan.

Baru-baru ini, peneliti-peneliti telah mencoba aspek dari teori Maslow ini dengan mengukur pemenuhan kebutuhan pada sampel sebanyak 1,749 orang dari semua kelompok usia (Reiss & Havercamp, 2006). Pada penelitian ini, partisipan melengkapi sebuah kuesioner yang menanyakan tentang pemenuhan kebutuhan mereka. Kebutuhan-kebutuhan ini dibagi menjadi dua jenis motivasi: motivasi yang lebih rendah (seperti: makan dan olahraga fisik) dan motivasi yang lebih tinggi (seperti: penghargaan, keluarga, dan idealisme). Hasil yang diperoleh mendukung teori Maslow. Para peneliti menemukan bahwa motivasi-motivasi yang lebih rendah tampil lebih kuat pada orang-orang muda, sementara motivasi-motivasi yang lebih tinggi tampil lebih kuat di orang-orang yang lebih tua. Mengingat bahwa untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri, orang-orang harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih rendah. Oleh karena itu, seperti yang Maslow katakan dan seperti yang Reiss dan Havercamp (2006) temukan, jika orang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan paling mendasar di awal-awal kehidupannya, maka mereka mempunyai waktu dan energi yang lebih banyak untuk berusaha mencapai level tertinggi dari kehidupan manusia di masa- masa akhir kehidupannya.

Psikologi PositifPsikologi positif adalah sebuah bidang ilmu psikologi yang relatifbaru yang menggabungkan penekanan pada harapan, optimisme, dan kesejahteraan dengan penelitian dan pengukuran ilmiah. Banyak dari pertanyaan yang diteliti oleh para psikolog positif muncul langsung dari para teoretikus humanistik, seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers (lihat Bab 11 Buku 2). Seperti Maslow dan Rogers, psikolog-psikolog positif tidak sependapat dengan psikologi tradisional, yang membuat sebuah model manusia yang tidak memiliki ciri-ciri positif yang membuat hidup pantas untuk dijalani. Harapan, kebijaksanaan, kreativitas, pemikiran ke depan, keberanian, spiritualitas, rasa tanggung jawab, dan pengalaman positif diabaikan (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000).

B a b 1 0 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 359

Satu area dari psikologi positif di mana ide-ide Maslow terutama telah pengaruh adalah pada peran pengalaman-pengalaman positif dalam hidup seseorang. Maslow mengacu kepada pengalaman-pengalaman yang sangat positif yang melibatkan perasaan kekaguman, keterkejutan, dan menghargai yang sama seperti yang dirasakan pada pengalaman- pengalaman puncak. Sementara pengalaman-pengalaman semacam ini lebih umum terjadi pada orang-orang yang mengaktualisasi diri, namun pengalaman-pengalaman ini dapat dialami sampai derajat tertentu oleh orang lain juga. Belum lama ini, para peneliti telah menginvestigasi manfaat-manfaat potensial yang muncul dari proses mengalami kembali (reexperiencing) pengalaman-pengalaman semacam ini, melalui menulis atau berpikir. Dalam sebuah studi sejenis, partisipan diinstruksikan untuk menuliskan sebuah pengalaman positif atau pengalaman-pengalaman yang dialami selama 20 menit setiap harinya selama tiga hari berturut-turut (Burton & King, 2004). Instruksi-instruksi yang diberikan kepada partisipan sebelum dimulainya penelitian ini didasari langsung oleh tulisan Maslow mengenai pengalaman-pengalaman puncak, dan mereka meminta partisipan untuk menuliskan “saat-saat terbahagia, saat-saat yang luar biasa bahagia, saat-saat penuh kesenangan, mungkin ketika sedang jatuh cinta, ketika mendengarkan musik atau ketika tiba-tiba “menyadari sesuatu” dari buku atau lukisan atau ketika mengalami saat-saat sangat kreatif” (him. 155). Mengalami peristiwa-peristiwa yang berkesan dan positif semacam ini tidak diragukan lagi akan meningkatkan emosi positif, dan, seperti yang diteliti dalam penelitian ini, mungkin dengan hanya mengingat peristiwa-peristiwa di masa lalu tersebut dengan cara menuliskannya juga dapat meningkatkan emosi positif. Mengalami emosi positif umumnya merupakan sebuah hal yang baik dan telah diasosiasikan dengan meningkatnya sumber-sumber penanganan, kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang lebih baik, dan tingkah laku prososial (Lyubomirsky, King, & Diener, 2005). Oleh karena itu, Burton & King memprediksikan bahwa menuliskan tentang pengalaman-pengalaman puncak atau pengalaman-pengalaman yang sangat positif ini akan dapat diasosiasikan dengan kesehatan fisik yang lebih baik pada bulan-bulan selanjutnya setelah aktivitas menulis tersebut. Memang, Burton dan King (2004) menemukan bahwa mereka yang menuliskan tentang pengalaman positif, jika dibandingkan dengan mereka yang dalam kondisi terkontrol menuliskan tentang topik-topik yang tidak berkaitan dengan emosi, seperti penggambaran kamar tidur mereka, lebih jarang mengunjungi dokter untuk mengatasi penyakit selama tiga bulan setelah aktivitas menulis tersebut.

Peneliti lain telah melanjutkan penelitian tentang dampak kesehatan dari penulisan pengalaman-pengalaman yang sangat positif. Sonja Lyubomirsky dan rekan menginvestigasi apakah dengan hanya memikirkan tentang pengalaman-pengalaman positif di masa lalu mendapatkan manfaat yang bisa dibandingkan dengan atau bahkan yang lebih besar daripada manfaat yang didapat dari penulisan pengalaman-pengalaman tersebut atau tidak (Lyubomirsky, Sousa, & Dickerhoof, 2006). Walaupun mereka tidak menemukan manfaat kesehatan fisik akibat dari memikirkan tentang pengalaman-pengalaman positif, tetapi mereka menemukan bahwa orang-orang yang diinstruksikan untuk hanya memikirkan tentang pengalaman-pengalaman tersebut selama lima belas menit sehari selama tiga hari berturut-turut, melaporkan kesehatan dan kebahagiaan yang lebih besar dalam periode satu bulan setelahnya dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan tentang pengalaman-

Teori Kepribadian

pengalaman tersebut dalam jangka waktu yang sama. Hasil-hasil ini mengungkapkan bahwa Anda tidak harus terlalu menganalisis atau memisahkan pengalaman positif untuk mendapatkan manfaat. Melainkan, kadang kala mengingat pengalaman positif dalam pikiran Anda dan mengingat seberapa baik pengalaman positif tersebut membuat Anda merasakan, merupakan hal yang cukup untuk mendapatkan kesehatan dan kebahagiaan yang lebih besar.

Penelitian-penelitian ini menunjukkan pentingnya memikirkan dan mengalami kembali pengalaman-pengalaman paling positif atau pengalaman “puncak” dalam hidup kita. Mengingat dari apa yang dibicarakan di awal bab bahwa Abraham Maslow memprediksi bahwa pengalaman-pengalaman puncak sering kali mempunyai dampak yang bertahan lama dalam kehidupan seseorang. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan dalam bidang psikologi positif yang dibahas di bagian ini tentu saja mendukung aspek dari teori Maslow ini.

Perkembangan, Pertumbuhan, dan Tujuan-tujuan KepribadianDiungkapkan secara implisit dalam konsep aktualisasi diri dari Maslow adalah asumsi bahwa orang memperoleh tingkat kesehatan psikologis yang lebih besar seiring dengan bertambahnya usia mereka. Anak-anak dan orang dewasa muda yang berusaha untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup belum tentu berhasil mendapatkan kriteria untuk mencapai aktualisasi diri. Apakah penelitian ilmiah mendukung asumsi ini?

Jack Bauer dan Dan McAdams (2004a) mengasumsikan keberadaan dari dua jenis pendekatan pada pertumbuhan dan perkembangan—yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Perkembangan ekstrinsik umumnya berkaitan dengan perkembangan kognitif dan berputar di sekitar kemampuan seseorang untuk berpikir secara lengkap mengenai tujuan hidupnya, sementara perkembangan instrinsik umumnya berupa perkembangan emosional dan berputar di sekitar kemampuan seseorang untuk merasa lebih baik tentang kehidupannya. Lebih spesifik, pertumbuhan ekstrinsik menitikberatkan pada ketenaran, uang, penampilan fisik, status, dan kekuasaan. Sebaliknya, tujuan-tujuan intrinsik menitikberatkan pada kepuasan, kebahagiaan, pertumbuhan pribadi, dan hubungan interpersonal yang sehat. Pertumbuhan kognitif-ekstrinsik dan pertumbuhan emosional-intrinsik tampak tidak terkait satu sama lain; yaitu, seseorang bisa berpikir kompleks tentang hidupnya dan tidak bahagia ataupun puas.

Dalam penelitiannya akan tujuan-tujuan pertumbuhan, Bauer dan McAdams memprediksi sebuah hubungan positif antara usia dan perkembangan kepribadian dan kesejahteraan psikologis. tetapi mereka memprediksi hubungan antara perkembangan kepribadian dan kesejahteraan akan berubah tergantung pada apakah seseorang berusaha memperoleh tujuan intrinsik atau ekstrinsik. Dengan kata lain, hanya orang-orang dengan tujuan pertumbuhan intrinsik yang akan melihat bagaimanakah bertambahnya usia menyebabkan ego dan perkembangan kepribadian dan kesejahteraan yang lebih besar. Serupa dengan hal ini, bagi orang-orang dengan tujuan-tujuan pertumbuhan ekstrinsik,

B a b 10 Maslow: Teori Holistik-Dinamis 361

bertambahnya usia tidak akan mengarah pada perkembangan kepribadian dan kesehatan psikologis yang lebih baik.

Partisipan pada studi Bauer dan McAdams mencakup mahasiswa dan sukarelawan dari masyarakat. Kelompok mahasiswa mempunyai usia rata-rata sekitar 20 tahun, sementara kelompok sukarelawan mempunyai usia rata-rata sekitar 52 tahun, dan kedua kelompok terdiri dari sekitar 70% wanita. Tujuan-tujuan hidup dikodekan dari respons-respons terhadap sebuah tugas yang meminta partisipan untuk menulis sebuah paragraf masing- masing tentang dua tujuan hidupnya yang paling penting. Tujuan-tujuan tidak dikodekan, tetapi alasan-alasan yang diberikan untuk tujuan-tujuan tersebut yang dikodekan. Secara spesifik, tujuan-tujuan dikodekan sebagai instrinsik, ekstrinsik atau eksplorasi. Tujuan- tujuan intrinsik adalah tujuan-tujuan yang mencakup melakukan kontribusi untuk masyarakat, meningkatkan hubungan interpersonal, meningkatkan perasaan bahagia, dan mendukung terjadinya keberhasilan pada pertumbuhan pribadi. Tujuan-tujuan ekstrinsik meliputi menginginkan untuk mendapatkan uang, status, penerimaan, atau tujuan-tujuan non intrinsik lainnya. Tujuan-tujuan eksplorasi meliputi tujuan-tujuan yang dibuat untuk memahami dan mencari tantangan untuk membentuk konsep.

Seperti yang diduga, tujuan-tujuan intrinsik dan eksplorasi secara positif terkait dengan kedewasaan dan perkembangan kepribadian. Orang-orang yang terdorong oleh kebahagiaan dan kebutuhan untuk pemahaman konseptual cenderung mempunyai skor yang lebih tinggi dalam perkembangan ego dan kesejahteraan. Akan tetapi, ditemukan pula beberapa asosiasi spesifik, yaitu orang-orang yang mempunyai kecenderungan tinggi terhadap tujuan-tujuan pertumbuhan eksplorasi secara spesifik tinggi dalam skor perkembangan ego, dan orang-orang yang mempunyai kecenderungan tinggi terhadap tujuan-tujuan pertumbuhan intrinsik secara spesifik tinggi dalam skor kesejahteraan.

Dalam hal usia dan pertumbuhan kepribadian, hasil yang didapat secara umum menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih tua memang mempunyai skor yang lebih tinggi dalam perkembangan ego dan kesejahteraan dibandingkan dengan orang-orang muda, dan kaitan ini lebih kuat terjadi pada orang-orang dengan tujuan-tujuan pertumbuhan intrinsik. Dengan kata lain, orang-orang dewasa yang lebih tua mempunyai kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada orang-orang dewasa muda. Hal ini sebagian dijelaskan oleh kenyataan bahwa orang-orang dewasa yang lebih tua lebih mungkin mempunyai tujuan-tujuan dan kepedulian-kepedulian intrinsik.

Bauer dan McAdams (2004a) menyimpulkan bahwa tujuan-tujuan pertumbuhan, terutama ketika dipelajari dalam bentuk naratif, membuka kemungkinan bagi peneliti dan terapis untuk memahami apakah niat-niat yang dimiliki orang mungkin mengarah pada arah personal yang diinginkan—yaitu menuju sebuah pemahaman yang lebih kompleks tentang hidup mereka dan menuju perasaan kesejahteraan yang lebih meningkat. Kesimpulan ini konsisten dengan apa yang Maslow (1968b) katakan bahwa orang-orang secara umum mengarah pada orientasi keamanan atau pertumbuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari dan bahwa orientasi pertumbuhan lebih membantu terjadinya kesehatan dan kesejahteraan psikologis.

362 Teori Kepribadian

Kritik terhadap MaslowPencarian Maslow akan orang yang mengaktualisasi diri tidak berhenti dengan penelitian ilmiahnya. Pada tahun-tahun belakangan, ia sering kali berspekulasi tentang aktualisasi diri dengan sedikit bukti untuk mendukung pemikirannya. Walaupun hal ini membuka kemungkinan untuk mengkritik Maslow, tetapi ia tidak peduli dengan ilmu desakralisasi, ataupun ilmu ortodoks/yang sudah biasa.

Walaupun demikian, kita menggunakan kriteria yang sama untuk mengevaluasi teori kepribadian holistik-dinamis seperti yang kita gunakan untuk teori-teori lain. Pertama, bagaimana penilaian terhadap teori Maslow dalam hal kemampuannya untuk membangun penelitian? Dalam kriteria ini, kami menilai teori Maslow sedikit di atas rata-rata. Aktualisasi diri tetap menjadi topik yang populer di kalangan peneliti, dan tes-tes untuk mengukur aktualisasi diri telah mendukung usaha-usaha untuk meneliti konsep yang semu ini. Akan tetapi, ide Maslow mengenai metamotivasi, hierarki kebutuhan, Jonah complex, dan kebutuhan instinctoid mengundang lebih sedikit ketertarikan penelitian.

Dalam kriteria falsifiability (kemungkinan logis bahwa sebuah ide dapat dianggap salah berdasarkan observasi atau penelitian), kita harus menilai teori Maslow rendah. Para peneliti tetap tidak mampu menyalahkan atau membenarkan cara-cara Maslow untuk mengidentifikasi orang-orang yang mengaktualisasi diri. Maslow mengatakan bahwa orang-orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya menolak untuk melakukan tes apapun yang dapat mengukur aktualisasi diri. Apabila hal ini benar, maka bermacam-macam alat yang berfimgsi untuk mengukur aktualisasi diri mungkin tidak mampu mengindentifikasi orang yang benar- benar mengaktualisasi diri. Akan tetapi, jika para peneliti ingin mengikuti langkah Maslow dan menggunakan wawancara individual, mereka hanya akan memiliki sedikit panduan untuk mengarahkan mereka. Oleh karena Maslow gagal menyediakan sebuah definisi operasional dari aktualisasi diri dan sebuah deskripsi lengkap tentang prosedur samplingnya, maka para peneliti tidak bisa yakin apakah mereka mengikuti studi awal Maslow dengan benar atau apakah mereka mengidentifikasi sindrom dari aktualisasi diri yang sama. Maslow meninggalkan hanya sedikit panduan yang jelas bagi para peneliti di masa depan untuk diikuti jika mereka ingin mengikuti penelitiannya pada aktualisasi diri. Oleh karena kurangnya definisi-definisi operasional dari sebagian besar konsep Maslow, maka para peneliti tidak dapat membenarkan ataupun menyalahkan banyak hal dari teori dasarnya.

Walaupun demikian, ide tentang hierarki kebutuhan Maslow memberikan fleksibilitas yang besar pada teorinya untuk mengorganisasi tentang apa yang diketahui tentang tingkah laku manusia. Teori Maslow juga cukup konsisten dengan akal sehat (common sense). Sebagai contoh, akal sehat mengatakan bahwa seseorang harus makan yang cukup terlebih dahulu sebelum bisa termotivasi oleh hal lainnya. Orang-orang kelaparan cenderung tidak terlalu peduli dengan filosofi politik. Motivasi utama mereka adalah untuk mendapatkan makanan, bukan untuk bersimpati dengan salah satu filosofi politik. Serupa dengan hal ini, orang-orang yang hidup dalam ancaman terhadap kesejahteraan fisik mereka akan lebih termotivasi untuk memperoleh keamanan, dan orang-orang yang kebutuhan fisiologis dan rasa amannya relatif terpenuhi akan berusaha untuk bisa diterima dan menjalin sebuah hubungan cinta.

Bab 1 0 Maslow: Teori Holistik-Dinamis | 363

Apakah teori Maslow berperan sebagai sebuah pedom an bagi para praktisi? Padakriteria ini, kami menilai teori ini sebagai sangat berguna. Sebagai contoh, psikoterapis yang mempunyai klien yang kebutuhan akan rasa amannya terancam harus menyediakan sebuah lingkungan yang aman dan nyaman untuk kliennya. Setelah kliennya memenuhi kebutuhannya akan rasa aman, terapis dapat memberikan perasaan cinta dan keberadaan. Sama halnya, manager-manager sumber daya manusia di perusahaan dapat menggunakan teori Maslow untuk memotivasi pekerjanya. Teori ini menjelaskan bahwa kenaikan gaji tidak dapat memenuhi kebutuhan di atas level kebutuhan fisiologis dan keamanan. Oleh karena kebutuhan fisiologis dan keamanan telah terpenuhi bagi rata-rata pekerja di Amerika Serikat, maka kenaikan gaji itu sendiri tidak akan meningkatkan antusiasme dan produktivitas pekerja secara permanen. Kenaikan gaji dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi hanya ketika pekerja melihat kenaikan gaji sebagai pengakuan bahwa pekerjaannya dilakukan dengan baik. Teori Maslow menyarankan bahwa pengusaha seharusnya mengijinkan pekerjanya mempunyai tanggung jawab dan kebebasan, menggunakan kemampuan dan kreativitasnya untuk memecahkan masalah, dan mendukung pekerjanya untuk menggunakan kepintaran dan imajinasi mereka pada saat bekerja.

Apakah teori ini konsisten secara internal? Sayangnya, bahasa Maslow yang sulit dimengerti dan tidak jelas membuat bagian-bagian penting dari teorinya menjadi ambigu dan tidak konsisten. Selain mempunyai masalah pada gaya bahasa teori Maslow dinilai tinggi pada kriteria konsistensi internal. Konsep hierarki kebutuhan memungkinkan pergerakan logis, dan Maslow membuat hipotesis bahwa urutan kebutuhan adalah sama untuk setiap orang, walaupun ia tidak mengabaikan kemungkinan terjadinya urutan yang terbalik. Selain dari adanya kekurangan dalam metode ilmiahnya, teori Maslow mempunyai konsistensi dan keakuratan yang membuat teori ini menjadi terkenal.

