SYAHRUNI HIDAYATULLAH - perpustakaan universitas ...

163
POLA MUTASI GEN MYELOID DIFFERENTIATION FACTOR 88 DAN KADAR TNF-α PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU Mutation Patterns of Myeloid Differentiation Factor 88 gene and Level TNF-α in the Pulmonary Tuberculosis Patients SYAHRUNI HIDAYATULLAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Transcript of SYAHRUNI HIDAYATULLAH - perpustakaan universitas ...

POLA MUTASI GEN

MYELOID DIFFERENTIATION FACTOR 88

DAN KADAR TNF-α PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU

Mutation Patterns of Myeloid Differentiation Factor 88 gene and

Level TNF-α in the Pulmonary Tuberculosis Patients

SYAHRUNI HIDAYATULLAH

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

POLA MUTASI GEN

MYELOID DIFFERENTIATION FACTOR 88

DAN KADAR TNF-α PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Biomedik

Disusun dan diajukan oleh

SYAHRUNI HIDAYATULLAH

kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Syahruni Hidayatullah

Nomor Mahasiswa : P1506211005

Program Studi : Biomedik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 23 Juli 2013

Yang menyatakan

SYAHRUNI HIDAYATULLAH

v

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat, hidayat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pola mutasi Gen Myeloid

Differentiation Factor 88 dan kadar TNF-α pada Penderita Tuberkulosis

Paru ”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan

kritik dari semua pihak yang membacanya. Selain itu dalam

menyelesaikan tesis ini, penulis menyadari bahwa hal tersebut tidak

terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun secara

materil. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima

kasih kepada :

1. Prof. dr. Muh. Nasrum Massi, Ph.D selaku ketua komisi penasehat

dan dr. Uleng Bahrun, Sp.PK (K), Ph.D selaku sekretaris komisi

penasehat atas bantuan dan bimbingannya yang telah diberikan mulai

dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian ini,

pelaksanaan penelitian sampai pada tahap penulisan tesis ini.

2. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. dr. Rosdiana

Natsir, Ph.D

3. Kepada seluruh staf dosen Biomedik Konsentrasi Mikrobiologi

Prof. Ahyar Ahmad, Ph.D., Prof. DR. dr. Asaad Maidin, M.Sc, Sp.MK,

vi

dan dr. Rizalinda Sjahril, M.Sc. Ph.D, Prof dr. M. Hatta, Sp.MK,

Prof. drh. Lucia Muslimin, M.Sc, DR. dr. Armyn Nurdin, M.Sc,

DR. dr. Burhanuddin Bahar, M.Kes, yang telah membagikan ilmu

semasa kuliah hingga penulis menyusun dan menyelesaikan tesis ini.

4. Teman – teman seperjuangan di Mikrobiologi angkatan 2011, kakak

Syam Kumaji, Kakak Norma Kambuno, Kakak A. Salsa Anggraini,

kakak Anita, kakak Arniati, kakak Aslim taslim, kakak A.M. Nawir,

Hartati, Alhawaris, Fardi, kakak Sulfiah dan Andini Umiati.

5. Senior – senior di Unit Penelitian Universitas Hasanuddin dan

Laboratorium NHCR (K. Uli, K. Risma, K. Ondo, K. Dina dan Erpi, Zul,

K. Safri) yang selalu mendukung dan membantu saya menyelesaikan

penelitian ini.

Penulis persembahkan tesis ini kepada semua keluarga di Belawa-

Wajo, teristimewa buat Ayahanda dan Ibundaku Drs. Selle Diri dan

Hj. Nurhawati, S.Pd, saudaraku M.Syarief Hidayatullah, SE dan

Suryadi, SE untuk semua doa, masukan, perhatian, bimbingan dan

dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister

Kesehatan dalam bidang keahlian Mikrobiologi ini.

Makassar, 23 Juli 2013

Syahruni Hidayatullah

vii

ABSTRAK

SYAHRUNI HIDAYATULLAH. Pola Mutasi Gen Myeloid Differentiation

Factor 88 dan Kadar TNF-α pada Penderita Tuberkulosis Paru. (dibimbing

oleh Muh. Nasrum Massi dan Uleng Bahrun)

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pola mutasi pada gen

Myeloid Differentiation Factor 88 dan kadar TNF-α pada penderita

tuberkulosis paru.

Telah dilakukan penelitian terhadap empat orang penderita

tuberkulosis paru yang berasal dari Rumah Sakit Umum Labuang Baji dan

BBKPM. Metode yang digunakan adalah Metode PCR untuk

mengamplifikasi gen, DNA sekuensing untuk menentukan urutan basa

nukleotida dan ELISA untuk menghitung kadar TNF-α .

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 31 titik mutasi yang tersebar

pada 3 daerah yaitu daerah death domain sebanyak 14 titik mutasi,

daerah Intermediated domain sebanyak 3 titik mutasi dan daerah TIR

domain sebanyak 14 titik mutasi. Selain itu ditemukan kadar TNF-α pada

semua sampel berada dibawah cut off. Makna pola substitusi asam amino

dan kadar TNF-α yang diperoleh belum bisa disimpulkan memiliki

keterkaitan dengan respon imun tubuh yang dihasilkan terhadap infeksi

Mycobacterium tuberculosis sehingga perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut.

ABSTRACT

viii

SYAHRUNI HIDAYATULLAH. Mutation Patterns of Myeloid Differentiation

Factor 88 gene and TNF-α Level in the Pulmonary Tuberculosis Patients.

(Supervised by Muh. Nasrum Massi and Uleng Bahrun)

This study aims to detect mutation patterns of Myeloid

Differentiation Factor 88 gene and TNF-α levels in patients with pulmonary

tuberculosis.

Has conducted a study of four patients with pulmonary tuberculosis

from Labuang Baji Hospital and BBKPM . The method in this study were

PCR method to amplification of the target gene, DNA sequencing to

determine the nucleotide sequences and ELISA to value the levels of

TNF-α

The results showed there were 31 patterns of mutations in three

regions, death domain region found of 14 patterns of mutations,

intermediated domain region found of 3 patterns of mutations and TIR

domain region found of 14 patterns of mutations. Also found TNF-α levels

in all samples were below the cut-off. However, the meaning of the

variants of the patterns mutations and TNF-α levels found in this study

was still unclear. Therefore, further research should be conducted to find

out the meaning of them.

ix

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA v

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xvi

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 7

A. Tinjauan Khusus Tuberkulosis 7

1. Sejarah, Definisi, dan Karakteristik Mycobacterium 7 Tuberculosis

2. Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis 11

x

3. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis 11

4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis 13

5. Patogenesis 17

6. Reaksi Imunologik pada Infeksi Tuberkulosis 24

7. Gejala dan Tanda Penyakit 29

B. Sistem Imun Alamiah (Innate Immunity) Terkait 31 Mycobacterium tuberculosis

1. Toll Like Receptors (TLRs) 34

2. NOD Like Receptor (NLRs) 37

3. C-Type Lectins 39

4. DC-SIGN 39

5. DECTIN-1 40

C. Tinjauan Khusus Myeloid Differentiation Factor 88 41

D. Tinjauan Khusus Molekuler 44

1. Penemuan Awal 44

2. Struktur DNA 45

3. Teknik Rekayasa Genetik 47

a. Polymerase Chain Reaction (PCR) 48

b. Teknik DNA Sequencing 52

c. Elektroforesis 56

4. Kode Genetik 58

5. Mutasi 61

E. Tinjauan Umum Sitokin 69

1. Definisi Sitokin 69

xi

2. TNF-α 72

F. Tinjauan Umum ELISA 75

1. Direct ELISA 76

2. Indirect ELISA 77

3. Sandwich ELISA 77

4. Capture ELISA 78

5. Sel ELISA 79

G. Kerangka Konsep 79

H. Definisi Operasional 86

III. METODOLOGI PENELITIAN 88

A. Rancangan Awal 88

B. Waktu dan Tempat Penelitian 88

C. Populasi, Besaran Sampel Penelitian 88

1. Populasi Penelitian 88

2. Sampel Penelitian 88

3. Kriteria Sampel 89

D. Alat dan Bahan Penelitian 90

1. Alat Penelitian 90

2. Bahan Penelitian 90

E. Cara Kerja 91

1. Alokasi Subjek 91

2. Cara Penelitian 91

xii

3. Prosedur Kerja 92

a. Pewarnaan Ziehl Nelseen 92

b. Extraksi DNA 93

c. Amplifikasi DNA 94

d. Elektroforesis gel agarosa 95

e. Purifikasi gel extraksi 96

f. Pemeriksaan sequencing 98

g. Pemeriksaan ELISA 98

F. Pertimbangan Etis 99

G. Analisa Data 100

H. Skema Alur Penelitian 101

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 102

A. Hasil Penelitian 102

B. Pembahasan 108

V. KESIMPULAN DAN SARAN 115

A. Kesimpulan 115

B. Saran 115

DAFTAR PUSTAKA 117

LAMPIRAN 121

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Angka Insiden, Prevalensi, dan Kematian TB di Indonesia 13

Tabel 2. Kode Genetik “Universal” 59

Tabel 3. Beberapa Penyimpanan dari Kode Genetik “universal” 61

Tabel 4. Kelompok Sitokin dalam Keluarga 70

Tabel 5. Gambaran Sitokin Imunitas Bawaan dan Dapatan 72

Tabel 6. Karakteristik Sampel 102

Tabel 7. Pola substitusi asam amino region Death domain 104

Tabel 8. Pola substitusi asam amino region Intermediate domain 105

Tabel 9. Pola substitusi asam amino region TIR domain 106

Tabel 10. Substitusi asam amino dengan perubahan sifat 107

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bentuk Mycobacterium tuberculosis dengan 8

Perwarnaan Ziehl Neelsen

Gambar 2. Struktur dinding Sel Mycobacterium tuberculosis 9

Gambar 3. Patogenesis Tuberkulosis 24

Gambar 4. Susunan dinding sel Mycobacterium tuberculosis 32

Gambar 5. Pola pengenalan reseptor Mycobacterium tuberculosis 34

dan Downstream signaling pathway

Gambar 6. Jenis PPR selain TLR yang berfungsi dalam pengenalan komponen mikobakteria

Gambar 7. Mapping gen MyD88 42

Gambar 8. Posisi Pembagian daerah domain MyD88 dan 43

Gambar 9. Struktur Kromosom, Gen dan DNA 45

Gambar 10. Struktur pita DNA ganda 46

Gambar 10. Perbedaan Struktur molekul dNTP dan ddNTP 54

Gambar 11. Mutasi gen 68

Gambar 12. Mutasi Kromosom 69

Gambar 13. Direct ELISA 76

Gambar 14. Indirect ELISA 77

Gambar 15. Sandwich ELISA 78

Gambar 16. kerangka Konsep 85

Gambar 17. Kerangka teori 87

Gambar 18. Pemetaan Posisi Substitusi Asam Amino berdasarkan region 103

Gambar 19. Kadar TNF-α pada sampel penderita tuberkulosis 108

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Persetujuan Komisi Etik 122

Lampiran 2. Contoh informed concent 123

Lampiran 3. Sekuens primer 124

Lampiran 4. Data GeneBank 125

Lampiran 5. Hasil Elektroforesis 131

Lampiran 6. Hasil elektroferogram 132

Lampiran 7. Hasil Analisis Bioedit sekuensing exon 1 138

Lampiran 8. Hasil Analisis Bioedit sekuensing exon 2 138

Lampiran 9. Hasil Analisis Bioedit sekuensing exon 3 139

Lampiran 10. Hasil Analisis Bioedit sekuensing exon 4 139

Lampiran 11. Hasil Analisis Bioedit sekuensing exon 5 139

Lampiran 12. Hasil Analisis Bioedit asam amino exon 1 140

Lampiran 13. Hasil Analisis Bioedit asam amino exon 2 140

Lampiran 14. Hasil Analisis Bioedit asam amino exon 3 140

Lampiran 15. Hasil Analisis Bioedit asam amino exon 4 140

Lampiran 16. Hasil Analisis Bioedit asam amino exon 5 140

Lampiran 17. Skema kerja pewarnaan Ziehl Neelsen 141

Lampiran 18. Skema kerja Ekstraksi DNA 142

Lampiran 19. Skema kerja PCR 143

Lampiran 20. Skema kerja ELISA 144

Lampiran 21. Physicochemical Properties Of Amino Acid 145

xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan keterangan

TB Tuberkulosis

HIV Human Immunodeficiency Virus

BTA Basil Tahan Asam

WHO World Health Organization

TLRs Toll-Like Receptors

APC Antigen Presenting cell

Th1 T helper I

TNF-α Tumor Necrosis Factor-α

IL-6 Interleukin-6

PRR Pattern Recognition Receptor

LPS Lipopolisakarida

LTA Asam Lipotechoic

MyD88 Myeloid Differentiation Factor 88

TIRAP TIR domain-containing adaptor protein

TRIF TIR domain-containing adaptor inducing IFN

TRAM Toll receptor-associated Molekul

SPS Sewaktu – Pagi – Sewaktu

xvii

OAT Obat Anti Tuberkulosis

PAMPs Pathogen-Associated Molecular Pattern

NF-kB Necrosis Factor- Kappa Beta

kDa Kilo Dalton

BCG Bacillus-Calmette-Guerin

LAM Lipoarabinomanna

LM Lipomannan

PIM Fosfatidil-myoinositol mannoside

IRF Interferon regulated factor

VDR Vitamim D receptor

SLPI Secretory leukocyte protese inhibitor

Fe2+ Besi

NLRs NOD like receptor

CARD Caspase activation and recruitment domain

T Timin

A Adenin

G Guanin

C Cytosine

DNA Deoxyribonucleic acid

xviii

PCR Polymerase Chain Reaction

dNTP Deoksi ribonukleotida trifosfat

AA Asam Amino

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang bersifat kronik dan

menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

(Hardjoeno dkk, 2007). Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang

organ paru-paru (pulmonal TB) dan menyerang organ lain (extrapulmonal

TB) (World Health Organization, 2012). Mycobacterium tuberculosis

menyebar melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TB batuk

kemudian percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh

orang lain yang sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono,

2008, Jawetz , 2006).

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian

manusia terbesar di dunia. Global Report World Health Organization

(WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 9 juta kasus TB baru

di dunia atau sekitar 125 kasus per 100.000 populasi dan 1.4 juta

meninggal (990.000 HIV-negatif dan 430.000 TB-HIV). Diperkirakan

2.621.049 juta merupakan BTA positif (World Health Organization, 2012).

Berdasarkan laporan WHO 2012, Indonesia (0.4 – 0.5 jt) termasuk

dalam 5 negara dengan tingkat insiden tertinggi di dunia dan menduduki

peringkat ke-4 setelah India (2 – 2.5 jt), China (0.9 - 1.1 jt), dan Afrika

2

Selatan (0.4 – 0.6 jt). Di Indonesia dilaporkan pada tahun 2010 terdapat

690.000 kasus TB (289 per 100.000 populasi) dengan 197.797 BTA

positif, 101.750 BTA negatif, 14.054 TB Extrapulmonal, 5.348 kasus

kambuh, dan 318.949 kasus baru (World Health Organization, 2012).

Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, jumlah

penderita TB di Sulawesi Selatan sebanyak 10.970 orang, dimana 8.860

adalah kasus TB BTA positif dengan prevalensi kejadian terbanyak pada

laki-laki (6.352 orang) dibandingkan perempuan (4.618 orang)

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi

berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi dan menekan laju

pertumbuhan penyakit tuberkulosis paru, mulai dari penemuan jenis terapi

yang baru, metode yang lebih tepat guna sampai berbagai upaya yang

dilakukan para peneliti untuk mempelajari dan mengetahui mekanisme

mulai dari kuman penyebabnya hingga bagaimana mekanisme dari

respon imun hostnya sendiri guna memusnahkan penyakit maupun

menemukan produk yang dapat mencegah seseorang terinfeksi (vaksin

baru). (Nugraha. J, 2012).

Jika ditinjau dari segi hostnya, terdapat suatu mekanisme tubuh

yang dapat berperan dalam melawan kuman M.tuberculosis yang dikenal

degan istilah sistem imun. Kedua sistem imun, baik alami (Innate

immunity) maupun adaptif (adaptive immunity) berperan untuk melawan

kuman M.tuberculosis masuk kedalam tubuh. Sistem imun alami akan

3

mengenali ligan yang terdapat di M. tuberculosis oleh reseptor

pengenalan yang biasa dikenal sebagai Toll-like receptors (TLRs). TLRs

akan merangsang ekspresi gen yang menyandi berbagai molekul yang

berperan pada respon imun. Hal ini terjadi karena sinyal melalui TLR

meningkatkan kemampuan Antigen Precenting Cell (APC) untuk

menginduksi direfensiasi sel T menjadi sel efektor (Th1) untuk

memproduksi sitokin proinflamasi (Jo EK et al 2007, Boedina K.S 2010,

Nugraha. J, 2012).

Aktivasi melalui TLR oleh bagian mikobakterium mengimbas protein

adaptor sitoplasmik MyD88 (Myeloid Differentiation Factor 88) yang

berfungsi untuk mengaktifkan NF-kB dan mensekresi sitokin proinflamasi

(kKleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011)

Peranan MyD88 sangat penting untuk isyarat TLRs. Pada

percobaan dengan mencit yang kekurangan MyD88 sangat rentan

terhadap infeksi M.tuberculosis. sebaliknya di mencit yang kekurangan

TLR2, kerentanan terhadap M.tuberculosis tidak sebesar yang

kekurangan MyD88 dan kerentanan ini bervariasi di berbagai kajian.

Mencit yang kekurangan TLR4 tidak menunjukkan kerentanan yang tinggi

terhadap M.tuberculosis, sedangkan mencit yang kekurangan TLR9 masih

peka terhadap infeksi M.tuberculosis. Maka dapat disimpulkan, bahwa

pada percobaan dengan mencit yang defisien TLR2/TLR4/TLR9

menunjukkan fenotip yang lebih ringan dari pada mencit yang kekurangan

MyD88. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Cecille pada tikus

4

dimana, tikus dengan MyD88 (-/-) menyebabkan produksi sitokin menurun

dan masa hidup juga berkurang bahkan menyebabkan beban infeksi

karena M.tuberkulosis bertambah. Bahkan pada penelitian ini ditemukan

bahwa tikus dengan MyD88 (-/-) sangat rentan terhadap infeksi

M.tuberculosis dan menyebabkan terbentuknya lesi paru granulomatosa

yang lebih luas dibandingkan dengan tikus yang normal. Dari data

tersebut timbul dugaan bahwa selain TLRs, MyD88 juga sangat penting

dalam mengaktivasi sistem imun alami terhadap M.tuberculosis (Geiger

M.A, Levi I, Even R, Smith Y, Bowdish DM, Nussbaum G, Rachmilewitz J.

2012, Burns K, Janssens S, Brissoni B, Olivons N, Beyarert R, Yshopp J.

2003, Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011,

Cecille.et al 2007, Sugawara.I et al 2003).

Terjadinya kecacatan pada suatu gen, organisme disebabkan oleh

banyak faktor, salah satunya adalah terjadi perubahan/mutasi pada tingkat

sekuen basa nukleotidanya karena beberapa hal sehingga menyebabkan

terjadi kesalahan pada proses sintesis protein dan kerusakan gen.

Berdasarkan paparan diatas, peneliti tertarik dan ingin mengetahui

apakah pada penderita tuberkulosis paru terdapat mutasi pada gen

MyD88 dan bagaimana kadar TNF-α.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Apakah pada penderita tuberkulosis terdapat mutasi di gen MyD88?

2. Bagaimana pola substitusi asam amino yang terjadi pada gen MyD88

di penderita tuberkulosis paru?

3. Bagaimana kadar TNF-α pada penderita tuberkulosis paru?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah Untuk mendeteksi pola mutasi

pada gen MyD88 dan kadar TNF-α pada penderita tuberkulosis paru.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui ada tidaknya mutasi yang terjadi pada gen MyD88

di penderita tuberkulosis paru.

b. Mengetahui pola substitusi asam amino yang terjadi pada gen

MyD88 pada penderita tuberkulosis paru

c. Mengetahui kadar TNF-α pada penderita tuberkulosis paru

6

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk

mengetahui mekanisme tubuh dalam melawan infeksi yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

2. Digunakan sebagai data awal yang dapat digunakan untuk menilai

keterlibatan MyD88 terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis.

3. Digunakan sebagai referensi tambahan dalam memecahkan masalah

yang terkait dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis.

4. Dapat digunakan sebagai bahan referensi tambahan untuk

membuktikan keterlibatan faktor genetik terhadap keparahan penyakit,

khususnya penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Khusus Tuberkulosis

1. Sejarah, Definisi dan Karakteristik Mycobacterium tuberculosis

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang

sudah lama dikenal pada manusia yang dbuktikan dengan adanya

penemuan kerusakan tulang vetebrata torak yang khas pada TB dari

kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum,

penemuan di mumi yang berasal dari saman Mesir kuno (2000-4000 SM).

Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari

bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru (Sudoyo A.W,

2009).

Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya

semacam bakteri berbentuk batang. Penyakit ini kemudian dinamakan

Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang tetapi

yang paling banyak menyerang organ paru (Sudoyo A.W, 2009).

Robert Koch mengidentifikasi basil tahan asam Mycobaterium

tuberculosis untuk pertama kalinya sebagai penyebab TB. Kemudian

mendemonstrasikan bahwa basil ini dapat berpindah kepada binatang

yang rentan (Sudoyo A.W, 2009).

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh bakteri M.tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB

8

menyerang paru-paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

(Depkes RI 2002, Hardjoeno dkk 2007)

Mycobacterium tuberculosis adalah sejenis bakteri berbentuk

batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranula atau tidak mempunyai

selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipid

(terutama asam mikolat) berukuran kira - kira 0,5 - 4 m x 0,3 - 0,6 m

Gambar 1. Bentuk Mycobacterium tuberculosis dengan penawaran Ziehl Neelsen

Sumber : www.Mediacastore.com/www.Emedicinehealth.com

Apabila dilihat menggunakan mikroskop elektron, dinding sel

M. tuberculosis terdiri dari 3 lapisan. Secara kimia dinding selnya sangat

kompleks dan mengandung banyak makromolekul lipofil. Tulang

punggung dinding sel mikobakterium terdiri dari dua polimer yaitu

peptidoglikan dan arabinogalaktan. Residu asam muramat dari

peptidoglikan membentuk ikatan fosfodiester dengan residu arabinosa dari

arabinogalaktan, tetapi satu dari sepuluh residu arabinosa terdapat dalam

polimer membentuk ikatan ester dengan asam mikolat. Asam mikolat ini

merupakan salah satu komponen utama kompleks lipid. Beberapa jenis

9

lemak terdapat pada mikobakterium adalah cord faktor, sulfolipid dan

wax D (Joklik, 1992)

Gambar 2. Struktur dinding sel Mycobacterium tuberculosis Sumber : www.Docstock.com

Asam mikolat merupakan molekul hidrofobik kuat yang membentuk

lapisan lipid mengelilingi organisme dan berperan dalam permeabilitas

permukaan sel. Asam ini juga berfungsi mempertahankan mikobakerium

dari serangan protein kationik, lisozim dan radikal oksigen dalam granula

fagosit serta melindungi mikobakterium ekstrasel dari dekomposisi oleh

komplemen dalam serum. Cord faktor atau trehalosa dimikolat umumnya

dihasilkan oleh galur M. tuberculosis yang virulens. Cord faktor ini bersifat

toksik terhadap sel mamalia dan merupakan inhibitor polimorfonuklear

(PMN) (Todar K, 2008)

10

M. tuberculosis bersifat aerob obligat, sehingga selalu ditemukan

pada lobus paru-paru bagian atas yang teraerasi dengan baik. Basil ini

merupakan parasit intrasel fakultatif yang umumnya terdapat dalam

makrofag. Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan

terhadap pencucian warna dengan asam alkohol, sehingga sering disebut

basil tahan asam (BTA) serta tahan terhadap zat kimia dan fisik karena

pada dinding sel terdapat kompleks asam mikolat dan lapisan lipid yang

dapat meningkatkan hidrofobisitas permukaan. Kuman tuberkulosis juga

tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (Widoyono 2008,

Todar K 2005).

