YONARTI - perpustakaan universitas hasanuddin

49
HUBUNGAN ANTARA JUMLAH DAN LOKASI STENOSIS ARTERI KORONARIA DENGAN DURASI QRS PADA PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER Relationship Between Number and Site of Coronary Artery Stenosis with QRS Duration in Patients with Coronary Artery Disease YONARTI PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Transcript of YONARTI - perpustakaan universitas hasanuddin

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH DAN LOKASI STENOSIS

ARTERI KORONARIA DENGAN DURASI QRS

PADA PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER

Relationship Between Number and

Site of Coronary Artery Stenosis with QRS Duration

in Patients with Coronary Artery Disease

YONARTI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

i

ABSTRAK

Yonarti : Hubungan antara jumlah dan lokasi stenosis arteri koronaria dengan durasi QRS pada penderita Penyakit Jantung Koroner.

Latar Belakang : Penyakit jantung koroner atau dikenal juga dengan ischemic heart disease adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan miokard atas oksigen dengan penyediaan yang diberikan oleh pembuluh darah koroner. Elektrokardiografi (EKG) adalah sarana diagnostik yang penting untuk PJK. Elektrokardiografi mendeteksi kelainan miokard yang disebabkan oleh terganggunya aliran koroner. Durasi QRS menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi ventrikel melalui berkas His dan serabut purkinje. Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara iskemia dengan pemanjangan durasi QRS, meskipun mekanisme pemanjangan QRS saat oklusi arteri koroner masih belum dapat dijelaskan dengan pasti.

Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara jumlah dan lokasi stenosis dengan durasi QRS pada penderita PJK.

Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional cross-sectional. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan EKG dan angiografi. Pengambilan data dilakukan di RS. Wahidin Sudiorhusodo Makassar mulai Maret 2013 – Juni 2013.

Hasil : Diperoleh 80 subjek PJK yang memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari 71 orang laki-laki (88,8%) dan 9 orang perempuan (11,2%) dengan rerata usia 58,1 ± 9,9 tahun. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya perbedaan bermakna durasi QRS berdasarkan jumlah stenosis pembuluh darah utama (p<0.001). Pada stenosis 2VD atau 3 VD didapatkan durasi QRS secara statistik berbeda bermakna dibanding dengan durasi QRS jumlah stenosis 1 VD (berturut-turut p = 0,006 dan p = 0,001) dan pada durasi QRS pada multivessel disease (2-3) VD lebih panjang dibandingkan dengan pada 1 VD (104,3 dengan 94,6 milidetik). Pada kelompok subjek dengan stenosis di RCA mempunyai durasi QRS 105,0 ± 10,3 milidetik dan hal ini berbeda bermakna dengan subjek yang bukan stenosis di RCA (durasi QRS 93,3 ± 7,2 milidetik) dengan nilai p = 0,001. Dan pada subjek dengan stenosis pada LAD dan RCA secara statistik mempunyai durasi QRS berbeda bermakna dengan durasi QRS pada stenosis yang bukan pada LAD dan RCA (masing-masing durasi QRS adalah 106,0 ± 9,4 milidetik; 95,3 ± 7,9 milidetik dengan p 0,001).

ii

Kesimpulan : Pada penderita PJK peningkatan durasi QRS berhubungan dengan multivessel disease khususnya pada lokasi stenosis di RCA dan LAD.

Kata Kunci : Jumlah stenosis, lokasi stenosis, durasi QRS

iii

ABSTRACT

Yonarti: Relationship between Number and Site of Stenosis with QRS Duration in Patients with Coronary Artery Disease.

Background: Coronary artery disease or ischemic heart disease is a condition in which there is an inadequate supply of blood and oxygen to a portion of the myocardium; it typically occurs when there is an imbalance between myocardial oxygen supply and demand. Electrocardiography (ECG) is an important diagnostic tool for CAD. Electrocardiography detects myocardial abnormalities caused by coronary flow disruption. The QRS duration, or interval, is a measure of the time it takes to depolarize the ventricles through the His bundle and Purkinje fiber. Previous studies indicate that increased QRS duration in ECG is related to myocardium ischemic. Even though the mechanism of QRS prolongation as coronary artery occlusion still can not be explained exactly. Aim : To investigate the relationship of number and site of stenosis with QRS duration changes .

Methods: This was a cross-sectional observational study. Subjects who met the inclusion criteria were examined for arteriography coronary and ECG. Data collection was performed at Wahidin Sudiorhusodo Hospital Makassar from March 2013 to May 2013.

Results: There were 80 patients fulfilling study criteria. Seventy one patients were male (88,%), 8 patiens were female (11,2%), mean age 58,1 ± 9,9 yo. 2 VD or 3 VD group had significantly longer QRS duration compared with 1 VD, and multivessel disease had significantly longer QRS duration compared with 1 VD (104,3 ms vs. 94,6 ms). RCA stenosis group had significantly longer QRS duration compared with non-RCA stenosis group ( 105,0 ± 10,3 ms vs 93,3 ± 7,2 ms, p = 0,001). LAD and RCA stenosis group had significantly longer QRS duration compared with non-LAD and RCA stenosis group ( 106,0 ± 9,4 ms vs 95,3 ± 7,9 ms, p = 0,001). Conclusion: Longer QRS duration relate to multivessel disease esspecially at RCA and LAD stenosis.

Keywords: Number of Stenosis, Site of Stenosis, QRS duration

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala

rahmat dan karunia-Nya yang dilimpahkan, sehingga saya dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini, yang merupakan

karya akhir untuk melengkapi persyaratan penyelesaian pendidikan

keahlian pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin Makassar.

Pada kesempatan ini saya ingin menghaturkan penghargaan

dan ucapan terima kash yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ketua Konsorsium Ilmu Kesehatan di Jakarta, atas kesempatan

yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis I dalam bidang Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Prof. DR. Dr. Idrus Paturusi, SpB, SpBO, FICS; Rektor

Universitas Hasanuddin. Prof. DR. Ir. Mursalim dan Prof. DR.

Dr. A. Razak Thaha, MSc, SpGK; Direktur dan mantan Direktur

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, atas

kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti

Pendidikan Dokter Spesialis.

3. Prof. Dr. Irawan Yusuf, PhD; Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, atas kesempatan yang diberikan

kepada saya untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I

dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin Makassar.

4. Prof. DR. Dr. Syahrul Rauf, SpOG (K) dan Prof. DR. Dr.

Syamsu, SpPD, K-AI; Koordinator dan mantan Koordiator

PPDS-I Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin beserta

staf, yang senantisa memantau kelancaran program pendidikan

spesialis.

5. Prof. DR. Dr. Syakib Bakri, SpPD, K-GH dan Prof. Dr. A. Rifai

Amiruddin, SpPD, K-GEH (Alm.); Ketua dan mantan Ketua

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin, atas kesediaan beliau menerima, mendidik, dan

membimbing saya selama mengikuti pendidikan.