Apakah teori Maslow parsimonious (menggunakan asumsi/penjelasan yang sederhana dalam pembentukan teori), atau apakah teori Maslow terdiri dari konsep dan model yang dijelaskan secara berlebihan? Pada pandangan pertama, teori ini terlihat cukup sederhana. Model hierarki kebutuhan dengan hanya lima tahapan memberi kesan tipuan bahwa teori ini sederhana. Pemahaman menyeluruh dari teori keseluruhan Maslow, akan tetapi,

memberikan sebuah model teori yang jauh lebih rumit. Secara menyeluruh, teori ini dlFlilji parsimonious secara menengah.

Konsep Kemanusiaan

364 Teori Kepribadian

Maslow menyimpulkan bahwa ciri-ciri manusia yang sebenarnya hanya bisa dilihat pada orang-orang yang mengaktualisasi diri, dan bahwa “sepertinya tidak ada alasan intrinsik mengapa setiap orang tidak bisa menjalani hal yang sama. Padahal, setiap bayi mempunyai kemungkinan untuk mengaktualisasi diri, tetapi sebagian dari mereka kehilangan kemungkinan tersebut” (Lowry, 1973, him. 91). Dengan kata lain, orang-orang yang mengaktualisasi diri bukanlah orang-orang biasa dengan kemampuan tambahan, melainkan orang-orang biasa yang tidak kehilangan suatu apapun dari dirinya. Dalam hal ini, jika makanan, rasa aman, cinta, dan penghargaan tidak hilang dari kehidupan orang, maka orang tersebut akan bergerak secara alami menuju aktualisasi diri.

Maslow awalnya bersikap optim is dan mempunyai harapan terhadap manusia, tetapi ia menemukan bahwa manusia mampu melakukan kejahatan dan kerusakan yang besar. Akan tetapi, kejahatan muncul dari rasa frustrasi karena tidak terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan dasar, bukan dari ciri-ciri inti dari manusia. Ketika kebutuhan-kebutuhan dasar tidak terpenuhi, maka orang dapat mencuri, menipu, berbohong, ataupun membunuh.

Maslow percaya bahwa m asyarakat dan juga individu, dapat m em perbaiki diri, walaupun pertum buhan untuk m asyarakat maupun individu bergerak perlahan dan menyakitkan. Namun demikian, langkah-langkah kecil ke depan ini sepertinya merupakan bagian dari sejarah evolusi manusia. Sayangnya, sebagian besar orang “terlalu berharap atas apa yang mereka tidak m ilik i” (Maslow, 1970, him. 70). Dengan kata lain, walaupun sem ua orang memiliki potensi menuju aktualisasi diri, sebagian dari mereka akan menjalani hidup m ereka hanya untuk perjuangan m endapatkan makanan, rasa aman, atau cinta. Maslow percaya bahwa sebagian besar m asyarakat menekankan pada kebutuhan- kebutuhan di level lebih rendah ini dan m endasarkan sistem pendidikan dan politik mereka pada sebuah konsep kem anusiaan yang kurang tepat.

Kejujuran, cinta, keindahan, dan sejenisnya merupakan kebutuhan instinctoid dan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia sama seperti rasa lapar, hasrat seksual, dan agresi. Semua orang mempunyai potensi untuk meraih aktualisasi diri, sama seperti motivasi yang mereka miliki untuk mencari makanan dan perlindungan. Oleh karena Maslow meyakini bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar dibentuk dengan cara yang sama pada semua orang dan bahwa orang-orang memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dengan cara mereka sendiri, maka teori kepribadian holistik-dinamis yang diungkapkannya memberi sorotan menengah pada keunikan maupun kesamaan.

Dilihat dari pandangan historis dan individual, manusia adalah makhluk yang berkembang secara bertahap dalam proses untuk semakin menjadi manusia yang seutuhnya. Yaitu, seiring dengan berjalannya evolusi, manusia secara bertahap menjadi lebih termotivasi oleh metamotivasi dan oleh nilai-nilai B. Kebutuhan-kebutuhan di level yang lebih tinggi ada, paling tidak dalam bentuk potensi, pada setiap orang. Oleh karena orang-orang bertujuan menuju aktualisasi diri, pandangan Maslow dapat dianggap

te leo logis dan bertujuan.Pandangan Maslow tentang humanisme sulit untuk dikategorikan menjadi dimensi-

dimensi seperti determinisme versus kebebasan memilih, disadan versus tidak d'sadari,

mengaktualisasi diri paling tidak sebagian dibentuk oleh kebebasan mem .

tingkah laku mereka.

B a b 1 0 Maslow: Teori Holistik-Dinamis | 365

Sementara untuk dimensi biologis versus pengaruh sosial, Maslow meyakini bahwa dikotom i/pem bagian ini m erupakan suatu hal yang salah. Individu-individu dibentuk baik oleh hal-hal biologis maupun lingkungan, dan dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Ciri-ciri genetis bawaan yang tidak cukup baik tidak lantas membuat seseorang harus menjalani kehidupan yang tidak terpenuhi, sama halnya seperti lingkungan sosial yang buruk tidak lantas menghambat terjadinya pertumbuhan. Ketika orang mencapai aktualisasi diri, mereka mengalami sebuah sinergi yang baik antara aspek-aspek biologis, sosial, dan spiritual dalam kehidupan mereka. Orang-orang yang mengaktualisasi diri mendapatkan lebih banyak kebahagiaan fisik dari kesenangan; mereka menjalani hubungan interpersonal yang lebih mendalam dan lebih kaya; dan mereka memperoleh kesenangan dari kualitas- kualitas spiritual seperti keindahan, kejujuran, kebaikan, keadilan, dan kesempurnaan.

Istilah dan Konsep Penting• Maslow beranggapan bahwa motivasi memengaruhi keseluruhan orang. Motivasi

tersebut lengkap, sering kali tidak disadari, berlangsung terus-menerus, dan berlaku pada semua orang.

• Orang-orang termotivasi oleh empat dimensi kebutuhan: konatif (usaha yang diniati), estetika (kebutuhan akan keteraturan dan keindahan), kognitif (kebutuhan akan rasa penasaran dan pengetahuan), dan neurotik (sebuah pola hubungan dengan orang lain yang tidak produktif).

• Kebutuhan-kebutuhan konatif ini dapat disusun ke dalam sebuah hierarki, yang berarti bahwa satu kebutuhan harus relatif terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan selanjutnya dapat menjadi aktif.

• Lima kebutuhan konatif adalah fisiologis, rasa aman, cinta dan keberadaan, penghargaan, dan aktualisasi diri.

• Kadang kala, kebutuhan-kebutuhan yang tersusun pada hierarki dapat terbalik urutannya, dan kebutuhan-kebutuhan ini sering kali tidak disadari.

• Tingkah laku penanganan (coping behavior) adalah tingkah laku yang dimotivasi dan diarahkan menuju pemuasan kebutuhan-kebutuhan dasar.

• Tingkah laku ekspresif (expressive behavior) mempunyai penyebab tetapi tidak dimotivasi; tingkah laku ini hanyalah cara seseorang untuk mengekspresikan dirinya.

• Kebutuhan-kebutuhan konatif, termasuk juga aktualisasi diri, merupakan kebutuhan- kebutuhan instinctoid; yang mana, tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut akan mengarah pada penyakit.

• Kebutuhan akan aktualisasi diri yang tidak terpenuhi akan menyebabkan metapatologi dan penolakan terhadap nilai-nilai B.

• Penerimaan terhadap nilai-nilai B (kejujuran, keindahan, kejenakaan, dan lain-lain.) merupakan kriteria yang membedakan orang-orang yang mengaktualisasi diri dengan orang-orang yang hanya sehat, tetapi tertahan pada level penghargaan saja.

• Karakteristik dari orang-orang yang mengaktualisasi diri antara lain adalah (1) mempunyai persepsi akan kenyataan yang lebih efisien; (2) menerima dirinya sendiri, orang lain, dan alam; (3) memiliki spontanitas, kesederhanaan, dan kealamian; (4) dalam kehidupannya

366 Teori Kepribadian

mereka melakukan pendekatan yang berpusat pada masalah; (5) mempunyai kebutuhan akan privasi; (6) memiliki kemandirian; (7) melakukan penghargaan dengan cara yang selalu baru; (8) mengalami pengalaman-pengalaman puncak; (9) memiliki ketertarikan sosial; (10) memiliki hubungan interpersonal yang kuat; (11) memiliki sikap demokratis; (12) mempunyai kemampuan untuk membedakan antara cara dan tujuan; (13) memiliki rasa humor yang filosofis; (14) mempunyai kreativitas; dan (15) tidak mengikuti enkulturasi/apa yang diharuskan oleh kultur.

• Dalam filosofi ilmunya, Maslow mengusulkan sikap Taoistik, yaitu sikap yang tidak berpengaruh, menerima, mendengarkan ide-ide baru, dan subjektif.

• Personal Orientation Inventory (POI) merupakan alat tes terstandardisasi yang dibuat untuk mengukur nilai-nilai dan tingkah laku aktualisasi diri.

• Jonah complex adalah perasaan takut untuk menjadi atau menjalani apa yang terbaik bagi seseorang.

• Psikoterapi seharusnya diarahkan pada level kebutuhan yang saat ini sedang terhambat, dalam sebagian besar kasus, biasanya yang terhambat adalah kebutuhan akan cinta dan keberadaan.

ReferensiReferensi

Adler, A. (1907/1917). Study o f organ inferiority and its psychical compensation. New York: Nervous and Mental Disease Publishing.

Adler, A. (1925/1968). The practice and theory o f individual psychology. Totowa, NJ: Littlefield Adams.

Adler, A. (1927). Understanding human nature. New York: Greenberg.

Adler, A. (1929/1964). Problems o f neurosis. New York: Harper Torchbooks.

Adler, A. (1930). Individual psychology.Dalam C. Murchinson (Ed.), Psycholo­gies o f 1930. Worcester, MA: Clark Uni­versity Press.

Adler, A. (1931). What life should mean to you. New York: Capricorn Books.

Adler, A. (1956). The individual psychology of Alfred Adler: A sytematic presentation in selections from his writings (H. L. Ansbacher & R. R. Ansbacher, Eds.). New York: Basic Books.

Adler, A. (1964). Superiority and social inter­est: A collection o f later writings (H. L. Ansbacher & R. R. Ansbacher, Eds.). New York: Norton.

Ai, A. L., Peterson, C., Rodgers, W., 8c Tice, T. N. (2005). Effects of faith and secular factors on locus of control in middle- age and older cardiac patients. Aging and mental Health, 9, 470-481.

Ainsworth, M., Blehar, M., Waters, E., &Wall, S. (1978). Patterns o f attachment. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Alexander, I. E. (1990). Personology: Method and content in personality assessment and psychobiography. Durham, NC: Duke University Press.

Allport, F. (1974). An autobiography. Dalam G. Lindzey (Ed.), A history o f psycholo­gy in autobiography (vol. 6, him. 1-29). Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Allport, G. W. (1937). Personality: Apsychological interpretation. New York: Henry Holt.

Allport, G. W. (1950). The individual and his religion. New York: Macmillan.

Allport, G. W. (1954). The nature o f prejudice. Reading, MA: Addison-Wesley.

Allport, G. W. (1955). Becoming: Basic consideration fo r a psychology o f personality. New Haven, CT: Yale University Press.

Allport, G. W. (1960). The open system inpersonality theory. Journal o f Abnormal And Social Psychology, 61, 301-310.

Allport, G. W. (1961). Pattern and growth in personality. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Allport, G. W. (1962). The general and the unique in psychological science.Journal o f Personality, 30, 405-422.

Allport, G. W. (1963). Behavioral science,religion and mental health. Journal o f Religion and Health, 2, 187-197.

Allport, G. W. (1965). Letters from Jenny. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.

Allport, G. W. (1966). Traits revisited.American Psychologist, 21, 1-10.

Allport, G. W. (1967). An autobiography. Dalam E. G. Boring 8c G. Lindzey (Eds.), A history o f psychology in autobiography (Vol. 5, him. 1-25). New York: Appleton-Century-Crofts.

Allport, G. W. (1968). The person inpsychology. Boston: Beacon Press.

Referensi

Allport, G. W. (1978). Waiting fo r the Lord:33 meditations on God and man. New York: Macmillan.

Allport, G. W., 8c Odbert, H. S. (1936).Trait-names: A psycho-lexical study. Psychological Monographs, 47, 1-171.

Allport, G. W, 8c Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice. Journal o f Personality and Social Psychology, 5, 432-443.

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual o f mental disorders (4th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.

American Psychiatric Association. (2002). Diagnostic and Statistical Manual o f Mental Disorders (4th ed., Text Revision). Washington, DC: American Psychiatric Association.

American Psychiatric Association. (2002). DSM-1VTR: Handbook o f differential diagnosis. Washington, DC: Author.

Anderson, R. J„ Freedland, K. E., Clouse,R. E„ 8c Lustman, P. J. (2001). The prevalence of comorbid depression in adults with diabetes: A meta-analysis. Diabetes Care, 24, 1069-1078.

Anonymous. (1946). Letters from Jenny. Journal o f Abnormal and Social Psychology, 41, 315-350, 449-480.

Arndt, J., Schimel, J., 8c Goldenberg, J. L.(2003) death can be good for your health: Fitness intentions as a proximal and distal defense against mortality salience. Journal o f Applied Social Psychology, 33, 1726-1746.

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55, 469-480.

Aron, A. R., 8c Poldrack, R. A. (2005) The cognitive neuroscience of response inhibition: Relevance for genetic research in Attention-deficit/ Hyperactivity Disorder. Biological Psychiatry, 57, 1285-1292.

Bachofen, J. J. (1861/1967). Myth, religion,and Mother Right: Selected writings o f Johann Jacob Bachofen (R. Manheim, Trans), Princeton, NJ: Princeton University Press.

Bair, D. (2003). Jung: A biography. Boston: Little, Brown.

Baldwin, A. F. (1942). Personal structure analysis: A statistical method for investigating the single personality. Journal o f Abnormal and Social Psychology, 37, 163-183.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bandura, A. (1986). Social foundations o fthought and action: A Social cognitive theory. Engewood Cliffs, NJ: Prentice- Hall.

Bandura, A. (1989). Human Agency in social cognitive theory. American Psychologist, 44, 1175-1184.

Bandura, A. (1994). Social cognitive theory and mass communication. Dalam J. Bryant 8c D. Zillmann (Eds.), Media Effects: Advances in theory and research. (him. 61-90). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Bandura, A. (1995). Exercise of personal and collective efficacy in chaning soccieties. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in changing societies (him. 1-45). Cambridge, England: Cambridge University Press.

Bandura, A. (1996). Ontological andepistemological terrains revisited. Journal o f Behaviour Therapy and Experimental Psychiatry, 27, 323-345.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise o f control. New York: Freeman.

Bandura, A. (1998a). Exploration of fortuitous determinants of life path. Psychological Inquiry, 9, 95-99.

Bandura, A. (1998b). Personal and xollective efficacy in human adaptation and change. Dalam J. G. Adair,D. Belanger, 8c K. L. Dion (Eds.). Advances in psychological sciences:

Referensi | R - 3

Vol. 1. Social, personal, and cultural aspects (him. 51-71). East Sussex, UK: Psychological Press.

Bandura, A. (1998c). Health promotion from the perspective of social-cognitive theory. Psychology and Health, 13, 623-649.

Bandura, A. (1999a). Moral disengangement in the perpetartion of inhumanities. Personality and Social Psychology Review, 3, 193-209.

Bandura, A. (1999b). Social cognitive theory of personality. Dalam L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook o f personality: Theory and Research (him. 154-196). New York: Guilford Press.

Bandura, A. (2000). Exercise of human agency through collective efficacy. Current Directions in Psychological Sciences, 9, 75-78.

Bandura, A. (2001). Social cognitive theory: An agentic perspective. Annual Review o f Psychology, 52, 1-26.

Bandura, A. (2002a). Selective moraldisengagement in the exercise of moral agency. Journal o f Moral Education, 31,269-290.

Bandura, A. (2002b). Social cognitive theory in cultural context. Applied Psychology: An International Review, 51 ,269-290.

Bandura, A. (2003). On the psychosocial impact and mechanism of spiritual modeling. Interantional Journal fo r Psychology o f Religion, 13, 167-174.

Bandura, A. (2004). Swimming against the mainstream: The early years from child chilly tributary to transformative mainstream. Behavior Research and Theory, 42, 613-630.

Bandura, A., Ross, D., 8c Ross, S. A. (1963). Imitation of film-mediated aggressive models. Journal o f Abnormal and Social Psychology, 66, 3-11.

Bandura, A., 8c Walters, R. H. (1959). Adolescent aggresion. New York:Ronald Press.

Barenbaum, N. B. (1997). The case(s) ofGordon Allport. Journal o f Personality, 65, 743-755.

Bargh, J. A., 8c Chartrand, T. L. (1999). The unbearable automaticity of being. American Psychologist, 54, 461-479.

Bauer, J. J., 8c McAdams, D. P. (2004a).Growth goals, maturity, and well­being. Developmental o f Psychology,40, 114-127.

Bauer, J. J., 8c McAdams, D. P. (2004b).Personal growth in adults’ stories of life transitions. Journal o f Personality, 72,573-602.

Beauducel, A., Brocke, B., 8c Leue, A.(2006). Energetical bases of extraversion: Effort, arousal, EEG, and performance. International Journal o f Psychophysiology, 62, 212-223.

Beaver, J. D., Lawrence, A. D., vanDitzhuijzen, J., Davis, M. H., Woods, A., 8c Calder, A. J. ( 2006). Individual differences in reward drive predict neural responses to images of food. Journal o f Neuroscience, 26, 5160-5166.

Belangee, S. E. (2006). Individual psychology and eating disorders: A theoretical application. Journal o f Individual Psychology, 62, 3-17.

Belangee, S. E. (2007). Couples and eating disorders: An individual psychology approach. Journal o f Individual Psychology, 63, 294-305.

Bell, M. D., Billington, R., 8c Becker, B. (1986). A scale for the asessment of object relationship. Reliability, validity, and factorial invariance. Journal o f Clinical Psychology, 42, 733-741.

Ben-Zur, H., 8c Zeidner, M. (1995). Coping patterns and affective reactionss under community crisis and daily routine conditions. Anxiety, Stress, & Coping: An International Journal, 8, 185-201.

Bernard, M. M., Gebauer, J. E., 8c Maio, G.R. (2006). Cultural estrangement: The role of personal and societal value

R-4 Referensi

discrepancies. Personality and Social Psychology Bulletin, 32, 78-92.

Bettelheim, B. (1982, March 1). Freud and the soul. The New Yorker, him. 52-93.

Bettelheim, B. (1983). Freud and mans soul. New York: Knopf.

Bilmes, M. (1978). Rollo May. Dalam R. S. Valle 8c M. King (Eds.), Existential- phenomenological alternative fo r psychology (him. 290-294). New York: Oxford University Press.

Bjork, D. W. (1993). B. F. Skinner: A life. New York: Basic Books.

Block, J. H., 8c Block, J. (1980). The role of ego-control and ego-resiliency in the organization of behaviour. Dalam W.A. Collins (Ed.), Minnesota symposium on child psychology (Vol. 13, him. 39- 101). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Block, J., 8c Block, J. H. (2006). Nursery school personality and political orientation two decades later. Journal o f Research in Personality, 40, 734-749.

Blum, D. (2002). Love at Goon Park: Harry Harlow and the science o f affection. Cambridge, MA: Cambridge Center.

Boag, S. (2006). Freudian dream theory, dream bizarreness, and the disguise-censor controversy. Neuro­psychoanalysis, 8(1), 5-16.