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10

menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol

70 - 95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1 – 2 jam di udara

terutama di tempat lembab dan gelap (bisa berbulan - bulan), namun tidak

tahan terhadap sinar matahari langsung (Jawetz et al 2006, Misnadiarly

2006, Sardjono 2008)

11

2. Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis

Klasifikasi bakteri berdasarkan buku Bergey's Manual of

Determinative Bacteriology, determinasi bakteri Mycobacterium

tuberculosis adalah sebagai berikut (Williams, L and Wilkins. 1994):

Kingdom : Procaryote

Divisio : Cyanobacteria

Ordo : Actinomycetales

Famili : Mycobacteriaceae

Genus : Mycobacterium

Spesies : Mycobacterium tuberculosis

3. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai

saat ini TB masih tetap menjadi permasalah kesehatan dunia yang utama.

Pada tahun 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global public health

emergency (Sudoyo A.W 2009, World Health Organization 2012).

Menurut laporan Global Report World Health Organization (WHO) pada

tahun 2011 terdapat 9 juta kasus TB baru di dunia atau sekitar 125 kasus

per 100.000 populasi dan 1.4 juta meninggal (990.000 HIV-negatif dan

430.000 TB-HIV). Diperkirakan 2.621.049 juta merupakan BTA positif

World Health Organization, 2012)

12

WHO pada tahun 2012 merilis data mengenai negara yang

termasuk kelompok dengan prevalensi yang tinggi dan Indonesia

(0.4-0.5 jt) termasuk dalam 5 negara dengan tingkat insiden tertinggi di

dunia dan menduduki peringkat ke 4 setelah India (2-2.5 jt), China

(0.9-1.1 jt), dan Afrika Selatan (0.4-0.6 jt) (World Health Organization,

2012). Di Indonesia dilaporkan pada tahun 2010 terdapat 690.000 kasus

(289 per 100.000 populasi) dengan kasus TB BTA positif di Indonesia

adalah 197.797, 101.750 adalah TB BTA negatif, 14.054 adalah TB

Extrapulmonal, 5.348 adalah kasus kambuh, dan 318.949 adalah kasus

baru (World Health Organization, 2012). Berdasarkan profil data

kesehatan Indonesia tahun 2011 provinsi dengan angka kejadian TB

tertinggi yaitu provinsi Jawa Barat (62.563 orang) dan provinsis Sulawesi

Selatan sebanyak 10.970 orang, dimana 8.860 adalah kasus TB BTA

positif dengan prevalensi kejadian terbanyak pada laki-laki (6.352)

dibandingkan perempuan (4.618) dengan rentang umur 45 – 54 tahun

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

13

Tabel 1. Angka Insident, Prevalensi dan Kematian TB di Indonesia, 1990 dan 2010

Kasus TB

Tahun 1990

Tahun 2010

Per tahun

Per 100.000

Penduduk

Per Hari

Per Tahun

Per 100.000

penduduk

Per hari

Capaian

(%)

Insiden semua tipe TB

626.867 343 1.717 450.000 189 1.233 44,9

Prevalensi semua tipe TB

809.592 443 ~ 690.000 289 ~ 34,8

Insident kasus baru TB paru BTA positif

282.090 154 773 NA NA NA NA

Kematian 168.956 92 463 64.000 27 175 70,6

*Global Tuberculosis Control WHO Report, 2011

Sumber : Ditjen PP&PL Kemeterian Kesehatan RI, 2011

4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

Sampai sekarang ini belum ada kesepakatan diantara para

klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan

masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Namun

beberapa literatur mengklasifikasi tuberkulosis menjadi beberapa

klasifikasi diantaranya (Sudoyo A.W 2009, Depkes RI 2011, Hardjoeno

dkk 2007, Depkes RI 2007) :

4.1 Tuberkulosis menurut Patologis

a. Tuberkulosis primer (Childhood tuberculosis)

b. Tuberkulosis post-primer (Adult tuberculosis)

14

4.2 Tuberkulosis menurut Radiologis

a. Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif

b. Tuberkulosis tidak aktif

c. Tuberkulosis quiescent

d. Tuberkulosis minimal, yaitu terdapat sebagian kecil infiltrat nonka-vitas

pada satu paru maupun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi

satu lobus paru

e. Moderately advance tuberculosis, yaitu ada kavitas dengan diameter

tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari

satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga

bagian satu paru.

f. Far advance tuberculosis, yaitu terdapat infiltrat dan kavitas yang

melebihi keadaan pada moderately advance tuberculosis.

4.3 Tuberkulosis berdasarkan aspek kesehatan masyarakat menurut American Thoracis Society

a. Kategori 0 : Tidak pernah terpapar, dan tidak terinfeksi, riwayat

kontak negatif, tes tuberkulin negatif

b. Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi,

riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.

c. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosi, tetapi tidak aktif, tes tuberkulin

positif, radiologis dan sputum negatif

d. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan aktif

15

4.4 Tuberkulosis berdasarkan organ tubuh

a. Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).

b. Tuberkulosis Ekstra Paru adalah golongan tuberkulosis yang

menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput

otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, kulit, usus, ginjal, alat

kelamin, dan lain-lain. Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya

yaitu :

(1) TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, sendi, kelenjar

adrenal

(2) TB ekstra paru berat, misalnya : Meningitis, TB usus, TB saluran

kencing, TB alat kelamin

4.5 Tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

a. Tuberkulosis paru BTA positif

- Sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu-

pagi-sewaktu) hasilnya BTA positif.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan pada foto rontgen

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

positif

16

- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT

b. Tuberkulosis paru BTA negatif

- Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA negatif dan foto

rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

- TB paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat

keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk

berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran

kerusakan paru yang luas dan keadaan umum penderita buruk

.

4.6 Tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

a. Kasus baru adalah pasien yang belum diobati dengan OAT atau

sudah perna menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)

b. Kasus kabuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya perna

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur)

c. Kasus putus berobat (Default/ Drop Out/ DO) adalah pasien TB yang

telah berobat putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif

d. Kasus gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima

atau lebih selama pengobatan.

17

e. Kasus pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari

UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan

diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien

dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan ulangan

5. Patogenesis

a. Tuberkulosis Primer

Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau

dibersinkan keluar menjadi droplet nucleid dalam udara sekitar kita. Paru

merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Partikel ini

dapat menetap dalam udara bebas selama 1 – 2 jam, tergantung pada

ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembapan.

Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari

sampai berbulan-bulan. Bila partikel tersebut terhirup oleh orang sehat

maka partikel tersebut akan menempel pada saluran napas, atau jaringan

paru dan dapat mencapai alveolus. Masuknya M.tuberculosis ini akan

segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik dimana kuman

tersebut akan pertama kali di hadapi oleh neutrofil kemudian oleh

makrofag akan memfagositosis kuman M.tuberculosis hingga kuman

mati dan dikeluarkan bersama gerakan silia dengan sekretnya (Sudoyo

dkk 2009, Depker RI 2007).

18

Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghacurkan

kuman M.tuberculosis dan kuman akan bereplikasi dan berkembang biak

dalam sito-plasma makrofag. Di sini M.tuberculosis akan terbawa masuk

ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan

membentuk koloni tuberkulosis pneumonia kecil yang disebut sarang

primer atau efek primer atau sarang (fokus) GOHN yang dapat terjadi

disetiap bagian jaringan paru (Sudoyo dkk 2009, Depker RI 2007).

Kuman M.tuberculosis akan menyebar melalui saluran

gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenofati

regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh

organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri

pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian tubuh menjadi TB

milier (Sudoyo dkk 2009, Depker RI 2007).

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening

menuju hilus (Limfangitis lokal), dan juga dikuti oleh pembesaran kelenjar

getah bening hilus (Limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal

digabung dengan limfadenitis regional akan membentuk kompleks primer

(Ranke). Proses ini memerlukan waktu 3 – 8 minggu dengan

pertumbuhan kuman hingga mencapai jumlah 103 – 104 untuk

merangsang sistem imunitas seluler (Sudoyo dkk 2009, Depker RI 2007).

Selama berminggu – minggu awal proses infeksi, terjadi

pertumbuhan logaritmik kuman M.tuberculosis sehingga jaringan tubuh

19

yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami

perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer ini,

infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh

terbentunya hipersensitivitas terhadap tuberkulo protein, yaitu timbulnya

respon positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin

masih negatif. Setelah komplek primer terbentuk, imunitas seluler tubuh

terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagaian besar individu dengan

sisten imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,

proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat

tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman

TB yang masuk ke dalam alveoli akan segera di musnahkan (Sudoyo dkk

2009, Depker RI 2007).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan atau enkapsulasi,

kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,

tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer

dijaringan paru. Kuman M.tuberculosis dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun – tahun dalam jaringan ini dalam bentuk Dorman dan

±10% dapat mengalami reaktivasi kembali (Sudoyo dkk 2009, Depker RI

2007).

Kompleks imun juga dapat mengalami komplikasi. Komplikasi yang

terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau kelenjar limfe regional.

20

Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis

atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian

tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga dijaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau

paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan

membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat

terganggu, obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat

menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan

nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding

bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membetuk fistual.

Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplik pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering

disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Sudoyo dkk 2009,

Depker RI 2007).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,

dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran

limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk

kompleks primer. Sedangkan penyebaran hematogen, kuman

M.tuberculosis masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

organ tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan

TB disebut sebagai penyakit sistemik (Sudoyo dkk 2009, Depker RI 2007).

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui

21

cara ini, kuman M.tuberculosis menyebar secara sporadic dan sedikit demi

sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman M.tuberculosis

selanjutnya akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang

biasanya dituju adalah organ yang memiliki vaskularisasi yang baik,

misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau

lokus atas paru. Di organ tersebut kuman M.tuberculosis akan bereplikasi

dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang

akan membatasi pertumbuhannya (Sudoyo dkk 2009, Depker RI 2007).

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman akan tetap hidup dalam

bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi

penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial

di apeks paru disebut fokus SIMON. Bertahun – tahun kemudian, bila

daya tahan tubuh menurun, fokus TB ini akan mengalami reaktivasi dan

menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan

lain-lain (Sudoyo dkk 2009, Depker RI 2007).

b. Tuberkulosis Pasca Primer

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis

dewasa (Tuberculosis post primer). Tuberkulosis sekunder terjadi karena

daya tahan tubuh menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit malignan,

diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan

22

sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus

superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru – paru

dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo dkk, 2009)

Sarang dini ini mula-mula juga terbentuk sarang pneumonia kecil.

Dalam 3 – 10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma

yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (Sel besar

dengan banyak inti) yang dikeliling oleh sel – sel limfosit dan berbagai

jaringan ikat (Sudoyo dkk, 2009).

TB sekunder juga berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis) tergantung dari jumlah kuman,

virulensinya dan imunitas pasien. Sarang dini ini bisa menjadi :

- Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

- Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan

dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri

menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas

sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat

sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi

lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar

akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama

dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah

besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya

perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam

23

nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang

berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya (Sudoyo dkk, 2009).

Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas

dapat : a). Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila

isi kavitas masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB

milier dapat juga masuk dalam paru-paru sebelahnya atau tertelan masuk

dalam lambung ; b). Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur atau menyembuh atau dapat

aktif kembali menjadi cair dan menjadi kavitas lagi ; c). Bersih dan

menyembuh (open healed cavity) (Sudoyo dkk, 2009).

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized

hematogenetic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua

tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang

lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata

yang menyerupai butir padi-padian/jewarut (millet seed). Secara patologi

anatomi, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1 – 3 mm, yang secara

histologi merupakan granuloma (Sudoyo dkk 2009, Depkes RI 2007)

24

Gambar 3. Patogenesis Tuberkulosis Sumber : http//muqarrabin.wordpress.com

6. Reaksi Imunologik pada Infeksi Tuberkulosis

Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap

infeksi tuberkulosis yaitu respon imun selular (sel T dan makrofag yang

teraktivasi) bersama sejumlah sitokin dan respon imun humoral

(antibody-mediated). Respon imun seluler lebih banyak memegang

peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis. Respon

imun humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak digunakan untuk

membantu menegakkan diagnosis (Bothamley, G.H. 1995).

25

Respon ini di awali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu

populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik

ke dalam darah yang dinamakan imunoglobulin. Imunoglobulin (Ig) di

bentuk oleh sel plasma yang berasal dari ploriferasi sel B akibat adanya

kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan

mengikat antigen baru lainnya yang sejenis (Bothamley, G.H. 1995).

Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke

dalam tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah

pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. Pada hari

ke-6 sampai ke-7 setelah pemaparan, IgG dapat terdeteksi dalam serum,

dan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai puncaknya yaitu

10-14 hari setelah pemaparan antigen. Respon imun sekunder terjadi

apabila pemaparan antigen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di

sebut juga booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini

umumnya tidak melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar

IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan

dalam respon ini di sebabkan adanya sel B dan sel T memory akibat

pemaparan yang pertama (Kardjito,TVM, 1996).

IgG merupakan komponen utama imunoglobulin serum, kadarnya

dalam serum sekitar 13 mg/ml, merupakan 75% dari semua

imunoglobulin. Kadar IgG meninggi pada infeksi kronis dan penyakit

autoimun. Antibodi yang pertama di bentuk dalam respon imun adalah

26

IgM, oleh karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya

infeksi dini (Kardjito,TVM, 1996).

M. tuberculosis terhirup sehingga masuk ke paru-paru, kemudian di

telan oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi utama, yaitu :

1. Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang

memperlihatkan efek mycobactericidal.

2. Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni

IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF- TGF-. Sitokin mempunyai efek

imunoregulator yang penting.

3. Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T

(Andersen, A.B., dkk 1994).

Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis

pada target organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag

dari sistem imun alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan

sistem imun yang di dapat. Pada sistem imun alamiah, basil akan di

eliminasi oleh kerjasama antara alveolar makrofag dan sel NK melalui

sitokin yang dihasilkannya yakni TNF- dan INF-. Mekanisme

pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel

pertahanan (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah

sitokin. Pada limfonodi regional, terjadi perkembangan respon imun yang

di dapat, yang akan mengenali basil tuberkulosis. Tipe respon imun ini

sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun alamiah.

27

Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang mensekresikan IL-12 akan

merangsang respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak

disekresikan oleh sel-T maka akan timbul respon oleh sel Th 2. Tipe

respon imun ini akan menentukan kualitas aktivasi makrofag untuk

mempresentasikan antigen kepada sel-T khususnya melalui jalur MHC

kelas-II (Andersen, A.B., dkk 1994).

Selama imunitas yang di dapat berkembang untuk mempercepat

aktivasi makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan

makrofag sebagai sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan

menetap pada sel-sel fagosit di berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan

terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi pada limfonodi mengalami

resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang selanjutnya akan

membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan yang

sangat vital. Bila respon imun yang di dapat berkembang tidak adekuat

maka akan timbul manifestasi klinis akibat penyebaran basil yang berupa

tuberkulosis milier atau tuberkulosis meningen. Granuloma merupakan

mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi replikasi bakteri

pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T.

Selama interaksi antara antigen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi

pada berbagai organ, sel-T spesifik memproduki IFN- dan mengaktifkan

fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi enkapsulasi yang

di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan

pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan

28

tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi

sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman.

Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa

bertahan dalam waktu yang lama (Kardjito,TVM, 1996).

Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh

pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer.

Elemen-elemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan

terbentuk kavitas. Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis

menetap dalam makrofag dan pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-

fokus yang terbentuk. Pembentukan dan kelangsungan hidup granuloma

di kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T dan makrofag di

perantarai oleh sitokin. IL-1, TNF-, GM-CSF, TGF-, IL-6, INF- dan

TNF- merupakan sitokin yang mengontrol kelangsungan granuloma,

sebaliknya IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat pembentukan dan

perkembangan granuloma (Kardjito,TVM, 1996).

Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral

dalam imunitas terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, INF- telah di

identifikasikan sebagai sitokin utama untuk mengaktivasi makrofag, yang

selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan patogen ini. Pembentukan

granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai

hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi dan

berbagai macam komponen bacterial (Kardjito,TVM, 1996).

29

7. Gejala dan Tanda Penyakit

Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala

khusus yang timbul sesuai dengan organ yang diserang (Sudoyo A.W

2009, Widoyono 2008, Laban Y 2008).

a. Gejala sistemik/ umum

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-

macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan

sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak

adalah :

- Demam : Biasanya subfebril menyerupai demam influenza tetapi

kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40 – 41ºC. Serangan

demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat

timbul kembali. Begitu seterusnya hilang timbulnya deman influenza

ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan

demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh sistem imun

tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang

masuk.

- Batuk/ batuk darah : Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi

karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk – produk radang keluar. Karena terlibatnya

bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru

ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru. Sifat batuk

dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul

30

peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang

lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah

yang pecah. Kebanyakan batuk darah yang terjadi pada tuberkulosis

terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding

bronkus.

- Sesak napas : Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak

napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut

yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

- Nyeri dada : Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul jika

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan

pleuritis. Terjadin gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/

melepaskan napasnya.

- Malaise : penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala

malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,

badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri

otot, keringat malam dll. Gejala malaise makin lama akan makin berat

dan terjadi hilang timbul secara teratur.

b. Gejala khusus

- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan

sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat

penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan

suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak

31

- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat

disertai dengan keluhan sakit dada

- Bila mengenai organ tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara

pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

Pada anak – anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus

otak) dan disebut dengan meningitis (radang selaput otak), gejalanya

adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

B. SISTEM IMUN TERKAIT PENGENALAN TERHADAP MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS

Sistem imun alami dimulai dari pengenalan oleh TLR dan reseptor

yang lain terhadap molekul ligan yang terdapat di M. Tuberculosis, yang

dilanjutkan oleh jalur pengsignalan dan tindakan lain untuk penyajian

antigen M. tuberculosis di makrofag dan sel dendritik. M. Tuberculosis

merupakan penyakit infeksi yang berada di dalam sel yang tumbuh lambat

dan bertahan hidup di dalam makrofag inang. Di dalam makrofag alveoli,

M. Tuberculosis dikenali oleh TLR khususnya TLR2. (Nugraha J, 2012).

Dinding bakteri M. Tuberculosis mengandung asam mikolik hidrofobik dan

lapisan luar mengandung mengandung glycolipids like (mannose-capped)

lipomannan, mannoglycoproteins

32

Gambar 4. Susunan dinding sel M.tuberculosis

Sumber : Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011

Tahap pengenalan M. Tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1). Fokus ke PRRs dalam pengenalan PAMPs yang spesiifik terhadap

mikobakterium dan menghasilkan sitokin dan mengawali respon imun

adaptif. 2). Reseptor makrofag untuk fagositosis M. tuberculosis yang

terdiri dari reseptor komplemen (CR1, CR3, CR4) reseptor manosa dan

scavenger receptors. Pola reseptor pengenalan mikobakterium dan

downstream signaling pathway digambarkan secara skematis pada

gambar 5.

Mikobakterium dapat dikenali melalui pattern recognition receptor

(PRRs) yang berbeda-beda di inang (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ,

Mihai GN, Reinout VC, 2011).

Setelah mengenali mikobakterium, signal kaskade dalam sel

diaktivasi dengan penunjukkan aktivasi NF-kB yang mempengaruhi pada

hasil kemokin dan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi dimana jenis

kaskade tergantung dengan jenis PRR yang mengenali komponen M.

33

tuberculosis (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC,

2011).

Ada dua kelompok reseptor membran TLR yang terbagi dalam :

kelompok TLR1, TLR2, TLR4, TLR5, TLR6, TLR10, TLR11, TLR12, dan

TLR13 yang merupakan khas TLR dipermukaan sel; kelompok TLR3,

TLR7 dan TLR9 yang dijumpai pada membran endosome. Aktivasi TLR

tersebut memicu produksi berbagai sitokin seperti IFN-γ, IL-2, IL-6, IL-8,

IL-12, IL-16 dan TNF-α.

Secara umum kaskade aktivasi TLR akan mengikat efektor

kemokin sebagai berikut : IL-12 akan mengikat Th1 dan mengarah ke cell-

mediated immunity yang berfungsi untuk menyerang bakteri dalam sel, IL-

23 akan mengikat Th17 dan mengarah ke sitokin proinflamasi yang

berfungsi untuk menyerang bakteri luar sel, IL-4 akan mengikat Th2 dan

membantu menghasilkan antibodi sel B (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo

ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

Ada empat (4) macam anggota family PRR yaitu TLR (Toll-like-

receptor), NOD-like receptor (NLR), RIG-like receptor (RLR), C-type lectin

receptors (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC,

2011).

Tempat TLR dan C-type lectin berada di membran sel (plasma),

endosom atau fagosom. Tempat NLR dan PLR berada di dalam sel

(Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

34

Gambar 5. Pola pengenalan reseptor M.tuberculosis dan downstream signaling pathway

Sumber : http://www.nature.com

1. Toll Like Receptors (TLRs)

Toll like receptors (TLRs) adalah keluarga patern recognition

receptor (PRR) yang mempunyai hubungan penting antara imunitas

bawaan dan dapatan, yang ,mengikat Pathogen-Associated Molecular

Patterns (PAMPs), yang ditemukan di dalam berbagai jenis organisme.

TLR merupakan protein terikat membran yang berisi leucine-rich

repeat (IL-1) receptor (TIR) di dalam area sitoplasmik yang sangat

terpelihara. TLRs terdapat pada berbagai sel imun, termasuk makrofag,

sel dendritik, sel B, sel T spesifik dan bahkan pada sel non imun seperti

fibroblas dan sel epitel.

Toll, pertama kali teridentifikasi sebagai sebuah sel yang penting

untuk penetapan orientasi dorsal-ventral selama perkembangan embriotik

dalam Drosophila melanogaster, kemudian diketahui memainkan sebuah

peran yang penting di dalam imunitas Drosophila termasuk infeksi jamur.

35

TLR yang terlibat dalam pengenalan M. tuberculosis yaitu TLR2,

TLR4 dan TLR9. TLR2 membentuk heterodimer dengan TLR1 atau TLR6.

Heterodimer tersebut berperan dalam pengenalan glikolipid dinding sel

mikobakterium seperti LAM, LM, glikoprotein 38-kDa dan glikoprotein 19-

kDa. Pengenalan phsophatidylinositol mannoside dilakukan oleh PIM,

pengenalam tricacyl lipoprotein diperankan oleh heterodomer TLR2/TLR1

dan pengenalan diacylated lipopprotein dilakukan oleh heterodimer

TLR2/TLR6. TLR juga berfungsi penting untuk sekresi IL-12 dalam

makrofag, tetapi tidak di dalam sel dendritik (Gerard JN, et all, 2002).