6. DR. Dr. Andi Makbul Aman, SpPD,K-EMD dan DR. Dr. A.

Fachruddin Benyamin, SpPD, K-HOM; Ketua dan mantan Ketua

v

Program Studi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin yang senantiasa

memberikan motivasi, membimbing dan mengawasi kelancaran

proses pendidikan selama saya mengikuti Program Pendidikan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

7. DR. Dr. Andi Makbul Aman, SpPD,K-EMD; Penasehat

Akademik saya yang selalu memantau, memberikan nasehat

yang berharga serta jalan keluar terbaik dalam mengatasi

masalah-masalah selama proses pendidikan saya.

8. DR. Dr. Idar Mappangara, SPPD, SpJP; selaku pembimbing

karya akhir, atas kesediaan meluangkan waktunya ditengah

kesibukannya untuk membaca, mengoreksi, berdiskusi,

memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan karya

akhir ini.

9. Seluruh Guru Besar, Konsultan dan staf pengajar di Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar sebagai pengajar yang sangat berjasa dan bagaikan

orang tua yang sangat saya hormati dan banggakan. Tanpa

bimbingan mereka, mustahil bagi saya untuk menimba ilmu dan

pengalaman di bidang Ilmu Penyakit Dalam.

10. DR. Dr. Arifin Seweng, MPH; selaku konsultan statistik atas

kesediaannya mengoreki sejak awal hasil penelitian ini.

11. Para Direktur, Staf dan penderita Rumah Sakit dimana saya

telah mengikuti pendidikan, yaitu : RS. Dr. Wahidin

Sudirohusodo, RSUD Labuang Baji, RS. Akademis, RS. Ibnu

Sina, RS Islam Faisal, RS Stella Maris, RS Pendidikan UNHAS

dan RSUD INCO Soroako Luwu Timur.

12. Para pegawai Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, atas segala bantuan dan kerjasamanya

selama ini.

13. Seluruh teman sejawat peserta PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, atas jalinan

persaudaraan dan kerjasamanya selama ini.

14. Para partisipan yang dengan penuh kesadaran dan keihklasan

mengikuti penelitian ini.

15. Pada saat yang berbahagia ini, saya tidak lupa menyampaikan

rasa hormat dan penghargaan tertinggi kepada kedua orang tua

saya, Ayahanda H. Thamrin Umar dan Ibunda Hj. Hadiyah

Guamo yang dengan tulus dan penuh kasih sayang senantiasa

vi

mendukung, membantu, mengingatkan, menasehati dan selalu

mendoakan agar menjadi manusia yang bermanfaat.

16. Kepada saudara-saudara saya : M. Nawir dan Ivan Larry,ST

serta keluarga lainnya yang selama ini dengan tulus dan ikhlas

memberikan dukungan dan doanya selama saya mengikuti

pendidikan hingga penyelesaian karya akhir.

17. Yang terakhir saya sampaikan terima kasih untuk suami saya H.

M. Irwan, SE dan buah hati kami ananda Salsabila Khalishah

atas segala pengertian, kasih sayang dan kesabarannya

mendampingi saya selama mengikuti pendidikan.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua

dan kiranya Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, petunjuk dan

hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya rabbal alamin.

Makassar, 1 Agustus 2013

Penulis

dr. Yonarti

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vii

DAFTAR SINGKATAN ix

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR x

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 4

D. Manfaat Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

A. Penyakit Jantung Koroner 5

B. Sirkulasi Koroner 6

C. Patogenesis 7

D. Sistim Konduksi Jantung 9

E. Kompleks QRS 10

F. Durasi/Interval QRS 11

G. Hubungan antara Durasi QRS dengan

iskemia 12

H. Angiografi Koroner 14

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN

HIPOTESIS PENELITIAN 15

A. Kerangka Teori 15

B. Kerangka Konsep 15

C. Variabel Penelitian 16

D. Hipotesis Penelitian 16

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 17

A. Rancangan Penelitian 17

B. Waktu dan Tempat Penelitian 17

C. Populasi dan Sampel Penelitian 17

D. Besar Sampel 18

E. Metode Pengumpulan Sampel 18

F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 18

G. Analisa Data 19

H. Alur Penelitian 21

viii

BAB V HASIL PENELITIAN 22 A. Deskriptif Hasil Penelitian 22 B. Hasil Analisis Durasi QRS menurut

Jumlah Stenosis berdasarkan Data Angiografi 24 C. Hasil Analisis Durasi QRS menurut

Jumlah Stenosis berdasarkan Data Angiografi 26 BAB VI PEMBAHASAN 29

BAB VII PENUTUP 34 A. Ringkasan 35 B. Kesimpulan 35 C. Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

ix

DAFTAR SINGKATAN

AV node : Atrioventrikulare node

CABG : Coronary Artery Bypass Graft

CBki : Cabang Berkas Kiri

CBka : Cabang Berkas kanan

DM : Diabetes Mellitus

EKG : Elektrokardiografi

LAD : Left Anterior Descendens artery

LAO : Left Anterior Oblique

LCA : Left Coronary Artery

LCx : Left Circumflex artery

PA Caudal : Posteroanterior Caudal

PJK : Penyakit Jantung Koroner

RAO cranial : Right Anterior Oblique cranial

RCA : Right Coronary Artery

SA node : Sinoatrial node

VD : Vessel Disease

WHO : World Health Organization

x

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1. Karakterisik Subjek Penelitian 22

Tabel 2. Sebaran Faktor Risiko PJK Berdasarkan Jumlah

dan Lokasi Stenosis 23

Tabel 3. Perbandingan Durasi QRS menurut Jumlah

Stenosis 24

Tabel 4. Rerata Perbedaan Durasi QRS menurut

Jumlah Stenosis 25

Tabel 5. Perbandingan Durasi QRS antara 1 VD

dengan 2-3 VD 26

Tabel 6. Perbandingan Durasi QRS berdasarkan

lokasi Stenosis 27

Tabel 7. Perbandingan Durasi QRS pada Stenosis

2 Lokasi 28

Gambar 1. Perbandingan Durasi QRS menurut Jumlah

Stenosis 25

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi suatu masalah

kesehatan dunia yang bersifat epidemik. Di seluruh dunia

diperkirakan 12,2% dari semua penyebab kematian diakibatkan oleh

PJK dan telah menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia.1 Di

Amerika Serikat 700.000 orang yang meninggal pertahunnya

diakibatkan oleh PJK, dan lebih dari 300.000 orang meninggal karena

infark miokard akut sebelum sampai ke Rumah Sakit. 2

Di Indonesia, angka kematian karena penyakit kardiovaskular

juga cenderung meningkat sebagai penyebab kematian. Data Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 menduduki urutan