Borkovec, T. D., 8c Sharpless, B. (2004).Generalized anxiety disorder: Bringing cognitive-behavioral therapy into the valued present. Dalam S. C. Hayes, V.M. Follette, 8c M. M. Linehan (Eds.), Mindfulness and acceptance: Expanding the cognitive-behavioral tradition (him. 209-242). New York: Guilford Press.

Bottome, P. (1929). Alfred Adler: Apostle o f Freedom. London: Faber 8c Faber.

Bottome, P. (1957). Alfred Adler: A portrait from life. New York: Vanguard.

Bowlby, J. (1969/1982). Attachment and loss: Vol. 1. Attachment (2nd ed.). New York: Basic Books.

Bowlby, J. (1973). Attachment and loss: Vol.2. Separation: Anxiety and anger. New York: Basic Books.

Bowlby, J. (1980). Attachment and loss: Vol.3. Loss: Sadness and depression. New York: Basic Books.

Bowlby, J. (1988). A secure base: Parent-child attachment and healthy human development. New York: Basic Books.

Bradley, C. L., 8c Marcia, J. E. (1998).Generativity vs. stagnation: A five- category model. Journal o f Personality, 66, him. 39-64.

Brannon, L. (2005). Gender: Psychologicalperspectives (4th ed). Boston: Allyn and Bacon.

Brannon, L., 8c Feist, J. (2007). Healthpsychology: An introduction to behavior and health (6th ed). Belmont, CA: Wadsworth.

Breger, L. (2000). Freud: Darkness in the midst o f vision. New York: Wiley.

Breuer, J., 8c Freud, S. (1895/1955). Studie on hysteria. Dalam J. Strachey (Ed. and Trans.), The standard edition o f the complete psychological works o f Sigmund Freud (Vol. 2). London: Hogarth Press.

Brome, V. (1978). Jung. New York: Atheneum.

Burrell, M. (2002). Decontructing and reconstructing: Subatance use and “addiction”: Constructivist perspectives. Dalam R. A. Neimeyer 8c G. J. Neimeyer (Eds.), Advances in persomnal construct psychology: New directions and perspectives (him. 203- 232). Wesport, CT: Praeger.

Burton, C. M., 8c King, L. A. (2004). The health benefits of writing about intensely positive experiences. Journal o f Research in Personality, 38, 150-163.

Burton, J., Sussman, S., Hansen, W., Johnson,C., 8c Flay, B. R. (1989). Image attributions and smoking: Intentions among seventh grade students. Journal o f Applied Social Psychology, 19,656- 666.

Referensi | R - 5

Carver, C. S., 8c White, T. L. (1994).Behavioral inhibition, behavioral activation, and affective responses to impending reward and punishment: The BIS/BAS scales. Journal o f Personality and Social Psychology, 67, 319-333.

Cattell, R. B. (1949). Manual fo r Forms A and B: Sixteen Personality Factors Quwestionnaire. Champaign, IL: IPAT.

Cattell, R. B. (1973). A check on the 29-factor Clinical Analysis Questionnaire Structure on normal and pathological subjects. Journal o f Multivariate Experimental Personality and Clinical Psychology, 1, 3-12.

Cattell, R. B. (1983). Structured personality- learning theory: A wholistic multivariate research approach. New York: Praeger.

Chapman, A. H. (1976). Harry Stack Sullivan: His life and his work. New York: Putnam.

Chodorow, N. J. (1989). Feminism andpsychoanalytic theory. New Haven, CT: Yale University Press.

Chodorow, N. J. (1991). Freud on women. Dalam J. Neu (Ed.), The Cambridge companion to Freud: Cambridge companions to philosophy (him. 224- 248). New York: Cambridge University Press.

Chodorow, N. J. (1994). Feminities,masculinities, sexualities: Freud and beyond. Lexington: University of Kentucky Press.

Chow, T. W., 8c Cummings, J. L. (1999).Frontal-subcortical circuits. Dalam B. L. Miller and J. L. Cummings (Eds.), The human frontal lobes: Functions and disorders (him. 3-26). New York: Guilford Press.

Clark, R. W. (1980). Freud: The man and the cause. New York: Random House.

Clark, A. J. (2002). Early recollections:Theory and practice in counseling and psychotherapy. New York: Brunner- Routledge.

Clements, L. B„ York, R. O., 8c Rohrer, G. E. (1995). The interaction of parental alcoholism and alcoholism as a predictor of drinking-related locus of control. Alcoholism Treatment Quarterly, 12, 97-110.

Combs, A. W„ 8c Snygg, D. (1959). Individual Behavior: A perceptual approach to behavior. New York: Harper 8c Row.

Compton, W. C., Smith, M. L., Cornish, K. A., 8c Qualls, D. L. (1996). Factor structure of mental health measures. Journal o f Personality and Social Psychology, 71, 406-413.

Corr, P. J. (2002). J. A. Grays reinforcement sensitivity theory: Tests of the joint subsystems hypothesis of anxiety and impulsivity. Personality and Individual Differences, 33, 511-532.

Costa, P. T., Fozard, J. L., McCrae, R. R., 8c Bosse, R. (1976). Relations of age and personality dimensions to cognitive ability factors. Journal o f Gerontology, 31, 663-669.

Costa, P. T., 8c McCrae, R. R. (1976). Agedifferences in personality structure: A cluster analytic approach. Journal o f Gerontology, 31, 564-570.

Costa, P. T., 8c McCrae, R. R. (1980). Influence of extraversion and neuroticism on subjective well-being: Happy and unhappy people. Journal o f Personality and Social Psychology, 38,668-678.

Costa, P. T., 8c McCrae, R. R. (1985). Manual fo r the NEO Personality Inventory. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.

Costa, P. T., 8c McCrae, R. R. (1992). NEO- PI-R Professional manual. Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.

Costa, P. T., McCrae, R. R., 8c Arenberg, D.(1980). Enduring dispositions in adults males. Journal o f Personality and Social Psychology, 38, 793-800.

R-6 Referensi

Costa, R T., 8c McCrae, R. R. (2002). Looking backward: Changes in the mean levels of personality traits from 80 to 12. Dalam D. Cervone 8c W. Mischel (Eds.), Advances in personality science. (him. 219-237). New York: Guliford Press.

Cox, C. R., Goldenberg, J. L., Arndt, J., 8cPyszczynski, T. (2007). Mothers milk: An existential perspective on negative reactions to breast-feeding. Personality and Social Psychology Bulletin, 3 3 ,110- 122.

Cox, C. R., Goldenberg, J. L., Pyszczynski,T„ 8c Weise, D. (2007). Disgust, creatureliness and the accessibility of death-related thoughts. European Journal o f Social Psychology, 37, 494- 507.

Cramer, D. (1994). Self-esteem and Rogers’ core conditions in close friends: A latent variable path analysis of panel data. Counseling Psychology Quarterly, 7, 327-337.

Cramer, D. (2002). Linking conflictmanagement behaviours and relational satisfaction: The intervening role of conflict outcome satisfaction. Journal o f Social and Personal Relationship, 19, 425-432.

Cramer, D. (2003). Acceptance and need for approval as moderators of self-esteem and satisfaction with a romantic relationship or a closest friendship. Journal o f Psychology, 137, 495-505.

Cramer, P. (2007). Longitudinal study ofdefense mechanism: Late childhood to late adolescence. Journal o f Personality, 75,1-23.

Crandall, J. E. (1975). A scale for social interest. Individual Psychology, 31, 187-195.

Crandall, J. E. (1981). Theory andmeasurement o f social interest:Empirical test o f Alfred Adlers concept. New York: Columbia University Press.

Crews, F. (1995). The memory wars: Freud's legacy in dispute. New York: The New York Review of Books.

Crews, F. (1996). The verdict on Freud. Psychological Science, 7, 63-68.

Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: Thepsychological o f optimal experience. New York: Harper and Row.

Davidovitz, R., Mikulincer, M., Shaver, P.R., Izsak, R., 8c Popper, M. (2007). Leaders as attachment figures:Leaders’ attachment orientations predict leadership-related mental representations and followers’ performance and mental health. Journal o f Personality and Social Psychology, 93, 632-650.

De Zavala, A. G., 8c Van Bergh, A. (2007). Need for cognitive closure and conservative political beliefs: Differential mediation by personal worldviews. Political Psychology, 28, 587-608.

Digman, J. M. (1990). Personality structure: Emergence of the five-factor model. Annual Review o f Psychology, 41, 417- 440.

Dornic, S., & Ekehammer, B. (1990). Extraversion, Extraversion, neuroticsm, noise sensitivity. Personality and Individual Differences, 11, 989-992.

Doucet, C., 8c Stelmack, R. M. (2000). An event-related potential analysis of extraversion and individualdifferences in cognitive processing speed and response execution. Journal o f Personality and Social Psychology, 78, 956-964.

Dunne, C. (2000). Carl Jung: Wounded healer o f the soul. An illustrated biography. New York: Parabola Books.

Ellenberger, H. F. (1970). The discovery o f the unconscious. New York: Basic Books.

Elliot, A. J., 8c Thrash, T. M. (2002). Approach- avoidance motivation in personality:

Referensi

Approach and avoidance temperaments and goalsw. Journal o f Personality and Social Psychology, 82, 804-818.

Elms, A. C. (1981). Skinners dark year and Walden Two. American Psychologist,36, 470-479.

Elms, A. C. (1994). Uncovering lives: The uneasy alliance o f biography and psychology. New York: Oxford University Press.

Epstein, S. (1979). The stability of behavior: I. On predicting most of the people most of the time. Journal o f Personality and Social Psychology, 37, 1097-1126.

Epstein, S. (1980). The stability of behavior:II. Implications for psychological research. American Psychologist, 35, 790-806.

Erikson, E. H. (1950). Childhood and society. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1958). Young man Luther: A study in psychoanalysis and history. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and society (2nd ed.). New York: Norton.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1969). Gandhis truth: On the origins o f ilitant nonviolence. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1974). Dimensions o f a new identity: The 1973 Jefferson Lectures in the Humanities. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1975). Life history and thehistorical moment. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1977). Toys and reasons: Stages in the ritualization o f experience. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1980). Identity and the life cycle. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1982). The life cycle completed: A review. New York: Norton.

Erikson, E. H. (1985). Childhood and society (3rd ed.). New York: Norton.

Erikson, E. H. (1987). A way o f looking atthings: Selected papers o f Erik Erikson. (S. Schlein, Ed.). New York: Norton.

Erikson, E. H. (1989). Elements ofpsychoanalytic theory of psychosocial development. Dalam S. I. Greenspan &G. H. Pollock (Eds.), The course o f life, Vol. 1: Infancy (him. 15-83). Madison, CT: International Universities Press, Inc.

Erikson, E. H., Erikson,}. M., & Kivnick, H.Q. (1986). Vital involvement in old age. New York: Norton.

Evans, R. I. (1966). Dialogue with Erich Fromm. New York: Harper 8c Row.

Evans, R. I. (1967). Dialogue with ErikErikson. New York: Harper 8c Row.

Evans, R. I. (1989). Albert Bandura: The man and his ideas—A dialogue. New York: Praeger.

Eysenck, H. I. (1947). Dimensions o fpersonality. London: Routledge 8c Kegan Paul.

Eysenck, H. J. (1952a). The effects ofpsychotherapy: An evaluation. Journal o f Consulting Psychology, 16, 319-324.

Eysenck, H. J. (1952b). The structure o f human personality. London: Penguin.

Eysenck, H. I. (1953). Uses and abuses o f psychology. Baltimore: Penguin.

Eysenck, H. J. (1954). The psychology o fpolitics. London: Routledge 8c Kegan Paul.

Eysenck, H. J. (1956). Sense and nonsense in psychology. London: Penguin.

Eysenck, H. J. (1959). Manual fo r the Maudsley Personality Inventory. London: University of London Press.

Eysenck, H. J. (1962). Know your own IQ. London: penguin.

Eysenck, H. J. (1964). Crime and personality. Boston: Houghton Mifflin.

Eysenck, H. J. (1965). Fact and fiction in psychology. London: Penguin.

R-8 Referensi

Eysenck, H. J. (1967). The biological basis o f personality. Springfield, IL: Charles C Thomas.

Eysenck, H. J. (1971). The IQ argument. New York: Library Press. (British edition: Race, intelligence, and education. London: Maurice Temple Smith, 1971.)

Eysenck, H. J. (1972). Psychology is about people. London: Allen Lane.

Eysenck, H. J. (1976). Sex and personality. Austin: niversity of Texas Press.

Eysenck, H. J. (1977a). Personality andfactor analysis: A reply to Guilford. Psychological Bulletin, 84, 405-411.

Eysenck, H. J. (1977b). You and neurosis. London: Temple Smith.

Eysenck, H. J. (1980). An autobiography. Dalam G. Lindzey (Ed.), A history o f psychology in autobiography (Vol.7, him. 153-187). San Francisco: Freeman.

Eysenck, H. J. (Ed.). (1981). A model for personality. New York: Springer.

Eysenck, H. J. (1982). Personality, genetics and behavior: Selected papers. New York: Praeger.

Eysenck, H .}. (1983). Psychopharmacology and personality. Dalam W. Janke (Ed.), Response variability to psychotropic drugs (him. 127-154). Oxford, England: Pergamon Press.

Eysenck, H. J. (1988). Skinner, Skinnerism, and the Skinnerian in psychology. Special Issue: Stress counseling. Counseling Psychology Quarterly, 1, 299-301.

Eysenck, H. J. (1990). Biological dimensions of personality. Dalam L. A. Perviil (Ed.), Handbook o f personality: Theory and research (him. 244-276). New York: Guilford Press.

Eysenck, H. J. (1991a). Dimensions ofpersonality: 16, 5, or 3? Criteria for a

taxonomic paradigm. Personality and Individual Differences, 12, 773-790.

Eysenck, H. J. (1991b). Hans J. Eysenck:Maverick psychologist. Dalam C. E. Walker (Ed.), The history o f clinical psychology in autobiography (Vol.2, him. 39-86). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

Eysenck, H. J. (1991c). Personality as arisk factor in coronary heart disease. European Journal o f Personality, 5, 81-92.

Eysenck, H. J. (199Id). Smoking, personality and stress: Psychosocial factors in the prevention o f cancer and coronary heart disease. New York: Springer-verlag.

Eysenck, H. J. (1993). Creativity andpersonality: Suggestion for a theory. Psychological Inquiry, 4, 147-179.

Eysenck, H. J. (1994b). Normality-abnormality and the three-factor model. Dalam S. Strack & M. Lorr (Eds.), Differentiating normal and abnormal personality (him. 3-25). New York: Springer.

Eysenck, H. J. (1994c). Personality: Biological foundations. Dalam P. A. Vernon (Ed.), The neuropsychology o f individual differences (him. 151-207). San Diego, CA: Academic Press.

Eysenck, H. J. (1995). Genius: The natural history o f creativity. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Eysenck, H. J. (1996). Personality and cancer. Dalam C. L. Cooper (Ed.), Handbook o f stress, medicine, and health (him. 193-215). Boca Raton, FL: CRC Press.

Eysenck, H. J. (1997a). Personality and experimental psychology: The unification of psychology and the possibility of a paradigm. Journal o f Personality and Social Psychology, 73, 1224-1237.

Eysenck, H. J. (1997b). Rebel with a cause:The autobiography o f H. J. Eysenck

Referensi R-9

(Rev. ed.). New Brunswick: ransaction Publishers.

Eysenck, H. J. (1998a). Intellegence: A new look. New Brunswick: Truncation Publishers.

Eysenck, H. J. (1998b). Personality and crime. Dalam T. Millon., E. Simonsen, M. Birket-Smith, 8c R. D. Davis (Eds.), Psychopathy: Antisocial, criminal, and violent behavior (him. 40-49). New York: Guilford Press.

Eysenck, H. J. (1999). The psychology o f politics (Rev. Ed.). New Brunswick: Transaction Publishers.

Eysenck, H. J., 8c Coulter, T. (1972). Thepersonality and attitudes of working class British Communists and Fascist. Journal o f Social Psychology, 87, 59-73.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, M. W. (1985).Personality and individual differences:A natural science approach. New York: Plenum Press.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, S. B. G. (1964). Manual o f the Eysenck Personality Inventory. London: University of London Press.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, S. B. G. (1968). Manual fo r the Eysenck Personality Inventory. San Diego, CA: Educational and Industrial Testing Service.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, S. B. G. (1969).Personality structure and measurement. San Diego, CA: R. R. Knapp.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, S. B. G. (1975). Manual o f the Eysenck Personality Questionnaire (Junior and Adult). London: Hodder 8c toughton.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, S. B. G. (1976). Psychoticism as a dimension o f personality. London: Hodder 8c Staughton.

Eysenck, H. J., 8c Eysenck, S. B. G. (1993).'The Eysenck Personality Questionnaire- Revised. London: Hodder 8c Staughton.

Eysenck, H. J., 8c Grossarth-Maticek, R.(1991). Creative novation behavior therapy as a prophylactic treatment for cancer and coronary heart disease: Part II. Effects of treatment. Behaviour Research Therapy, 29, 17-31.

Eysenck, H. J., 8c Gudjonsson, G. (1989). The causes and cures o f criminality. New York: Plenum Press.

Eysenck, H. ]., 8c Nias, D. K. B. (1978). Sex, violence, and the media. New York: Harper 8c Row.

Eysenck, S. (1965). Manual fo r the Junior Eysenck Personality Inventory. San Diego, CA: Educational and Industrial Testing Service.

Eysenck, S. (1997). Psychoticism as adimension of personality. Dalam H. Nyborg (Ed.), The scientific study o f human nature: Tribute to Hans J. Eysenck at eighty (him. 109-121). Oxford, England: Pergamon Press.

Ferdern, E, (1988). Psychoanalysis: The fate of a science in exile. Dalam E. Timms 8c N. Segal (eds.), Freud in exile: Psychoanalysis and its vicissitudes (him. 156-162). New Haven, CT: yale University Press.

Feist, G. J. (1993). A structural model of scientific eminence. Psychological Science, 4, 366-371.

Feist, G. J. (1994). Personality and working style predictors of integrative complexity: A study of scientists’ thinking about research and teaching. Journal o f Personality and Social Psychology, 67, 474-484.

Feist, G. J., 8c Gorman, M. E. (1998).Psychology of science: Review and integration of a nascent discipline. Review o f General Psychology, 2, 3-47.

Feltham, C. (1996). Psychotheraphy’sstaunchest critic: An interview with Hans Eysenck. British Journal o f Guidance and Counseling, 24, 423-435.

R -10 Referensi

Fern, T. L. (1991). Identifying the gifted child humorist. Roeper review, 14, 30-34.

Ferris, R (1997). Dr. Freud: A life.Washington, DC: Counterpoint.

Ferster, C. B., & Skinner, B. F. (1957).Schedules o f reinforcement. New York: Appleton - Century - Crofts

Fiebert, M. S. (1997). Dalam and out of Freud s shadow: A chronology of Adlers relationship with Freud. Journal o f Individual Psychology, 53, 241-269.

Filbeck, G., Hatfield, R, & Horvarth, R (2005). Risk aversion and personality type. Journal o f Behavioral Science, 6, 170- 180.

Fischer, R, Greitemeyer, T., Kastenmuller, A., Jonas, E., & Frey, D. (2006). Coping with terrorism on mood and self- efficacy of intrinsically religious and nonreligious people. Personality and Social Psychology Bulletin, 32, 365-377.

Fransella, F. (1995). George Kelly. London: Sage.

Fransella, F., & Bannister, D. (1977). A manual fo r repertory grid technique. London: Academic Press.

Freud, A. (1946). The ego and the mechanisms o f defense. New York: International Universities Press.