Beberapa PAMPs lain yang dikenali oleh TLR : DNA Genomic dari

galur Mycobacterium bovis, bacillus-Calmette-Gu’erin (BCG),

berkemampuan meningkatkan aktivasi sel NK dan mempengaruhi IFN

tipe I. Motif CpG yang berulang diketahui mengaktivas TLR9.

Lipoarabinomanna (LAM), lipomannan (LM) dan fosfatidil-myoinositol

mannoside (PIM) dikenali oleh TLR2. Lipoprotein 19 kDa dari M.

tuberculosis juga mengaktivasi makrofag lewat TLR2. TLR4 diaktivasi oleh

heat shock protein 60/65 kD. (Nugaha J, 2012).

Aktivasi melalui TLR oleh bagian mikobateria mempengaruhi

protein adaptor sitoplasmik MyD88 (Myeloid differentiation primary factor

88). Fungsi MyD88 akan mengaktivasi NF-kB dan mensekresi sitokin

proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, IL-12. TRAM dan TRIF mengaktivasi

IRF-3 (Interferon regulated factor) dan IRF-7 yang akan mempengaruhi

36

pelepasan interferon untuk fungsi perlindungan (Kleinnijenhuis J, Marije O,

Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

Peran MyD88 sangat penting untuk isyarat TLR. Pada percobaan

dengan mencit yang kekurangan MyD88 sangat rentan terhadap infeksi

M.tuberculosis melalui udara. Sebaliknya di mencit yang kekurangan

TLR2, kerentanan terhadap M.tuberculosis tidak sebesar yang

kekurangan MyD88 dan kerentanan ini beragam di berbagai kajian. Mencit

yang kekurangan TLR4 tidak menunjukkan kerentanan yang tinggi

terhadap M.tuberculosis, sedangkan mencit yang kekurangan TLR9 peka

terhadap infeksi M.tuberculosis. mencit yang kekurangan kedua TLR2 dan

TLR9 lebih rentan terhadap infeksi M.tuberculosis. Maka dapat

disimpulkan, bahwa pada pecobaan dengan mencit ada beberapa TLR

yang secara berganda terkait pada pengenalan mikobakterium. Mencit

yang defisien TLR2/TLR4/TLR9 menunjukkan fenotip yang lebih ringan

dari pada mencit yang kekurangan MyD88. Hal ini menimbulkan dugaan

bahwa selain TLR, MyD88 juga sangat penting berperan dalam

mengaktivasi sistem imun alami terhadap infeksi M.tuberculosis (Geiger

M.A, Levi I, Even R, Smith Y, Bowdish DM, Nussbaum G, Rachmilewitz J.

2012, Burns K, Janssens S, Brissoni B, Olivons N, Beyarert R, Yshopp J.

2003, Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

Terdapat beberapa mekanisme respon imun alami yang bekerja

sama dengan TLR untuk memusnahkan M.tuberculosis dari dalam host

diantaranya yaitu dengan perangsangan TLR2 mengimbas Cyp21 dan

37

penerima vitamin D/vitamin D receptor (VDR) keduanya terkait peranan

dalam mengimbas cathelicidin yang membunuh langsung mikobakerium.

Ikatan antara SLPI (secretory leukocyte protease inhibitor) oleh TLR

memediasi perusakan dinding sel mikobakterium. TLR4 akan

mempengaruhi Lcn2 dan akan masuk ke dalam sel epitel, mengalveol

epitelan dan menghambat pertumbuhan mikobakterium dengan cara

menghambat penerimaan besi (Fe2+) bakteri (Nugraha J, 2012).

Makrofag memusnahkan mikobakterium yang masuk dengan

mengaktifkan beberapa fungsi efektor, seperti fagosom dan autofagi.

Nramp1 ditunjukkan dimembran fagosom dan mungkin memediasi

pemusnahan mikobakterium dengan cara menghalangi penangkapan Fe2+

oleh bakteri. IFN-γ dan ligand digilir merangsang autofagi dalam

makrofag. Autofagi bertanggung jawab pada pemusnahan mikobakterium

dengan memacu penyatuan fagosom yang mengandung mikobakterium

ke lisosom (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC,

2011).

2. NOD like receptor (NLRs)

NLR merupakan keluarga protein yang sangat mirip protein plant R

(resistance), yang berperan penting dalam pertahanan terhadap penyakit

di tumbuhan. Keluarga NLR di manusia terdiri dari 20 anggota dengan

susunan yang sederhana. Inti molekul tersebut dibentuk oleh nucleotide-

binding domain, yang diberi nama NACHT (NAIP, CIITA, HET-E dan TP-1)

38

atau NOD (Nucleotide oligomerization domain). Bagian C-terminal

mengandung ulangan seri kaya luecin, yang lebih dahulu mengenali

PAMPs dari penyakit dan mengawali aktivasi molekul. Bagian N-terminal

mengandung bagian efektor dari CARD (caspase activation and

recruitment domain), PYRIN atau BIR (Baculovirus inhibitorof apoptosis

repeat domain). NLR yang mengandung CARD seperti misalnya NOD1

dan NOD2 terlebih dahulu membentuk oligomer dan kemudian

membentuk receptor-interacting protein 2 (RIP2) (atau CARS-containing

kinase-RICK) melalui interaksi CARD-CARD, sehingga menunjukkan

pengerahan NF-kB (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN,

Reinout VC, 2011).

NOD2 memediasi rangsangan untuk hasilan sitokin proinflamasi

infeksi M.tuberculosis dan NOD2 ini merupakan reseptor untuk

peptidoglikan bakteri yaitu muramyl dipeptide (MDP). NLRP1, NLRP3 dan

IPAF berfungsi sebagai pengimbas penggabungan inflammasom, yang

menuju sekresi IL-18 dan IL-1β lewat caspase-1. Namun kajian terbaru

menunjukkan bahwa mikobanterium dapat menghambat pembentukan

inflammasom dan aktivasi caspase-1, sehingga hasil IL-1β terganggu.

Penghambatan aktivasi caspase-1 ini dilakukan oleh gen Mtb, zmp1 yang

menyanding Zn2+ metalloprotease. Jadi startegi M.tuberculosis untuk

menghindari respon imun yang dimediasi oleh inflammasom

(Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

39

3. C-Type Lectins

C-Type Lectin merupakan keluarga PRR yang terlibat dalam

penggenalan sususnan polisakarida dari penyakit. Receptor mannose

(MR, CD206) terdiri dari delapan rantai bagian pegenalan karbohidrat dan

satu bagian yang kaya cystein. MR banyak ditunjukkan di makrofag alveol.

Rangsangan mikobakterium melalui MR menyebabkan hasil sitokin anti-

inflamasi seperti IL-4 dan IL-13, menghambat hasil IL-12 dan kegagalan

mengaktivasi respon oksidatif (Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai

GN, Reinout VC, 2011).

Man-LAM dan komponen utama lain dari dinding sel

M.tuberculosis, seperti PIMs (phosphatidylikositol mannosides)

merupakan ligan alami mikobakterium untuk MR (Mannose receptor),

yang asalnya diketahui berfungsi memediasi fagpsitosis dari

mikobakterium. Ikatan M.tuberculosis dengan MR dapat mengimbas

fagositosis, tetapi penyatuan fagosom dengan lisososm terbatas

(Kleinnijenhuis J, Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

4. DC-SIGN

Dendritic cell-spesific intercellular molecule-3 grabbing nonintegrin

(DC-SIGN, CD209) berperang penting dalam interaksi antara sel dendritik

dengan M.tuberculosis. Reseptor ini terutama ditunjukkan di sel dendritik

dalam bentuk PRR dan reseptor adhesi, berperan dalam perpindahan sel

dendritik-sel T. DC-SIGN mengenali Man-LAM, Lipomannas dan α-glucan.

40

DC-SIGN memacu respon imun anti-inflamsi dengan cara mematangkan

sel dendritik yang terinfeksi dan mengimbas hasil IL-10 (Kleinnijenhuis J,

Marije O, Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

5. DECTIN-1

Dectin-1 merupakan reseptor yang terdiri dari bagian pengenalan

karbohidrat luar sel dan bagian ITAM dalam sel. Reseptor ini terutama

ditunjukkan di makrofag, sel dendritik, neutrofil dan sel T. Dectin-1

berperang penting dalam pengenalan M.tuberculosis dalam imunitas

alamiah dan mengimbas respon Th1 dan Th17 (Kleinnijenhuis J, Marije O,

Leo ABJ, Mihai GN, Reinout VC, 2011).

Gambar 6. Jenis PRR selain TLR yang berfungsi pada pengenalan komponen mikobakteria

Sumber : Saiga H, Yosuke S, Kiyoshi T, 2011

41

C. TINJAUAN KHUSUS MYELOID DIFFERENTIATION FACTOR 88 (MyD88)

Myeloid Differentiation Factor 88 (MyD88) merupakan gen

pengkode protein adaptor cytosolic yang berperan penting dalan respon

imun alamiah dan dapatan. Protein ini berfungsi sebagai signal transducer

penting pada jalur signal Interleukin-1 dan Toll-like receptor. Regulasi

jalur ini akan mengaktivasi gen numerous proinflamasi. MyD88 selain

terlibat sebagai protein adaptor pada jalur signal Toll-like receptor dan IL-1

pada sistem imun alamia dan dapatan juga dapat mengaktivasi via IRAK1,

IRAK2, IRF7 dan TRAF6, mengaktivasi NF-kB, sekresi sitokin dan

merespon inflammantory.

Menurut Bonnert et al (1997), menemukan overexpression pada

MyD88 menyebabkan peningkatan pada level transkripsi dari interleukin-8

promoter. Muzio et al (1997) melaporkan bahwa domain C-Terminal

MyD88 memiliki kesamaan urutan yang signifikan terhadap domain

sitoplasmik IL1RAP. Mereka memperlihatkan bahwa ekpresi MyD88 yang

kuat menginduksi aktivitas NF-ĸB dengan cara tergantung konsentrasi.

Ditambahkan pula region C-Terminal MyD88 bertindak sebagai inhibitor

domain negatif dari IL1R1/IL1RAP-induce NF-ĸB activity. MyD88

membentuk immunopresicipitable kompleks dengan IL1RAP dan IRAK2.

Medzhitov et al (1998) mendemonstrasikan signal reseptor Toll

manusia mempekerjakan protein adapter, MyD88 dan menginduksi

aktivasi NF-ĸB lewat IRAK (IRAK1) kinase dan protein TRAF6. Kaskade

42

signal TLR memediasi jalur NF-ĸB untuk kekebalan respon Drosophila

dewasa, MyD88 terlibat sebagai adaptor/regulator molekul umum famili

reseptor Toll/ IL1R untuk innate immunity.

MyD88 telah dipetakan, dimana menurut penelitian Hardiman et al

(1997) menjelaskan struktur gen MyD88 pada tikus berada pada

kromosom 9 , menurut urutan coding lengkapnya mencakup 5 exon

sedangkan homolog manusianya dipetakan pada 3p22-p21.3

menggunakan analisis PCR. Menurut Bonnert et al (1997) dengan

menggunakan Fluorescence in situ hubridization untuk mempetakan gen,

dimana gen MyD88 pada manusia terletak di 3p22-3p21.3 yang berada

pada kromosom 3 yang dikode oleh 5 exon dengan ukuran 4.5 kB

Gambar 7. Lokasi gen MyD88

Sumber : http://ghr.nlm.nih.gov/gene/MYD88

43

MyD88 terdiri dari bagian TIR domain pada posisi C-terminal

(sekitar 150 residu asam amino) dan death domain pada posisi N-terminal

(sekitar 90 residu asam amino) serta daerah intermediated domain

(Gambar 8a). Pada respon imun bawaan, TIR domain pada TLR

berfungsi penting dalam pembentukan kompleks inisiasi sinyal, kemudian

akan merekrut IL-1 receptor-associated kinase (IRAK) untuk berinteraksi

dengan death domain. IRAK diaktivasi melalui proses fosforilasi dan

berasosiasi dengan TRAF6 yang akan mengarah pada aktivasi 2 jalur

yang berbeda yaitu aktivasi JNK dan NFĸB (Gambar 8b) (Takeda, K dkk,

2004)

Sumber : Takeda K; Shizuo A, 2004

b

a

Gambar 8 a. Posisi pembagian daerah domain MyD88. b. Interaksi TLR, MyD88

(TIR domain, death domain dan TLR )

Sumber : Takeda K, Shizuo A, 2004

44

D. TINJAUAN KHUSUS MOLEKULER

1. Penemuan Awal

Era penemuan materi genetik dibuka oleh F.Miescher dengan

menggunakan mikroskop sederhana, F.Miescher menyatakan bahwa

bahan aktif yang ada di dalam nukleus disebut sebagai nuclein. Namun

sampai sekarang ini nuclein belum bisa diketahui apakah merupakan

kromosom atau DNA (Fatchiyah dkk, 2011, Yumono T, 2005).

Kromosom merupakan struktur seperti benang pada nukleus sel

eukariot yang nampak pada saat sel mulai membelah. Pada organisme

diploid, kromosom berjumlah diploid (2 set) pada setiap selnya. Kromosom

dapat dibedakan menjadi kromosom autosomal dan kromosom seks.

Kedua set kromosom tersebut membawa gen-gen yang berpasangan,

kecuali pada kromosom-Y (Fatchiyah dkk, 2011, Yumono T, 2005).

Gen adalah unit heriditas suatu organisme hidup. Gen dikode

dalam materi genetik organisme yang disebut molekul DNA, atau RNA.

Ekspresi gen dipengaruhi oleh lingkungan internal atau eksternal seperti

perkembangan fisik atau perilaku dari organisme itu. Gen tersusun atas

urutan basa nukleotida yang terdiri dari daerah yang mengkode suatu

informasi genetis (ekson), daerah yang tidak mengkode suatu informasi

genetis (intron), serta bagian yang mengatur ekpresi gen yaitu sekuens

pengontrol ekspresi gen (regulatory sequence) (Fatchiyah dkk, 2011,

Yumono T, 2005).

45

Gambar 9. Struktur kromosom, gen, dan DNA

Sumber : http://khairul-anas.blogspot.com/2012/04/dna-gen-

kromosom.html

2. Struktur DNA

Pada tahun 1953, James Watson dan Francis Crick, berdasarkan

atas data kimia dan fisik, Watson dan Crick membuat model struktur DNA

yang disebut untai ganda (double helix). Untai ganda tersebut tersusun

oleh dua rantai polinukleotida saling berikatan melalui ikatan hidrogen

antara basa adenin (A) dengan Thymine (T), dan antara Guanine (G)

dengan Cytosine (C), dan kedua rantai tersebut mempunyai orientasi yang

berlawanan (antiparalel) : rantai yang satu mempunyai orientasi 5’ → 3’,

sedangkan rantai yang lain berorientasi 3’ → 5’. Spesifisitas pasang basa

semacam ini disebut sebagai komplementaritas. Proporsi basa A dan T

serta G dan C selalu sama sehingga komposisi DNS dapat dinyatakan

Pada kromosom eukoaryotik, gen

tersusun atas ekson dan intron,

gen-gen ini terdapat pada pita

DNA yang diuntai dan

dimampatkan oleh protein histon

dalam bentuk kromosom

46

dengan kandungan G + C yang berkisar dari 26% sampai 74% (hukum

Chargaff) (Fatchiyah dkk, 2011, Yumono T, 2005).

Kerangka gula deoksiribosa dan fosfat yang menyusun DNA

terletak di bagain luar molekul, sedangkan basa purin dan pirimidin

terletak disebelah dalam untaian (helix) dengan diameter untaian DNA

adalah 20 Å (angstrom). Struktur untaian berulang setiap 10 basa atau

dengan kata lain ada 10 pasang basa setiap putaran untaian. Untaian

DNA mempunyai dua lekukan (groove) eksternal yaitu lekukan besar

(major groove) dan lekukan kecil (minor groove). Kedua lekukan tersebut

mempunyai peranan sebagai tempat melekatnya molekul protein tertentu.

(Fatchiyah dkk, 2011, Yumono T, 2005).

Gambar 10. Struktur pita DNA ganda Sumber : http://khairul-anas.blogspot.com/2012/04/dna-gen-

kromosom.html

Ikatan Kedua rantai heliks ganda DNA dapat melakukan replikasi

yang memiliki susunan asam nukleotida yang sama dengan cetakan

aslinya, karena masing-masing untai mengandung sekuens nukleotida

47

yang identik berkomplemen dengan sekuens untai pasangannya. Masing-

masing untai dapat berperan sebagai cetakan untuk sintetis dari untai

komplemen baru yang identik dengan pasangan awalnya (Fatchiyah dkk,

2011).

Beberapa faktor yang menentukan struktur DNA yaitu

Struktur untaian (helix) ditentukan oleh tumpukan (stacking) basa-basa

nukleotida berdekatan yang ada pada satu untai yang terletak pada suau

bidang datar yang tegak lurus terhadap aksis untai ganda. Dan struktur

untai-gandanya ditentukan oleh ikatan hidrogen antara basa-basa yang

berpasangan (Yuwono, T. 2005)

Fungsi dari DNA yang paling penting adalah membawa gen yang

mengandung informasi yang menentukan jenis protein yang harus

disintetis, kapan, dalam tipe sel yang mana, dan berapa banyak jumlah

protein yang harus disintetis (Fatchiyah dkk, 2011).

3. Teknik Rekayasa Genetik

Perkembangan teknologi rekayasa genetika pada dasarnya

didukung oleh perkembangan biologi molekuler. Beberapa teknik utama

yang berhubungan dengan rekayasa senyawa terapetik dan diagnostik,

antara lain polymerase chain reaction (PCR), teknik sequencing DNA,

antibodi monoklonal, teknik pelacakan molekuler, teknik imunoblotting,

teknologi transgenik dan rekayasa protein (Radji M, 2011).

48

a. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu proses

sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi fragmen DNA secara invitro.

PCR pertama kali ditemukan oleh Kary Mullis. Teknik PCR dapat jumlah

fragmen DNA hingga mencapai 106 – 107 kali dalam waktu singkat. Pada

setiap n siklus PCR, akan diperoleh sebanyak 2n kali DNA target.

keberhasilan PCR sangat tergantung pada kemampuan untuk hanya

mengamplifikasi DNA target dan tidak mengamplifikasi DNA non-target.

Proses PCR untuk memperbanyak DNA terdiri dari serangkaian

siklus suhu yang berulang, dimana masing-masing siklus terdiri dari 3

tahap. (i). Tahap denaturasi DNA cetakan pada suhu 94-96ºC, dimana

pada tahap ini terjadi pemisahan DNA heliks ganda menjadi 2 untai

tunggal DNA. (ii). Tahap penempelan (annealing) oligonukleotida primer

pada suhu 45-60ºC, dengan untaian tunggal DNA cetakan pada ujung 3’.

(iii). Tahap elongation, yaitu pemanjangan primer menjadi suatu untai DNA

baru, yang komplementer terhadap masing-masing DNA cetakan untai

tunggal oleh enzim DNA polimerase pada suhu 72ºC (Radji M 2011,

Yuwono T 2006).

Ketiga tahap siklus tersebut diulang sesuai dengan jumlah siklus

amplifikasi. Pada siklus pertama dua untai tunggal DNA cetakan akan

disalin menjadi 2 DNA untai ganda. Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan

untai ganda masing-masing akan bertindak sebagai cetakan sehingga

49

pada siklus kedua akan dihasilkan 4 DNA untai ganda. Pada siklus

berikutnya akan dihasilkan jumlah DNA akan disalin menjadi 8 kali, dan

seterusnya (Radji M 2011, Yuwono T 2006).

Pada siklus akhir, DNA cetakan akan digandakan secara

eksponensial sehingga dihasilkan DNA dalam jumlah yang berlipat ganda

hanya dalam waktu yang relatif singkat sekitar 3 – 4 jam (Radji M 2011,

Yuwono T 2006).

Beberapa komponen penting dalam proses PCR terdiri dari :

1) DNA cetakan

Fragmen DNA yang akan dijadikan cetakan untuk menggandakan

DNA biasanya berukuran pendek, kurang dari 1.000 pasang basa

(bp). Hasil amplifikasi yang efisien antara 100 – 400 bp. DNA cetakan

sebaiknya murni, untuk menghasilkan amplikon (hasil amplifikasi

DNA) yang murni. Suspensi DNA yang tidak murni akan

mempengaruhi reaksi amplifikasi dan dapat menghambat kerja enzim

DNA polimerase.

2) Primer

Primer merupakan oligonukleotida rantai pendek yang dibuat secara

sintetik, umumnya sepanjang 15-32 pasang basa. Primer yang

digunakan harus mampu mengenali urutan DNA cetakan yang akan

diamplifikasi.

50

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perancangan primer

oligonukleotida antara lain adalah : (i). Kandungan GC primer harus

45-60%, dimana ujung 3’ harus terdiri dari basa G atau C, (ii). Harus

dihindar susunan tiga basa berturut – turut terdiri dari G atau C pada

ujung primer, misalnya CCG, CCC, GCG, GGG atau GCC, (iii). Urutan

basa sepanjang primer tidak boleh saling komplementer, sehingga

membentuk dimer atau membentuk ikatan seperti jepitan rambut

(hairpins), (iv). Hindari merancang suatu primer pada daerah repetitif

dan (v). Pemilihan suhu annealing yang tepat.

Penentuan suhu annealing primer oligonukleotida (Tm = melting

temperature) berdasarkan formula :

Tm = [(jumlah A+T) x 2ºC] + [(jumlah C+G) x 4ºC]

3) DNA polimerase

Enzim yang digunakan dalam PCR adalah enzim DNA polimerase

termostabil yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus, yang hidup

di dalam sumber air panas yang disebut dengan TaqDNA polymerase.

Enzim Taq DNA polimerase tetap aktif pada suhu 100ºC, dengan

aktifitas optimal pada suhu 92-95ºC. Selain itu enzim DNA polimerase

yang termostabil lainnya diisolasi dari bakteri yang hidup pada turbin

kapal selam yang disebut dengan Vent DNA polymerase.

Aktivitas enzim DNA polimerase ini mengkatalisis polimerisasi DNA

berlangsung dari ujung 5’ ke ujung 3’ dan memiliki waktu paruh sekitar

51

40 menit pada suhu 95ºC. Biasanya untuk setiap 100 μL reaksi PCR

ditambahkan 2,0 – 2,5 unut Taq DNA polymerase.

4) Larutan buffer

Larutan buffer untuk reaksi PCR terdiri atas 50mM KCI, 10 mM Tris-Cl

(pH 8,3) dan 1,5 mM MgCl2.

Konsentrasi ion Magnesium dalam larutan buffer merupakan faktor

yang sangat menentukan proses denaturasi, penempelan primer,

aktivitas enzim, ketelitian reaksi, dan spesifisitas produk PCR.

5) Deoksi ribonukleotida trifosfat (dNTPs)

Konsentrasi nukleotida yang terdiri dari dATP, sTTP, dCTP, dan

dGTP, sangat penting untuk memberikan spesifisitas yang tinggi pada

hasil reaksi.

Biasanya konsentrasi masing-masing dNTP adalah 200 μM, pada pH

7,0. Bila konsentrasi terlalu tinggi akan menimbulkan

ketidakseimbangan dengan DNA polimerase. Sedangkan bila

konsentrasi terlalu rendah dapat mempengaruhi ketepatan dan

ketelitian hasil amplifikasi DNA.