ketiga (9,9%), tahun 1986 urutan kedua (9,7%), tahun 1992 menduduki

urutan pertama sebagai penyebab kematian bagi penduduk usia lebih

dari 45 tahun yaitu sebanyak 16,44%. Pada SKRT tahun 1995

penyakit kardiovaskular sebanyak 24,5% lebih tinggi dari penyakit

infeksi yang sebesar 22,5%, dibanding SKRT tahun 1992, proporsi

penyakit sistim sirkulasi ini meningkat cukup pesat. Sensus nasional

tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit

kardiovaskular termasuk PJK adalah sebesar 26,4 % dan sampai

2

dengan saat ini PJK juga merupakan penyebab utama kematian dini

pada sekitar 40 % dari sebab kematian laki-laki usia menengah.3

Elektrokardiografi (EKG) adalah sarana diagnostik yang

penting untuk PJK. Elektrokardiografi mendeteksi kelainan miokard

yang disebabkan oleh terganggunya aliran koroner. Pada keadaan

iskemia dan injuri menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi

miokard, yaitu segmen ST dan gelombang T. Sedangkan nekrosis

miokard menyebabkan gangguan pada proses depolarisasi yaitu

gelombang QRS dengan terdapatnya gelombang Q patologis.4

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara iskemia

dengan pemanjangan durasi QRS, meskipun mekanisme

pemanjangan QRS saat oklusi arteri koroner masih belum dapat

dijelaskan dengan pasti. Pemanjangan durasi QRS saat infark

sangat mungkin disebabkan secara primer oleh iskemia yang luas

dan kondisi metabolik yang buruk akibat iskemia.5

Durasi QRS yang dievaluasi berdasarkan EKG juga dapat

memberikan informasi prognosis, outcome terapi dan risiko

kardiovaskuler.6 Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan

adanya hubungan durasi QRS yang memanjang dengan

peningkatan risiko mortalitas, dimana salah satu studi melaporkan

durasi QRS sebagai salah satu prediktor terhadap risiko terjadinya

sudden cardiac death.7 Di era reperfusi, dalam salah satu studi juga

3

melaporkan durasi QRS telah menjadi prediktor reperfusi miokard

setelah fibrinolitik,8 dan juga adanya hubungan antara durasi QRS

awal dengan derajat reperfusi miokard setelah angioplasti perkutan

primer.5

Iskemia miokard terjadi bila ketidakseimbangan antara

kebutuhan miokard atas oksigen dengan penyediaan yang diberikan

oleh pembuluh darah koroner.9 Suplai darah miokard berasal dari

dua arteri koroner yang berasal dari radiks aorta. Arteri koroner

kanan sebagian besar menyuplai ventrikel kanan sedangkan arteri

koroner kiri menyuplai ventrikel kiri. Peranan dua arteri ini terhadap

suplai septum interventrikel dan dinding posterior ventrikel kiri

memiliki nilai yang bervariasi. Suplai darah pada septum

interventrikel sebagian besar berasal dari arteri koroner kanan.

Suplai darah ke nodus atrioventrikular (nodus AV) pada laki-laki

sekitar 85% dan pada perempuan 91% berasal dari arteri desenden

posterior yang merupakan cabang dari arteri koroner kanan, dan

sekitar 13% pada laki-laki dan 4,5% pada perempuan dari arteri

koroner kiri melalui cabang sirkumfleksa.10 Arteriografi koroner dapat

memberikan gambaran anatomis yang dapat dipercaya untuk

identifikasi ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi dan

prognosis.11

4

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka diajukan

rumusan masalah sebagai berikut :

- Apakah jumlah stenosis dan lokasi stenosis mempengaruhi

durasi QRS pada penderita PJK?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Menilai durasi QRS berdasarkan jumlah stenosis arteri

koroner.

2. Menilai durasi QRS berdasarkan lokasi stenosis arteri

koroner.

D. MANFAAT PENELITIAN

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, diharapkan

penelitian ini dapat memberi tambahan informasi mengenai durasi

QRS sebagai salah satu prediktor jumlah dan lokasi stenosis pada

penderita PJK.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT JANTUNG KORONER

Penyakit jantung koroner atau dikenal juga dengan ischemic

heart disease adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan

antara kebutuhan miokard atas oksigen dengan penyediaan yang

diberikan oleh pembuluh darah koroner. Penyakit ini menyerang

pembuluh darah yang mengalirkan darah ke jantung (arteri koroner)

sehingga terjadi penyempitan pada arteri koroner. Penyempitan

arteri koroner akibat proses aterosklerosis atau spasme atau

kombinasi keduanya.9

Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung

dan pembuluh darah telah menggantikan peran penyakit

tuberculosis paru sebagai penyakit epidemik di negara-negara maju,

terutama pada laki-laki. Pada saat ini penyakit jantung merupakan

penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada tahun 1999

sedikitnya 55,9 juta atau setara dengan 30,3 % kematian diseluruh

dunia disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut Badan Kesehatan

Dunia (WHO), 60% dari seluruh penyebab kematian penyakit

jantung adalah penyakit jantung koroner (PJK). 1

6

Di Indonesia, berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan

Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000

penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat

sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung

koroner menjadi pembunuh nomor satu di dalam negeri dengan

tingkat kematian mencapai 26%.

Penyakit jantung koroner meliputi angina pectoris stabil

maupun tidak stabil, penderita dengan exercise test yang positif,

infark miokard akut atau infark lama. Walaupun dengan tes non-

invasif dapat digunakan untuk mendiagnosa PJK, namun

pemeriksaan invasif seperti arteriografi koroner menjadi

pemeriksaan yang fundamental pada pasien PJK. Arteriografi

koroner dapat memberikan gambaran anatomis yang dapat

dipercaya untuk identifikasi ada tidaknya stenosis koroner,

penentuan terapi dan prognosis.12

B. SIRKULASI KORONER

Jantung menerima suplai oksigen dan nutrisi melalui arteri

koroner. Arteri koroner berasal dari radiks aorta. Dua cabang utama

arteri koroner adalah arteri koroner kanan atau right coronary artery

(RCA) dan arteri koroner kiri atau left coronary artery (LCA). LCA

bercabang menjadi arteri desending anterior dan arteri sirkumfleksa.

7

RCA bercabang menjadi arteri intraventrikuler posterior/arteri

desending posterior dan arteri marginalis kanan. RCA sebagian

besar menyuplai ventrikel kanan sedangkan LCA menyuplai

ventrikel kiri. Peranan dua arteri ini terhadap suplai septum

interventrikel dan dinding posterior ventrikel kiri memiliki nilai yang

bervariasi. Suplai darah pada septum interventrikel sebagian besar

berasal dari RCA. Suplai darah ke AV node pada laki-laki sekitar

85% dan pada perempuan 91% berasal dari arteri koroner kanan,

dan sekitar 13% pada laki-laki dan 4,5% pada perempuan dari LCA

melalui cabang sirkumfleksa.10,11

C. PATOGENESIS

Berkurangnya kadar oksigen miokard mengubah

metabolisme pada sel-sel miokard dari aerob menjadi anaerob. Hasil

akhir metabolisme anaerob yaitu asam laktat yang akan tertimbun

dan dapat menurunkan pH sel. Berkurangnya energi yang tersedia

dan keadaan asidosis dapat menggangu fungsi ventrikel dalam

memompa darah, sehingga miokard yang mengalami iskemia

kekuatannya berkurang, serabut-serabutnya memendek, dan daya

serta kecepatannya berkurang. Selain itu dinding segmen yang

mengalami iskemia menjadi abnormal, bagian tersebut akan

menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.13

8

Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung

menyebabkan perubahan hemodinamika yang bervariasi sesuai

tingkat keparahan iskemi dari miokard. Menurunnya fungsi ventrikel

kiri dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya volume

sekuncup. Akibatnya tekanan jantung kiri akan meningkat sehingga

terjadi peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung

sebelum timbul nyeri. Iskemia miokard biasanya disertai dengan 2

perubahan EKG akibat perubahan elektrofisiologi sel, yaitu

gelombang T terbalik dan depresi segmen ST.