Freud, S. (1900/1953). The interpretation of dreams. Dalam Standard edition (Vols. 4 & 5).

Freud, S. (1901/1953). On dreams. Dalam Standard edition (Vol. 5).

Freud, S. (1901/1960). Psychopathology of everyday life. Dalam Standard edition.

Freud, S. (1905/1953a). Fragment of ananalysis of a case of hysteria. Dalam Standard edition (Vol. 6).

Freud, S. (1905/1953b). Three essays on the theory of sexuality. Dalam Standard edition (Vol. 7).

Freud, S. (1905/1960). Jokes and their relation to the unconscious. Dalam Standard edition (Vol. 8).

Freud, S. (1905/2002). The joke and its relation to the unconscious. Diterjemahkan oleh Joyce Crick. London: Penguin Classics.

Freud, S. (1910/1957). Leonardo da Vinci and a memory of his childhood. Dalam Standard edition (Vol. 11).

Freud, S. (1911/1958). Formulations on the two principles of mental functioning. Dalam Standard edition (Vol. 12).

Freud, S. (1913/1953). Totem and taboo. Dalam Standard edition (Vol. 13).

Freud, S. (1914/1953). The Moses ofMichelangelo. Dalam Standard edition (Vol. 13).

Freud, S. (1914/1957). On narcissism: anintroduction. Dalam Standard edition (Vol. 14).

Freud, S. (1915/1957a). Instincts and their vicissitudes. Dalam Standard edition (Vol. 14).

Freud, S. (1915/1957b). The unconscious. Dalam Standard edition (Vol. 14).

Freud, S. (1917/1955a). A difficulty in the path of psycho-analysis. Dalam Standard edition (Vol. 17).

Freud, S. (1917/1955b). On transformations of instincts as exemplified in anal erotism. Dalam Standard edition (Vol. 17).

Freud, S. (1917/1963). Introductory lectures on psychoanalysis. Dalam Standard edition (Vols. 15 & 16).

Freud, S. (1920/1955a). Beyond the pleasure principle. Dalam Standard edition (Vol. 18).

Freud, S. (1922/1955b). The psychogenesis of a case of homosexuality in a woman. Dalam Standard edition (Vol. 18).

Freud, S. (1922/1955). Some neuroticmechanisms in jealousy, paranoia, and homosexuality. Dalam Standard edition (Vol. 18).

Freud, S. (1923/1961a). The ego and the id. Dalam Standard edition (Vol. 19).

Referensi R -ll

Freud, S. (1923/1961 b). The infantile genital organization: An interpolation into the theory of sexuality. Dalam Standard edition (Vol. 19).

Freud, S. (1924/1961). The dissolution of the Oedipus complex. Dalam Standard edition (Vol. 19).

Freud, S. (1925/1959). An autobiographical study. Dalam Standard edition (Vol.20).

Freud, S. (1925/1961). Some physical consequences of the anatomical distinction between the sexes. Dalam Standard edition (Vol. 19).

Freud, S. (1926/1959a). Inhibitions, symptoms and anxiety. Dalam Standard edition (Vol. 18).

Freud, S. (1926/1959b). The question of lay analysis. Dalam Standard edition ( Vol. 20).

Freud, S. (1931/1961). Female Sexuality.Dalam Standard edition (Vol. 20).

Freud, S. (1933/1964). New introductory lectures on psychoanalysis. Dalam Standard edition (Vol. 22).

Freud, S. (1960). Letters o f Sigmund Freud (E. L. Freud, Ed.; T. Stern & J. Stern, Trans.). New York: basic Books.

Freud, S. (1985). The complete letters o fSigmund Freud to Wilhelm Fliess, 1887- 1904 (J. M. Masson, Ed. And Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Freud, S., & Bullitt, W. C. (1967). ThomasWoodrow Wilson: A psychological study. Boston: Houghton Mifflin.

Frick, W. B. (1982). Conceptual foundations of self-actualization: A contribution to motivation theory. Journal o f Humanistic Psychology, 22, 33-52.

Friedman, L. J. (1999). Identity’s architect:A biography o f Erik H. Erikson. New York: Scribner.

Frois, J. P., & Eysenck, H. J. (1995). The visual Aesthetic Sensitivity Test applied to

Portuguese children and fine arts students. Creativity Research Journal, 8, 277-284.

Fromm, E. (1941). Escape from freedom. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Fromm, E. (1947). Man for himself: An inquiry into the psychology o f ethics. New York: Holt Rinehart and Winston.

Fromm, E. (1950). Psychoanalysis andreligion. New York, CT: Yale University Press.

Fromm, E. (1951). The forgotten language:An introduction to the understanding o f dreams, fairy tales and myths. New York: Rinehart.

Fromm, E. (1955). The sane society. New York: Holt Rinehart and Winston.

Fromm, E. (1956). The art o f loving. New York: Harper and Brothers.

Fromm, E. (1959). Sigmund Freud’s mission. New York: Harper & Brothers.

Fromm, E. (1961). Marx’s concept o f man. New York: Ungar.

Fromm, E. (1962). Beyond the chains o f illusion. New York: Simon and Schuster.

Fromm, E. (1963). The dogma o f Christ andother essays on religion, psychology, and culture. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Fromm, E. (1964). The heart o f man. New York: harper 8c Row.

Fromm, E. (1973). The anatomy o f human destructiveness. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Fromm, E. (1976). To have or be. New York: Harper 8c Row.

Fromm, E. (1981). On disobedience and other essays. New York: Seabury Press.

Fromm, E. (1986). For the love o f life (H. J. Schultz, Ed.; Robert Kimber 8c Rita Kimber, Trans.). New York: Free Press’. (Original work published 1972, 1974, 1975, 1983).

Referensi

Fromm, E. (1992). The revision o fpsychoanalysis. Boulder, CO: Westview Press.

Fromm, E. (1994). On being human. New York: Continuum.

Fromm, E. (1997).Love, sexuality, andmatriarchy: About gender. New York: Fromm International.

Fromm, E., & Maccoby, M. (1970). Social character in a Mexican village. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Gale, A. (1983). Electroencephalographicstudies o f extraversion-introversion: A case study in the psychophysiology o f individual differences.

Gallup, G., Jr. (2002). The 2001 Gallup poll: Public opinion. Washington, DC: Gallup.

Gay, P. (1988). Freud: A life fo r our time. New York: Norton.

Geen, R. G. (1984). Preferred stimulation levels in introverts and extraverts: Effects on arousal and performance. Journal o f Personality and Social Psychology, 46, 1303-1312.

Gendlin, E. T. (1988). Carl Rogers (1902- 1987). American Psychologist, 43, 127-128.

Gholson, B., Shadish, W. R., Neimeyer, R.A., & Houts, A. C. (Eds.). (1989). The psychology o f science: Contributions to metasciences. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Gibson, H. B. (1981). Hans Eysenck: The man and his work. London: Peter Owen.

Gleason, T. R., & Hohmann, L. M. (2006).Social provisions of real and imaginary relationship in early childhood. Social Development, 15, 128-144.

Goble, F. G. (1970). The third force: Thepsychology o f Abraham Maslow. New York: Grossman.

Gold, J. M., & Rogers, J. D. (1995). Intimacy and isolation: A validation study of

Eriksons theory. Journal o f Humanistic Psychology, 35(1), 78-86.

Goldberg, L. R. (1981). Language andindividual differences: The search for universal in personality and social psychology. Dalam L. Wheeler (Ed.), Review o f personality and social psychology (Vol. 2 him. 141-165). Beverly Hills, CA: Sage.

Goldenberg, J. L., Pyszczynski, T., Greenberg, J., Solomon, S., Kluck, B., & Cornwell, R. (2001). I am not an animal: Mortality salience, disgust, and the denial of human creatureliness. Journal o f Experimental Psychology: General, 130, 427-435.

Goldwert, M. (1992). The wounded healers: Creative illness in the pioneers o f depth psychology. Lanham, MD: University Press of America.

Govorun, O., Fuegen, K., & Payne, B. K.(2006). Stereotypes focus defensive projection. Personality and Social Psychology Bulletin, 32, 781-793.

Greever, K. B., Tseng, M. S., 8c Friedland, B.U. (1973). Development of the social interest index. Journal o f Consulting and Clinical Psychology, 41, 454-458.

Grey, L. (1998). Alfred Adler, the forgotten prophet: A vision fo r the 21st century. Westport, CT: Praeger.

Grice, J. W. (2004). Bridging the idiographic- nomothetic divide in ratings of self and others on the Big Five. Journal o f Personality, 74, 203-241.

Grice, J. W., Jackson, B. J., & McDaniel, B.L. (2006). Bridging the idiographic- nomothetic divide: A follow-up study. Journal o f Personality, 74, 1191-1218.

Grossarth-Maticek, R„ 8c Eysenck, H.J. (1989). Length of survival and lymphocyte percentage in women with mammary cancer as a function of psychotherapy. Psychological Reports,65, 315-321.

Grosskurth, P. (1986). Melanie Klein: Herworld and her work. New York: Knopf.

Referensi R-13

Grosskurth, P. (1998). Psychoanalysis: Adysfunctional family? The Journal o f Analytical Psychology, 43, 87-95.

Gurtman, M. R. (1992). Trust, distrust, and interpersonal problems: A circumplex analysis. Journal o f Personality and Social Psychology, 62, 989-1002

Haidt, J., McCauley, C. R., & Rozin, P.(1994). Individual differences in sensitivity to disgust: A scale sampling seven domains of disgust solicitors. Personality and Individual Differences, 16, 701-713.

Hall, E. (1983, Juni). A conversation with Erik Erikson. Psychology Today, 17, 22-30.

Hall, M. H. (1667, September). An interview with “Mr. Humanist”: Rollo May. Psychology Today, 1, 25-29, 72-73.

Hall, M. H. (1968, Juli). A conversation with Abraham Maslow. Psychology Today,22, 35-37, 54-57.

Hamer, D., 8c Copeland, P. (1998). Living with our genes. New York: Doubleday.

Handlbauer, B. (1998). The Freud-Adler controversy. Oxford, England: Oneworld.

Harper, M., 8c Schoeman, W .}. (2003).Influences of gender as a basic-level category in person perception on the gender belief system. Sex Roles, 49, 517-526.

Hart, J. J. (1982). Psychology of the scientist: XLVI. Correlation between theoretical orientation inpsychology and personality type. Psychology reports, 50, 795-801.

Hartshorne, H., & May, M. A. (1928). Studies in the nature o f character: Vol. 1.Studies in deceit. New York: Macmillan.

Haussdorff, D. (1972). Erich Fromm. New York: Twayne.

Havens, L. (1987). Approaches to the mind: Movement o f psychiatric schools from sects toward science. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Hayman, R. (2001). A life o f Jung. New York: Norton.

Hazan, C., 8c Shaver, P. R. (1987). Romantic love conceptualized as an attachment process. Journal o f Personality and Social Psychology, 52, 511-524.

Higgins, E. T. (1987). Self-discrepancy:A theory relating self and affect. Psychological Review, 94, 319-340.

Hillmann, J. (1985). Anima: An anatomy o f personified notion. Dallas, TX: Spring.

Hobson, A. A. (2004, Mei). Freud returns?Like a bad dream. Scientific American, 290, 89.

Hoffman, E. (1988). The right to be human:A biography o f Abraham Maslow. Los Angeles: Tarcher.

Hoffman, E. (1994). The drive fo r self: Alfred Adler and the founding o f individual psychology. Reading, MA: Addison- Wesley.

Holder, A. (1988). Reservations about the Standard Edition. Dalam E. Timms 8c N. Segal (Eds.), Freud in exile: Psychoanalysis and its vicissitudes (him. 210-214). New Haven, CT: Yale University Press.

Holland, J. (1973). Making vocational choices: A theory o f careers. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Horney, K. (1917/1968). The technique of psychoanalytic therapy. American Journal o f Psychoanalysis, 28, 3-12.

Horney, K. (1937). The neurotic personality o f our time. New York: Norton.

Horney, K. (1939). New ways inpsychoanalysis. New York: Norton.

Horney, K. (1942). Self-analysis. New York: Norton.

Horney, K. (1945). Our inner conflicts: A constructive theory o f neurosis. New York: Norton.

Horney, K. (1950). Neurosis and human growth: The struggle toward self- realization. New York: Norton.

R-14 Referensi

Homey, K. (1967). The flight fromwomanhood: The masculinity-complex in women as viewed by men and women. Dalam H. Kelman. (Ed.), Feminine psychology (him. 54-70).

Horney, K. (1987). Final lectures (d. H.Ingram, Ed.), new York: Norton.

Horney, K. (1994). Womans fear o f action. Dalam B. J. Paris, Karen Horney:A psychoanalysist’s earchfor self- understanding (him. 233-238). New Haven, CT: Yale University Press.

Hornstein, G. A. (2000). To redeem one person is to redeem the world: The life o f Frieda Fromm-Reichmann. New York: Free Press.

Hughes, J. M. (1989). Reshaping thepsychoanalytic domain: The work o f Melanie Klein, W. R. D. Fairbairn, andD. W. Winnicott. Berkeley: University of California Press.

Irigaray, L. (1986). This sex which is not one. Dalam H. Cixous 8c C. Clement (Eds.),’The newly born woman. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Isbister, J. N. (1985). Freud: An introduction to his life and work. Cambridge, England: Polity Press.

James, W. H. (1957). Internal versusexternal control o f reinforcement as a basic variable in learning theory. Unpublished doctoral dissertation. Ohio state University.

John, O. P. (1990). The “Big Five” factortaxonomy: Dimensions of personality in the natural language and In questionnaires. Dalam L. A. Pervin (Ed.), Handbook of personality:Theory and research (him. 66-100). New York: Guilford Press.

John, O. P., 8c Srivastava, S. (1999). The BigFive taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives. Dalam L. A. Pervin 8c O. P. John (Eds.), Handbook o f Personality: Theory and Research (him. 102-138). New York: Guilford Press.

Johnson, J. A., Germer, C. K., Efran, J. S., 8c Overton, W. F. (1988). Personality as the basis for theoretical predilections. Journal o f Personality and Social Psychology, 55, 824-835.

Jones, A., Crandall, R. (1986). Validation of a Short Index of Self-sctialization. Personality and Social Psychology Bulletin, 12, 63-73.

Jones, E. (1953, 1955, 1957). The life and work o f Sigmund Freud (Vols. 1-3). New York: Basic Books.

Jost, J. T., Glaser, J., Kruglanski, A. W.,8c Sulloway, F. J. (2003). Poltical conservatism as motivated social cognition. Psychological Bulletin, 129, 339-375.

Jung, C. G. (1916/1960). General aspects of dream psychology. Dalam H. read, M. Fordham, 8c G. Adler (Eds.) and R. F.C. Hull (Trans.), The collected works o fC. G. Jung (vol. 8). New York. Pantheon Books.

Jung, C. G. (1921/1971). Psychological types. Dalam Colected works (Vol. 6).

Jung, C. G. (1928/1960). On psychic energy.- Dalam Collected works (Vol. 8).

Jung, C. G. (1931/1954a). The aims ofpsychotherapy. Dalam Collected works (Vol. 16).

Jung, C. G. (193l/1954b). Problems of modern psychotherapy. Dalam Collected works (Vol. 16).

Jung, C. G. (1931/1960a). The stages of life. Dalam Collected works (Vol. 8).

Jung, C. G. (1931/1960b). The structure of the psyche. Dalam Collected works (Vol. 8).

Jung, C. G. (1934/1954a). The development of personality. Dalam Collected works (Vol. 17).

Jung, C. G. (1934/1959). Archetypes of the collective unconscious. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1934/1960). The soul and thedeath. Dalam Collected works (Vol. 8).

Referensi R-15

Jung, C. G. (1935/1968). The Tavistocklectures. Dalam Collected works (Vol. 18).

Jung, C. G. (1937/1959). The concept of the collective unconscious. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1939/1959). Conscious,unconscious, and individuation. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1943/1953). The psychology of the unconscious. Dalam Collected works (Vol. 7).

Jung, C. G. (1945/1953). The relationsbetween ego and the unsconcious. Dalam Collected works (Vol. 7).

Jung, C. G. (1948/1960a). Instinct and the unconscious. Dalam Collected works (Vol. 8).

Jung, C. G. (1948/1960b). On the nature of dreams. Dalam Collected works (Vol.8).

Jung, C. G. (1950/1959). Concerning rebirth. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1951/1959a). Aion: Researches into the phenomenology of the self. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 2).

Jung, C. G. (1951/1959b). The psychology of the child archetype. Dalam Collected works (vol 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1952/1956). Symbols oftransformation. Dalam Collected works (Vol. 5).

Jung, C. G. (1952/1968). Psychology and alchemy (2nd ed.). Dalam Collected works (Vol. 12).

Jung, C. G. (1954/1959a). Archetypes and the collective unconscious. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1954/1959b). Concerning the archetypes, with special reference to the anima concept. Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1954/1959c). Psychological aspects of the mother archetype.Dalam Collected works (Vol. 9, Pt. 1).

Jung, C. G. (1961). Memories, dreams,reflections (A. Jaffe, Ed.). New York: Random House.

Jung, C. G. (1964). Man and his symbols. Garden City, NY: Doubleday.

Jung, C. G. (1975). Letters: II. 1951-1961 (G. Adler 8c A Jaffe, Eds.) (R. F. C. Hull, Trans.) Princeton, NJ: Princeton University Press.

Jung, C. G. (1979). Word and image (A.Jaffe, Ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Jung, C. G., 8c Riklin, F. (1904/1973). Theassociations of normal subjects. Dalam Collected works (Vol. 2).

Kammrath, L. K., Mendoza-Denton, R., Mischel, W. (2005). Incorporating if . . . then ... personality signatures in person perceptions: Beyond the person-situation dichotomy. Journal o f Personality and Social Psychology, 88, 605-618.

Kandel, E. R. (1999). Biology and the future of psychoanalysis: A new intellectual framework for psychiatriy revisited. American Journal o f Psychiatry, 156, 505-534.

Kasler, J., 8c Nevo, O. (2005). Earlyrecollections as predictors of study area choice. Journal o f Individual Psychology, 61, 217-232.

Kelly, G. A. (1955). The psychology o f personal constructs (Vols. 1 dan 2). New York: Norton.

Kelly, G. A. (1963). A theory o f personality:The psychology o f personal constructs. New York: Norton.

Kelly, G. A. (1969a). The autobiography of a theory. Dalam B. Maher (Ed.), Clinical psychology and personality: The. selected papers o f George Kelly (him. 46-65). New York: Wiley.

Kelly, G. A. (1969b). Man’s contruction of his alternatives. Dalam B. Maher (Ed.), Clinical psychology and personality: The selected papers o f George Kelly (him. 66- 93). New York: Wiley.

R-16 Referensi

Kelly, G. A. (1970). A brief introduction to personal construct theory. DalamD. Bannister (Ed.), Perspectives in personal contruct theory.. Lndon: Academic Press. Also in J. C. mancuso (Ed.), Readings fo r a cognitive theory o f personality. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Kelly, G. A. (1980). A psychology of theoptimal man. Dalam A. W. Landfield & L. M. Leitner (Eds.), Personal construct psychology: Psychotherapy and personality. New York: Wiley.

Kelly, G. A. (1991). The psychology o f personal constructs (Vols. 1 dan 2). London: Routledge. (original work published 1955).

Keys, A., Brozek, J., Henschel, A., Mickelsen, O., & Taylor, H. L. (1950). The biology o f human starvation (Vols. 1 dan 2). London: Routledge. (Original work published 1955).