6) PCR gene cycle

PCR gene cycle pertama kali dikembangkan oleh perusahaan

PerlinElmen sebagai pemegang paten asli. Pada saat ini telah

dikembangkan dan diproduksi berbagai macam alat PCR gene cycle

dari berbagai perusahaan yang bergerak di bidang bioteknologi. Alat

ini secara meregulasi suhu dan siklus waktu yang dibutuhkan untuk

52

reprodusbilitas dan keakuratan reaksi amplifikasi (Fatchiya dkk 2011,

Radji M 2011, Yuwono T 2006).

b. Teknik Sequencing DNA

Teknik sequencing DNA (DNA sequencing) adalah cara

menentukan urutan basa-basa nukleotida suatu fragmen DNA. Teknik ini

merupakan salah satu teknik yang sangat penting dalam bidang biologi

molekuler, yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan urutan basa

nukleotida suatu gen atau sekuen genom total suatu sel atau organisme

(Radji M, 2011).

Teknik pengurutan basa DNA terdiri dari 2 macam cara yang

dikembangkan hampir secara bersamaan yaitu : i). Cara degradasi

kimiawi oleh A.Maxam dan W. Gilbert di Amerika ; ii). Cara terminasi rantai

oleh F. Sanger dan A.R. Coulson di Inggris (Radji M, 2011).

2) Teknik Maxam – Gilbert

Teknik pengurutan basa yang pertama kali dikenal adalah

teknik kimia yang dikembangkan A.Maxam dan W. Gilbert pada tahun

1977. Fragmen DNA yang akan diurutkan dilabel dengan radioaktif

(32P) pada salah satu ujung 5’. Teknik Maxam – Gilbert, dapat

diterapkan baik untuk urutan DNA untai ganda maupun DNA untai

tunggal (Radji M, 2011).

Molekul DNA dipotong terlebih dahulu secara parsial dengan

piperidin. Pengaturan lama inkubasi atau konsentrasi piperidin yang

53

digunakan dapat menghasilkan potongan fragmen DNA dalam

berbagai ukuran. Selanjutnya basa DNA dimodifikasi dengan

menggunakan senyawa kimia tertentu. Dimetilsulfat digunakan untuk

metilasi basa G, asam fosfat untuk menghidrolisis basa A dan G,

sedangkan hidrazin digunakan untuk menghidrolisis basa C dan T.

Dengan demikian akan dihasilkan empat jenis fragmen DNA yang

memiliki ukuran berbeda dengan masing-masing memiliki ujung G,

ujung C, ujung A dan ujung T (Radji M, 2011).

Fragmen-fragmen DNA yang dihasilkan selanjutnya di

elektroforesis dengan gel poliakrilamida. Berdasarkan pola migrasi

pada gel elektroforesis dapat ditentukan urutan basa-basa DNA dari

nmolekul DNA yang ditentukan urutan basa-basanya (Radji M, 2011).

3) Teknik Sanger – Coulson

Teknik Sanger – Coulson merupakan teknik yang saat ini sering

digunakan untuk menentukan urutan basa DNA. Teknik Sanger –

Coulson lebih praktis dari Maxam – Gilbert, sehingga teknik Sanger

lebih banyak dikembangkan dan digunakan untuk sequencing DNA

(Radji M, 2011).

Teknik Sanger – Coulson pada dasarnya memanfaatkan sifat

enzim DNA polimerase yaitu fragmen klenow, yang memiliki

kemampuan mensintesis DNA dengan adanya dNTP dengan ddNTP.

Molekul dNTP, tidak memiliki gugus hidroksil (OH), pada atom C

nomor 2 pada cincin gula pentosa, sedangkan molekul ddNTP, tidak

54

memiliki 2 gugus PH pada posisi atom C nomor 2 dan nomor 3 pada

cincin gula pentosa (Radji M, 2011).

Teknik sequencing DNA menggunakan teknik

dideoksinukleotida dilakukan pada 4 tabung reaksi yag berbeda,

dimana pada setiap tabung reaksi berisi campuran reagen yang terdiri

dari cetakan DNA untai tunggal yang disekuens, primer

oligonukleotida, DNA polimerase, campuran dNTP dan larutan buffer

(Radji M, 2011).

Gambar 11. Perbedaan struktur molekul dNTP dan ddNTP

Sumber : http://khairul-anas.blogspot.com/2012/04/dna-gen-

kromosom.html

DNA cetakan akan disekuensing adalah DNA untai tunggal

sehingga biasanya diklon terlebih dahulu dalam vektor M13.

Sedangkan molekul ddNTP yang dilabeli dengan senyawa radioaktif

Jika ddNTP terikat pada rantai

DNA yang sedang direplikasi,

proses pemanjangan DNA akan

terhenti karea basa DNA lain tidak

dapat bereaksi (tidak memiliki

gugus OH)

55

atau non-radioaktif, hanya ditambahkan pada campuran reaksi yang

sesuai yaitu untuk tabung A hanya ditambahkan ddATP, untuk tabung

C hanya ditambahkan ddCTP, untuk tabung G ditambahkan ddGTP,

sedangkan untuk tabung T ditambahkan ddGTP (Radji M, 2011).

Pada proses pemanjangan untai DNA, selain menggunakan

dNTP, secara acak juga menggunakan ddNTP, maka jika ddNTP

terikat, polimerisasi lebih lanjut basa-basa DNA tidak terjadi atau

terhenti, pada langkah-langkah dasar proses pengurutan basa-basa

DNA (Radji M, 2011).

Disiapkan 4 tabung reaksi yang mengadung masing-masing

DNA untai tunggal yang akan disekuens, primer oligonukleotida,

empat jenis dNTP, enzim DNA polimerase dan larutam buffer.

Kemudian kedalam rabung No. 1 ditambahkan ddGTP, tabung No. 2

ditambahkan ddCTP, tabung No. 3 ditambahkan ddATP, dan tabung

No. 4 ditambahkan ddTTP. DNA cetakan dalam masing-masing

tabung kemudian diamplifikasi secara in vitro dengan teknik PCR.

Dengan demikian dalam setiap reaksi akan dihasilkan sejumlah

fragmen DNA dengan ukuran bervariasi dimana setiap fragmen DNA

tersebut memiliki gugus ddNTP yang telah dilabel dengan radioaktif

pada setiap ujung 3’nya. Untuk mengetahui ukuran fragmen-fragmen

DNA yang terbentuk dilakukan elektroforesis menggunakan gel

poliakrilamida, kemudian dideteksi dengan alat autoradiografi (Radji

M, 2011).

56

Berdasarkan perbedaan – perbedaan migrasi masing-masing

fragmen DNA akan dapat ditentukan urutan basa-basa DNA-nya.

Hasil sequencing DNA merupakan urutan basa yang komplementer

terhadap urutan basa-basa yang terbaca pada hasil elektroforesis

(Radji M, 2011).

Sistem pelabelan yang semula dilakukan dengan radioisotop,

telah dikembangkan dengan sistem pelabelan senyawa fluoresen

yang berbeda warna pendarannya untuk setiap dNTP terminal.

Perbedaan emisi cahaya senyawa fluoresen ketika tereksitasi oleh

sinar laser, akan terbaca dengan jelas oleh alat pendeteksi optik

(detektor) yang terdapat pada mesin DNA sekuensing, sehingga

urutan basa-basa DNA dapat terdeteksi pada sistem elektroforesis

kapiler (Radji M, 2011).

c. Elektroforesis

Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul seluler

berdasarkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang

dialirkan pada suatu medium yamg mengandung sampel yang akan

dipisahkan. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik

tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian,

elektroforesis dapat digunakan untuk pemisahan makromolekul seperti

DNA yang bermuatan negatif, jika molekul yang bermuatan negatif

dilewatkan melalui suatu medium (gel agarose) kemudian dialiri arus listrik

57

dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul

tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Posisi molekul

yang memisah pada gel dapat dideteksi dengan pewarnaan atau

autoradiografi, ataupun dilakukan kuantifikasi dengan densitometer

(Fatchiya dkk 2011, Radji M 2011, Yuwono T 2006, Yuwono T, 2005).

Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA

maupun protein. Elektroforesis DNA dilakukan misalnya untuk

menganalisis fragmen-fargmen DNA hasil pemotongan dengan enzim

restriksi. Fragmen molekul DNA yang telah dipotong-potong dapat

ditentukan ukurannya dengan cara membuat gel agarose, yaitu suatu

bahan semi padat berupa polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut.

Gel agarosa dibuat dengan melarutkannya dalam suatu buffer yang

kemudian dipanaskan. Dalam keadaan panas, gel akan dicetak diatas

sebuah lempeng yang terbuat dari Perspex. Sebelum dingin dan

memadat, pada ujung gel dibuat lubang menggunakan lembaran perspex

tipis yang menyerupai sisir. Sisir tersebut ditancapkan pada salah satu

ujung gel yang masih cair. Gel agarose yang sudaj terbentuk akan

dimasukkan ke dalam suatu tangki yang berisi buffer yang sama dengan

yang digunakan untuk membuat gel. Buffer dapat dibuat misalnya dengan

tri-asetat-EDTA (TAE) atau tri-borat-EDTA (TBE) (Yuwono, T, 2005)

Setelah DNA dimasukkan ke dalam lubang sampel, arus listrik

dialirkan. Setelah beberapa waktu gel akan direndam dalam larutan yang

mengandung ethidium bromida. Etidium bromida akan menyisip kedalam

58

DNA, penggunaan etidium bromida dimaksudkan untuk membantu

visualisasi karena etidium bromida dapat memendarkan sinar ultraviolet.

Jika gel disinari dengan UV dari bawah maka akan tanpak citra berupa

pita-pita pada gel (Yuwono, T. 2005).

Selain teknik elektroforesis linear sekarang telah dikembangkan

teknik elektroforesis yang lain seperti teknik pulse field gel electrophoresis

(PFGE), ortogonal field elternation gel electrophoresis (OFAGE),

transverse alternation field electrophoresis (TAFE) (Yuwono, T. 2005).

4. Kode Genetik

Gen tertentu membawa informasi yang dibutuhkan untuk membuat

protein dan informasi inilah yang disebut kode genetik. Kode genetik

adalah cara pengkodean urutan nukleotida pada DNA atau RNA untuk

menentukan urutan asam amino pada saat sintesis protein.

Di alam ada 20 macam asam amino yang umum terdapat di dalam

struktur polipeptida jasad hidup. Masing-masing asam amino mempunyai

kodom yang spesifik sedangkan nukleotida hanya ada empat (4) macam

yaitu A, U, G dan C (Yuwono. T, 2005).

Berbagai penelitian dilakukan untuk memecahkan empat basa

nitrogen yang mampu mengkode 20 asam amino. Jika suatu kodon hanya

terdiri dari dua nukleotide maka hanya akan mendapatkan (42) 16 asam

amino, tetapi apabila kodom disusun oleh 3 nukleotida, maka akan

diperoleh (43) 64 asam amino, sedangkan jumlah asam amino yang umum

59

diketahui pada jasad hidup hanya 20 macam. Beberapa kodon diketahui

mengkode asam amino yang sama. Fenomena ini dikenal sebagai genetic

code redundancy (degeneracy). Oleh karena adanya beberapa kodon

yang berbeda untuk satu asam amino yang sama, maka dikenal 64

macam kodon, tiga diantaranya yaitu TAA (UAA pada mRNA), TAG (UAG

pada mRNA), dan TGA (UGA pada mRNA) tidak menkode asam amino

apapun karena fungsi ketiga kodon tersebut adalah berfungsi sebagai

kodon terminasi (kodon untuk mengakhiri) proses translasi.

Tabel 2. Kode Genetik “ Universal”

Sumber : Yuwono, T. Biologi Molekuler, 2005.

60

Ada beberapa aspek yang perlu diketahui mengenai kode genetik,

yaitu :

a. Kode genetik bersifat tidak saling tumpang-tindih (non-overlapping),

kecuali pada kasus tertentu, misalnya pada bakteriofag ɸX174 yang

mempunyai kodon tumpang-tindih.

b. Tidak ada sela (gap) diantara kodon satu dengan kodong yang lain.

c. Tidak ada koma diantara kodon.

d. Kodon bersifat degenerate, artinya ada beberapa asam amino yang

mempunya lebih dari satu kodon.

e. Secara umum, kodon bersifat hampir universal karena pada beberapa

organel jasad tinggi ada beberapa kodon yang berbeda dari kodon

yang digunakan pada sitoplasma (tabel 3)

Dalam proses translasi, setiap kodon berpasangan dengan

antikodon yang sesuai pada molekul tRNA. Sebagai contoh, kodon

metionin (AUG) mempunyai komplementer dalam bentuk antikodon UAC

yang terdapat pada tRNAmet. Pada waktu tRNA yang membawa asam

amino diikat ke dalam sisi A pada ribosom, maka bagian antikodonnya

berpasangan dengan kodon yang sesuai yang ada pada sisi A tersebut .

namun jika setiap kodon memerlukan tRNA tersendiri, maka diperlukan

banyak tRNA untuk mentranslasikan kode-kode genetik. Oleh keran itu

Francis Crick mengemukanan suatu hipotesis yang dikenal sebagai

hipotesis wobble yang menunjukkan bahwa tRNA yang diperlukan tidak

sebanyak jumlah kodon yang ada (Yuwono, T, 2005)

61

Tabel 3. Beberapa Penyimpanan dari Kode Genetik “universal”

Sumber Kodon Makna pada

sistem universal

Makna pada sistem ini

Mitokondria

Drosophila

UGA

AGA & ACG

AUA

STOP

Arginin

Isoleusin

Triptofan

Serin

Metionin

Mitokondria mamalia

AGA & ACG

AUA

UGA

Arginin

Isoleusin

STOP

STOP

Metionin

Triptofan

Mitokondria khamir

CUN

AUA

UGA

Leusin

Isoleusin

STOP

Treonin

Metionin

Triptofan

Mitokondria

tumbuhan tingkat

tinggi

UGA

CGG

STOP

Arginin

Triftofan

Triftofan

Nukleus Candida

albicans

CTG Leusin Serin

Nukleus protozoa UAA & UAG STOP Glutamin

Mycoplasma UGA STOP Triftofan

Sumber : Yuwono, T. Biologi Molekuler, 2005.

5. Mutasi

Mutasi adalah suatu perubahan frekwensi dan kombinasi alel gen,

atau kromosom secara genetika atau kromosom secara seketika

(spontan) (Sidarhata, 1985). Istilah dan teori mengenai mutasi tertuang

dalam buku “The Mutation Theori” tahun 1901, Hugo de Vries melakukan

percobaan pada bunga pukul empat. Oenothera lamrckiana. Hugo de

Vries merupakan sarjana Botani asal Belanda yang merupakan salah satu

orang yang menggali Hukum Mendel yang terpendam.

62

Setiap urutan DNA secara normal tidak akan berubah saat

bereplikasi. Namun, beberapa hal dapat menyebabkan urutan DNA itu

berubah. Perubahan ini disebut juga dengan mutasi. Widodo (2003)

menyebutkan bahwa mutasi merupakan kesalahan di dalam replikasi atau

perbaikan yang dapat memunculkan urutan (sequence) yang baru. Lebih

lanjut Campbell (2002) mengatakan bahwa mutasi adalah perubahan

materi genetik suatu sel atau virus.

Mutasi terjadi pada setiap sel, baik itu sel somatik atau germline.

Mutasi pada sel somatik tidak akan diwariskan. Oleh karena itu, dalam

hubungannya dengan evolusi maka hal tersebut tidak diperhitungkan.

Mutasi merupakan sumber variasi di dalam evolusi (Widodo dkk, 2003).

Ada beberapa macam mutasi yang dikenal sampai saat ini (widodo

dkk, 2003)

a. Berdasarkan tempat terjadinya

1. Mutasi kecil (point mutation)

Mutasi kecil adalah perubahan yang terjadi pada susunan molekul

(DNA) gen. Lokus gen sendiri tetap. Mutasi jenis ini yang menimbulkan

perubahan alel. Mutasi gen diartikan sebagai suatu perubahan fisiokimiawi

gen. Perubahan fisiokimiawi gen yang terjadi antara lain dapat berupa

perubahan atau pergantian pasangan basa. Misalnya pasangan A-T

diganti menjadi G-C.

63

2. Mutasi besar (gross mutation)

Mutasi besar adalah perubahan yang terjadi pada struktur

kromosom. Istilah khusus mutasi kromosom adalah aberasi.

b. Berdasarkan macam sel yang mengalami mutasi

1. Mutasi somatis (mutasi vegeratif)

Mutasi somatis adalah mutasi yang terjadi pada sel soma, bila

perubahan sel somatis demikian besar, sel-sel dapat mati dan kalau dapat

bertahan hidup memiliki kelainan atau tidak berfungsi secara normal.

2. Mutasi germinal (mutasi gametis/generatif)

Mutasi germinal adalah mutasi yang terjadi pada sel germinal

(terdapat didalam gonad). Hal ini terjadi pada mahluk hidup bersel banyak

dan bukan yang bersel satu.

c. Berdasarkan faktor penyebab mutasi

1. Mutasi alami (spontan)

Mutasi alam adalah mutasi yang terjadi sevara alami (tanpa dibuat

dan disengaja manusia). Penyebab dari mutasi alamiah antara lain: sinar

kosmis, batuan radioaktif, sinar ultraviolet matahari, radiasi ionisasi.

2. Mutasi buatan

Mutasi buatan merupakan mutasi yang sengaja dibuat oleh

manusia, yang biasa diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Misalnya

dibidang budidaya, perakitan bibit dan lain-lain.

64

d. Berdasarkan jumlah faktor keturunan

1. Mutasi bertahap (mutasi mikro)

Mutasi mikro adalah mutasi yang terjadi atas satu atau sekelompok

kecil faktor keturunan.

2. Mutasi lompatan (mutasi makro)

Mutasi makro adalah mutasi yang terjadi atas sejumlah besar atau

mungkin seluruh faktor keturunan.

e. Berdasarkan manfaat bagi individu atau populasi yang mengalami mutasi

1. Mutasi yang merugikan

Mutasi yang merugikan adalah mutasi yang berakibat timbulnya ciri

dan kemampuan yang kurang atau tidak adaptip pada individu (populasi)

2. Mutasi yang menguntungkan

Mutasi yang menguntungkan adalah mutasi yang berakibat

timbulnya ciri dan kemampuan yang semakin adaptip pada individu

(populasi), diantara kedua mutasi ini, yang paling banyak terjadi adalah

mutasi yang merugikan akan tetapi ada ruang lingkup mekanisme evolusi,

dampak perubahan karena mutasi efektif adalah mutasi yang

menguntungkan.

65

f. Berdasarkan panjang urutan DNA yang dipengaruhi oleh mutasi

1. Mutasi titik

Mutasi titik merupakan mutasi yang terjadi pada satu nukleotida

tunggal.

2. Mutasi segmental

Mutasi ini terjadi pada beberapa nukleotida.

g. Berdasarkan jenis perubahan yang disebabkan oleh peristiwa mutasi

1. Substitusi

Substitusi merupakan salah satu jenis mutasi yang disebabkan oleh

pergantian satu nukleotida dengan nukleotida yang lain. Menurut Fried

(2005) substitusi merupakan jenis mutasi yang lebih kecil

kemungkinannya dalam mengganggu sintesis protein. Pada substitusi

satu basa digantikan oleh basa lainnya. akibat adanya perubahan kodon

semacam ini adalah asam amino digantikan oleh asam amino lainnya. jika

asam amino yang baru mirip sifatnya dengan asam amino yang aslinya

tidak akan terjadi kerusakan.

Mutasi substitusi dibedakan atas transisi dan transversi. Transisi

adalah perubahan antara A dan G (purin) atau antara C dan T (pirimidin),

dengan kata lain transisi merupakan mutasi yang terjadi karena adanya

pergantian basa purin dengan purin lain, atau antara basa pirimidan

dengan pririmidin. Jenis transisi adalah A→G, G→A, C→T dan T→C.

66

Transversi adalah merupakan perubahan antara suatu purin dengan

pirimidin. Jenis transversi yaitu A→C, A→T, C→A, C→G, T→A, T→C,

G→C dan G→T.

Mutasi yang terjadi pada protein coding dapat pula dibedakan

menjadi beberapa menurut efek yang ditimbulkannya. Ada mutasi

synonymous jika tidak terjadi perubahan apapun pada asam amino yang

ditetapkan. Ada pula mutasi nonsynonymous jika terjadi perubahan asam

amino yang ditetapkan.

Lebih lanjut mutasi nonsynonymous dibedakan menjadi mutasi

missense dan mutasi nonsense. Mutasi missense mengubah kodon yang

dipengaruhi ke dalam suatu kodon asam amino yang kodenya telah

ditetapkan sebelumnya. Mutasi nonsense akan mengubah suatu sense

kodon kedalam sense kodon terminal sehingga translassi akan berakhir

dan menghasilkan protein yang tidak lengkap.

2. Rekombinasi

Selain mutasi, mekanisme lain yang dapat menyebabkan

terjadinyab variasi genetik adalah rekombinan. Rekombinan genetik

adalah proses pertukaran elemen genetik yang dapat terjadi antara

untaian DNA yang berlainan (interstrand) atau antara bagian-bagain gen

yang terletak dala satu untaian DNS (intrastand). Dengan katan lain

rekombinan genetik adalah penggabungan gen dari satu atau lebih sel ke

sel target. ada dua jenis rekombinan yaitu homolog pindah silang

67

(reciprocal recombination) dan konversi gen (nonresiprocal

receombination).

3. Delesi dan Insersi

Delesi dan insersi dapat terjadi karena beberapa mekanisme.

Mekanisme pertama adalah unequal crossing over. Unequal crossing over

antara dua kromosom mengakibatkan delesi suatu segmen DNA pada

satu kromosom dan suatu penambahan timbal balik pada yang lain.

Kesempatan terjadinya unequal crossing over sangat ditingkatkan jika

suatu segmen DNA disalin dalam tandem, sehingga kemungkinan salah

urutan adalah lebih tinggi.

Mekanisme berikutnya adalah delesi dalam rantai yang merupakan

suatu site-spesific recombination yang muncul ketika suatu segmen

verulang berpasangan dengan yang lain memiliki orientasi yang sama

pada ktomatid yang sama, maka sebagai konsekuensi adalah terjadinya

suatu pindah silang intrakromosom.

Mekanisme ketiga adalah replication slippage atau slipped-strand

mispairing. Peristiwa ini terjadi pada daerah DNA repeat/berulang yang

berdekatan. Selama DNA replikasi, slippage dapat terjadi oleh karena

mispairing antara daerah berulang yang berdekatan dan slippage ini dapat

menghasilkan delesi dan duplikasi segmen DNA tergantung kenampakan

slippage pada arag 5→3 atau sebaliknya. Mekanisme keempat yang

bertanggung jawab untuk insersi dan delesi sekuens DNA adalah DNA

transpisition

68

Delesi dan insersi secara bersama dikenal sebagai indels sebagai

singkatan untuk insersi atau delesi. Sebab ketika dua sekuens

dibandingkan, adalah mustahil untuk membahas apakah suatu insersi

telah terjadi atau delesi telah terjadi. (Levine J.S kenneth R.M, 1992)

Gambar 12. Mutasi Gen (Point Mutation) Sumber : http://books.lardbucket.org/books/the-basics-of-general-organic-

and-biological-

69

Gambar 13. Mutasi Kromosom Sumber : http://books.lardbucket.org/books/the-basics-of-general-organic-

and-biological-

E. TINJAUAN UMUM SITOKIN

1. Definisi Sitokin

Sitokin merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat

diproduksi oleh hampir semua jenis sel yang berinti di dalam tubuh, sitokin

dikelompokkan kedalam mediator yang berfungsi dalam komunikasi

antarsel. Sitokin tidak bergantung pada peredaran darah (parenkin dan

autokrin) hal tersebut dikarenakan sitokin mempunyai sel-sel sasaran

yang tidak terlalu jauh letaknya (Subowo, 2009; Boedina K.S, 2010).