Angina pectoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia

miokard. Nyeri biasanya digambarkan sebagai satu tekanan

substernal, kadang-kadang menyebar turun ke sisi medial lengan

kiri. Umumnya angina dipicu oleh peningkatan kebutuhan oksigen

miokard akibat peningkatan aktivitas.

Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan

mengakibatkan kerusakan sel ireversibel serta nekrosis miokard.

Miokard yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti

berkontraksi secara permanen. Terdapat 2 jenis infark, infark

transmural dan infark subendokardial.12

9

D. SISTIM KONDUKSI JANTUNG

Berbeda dengan sel-sel lainnya, dalam jantung terdapat

kumpulan sel-sel jantung khusus yang mempunyai sifat dapat

menimbulkan potensial aksi sendiri tanpa adanya stimulus dari luar.

Sifat sel-sel ini disebut automatisitas. Sel-sel ini terkumpul dalam

suatu sistim yang disebut sistim konduksi jantung.

Sistim konduksi jantung terdiri atas Nodus Sinoatrial (nodus

SA), Sistim konduksi intra-atrial, Nodus Atrio-ventrikular (nodus AV),

Berkas His, Cabang Berkas kiri dan kanan, Fasikel dan Serabut

Purkinje.

Pengendali utama siklus jantung ialah sinus yang mengawali

timbulnya potensial aksi yang diteruskan melalui atrium kanan dan

kiri menuju nodus AV, terus ke berkas His, selanjutnya ke cabang

berkas kanan dan kiri dan akhirnya mencapai serabut Purkinje.

Impuls listrik yang diteruskan melalui atrium menyebabkan

depolarisasi atrium, sehingga terjadi sistol atrium. Impuls yang

kemudian mencapai nodus AV, mengalami perlambatan konduksi

sesuai dengan sifat fisiologis nodus AV. Selanjutnya impuls yang

mencapai serabut-serabut purkinje akan menyebabkan kontraksi

otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi sistol

ventrikel.4

10

E. KOMPLEKS QRS

Kompleks QRS ini menunjukkan arti klinis terpenting dari

seluruh gambaran EKG, karena kompleks QRS mewakili

depolarisasi ventrikel atau penyebaran impuls di seluruh ventrikel.

Ada tiga komponen yang membentuk kompleks ini:

a. Gelombang Q yaitu bagian defleksi negatif sebelum

suatu defleksi positif.

b. Gelombang R yaitu defleksi positif yang pertama muncul,

disertai atau tidak disertai gelombang Q.

c. Gelombang S yaitu defleksi negatif setelah gelombang

R.14,15

Impuls listrik yang datang dari nodus SA akan menjalar

dengan cepat ke nodus AV, kemudian akan terjadi sedikit

perlambatan konduksi di nodus AV (membentuk sebagian besar dari

interval PR), setelah itu menjalar lagi secara cepat ke seluruh

ventrikel melalui berkas His dan serabut purkinje (membentuk

kompleks QRS).14

Dari berkas His ini keluar cabang awal yang mengaktivasi

septum dari kiri ke kanan. Ini mengawali vektor QRS yang

menimbulkan gelombang Q di I, II, III, aVL, V5 dan V6, tergantung

dari arah vektor awal tersebut.

Selanjutnya impuls berlanjut melalui cabang berkas kiri

(CBKi), cabang berkas kanan (CBKa), dan mengaktivasi ventrikel

11

kiri dan kanan. Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis dari

pada ventrikel kiri, maka gaya listrik yang ditimbulkan ventrikel kiri

jauh lebih kuat daripada ventrikel kanan.14

Gambaran kompleks QRS pada bidang horizontal yang

normal mempunyai corak yang khas. Sandapan V1 dan V2 terletak

paling dekat dengan ventrikel kanan sehingga disebut kompleks

ventrikel kanan. Disini gaya listrik dari ventrikel kanan menimbulkan

gelombang R yang selanjutnya diikuti gelombang S yang

menggambarkan gaya listrik dari ventrikel kiri. Sebaliknya sandapan

V5 dan V6 paling dekat dengan ventrikel kiri sehingga sandapan ini

disebut kompleks ventrikel kiri. Disini gelombang Q menggambarkan

aktivasi ventrikel kanan atau septum, sedangkan gelombang R

menggambarkan aktivasi ventrikel kiri. Dengan demikian gambaran

kompleks QRS pada bidang horizontal ialah gelombang R

meningkat dari V1 ke V6, sedangkan gelombang S mengecil dari V1

ke V6.15

F. DURASI / INTERVAL QRS

Durasi QRS menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi

ventrikel melalui berkas His dan serabut purkinje. Interval QRS

dihitung dari permulaan gelombang Q sampai akhir gelombang S.

Nilai normal untuk orang dewasa adalah antara 0,06-0,11 detik,

sedangkan pada bayi yang baru lahir antara 0,04-0,05 detik. Belum

12

dapat dijelaskan fenomena apa yang menyebabkan durasi QRS pada

sandapan prekordial selalu 0.01-0,02 lebih panjang bila dibandingkan

dengan standard limb lead. Dari berbagai hasil penelitian ditemukan

bahwa sandapan V1 dan V2 adalah sandapan EKG yang paling tepat

untuk mengukur durasi QRS.14

Durasi QRS yang bernilai 0,12 detik (3 kotak kecil) atau lebih

merupakan tanda adanya gangguan konduksi intraventrikuler.

Gangguan ini bisa disebabkan oleh bundle branch block, escape

rhythm yang letaknya di bawah nodus atau aritmia ventricular. Selain

itu faktor lain yang dapat menyebabkan durasi QRS melebar adalah

hipotermia, hiperkalemia dan obat-obatan antiaritmia yang dapat

menyebabkan sodium channel blockers seperti quinidin.16,17,18

G. HUBUNGAN ANTARA DURASI QRS DAN ISKEMIA

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara

iskemia dengan pemanjangan durasi QRS, yang mana hal ini

diperkirakan oleh karena terjadinya perlambatan konduksi yang

melalui area miokard yang iskemik.19,20 Weston dkk21 melaporkan

pemanjangan durasi QRS setelah oklusi arteri koroner pada hewan

percobaan dan hubungan pemanjangan durasi QRS dengan jumlah

kerusakan miokard. Cantor dkk22 menunjukkan pemanjangan QRS

pada pasien yang menjalani PCI elektif dan terdapat pemanjangan

durasi QRS yang lebih bermakna bila dilakukan oklusi pada arteri

13

mayor segmen proksimal ataupun segmen tengah. Juga telah

ditunjukkan bahwa pemanjangan durasi QRS dapat meningkatkan

akurasi diagnostik dari exercise ECG stress test yang sebagian

besar berdasarkan perubahan segmen ST. Dan pemanjangan

durasi QRS ini berhubungan dengan jumlah obstruksi arteri

koroner.21

Mekanisme pemanjangan QRS saat oklusi arteri koroner

masih belum diketahui dengan pasti. Pemanjangan durasi QRS saat

infark sangat mungkin disebabkan secara primer oleh iskemia yang

luas dan kondisi metabolik yang buruk akibat iskemia. Pada model

eksperimental iskemia miokard juga ditemukan adanya perlambatan

konduksi antara serabut Purkinje dan jaringan ventrikel.23,24 Pada

miokard ventrikel yang mengalami infark, selain konduksi yang

melambat, juga ditemukan heterogenitas konduksi. Gangguan

konduksi ini paling jelas terdeteksi pada daerah infark yang

mengalami penyembuhan dan dihubungkan dengan disarray

serabut-serabut miokard, dimana pada sel-sel miosit yang selamat

dari infark terlihat urutan aktivasi yang ‘zigzag’.20 Pada hewan

percobaan, pemanjangan durasi QRS juga berhubungan dengan

aliran kolateral yang sangat rendah ke daerah miokard yang infark;