King, P., 8c Steiner, R. (Eds.). (1991). TheFreud-Klein controversies 1941-1945. London: Tavistock/Routledge.

Kissen, D. M., & Eysenck, H. J. (1962). Personality in male lung cancer patients. Journal o f Psychosomatic Research, 6, 123-137.

Klein, M. (1930/1964) The importance ofsymbol-formation in the development of the ego. Dalam M. Klein, Contribution to psycho-analysis. 1921-1945 (him. 236-250). New York: McGraw-Hill.

Klein, M. (1932). The psycho-analysis o f children. London: Hogarth Press.

Klein, M. (1933/1964). The early development of conscience in the child. Dalam M. Klein, Contributions to psycho-analysis, 1921-1945 (him. 267-277). New York: McGraw-Hill.

Klein, M. (1935/1980). A contribution to the psychogenesis of manic-depressive states. Dalam J. Mitchell (Ed.), The selected Melanie Klein (him. 145-166). New York: Free Pass.

Klein, M. (1943/1991). Memorandum on her technique by Melanie Klein. Dalam P. King 8c R. steiner (Eds.), The Freud- Klein controversies 1941-45 (him. 635- 638). London: Tavistock/Routledge.

Klein, M. (1945/1984). The Oedipus complex in the light of early anxieties. Dalam M. Klein, Love, guilt, and reparation and other works, 1921-1945 (him. 370- 419). New York: Macmillan.

Klein, M. (1946/1975). Notes on some schizoid mechanism. Dalam M. klein, Envy and gratitude and other works, 1946-1963 (him. 1-24). New York: delta Books.

Klein, M. (1948). Contributions to psycho­analysis, 1921-45. London: Hogarth.

Klein, M. (1952). Envy and gratitude. London: Tavistock.

Klein, M. (1955/1980). The psycho-analytic play technique: Its history and significance. Dalam J. Mitchell (Ed.), The selected Melanie Klein (him. 35- 54). New York: Free Pass.

Klein, M. (1959/1984). Our adult world and its roots in infancy. Dalam M. Klein, Envy and gratitude and other works, 1946-1963 (him. 247-263). New York: macmillan.

Klein, M. (1991). The emotional life and ego- development of the infant with special reference to depressive position. Dalam P. King 8c R. Steiner (Eds.), The Freud- Klein controversies 1941-45 (him. 752- 797). London: Tavistock/Routledge.

Knapp, G. P. (1989). The art o f living: Erich Fromms life and works. New York:Peter Lang.

Kohut, H. (1971). The analysis o f the self: Asystematic approach to the treatment o f narcissistic personality disorders. New York: International Universities Press.

Kohut, H. (1977). The restoration o f the self. New York: International Universities Press.

Kohut, H. (1987). The Kohut Seminars on self psychology and psychotherapy with

Referensi | R-17

adolescents and young adults (m. Elson, Ed.), new York: Norton.

Krausz, E. O. (1994). Freuds devaluation of women. Individual Psychology: Journal o f Adlerian Theory, Research and Practice, 50, 298-313.

Kurzweil, E. (1989). The Freudians: Acomparative perspective. New haven,CT: Yale University Press.

Laird, T. G., & Shelton, A. J., (2006). From an Adlerian perspective: Birth order, dependency, and binge drinking on ahistorically black university campus, Journal o f Individual Psychology, 62, 18-35.

Landis, B., & Tauber, E. S. (1971). Erich Fromm: Some biographical notes. Dalam B. landis & E. S. tauber (Eds.),In the name o f life: Essays in honor o f Erich Fromm. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Lewis-Harter, S., Erbes, C. R., & Hart, C.C. (2004). Content analysis of the personal constructs of female sexual abuse survivors elicited through repertory grid technique. Journal o f Constructivist Psychology, 17, 27-43.

Liao, F., 8c Fan, P. (2003). Discrepancy of self-concepts and mental health of college students. Chinese Mental Health Journal, 17, 117.

Loehlin,}. C. (1992). Genes and environment in personality development. Newbury Park, CA: Sage.

Lowes, I., & Tiggeman, M. (2003). Body dissatisfaction, dieting awareness and the impact of parental influence in young children. British Journal o f Health Psychology, 8 ,135-147.

Lowry, R. J., (1973). A. H. maslow: Anintellectual portrait. Monterey, CA: Brooks/Cole.

Lyubomirsky, S., King, L., 8c Diener, E. (2005). The benefits of frequents positive affect: Does happiness lead to success? Psychological Bulletin, 131, 803-855.

Lyubomirsky, S., Sousa, L., 8c Dickerhodf,R. (2006). The costs and benefits of writing, talking, and thinking about life’s thriumphs and defeats. Journal o f Personality and Social Psychology, 90, 692-708.

Maddi, S. R., 8c Costa, P. T., Jr. (1972).Humanism in personality: Allport, Maslow and Murray. Chicago: Adline.

Mahler, M. S. (1952). On child psychosis and schizophrenia: Autistic and symbiotic infantile psychoses. Psychoanalytic Study o f the Child, 7, 286-305.

Mahler, M. S. (1967). On human symbiosis and the vicissitudes of individuation. Journal o f the American Psychoanalytic Association, 15, 740-762.

Mahler, M. S. (1972). On the first three subphases of the separation- individuation process. International Journal o f Psycho-Analysis, 53, 333-338.

Mahler, M. S., Pine, F., 8c Bergman, A. (1975). The psychological birth o f the human infant. New York: Basic Books.

Martin, L. R., Friedman, H. S., 8c Schwartz,J. E. (2007). Personality and mortality risk across the life span: The importance of conscientiousness as a biopsychosocial attribute. Health Psychology, 26, 428-436.

Marusic, A., Gudjonsson, G. H., Eysenck, H.J., 8c Stare, R. (1999). Biological and psychosocial risk factors in ischaemic heart disease: Empirical findings and a biopsychosocial model. Personality and Individual Differences, 26, 286-304.

Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50, 370-304.

Maslow, A. H. (1950). Self-actualizing people: A study of psychological health. Personality Symposia. Symposium #1 on Values (him. 11-34). New York: Grune 8c Stratton.

Maslow, A. H. (1962). Was Adler a disciple of Freud? A note. Journal o f Individual Psychology, 18, 125.

Referensi

Maslow, A. H. (1964). Religions, values, and peak-experiences. Columbus: Ohio State University Press.

Maslow, A. H. (1966). The psychology o f science. New York: Harper & Row.

Maslow, A. H. (1967). A theory ofmetamotivation: The biological rooting of the value-life. Journal o f Humanistic Psychology, 7(2), 93-127.

Maslow, A. H. (1968a). Self-actualization[Film]. Santa ana, CA: Psychological Films.

Maslow, A. H. (1968b). Toward a psychology o f being (2nd ed.). new York: Van Nostrand.

Maslow, A. H. (1970). Motivation and personality (2nd ed.). New York:Harper & Row.

Maslow, A. H. (1971). The farther reaches o f human nature. New York: Viking.

Maslow, A. H. (1979). rThe journals o f A. H. Maslow (Vols. 1-2). (R. J. Lowry, Ed.). Monterey, CA: Brooks/Cole.

Maslow, A. H. (1996). Higher motivation and the new psychology. DalamE. Hoffman (Ed.), Future visions: the unpublished papers o f Abraham Maslow. Thousand oaks, CA: Sage.

Masters, K. S., Lensegrav-Benson, T. L., Kircher, J. C., 8c Hill, R. D. (2005). Effects of religious orientation and gender on cardiovascular reactivity among older adults. Research on Aging, 27, 221-240.

May, R. (1950). The meaning o f anxiety. New York: Ronald Press.

May, R. (1953). Mans search fo r himself. New York: Norton.

May, R. (1958a). Contributions of existential psychotherapy. Dalam R. May, E. angel, 8c H. F. Ellenberger (eds.), Existence:A new dimension in psychiatry and psychology (him. 37-91). New York: Basic Books.

May, R. (1962). Dangers in the relation ofexistentialism to psychotherapy. Dalam

H. M. Ruitenbeek (Ed.), Psychoanalysis and existential philosophy. New York: Dutton.

May, R. (1967). Psychology and the humandilemma. Princeton, NJ: van Nostrand.

May, R. (1969a). The emergence of existential psychology. Dalam R. may (Ed.), Existential psychology (2nd ed., him. 1-48). New York: Random House.

May, R. (1969b). Love and will. New York: Norton.

May, R. (1972). Power and innocence: A search fo r the sources o f violence. New York: Norton.

May, R. (1981). Freedom and destiny. New York: Norton.

May, R. (1982). The problem of evil: Anopen letter to Carl Rogers. Journal o f Humanistic Psychology, 22(3), 10-21.

May, R. (1990a). The meaning of the Oedipus myth. Review o f Existential Psychology and Psychiatry, 1986-87. [Special Issue], 20, 169-177.

May, R. (1990b). On he phenomenological bases of therapy. Dalam K. Hoeller (Ed.), Readings in existential psychology & psychiatry (him. 49-61). Seattle, WA: Review of Existential Psychology 8c Psychiatry.

May, R. (1991). The cyfor myth. New York: Norton.

May, R., Angel, E., 8c Ellenberger, H. F. (Eds.). (1958). Existence: A new dimension in psychiatry and psychology. New York: Basic Books.

May, R., 8c Yalom, I. (1989). Existentialpsychotherapy. Dalam R .}. Corsini & D. Wedding (Eds.), Cuerrent psychotherapies (him. 354-391). Itasca, IL: Peacock.

McAdams, D. P., 8c de St. Aubin, E. (1992). Personal narratives and the life story. Dalam L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook o f personality: Theory and research (him. 478-500). New York: Guilford Press.

Referensi R-19

McCrae, R. R. (2002). NEO-PI-R data from 36 cultures: Further intercultural comparisons. Dalam R. R. McCrae &J. Allik (Eds.), The Five-Factor Model o f personality across cultures (him. 105- 125). New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.

McCrae, R. R., 8c Allik, J. (Eds.). (2002). The Five-Factor model o f personality across cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.

McCrae, R. R., & Costa, P. T., Jr. (1984).Emerging lives, enduring dispositions: Personality in adulthood. Boston: Little, Brown.

McCrae, R. R., 8c Costa, P. T., Jr. (1985).Compaarison of EPI and Psychoticism scales with measures of the Five-Factor model of personality. Personality and Individual Differences, 6, 587-597.

McCrae, R. R., 8c Costa, P. T., Jr. (1989). Reinterpreting the Myers-Briggs Type Indicator from the perspective of the Five-Factor model. Journal o f Personality, 57, 17-40.

McCrae, R. R., 8c Costa, P. T„ Jr. (1996).Toward a new generation of personality theories: Theoretical contexts for the Five-Factor model. Dalam J. S. Wiggins (Ed.), The Five-Factor model o f personality: Theoretical perspectives (him. 51-87). New York: Guilford Press.

McCrae, R. R., 8c Costa, P. T., Jr. (1999). A Five-Factor theory of personality. Dalam L. A. Pervin 8c O. P. John (Eds.), Personality theory and research (him. 139-153). New York: Guilford Press.

McCrae, R. R., 8c Costa, P. T., Jr. (2003).Personality in adulthood: A five-factor theory perspective (2nd ed.). New York: Guilford Press.

McCrae, R. R., 8c John, O. P. (1984). Anintroduction to the five-factor model and its applications. Journal o f Personality, 60, 175-215.

McGuire, W. (Ed.). (1974). The Freud/Jung letters: The correspondence between

Sigmund Freud and C. G. Jung (R. Manheim 8c R. F. C. Hull, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

McGuire, W., 8c McGlashan, A. (Eds.).(1994). The Freud/Jung letters: The correspondence between Sigmund Freud and C. G. Jung (abridge ed.)(R. Manheim 8c R. F. C. Hull, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

McLynn, F. (1996). Carl Gustav Jung. New York: St. Martins Press.

McNiel, J. M., 8c Fleeson, W. (2006). The causal efects of extraversion on positive affect and neuroticism on negative effect: Manipulating state extraversion and state neuroticism in an experimental approach. Journal o f Research in Personality, 40, 529-550.

Mendoza-Denton, R., Ayduk, O., Mischel,W., Shoda, Y., 8c Testa, A. (2001). Person-situation interactionism in self-encoding (I am ... when ...): Implications for affect regulation and social information processing. Journal o f Personality and Social Psychology, 80, 533-544.

Menninger, K. A. (1920). The human mind. New York: Knopf.

Midlarsky, E., Fagin Jones, S., 8c Corley, R. P.(2005). Personality correlates of heroic rescue during the holocaust. Journal o f Personality, 63, 907-934.

Milton, J. (2002). The road to malpsychia: Humanistic psycholy and our discontents. San Francisco: Encounter Books.

Mischel, H. N., 8c Mischel, W. (Eds.). (1973). Readings in personality. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Mischel W. (1958). Preference for delayedreinforcement: An experimental study of cultural observation. Journal o f Abnormal and Social Psychology, 56, 57-61.

Referensi

Mischel, W. (1961a). Delay of gratification,need for achievement, and acquiesce in another culture. Journal o f Abnormal and Social Psychology, 62, 543-552.

Mischel, W. (1961b). Preference for delayed reinforcement and social reponsibility. Journal o f Abnormal and Social Psychology, 62, 1-7.

Mischel, W. (1965). Predicting success of Peace Corps volunteers in Nigeria. Journal o f Personality and Social Psychology, 1, 510-517.

Mischel, W. (1968). Personality and assessment. New York: Wiley.

Mischel, W. (1971). Introduction topersonality. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Mischel, W. (1973). Toward a cognitivesocial learning reconceptualization of personality. Psychological Review, 80,252-283.

Mischel, W. (1976). Introduction to personality (2nd ed.) New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Mischel, W. (1979). On the interface of cognition and personality: Beyond the person-situated debate. American Psychologist, 34, 740-754.

Mischel, W. (1990). Personality dispositionsrevisited and revised: A view after three decades. Dalam L. A. Pervin (Ed.), Handbook o f personality: Theory and research (him. 111-134). New York: Guilford Press.

Mischel, W. (1999). Personality coherence and dispositions in a cognitive-affective personality systems (CAPS) approach. Dalam D. Cervone & Y. Shoda (Eds.), The coherence o f personality: Social-cognitive bases o f consistency, variability, and organization (him. 37- 66). New York: Guilford Press.

Mischel, W. (2004). Toward an integrativescience of the person. Annual Review o f Psychology, 55, 1 -22.

Mischel, W., 8c Ayduk, O. (2002). Self­regulation in a cognitive-affective personality system: Attentional control in the service of the self. Self and Identity, 1, 213-220.

Mischel, W., Cantor, N., 8c Feldman, S. (1996). Principles of self-regulation: The nature of willpower and self-control. Dalam E. T. Higgins 8c A. W. Kruglanski (Eds.), Social psychology: Handbook o f basic principles (him. 329-360). New York: Guilford Press.

Mischel, W., 8c Ebbesen, E. B. (1970).Attention in delay of gratification. Journal o f Personality and Social Psychology, 16, 329-337.

Mischel, W., Ebbesen, E. B., & Zeiss, A. R. (1972). Cognitive and attentional mechanism in delay of gratification. Journal o f Personality and Social Psychology, 21, 204-218.

Mischel, W., 8c Mischel, H. N. (1976). Acognitive social learning approach to morality and self-regulation. Dalam T. Lickona (Ed.), Moral development and behavior: Theory, research, and social issue. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Mischel, W., 8c Mischel, H. N. (1983).Development of children’s knowledge of self-control strategies. Child Development, 54 ,603-619.

Mischel, W., 8c Moore, B. (1973). Effects of attention to symbolically presented rewards upon self-control. Journal o f Personality and Social Psychology, 28, 172-179.

Mischel, W., 8c Shoda, Y. (1995). A cognitive- affective system theory of personality: Reconceptualizing situations, dispositions, dynamics, and invariance in personality structure. Psychological review, 102, 246-268.

Mischel, W., 8c Shoda, Y. (1998). Reconciling processing dynamics and personality dispositions. Annual Review o f Psychology, 49, 229-258.

Referensi

Mischel, W., 8c Shoda, Y. (1999). Integrating dispositions and processing dynamics within a unified theory of personality: The cognitive-affective personaliity system. Dalam L. A. Pervin & O. P.John (Eds.), Handbook o f personality: Theory and research (him. 197-218). New York: Guilford Press.

Mischel, W., Shoda, Y., & Mendoza-Denton,R. (2002). Situation-behavior profiles and a locus of consistency in personality. Current Directions in Psychological Science, 11, 50-54.

Mischel, W., & Staub, E. (1965). Effects ofexpectancy on working and waiting for larger rewards. Journal o f Personality and Social Psychology, 2, 625-633.

Mitchell, S. A., 8c Black, M. J. (1995). Freud and beyond: A history o f modern psychoanalytic thought. New York:Basic Books.

Moghaddam, F. M., & Marsella, A. J., (Eds.).(2004). Understanding terrorism: Psychosocial roots, consequences, and interventions. Washington, DC: American Psychological Association.

Mosak, H., & Maniacci, M. (1999). A primer o f Adlerian psychology: The analytiic- behavioral-cognitive psychology o f Alfred Adler. Philadephia: Brunner/ Mazel.

Murray, H. A. (1938). Explorations in personality. New York: Oxford University Press.

Myers, I. B. (1962). Myers-Briggs Type Indicator Manual. Princeton, NJ: Educational Testing Service.

Neimeyer, R. A., 8c Neimeyer, G. J. (Eds.).(1995). Advances in Personal Construct Psychology (Vol. 3). Greenwich, CT: JAI Press.

Newton, P. M. (1995). Freud: From youthful dream to mid-life crisis. New York: Guilford Press.

Noftle, E. E., 8c Robins, R. W. (2007).Personality predictors of academic outcomes: Big Five correlates of GPA

and SAT scores. Journal o f Personality and Social Psychology, 93, 116-130.

Noland, R. W. (1999). Sigmund Freud revisited. New York: Twayne.

Noll, R. (1994). The Jung cult: Origins o f acharismatic movement. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Norman, W. T. (1963). Toward an adequate taxonomy of personality attributes. Replicated factor structure in peer nomination personality ratings, journal o f Abnormal and Social Psychology, 66,574-583.

Oesterreich, D. (2005). Flight into security:A new approach and measure of the authoritarian personality. Political Psychology, 26, 275-297.

Ogden, T. H. (1990). The matrix o f the mind: Object relations and the psychoanalytic dialogue. Northvale, NJ: Aronson.

O’Hara, M. (1995). Carl Rogers: Scientist and mystic. Journal o f Humanistic Psychology, 35, 40-53.

Oliner, S. P., 8c Oliner, P. M. (1988). Thealtruistic personality: Rescuers o f Jews in Nazi Europe. New York: Free Press.

Paris, B. J. (1994). Karen Horney: A psychoanalyst’s search fo r self- understanding. New Haven, CT: Yale University Press.

Perry, H. S. (1982). Psychiatric o f America: The life o f Harry Stack Sullivan. Cambridge, MA: Belknap Press.

Pervin, L. A. (1999). Epilogue: Constancyand change in personality theory and research. Dalam L. A. Pervin 8c O. P. (Eds.), Handbook o f personality: Theory and research (him. 609-704). New York: Guilford Press.

Peterson, B. E. (2006). Generativity andsuccessful parenting: An analysis of young adult outcomes. Journal o f Personality, 74, 847-869.

Petot, J-M. (1990). Melanie Klein. Vol. 1. First discoveries and first system: 1919- 1932 (C. Trollop, Trans.). Madison,

R-22 Referensi

CT: International Universities Press. (Original work published 1979).

Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2006). A rneta- analytic test of intergroup contact theory. Journal o f Personality and Social Psychology, 90, 751-783.

Phares, E. J. (1955). Changes in expectancy in skill and chance situations. Unpublished doctoral dissertation. Ohio State University.

Phillips, A. G., & Silvia, P. J. (2005). Self- awareness and the emotional consequences of self-discrepansies. Personality and Social Psychology Bulletin, 31, 703-713.

Pickering, A. D., & Gray, J. A. (1999). The neuroscience of personality. Dalam L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook o f personality theory and research (him. 277-299). New York: Guilford Press.

Pincus, J. H. (2001). Base instincts: What makes killers kill? New York: W. W. Norton.

Plomin, R., & Caspi, A. (1999). Behavioral genetics and personality. Dalam L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook o f personality theory and research (him. 251-276). New York: Guilford Press.

Poortinga, Y., Van de Vijver, F. J. R., & van Hemert, D. A. (2002). Cross-cultural equivalence of the Big Five. Dalam R. R. McCrae & J. Allik (Eds.), The Five-Factor Model o f personality across cultures (him. 281-302). New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Popper, M„ & Mayseless, O. (2003). Back to basic: Applying a parenting perspective to transformational leadership. Leadership Quarterly, 14, 41-65.

Powell, L. H., Shahabi, L., & Thoresen, C.E. (2003). Religion and spirituality: Linkages to physical health. American Psychologist, 58, 36-52.

Praamstra, P., 8c Seiss, E. (2005). The neurophysiology of response competition: Motor cortex activation

and inhibition following subliminal response priming. Journal o f Cognitive Neuroscience, 17, 483-493.

Pratt, M. W., Norris, J. E., Arnold, M. L„ 8c Filyer, R. (1999). Generativity and moral development as predictors of value-socialization narratives for young persons across the adult life span:From lessons learned to stories shared. Psychology and Aging, 14, 414-426.

Quinn, S. (1987). A mind of her own: The life of Karen Horney. New York: Summit Books.

Rabinowitz, F. E., Good, G., 8c Cozad, L.(1989). Rollo May: A man of meaning and myth. Journal o f Counseling and Development, 67, 436-441.

Raine, A., Buchsbaum, M., & LaCasse,L. (1997). Brain abnormalities in murderers indicated by positron emission tomography. Biological Psychiatry, 42, 495-508.

Rattner, J. (1983). Alfred Adler (H. Zohn, Trans.). New York: Frederick Ungar.

Reiss, S., 8c Havercamp, S. M. (2005).Motivation in developmental context:A new method for studying self- actualization. Journal o f Humanistic Psychology, 45, 41-53.

Rholes, W. S., Simpson, J. A., Tran, S., Martin III, A M., & Friedman, M. (2007). Attachment and information seeking in romantic relationships. Personality and Social Psychology Bulletin, 33, 422-438.

Roazen, P. (1993). Meeting Freuds family.Amherst: University of Massachusetts Press.

Roazen, P. (1995). How Freud worked: First­hand accounts o f patients. Lanham,MD: Jason Aronson.

Roazen, P. (1996). Erich Fromms courage. Dalam M. Cortina & M. Maccoby (Eds.), A prophetic analyst: Erich Fromms contribution to psychoanalysis (him. 427-453). Northvale, NJ:Aronson.

Referensi | R-23

Robinson, M. D„ & Clore, G. L. (2007). Traits, states, and encoding speed: Support for a top-down view of neuroticism/state relations. Journal o f Personality, 75, 95-120.

Robinson, M. D., & Clore, G. L. (2007).Neurotic contentment: A self-regulation view o f neuroticism linked distress. Emotion, 7, 579-591.

Rogers, C. R. (1939). The clinical treatment o f the problem child. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, C. R. (1942). Counseling andpsychotherapy: Newer concepts in practice. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, C. R. (1947). Some observations on the organization of personality. American Psychologist, 2, 358-368.

Rogers, C. R. (1951). Client-centered therapy: Its current practice, implications, and theory. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, C. R. (1953). A concept o f the fully functioning person. Unpublished manuscript, University of Chicago Counseling Center, Chicago.

Rogers, C. R. (1954). Introduction. Dalam C. R. Rogers 8c R. F. Dymond (Eds.), Psychotherapy and personality change: Co-ordinated research studies in the client-centered approach (him. 3-11). Chicago: University of Chicago Press.

Rogers, C. R. (1957). The necessary andsufficient conditions of therapeutic personality change. Journal o f Consulting Psychology, 21, 95-103.

Rogers, C. R. (1959). A theory of therapy, personality, and interpersonal relationships, as developed in the client-centered framework. Dalam S. Koch (Ed.), Psychology: A study o f a science (Vol. 3). New York: McGraw- Hill.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person:A therapists view o f psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, C. R. (1962). Toward becoming a fully functioning person. DalamA. W. Combs (Ed.), Perceiving, behaving, becoming: Yearbook (him. 21-33). Washington, DC: Association for Supervision and Curriculum Development.

Rogers, C. R. (1963). The concept of the fully functioning person. Psychotherapy: Theory, Research, and Practice, 1(1), 17-26.

Rogers, C. R. (1968). Some thoughts regarding the current presuppositions of the behavioral sciences. Dalam W. R. Coulson 8c C. R. Rogers (Eds.), Man and the science o f man. Columbus, OH: Merril.

Rogers, C. R. (1973). My philosophy ofinterpersonal relationships and how it grew. Journal o f Humanistic Psychology, 13, 3-15.

Rogers, C. R. (1978). The formative tendency. Journal o f Humanistic Psychology,18(1), 23-26.

Rogers, C. R. (1980). A way o f being. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, C. R. (1982). Notes on Rollo May. Journal o f Humanistic Psychology,22(3), 8-9.

Rogers, C. R. (1983). Freedom to learn fo r the 80’s. Columbus, OH: Merril.

Rogers, C. R. (1986). Carl Rogers on the development of the person-entered approach. Person-Centered Review, 1, 257-259.

Rogers, C. R. (1995). What understandingand acceptance mean to me. Journal o f Humanistic Psychology, 35, 7-22.

Rogers, C. R., & Dymond, R. F. (Eds.). (1954). Psychotherapy and personality change: Co-ordinated research studies in the client-centered approach. Chicago: University of Chicago Press.

Rogers, C. R., Gendlin, E., Kiesler, D., & Truax, C. (Eds.). (1967). The therapeutic relationships and its impact: A study

R-24 Referensi

o f psychotherapy with schizophrenics. Madison: University of Wisconsin Press.

Rogers, C. R., 8c Skinner, B. F. (1956). Some issues concerning the control of human behavior. Science, 124, 1057- 1066.

Rose, A. J. (2002). Co-rumination in the friendships of girls and boys. Child Development, 73, 1830-1843.

Rose, A. J., Carlson, W., 8c Waller, E. M.(2007). Prospective associations of co-rumination with friendship and emotional adjustment: Considering the socioemotional trade-offs of co­rumination. Developmental Psychology, 43, 1019-1031.

Rose, A. J., 8c Rudolph, K. D. (2006). A review of sex differences in peer relationships processes: Potential trade-offs for the emotional and behavioral development of girls and boys. Psychological Bulletin, 132, 98-131.

Rotter, J. B. (1954). Social learning and clinical psychology. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Rotter, J. B. (1964). Clinical psychology.Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs, 80 (Whole No. 609).

Rotter, J. B. (1967). A new scale for hemeasurement of the interpersonal trust. Journal o f Personality, 35, 651 - 665.

Rotter, J. B. (1970). Some implications o f asocial learning theory fo r the practice o f psychotherapy. Dalam D. J. Lewis (Ed.), Learning approaches to therapeutic behavior change. Chicago: Aldine.

Rotter, J. B. (1975). Some problems andmisconceptions related to the contruct of internal vs. external control of reinforcement, journal o f Consulting and Clinical Psychology, 43, 56-67.

Rotter, J. B. (1978). Generalized expectancies for problem solving and psychotherapy. Cognitive Therapy and Research, 2 ,1-10.

Rotter, J. B. (1980). Interpersonal trust, trustworthiness, and gullibility. American Psychologist, 35, 1-7.

Rotter, J. B. (1982). The development andapplications o f social learning theory: Selected papers. New York: Praeger.

Rotter, J. B. (1990). Internal versus external control of reinforcement: A case history of a variable. American Psychologist, 45, 489-493.

Rotter, J. B. (1992). Cognates of personalcontrol: Locus of control, self-efficacy, and explanatory style: Comment. Applied and Preventive Psychology, 1, 127-129.

Rotter, J. B. (1993). Expectancies. Dalam C.E. Walker (Ed.), The history o f clinical psychology in autobiography (Vol. 2, him. 273-284). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole

Rotter, J. B., Chance, J. E., 8c Phares, E. J.(1972). Applications o f a social learning theory o f personality. New York: Holt, Rhinehart and Winston.

Rotter, J. B., 8c Hochreich, D. J. (1975). Personality. Glenview, IL: Scott, Foresman.

Rowan, D. G., Compton, W. C., 8c Rust, J. O.(1995). Self-actualization and empathy as predictors of marital satisfaction. Psychological Reports, 77, 1011-1016.

Rudikoff, E. C. (1954). A comparative study of the changes in the concepts of the self, the ordinary persons, and the ideal in eight cases. Dalam C. R. Rogers 8c R. F. Dymond (Eds.), Psychotherapy and personality change: Co-ordinated research studies in the client-centered approach (him. 85-89). Chicago: University of Chicago Press.

Runco, M. A., Ebersole, P., 8c Mraz, W. (1991). Creativity and self-actualization. Journal o f Social Behavior and Personality, 6, 161-167.

Referensi | R-25

Sacco, W. P., Wells, K.J., Friedman, A.,Matthew, R., Perez, S., & Vaughan,C.A. (2007). Adherence, body mass index, and depression in adults with type 2 diabetes: The meditational role of diabetes symptoms and self-efficacy. Health Psychology, 26, 693-700.

Sartre, J. P. (1957). Existentialism and human emotions. New York: Wisdom Library.

Savill, G. E., & Eckstein, D. G. (1987).Changes in early recollections as a function of mental status. Individual Psychology, 43, 3-17.

Sayers,}. (1991). Mothers o f psychoanalysis: Helene Deutsch, Karen Horney, Anna Freud, Melanie Klein. New York: Norton.

Schacter, D. L. (1987). Implicit memory:History and current status. Journal o f Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 13, 501-518.

Schneider, B. (1987). The people make the place. Personnel Psychology, 40, 437-453.

Schur, M. (1972). Freud: Living and dying.New York: International Universities Press.

Schwartz, S. !„ & Waterman, A. S. (2006).Changing interest: A longitudinal study of intrinsic motivation for personality salient activities. Journal o f Research in Personality, 40, 1119-1136.

Segal, H. (1979). Melanie Klein. New York: Viking Press

Segal, J. (1992). Melanie Klein. London: Sage.

Seligman, M., 8c Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive psychology: An introduction. American Psychologist, 55, 5-14.

Sheldon, K. M„ Arndt,J., 8c Houser-Marko, L. (2003). Dalam search of the organismic valuing process: The human tendency to move towards beneficial goal choices. Journal o f Personality, 71, 835-869.

Shevrin, H., Ghannam, J. H., 8c Libet,B. (2002). A neural correlate o f consciousness related to repression.

Consciousness 8c Cognition, 11, 334-341.

Shoda, Y., LeeTiernan, S., 8c Mischel, W.(2002). Personality as a dynamic system: Emergence of stability and distinctiveness from intra- and interpersonal interactions. Personality and Social Psychology Review, 6, 316-326.

Shoda, Y., 8c Mischel, W. (1996). Toward a unified intra-individual dynamic conception of personality. Journal o f Research in Personality, 30, 414-428.

Shoda, Y„ 8c Mischel, W. (1998). Personalityas a stable cognitive-affective activation network: Characteristic patterns of behavior variation emerge from a stable personality structure. Dalam S. J. Read 8c L. C. Miller (Eds.), Connectionist models o f social reasoning and social behavior (him. 175-208). Mahwah: NJ: Erlbaum.

Shostrom, E. L. (1963). Personal Orientation Inventory. San Diego, CA: Educational and Industrial Testing Service.

Shostrom, E. L. (1974). Manual fo r thePersonal Orientation Inventory. San Diego, CA: Educational and Industrial Testing Service.

Sigmon, S. C., Tidey, J. W„ Badger, G. J., 8c Higgins, S. T. (2002). Acute effects of D-amphetamine on progressive- ratio performance maintained by cigarette smoking and money. Psychofarmacology, 167, 393-402.

Silverstein, B. (2003). What was Freudthinking? A short historical introduction to Freud’s theories and therapies. Dubuque, IA: Kendall/Hunt.

Simonton, D. K. (2000). Methodological and theoretical orientation and the long­term disciplinary impact of 54 eminent psychologists. Review o f General Psychology, 4, 13-24.

Singer, J. (1994). i (2nd ed.). New York: Doubleday.

Referensi

Skinner, B. F. (1938). The behavior o forganisms: An experimental analysis. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Skinner, B. F. (1945). The operational analysis of psychological terms. Psychological Review, 52, 270-277, 291-294.

Skinner, B. F. (1948). Walden two. New York: Macmillan.

Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. New York: Macmillan.

Skinner, B. F. (1954). The science of learning and the art of teaching. Harvard Educational Review, 24, 86-97.

Skinner, B. F. (1957). Verbal behavior. New York: Appleton-Century-Crofts.

Skinner, B. F. (1971). An autobiography. Dalam E. G. Boring 8c G. Lindzey (Eds.), A history o f psychology in autobiography (Vol. 5, him. 385-413), New York: Appleton-Century-Crofts.

Skinner, B. F. (1971). Beyond freedom and dignity. New York: Knopf.

Skinner, B. F. (1974). About behaviorism. New York: Knopf.

Skinner, B. F. (1976a). Particulars o f my life. New York: Knopf.

Skinner, B. F. (1976b). Walden Two revisited. Dalam Walden Two. New York: Macmillan.

Skinner, B. F. (1978). Reflections o fbehaviorism and society. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Skinner, B. F. (1979). The shaping o f a behaviorist. New York: Knopf.

Skinner, B. F. (1983). A matter o f consequences. New York: Knopf.

Skinner, B. F. (1987a). Upon further reflection. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Skinner, B. F. (1987b). Whatever happened to psychology as the science of behavior? American Psychologist, 42, 780-786.

Skinner, B. F. (1988). The operant side ofbehavior therapy. Journal o f Behavior

Therapy and Experimental Psychiatry, 19, 171-179.

Skinner, B. F. (1989a). The origin of cognitive thought. American Psychologist, 44, 13-18.

Skinner, B. F. (1989b). Recent issues in the analysis o f behavior. Columbus, OH: Merrill.

Skinner, B. F. (1990a). Can psychology be a science of the mind? American Psychologist, 45, 1206-1210.

Skinner, B. F. (1990b). To know the future. Behavior Analyst, 13, 103-106.

Skinner, B. F., 8c Vaughan, M. E. (1983).Enjoy old age: A program for self­management. New York: Norton.

Smith, T. B., McCullough, M. E., 8c Poll, J.(2003). Religiousness and depression: Evidence for a main effect and the moderating influence of stressful life events. Psychological Bulletin, 129, 614-636.

Smolak, L., 8c Levine, M. P. (1993).Separation-individuation difficulties and the distinction between bulimia nervosa and anorexia nervosa in college women. International Journal o f Eating Disorders, 14, 33-41.

Sobel, D. (19 Maret 1980). Erich Fromm. The New York Times, him. B 11.

Solms, M. (2000). Dreaming and REM sleep are controlled by different brain mechanisms. Behavioral and Brain Sciences, 23, 845-850.

Solms, M. (Mei 2004). Freud returns. Scientific American, 290, 87-88.

Solms, M., 8c Turnbull, O. (2002). The brain and the inner world: An introduction to the neurosciences

Solomon, S., Greenberg, J., 8c Pyszczynski, T. (1991). A terror-management theory of social behavior: The psychological functions of self-esteem and cultural worldviews. Dalam M. P. Zanna (Ed.), Advances in experimental social

Referensi

psychology (him. 91-159). San Diego, CA: Academic Press.

Statton, J. E., 8c Wilborn, B. (1991). Adlerian counseling and the early recollections of children. Individual Psychology, 47, 338-347.

Steiner, R. (1985). Some thoughts abouttradition and change arising from an examination of the British Psycho- Analytical Society’s controversial discussions (1943-1944). International Review o f Psycho-Analysis, 12, 27-71.

Stelmack, R. M. (1990). Biological bases of extraversion: Psychophysiological evidence. Journal o f Personality, 58, 293-311.

Stelmack, R. M. (1997). The psychophysics and psychophysiology of extraversion and arousal. Dalam H. Nyborg (Ed.), The scientific study o f human nature: A tribute to Hans Eysenck at eighty (him. 388-403). Oxford, Inggris: Pergamon Press.

Stephenson, W. (1953). rIhe study o f behavior: Q-technique and its methodology. Chicago: University of Chicago Press.

Stevens, C. D., 8c Walker, B. M. (2002).Insight: Trancending the obvious. Dalam R. A. Neimeyer 8c G. J. Neimeyer (Eds.), Advances in personal construct psychology: New directions and perspectives (him. 39-79). Westport, CT: Praeger.

Strozier, C. B. (2001). Heinz Kohut: Themaking o f a psychoanalyst. New York: Farrar, Straus, and Giroux.

Sulliman, J. R. (1973). The development of a scale for the measurement of social interest. Dissertation Abstract International, 34(6-B), 2914.

Sullivan, H. S. (1953a). Conceptions o f modern psychiatry. New York: Norton.

Sullivan, H. S. (1953b). The internationaltheory o f psychiatry. New York: Norton.

Sullivan, H. S. (1954). The psychiatric interview. New York: Norton.

Sullivan, H. S. (1956). Clinical studies in psychiatry New York: Norton.

Sullivan, H. S. (1962). Schizophrenia as a human process. New York: Norton.

Sullivan, H. S. (1964). The fusion o f psychiatry and social science. New York: Norton.

Sulloway, F. J. (1992). Freud, biologist o f the mind: Beyond the psychoanalytical legend (Rev. ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sumerlin, J. R., 8c Bundrick, C. M. (1996).Brief Index of Self-Actualization: A measure of Maslow’s model. Journal o f Social Behavior and Personality, 11,253-271.

Sumerlin, J. R., 8c Bundrick, C. M. (1998). Revision of the Brief Index of Self- Actualization. Perceptual and Motor Skills, 87, 115-125.

Thomas, A., Benne, M. R., Marr, M. J.,Thomas, E. W., 8c Hume, R. M. (2000). The MBTI predicts attraction and attrition in an engineering program. Journal o f Psychological Type, 55,35-42.

Thompson, G. G. (1968). George A. Kelly (1905-1967). Journal o f General Psychology, 79, 19-24.

Thorndike, E. L. (1898). Animal intelligence: An experimental study of associative processes in animals. Psychological Monographs, 2, (Keseluruhan No. 8).

Thorndike, E. L. (1913). The psychology o flearning. New York: Teachers College.

Thorndike, E. L. (1931). Human learning. New York: Appleton-Century.

Tidey, J. W., O’Neill, S. C., 8c Higgins, S. T.(2000). D-amphetamine increases choice of cigarette smoking over monetary reinforcement. Psychopharmacology, 153, 85-92.

Tropp, L. R., 8c Pettigrew, T. F. (2005).Differential relationships between intergroup contact and affective and cognitive dimensions of prejudice. Psychological Science, 16, 951-957.