70

Menurut Jan Vilcek (1998), sitokin adalah protein regulator yang

dilepaskan oleh sel-sel darah putih (leukosit) dan berbagai jenis sel lain

dalam tubuh, kegiatan pleiotropik sitokin mencakup efek pada sel dari

sistem imun dan modulasi respons radang (Subowo, 2009; Boedina K.S,

2010).

Kelompok sitokin dapat dibedakan dalam keluarga sebagai berikut :

Tabel 4. Kelompok Sitokin dalam Keluarga

Keluarga Perwakilan anggota

Interleukin-2/Interleukin-4 Interleukin-6/Interleukin-12 Interferon-α/β Tumor necrosis factor Interleukin-1 Transforming growth factor-β Chemokines

IL-2 IL-4 IL-5 GM-CSF IL-6 IL-12 IFN-α (banyak jenisnya) IFN-β IFN-ω IFN-ƫ TNFα TNF-β(LT-α) LT-β Fas ligand CD50 ligand TNF releated apoptosis inducing ligand IL-1α IIL-1β IL-1 Receptor antagonist IL-18 TGF-β Bone morphogenetic protein Inhibins Activins C-X-C sub-faily C-C subfamily C subfamily

71

Sitokin menurut Abbas dkk (2007) dapat diklasifikasikan

berdasarkan aktivitas biologik yang utama kedalam 3 kelompok (lihat

tabel 5), yaitu:

a. Mediator dan regulator imunitas bawaan

Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosit mononuklear

sebagai respon terhadap agen infeksi. PAMP’s seperti lipopolisakarida

(LPS), dsRNA virus, berikatan dengan TLR pada permukaan sel atau

dalam endosom makrofag dan merangsang sintesis dan sekresi beberapa

jenis sitokin sistem imun bawaan yang penting. Sitokin yang sama dapat

pula disekresi oleh makrofag yang diaktivasi oleh limfosit T yang di

stimulasi oleh antigen.

b. Mediator dan regulator imunitas dapatan

Kelompok sitokin ini diproduksi terutama oleh limfosit T sebagai

respons terhadap pengenalan spesifik antigen asing. Beberapa sitokin

yang diproduksi sel T berfungsi terutama untuk mengatur pertumbuhan

dan differensiasi beberapa populasi limfosit

c. Stimulator hemopoesis

Sitokin ini diproduksi oleh sel-sel stroma dalam sumsum tulang,

leukosit dan sel – sel lain dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi

leukosit imatur

72

Tabel 5. Gambaran Sitokin Imunitas Bawaan dan Dapatan

Imunitas bawaan Imunitas dapatan

Contoh Sumber utama Fungsi fisiologik utama Rangsangan Jumlah diproduksi Efek lokal/sistemik Peranan dalam penyakit Inhibitor

TNF, IL-1, IL-12, IFN- Makrofag, sel NK Mediator inflamasi (lokal dan sistemik) LPS(endotoksin), peptidoglikan bakteri, RNA virus, sitokin yang dihasilkan sel T (IFN-) Banyak (dapat dideteksi didalam serum keduanya Penyakit sistemik Kortikosteroid

IL-2, IL-4, IL-5, IFN-γ Limfosit T Mengatur pertumbuhan dan diferensiasi limfosit, aktivasi sel-sel efektor (makrofag, eosinofil, mastosit) Antigen protein Pada umumnya sedikit (tidak terdeteksi didalam serum) Biasanya hanya lokal Kerusakan jaringan lokal Siklosporin

2. TNF (Tumor Necrosis Factor)

Tumor Necrosis Factor (TNF) pada awalnya ditemukan pada tumor

tertentu yang mengalami perdarahan. TNF terutama dihasilkan oleh

makrofag dan sel-sel jenis lain dengan berbagai aktivitas biologik pada

sel-sel sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan (Subowo,

2009).

Tumor Necrosis Factor (TNF) merupakan mediator utama pada

respons inflamasi akut terhadap bakteri gram negatif, dan berperan dalam

respons imun bawaan terhadap berbagai mikroorganisme penyebab

infeksi yang lain, serta bertanggung jawab atas banyak komplikasi

sistemik yang disebabkan infeksi berat.

73

Berbagai efek TNF dengan dengan manifestasi sebagai berikut :

a) Efek sitotoksik

Efek sitotoksit terlihat pada beberapa jenis jaringan tumor yang

mengalami kemunduran dan nekrosis yang disertai perdarahan.

Mekanisme kematian sel tumor in vivo oleh TNF belum jelas, tetapi

yang jelas bahwa kematian sel tumor membutuhkan reseptor untuk

TNF. Kematian sel tumor akan dipercepat jika terdapat hambatan

sintesis protein dalam sel tumor. Tetapi mekanisme kematian sel

tumor secara in vivo bukan pengaruh langsung TNF melainkan secara

tidak langsung. Kemungkinan kematian sel tumor karena terjadinya

nekrosis jaringan tumor sebagai akibat gangguan vaskularisasi untuk

jaringan tumor.

b) Efek radang

TNF sekarang dikenal sebagai mediator utama dalam radang. Pada

percobaan dapat ditunjukkan bahwa TNF yang diperoleh dalam

bentuk murni secara biokimia ternyata bertanggung jawab kepada

aktivitas “cahectin” yang umumnya bekerja pada penderita yang

mengalami infeksi parasit.

c) Efek hemotopoietik

Efek TNF terhadap aktivitas hemotopoietik terlihat dalam bentuk

hambatan pembentukan koloni biakan granulosit-monosit, eritroid dan

koloni sel multi-potensial pada jaringan sumsum tulang manusia.

74

Tetapi sebaliknya pada mencit, TNF meningkatkan sel-sel progenitor

dalam jaringan sumsum tulang pada percobaan in vivo

d) Efek imunologik

Walaupun TNF dalam beberapa aktivitas biologik mirip IL-1, namun

ada beberapa perbedaan dalam mekanisme pengaturan imun. TNF

empunyai aktivitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit T

teraktifkan, misalnya respons prolifetif limfosit T terhadap antigen,

peningkatan reseptor untuk IL-2 dan induksi produksi IFNγ. TNF dapat

meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblas dan sel

endotel (Subowo, 2009).

TNF berfungsi untuk meningkatkan ekspresi molekul adhesi yang

memudahkan leukosit melekat pada permukaan endotel, merangsang sel

fagosit mononuklear untuk mensekresi chemokine, serta mengaktifkan

leukosit. Dampak TNF secara sistemik adalah : 1) bersama-sama dengan

IL-1 TNF menimbulkan demam karena TNF berinteraksi dengan sel-sel di

daerah hypothalamus; 2) TNF dapat merangsang fagosit mononuklear

untuk memproduksi IL-1 dan IL-3; 3) merangsang hepatosit untuk

memproduksi protein-protein tertentu; 4) mengaktifkan sistem koagulasi

dengan merubah keseimbangan aktivitas prokoagulan dan antikoagulan

pada endotel vaskuler; 5) menekan aktivitas stem cell dalam sumsum

tulang (Boedina K.S, 2010)

Ada 2 bentuk TNF yaitu TNF-α dan TNF-β . TNF-α diproduksi oleh

berbagai jenis sel termasuk makrofag, sel T, B, NK, astrosit dan Kupfer.

75

Pembentukan terjadi sebagai respon terhadap rangsangan bakteri, virus

dan sitokin, kompleks imun, komponen komplemen C5a dan reactive

oxygen intermediates (ROI). Sebaliknya TNF-β disekresi oleh sel T dan B

teraktivasi, dapat berada dipermukaan sel bila terikat dengan

transmembran LT-β. TNF-α terbukti merupakan modulator respon imun

kuat yang diperantarai induksi molekul adhesi, sitokin lisin dan aktivasi

neutrofil (Subowo, 2009; Boedina K.S, 2010).

F. TINJAUAN KHUSUS ELISA

Pada pengembangan teknologi diagnostik maupun penelitian

banyak pilihan metode yang dapat digunakan sebagai acuan untuk

mendapatkan hasil yang optimal dalam mengukur kadar antibodi didalam

tubuh. ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay) merupakan salah

satu metode yang sensitif untuk mendeteksi antibodi, antigen, hormon

maupun bahan toksik (Rantam, F.A, 2003; Handojo, I, 2003).

Metode ELISA pertama kali di perkenalkan oleh Engvall dan

Pelmann (1971) dengan cara mengkonjugasikan enzime dalam

immunoassay. Karena tingkat sensitivitasnya tinggi terutaman untuk tes

serologi pada awal infeksi. Dua macam antibodi yang digunakan dalam

ELISA yaitu antibodi pertama (primary antibody) mengikat pada antigen

dan antibodi kedua (secundary antibody) atau antibodi antiglobulin

mengikat pada antibodi pertama. Antiglobulin ini yang dilabel dengan

enzim seperti horseradish peroxidase, alkali phosphatase yang

76

mempermudah monitor dengan perubahan warna. Adanya reaksi dari

enzim ini secara kuantitatif antibodi pertama dapat dianalisis (Rantam,

F.A, 2003; Handojo, I, 2003).

Berdasarkan pada perkembangan teknologi, maka model ELISA

berkembang antara lain direct ELISA, indirect ELISA, sandwich ELISA,

cupture ELISA, sel ELISA.

1. Direct ELISA

Direct ELISA merupakan salah satu model ELISA yang langsung

diikatkan antara antigen dan antibodi, dimana antibodi harus dilabel

dahulu baru divisualisasikan dengan cara manambahkan substrat.

Kelemahan metode ini adalah diperlukan keahlian dalam melakukan

konjugasi atau melabel antibodi dengan enzim, sehingga tahap ini

memerlukan tahapan purifikasi antibodi dan setelah itu dilanjutkan dengan

pelabelan (Rantam, F.A, 2003; Handojo, I, 2003).

Gambar 14. Direct ELISA

Sumber : www.piercenet.com

77

2. Inderct ELISA

Model ini banyak digunakan di laboratorium, hal tersebut

dikarenakan model ini tidak memerlukan keahlian khusus untuk konjugasi.

Model ini telah dilengkapi dengan konjugat fragmen imunoglobulin anti

imunoglubolin yang akan dideteksi. Model lain yang lebih spesifik yaitu

model indirect ELISA model Fang antibodi, dasar mikroplate telah dilapisi

dengan antibodi selanjutnya ditambahkan antigen dan diinkubasi dalam

waktu 45 menit pada suhu 37 ºC yang selanjutnya ditambahkan antibodi

monoklonal dan akhirnya ditambahkan substrat yang dilabel dengan

enzim alkali fosfatase atau peroksidase (Rantam, F.A, 2003; Handojo, I,

2003).

Gambar 15. Indirect ELISA

Sumber : www.piercenet.com

3. Sandwich ELISA

Sandwich ELISA adalah model tes ELISA yang menggunakan

perangkat tiga macam antibodi. Antibodi pertama biasanya menggunakan

antibodi monoklonal yang dilapiskan pada dasar mikroplate dan

78

selanjutnya direaksikan dengan antigen. Setelah dilakukan pencucian

baru ditambahkan antibodi kedua atau sampel serum yang akan dideteksi

dan selanjutnya direaksikan dengan antibodi ketiga yaitu fragmen

imunoglobulin anti imunglobulin yang akan dideteksi. Model ini memiliki

tingkat sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibanding kedua

metode sebelumnya, sehingga sering digunakan untuk mendeteksi

antigen antibodi pada sampel yang mempunyai konsentrasi rendah

(serum, plasma, cairan serebrospinal, cairan ludah, sekresi air mata)

(Rantam, F.A, 2003; Handojo, I, 2003).

Gambar 16. Sandwich ELISA Sumber : www.piercenet.com

4. Cupture ELISA

Cupture ELISA adalah model yang dikembangkan untuk deteksi

IgM karena untuk mendeteksi IgM sering terjadi faktor negatif yaitu adanya

faktor reumatoid, sehingga sering terjadi positif palsu. Untuk menghindari

hal tersebut maka yang menjadi pelapis (coating) adalah Imunoglobulin M

anti human atau spesies lain. Dengan demikian faktor negatif dapat

79

dihindari karena ikatan spesifik terjadi antara serum yang dideteksi

imunoglobulinnya dengan anti-IgM (Rantam, F.A, 2003; Handojo, I, 2003)

5. Sel ELISA

Sel ELISA dikembangkan untuk mendeteksi antigen atau agen

yang terdapat didalam sel. Sehingga pada model ini tidak diperlukan

pelapisan antigen pada mikroplate tetapi dengan cara fiksasi sel yang

diinokulasikan sampel yang yang dideteksi agennya, kemudian

direaksikan dengan konjugat fragmen imunoglobulin anti imunoglobulin

yang digunakan untuk mendeteksi antigen. Antibodi yang sering

digunakan adalah antibodi monoklonal (Rantam, F.A, 2003; Handojo, I,

2003).

G. KERANGKA KONSEPTUAL

Beberapa hasil penelitian yang mendukung kerangka kosep

penelitian seperti yang dijelaskan di bawah ini :

1. WHO., 2012 : WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2011 ada 9

juta kasus TB baru di dunia (125 kasus per 100.000 populasi) dan 1.4

juta meninggal karena infeksi tuberkulosis.

2. WHO., 2012 : Tahun 2011 Indonesia merupakan negara ke 4 yang

memiliki prevalensi penyakit tuberkulosis.

80

3. Johanneke Kleinnijenhuis et al., 2010 : sistem imun bawaan

memainkan peran penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi

MTB. Beberapa kelas PPR yang terlibat dalam recognition MTB oleh

sistem imun bawaan diantaranya TLRs, CLRs, dan NLRs. Beberapa

keluarga TLR seperti TLR2, TLR4, dan TLR9 serta molekul adaptor

MyD88 berperang lebih penting dalam inisiasi respon imun terhadap

tuberkulosis. Studi epidemologi juga dilakukan dimana

mengungkapkan bahwa terjadinya variasi genetik pada anggota PPR

mempengaruhi tingkat kerentanan penyakit, tingkat keparahan dan

juga berkontribusi pada penciptaan terapi yang baru dan lebih rumit.

4. Y.X Zhang et al., 2011 : Adanya polimorfisme pada gen TIRAP/

MyD88 memungkinkan terjadinya kerentanan terhadap penyakit TB

dan dapat menyebabkan faktor resiko baru terhadap perkembangan

TB. Pada infeksi yang disebabkan oleh TB terdapat dua signal adaptor

TLR4 yang dilalui yaitu MyD88 dan TRIF.

5. Van Lieshout MH et al., 2012 : Penelitian yang dilakukan dengan

tujuan untuk mengetahui peranan dari 2 signal adaptor TLRs yaitu

MyD88 dan TRIF pada pasien dengan kasus hematopoetik sel dan

pneumonia. Dimana MyD88 pada kedua kasus memiliki kontribusi

dalam kelangsungan dan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri

sedangkan TRIF hanya berkontribusi pada kasus hematopoetik sel.

MyD88 dan TRIF memiliki kontribusi untuk pertahanan tubuh terhadap

berbagai macam infeksi.

81

6. Takeuchi O et al., 2000 : TLR2 mengenali komponen bakteri gram

positif dan TLR4 mengenali komponen LPS gram negatif sedangkan

MyD88 merupakan molekul adaptor yang penting untuk signal TLR.

Tikus dengan defisiensi TLR2 dan MyD88 diinfeksikan dengan

Staphylococcus aureus, dimana tikus dengan defisiensi MyD88 sangat

rentan terhadap S.aureus dengan produksi sitokin tidak ada sama

sekali.

7. Shizuo akira et al., 2003 : TLRs berperan penting dalam mendeteksi

patogen yang menyeran tubuh. TLRs mengenali komponen yang

berbeda yang berasal dari patogen yang diikuti oleh produksi sitokin.

Setelah terjadi stimulasi TLR merekrut IL-1R- associated kinase via

adaptor MyD88 dan menginduksi aktivasi dari NF-kB dan mitogen-

activated protein kinase. Produksi sitokin akan menurun jika pada

MyD88 terjadi kecacatan sehingga dikatakan MyD88 merupakan

signal molekul dari IL-1R yang penting. Pada TLR4 telah ditemukan

molekul baru yang diidentifikasi dapat berpartisipasi pada jalur

MyD88-independent yang dapat menginduksi interferon tipe I (IFNs)

jika terjadi cacat / penurunan fungsi pada MyD88 dependent.

8. Kawait T et al., 1999 : MyD88 sangat penting untuk respon LPS,

namun kemampuan untuk menginduksi LPS tergantung pada ekspresi

gen.

9. Sugawara I et al., 2003 : MyD88 berfungsi untuk memediasi jalur

signal TLR untuk mengaktifkan NF-kB dalam pertahan tubuh terhadap

82

infeksi bakteri terutama M. tuberculosis . Tikus dengan MyD88 (-/-)

sangat rentang terhadap infeksi MTB serta menyebabkan lesi paru

granulomatosa yang lebih luas dibandingkan pada tikus normal.

10. Feng CG et al., 2003 : MyD88 mengatur pertahan tubuh terhadap

infeksi mikobakteria dan memiliki peran dalam menentukan induksi

sitokin proinflamasi dan IFN gamma. Penelitian dilakukan pada tikus

dengan defisiensi MyD88 dan sebagian TLR2 (-/-) dan TLR4 (-/-)

terinfeksi strain M. Avium yang virulen. Dimana MyD88 (-/-) memiliki

kerentanan yang lebih parah dan kelangsungan hidup yang lebih

singkat dibandingan dengan TLR2(-/-) dan TLR4 (-/-) dan memiliki

beban infeksi yang lebih berat terhadap infeksi bakteri serta respon

pembentukan sitokin sangat rendah dan tidak jelas.

11. Eur Bernuth H et al., 2012 : Tikus dengan defisiensi MyD88 dan IRAK-

4 terbukti rentan terhadap 27 jenis bakteri patogen, 8 jenis virus, 17

jenis parasit dan 4 jenis jamur. Pada manusia dengan defisiensi

MyD88 dan IRAK-4 mengalami infeksi dari sejumlah spesies bakteri

walaupun akan menurun seiring bertambahnya usia sehingga dapat

disimpulkan bahwa mutasi MyD88 menyebabkan terjadi berbagai

macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen.

12. Chen M et al, 2002 : Penelitian dilakukan pada tikus, dimana tikus

yang defisiensi pada MyD88 menyebabkan 95% meninggal pada hari

ke 10 – 16 dan 95% – 100% tikus yang defisiensi pada TLR2/4

mampu bertahan selama > 7 minggu.

83

13. Terence M et al,. 2004 : MyD88 (-/-) mengganggu satu atau lebih

langkah dalam proses seperti fagositosis, namun sekarang telah

diteliti bahwa pada TLR4 terdapat jalur MyD88-independent yang

mungkin dapat memediasi beberapa komponen dan proses imun.

14. Cecille M et al,. 2004 : Tikus dengan MyD88 (-/-) terinfeksi MTB,

dimana tikus dengan MyD88 (-/-) akan mati dalam 4 minggu,

pemberian vaksin BCG untuk perlindungan dari infeksi MTB belum

meningkatkan respon imun terhadap infeksi MTB bahkan signal

MyD88 dihilangkan dengan tujuan untuk menaikkan kekebalan

terhadap respon imun namun hasilnya belum cukup untuk

mengimbangi infeksi. Sehingga disimpulkan bahwa tikus dengan

MyD88 (-/-) tidak mampu mengendalikan infeksi MTB.

15. Beze F et al., 2012 : MyD88 bertanggung jawab terhadap kerentanan

bakteri patogen pada infeksi pernapasan dan MyD88 merupakan

faktor penting untuk kekebalan tubuh terhadap bakteri dan merupakan

target untuk sasaran terapi/ pengobatan.

16. Je EM et al., 2012 : Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk melihat

apakah perubahan dari ekpresi protein MyD88 dan mutasi somatik

pada MyD88 berakibat pada keparahan kanker. Hasil penelitian

mengemukakan ekspresi MyD88 meningkat pada sel kanker lambung

dibandingkan dengan sel normal sedangkan menurun pada kanker

kolorektal. Tidak ada mutasi somatik dari gen MyD88 di lambung,

kolorektal, payudara, hepatoseluler, prostat dan karsinoma paru-paru.

84

Kesimpulan bahwa ekspresi MyD88 dalam sel normal berbeda

tergantung pada organ. Data menunjukkan bahwa keuntungan dari

ekspresi MyD88 dalam kanker lambung mungkin memainkan peran

dalam patogenesis kanker dengan mengaktifkan onkogenik

fungsi MyD88.

17. Cecile M et al., 2007 : Respon MyD88 dependent pada sistem host

mengendalikan infeksi akibat M. tuberculosis. Pada kasus MyD88 (-/-)

menyebabkan produksi sitokin berkurang dan masa hidup berkurang

bahkan menyebabkan beban infeksi karena M. tuberculosis

bertambah.

18. Muraille E et al., 2003 : Tikus tanpa MyD88 tidak memiliki proteksi

terhadap penyakit infeksi dan berpengaruh terhadap perkembangan

respon Th2.

19. Nicolle DM et al., 2004 : Tikus dengan defisiensi MyD88 diinjeksikan

dengan BCG bovis dimana kadar sitokin proinflamasi sangat rendah

namun costimulator seperti CD40 dan CD84 stabil dengan

kemampuan untuk merespon sel T masih efisien, namun berakibat

pada kejadian infeksi pneumonia yang kronik.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka yang dapat dijadikan obyek

penelitian adalah mengetahui ada tidaknya mutasi pada gen MyD88 di

penderita tuberkulosis paru.

Adapun kerangka konseptual secara skema adalah, sebagai

berikut :

85

Gambar 17. Kerangka Konsep

Mycobacterium

tuberculosis

Penderita

Tuberkulosis

Respon Imun Spesifik

Toll Like

Receptor 4(TLR4)

Myeloid Differentiation

Primary Factor 88

(MyD88)

Induksi NF-kB

Produksi Sitokin

Mutasi

Tidak

ada

Mutasi

86

H. DEFINISI OPERASIONAL

1. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang diagnosisnya ditegakkan

berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan BTA, kultur, dan

foto thorax.

2. Mutasi MyD88 adalah keadaan dimana terjadi transisi satu atau lebih

basa nukleotida (A, T, C, atau G) yang menyebabkan berubahnya

urutan asam amino pada gen MyD88 sehingga menghasilkan pola

DNA baru.

3. Polymerase Chain Reaction adalah merupakan suatu proses sintesis

enzimatik untuk mengamplifikasi fragmen DNA secara in vitro.

4. DNA Sequencing adalah suatu metode yang digunakan untuk

menentukan urutan basa-basa nukleotida suatu fragmen DNA.

5. Exon adalah urutan nukleotida yang mengkode asam amino yang

membawa informasi genetik.

6. Intron berasal dari singkatan intragenic regions, yang merupakan

bagian yang tidak dikode oleh prekursor mRNA (pre-mRNA) yang

dibuang sebelum mRNA siap ditranslasi.

7. ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay) merupakan metode

yang digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi.

8. TNF merupakan mediator utama pada respons inflamasi akut

terhadap bakteri gram negatif dan berperan dalam respon imun

bawaan terhadap berbagai mikroorganisme penyebab infeksi.