dimana hewan dengan volume kolateral yang lebih banyak akan

14

mengalami nekrosis miokard yang lebih sedikit dan tidak terjadi

pemanjangan durasi QRS.21

H. ANGIOGRAFI KORONER

Pemeriksaan arteriografi koroner untuk menetukan letak dan

beratnya stenosis dari pembuluh darah koroner. Kateter didorong

sampai muara arteri koroner, dan secara selektif disuntikkan bahan

kontras radiografi ke dalam pembuluh koroner dan dilakukan

pemotretan dengan alat sineangiografi, sehingga pembuluh koroner

sampai ke cabang-cabangnya dapat divisualisai. Setiap pembuluh

koroner dilihat dari berbagai proyeksi untuk mengurangi overlapping

dan lebih akurat dalam menentukan beratnya penyempitan. Proyeksi

yang lazim dipakai left anterior oblique (LAO), right anterior oblique

cranial (RAO cranial), posteroanterior caudal (PA caudal) untuk

pembuluh darah koroner kiri sedangkan untuk pembuluh darah

koroner kanan dipakai proyeksi LAO, RAO, dan PA cranial.

Dengan arteriografi koroner, lokasi, beratnya dan morfologi

tempat penyempitan dapat dianalisis dengan baik, dan hasilnya

penting untuk menentukan apakah pasien membutuhkan bedah

pintas koroner atau tindakan intervensi dengan memakai dasar

kateter.11,25

15

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN

HIPOTESIS

PENELITIAN

A. KERANGKA TEORI

B. KERANGKA KONSEP

Atherosklerosis

Oklusi arteri koroner: Jumlah dan lokasi

Iskemia miokard Nekrosis miokard

Gangguan konduksi impuls

Durasi QRS memanjang

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Gangguan

konduksi

impuls

D

U

R

A

S

I

Q

R

S

DM Hipertensi Dislipidemia Merokok Obesitas

Jumlah

stenosis

Hiperkalemia, post CABG, aritmia, pace maker

Lokasi

stenosis

Hiperkalemia, post

CABG, aritmia,

pace maker

16

C. VARIABEL PENELITIAN

- Variabel independen : jumlah stenosis arteri koroner

lokasi stenosis arteri koroner

- Variabel dependen : durasi QRS

D. HIPOTESIS PENELITIAN

1. Durasi QRS lebih panjang pada multivessel disease

dibanding one vessel disease.

2. Durasi QRS lebih panjang pada stenosis di RCA.

17

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Bagian Penyakit Dalam RS Dr. Wahidin

Sudirohusodo mulai Maret 2013 sampai tercapai jumlah sampel yang

diinginkan.

C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi : semua pasien PJK yang melakukan pemeriksaan

angiografi di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Sampel : populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi :

a. Penderita PJK yang didiagnosa berdasarkan angiografi.

b. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat

persetujuan.

Kriteria eksklusi :

a. Aritmia (blok, kontraksi prematur).

b. Hiperkalemia

c. Sedang mengkonsumsi obat antiaritmia golongan quinidin.

18

d. Pernah menjalani operasi Coronary Artery Bypass Graft.

e. Menggunakan alat pacu jantung

D. BESAR SAMPEL

Estimasi jumlah sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus :

N = zά2P

d2

Keterangan :

Z = nilai standar untuk 0,05 = 1,96

P = Proporsi variabel yang diteliti = 0,1

Q = 1 – P = 0,9

D = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0,1

Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh jumlah

sampel minimal 60 sampel.

E. METODE PENGUMPULAN SAMPEL

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive

sampling sampai jumlah sampel yang diinginkan tercapai.

F. DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF

1. Penyakit jantung koroner atau dikenal juga dengan ischemic

heart disease adalah pasien dengan angina pectoris stabil

maupun tidak stabil, pasien dengan exercise test yang

19

positif, pasien dengan infark miokard akut atau infark lama

yang dibuktikan dengan angiografi.

Kriteria objektif 25:

PJK : : jika didapatkan sumbatan dari salah satu atau lebih

dari tiga arteri koroner utama yaitu left arterial descendens

artery (LAD), right coronary artery (RCA) dan left circumflex

artery (LCX), dengan stenosis > 50%.

2. Durasi QRS adalah waktu yang dibutuhkan mulai dari

permulaan gelombang Q sampai akhir gelombang S.

Kriteria Objektif :

Durasi QRS berdasarkan hasil pembacaan EKG 12 lead

standar, yang direkam dan dihitung secara otomatis dengan

alat perekam EKG.

3. Beratnya stenosis : berdasarkan jumlah stenosis arteri

koroner dari pemeriksaan angiografi koroner yang dibagi

menjadi stenosis 1 arteri koroner, stenosis 2 arteri koroner

dan stenosis 3 arteri koroner.

Kriteria objektif 26:

Stenosis 1 arteri koroner : jika didapatkan satu

sumbatan dari tiga arteri koroner utama yaitu LAD,

RCA dan LCX, dengan stenosis > 50%.

20

Stenosis 2 arteri koroner : jika didapatkan dua

sumbatan dari tiga arteri koroner utama yaitu LAD,

RCA dan LCX, dengan stenosis > 50%.

Stenosis 3 arteri koroner : jika didapatkan tiga

sumbatan dari tiga arteri koroner utama yaitu LAD,

RCA dan LCX, dengan stenosis > 50%.

4. Lokasi stenosis arteri koroner : hasil yang didapat dari

pemeriksaan angiografi koroner, dimana hasil yang dicatat

adalah lokasi pembuluh darah koroner yang mengalami

stenosis.

Kriteria objektif :

Lokasi stenosis dibagi atas : left arterial descendens

artery (LAD), right coronary artery (RCA) dan left

circumflex artery (LCX)

G. ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dianalisis melalui komputer dengan

menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS)

dengan uji Chi Square, uji t dan uji korelasi. Hasil yang diperoleh akan

ditampilkan dalam bentuk narasi yang dilengkapi dengan tabel dan

grafik.

21

H. ALUR PENELITIAN

Populasi :

penderita PJK

EKG : menilai durasi QRS

Angiografi koroner:

menilai jumlah dan lokasi stenosis

Pengumpulan data

Analisis data

Pelaporan hasil dan pembahasan

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

22

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium terhadap subjek penelitian, diperoleh karakteristik yang

dirangkum pada tabel 1. Subjek penelitian adalah penderita PJK terdiri

dari 71 orang laki-laki (88,8%) dan 9 orang perempuan (11,2%)

dengan rentang usia 34-78 tahun dengan rerata 58,1 ± 9,9.