Referensi

Tupes, E. C., 8c Christal, R. E. (1961).Recurrent personality factors based in traits ratings (Technical Report No. ASD-TR-61-97). Lackland, TX: U.S. Air Force.

Vaihinger, H. (1911/1925). The philosophy o f “as i f ’ New York: Harcourt Brace.

Van Heil, A., Mervielde, I., & De Fruyt, R(2006). Stagnation and generativity: Structure, validity, and differential, relationships with adaptive and maladaptive personality. Journal o f Personality, 74, 543-869.

Van Dijken, S. (1998). John Bowlby: His early life. London: Free Association Books.

Veale, D., Kinderman, R, Riley, S., & Lambrou,C. (2003). Self-discrepancy in body dysmorphic disorder. British Journal o f Clinical Psychology, 42, 157-169.

Vitz, P. C. (1988). Sigmund Freuds Christian unconscious. New York: Guilford Press.

Watson, J. B. (1913). Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review, 20, 158-177.

Watson, J. B. (1925). Behaviorism. New York: Norton.

Watson, J. B. (1926). What the nursery has to say about instincts. Dalam C. Murchinson (Ed.), Psychologies o f 1925 (him. 1-35). Worcesrter, MA: Clark University Press.

Watson, J. B„ & Rayner, R. (1920).Conditioned emotional reactions. Journal o f Experimental Psychology, 3, 1-14.

Webster, R. (1995). Why Freud was wrong: Sin, science, and psychoanalysis. New York: Basic Books.

Webster, R. A., Hunter, M., 8c Keats,J. A. (1994). Personality and sociodemographic influences on adolescents’ substance use: A path analysis. International Journal o f the Addictions, 29, 941-956.

Wegner, D. M., Wenzlaff, R. M., & Kozak, M.(2004). Dream rebound: The return

of suppressed thoughts in dreams. Psychological Science, 15, 232-236.

Weiss, A. S. (1991). The measurement ofself-actualization: The quest for the test may be as challenging as the search for the self. Journal o f Social Behavior and Personality, 6, 265-290.

Weiss, P. A., Watson, N., & McGuire, H.(2003). Smoking and self-concept in young adults: An idiographic method of measurement. Journal o f Constructivist Psychology, 16, 323-334.

Whitbourne, S. K., Zuschlag, M. Z., Elliot,L. B., & Waterman, A. S. (1992). Psychosocial development in adulthood: A 22-year sequential study. Journal o f Personality and Social Psychology, 63, 260-271.

Whitson, E. R., & Olczak, P. V. (1991). Theuse of the POI in clinical situations: An evaluation. Journal o f Social Behavior and Personality, 6, 291-360.

Wiener, D. N. (1996). B. F. Skinner: Benign anarchist. Boston: Allyn and Bacon.

Willing, D. C., Guest, K., 8c Morford, J.(2001). Who is entering the teaching profession? MBTI profiles of 525 master in teaching students. Journal o f Psychologycal Type, 59, 36-44.

Winter, D. G. (1993). Gordon Allport and “Letters from Jenny.” Dalam K. H. Craik, R. Hogan, 8c R. N. Wolfe (Eds.), Fifty years o f personality psychology (him. 147-163). New York: Plenum Press.

Wolfe, W. L., 8c Maisto, S. A. (2000). The effect of self-discrepancy and discrepancy salience on alcohol consumption. Addictive Behaviors, 25, 283-288.

Wolpe, J. (1973). The practice o f behaviortherapy. New York: Pergamon Press.

Wortis, J. (1954). Fragments o f an analysis with Freud. New York: McGraw-Hill.

Wright, J. C., 8c Mischel, W. (1988).Conditional hedges and the intuitive psychology of traits. Journal o f

Referensi

Personality and Social Psychology, 55, 454-469.

Zachar, P., & Leong, F. T. L. (1992). Aproblem of personality: Scientist and practitioner differences in psychology. Journal o f Personality, 60, 665-677.

Zeidner, M. (2007). Anxiety and cping with community disaster: The Israeli experience. Journal o f Research in Personality, 41, 213-220.

Zuroff, D. C., & Rotter, J. B. (1985). Ahistory of the expectancy construct in psychology. Dalam J. B. Dusek (Ed.), Teacher expectancies (him. 7-36). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Zyphur, M. J., Islam, G., & Landis, R. (2007). Testing 1, 2, 3 ... 4? The personality repeat SAT test takers and their testing outcomes. Journal o f Research in Personality, 41, 715-722.

Glosarium | Q . J

Glosarium

AAlam bawah sadar (preconscious) (Freud) ini memuat semua elemen yang tak disadari, tetapi bisa muncul dalam kesadaran dengan cepat atau agak sukar.

Alam sadar (conscious) (Freud), yang memainkan peran tak berarti dalam teori psikoanalisis, didefinisikan sebagai elemen- elemen mental yang setiap saat berada dalam kesadaran. Ini adalah satu-satunya tingkat kehidupan mental yang bisa langsung kita raih.

Alam tidak sadar (unconscious) (Freud) menjadi tempat bagi segala dorongan, desakan, maupun insting yang tak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita. Sekalipun kita sadar akan perilaku kita yang nyata, sering kali kita tidak menyadari proses mental yang ada di balik perilaku tersebut.

Anima (Jung) adalah sisi feminin dari seorang pria yang bertanggung jawab atas suasana hati (mood) irasional dan perasaan tidak logis.

Animus (Jung) adalah sisi maskulin dari seorang wanita yang bertanggung jawab atas pemikiran tidak logis dan pendapat-pendapat tidak masuk akal dari seorang wanita.

Animus (Jung)adalah arketipe maskulin pada wanita.

Arketipe (archetype) (Jung) adalah bayangan- bayangan leluhur atau arkaik (archaic) yang datang dari ketidaksadaran kolektif.

Authoritarianism (Fromm) sebagai “kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian seseorang secara individu dan meleburkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya demi mendapatkan kekuatan yang tidak dimilikinya.

BBahasa autistik (Sullivan), yaitu bahasa pribadi yang sedikit atau tidak masuk akal sama sekali bagi orang lain.

Bayangan (shadow) (Jung)merupakan arketipe dari kegelapan dan represi yang menampilkan kualitas-kualitas yang tidak kita akui keberadaannya serta berusaha disembunyikan dari diri kita sendiri dan orang lain.

Bergerak mundur (moving backward) (Adler) adalah kecenderungan untuk melindungi tujuan superioritas fiksional seseorang dengan secara psikologis kembali pada periode kehidupan yang lebih aman.

Biofilia (Fromm) atau biophilia (bio = hidup, philos/philia = cinta), yaitu cinta penuh hasrat akan hidup dan segala sesuatu yang hidup.

DDakwaan (accusation) (Adler)adalah kecenderungan menyalahkan orang lain untuk kegagalan seseorang dan untuk membalas dendam demi melindungi harga dirinya yang lemah.

G-2 Glosarium

Definisi operasional adalah definisi yang menentukan satuan dalam hal perilaku dan peristiwa teramati yang bisa diukur.

Depresiasi (depreciation) (Adler) adalah kecenderungan untuk menilai rendah pencapaian orang lain dan meninggikan penilaian terhadap diri sendiri.

Desakan dorongan (Freud) adalah besar kekuatan dari dorongan yang keluar.

Dinamisme (Sullivan) istilah yang artinya lebih kurang sama dengan sifat atau pola kebiasaan dan merupakan pola tingkah laku umum yang membangun karakter seseorang sepanjang hidup mereka.

Distorsi parataksis (Sullivan) atau keyakinan tak logis akan adanya hubungan sebab-akibat antara dua kejadian dalam waktu dekat.

E

Ego (Freud)atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita. Ego berkembang dari id semasa bayi dan menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia luar.

Ekstraversi (Jung)adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektif.

Energi transformasi (Sullivan) mengubah ketegangan menjadi tingkah laku tersembunyi atau terbuka dan bertujuan memuaskan kebutuhan serta mengurangi ketegangan.

Epistemologi atau sifat dasar pengetahuan.

FFiksasi {fixation) (Freud) adalah mekanisme pertahanan di mana ego mengambil strategi untuk tetap bertahan di tahap psikologis saat ini, yang lebih nyaman.

Filsafat artinya kecintaan akan kebijaksanaan

Filsuf adalah orang-orang yang mencari kebijaksanaan melalui pemikiran dan perenungan

G

Gaya hidup (style o f life) (Adler) adalah istilah yang digunakan adler untuk menunjukkan selera hidup seseorang. Gaya hidup mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup adalah hasil interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan, dan daya kreatif yang dimiliki seseorang.

Gemeinschaftsgefuhl (Adler) bisa jadi “perasaan sosial” atau “perasaan berkomunitas”, tetapi gemeinschaftsgefuhl sebenarnya mempunyai makna yang tidak bisa diekspresikan secara penuh dalam kata atau frasa bahasa inggris. Kira-kira maknanya adalah perasaan menjadi satu dengan umat manusia; menyatakan secara tidak langsung keanggotaan dalam komunitas sosial seluruh manusia.

Generativitas (Erikson) didefinisikan sebagai “generasi akan keberadaan baru sebagaimana produk-produk baru dan gagasan-gagasan baru”.

HHipotesis adalah perkiraan atau prediksi ilmiah yang cukup spesifik untuk bisa diuji validitasnya melalui metode ilmiah.

Histeria (Freud), kelainan yang umumnya ditandai dengan kelumpuhan atau kelainan fungsi organ-organ tubuh tertentu.

/Ibu Agung (Thegreat mother) (Jung) adalah arketipe dari kesuburan dan kehancuran.

Glosarium G-3

Id (Freud) adalah istilah yang diambil dari kata ganti untuk “sesuatu” atau “itu” (the it), atau komponen yang tak sepenuhnya diakui oleh kepribadian. Id tak punya kontak dengan dunia nyata, tetapi selalu berupaya untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar.

Insting (Jung)sebagai ketidaksadaran impuls fisik pada tindakan,

Introversi (Jung)adalah aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki orientasi subjektif.

Introyeksi (introjection) (Freud) adalah mekanisme pertahanan di mana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain ke dalam egonya sendiri.

KKarakter (Fromm), yang didefinisikan sebagai “sistem yang relatif permanen dari semua dorongan noninstingtif di mana melaluinya manusia menghubungkan dirinya dengan dunia manusia dan alam”

Karakteristik merupakan kualitas tertentu yang dimiliki seseorang termasuk di dalamnya beberapa karakter seperti temperamen, fisik, dan kecerdasan.

Katarsis (Freud), yaitu proses menghilangkan gejala histeria dengan cara “mengungkapkannya.”

Keberceraian (dissociation) (Sullivan) atau perpisahan mencakup semua dorongan, keinginan, dan kebutuhan yang tidak dibiarkan masuk dalam kesadaran.

Kebijaksanaan (Erikson) didefinisikan sebagai “kepedulian terdidik dan terpisah dengan kehidupan itu sendiri dalam menghadapi kematian itu sendiri”.

Kebutuhan (Sullivan) adalah ketegangan yang dibawa oleh ketidakseimbangan biologis antara seseorang dengan lingkungan fisiokimiawi, baik di dalam maupun luar organisme.

Kebutuhan konatif (conative needs)(Maslow), yang berarti bahwa kebutuhan- kebutuhan ini memiliki karakter mendorong atau memotivasi.

Kecemasan (Freud) merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Perasaan tidak menyenangkan ini biasanya samar-samar dan sulit dipastikan, tetapi selalu terasa.

Kecemasan (Sullivan) adalah kekuatan pengganggu utama yang menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang sehat.

Kecemasan moral (moral anxiety) (Freud), berakar dari konflik antara ego dan superego. Ketika anak membangun superego—biasanya di usia lima atau enam tahun—mereka mengalami kecemasan yang tumbuh dari konflik antara kebutuhan realistis dan perintah superego.

Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) (Freud)adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui.

Kecemasan realistis (realistic anxiety) (Freud) terkait erat dengan rasa takut. Kecemasan ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri.

Kedengkian (Sullivan) adalah dinamisme disjungtif akan kejahatan dan kebencian yang ditandai oleh perasaan hidup di antara musuh-musuh.

Glosarium

Keintiman (Erikson) adalah kemampuan untuk meleburkan identitas seseorang dengan orang lain tanpa ketakutan akan kehilangan identitas tersebut.

Keintiman (Sullivan) adalah dinamisme dengan sifat integrasi yang cenderung untuk menarik reaksi penuh cinta kasih dari orang lain, oleh karena itu mengurangi kecemasan dan kesendirian, dua pengalaman yang sangat menyakitkan.

Kepribadian adalah pola sifat (trait) dan karakteristik (characteristic) tertentu, yang relatif permanen dan memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada perilaku seseorang.

Kesadaran perseptual (perceptual conscious) (Freud), yaitu terbuka pada dunia luar dan berfungsi sebagai perantara bagi persepsi kita tentang stimulus dari luar.

Ketegangan (Sullivan) adalah potensi tindakan yang mungkin atau tidak mungkin dialami dalam kesadaran.

Keterasingan (Erikson) didefinisikan sebagai “ketidakmampuan untuk mengambil kesempatan dengan identitas seseorang dengan berbagi keintiman sejati”.

Ketidakacuhan selektif (inattention selective) (Sullivan), merupakan penolakan untuk melihat apa yang tidak ingin kita lihat.

Kompleks (Jung)merupakan komponen ketidaksadaran personal yang diindividuasi

Konstelasi keluarga (Adler), yaitu urutan kelahiran, gender dari saudara kandung, dan umur yang terbentang di antara mereka.

MMasokisme (Freud), seperti juga sadisme, merupakan kebutuhan yang lazim, tetapi berubah menjadi kelainan apabila eros tunduk pada dorongan pengrusakan.

Seorang masokis mengalami kesenangan seksual dari penderitaan yang diakibatkan oleh rasa sakit dan perasaan dipermalukan yang dipicu, baik oleh diri mereka sendiri ataupun oleh orang lain

Metapatologi (Maslow)didefinisikan sebagai ketiadaan nilai-nilai, ketiadaan pencapaian/ keberhasilan, dan hilangnya arti hidup.

Mimpi biasa (Jung), yaitu mimpi yang biasa dialami oleh kebanyakan orang.

Minat sosial (Adler)bisa didefinisikan sebagai sikap keterikatan dengan umat manusia secara umum maupun sebagai empati untuk setiap anggota masyarakat.

Muatan laten (latent content) (Freud) berarti hal-hal yang tak disadari.

Muatan manifes (manifest content) (Freud)dari mimpi adalah makna mimpi pada permukaan atau deskripsi sadar yang disampaikan oleh orang yang bermimpi.

0Orang tua yang bijak (wise old man) (Jung) adalah gambaran seseorang yang cerdas, tetapi merupakan tampilan menipu dari pengalaman yang terakumulasi.

Orang tua yang bijak (wise old man) (Jung)merupakan sebuah arketipe dari kebijaksanaan dan keberartian yang menyimbolkan pengetahuan manusia akan misteri kehidupan.

PPahlawan (hero) (Jung) adalah gambaran ketidaksadaran seseorang yang berhasil menaklukkan sosok penjahat, tetapi juga memiliki kelemahan.

Pembentukan reaksi (reaction formation) (Freud) adalah mekanisme pertahanan dengan cara menyembunyikan diri dalam

Glosarium G-5

selubung yang sama sekali bertentangan dengan bentuk semula. Perilaku reaktif ini bisa dikenali dari sifatnya yang berlebih- lebihan dan bentuk yang obsesif juga kompulsif.

Pengalaman parataksis (Sullivan) adalah pengalaman pralogis dan biasanya timbul ketika seseorang berasumsi bahwa dua kejadian yang terjadi bersamaan memiliki hubungan sebab-akibat.

Pengalihan (displacement), (Freud) orang bisa mengarahkan dorongan-dorongan yang tak sesuai ini pada sejumlah orang atau objek sehingga dorongan aslinya terselubung atau tersembunyi.

Penghinaan (Erikson) didefinisikan sebagai “reaksi terhadap perasaan (atau melihat orang lain) dalam meningkatnya kondisi tamat, bingung, dan tak berdaya”.

Penolakan (Erikson) adalah ketidakinginan untuk merawat orang-orang atau kelompok- kelompok tertentu.

Persona (Jung)adalah sisi kepribadian yang ditunjukkan orang kepada dunia.

Persona (latin), mengacu pada topeng yang dipakai oleh aktor romawi dalam pertunjukan drama Yunani.

Personifikasi eidetik (Sullivan), yaitu sifat tidak nyata atau teman khayalan yang banyak diciptakan oleh anak dengan tujuan melindungi rasa percaya diri mereka.

Possession (Horney) bertindak sebagai pelindung terhadap kemiskinan dan biasanya menjelma dalam bentuk kecenderungan untuk tidak suka berbagi dengan orang lain.

Power (Horney) adalah pertahanan diri terhadap rasa permusuhan dari orang lain yang nyata atau khayalan dan biasanya muncul dalam wujud kecenderungan untuk

mendominasi orang lain.

Prestige (Horney) adalah perlindungan terhadap rasa malu dan biasanya diekspresikan dengan cara mempermalukan orang lain.

Proyeksi (projection) (Freud), yang didefinisikan sebagai melihat dorongan atau perasaan orang lain yang tidak dapat diterima, padahal sebenarnya perasaan atau dorongan tersebut ada di alam tidak sadar dari diri sendiri.

Pseudospesies (Erikson), yaitu khayalan yang dibuat dan diabadikan oleh masyarakat tertentu yang seolah-olah dipilih untuk menjadi sang spesies manusia.

Psikohistoris (Erikson) didefinisikan sebagai “studi individual dan kehidupan kolektif dengan metode yang memadukan psikoanalisis dan sejarah”.

Psikologi positif (Maslow)adalah sebuah bidang ilmu psikologi yang relatif baru yang menggabungkan penekanan pada harapan, optimisme, dan kesejahteraan dengan penelitian dan pengukuran ilmiah.

Psikologi sains mempelajari sains dan juga perilaku para ilmuwan; yaitu meneliti dampak psikologis seorang ilmuwan dan karakteristik pribadinya terhadap pengembangan teori ilmiah dan penelitiannya.

RRasa peduli (Erikson)didefinisikan sebagai “komitmen meluas untuk merawat seseorang, produk, dan gagasan seseorang yang harus dipedulikan”

Reliabilitas alat pengukuran adalah tingkat di mana alat ukur tersebut memberikan hasil yang konsisten.

Represi (repression) (Freud), yaitu dorongan agar pengalaman yang tidak diinginkan serta membawa kecemasan masuk ke alam tidak

Glosarium

sadar yang melindungi kita dari rasa sakit akibat kecemasan tersebut.

Resistensi (Freud), yaitu beragam respons tidak sadar yang digunakan oleh pasien untuk menghambat kemajuan mereka sendiri selama terapi, bisa menjadi sinyal positif karena ini berarti terapi mulai meninggalkan ranah yang superfisial.

sSadisme (Freud) adalah kebutuhan akan kesenangan seksual dengan cara menimbulkan rasa sakit atau mempermalukan orang lain.

Sains (science) adalah cabang ilmu yang mengutamakan observasi dan klasifikasi data serta pembuktian hukum-hukum umum melalui pengujian hipotesis.

Sifat merupakan faktor penyebab adanya perbedaan antarindividual dalam perilaku, konsistensi perilaku dari waktu ke waktu, dan stabilitas perilaku dalam berbagai situasi.

Sikap (attitude) (Jung)sebagai suatu kecenderungan untuk beraksi atau bereaksi dalam sebuah arah karakter.