87

I. KERANGKA TEORI

Penelitian ini didasari oleh teori dari jalur signaling TLR (TLR2/4)

dalam mengaktivasi respon imun terhadap infeksi yang disebabkan oleh

mikroba patogen (M.tuberculosis). adapun kerangka teori tersebut

dijabarkan dalam bagan berikut :

Gambar 18. Kerangka Teori

MyD88-dependent pathway

MyD88-independent pathway

M.Tuberculosis component : LAM, LM, PIMs, STF, 19-kDa Lipoprotein,

MTB HSP65

Activates :

TLR2

TLR4

Signaling

MyD88

Activating

TIRAP

Inducing NF-kB

Promote production of

inflamantory cytokine

Signaling TRAM

Activating TRIF

Inducing IRF3

Eliminate Bacteria &

Other patogen

Promote production of

IFN type I

- IFN beta - IFN alpha

- TNF alpha - IL-6 - IL-12 - IL-8 - IL-1β - RANTES - MIP1β - MIP1α

Faktor Genetik

Influence to

88

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan

menggunakan pendekatan cross sectional study untuk mengetahui mutasi

gen MyD88 dan kadar TNF-α pada penderita tuberkulosis paru.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengumpulan sampel penderita tuberkulosis dilakukan di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) dan RS. Labuang Baji

Makassar. Penelitian dilakukan di Unit Penelitian FK Unhas Makassar pda

bulan Maret s.d Juni 2013.

C. Populasi, Besaran Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Penderita tuberkulosis yang melakukan pemeriksaan di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar dan RS. Labuang Baji

Makassar

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.

Sampel sebanyak empat (4) orang yang dipilih secara metode non

random sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dari

89

RS. Labuang Baji Makassar dipilih dua (2) sampel dengan status MDR

dan XDR TB dan dari BBKPM dipilih dua (2) sampel dengan status sensitif

TB.

3. Kriteria Sampel

a. Kriteria inklusi

1) Sampel yang berasal dari penderita tuberkulosis paru baik dengan

status sensitif OAT (Obat anti tuberkulosis), MDR (Multi Drug

Resistant) maupun XDR (Extensively Drug Resistant), yang

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA (positif),

rontgen (positif), pemeriksaan kultur (tumbuh/positif MTB) dan uji Drug

Susceptibility Test (Sensitif/Resisten).

2) Bersedia ikut penelitian dengan menandatangani informed concent

yang telah dikeluarkan oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

b. Kriteria eksklusi

1) Menderita penyakit tuberkulosis dengan komplikasi HIV/AIDS yang

ditegakkan dengan pemeriksaan HIV metode rapid test.

2) Sampel darah lisis.

90

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Mikropipet 100-1000 μL (Eppendorf, German), Mikropipet

10-100 μL (Eppendorf, German), mikropipet 0-10 μL (Eppendorf,

German), sentrifuge (Thermo, German), mikropipet tips, conical tube

15 mL, tube 1.5 mL, tube 0.2 μL, rak tabung, Gel doc XR System (BioRad,

USA), Power pac, Vortex, perangkat elektroforesis (BioRad, USA), Mesin

PCR (Applied Biosystems, USA), Bio Safety Cabinet (ESCO), Elisa

Reader (BioRad, USA).

2. Bahan Penelitian

Darah segar (Antikoagulan EDTA-K3), Alkohol, Handskun, Masker,

Vacutainer set, Tabung EDTA, Pipet volumetri steril, Kit DNA ekstraksi

(Genomic DNA Mini Kit, Geneaid), PCR Mix (Kapa Fast 2G), Primer

MyD88 (Tabel terlampir), Agarosa 2% (Invitrogen), Marker 100 bp

(Generuler, German), Etidium bromida, QIAquick Gel Extraction Kit

(QIAGEN, Hilden, Germany), Proteinase K (Geneaid), Etanol absolut, TBE

(Tris-Borate-EDTA), Kit ELISA TNF-α (R&D System, USA).

91

E. Cara Kerja

1. Alokasi subyek

Penelitian dilakukan pada semua penderita tuberkulosis yang

memenuhi kriteria inklusi yang menjalani pemeriksaan di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Makassar, RS. Labuang Baji Makassar.

2. Cara penelitian

a. Melakukan pencatatan identitas penderita yang memenuhi kriteria

inklusi, diberikan penjelasan lengkap mengenai apa yang akan

dilakukan terhadap mereka dan bila setuju mereka akan mengisi dan

menandatangani informed concent.

b. Pasien menjalani pemeriksaan bakteriologi dengan sampel sputum

c. Pasien menjalani pemeriksaan skrining HIV dengan sampel

plasma/serum.

d. Pasien menjalani pemeriksaan PCR dan PCR sequencing dengan

sampel darah.

e. Pengumpulan Spesimen :

1) Sputum : Diambil sebanyak 3 kali selama 2 hari yang dikenal

dengan istilah S-P-S (sewaktu – Pagi – Sewaktu)

- Sewaktu (Hari pertama) Dahak pasien diambil di laboratorium

sewaktu penderita datang pertama kali.

92

- Pagi (Hari kedua) Sehabis bangun tidur keesokan harinya,

dahak pasien ditampung dalam pot kecil yang kemuadian

dibawah ke laboratorium.

- Sewaktu (Hari kedua) Dahak pasien diambil lagi di laboratorium

saat penderita datang pada hari kedua

2) Darah segar : Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi,

dilakukan pengambilan sampel darah EDTA sebanyak 3 cc, untuk

pemeriksaan PCR

3. Prosedur kerja

a. Pewarnaan Ziehl Nelseen

1) Pembuatan hapusan dahak

Ose dipanaskan diatas nyala api spritus sampai merah dan

dibiarkan sampai dingin, lalu bagian dahak yang kental dan berwarna

kuning kehijau-hijauan diambil dan dioleskan secara merata diatas

kaca sediaan, kemudian sediaan dikeringkan di udara terbuka, jangan

biarkan terkena sinar matahari langsung, setalah itu kaca sediaan

difiksasi diatas nyala api spritus dan sediaan yang telah difiksasi

disimpan kedalam kotak sediaan.

2) Pewarnaan sediaan dengan Ziehl Neelsen

Sediaan yang telah difiksasi diletakkan diatas diatas rak

dengan hapusan menghadap keatas, sediaan ditetesi dengan Carbol

Fuchsin 0.3% hingga menutupi seluruh permukaan sediaan, setelah

93

itu sediaan dipanaskan diatas nyala api spritus selama 3-5 menit,

dimana zat warna pertama tidak boleh mendidih. Kemudian sediaan

didiamkan selama 5 menit dan setelah itu sediaan dibilas dengan air

mengalir sampai zat warna yang bebas terbuang, setelah itu sediaan

ditetesi dengan asam alkohol 3% sampai warna merah fuhsin hilang,

selanjutnya sediaan dibilas dengan air mengalir, kemudian sediaan

dietetesi dengan larutan Methylen Blue 0.3% hingga menutupi seluruh

permukaan sediaan. Selanjutnya sediaan dikeringkan diatas rak

pengering di udara terbuka dan setalah kering sediaan dibaca dibawa

mikroskop dengan pembesaran 100x.

b. Extraksi DNA “Genomic DNA Mini Kit”

Extraksi DNA dilakukan sesuai dengan prosedur dari Genomic DNA

Mini Kit (Geneaid). Sebanyak 300 μL darah segar (EDTA-K3) dan 3x

volume sampel RBC Lysis Buffer (900 μL) dicampurkan kedalam tube 1.5

mL (jangan di vortex) kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu

ruangan. Campuran tersebut disentrifuge kecepatan 3.000 x gravity

selama 5 menit untuk memisahkan pelet dengan supernatan, selanjutnya

supernatan dibuang. Tambahkan 100 μL RBC Lysis Buffer kedalam

suspensi pelet dan campurkan 200 μL GB buffer dengan menggunakan

pipet kemudian inkubasi selama 10 menit, suhu 65ºC, dan goyangkan

setiap 3 menit sekali. Campurkan suspensi tersebut dengan 200 μL

etanol absolute, campur selama 10 detik. Sebanyak 600 μLdimasukkan ke

94

dalam column kemudian disentrifugasi pada kecepatan 16.000 x gravity

selama 5 menit, sehingga larutan keluar dari column dan masuk kedalam

tabung penampung kemudian dibuang, sementara DNA tetap bertahan di

dalam column. Ganti tabung penampung dengan tabung penampung baru

kemudian tambahkan 400 μL W1 Buffer dan sentrifugasi pada kecepatan

16.000 x gravity selama 30 detik, kemudian dibuang. Tambahkan 600 μL

Wash Buffer sentrifugasi pada kecepatan 16.000 x gravity selama 30 detik

lalu buang supernatan dan masukkan kembali column kedalam tabung

penampung. Sentrifugasi kembali dengan kecepatan 16.000 x gravity

selama 3 menit untuk membuang sisa larutan pencuci yang mungkin

masih tertinggal dalam column. Tabung penampung kemudian diganti

dengan tabung eppendorf 1.5 mL steril. Untuk melepaskan DNA yang

terperangkap dalam column ditambahkan 100 μL larutan Elution Buffer

yang telah dipanaskan pada suhu 70 ºC, kemudian sentrifugasi pada

kecepatan 16.000 x gravity selama 30 detik sehingga DNA akan

tertampung dalam tabung steril.

c. Amplifikasi DNA

Amplifikasi atau penggandaan fragmen DNA dilakukan dengan

teknik PCR menggunakan primer spesifik yang hanya dapat

mengamplifikasi DNA MyD88 pada region yang diinginkan.

Primer yang digunakan terdiri dari 13 fragmen yang masing-masing

fragmen akan mengamplifikasi daerah yang sesuai dengan panjang

fragmen berbeda-beda tergantung jenis primernya (Lampiran 1).

95

Proses PCR menggunakan Veriti 96 well PCR (Applied Biosystems,

USA) dengan volume reaksi 25 μL yang mengandung 2,6 μL H2O PCR

grade, 10 μL 2X Kapa Ready Mix, 0,4 μL MgCl2 (25mM), primer forward

dan reverse masing-masing 1 μL, 1 μL DMSO dan DNA hasil ekstraksi

sebanyak 6 μL. Tahap siklus PCR terdiri dari denaturasi, annealing dan

ekstensi dilakukan pada suhu 95 ºC selama 15 detik, * tergantung primer

(Lampiran 1) selama 15 detik dan 68 ºC selama 15 detik dengan 30 siklus.

Siklus diawali dengan tahap initial denaturasi pada suhu 95 ºC selama 3

menit dan diakhiri dengan tahap cooling 14 ºC selama waktu tidak

ditentukan.

d. Elektroforesis gel agarosa

Untuk mengetahui hasil amplifikasi DNA dilakukan proses

elektroforesis terhadap produk PCR pada gel agarosa 2%. Sebanyak 2

gram bubuk agarosa dicampur kedalam 100 μL larutan TBE (tiap liter TBE

mengandung 54,9 g Tris base, 27.5 g asam borat dan 20 mL 0.5 mM

EDTA) kemudian dimasak menggunakan microwave sampai larut dengan

sempurna. Sebanyak 3 μL larutan etidium bromida (10 mg/mL)

ditambahkan kedalam gel agarosa yang masih cair dan dicampur dengan

menggunakan shaker hingga merata, kemudian gel dituangkan ke dalam

cetakan gel yang telah disiapkan yang sebelumnya di pasangkan sisir

diukur keseimbangannya. Gel dibiarkan hingga membeku, kemudian sisir

diangkat sehingga terbentuklah sumur-sumur gel. Gel agarosa bersama

96

dengan cetakannya diangkat kemudian dipindahkan ke dalam container

elektroforesis (BioRad, USA). Larutan TBE kemudian ditambahkan ke

dalam container elektroforesis hingga menutupi permukaan atas gel.

Kemudian kedalam masing-masing sumur, dimasukkan 8 μL produk PCR

karena menggunakan Kapa Ready Mix loading dye sehingga tidak perlu

penambahan loading dye pada saat produk PCR dimasukkan kedalam

sumur agarosa. Pada kedua ujung sumur dimasukkan 5 μL (0.5 μg)

ladder 100 bp sebagai standar ukur DNA. perangkat elektroforesis

dijalankan dengan mengalirkan aliran listrik bertegangan 100 Volt (V) 400

mA selama 75 menit.

Setelah proses elektroforesis gel agarosa selesai, gel kemudian

diangkat dari container dan dimasukkan ke dalam perangkat Gel Doc XR

(BioRad, USA) dan kemudian disinari dengan sinar ultraviolet (UV).

Gambar gel yang terbentuk dibawah sinar UV lalu didokumentasikan.

Hasil positif ditunjukkan apabila terbentuk pita DNA (band) yang

ukurannya sesuai dengan ukuran produk PCR yang diharapkan.

e. Purifikasi gel Extraksi

Pemurnian fragmen DNA hasil amplifikasi dilakukan pada hasil

produk PCR yang mengandung pita DNA nonspesifik, pemurnian

dilakukan dengan cara gel cut extraction. Dibuat gel agarosa seperti cara

diatas dengan menggunakan agarosa dengan konsentrasi 1,5%

menggunakan sisir ukuran besar menampung 40 μL produk PCR. Semua

97

produk PCR yang mengandung pita DNA nonspesifik dimasukkan ke

dalam sumur gel. Elektroforesis dijalankan dengan mengalirakn aliran

listrik bertegangan 100 Volt (V) 400 mA selama 80 menit. Selanjutnya

dibawah sinar UV, dengan membandingkan dengan hasil pita DNA

dengan ladder, gel yang mengandung pita DNA yang sesuai dipotong

dengan menggunakan pisau scalpel dan dimasukkan kedalam tabung

eppendorf 1.5 mL yang beratnya sudah diketahui. Tabung yang telah

berisi potongan gel ditimbang kembali untuk mengetahui selisi berat

antara tabung kosong dan tabung berisi. Potongan gel kemudian di

purifikasi gel cut extraction (QIAquick Gel Extraction Kit) dengan cara

potongan gel ditambahkan dengan larutan buffer QG sebanyak 3x volume

dari selisi berat tabung dan disertai dengan inkubasi pada suhu 50 ºC

selama 10 menit dan tiap 2-3 menit sekali divortex. Selanjutnya

ditambahkan isopropanol sebanyak 1x volume dari selisi berat. Larutan

dipindahkan ke dalam column yang telah dipasangkan pada tabung

penampung, kemudian di sentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan

8.000 revolution per menit (rpm). Cairan yang tertampung pada tabung

penampung kemudian dibuang setalah itu tambahkan 500 μL larutan QC

kemudian sentrifugasi 8.000 rpm selamat 1 menit dan kembali dibuang

yang tertampung. Selanjutnya tambahkan 750 μL buffer PE dan

sentrifugasi kembali dengan kecepatan 13.000 rpm (10.000 x gravity)

selama 1 menit. Untuk langkah selanjutnya pindahkan column kedalam

98

tabung eppendorf 1.5 mL dan tambahkan 50 μL buffer EB (10mM Tris-Cl,

pH 8.5) dan sentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 13.000 rpm.

f. Pemeriksaan Sequencing

Sequencing dilakukan di Makrogen di Korea dengan

menggunakan metode direct sequencing. Hasil sequencing dalam bentuk

elektroferogram diunduh dan kemudian dilakukan editing dan analisis

menggunakan perangkat lunak BioEdit Sequence Alignment Editor versi

7.0.5.2 dan FinchTv versi 1.4.0.

Untuk mengetahui apakah hasil sekuens membawa mutasi pada

region tertentu, sekuens DNA target disejajarkan dengan sekuens DNA

dari gen MyD88 normal yang diunduh dari GeneBank (NC_000003)

sebagai konsensus

g. Pemeriksaan ELISA

Pengukuran TNF-α dilakukan sesuai prosedur dari Quantikine

ELISA (R&D System, USA). Pertama reagen, standar dan sampel di

siapkan, selanjutnya kedalam masing-masing well dimasukkan 50 μL

reagen Assay Diluent RD1F kemudian ditambah 200 μL Standar dan

sampel kedalam masing-masing sumur sesuai posisi kemudian tutup

sumur dengan strip adhesive dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu

ruang. Aspirasi masing-masing sumur dan cuci dengan 400 μL Wash

buffer sebanyak 4X. Selanjutnya tambahkan 200 μL conjugate TNF-α

99

kedalam masing-masing sumur dan tutup dengan strip adhesive kemudian

inkubasi kembali selama 2 jam pada suhu ruang. Aspirasi dan cuci

dengan 400 μL Wash buffer sebanyak 4X. Tambahkan 200 μL Substrat

Solution kedalam masing-masing sumur dan inkubasi selama 20 menit

pada suhu ruang yang terlindung dari cahaya. Selanjutnya tambahkan

50 μL Stop Solution ke dalam masing-masing sumur dan baca pada

panjang gelombang 450 nm (pengerjaan dilakukan secara duplo). Hasil

absorban yang keluar dari mesin Elisa reader kemudian dianalisis

menggunakan software CurveExpert 1.4.

F. Pertimbangan Etis

Penelitian ini direview oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan

(KEKP) Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin untuk kelayakan dan

keamanan subjek penelitian dengan mempertimbahkan prinsip-prinsip:

efek samping perlakuan, kemungkinan adverse event yang akan timbul,

serta memberikan bantuan medis/psikososial jika dibutuhkan. Selain itu,

juga dilakukan antisipasi sebelumnya antara lain :

1. Lembar persetujuan menjadi responden (informed concent)

Respon diberi kesempatan isi lembar permohonan persetujuan.

Apabila responden menolak, maka peneliti tidak memaksa dan tetap

menghormati serta menghargai hak koresponden.

100

2. Tanpa nama (Anonimity)

Peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi peneliti

menggunakan kode tertentu untuk masing-masing responden. Hal ini

dilakukan untuk menjaga kerahasiaan responden.

3. Kerahasiaan data (confidentiality)

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang dikumpulkan dari

responden. Data tersebut hanya akan disajikan/dilaporkan pada pihak

yang terkait dengan penelitian.

G. Analisis Data

Data hasil DNA sequencing dalam bentuk elektroferogram

kemudian disejajarkan dengan sekuens normal yang berasal dari

GeneBank (NC_000003) kemudian dianalisis dengan menggunakan

perangkat lunak BioEdit Sequence Alignment Editor versi 7.0.5.2 dan

FinchTv versi 1.4.0. Sedangkan data hasil pengukuran TNF-α dianalsisi

menggunakan perangkat lunak CurveExpert versi 1.4.

101

H. Skema Alur Penelitian

Pasien Tuberkulosis Paru

Darah

(Antikoagulan EDTA-K3)

EKSTRAKSI DNA

PCR

Elektroforesis

Ada Band (Pita) Tidak ada Band

(Pita)

SEQUENCING

Blast

Analisis Data

KESIMPULAN

Purifikasi gel cut Extraksi

Isolasi Serum

ELISA

TNF-α

102

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Sebagai sampel dari penelitian ini adalah darah dari empat

penderita tuberkulosis paru yang sensitif OAT dan resisten OAT yang

berkunjung ke Balai Besar Kesehatan Paru Makassar dan Rumah sakit

Labuang Baji Makassar. Dari empat sampel tersebut, kemudian

diidentifikasi adanya keberadaan dan pola substitusi asam amino pada

gen MyD88 secara keseluruhan.

Distribusi usia, jenis kelamin, keluhan, dan status pemeriksaan

digambarkan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik sampel

Sampel Jenis Kelamin Umur (tahun) BTA DST

A

B

C

D

Perempuan

Laki-laki

Laki-laki

Laki-laki

39

40

40

48

Pos 1

Pos 1

Pos 3

Pos 3

Sensitif

Sensitif

H,R,S,E

H,R

Keterangan :

BTA = Basil Tahan Asam R = Rifampisin

DST = Drug susceptibility test S = Sterptomisin

H = Isoniasid (INH) E = Etambutol

Pos = Positif 1 – 3

103

2. Analisis Gen MyD88

Daerah gen MyD88 yang dianalisis dalam penelitian ini adalah

daerah sepanjang 4.5 kB dari region 38179969 sampai region 38184513

yang terdiri atas 3 region yaitu region death domain, intermediate domain

dan TIR domain yang mengkode beberapa asam amino

(http//:ncbi.nlm.nih.gov).

Analisis penentuan variasi nukleotida dilakukan dengan

membandingkan sekuens gen MyD88 masing-masing sampel dengan

sekuens nukleotida MyD88 dari geneBank (Accession Number

NC_000003) yang digunakan sebagai konsensus.

Gambar 18. Pemetaan posisi substitusi asam amino berdasarkan Region

a. Region Death Domain

Ditemukan 14 pola substitusi asam amino pada region death

domain (posisi 54 – 109) dengan distribusi sebagai berikut: sampel A

menunjukkan 3 pola substitusi, sampel B menunjukkan 4 pola substitusi,

104

sampel C menunjukkan 8 pola substitusi dan sampel D menunjukkan 3

pola substitusi. Dari 14 pola substitusi yang ditemukan terdapat 4 pola

substitusi yang terdapat pada daerah yang sama pada beberapa sampel

yaitu pola substitusi S23T, V42A, E66D dan R101P. Pola substitusi asam

amino yang ditemukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pola substitusi asam amino pada region death domain

b. Region Intermediate Domain

intermediate domain mengkode sepanjang 46 asam amino, yaitu

posisi 110 – 155. Pola substitusi asam amino yang ditemukan pada

No Substitusi asam amino Kode subjek

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Pro12Thr

Gly18Arg

Gly20Cys

Ser23Thr

Leu38His

Val42Ala

Ser47Thr

Glu66Asp

Phe69Ser

Glu78Asp

Gly85Ala

Asp89Val

Val99Ala

Arg101Pro

(P12T)

(G18R)

(G20C)

(S23T)

(L38H)

(V42A)

(S47T)

(E66D)

(F69S)

(E78D)

(G85A)

(D89V)

(V99A)

(R101P)

C

C

C

B&C

B

B&C

C

B&C

C

A

D

A

D

A&D

105

daerah intermediate domain yaitu 2 pola substitusi yang menyebabkan

perubahan asam amino dan 1 pola substitusi yang tidak menyebabkan

perubahan asam amino. Pola substitusi tersebut dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 8. Pola substitusi asam amino pada intermediate domain

No Substitusi asam amino Kode subjek

1

2

3

Gly110Asp

Leu116Val

Ala146Ala

(G110D)

(L116V)

(A146A)

D

A&D

A

c. Region TIR Domain

TIR domain terdiri dari 136 asam amino (posisi 159 – 269). Pada

region ini ditemukan 14 varian pola substitusi asam amino pada ke-4

sampel dengan distribusi sebagai berikut: 1 pola pada sampel A, 6 pola

substitusi pada sampel B, dan 8 pola substitusi pada sampel D. Pola

substitusi asam amino yang didapat pada penelitian ini dapat dilihat pada

Tabel 9.