Tabel 1. Karakterisik Subjek Penelitian

n %

Jenis kelamin laki-laki (%) 71 88,8

Usia ≤ 58 tahun*

Faktor risiko:

Diabetes Mellitus

Hipertensi

Dislipidemia

Merokok

Riwayat keluarga

42

21

31

37

35

2

52,5

26,3

38,8

46,3

43,8

2,5

Data angiografi

1 vessel disease

2 vessel disease

3 vessel disease

Lokasi stenosis:

LAD

LCx

RCA

33

16

31

65

45

48

41,3

20,0

38,8

41,1

28,5

30,4

Rerata ± SD : 58,1 ± 9,9

23

Tabel 2. Sebaran Faktor Risiko PJK berdasarkan Jumlah

dan Lokasi Stenosis

Faktor

Risiko

1 VD 2 VD

3 VD

LAD

LCx

RCA

LAD +

LCx

LAD +

RCA

LCx+

RCA

n % n % n % n % n % n % n %

DM

HT

Dislipidemia

Merokok

Riw.keluarga

5

4

10

9

0

6,25

5,0

12,5

11,25

0

1

2

1

1

1

1,25

2,5

1,25

1,25

1,25

1

2

4

5

0

1,25

2,5

5,0

6,25

0

2

4

3

6

0

2,5

5,0

3,75

7,5

0

4

4

3

1

0

5,0

5,0

3,75

1,25

0

2

1

1

0

0

2,25

1,25

1,25

0

0

6

14

15

13

1

7,5

17,5

18,75

16,25

1,25

Pada tabel 2 menunjukkan, subjek dengan 1 VD, pada lokasi

LAD terdapat faktor risiko yang paling banyak adalah dislipidemia dan

merokok; faktor risiko tersebar hampir sama pada lokasi LCx;

sedangkan pada lokasi RCA merokok dan dislipidemia adalah faktor

risiko yang paling banyak ditemukan. Sedangkan pada subjek dengan

2 VD, pada lokasi LAD dan LCx merokok dan hipertensi adalah faktor

risiko paling banyak ditemukan; pada LAD dan RCA DM dan hipertensi

yang paling banyak ditemukan; pada LCx dan RCA terdapat faktor

risiko yang hampir sama. Pada subjek dengan 3 VD distribusi

dislipidemia, hipertensi dan merokok adalah faktor risiko yang paling

banyak.

24

B. HASIL ANALISIS DURASI QRS MENURUT JUMLAH STENOSIS

BERDASARKAN DATA ANGIOGRAFI

Pada tabel 2 menunjukkan bahwa rerata durasi QRS pada

stenosis 1 VD adalah 94,6 ± 6,9 milidetik, dan durasi QRS makin

memanjang pada 2 VD yaitu 103,1 ± 11,1 milidetik dan pada 3 VD

105,0 ± 11,5 milidetik. Dari hasil penelitian ini didapatkan perbedaan

durasi QRS berdasarkan jumlah pembuluh darah dan secara statistik

bermakna (p<0.001).

Keterangan : p=probabilitas

Pada tabel 3 menunjukkan adanya perbedaan bermakna durasi

QRS berdasarkan jumlah stenosis pembuluh darah utama. Data ini

menunjukkan durasi QRS pada stenosis 2VD dan 3 VD secara statistik

berbeda bermakna dibanding dengan durasi QRS jumlah stenosis 1

VD (berturut-turut p = 0,006 dan p = 0,001). Akan tetapi perbandingan

durasi QRS antara stenosis 2 VD dengan 3 VD secara statistik tidak

Tabel 3. Perbandingan Durasi QRS menurut Jumlah Stenosis

Stenosis n Rerata

(milidetik)

Simpang

Baku p

1 VD

2 VD

33

16

94,6

103,1

6,9

11,1

0,001

3 VD 31 105,0 11,5

25

didapatkan perbedaan yang bermakna yaitu dengan p = 0,527.

(Gambar 1.)

Tabel 4. Rerata Perbedaan Durasi QRS menurut Jumlah Stenosis

Gambar 1. Perbandingan Durasi QRS menurut Jumlah Stenosis

(I) Jumlah

Stenosi

s

(J) Jumlah

Stenosis Mean Difference (I-J) p

1 _ 2 - 8,5* 0,006

0,000

0,006

0,527

0,000

0,527

_2

_3

3

_ 1

3

_ 1

2

-10,4*

8,5*

-1,9

10,4*

1,9

26

Tabel 5. Perbandingan Durasi QRS antara 1 VD dengan

multivessel disease (2-3 VD)

Jumlah Stenosis n Mean SD p

dimension1

1 VD 33 94,6 6,9

0,001 Multivessel

disease

47 104,3 11,3

Independent t test

Pada table 5 menunjukkan terdapat perbedaan signifikan durasi

QRS antara 1 VD dengan multivessel disease (p<0,001). Durasi QRS

pada 2-3 VD lebih panjang dibandingkan dengan pada 1 VD yaitu

104,3 dengan 94,6.

C. HASIL ANALISIS DURASI QRS MENURUT LOKASI STENOSIS

BERDASARKAN DATA ANGIOGRAFI

Pada tabel berikut memperlihatkan perbedaan rerata durasi

QRS berdasarkan stenosis pada masing-masing lokasi stenosis

pembuluh darah utama arteri koronaria, yaitu pada LAD, LCx dan

RCA.

27

Tabel 6. Perbandingan Durasi QRS berdasarkan Lokasi Stenosis

Lokasi n Rerata

(milidetik)

Simpang

Baku P

LAD

Ya

Tidak

LCx

Ya

Tidak

RCA

Ya

Tidak

65

15

45

35

48

32

100,7

98,5

102,1

98,0

105,0

93,3

11,3

8,0

11,7

9,2

10,3

7,2

0,482

0,078

0,001

Independent T test

Pada tabel 6 memperlihatkan bahwa subjek dengan stenosis

pada LAD mempunyai rerata durasi QRS 100,7 ± 11,3 milidetik dan

secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 0,482) dibanding

dengan durasi QRS 98,5 ± 8,0 milidetik pada subjek dengan stenosis

bukan pada LAD. Begitu pula pada subjek dengan stenosis pada LCx,

durasi QRS tidak berbeda bermakna dengan subjek yang bukan

stenosis di LCx ( durasi QRS pada stenosis di LCx 102,1 ± 11,7

milidetik dan yang bukan stenosis di LCx 98,0 ± 9,2 milidetik). Akan

tetapi pada subjek dengan stenosis di RCA mempunyai durasi QRS

105,0 ± 10,3 milidetik dan hal ini berbeda bermakna dengan subjek

yang bukan stenosis di RCA (durasi QRS 93,3 ± 7,2 milidetik) dengan

nilai p = 0,001.