Sistem diri (Sullivan), pola tingkah laku konsisten yang mempertahankan rasa aman interpersonal manusia dengan melindunginya dari kecemasan.

Sublimasi (sublimation) (Freud) merupakan represi dari tujuan genital dari eros dengan cara menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial.

Superego atau saya yang lebih (above-i) (Freud), mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistis dan idealis (moralistic and idealistic principles) yang berbeda dengan prinsip kesenangan dari id dan prinsip realistis dari ego.

TTaksonomi adalah klasifikasi berbagai hal berdasarkan hubungan kekerabatannya.

Teleologi (Adler) adalah penjelasan tentang perilaku dalam pengertian tujuan atau sasaran akhirnya.

Teori ilmiah adalah sekumpulan asumsi yang saling berkaitan yang memungkinkan ilmuwan menggunakan pemikiran logika deduktif untuk merumuskan hipotesis yang bisa diuji.

VValiditas adalah tingkat di mana suatu alat mengukur apa yang seharusnya diukur.

Kred itKredit | K-l

Bab 1

Halaman 2: © Rosemary Calvert/Getty Images; 4: © Royalty-Free/Corbis.

Bab 2

Halaman 18: © Hulton Archive/Getty Images; 22: Freud Museum, London; 45: © TRB foto/ Getty mages; 55: Freud Museum, London.

Bab 3

Halaman 75: © Bettmann/Corbis; 89: © PhotoDisc/Getty Images; 101: © Erin Patrice O’Brien/Getty.

Bab 4

Halaman 115: Persembahan dari Clark University Archives; 132: © Bettmann/ Corbis; 149: © Dmitri Kessel/Time Life Pictures/Getty Images.

Bab 5

Halaman 159: Melanie Klein Trust/ Wellcome Library, London; 175: American Psychiatric Association; 178: Institute For Psychoanalysis, Persembahan dari Jerome Kavka, M.D.; 179: Persembahan dari Sir Richard Bowlby; 181: © Ellis J. Malashuk, The Baltimore Sun.

Bab 6

Halaman 191: © Bettmann/Corbis; 206: © Image Source/Corbis; 211: Royalty-Free/ Corbis.

Bab 7

Halaman 223: © Rene Burri/magnum Photos; 231: © Teri Dixon/Getty Images; 246: © Stock Montage.

Bab 8

Halaman 253: © Stock Montage; 262: © Ryan McVay/Getty Images; 272: Carlos Davila/ Superstock; 274: © Brand X Pictures; 275: © John A. Rizzo/Getty Images.

Bab 9

Halaman 287: © Bettmann/Corbis; 294: © Ryan McVay/Getty Images; 304: © Vicky Kasala/Getty Images; 309: © Geoff Manasse/ Getty Images; 314: © AP Images.

Bab 10

Halaman 324: © Bettmann/Corbis; 334: David Hanover/getty Images; 336: © John A. Rizzo/ Getty Images.

• s . . -

Indeks

Indeks

A

Abraham 12,75,80, 162, 192, 193,322-324, 340,351,356,358

Adler 12, 15, 17,24,25,74-111,134, 137, 138, 150, 194,212,281,302,327,347

agresi 18, 19 ,25,28,36-38,40,54,72-75,78, 81,95,96,98, 112, 138,212,230,338, 362

agresi keji (malignant aggresion) 230

akal sehat (common sense) 233, 360

aktualisasi diri 324,330,333-336,338,339, 341,349,350,352-356,358,360-364

alam bawah sadar (preconscious) 29

alam sadar 27-32,40,54,57,59,64,71, 111

alienation 185,191

ambisi neurotik 208

analisis mimpi Freud 57

analisis psikis 23

anima 121, 125, 127, 128, 132-134, 136, 144, 146, 155, 156

animus 125, 127, 128, 132, 133, 144, 155, 156

Anna O 23,150

antropologis 53,224,227,242,244,289,311

apatis 268,311

arketipe 116, 121, 123-134, 147, 149, 154-157

asimilasi 236

asosiasi bebas 21,54,56, 181,214

authoritarianism 234,247,251

autisme normal 174,175

B

bahasa autistik 268

bahasa organ 86

Bauer 315,358,359

bayangan 122, 124-127, 133, 144, 155, 156, 210,239,265

behaviorisme 324,326

Bell Object Relations Inventory 185

berahi 260,262,272-275,284

berdiam diri 96,97,98,103

bergerak mundur 96,97

berpikir introver 138

berpusat pada diri sendiri 36,89, 100, 178

biofilia 238,239,241,251

biografi 18,20,52,74,76,85, 114, 116, 147, 158, 160, 190, 192,222,224,252,254, 257,286,288,309,322,324,343

biseksual 48,127

Boag 66,67

Bowlby 158, 160, 163, 174, 178-181,183, 186,187

Breuer 21-24,54, 150

Brief Index o f Self-Actualization 354

C

castration anxiety 28,48

cemas ambivalen 184

cemas menghindar 181

Chapman 253

Indeks

Charcot 21,22,118

cinta 11,21,28,34,36,37,41,45,47-50, 54, 56,58,65,82,88,91,102,104,111, 117, 123, 129, 159, 165-168, 170,180, 183,187,191, 196-198,200,203,204,206, 212,213,224,229,230,233-239,241, 245,251,262,267,272,274,275,282, 284,298,305-308,320,323-325,329, 330-336,338,339,341,342,345,350, 354-357,360-364

cinta-B 350

cinta-D 350

Clark 25, 109, 118, 119

co-rumination 278,279

D

Dakwaan 96,210

Damasio 61,62

das Es 31

das Ich 31

das Uber-Ich 31

daya kreatif 80,81,83,91 -93,109,110, 112,

definisi operasional 71,109, 110,360

delapan tahapan siklus kehidupan Erikson 310,311

demokratis 348

depresi 19,24,96,161,225,240,247,278, 279,288,297,308,309,324

depresiasi 96

desakan dorongan 36

desakralisasi 351,360

determinisme 13, 16,71,186,218,249,250, 362

dewasa muda 248,302,305-307,314,318,358,359

diferensiasi 175

dikotomi eksistensial 228

dilema manusia 227,236

dinamisme 259,260-262,267,269,273,279, 283

diri 15 ,20 ,22-25 ,29 ,33-43 ,49 ,53 ,54 ,58 ,59 ,62 ,72 ,76 ,78 ,80 ,83-87 ,89-98 , 100-123,125,126,129-133,135,136, 139, 140-147,149-155,156,160, 162, 163,165,166,168-170,176-179, 183-186, 191, 192, 196-211,213-220, 223-225,227-251,253,255,256, 259-265,267, -280,287,288,291, 295-306,308,311,314-16,318,320, 323-325,327,329-358,360-364

distonik 294,295,297,299,302,304,309,310, 319

distorsi parataksis 266,276

E

Eckstein 108

ego 25,31 -45 ,47 ,48 ,54 ,56 ,57 ,59 ,62 ,63 ,66 , 71-73,95,98, 110, 117, 122, 131, 132, 142,144,165-167, 169-171,176, 177, 187, 194,290-292,294,295,301-309,312,317,318,320,358,359

ego ideal 34,291

ekstroversi 15, 136,144, 155

Elms 120

empati 11,87, 167, 177,259,268,282,288,347

energi transformasi 258

epistemologi 6

Erikson 12, 17,212,281,286-319,320

euforia 260

F

fase anal 45,46,298

fase falik 47,50,51,299

fase oral 45,46,47,295

Indeks

fiksasi 40,41,42,98,231,233,240

fiksi 22,24,84,85,110,111,112,138

filsafat 6 ,7 ,12,16,69,118,121

Fliess 23,24,55,69,70

Fromm 17, 194,222,223,224,225,226,227,228,229,230,231,232,233,234,235, 239,235,236,237,238,239,240,241, 242,243,244,245,246,247,248,249, 250,251,256,276,281,327

G

gambaran diri ideal 191,206,207,213,214,219

Gandhi 312-314,318,320

gaya hidup 43,80,84-98, 100, 102-107,108-112, 143,144,239,304,309,335

gaya Otot-Uretral-Anal 298

Gemeinschaftsgefuhl 87,89, 107,347

genetalitas 305

Goethe 26,79, 116

H

Hall 118, 145,312,326,352

Hazan 183

hipokondriasis 240

hipokondriasis moral 240

hipotesis 3, 5-10, 14, 16,20,52,53,59,61,70, 82,99, 105,145, 152,154,186, 196,216, 217,255,281,282,335,338,351,361

histeria 21,22,23,57

Hitler 222,242,244,245,246,248,290,311

Holland 105,106

Horney 17,80,161,190-201,204,201-203, 205-220,223,226,231,234,240,256, 327

imajinasi aktif 121, 145, 149, 150, 157

individuasi 121, 122, 129, 140,144,150,155, 156,175, 176, 182

inferiority complex 83

ingatan masa kecil 76,99,102,105-109,112

insting 27,36,63, 110, 124,163-166,171,173,177,187, 194, 195,223,224,227,236,249,282,307,338

internalisasi 158, 164, 170

introversi 135,136,138, 144, 152, 153, 157

introyeksi 40,43,49,98, 168,170

intuisi 117, 135,139-151, 157

inventori kepribadian 14,15

J

jika-maka (if-then) 12

Jung 12, 15,17,24,25,27,28,80, 114-156, 194,258,281

K

kanak-kanak awal 24,44,162,195,293,296,298,299,312,320

karakter 5,46, 108, 120, 129-131, 136, 180, 197,205,236-239,242,243,245,250, 260,270,329

karakter anal 46,237

karakter eksploitatif 237

karakteristik 4,8, 13, 15,82,91,93,95, 125,138,140,199,204,205,218,224,236, 238,245,259,283,292,293,295,319, 340,341,343,353

karakter memasarkan 237

karakter menimbun 237,243

karakter reseptif 237

I

1 -4 | Indeks

katarsis 21,150

kebanggaan neurotik 191,207,209,218

kebebasan positif 235,236,238,241,250,251

Kebencian diri 191,206,210,220

keberakaran 228,231,233,242,251

keberceraian 263,274,276

Kebutuhan-kebutuhan eksistensial 228

Kebutuhan akan aktualisasi diri 334,363

kebutuhan akan cinta dan keberadaan 332,333,345,350,355,364

kebutuhan akan keamanan 331

kebutuhan akan kekurangan 342

kebutuhan akan Penghargaan 333

kebutuhan estetika 334,335

kebutuhan fisiologis 99,228,233,330-332, 335,336,338,339,354,355,360-362

kebutuhan instinctoid 338-360,362,363

kebutuhan interpersonal 258

kebutuhan kognitif 335

kebutuhan konatif 329,334,335,363

kebutuhan neurotik 191, 196, 197,200,201, 203-205,212,217,334-336

kecemasan 27-29 ,33 ,35 ,38-46 ,48—51, 58, 59 ,66 ,72 ,73 ,94 ,95 ,97~99,101-103, 163,164, 167,169-171, 173,176,179, 182, 186,191,196-203,206,211,212, 215,217-219,224,234,235,250,251, 254,258-279,282,283,300-343,344,347,355

kecemasan dari perpisahan 179

kecemasan kastrasi 48-51,58,66, 173

Kecemasan neurosis 38

kecemasan realistis 38,39

kecenderungan neurotik 201-206,212-215, 217-219,234

kedengkian 24,260,261,270,283

kedewasaan 44,88,304,359

keintiman 163,253-255,260-262,267, 270-275,282-284,304-307,309, 316-318,320

kekuatan dasar 294,295,297,299,301,302, 305-310,313,318-320

kekuatan ketiga 323,324

kelainan stres pasca trauma 57

kelembutan 244,245,258,259,261,264, 267-269,271,283,328

kepekaan akan identitas 233,251

keragu-raguan 96-98, 117,344

kerangka orientasi 228,232,233,242,250,251

kesadaran 14,16,27,29,30,41,60-65,71-73,82,87,116, 117, 121, 122, 127, 131-134,139-147, 150, 151,164, 165, 171,218,232,234,236,249,250,258, 260,263,314,347

kesadaran diri 223

kesadaran perseptual 29,139

ketegangan 32,35-37, 119, 163,225,258-260,263,266,268,269,273,283

keterasingan 219,231,234,235,246,250,305,306,311,317,318,320

keterhubungan 228,229,230,233,242,251

ketidakacuhan selektif 263,274

ketidaksadaran kolektif 28,116,117,119,121-125, 127, 128, 130-134, 147, 149, 150, 154, 156,157

ketidaksadaran personal 122,156

keunggulan 82,84,86,201,205,208,228,230, 233,240,242,251

Klein 17,67, 158-168, 170-175, 178, 181, 182,186-188, 192-194,264

Kohut 158, 160, 163, 174, 177, 178, 181

kompleks 48-50,71,91,122,124,142, 146, 155, 156,170, 186,253,260,262,264, 329,344,358,359,362

Indeks

kompleks kastrasi 48,49,50

kompulsi repetisi 57

konflik dasar 202-205,213,214,217-219

konformitas 232,234,235,247,251,304

krisis identitas 287,288,295,302,305,313, 320

L

libido 36,37,41,42,44,53,54,56,171

lokomotor-genital. 300

M

mandala 131-133, 148,149

masa dewasa 59,179, 197,274,288,292,302, 305,307,310,316,331

masa remaja 21,53,262,271,273,274,284, 288,291,302,303,305,314,328

Maslow 12,75,80,321 -339,341,339-343, 346-364

masokisme 36,37,47,96,234,235

McAdams 315,358,359

mekanisme pertahanan diri 39,95,97, 168

melawan orang lain 191,201,203,204

mendakwa diri sendiri 96

mendekati orang lain 191,201,203

menjauhi orang lain 191,201-204,213,218, 219

metamotivasi 342,360,362

metapatologi 338,343,363

muatan laten 57-66,67

muatan manifes 57,58

N

narsisme 36,37, 175,239-241,244,245,251

narsisme pertama 36

narsisme sekunder 37

neurosis 22,23,24,38,39,112,150,192,196, 198,199,201,213,217,218,219,341

nilai-nilai B 334,341-343,350,354,355,362, 363

0

objek diri 177,178

obsesi 24,57, 161,337

Oedipus complex pada laki-laki 188

Oedipus complex pada perempuan 25,50, 188

operasi rasa aman 263,273-275

orang tua yang bijak 129,156

orientasi karakter 236,239,243

P

pahlawan 19,22, 125, 126, 130,131, 134, 148, 156,207,244,340

paranoid 42,43,75, 165-167, 172

parataksis 265-269,276,283,

parsimony 12, 110, 155,186,218,249

patologi inti 295,297,299,301,302,305,308, 310,314,318-320

pembentukan reaksi 29,38,40,41,98

pemisahan individuasi 175, 176, 182

pencarian neurotik 191,207-209,211-214

pengalaman-pengalaman puncak 339,346,352,355,357,358,364

pengalihan 40,41,57,58,98, 146

peninggalan filogenetis 28,48,52

penis envy 47,49, 173,212,219

penyangkalan peran 305,320

permintaan neurotik 191,209,219

persona 3,15, 125, 126, 132, 133, 144, 156

Personal Orientation Inventory 352,364

Indeks

personifikasi 263-265,268,269

personifikasi eidetik 264,265

Peterson 315

prinsip Epigenetik 286,292,294

prinsip kenyataan 33,38,62,63

prinsip kesenangan 32-35,62,63, 195,

progresi 134, 135, 155

proses pertama 32

proses sekunder 32

prototaksis 265-267,283

proyeksi 40,42,43,64,98,128,168-170

pseudospesies 292

psikoanalisis 11, 19 ,20 ,22-26 ,29 ,54 ,56~58, 61,62,66,67,69-73 ,75 ,78-80 ,115 , 161, 162, 177, 178, 181, 185, 186, 191, 193, 195,211,214,217,218,223, 225-227,241,257,287-290,312,320, 324

psikoanalitis 179

psikofarmakologi 62

psikologi Analitis 17,114,115

psikologi humanistis 224

psikologi Individual 74,75,99

psikologi positif 356

psikologi sains 8

psikoneurosis 11,24

psikoseksual 44,47,52,66,68,288,294,295, 296,298,300,301,305,307-309,310,

. 311,318-320

psikosis 24,57,136,276,341

psikotik 124,133,136,186,245,341

R

regresi 40,42,96,98, 134, 135, 145, 155, 177

reliabilitas 15,353

represi 11,25,27,28,33,34,38-40,43,44,53, 54,62-67,73,98,126,169

resakralisasi 351

resistensi 56,149

respons kritis 146

Ssadisme 36,37,46,47,234,235

sains 3 ,5-8 ,10,20,61,106,136,145

Salomonsen 287,289

satyagraha 313

segitiga anal 46

Self-Analysis 192

sensasi 38, 139, 140, 157, 165,265,266,309,351,355

sensori-oral 295-297,320

Shostrom 352,353

sifat merusak 222,230,235

sikap 13,26,41,46,51,59,67,68,73,79,84, 87,89,91,92,94,97,99,100,102,104, 110, 117, 134-140,146,150, 154,156, 157, 172,173, 177, 178, 187, 196, 197, 201,203,242,250,257,261,269,272, 297,309,319,325,326,335,347,348,351,364

sikap Taoistik 351,364

siklus hidup 288

simbiosis inses 222,240

simbiosis normal 175

sintaksis 265-269,271,274-277,283

sintonik 294-297,299-302,307,309,310,319

sistem diri 260,262,263,267,270,276

Skala Generativitas Loyola (Loyola Generativity Scale—LGS) 315

skala minat sosial 109

skizofrenia 226,254-256,264,265,276,282

Indeks |

suara hati 33,34

sublimasi 18,43

submissiveness 198

Sullivan 17,80,164,194,226,240,252-268,270-284

superioritas 76 ,78 ,80-85,87,89,90,96,97, 99,101,107, 109,111, 112

T

tahap genital 44,172

tahap infantil 44,45

taksonomi 6,7,16,249

tekanan 28,36,40,46,54,55,72,166,204,309,334,338

teknik asosiasi bebas 21

teknik hipnotis 21

teknik terapeutik 21,54,56

teleologi 13, 16,72, 134, 135, 187,218,250, 319

teori Adlerian 74,80,104, 105,107

teori holistik-dinamis 323

teori ilmiah 8,16,70, G-5

teori pasca-aliran Freud 288

teori psikoanalisis humanistis 223

teori psikoanalisis sosial 191,214,217

terapi bermain 164,181

Tes Apersepsi Tematik (the Thematic Apperception Test) 243

tes asosiasi kata 114,145

tes noda tinta Rorschach (the Rorschach Inkblot Test) 243

thanatos 36,72

the interpersonal dependency scale 183

the Self-Directed Search (SDS) 105

the technique o f psychoanalytic therapy 193

tingkah laku ekspresif 337,342

tingkah laku penanganan 337,342

tirani atas apa yang sebaiknya (tyrany o f the shoulds) 208,210

toilet training 33,46,270,298

transferens 56,151,166,181, 182,242

transferens balik 151,242

transferens negatif 56,181

transformasi 11,28,43, 150,258,260,266,267,271,283

U

urutan kelahiran 14,99,107, 109, 112

usia bermain 299-303,320

usia Lanjut 286,308,309

V

Vaihinger 84

validitas 14, 15,52,66, 145,195,225,353,354

validitas diskriminan 15

validitas konstruk 14

validitas prediktif 14,15

W

wilayah misterius 51,68,69,99

Wilborn 108

womb envy 212

Y

yin 133,136

yang 133,136

Z

zona erogenus 36

.

*

• 6 i • ' I-'. i..M

M

.

! i'Sf! :hb»4

X

-

.

. *____ — : . . . _