106

Tabel 9. Pola substitusi asam amino pada TIR domain

2. Karakterisasi asam amino yang mengalami substitusi

Pada penelitian ini, ditemukan beberapa asam amino yang

mengalami substitusi. Beberapa diantara substitusi tersebut menyebabkan

perubahan asam amino yang disandi. Asam amino yang mengalami

perubahan menyebabkan terjadi perubahan sifat. Dapat dilihat pada

Tabel 10

No Substitusi asam amino Kode subjek

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gln197His

Arg209Ser

Val211Ile

Gly214Arg

Cys216Ser

Glu223Ala

Glu226Ala

Leu229Met

Arg231Thr

Arg232Pro

Cys238Ser

Gln271His

Pro276Ala

Glu285Asp

(Q197H)

(R209S)

(V211I)

(G214R)

(C216S)

(E223L)

(E226A)

(L229M)

(R231T)

(R232P)

(C238S)

(Q271H)

(P276A)

(E285D)

D

D

B&D

D

D

D

D

B

B

B

D

A

B

A&B

107

Tabel 10. Substitusi asam amino dengan perubahan sifat

Hidrofobik →

hidrofilik

Hidrofilik →

Hidrofobik

Polar →

NonPolar

Non Polar →

Polar

Hidrofobik →

Hidrofobik

Hidrofilik →

Hidrofilik

Polar →

Polar

Non Polar →

Non Polar

Vari

an

su

bsti

tusi

asam

am

ino

- G18R

- F69S

- G110D

- G214R

- C216S

- C238S

- P12T

- S23T

- S47T

- D89V

- E223L

- E226A

- R231T

- Q271H

- P276A

- D89V

- E223L

- E226A

- G18R

- L38H

- F69S

- G110D

- G214R

- C126S

- Q271H

- G20C

- L38H

- V42A

- G85A

- V99A

- L116V

- V211I

- L229M

- E66D

- E78D

- R101

- Q19H

- R209S

- R232P

- E285D

- P12T

- S23T

- S47T

- E66D

- E78D

- R101

- Q19H

- R209S

- R231T

- E285D

- G20C

- V42A

- G85A

- V99A

- L116V

- V211I

- L229M

Keterangan Merah : Perubahan sifat dari hidrofobik menjadi hidrofilik dan dari sifat

Non polar berubah manjadi polar Biru : Perubahan sifat dari hidrofilik menjadi hidrofobik dan dari sifat

Polar berubah manjadi Non polar Hijau : Perubahan sifat dari hidrofilik menjadi hidrofobik dan dari sifat

Non polar berubah manjadi Polar Hitam : Perubahan sifat dari hidrofilik menjadi hidrofobik dan dari sifat

Polar berubah manjadi Polar 3. Analisis Kadar Sitokin ( TNF-α)

Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran kadar TNF-α guna

mengetahui kadar sitokin yang diproduksi oleh tubuh subjek penderita

tuberkulosis paru. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa semua subjek

memiliki nilai kadar sitokin TNF-α dibawah nilai cut off (Gambar 18)

108

Gambar 19. Kadar TNF-α pada sampel penderita tuberkulosis

B. PEMBAHASAN

1. Mutasi pada gen Myeloid Differentiation Factor 88 (MyD88)

pola substitusi asam amino yang ditemukan pada penelitian ini

yaitu sebanyak 31 pola mutasi yang tersebar di 3 daerah yaitu 14 pola

substitusi terdapat pada daerah Death domain, 3 pola substitusi pada

daerah Intermediate domain dan 14 pola substitusi pada daerah TIR

domain.

Pada posisi asam amino antara 159 - 318 yang merupakan region

TIR domain ditemukan 14 pola substitusi asam amino dengan pola

substitusi terbanyak ditemukan pada sampel D (8 pola substitusi), sampel

B ditemukan 6 pola substitusi dan sampel A ditemukan 2 pola substitusi.

0

200

400

600

800

1000

1200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

TNFα

(p

g/m

L)

Standar Sampel

S1000 S500 S250 S125 S62,5 S31,3 S15,6 A B C D

109

Terdapat 2 pola substitusi sama yang terjadi pada sampel yang berbeda

yaitu V211I dan E285D.

Pada posisi Death domain yaitu posisi antara asam amino 54 – 109

pola substitusi terbanyak ditemukan pada sampel C yaitu sebanyak 7 pola

substitusi, 3 pola substitusi pada sampel A , B dan D. Terdapat 4 pola

substitusi sama yang terjadi pada sampel yang berbeda yaitu S23T,

V42A, E66D dan R101P.

Belum jelas makna dari semua pola substitusi asam amino yang

ditemukan dan apa dampak dari perubahan asam amino tersebut, hal

tersebut diakibatkan karena pola substitusi asam amino yang membawa

mutasi pada gen MyD88 belum pernah dilaporkan pada kasus penyakit

tuberkulosis, baik yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium

tuberculosis maupun yang disebabkan oleh golongan mikobakteria non

tuberkulosis.

Beberapa penelitian yang pernah melaporkan varian pola substitusi

asam amino yang terjadi pada gen MyD88 yaitu varian substitusi

Leu265Pro (L265P), namun varian tersebut berkaitan dengan kasus

Waldenstrom macroglobuinemia dan kasus Splenic Marginal Zone

Lymphoma (SMZL) (Poulain S et al,2013 dan Troen G et al, 2012).

Gen MyD88 menyandi 318 asam amino, yang merupakan protein

adaptor sitosolik yang berperan penting pada respon imun bawaan dan

dapatan yang berfungsi dalam jalur signal Toll like receptor dan IL-1

receptor pada respon imun bawaan. Aktivasi melalui IRAK1, IRAK2, IRF7

110

dan TRAF6 akan mengarah pada aktivasi NF-ⱪB, sekresi sitokin dan

respon inflamasi (Ohnishi, H, et all ,2009).

MyD88 terdiri dari N-Terminal death domain (sekitar 99 residu

asam amino) posisi antara 54-109, C-Terminal Toll/Interleukin-1 receptor

(TIR) domain (sekitar 150 residu asam amino) posisi antara 159-318 dan

bagian penghubung yang pendek (Intermediate domain) pada posisi

antara 110-155. Pada respon imun bawaan, TIR domain pada MyD88

memiliki fungsi penting dalam pembentukan kompleks inisiasi sinyal

melibatkan domain sitosol TLRs, di mana domain TIR sitosol LPS

dirangsang oleh TLR4 untuk berinteraksi dengan TIR domain MyD88 dan

bekerja sama dengan protein adaptor lain yang mengandung TIR.

Selanjutnya, signal ditransmisikan ke IL-1 receptor-associated kinase

(IRAK) family. Interaksi antara death domain MyD88 dan IRAK kemudian

diaktifkan oleh jalur fosforilasi dan kemudian berasosiasi dengan TRAF6

untuk mengaktivasi faktor transkripsi NF-ⱪB dan menginduksi JNK (MAP

kinase) untuk mengaktivasi protein AP1 (Gambar 19) (Ohnishi, H el all,

2009; Takeda K et all, 2004).

Untuk mengetahui kemungkinan pola mutasi yang ditemukan pada

penelitian ini memilik makna khususnya terkait dengan jalur signal TLR,

maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Selain itu, pada penelitian ini

juga, belum bisa disimpulkan tentang hubungan keterkaitan antara variasi

genetik dengan tingkat keparahan penyakit tuberkulosis, walaupun

beberapa penelitian dengan menggunakan hewan coba telah

111

membuktikan peran penting MyD88 terhadap infeksi yang disebabkan

oleh M.tuberkulosis.

2. Karakterisasi Asam Amino yang mengalami substitusi

Pola substitusi asam amino yang biasa dilaporkan yang membawa

perubahan yaitu perubahan dari leusin menjadi prolin yang terjadi pada

daerah MyD88 Toll/IL-1 receptor (TIR) domain. Pola mutasi yang

ditemukan pada penelitian ini adalah pola yang tidak lazim, diantaranya

prolin menjadi threonin, glisin menjadi arginin, serin menjadi threonin,

serin menjadi threonin, penil alanin menjadi serin, asam aspartat menjadi

valin, glisin menjadi asam aspartat, glisin menjadi arginin, sistein menjadi

serin, asam glutamat menjadi leusin, asam glutamat menjadi alanin.

Belum jelas apa dampak dari perubahan asam amino tersebut meskipun

terdapat perubahan sifat dari gugus polar menjadi non-polar atau

sebaliknya dan kehilangan sifat hidrofilisitasnya menjadi hidrofobik.

3. Produksi TNF-α

Kadar TNF-α diukur dengan menggunakan metode quantitative

sandwich enzyme immunoassay (ELISA), dasar mikroplate telah dilapisi

dengan antibodi monoklonal yang spesifik terhadap TNF-α. Dari hasil

analisis yang dilakukan menggunakan CurvaExpert 1.4 diperoleh hasil

bahwa empat sampel yang dianalisis menunjukkan kadar TNF-α sangat

rendah yaitu berada dibawah nilai cut off (konsentrasi standar antara

112

1000 – 15,6 pg/mL) dengan distribusi kadar TNF-α sebagai berikut :

sampel A 4,761 pg/mL, sampel B 6,538 pg/mL, C 6,537 pg/mL dan

sampel D 4,281 pg/mL.

Konsentrasi TNF-α yang sangat rendah dapat dikaitkan dengan

mutasi yang ditemukan pada daerah TIR domain dan death domain. Pada

sampel A ditemukan 2 substitusi pada daerah TIR domain, 2 substitusi

pada Intermediate domain dan 3 substitusi pada daerah death domain

dengan kadar TNFα 4,762 pg/mL. Pada sampel B ditemukan 10 substitusi

dengan distribusi : 6 substitusi pada daerah TIR domain dan 4 substitusi

pada daerah death domain dengan kadar TNFα 6,538 pg/mL. Pada

sampel C ditemukan 8 substitusi pada daerah death domain dengan kadar

TNFα 6,537 pg/mL. Sedangkan pada sampel D ditemukan 14 pola

substitusi dengan distribusi : 8 pada daerah TIR, 2 pada daerah

Intermediate domain, dan 3 pola pada daerah Death domain dengan

kadar TNFα yang terukur 4,281 pg/mL.

Data yang diperoleh dapat diindikasikan bahwa adanya

kerusakan/mutasi yang terjadi pada daerah TIR domain maupun death

domain yang merupakan bagian yang berperan dalam penyampaian

signal TLR dan MyD88 menyebabkan signal yang berasal dari MyD88

tidak mampu mengaktivasi NF-ⱪB secara sempurna sehingga produksi

sitokin yang dihasilkan sangat rendah (negatif).

113

Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Feng CG

et al (2003), menyatakan bahwa MyD88 mengatur pertahanan tubuh

terhadap infeksi mikobakteria dan memiliki peran dalam menentukan

induksi sitokin proinflamasi dan IFN gamma yang dibuktikan dengan

penelitian pada tikus dengan MyD88 (-/-) dan tikus dengan TLR2/TLR4(-/-)

yang diinfeksikan dengan mikobakteria, tikus MyD88 (-/-) memiliki

kerentanan yang lebih parah dan kelangsungan hidup yang lebih singkat

dibandingkan tikus TLR2/TLR4 (-/-) dan dimana beban infeksi lebih berat

dan produksi sitokin sangat rendah.

Aktivasi melalui TLR oleh komponen mikobakteria mempengaruhi

protein adaptor sitoplasmik MyD88 yang merupakan protein adaptor pada

jalur signal Toll like receptors (TLRs) dan reseptors untuk Interleukin (IL)-1

dan IL-8. MyD88 mengatur perakitan multisubunit untuk signal yang

kompleks termasuk IL-1receptor-associated kinase (IRAK)1 dan IRAK4

dan signal Janus kinase/Signal transducer and activator of tanscription

(JAK-STAT) 3 serta jalur aktivasi dan faktor transkripsi seperti canonical

nuclear factor-ĸB (NF- ĸB), aktivator protein 1 (AP-1) dan interferon

regulator faktor (IRF) (O’Neill LA, Bowie AG, 2007).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan kaitan

antara gen MyD88 dengan kerentanan terhadap penyakit tuberkulosis

serta keterlibatan gen MyD88 dengan mekanisme imun tubuh terhadap

infeksi tuberkulosis, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Geiger et

al, 2012 dan Kleinnijenhuis et al, 2011, terkait mencit yang kekurangan

114

MyD88, dimana mencit tersebut dilaporkan sangat rentan terhadap infeksi

M.tuberculosis melalui udara. Sebaliknya mencit yang kekurangan TLR

(TLR2,4,9) kerentanannya terhadap M.tuberculosis tidak sebesar yang

kekurangan MyD88.

Belum dapat disimpulkan dengan pasti keterkaitan antara pola

mutasi yang ditemukan dengan kadar TNF-α yang dihasilkan, walaupun

hasil yang diperoleh sesuai pada literatur dan teori yang telah ditemukan

sebelumnya. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah subyek pada

penelitian ini. Namun dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat

ditemukan informasi keterkaitan antara faktor genetik dengan respon

imunitas yang dihasilkan tubuh terhadap infeksi yang disebebkan oleh

kuman M.tuberculosis.

115

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Ditemukan 31 pola mutasi dari gen Myeloid Differentiation Factor 88

(total asam amino 318) yang tersebar pada 3 daerah, yaitu daerah

Death domain 14 pola mutasi, daearah Intermediated domain

sebanyak 3 pola mutasi dan daerah TIR domain sebanyak 14 pola

mutasi.

2. Kadar TNF-α pada ke-4 sampel menunjukkan hasil yang sangat

rendah dibawah nilai cut off, namun belum dapat disimpulkan

keterkaitannya dengan pola mutasi gen Myeloid Differentiation Factor

88 yang ditemukan.

B. SARAN

Saran yang dapat direkomendasikan pada penelitian ini adalah:

1. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penambahan sampel

yang lebih banyak guna menentukan pola mutasi yang paling sering

terjadi pada gen MyD88 dan menghubungkan dengan respon imun

tubuh

2. Perlu dilakukan pengukuran profil produksi sitokin yang lebih

bervariasi untuk menghubungkan mutasi yang terjadi dengan respon

imun yang dihasilkan.

116

3. Perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan subjek yang

terinfeksi TB dengan subjek orang sehat pada satu daerah endemik

tuberkulosis untuk membuktikan keterlibatan faktor genetik dengan

keparahan penyakit.

117

DAFTAR PUSTAKA

Abel, B., Thieblemont N., et al. 2002. Toll-like receptor 4 expression is required to control chronic Mycobacterium tuberculosis infection in Mice.Journal of Immunology. 169 :3155 – 62.

Akira, S., and Katuaki, H. 2003. Myeloid Differentiation Factor 88-Dependent and – Independent Pathways in Toll-Like Receptor Signaling. Oxford Journals. 187 : 356 – 363.

Branger, J., Jaklien, C., et al. 2003. Toll-like Receptor4 Plays a Protective Role in Pulmonary Tuberculosis in Mice. International Immunology. 16 : 509 – 516.

Bernuth, H.V., Picard, C., Puel, A., Casanova, J.L. 2012. Experimental and Natural Infections in MyD88- and IRAK-4-deficient Mice and Humans. Eur Journal Immunology. 42 : 3126 – 35.

Bese, F., Chabe, M., and Delhaes, L. 2012. Antibacterial Immunity in Respiratory Tract : What Role for the MyD88 adaptor. Annalec Biologie Clinique Journal. 70 : 245 – 50

Boedina K,S. 2010. Imunologi. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Bonnert, T.P, Garka,K.E, Parnet, P. Sonodo, G., Testa, J.R, Sims, J.E. 1997. The Cloning and Chracterization of Human MyD88 : a member of an IL-1 receptor related family. FEBS Lett. 402 : 84-81

Burns, K., Janssens, S., Brissoni, B., Olivos, N., Beyaert, R., Tschopp, J. 2003. Inhibition of Interleukin 1 receptor/Toll-Like receptor signaling through the Alternatively Spliced, Short form of MyD88 is due ti its failure to recruit IRAK-4. J. Exp. Med. 197: 263-268

Cecile, M,. Fremond, Togbe, D., et al. 2007. IL-1 Receptor-Mediated Signal Is a Essential Component of MyD88-Dependent Innate Response to Mycobacterium tuberculosis Infection. The Journal of Immunology. 179 : 1178 – 1189.

Cecile, M., Fremond., et al. Fatal Mycobacterium tuberculosis Infection Despite Adaptive Immune Response in the Absence of MyD88. The Journal of Clinical Investigation. 114 : 1790 – 1798.

Chen, M., Aosai, F., et al. 2002. Involvement of MyD88 in Host Defense and The Down –Regulation of Anti-Heat Shock Protein 70 Autoantibody Formation by MyD88 in Toxoplasma gondii Infected Mice. Journal The Parasitology. 88 : 1017 – 9.

118

Ditjen PP&PL Kemeterian Kesehatan RI. 2011. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Edisi 2. Jakarta : Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi 8. Jakarta : PPTI.

Fatchiyah, Estri, L.A., Sri, W. dan Sri, R. 2011. Biologi Molekuler Prinsip Dasar Analisis. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Feng, C.G., Scanga, C.A., et al. 2003. Mice lacking Myeloid Differentiation Factor 88 Dispay Profound Defects in Host Resistance and Immune Responses to Mycobacterium avium Infection not exhibited by Toll Like Receptor 2 (TLR2) and TLR4 deficient Animals. The Journal of Immunology. 171 : 4758 – 64.

Geiger, M.A., Levi., Even R.S., Smith Y., Bowdish DM., Nussbaum G., Rachmilewitz J. 2012. Cell Exposed to Subletal Oxidative Stress Selectively Attact Monocytes/Macrophage Via Scavenger Receptors and MyD88-mediated Sigbaling. Journal Immunologi. 188(3) : 1234 – 44.

Handojo, I. 2003. Pengantar Imunoasai Dasar. Surabaya : Airlangga University Press.

Hardjoeno, Tenri, S., Nurhayana., dkk. 2007. Kumpulan Penyakit Infeksi dan Tes Kultur Sensitivitas Kuman serta Upaya Pengendaliannya. Cahaya Dinan Rucitra : Makassar.

Jawetz, Melnick and Adelberg. 2006. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC : Jakarta

Je, E.M., Kim, S.S., Yoo, N.Y., Lee, S.H. 2012. Mutational and Expressional Analyses of MyD88 Gene in Common Solid Cancers. Tumori Journal. 98 : 663 – 9

Jusuf, M. 2001. Genetika I Struktur dan Ekspresi Gen. Sagung Seto. Jakarta

Kawai, T., Adachi, O., Ogawa, T., Takeda, K., Akira, S. 1999. Unresponsiveness of MyD88-deficient Mice to Endotoxin. Journal of Immunity. 11 : 115 – 22.

119

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kleinnijenhuis, J., Marije, O., Leo, A.B.J., Mihai, G.N and Reinout, V.C. 2011. Innate Immune Recognition og Mycobacterium tuberculosis. Clinical and Development Immunology Journal.

Laban Y. 2008. TBC Penyakit dan Cara Pencegahannya. Kanisius : Yogyakarta.

Levine, J.S., Kenneth R.M. 1992. Biology : Discovery Life. Lexintong Mass. United State.

Lieshout, MH.V., Blok, DC., et al. 2012. Differential Roles of MyD88 and TRIF in Hematopoietic and Resident Cells during Murine gram-negative Pneumonia. Journal Infection Dis. 206 : 1415 – 23.

Muraille, E., De, T.C., Brait, M., De, B.P., Leo, O., Carlier, Y. 2003. Genetically Resistant Mice Lacking MyD88-Adapter Protein Display a High Susceptibility to Leishmania Major Infection Associates with a Polarized Th2 Response. The Journal of Immunology. 15 : 4237 – 41

Misnadialy. 2006. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik. Dian Rakyat : Jakarta

Medzhitov, R. 2001. Toll-Like Receptor and Innate Immunity. Nature Reviews Immunology Journal. Volume 1 : 135 - 145.

Medzhitov, R., Preston-Hurlburt, P., Kopp, E., Stadien, A., Chen, C., Ghosh, S., Janeway, C. A. 1998. MyD88 is an adaptor protein in the Toll/IL-1 receptor family signaling pathways. Molec. Cell Journal 2 ; 253-258.

Muzio, M., Ni, J., Feng, F., Dixit, V. M. 1997. IRAK (Pelle) family member IRAK-2 and MyD88 as proximal mediators of IL-1 signaling. Science Medical Journal 278 : 1612-1615.

Najmi, N., Kaur, G., Sharma, SK., Mehra, NK. 2010. Human Toll-like Receptor 4 Polymorphisms TLR4 Asp299Gly and Thr399lle Influence Susceptibility and Severity of Pulmonary Tubercilosis in the Asian Indian Population. Journal Immunology. 76 : 102 – 9.

Nicolle, DM., Pichon, X., Bouchot, A., et al. 2004. Chronic Pneumonia Despite Adaptive Immune Respons to Mycobacterium bovis BCG in MyD88-deficient Mice. Molecular Immunology and Embryology (IEM) Journal. 84 (10) : 1305 – 21

120

Nugraha, J. 2012. Mycobacterium tuberculosis Sistem Imun Alamiah Terkait Penerimanya. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 19 : 50 – 45.

O'Neill, L.A.J., and Andrew G. B. 2007. The family of five: TIR-domain-containing adaptors in Toll-like receptor signaling. Natural Reviews Immunology. 7 : 353-364

Ohnishi, H., Hidehito, T,. Zenichiro K., Kenji, E.O., Ailian L., Tekeshi, K., Hidekazu, H., Naomi, K., Masahiro, S. 2009. Structural basis for the multiple interactions of the MyD88 TIR domain in TLR signaling (Online). www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.0812956106.

Poulain, S., Christophe R., Audrey D., Aline R., Charles H., Elisabeth B., et al. 2013. MYD88 L265P mutation in Waldenstrom macroglobulinemia. Blood journal hematology library. 121 : 4504-4511.

Program Pascasarjana UNHAS. 2012. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Edisi 4. Makassar : Univeritas Hasanuddin

Rantam, A.F. 2003. Metode Imunologi. Surabaya : Airlangga University Press.

Radji, M. 2011. Rekayasa Genetika Pengantar untuk Profesi Kesehatan. Sagung Seto : Jakarta.

Retnoningrum, S.D., Roga, F.K., 2004. Mekanisme Resistensi Tingkat

Molekul Terhadap Beberapa Obat Pada Mycobacterium

Tuberculosis. Acta Pharmaceutica Indonesia Journal, (Online). Vol.

29. No. 3: 92-95, diakses 18 Januari 2012.

Runtuwene. R., Damodoro. N., Sekar. S. 2009. Peranan Toll Like

Receptor Terhadap Terjadinya Meningitis Tuberkulosis. Jurnal tidak

diterbitkan. Yogyakarta : Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran -

UGM

Ryffel, B., Jacobs, M., Parida, S., Botha, T., Togbe, D., Quesniaux, V. 2006. Toll-Like Receptor and Control of Mycobacterium Infection in Mice. Novartis Found Symp. 279 : 127 – 39.

Saiga H., Shimada Y., Takeda K. 2011. Innate Immune Effectores in Mycobacterium tuberculosis Infection. Clinical and Development Immunology.

Sardjono, E., Suradi., Eddy S. 2008. Nilai sensitivitas, Spesifitas Pemeriksaan Serologi TB dan Sputum BTA Mikroskopik pada Klinis Tuberkulosis Paru. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 5 : 24 – 27.

121

Subowo. 2009. Imunobiologi. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.

Sudoyo A.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Internal Publishing : Jakarta.

Sugawara, I., Yamada, H., Mizuno, S., Takeda, K., Akira, S. 2003. Mycobacterial Infection in MyD88-deficient Mice. Microbiology Immunology Journal. 47 : 841 – 7.

Syahrini, H. 2008. Tuberkulosis Paru Resisten Ganda. Tesis tidak diterbitkan. Sumatera Utara : Program Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK. Universitas Sumatera Utara.

Takeuchi, O., Hoshino, K., Akira, S., 2000. Cutting Edge : TLR2-deficient and MyD88-deficient Mice are Highly Susceptible to Staphylococcus aureus Infetion. Journal of Immunology. 165 : 5392 – 6.