28

Tabel 7. Perbandingan Durasi QRS pada Stenosis 2 Lokasi

Pembuluh Darah

Lokasi n Rerata

(milidetik)

Simpang

Baku P

LAD & LCx

Ya

Tidak

LAD & RCA

Ya

Tidak

LCx & RCA

Ya

Tidak

6

74

8

72

2

78

94,5

100,78

107,88

99,47

109,5

100,8

9,482

10,802

9,234

10,669

9,192

10,769

0,171

0,036

0,225

Independent T test

Hasil pada tabel 7 ini menunjukkan subjek dengan stenosis

pada LAD dan LCx mempunyai rerata durasi QRS 94,5 ± 9,482

milidetik dan secara statistik tidak berbeda bermakna dengan subjek

dengan stenosis bukan pada LAD dan LCx (p = 0,171). Begitu pula

pada subjek dengan stenosis pada LCx dan RCA mempunyai durasi

QRS 109,5 ± 9,192 milidetik dan secara statistik tidak berbeda

bermakna dengan subjek pada stenosis bukan di LCx dan RCA (

durasi QRS 100,8 ± 10,769 milidetik, p = 0,225). Tetapi pada tabel 7

menunjukkan subjek dengan stenosis pada LAD dan RCA secara

statistik mempunyai durasi QRS berbeda bermakna dengan durasi

QRS pada stenosis yang bukan pada LAD dan RCA (masing-masing

durasi QRS adalah 107,88 ± 9,234 milidetik; 99,47 ± 10,669 milidetik

dengan p 0,036).

29

BAB VI

PEMBAHASAN

Kompleks QRS ini menunjukkan arti klinis terpenting dari

seluruh gambaran EKG, karena kompleks QRS mewakili depolarisasi

ventrikel atau penyebaran impuls di seluruh ventrikel. Durasi QRS

menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi ventrikel melalui

berkas His dan serabut purkinje. Interval QRS dihitung dari permulaan

gelombang Q sampai akhir gelombang S. Beberapa penelitian telah

menunjukkan hubungan antara iskemia dengan pemanjangan durasi

QRS, yang mana hal ini diperkirakan oleh karena terjadinya

perlambatan konduksi yang melalui area miokard yang iskemik.19,20

Penelitian ini akan melihat hubungan antara durasi QRS dengan

jumlah dan lokasi stenosis arteri koronaria pada penderita PJK.

Dari 80 sampel yang diteliti, proporsi laki-laki sangat

mendominasi dibandingkan proporsi perempuan (masing-masing

88,8% dan 11,2%), dengan rentang usia 34-78 tahun, rerata 58,1 ±

9,9 milidetik dengan umur ≤ 52 tahun sedikit lebih banyak yaitu 52,5%.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya perbedaan bermakna

durasi QRS berdasarkan jumlah stenosis pembuluh darah utama

(p<0.001). Pada penelitian ini didapatkan durasi QRS pada stenosis

2VD dan 3 VD secara statistik berbeda bermakna dibanding dengan

30

durasi QRS jumlah stenosis 1 VD (berturut-turut p = 0,006 dan p =

0,001). Akan tetapi perbandingan durasi QRS antara stenosis 2 VD

dengan 3 VD secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang

bermakna yaitu dengan p = 0,527. Penelitian kami ini sesuai dengan

penelitian Weston dkk, yang melakukan oklusi arteri koroner pada

hewan coba anjing dimana perpanjangan durasi QRS sesuai dengan

semakin besarnya ukuran infark miokard post mortem. Floyd dkk juga

mendapatkan perpanjangan durasi QRS pada hewan coba anjing yang

dilakukan oklusi pada arteri koroner yaitu pada keadaan iskemia yang

luas, sedangkan pada keadaan iskemia yang ringan atau telah terjadi

kolateral perubahan durasi QRS hanya sedikit dan bahkan hampir

tidak ada.

Penelitian pada manusia mengenai hubungan durasi QRS

dengan derajat iskemia miokard salah satunya adalah Cantor dkk22

menunjukkan pemanjangan QRS pada pasien yang menjalani PCI

elektif dan terdapat pemanjangan durasi QRS yang lebih bermakna

bila dilakukan oklusi pada arteri mayor segmen proksimal ataupun

segmen tengah. Juga telah ditunjukkan bahwa pemanjangan durasi

QRS dapat meningkatkan akurasi diagnostik dari exercise ECG

stress test yang sebagian besar berdasarkan perubahan segmen

ST. Dan pemanjangan durasi QRS ini berhubungan dengan jumlah

obstruksi arteri koroner.21

31

Mekanisme pemanjangan QRS saat oklusi arteri koroner

masih belum diketahui dengan pasti. Pemanjangan durasi QRS saat

infark sangat mungkin disebabkan secara primer oleh iskemia yang

luas dan kondisi metabolik yang buruk akibat iskemia. De Bakker27

dkk dalam studinya terhadap 7 pasien yang akan menjalani

transplantasi jantung, menemukan adanya perlambatan konduksi

pada reseksi struktur miokard yang infark. Pada model

eksperimental iskemia miokard juga ditemukan adanya perlambatan

konduksi antara serabut Purkinje dan jaringan ventrikel.23,24 Pada

hewan percobaan, pemanjangan durasi QRS juga berhubungan

dengan aliran kolateral yang sangat rendah ke daerah miokard yang

infark; dimana hewan dengan volume kolateral yang lebih banyak

akan mengalami nekrosis miokard yang lebih sedikit dan tidak terjadi

pemanjangan durasi QRS.21

Pada penelitian ini juga memperlihatkan perbedaan durasi

QRS pada lokasi LAD, LCx dan RCA, namun yang signifikan

berbeda hanya pada lokasi RCA (p<0,000). Dan juga terlihat bahwa

hanya terdapat perbedaan durasi QRS yang signifikan pada lokasi

LAD dan RCA (p<0,036).

Mekanisme yang mendasari mengapa pada lokasi RCA

yang secara signifikan memperlihatkan perbedaan durasi QRS

belum dapat diketahui secara pasti. Namun dalam literatur

dijelaskan RCA sebagian besar menyuplai ventrikel kanan. Suplai

32

darah pada septum interventrikel sebagian besar berasal dari RCA.

Suplai darah ke AV node pada laki-laki sekitar 85% dan pada

perempuan 91% berasal dari arteri koroner kanan, dan sekitar 13%

pada laki-laki dan 4,5% pada perempuan dari LCA melalui cabang

sirkumfleksa.10 Apakah ada hubungan antara oklusi RCA yang

menyuplai darah ke AV node dengan perpanjangan durasi QRS

mungkin masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan durasi QRS yang

signifikan pada lokasi LAD dan RCA pada stenosis 2 VD. Dua

cabang utama arteri koroner adalah arteri koroner kanan atau right

coronary artery (RCA) dan arteri koroner kiri atau left coronary artery

(LCA). LAD merupakan percabangan utama dari LCA. RCA

sebagian besar menyuplai ventrikel kanan sedangkan LAD

menyuplai ventrikel kiri. Sehingga oklusi pada kedua arteri mayor ini

akan memberikan daerah iskemia yang luas dan mempengaruhi

sistim konduksi. Mekanisme yang jelas mendasari hal ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.