Takeda, K., Shizuo A., 2004. TLR signaling pathways (Online). www.elsevier.com/locate/ysmim.

Terence, M., Doherty., and Moshe, A. 2004. TB, or not TB : that is the Question does TLR Signaling Hold the Answer. The Journal of Clinical InvestigationI. 114 : 1699 – 1703.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Williams, L and Wilkins. 1994. Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. Lippincott and Wilkins : Philadelphia

World Health Organization. 2012. Global Tuberculosis Report 2012. WHO

Yuwono, T. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga : Jakarta

Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit ANDI : Yogyakarta

Zhang, Y.X., Xue, Y., et al. 2011. Association of TIRAP (MAL) gene polymorfisms with susceptibility to tuberculosis in a Chinese population. Online Journal of Genetics and Molecular Research. 10 : 7 – 15.

123

124

Lampiran 3. Sekuens primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA MyD88

Primer Sekuens nukleotida (5’ – 3’) Tm (ºC) Posisi

Fragmen 1F

Fragmen 1R

Fragmen 2F

Fragmen 2R

Fragmen 3F

Fragmen 3R

Fragmen 4F

Fragmen 4R

Fragmen 5F

Fragmen 5R

Fragmen 6F

Fragmen 6R

Fragmen 7F

Fragmen 7R

Fragmen 8F

Fragmen 8R

Fragmen 9F

Fragmen 9R

Fragmen 10F

Fragmen 10R

Fragmen 11F

Fragmen 11R

Fragmen 12F

Fragmen 12R

Fragmen 13F

Fragmen 13R

GAT TCC TCC GTG GAA GAA CTG T

CCC AGC TTG GTA AGC AGC TC

GTC TCC TCC ACA TCC TCC CTT C

TCC CCA GGA CTT GAG CTT TCT A

ACT GCT CGA GCT GCT TAC CAA G

AGG CCA TCA AAG TCA GGT TTG T

CAC ACC TTG CTG AGT TGG AAT C

ACC CAT GCT CTT AAC ACC ACA A

ACT TCT CAG AGC CGT TGA GCT T

GTC AGA GCT CCA TGG GAA GG

TGG TGT TAA GAG CAT GGG TGT T

TCC TGT GGC AAC TTA GTT CAG C

TGC TAG TGA GCT CAT CGA AAA GA

TTG GTG TAG TCG CAG ACA GTG A

CAG GTA AGC TCA ACC CTG CTC T

GTT CCA TGC AGG ACA TGA AAT G

TCA CTG TCT GCG ACT ACA CCA A

CAT CAG TAG GCA TCA CTG TGG A

GGG ATG GGG AGA ACA GAG AGT A

GGG CAG GAG GCT TTT ATA TGG T

CAG TGA CAA GTC CCC AAG AGA C

AAA TTG CTC TGG GAA GGA GAG A

CAT GGG CAC ATA CAG ACT CAC A

CCA GGA TAT AGG AAG AAT GGC AAA

CCC AGG ACA GAC CCT AGG AC

CAG CCC TGC TTA GGA CTG AAC

57.5

57.3

57.1

56.3

57.5

56.8

55.9

54.6

56.5

57.1

55.9

54.6

57.8

674

650

681

595

656

684

683

621

595

639

656

698

483

125

Lampiran 4. Data GeneBank (Accession Number NC_000003)

Homo sapiens chromosome 3, GRCh37.p10 Primary Assembly

Homo sapiens myeloid differentiation primary response 88 (MYD88) position From base :

38179969 to base 38184513

FASTA Graphics

LOCUS NC_000003 4545 bp DNA linear CON 30-OCT-2012

DEFINITION Homo sapiens chromosome 3, GRCh37.p10 Primary Assembly.

ACCESSION NC_000003 REGION: 38179969..38184513 GPC_000000027

VERSION NC_000003.11 GI:224589815

DBLINK BioProject: PRJNA168

KEYWORDS RefSeq.

SOURCE Homo sapiens (human)

ORGANISM Homo sapiens

Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata; Euteleostomi;

Mammalia; Eutheria; Euarchontoglires; Primates; Haplorrhini;

Catarrhini; Hominidae; Homo.

additions

are manually curated by GRC staff. For more information see:

http://genomereference.org.

##Genome-Annotation-Data-START##

Annotation Provider :: NCBI

Annotation Status :: Full annotation

Annotation Version :: Homo sapiens Annotation Release 104

Annotation Pipeline :: NCBI eukaryotic genome annotation pipeline

Annotation Method :: Best-placed RefSeq; Gnomon

Features Annotated :: Gene; mRNA; CDS; ncRNA

##Genome-Annotation-Data-END##

FEATURES Location/Qualifiers

source 1..4545

/organism="Homo sapiens"

/mol_type="genomic DNA"

/db_xref="taxon:9606"

/chromosome="3"

gene 1..4545

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/note=myeloid differentiation primary response gene (88)

Derived by automated computational analysis using gene

prediction method: BestRefseq."

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

mRNA join(1..551,1387..1521,1911..2115,2280..2371,2655..4545)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/product="myeloid differentiation primary response gene

(88), transcript variant 1"

/note="Derived by automated computational analysis using

gene prediction method: BestRefseq."

126

/transcript_id="NM_001172567.1"

/db_xref="GI:289546502"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

mRNA join(1..551,1387..1521,1911..2091,2280..2371,2655..4545)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/product="myeloid differentiation primary response gene

(88), transcript variant 2"

/note="Derived by automated computational analysis using

gene prediction method: BestRefseq."

/transcript_id="NM_002468.4"

/db_xref="GI:197276653"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

mRNA join(1..551,1387..1521,2280..2371,2655..4545)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/product="myeloid differentiation primary response gene

(88), transcript variant 4"

/note="Derived by automated computational analysis using

gene prediction method: BestRefseq."

/transcript_id="NM_001172569.1"

/db_xref="GI:289546652"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

mRNA join(1..551,1911..2091,2280..2371,2655..4545)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/product="myeloid differentiation primary response gene

(88), transcript variant 3"

/note="Derived by automated computational analysis using

gene prediction method: BestRefseq."

/transcript_id="NM_001172568.1"

/db_xref="GI:289546580"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

mRNA join(1..551,2280..2371,2655..4545)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/product="myeloid differentiation primary response gene

(88), transcript variant 5"

/note="Derived by automated computational analysis using

gene prediction method: BestRefseq."

/transcript_id="NM_001172566.1"

/db_xref="GI:289546499"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

127

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

CDS join(185..551,1387..1521,1911..2115,2280..2371,2655..2809)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/note="isoform 1 is encoded by transcript variant 1;

Derived by automated computational analysis using gene

prediction method: BestRefseq."

/codon_start=1

/product="myeloid differentiation primary response

protein MyD88 isoform 1"

/protein_id="NP_001166038.1"

/db_xref="GI:289546503"

/db_xref="CCDS:CCDS54565.1"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

/translation="MRPDRAEAPGPPAMAAGGPGAGSAAPVSSTSSLPLAALNMRVRR

RLSLFLNVRTQVAADWTALAEEMDFEYLEIRQLETQADPTGRLLDAWQGRPGASVGRL

LELLTKLGRDDVLLELGPSIEEDCQKYILKQQQEEAEKPLQVAAVDSSVPRTAELAGI

TTLDDPLGHMPERFDAFICYCPSDIQFVQEMIRQLEQTNYRLKLCVSDRDVLPGTCVW

SIASELIEKRLARRPRGGCRRMVVVVSDDYLQSKECDFQTKFALSLSPGAHQKRLIPI

KYKAMKKEFPSILRFITVCDYTNPCTKSWFWTRLAKALSLP"

CDS join(185..551,1387..1521,1911..2091,2280..2371,2655..2809)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/note="isoform 2 is encoded by transcript variant 2;

Derived by automated computational analysis using gene

prediction method: BestRefseq."

/codon_start=1

/product="myeloid differentiation primary response

protein MyD88 isoform 2"

/protein_id="NP_002459.2"

/db_xref="GI:197276654"

/db_xref="CCDS:CCDS2674.2"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

/translation="MRPDRAEAPGPPAMAAGGPGAGSAAPVSSTSSLPLAALNMRVRR

RLSLFLNVRTQVAADWTALAEEMDFEYLEIRQLETQADPTGRLLDAWQGRPGASVGRL

LELLTKLGRDDVLLELGPSIEEDCQKYILKQQQEEAEKPLQVAAVDSSVPRTAELAGI

TTLDDPLGHMPERFDAFICYCPSDIQFVQEMIRQLEQTNYRLKLCVSDRDVLPGTCVW

128

SIASELIEKRCRRMVVVVSDDYLQSKECDFQTKFALSLSPGAHQKRLIPIKYKAMKKE

FPSILRFITVCDYTNPCTKSWFWTRLAKALSLP"

CDS join(185..551,1911..2091,2280..2371,2655..2809)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/note="isoform 3 is encoded by transcript variant 3;

Derived by automated computational analysis using gene

prediction method: BestRefseq."

/codon_start=1

/product="myeloid differentiation primary response

protein MyD88 isoform 3"

/protein_id="NP_001166039.1"

/db_xref="GI:289546581"

/db_xref="CCDS:CCDS54567.1"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

/translation="MRPDRAEAPGPPAMAAGGPGAGSAAPVSSTSSLPLAALNMRVRR

RLSLFLNVRTQVAADWTALAEEMDFEYLEIRQLETQADPTGRLLDAWQGRPGASVGRL

LELLTKLGRDDVLLELGPSIGHMPERFDAFICYCPSDIQFVQEMIRQLEQTNYRLKLC

VSDRDVLPGTCVWSIASELIEKRCRRMVVVVSDDYLQSKECDFQTKFALSLSPGAHQK

RLIPIKYKAMKKEFPSILRFITVCDYTNPCTKSWFWTRLAKALSLP"

CDS join(185..551,1387..1521,2280..2371,2655..2675)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/note="isoform 4 is encoded by transcript variant 4;

Derived by automated computational analysis using gene

prediction method: BestRefseq."

/codon_start=1

/product="myeloid differentiation primary response

protein MyD88 isoform 4"

/protein_id="NP_001166040.1"

/db_xref="GI:289546653"

/db_xref="CCDS:CCDS54566.1"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

/translation="MRPDRAEAPGPPAMAAGGPGAGSAAPVSSTSSLPLAALNMRVRR

RLSLFLNVRTQVAADWTALAEEMDFEYLEIRQLETQADPTGRLLDAWQGRPGASVGRL

LELLTKLGRDDVLLELGPSIEEDCQKYILKQQQEEAEKPLQVAAVDSSVPRTAELAGI

TTLDDPLGAAGWWWLSLMITCRARNVTSRPNLHSASLQVPIRSD"

129

CDS join(185..551,2280..2371,2655..2675)

/gene="MYD88"

/gene_synonym="MYD88D"

/note="isoform 5 is encoded by transcript variant 5;

Derived by automated computational analysis using gene

prediction method: BestRefseq."

/codon_start=1

/product="myeloid differentiation primary response

protein MyD88 isoform 5"

/protein_id="NP_001166037.1"

/db_xref="GI:289546500"

/db_xref="CCDS:CCDS54568.1"

/db_xref="GeneID:4615"

/db_xref="HGNC:7562"

/db_xref="HPRD:03703"

/db_xref="MIM:602170"

/translation="MRPDRAEAPGPPAMAAGGPGAGSAAPVSSTSSLPLAALNMRVRR

RLSLFLNVRTQVAADWTALAEEMDFEYLEIRQLETQADPTGRLLDAWQGRPGASVGRL

LELLTKLGRDDVLLELGPSIGAAGWWWLSLMITCRARNVTSRPNLHSASLQVPIRSD"

ORIGIN

1 cccctcagat tcctccgtgg aagaactgtg gctccaccag atcccaaaaa gcaaggcccg

61 tttcctacaa cccccgaagg agggtcgtcc tcactccgcc gccaacctac tagcaccatc

121 accagaccct cgagggcggt gccgtggacc tctccagatc tcaaaaggca gattcctact

181 tcttacgccc cccacatcac ccgcctcgag acctcaaggg tagaggtggg cacccccgcc

241 tccgcacttt tgctcggggc tccagattgt agggcagggc ggcgcttctc ggaaagcgaa

301 agccggcggg gcggggcggg tgccgcagga gaaagaggaa gcgctggcag acaatgcgac

361 ccgaccgcgc tgaggctcca ggaccgcccg ccatggctgc aggaggtccc ggcgcggggt

421 ctgcggcccc ggtctcctcc acatcctccc ttcccctggc tgctctcaac atgcgagtgc

481 ggcgccgcct gtctctgttc ttgaacgtgc ggacacaggt ggcggccgac tggaccgcgc

541 tggcggagga gatggacttt gagtacttgg agatccggca actggagaca caagcggacc

601 ccactggcag gctgctggac gcctggcagg gacgccctgg cgcctctgta ggccgactgc

661 tcgagctgct taccaagctg ggccgcgacg acgtgctgct ggagctggga cccagcattg

721 gtgaggacgt ccccttcctg gcctcgtacc tggggggtga ggaggctgac tttccgcggc

781 ctcagcatcc tgtctcccat ggagagaccc catttcctgc ctcgggggcc cgaagaagcc

841 tgcagaggga gaaccatgcg ggtcccgttc cttcttaata accggtcgcg gttattaaga

901 aggactggag aaaggtccgg ataggcggag atgggaagga agcagcttag gcagaggctt

961 tcaggtaggg ccaggagtca gaatcaggct tctgtggggg catctgggct gtttcaagta

1021 gagcaacagg acaggtgggg cgattgacag tggactgtct tagaaacctc aagtcctggg

1081 gaaatgcagc ccttctttct actcactggc acttacataa tatacatgca taggcgttgg

1141 atacagccgc ccacagacag gcacaccttg ctgagttgga atcactgcac cataaccagt

1201 gggtctcctg agcctttctg gcatgcccag ccccttgctc acatctgccc tggatcccag

1261 aagaagcaga cctaccttgg taccattctt aggatcccta ggaagggaca gagatacaaa

1321 cctgactttg atggccttcc agaaagccag aacaccactg acatcccttt gggtcagtta

1381 gagccagtgg gagctcaact tctcagagcc gttgagcttc gcgtggcacc agtgaactgg

1441 ggaagccctc tagaacaacc cagccagagg aggtgggaca gcggctggat cctgactgtg

1501 ggtaaagagg taggcactcc cagggaggct gctttactct gtctcttccc cacagaggag

1561 gattgccaaa agtatatctt gaagcagcag caggaggagg ctgagaagcc tttacaggtg

1621 gccgctgtag acagcagtgt cccacggaca gcagagctgg cgggcatcac cacacttgat

1681 gaccccctgg gtaagggtcc aatactgttc ccatgggaca ggtggaatag gacattgtgg

1741 tgttaagagc atgggtgttt gaagcagatg ggctgtgaga ccttgggcaa gtcacttaat

1801 ctttctgagc ctcagtttcc tcacctaaga aatggagata atagtcctac ctctggattg

Primer 1 Forward

Primer 1 Reverse & Primer 3 Forward

Primer 2 Forward

Primer 2 Reverse

Primer 4 Forward

Primer 3 reverse

Primer 5 forward

Primer 4 Reverse & Primer 6 Forward

130

1861 ctgtgagatg ctcatgaaat aatgtctgtc tcgtggttaa tccagagctt agcccctgag

1921 gtactcatct ttcctctcct ggaaagggca ctttctctga ggagtatcat cttgggaagg

1981 gtgcagggcc cagggttgcc taggcagggg actcttggct ggatccctcc caagccttcc

2041 catggagctc tgaccaccac ccttgtgctc tgcacccagg gcatatgcct gagcgtttcg

2101 atgccttcat ctgctattgc cccagcgaca tccagtttgt gcaggagatg atccggcaac

2161 tggaacagac aaactatcga ctgaagttgt gtgtgtctga ccgcgatgtc ctgcctggca

2221 cctgtgtctg gtctattgct agtgagctca tcgaaaagag gttggctaga aggccacggg

2281 gtgggtgcgt ggatgcatga agccctgccc tggggtccag atactgggca tctcctccta

2341 gctgtgcact gtccagcctg ggcacagtgg gcccttcctg aagctattcc caggggatat

2401 gctgaactaa gttgccacag gacctgcagc ctgcccactc tcccctaggt gccgccggat

2461 ggtggtggtt gtctctgatg attacctgca gagcaaggaa tgtgacttcc agaccaaatt

2521 tgcactcagc ctctctccag gtaagctcaa ccctgctctg gcaagagaat gagggaatgt

2581 gtaggtgggg cctctggatt gtcagccttc cctccccaag gactgtggat gcagtaccaa

2641 agaactgctg aagatctctg cacacctgag catgtgtgca tgtgtgtgcc tttttgtgtg

2701 agtgaatgtg tgccaggggt acttagatgg gggatggctg ttgttaaccc tggggttgaa

2761 gactgggctt gtcccaccat ggggcaaggg cctgatgcca gcatggcacc ccttggcttg

2821 caggtgccca tcagaagcga ctgatcccca tcaagtacaa ggcaatgaag aaagagttcc

2881 ccagcatcct gaggttcatc actgtctgcg actacaccaa cccctgcacc aaatcttggt

2941 tctggactcg ccttgccaag gccttgtccc tgccctgaag actgttctga ggccctgggt

3001 gtgtgtgtat ctgtctgcct gtccatgtac ttctgccctg cctcctcctt tcgttgtagg

3061 aggaatctgt gctctactta cctctcaatt cctggagatg ccaacttcac agacacgtct

3121 gcagcagctg gacatcacat ttcatgtcct gcatggaacc agtggctgtg agtggcatgt

3181 ccacttgctg gattatcagc caggacacta tagaacagga ccagctgaga ctaagaagga

3241 ccagcagagc cagctcagct ctgagccatt cacacatctt caccctcagt ttcctcactt

3301 gaggagtggg atggggagaa cagagagtag ctgtgtttga atccctgtag gaaatggtga

3361 agcatagctc tgggtctcct gggggagacc aggcttggct gcgggagagc tggctgttgc

3421 tggactacat gctggccact gctgtgacca cgacactgct ggggcagctt cttccacagt

3481 gatgcctact gatgcttcag tgcctctgca caccgcccat tccacttcct ccttccccac

3541 agggcaggtg gggaagcagt ttggcccagc ccaaggagac cccaccttga gccttatttc

3601 ctaatgggtc cacctctcat ctgcatcttt cacacctccc agcttctgcc caaccttcag

3661 cagtgacaag tccccaagag actcgcctga gcagcttggg ctgcttttca tttccacctg

3721 tcaggatgcc tgtggtcatg ctctcagctc cacctggcat gagaagggat cctggcctct

3781 ggcatattca tcaagtatga gttctgggga tgagtcactg taatgatgtg agcagggagc

3841 cttcctccct gggccacctg cagagagctt tcccaccaac tttgtacctt gattgcctta

3901 caaagttatt tgtttacaaa cagcgaccat ataaaagcct cctgccccaa agcttgtggg

3961 cacatgggca catacagact cacatacaga cacacacata tatgtacaga catgtactct

4021 cacacacaca ggcaccagca tacacacgtt tttctaggta cagctcccag gaacagctag

4081 gtgggaaagt cccatcactg agggagccta accatgtccc tgaacaaaaa ttgggcactc

4141 atctattcct tttctcttgt gtccctactc attgaaacca aactctggaa aggacccaat

4201 gtaccagtat ttatacctct aatgaagcac agagagagga agagagctgc ttaaactcac

4261 acaacaatga actgcagaca cagctgttct ctccctctct ccttcccaga gcaatttata

4321 ctttaccctc aggctgtcct ctggggagaa ggtgccatgg tcttaggtgt ctgtgcccca

4381 ggacagaccc taggacccta aatccaatag aaaatgcata tctttgctcc actttcagcc

4441 aggctggagc aaggtacctt ttcttaggat cttgggaggg aatggatgcc cctctctgca

4501 tgatcttgtt gaggcattta gctgccatgc acctgtcccc ctttaatact gggcatttta

4561 aagccatctc aagaggcatc ttctacatgt tttgtacgca ttaaaataat ttcaaagata

4621 tctgagaaaa gccgatattt gccattcttc ctatatcctg gaatatatct tgcatcctga

4681 gtttataata ataaataata ttctaccttg gaaacttgtg tgtgtgttga gtggaagagg

4741 tttggaagca gtaatgtggg taagagaagc tggtccactg ggtgggttcc agcctggatt

4801 tggcacgggc ttcctgaaag ctgggccccc tcctcacagg ttcagtccta agcagggctg

4861 caggcagaac caggaatact gacctcagct acagacactc a

Primer 5 reverse

Primer 7 forward

Primer 6 reverse

Primer 8 forward

Primer 9 forward & Primer 7 reverse

Primer 8 reverse

Primer 10 forward

Primer 9 reverse

Primer 11 forward

Primer 10 reverse

Primer 12 forward

Primer 13 forward

Primer 11 reverse

Primer 12 reverse

Primer 13 reverse

131

Lampiran 5. Hasil Elektroforesis

Keterangan :

P1-A : Sampel kode A untuk primer fragmen 1

P1-B : Sampel kode B untuk primer fragmen 1

P1-C : Sampel kode C untuk primer fragmen 1

P1-D : Sampel kode D untuk primer fragmen 1

P2-A : Sampel kode A untuk primer fragmen 2

P2-B : Sampel kode B untuk primer fragmen 2

P2-C : Sampel kode C untuk primer fragmen 2

P2-D : Sampel kode D untuk primer fragmen 2

P3-A : Sampel kode A untuk primer fragmen 3

P3-B : Sampel kode B untuk primer fragmen 3

P3-C : Sampel kode C untuk primer fragmen 3

P3-D : Sampel kode D untuk primer fragmen 3

P4-A : Sampel kode A untuk primer fragmen 4

P4-B : Sampel kode B untuk primer fragmen 4

P4-C : Sampel kode C untuk primer fragmen 4

P4-D : Sampel kode D untuk primer fragmen 4

P5-A : Sampel kode A untuk primer fragmen 5

P5-B : Sampel kode B untuk primer fragmen 5

674 bp 650 bp

681 bp

595 bp

656 bp

500 bp

500 bp

132

Lampiran 6. Hasil analisis elektroferogram

133

134

135

136

137

138

Lampiran 7. Hasil analisis Bioedit sekuensing gen MyD88 exon 1

Lampiran 8. Hasil analisis Bioedit sekuensing gen MyD88 exon 2

139

Lampiran 9. Hasil analisis Bioedit sekuensing gen MyD88 exon 3

Lampiran 10. Hasil analisis Bioedit sekuensing gen MyD88 exon 4

Lampiran 11. Hasil analisis Bioedit sekuensing gen MyD88 exon 5

140

Lampiran 12. Hasil analisis Bioedit sekuensing asam amino exon 1

Lampiran 13. Hasil analisis Bioedit sekuensing asam amino exon 2

Lampiran 14. Hasil analisis Bioedit sekuensing asam amino exon 3

Lampiran 15. Hasil analisis Bioedit sekuensing asam amino exon 4

Lampiran 16. Hasil analisis Bioedit sekuensing asam amino exon 5

A146A

141

LAMPIRAN 17 SKEMA KERJA PEWARNAAN ZIEHL NEELSEN

142

LAMPIRAN 18. SKEMA KERJA EKSTRAKSI DNA

143

LAMPIRAN 19. SKEMA KERJA PCR

144

LAMPIRAN 20. SKEMA KERJA ELISA

145

LAMPIRAN 21. PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF AMINO ACID