Walaupun dalam literatur kami belum menemukan penelitian

yang sama persis dengan penelitian kami, akan tetapi telah ada

beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan

durasi QRS yang memanjang dengan peningkatan risiko mortalitas,

dimana salah satu studi melaporkan durasi QRS sebagai salah satu

33

prediktor terhadap risiko terjadinya sudden cardiac death.7 Di era

reperfusi, dalam salah satu studi juga melaporkan durasi QRS telah

menjadi prediktor reperfusi miokard setelah fibrinolitik,8 dan juga

adanya hubungan antara durasi QRS awal dengan derajat reperfusi

miokard setelah angioplasti perkutan primer.5

34

BAB VII

PENUTUP

A. RINGKASAN

1. Durasi QRS semakin panjang berdasarkan dengan

bertambahnya jumlah stenosis, dimana pada multivessel

disease (2 VD dan 3 VD) mempunyai durasi QRS yang lebih

panjang secara bermakna jika dibandingkan dengan stenosis

1 VD.

2. Pada subjek dengan 1 VD lokasi stenosis di RCA mempunyai

durasi QRS lebih panjang dan secara bermakna dibandingkan

dengan subjek bukan stenosis di RCA.

3. Pada subjek dengan multivessel disease lokasi stenosis di LAD

dan RCA mempunyai durasi QRS lebih panjang secara

bermakna dibandingkan dengan subjek dengan lokasi stenosis

di RCA dan LCx atau LAD dan LCx.

B. KESIMPULAN

Pada penderita PJK peningkatan durasi QRS berhubungan

dengan multivessel disease khususnya pada lokasi stenosis di RCA

dan LAD.

35

C. SARAN

1. Durasi QRS dapat dipergunakan sebagai prediktor ada

tidaknya multivessel disease pada penderita PJK.

2. Durasi QRS dapat dipergunakan sebagai prediktor ada

tidaknya stenosis di RCA dan LAD.

3. Perlunya penelitian dengan sampel yang lebih besar dan

disain penelitian yang khusus agar EKG dapat juga

dipergunakan sebagai salah satu prediktor jumlah dan lokasi

stenosis.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. The global burden of disease: 2004 update. 2004. www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/2004_report_update/en/index.htmlAccessed February, 11th 2013

2. Fox CS, Evans JC, Larson MG, Kannel WB, Levy D. Temporal trends in coronary heart disease mortality and sudden cardiac death from 1950 to 1999 : The Framingham Heart Study. Circulation. 2004;110:522-527.

3. Makmun LH, Alwi I, Ranitya R. Panduan tatalaksana sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST. Jakarta : Interna Publishing; 2009:1-55.

4. Sunoto P, Yamin M, Harun S. Elektrokardiografi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 1455-1466.

5. Ketaren AP, Harimurti GM, Sunu I. Hubungan durasi QRS awal dengan derajat reperfusi miokard setelah angioplasti koroner perkutan primer. J Kardiol Indones. 2009; 30 : 15-22

6. Brenyo A, Zaręba W. Prognostic significance of QRS duration and morphology. Cardiology Journal. 2011; 18(1):8-17.

7. Kurl S, Mäkikallio TH, Rautaharju P, Kiviniemi V, Laukkanendin JA. Duration of QRS complex in resting electrocardiogram is a predictor of sudden cardiac death in men. Circulation. 2012;125:2588-2594.

8. Kacmaz F, Maden O, Celebi SA, Ureyen C, Alyan O et all. Relationship of admission QRS duration and changes in qrs duration with myocardial reperfusion in patients with acute ST segment elevation myocardial infarction (STEMI) treated with fibrinolytic therapy. Circ J 2008; 72: 873 –879

9. Antman EM, Selwyn AP, Braunwald E, Loscalzo J. Ischemic heart disease. In: Loscalzo J eds. Harrison’s cardiovascular medicine. New York: The McGraw-Hill Companies;2010: 366-386

10. Fiss DM. Normal coronary anatomy and anatomic variations. 2007. http://www.appliedradiology.com/uploadedfiles/Issues/2007/01/Supplements/AR_01-07_SOAR_Fiss.pdf. Accessed February, 11th

2013. 11. Popma JJ. Coronary arteriography. In : Braunwald E, Bonow RO,

Mann DL, Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald’s heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 9

th ed. Philadelphia: Elsevier

Saunders; 2012:406-440. 12. Rahman AM. Angina pectoris stabil. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 1611-1613

37

13. Shah PK, Falk E. Pathophysiology of myocardial ischemia. In: Crawford MH, DiMarco JP, Paulus WJ. Cardiology . 3rd ed. Philadelphia: Elsevier;2010: 242-251

14. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskuler secara rasional. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI; 2010.

15. Yamin M. Harun S. Makmun LH. Elektrofisiologi. . In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 1547-1552

16. Ghammaghami CA, Lindsey JH. Pericarditis, myocarditis, drug effect and congenital heart disease. In: Morris F, Edhouse J, Brady WJ, Gamm J. ABC of clinical electrocardiology. London: BMJ group;2003:70-71.

17. Rogers RL, Mitarai M, Mattu A. Intraventricular conduction abnormalities. Emerg med clin N am. 2006;24:41-51.

18. Wald DA. ECG manifestations of selected metabolic and endocrine disorders. Emerg Med Clin N Am. 2006;24:145-157

19. Holland RP, Brooks H: The QRS complex during myocardial ischemia. J Clin Invest. 1976;57:541-550.

20. Michaelides AP, Dilaveris PE, Psomadaki ZD,Richter DJ, Andrikopoulos GK, et all. QRS prolongation on the Signal-Averaged Electrocardiogram versus ST-Segment changes on the 12-lead electrocardiogram: which is the most sensitive electrocardiographic marker of myocardial ischemia? Clin Cardiol. 1999;22: 403-408.

21. Weston P, Johanson P, Schwartz LM, Maynard C, Jennings RB, Wagner GS. The value of both ST-segment and QRS complex changes during acute coronary occlusion for prediction of reperfusion-induced myocardial salvage in a canine model. J Electrocardiol. 2007;40(1):18-25.

22. Cantor AA, Goldfarb B, Ilia R. QRS prolongation: a sensitive marker of ischemia during percutaneous transluminal coronary angioplasty. Catheter Cardiovasc Interv. 2000;50(2):177-183.

23. Maden O, Kacmaz F, Selcuk MT, Selcuk H, Alyan O, Aksu T, et al. Relation of admission QRS duration with development of angiographic no-reflow in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction treated with primary percutaneous interventions. J Electrocardiol. 2008;41(1):72-77.

24. Tsukahara K, Kimura K, Kosuge M, Shimizu T, Sugano T, Hibi K, et al. Clinical implications of intermediate QRS prolongation in the absence of bundle-branch block in patients with ST-segment-elevation acute myocardial infarction. Circ J. 2005;69(1):29-34.

38

25. Fearon WF. Invasive diagnosis of ischemic heart disease. In:

Crawford MH, DiMarco JP, Paulus WJ. Cardiology . 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2010: 273-280

26. French R, Spencer S, Smith J. Technique of Cardiac Catheterizaton including Coronary Arteriograpy. In: Giziano J, editor. Diagnostic Technique of cardiac catheterization and vascular angiography. 3rd edition. New York, 2004: 2381-2418.

27. De Bakker JMT, Van Capelle FJL, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT. Slow conduction in the infarcted human heart : 'Zigzag' course of activation. Circulation. 1993;88:915-926.