teori dramaturgi erving goffman

28
teori dramaturgi erving goffman diposting oleh sufyan-ahamad-fisip11 pada 21 October 2012 di Tokoh Sosiologi - 1 komentar Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor) Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat

Transcript of teori dramaturgi erving goffman

teori dramaturgi erving goffmandiposting oleh sufyan-ahamad-fisip11 pada 21 October 2012di Tokoh Sosiologi - 1 komentar

Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.

Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)

Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggalisegala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kitasendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat

untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusiaada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkankepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepadatercapainya kesepakatan tersebut.

Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalahtidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapaitujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut.Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuanuntuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas

disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stageadalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilakubebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makansiang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkanoleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.

Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap olehorang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakansebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang

membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidupdengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.

Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total,Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntutpengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.

Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut

paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patu

Teori Interaksi Simbolik

Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa

dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931).

Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The Theoretical

Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi

Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih

kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai

Mahzab Chicago.

Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat

non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan

kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu

interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti

yang sangat penting.

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang

diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang

tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita

dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya

dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari

tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :

a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang

mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus

mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu

lain.

b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap

individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain,

dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam

teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self)

dan dunia luarnya.

c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun,

dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan

tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih

secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan

manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari

interaksi simbolik antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi

perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik

tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya

makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di

konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses

interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati

secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai

berikut : Manusia, bertindak, terhadap, manusia, lainnya

berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,

Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna

dimodifikasi melalui proses interpretif .

2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)

Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri

melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada

interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara

lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui

nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang

penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini

sebagai : ”The particular kind of role thinking – imagining

how we look to another person” or ”ability to see ourselves

in the reflection of another glass”.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara

kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial

membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap

individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial

kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk

menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses

sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini

adalah : Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh

proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui

interaksi sosial

Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan

interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead

terpecah menjadi dua Mahzab, dimana kedua mahzab tersebut

berbeda dalam hal metodologi, yaitu :

1. Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer : Blummer

memberikan pengembangan dalam pikiran-pikiran mead menjadi tujuh

buah asumsi yang mempelopori pergerakan mazhab Chicago baru.

Tujuh asumsi tersebut adalah :

Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang

diberikan orang lain pada mereka, Makna diciptakan dalam

interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui sebuah proses

interpretif, Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui

interaksi dengan orang lain, Konsep diri memberikan sebuah motif

penting untuk berperilaku, Orang dan kelompok-kelompok

dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial

dihasilkan melalui interaksi sosial.

2.Mahzab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young

Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan

mahasiswanya, dengan melakukan pendekatan kuantitatif,

dimana kalangan ini banyak menganut tradisi epistemologi dan

metodologi post- positivis yang mengambil dua langkah cara

pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya,

yaitu memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih

kongkrit.

Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George

Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori

interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah

interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan

cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol

tersebut. Asumsi-asumsi: a. Masyarakat terdiri dari manusia

yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk

organisasi. b. Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran

tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus

respon yang sederhana.

Pelapisan Sosial /Stratifikasi Sosial

Pelapisan sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan

seseorang/sekelompok orang dibandingkan dengan sseseorang atau

sekelompok orang lain dalam masyarakat. Pelapisan sosial dapat terjadi

karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain ekonomi, politik,

sosial.

1. Sistem Pelapisan Sosial

Menurut status kependudukan asli atau pendatang misalnya di

daerah Jawa dengan adanya cikal bakal yaitu orang yang merintis

tinggal didaerah tersebut dan mempunyi keturunan di daerah tersebut,

womg baku yaitu orang yang mempunyai saudara, tanah, dan lahir di

daerah tersebut, pendatang yaitu orang yang membeli tanah dan

membangun didaerah tersebut. Sedangkan di Sumatra Utara ada yang

disebut dengan Sipunta huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek

moyang dan penduduk pendatang.

2. Diferensiasi Sosial

Diferensiasi sosial ialah perbedaan sosial dalam masyarakat

secara horisontal. Bentuk diferensiasi sosial yaitu diferensiasi

jenis kelamin, diferensiasi agama, diferensiasi profesi dsb.

Interaksi Simbolik : Teori ini menyatakan bahwa Interaksi sosial pada

hakekatnya adalah Interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang

lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain memberi makna atas

simbol tersebut.

Stratifikasi Sosial/Pelapisan Sosial : Adalah pembedaan tinggi rendah

kedudukan sekelompok orang atau seseorang di bandingkan dengan

seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat. Pelapisan Sosial

dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain:

1. Ekonomi (kekayaan)

2. Politik (Kekuasaan)

3. Sosial (Martabat)

Pengertian Berfikir : Adalah proses memahami natalitas dalam rangka

mengambil kesimpulan dan menghasilkan masalah baru. Cara orang

berfikir yaitu dengan menggunakan Austik (melamun, fantasi, berkaca dll)

dan dengan realiustik (nalar, sesuai dengan dunia nyata).

Persepsi : Adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga

memperoleh engetahuan sesuai dengan yang di inginkan atau dengan kata

lain adalah proses memberi makna pada stimuli inderawi.

Adapun faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah :

1. Perhatian (Attention)

2. Faktor biologis

3. Faktor Psikologis

Pengertian Memori : Adalah sistem ingatan yang sanggup merekam fakta

dan dapat di gunakan untuk membimbing perilaku manusia.

Proses memori :

Perekaman (Encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor

indera

Penyimpanan (Storage) menentukan berapa lama informasi tersebut

bersama kita

Pemanggilan (Retrieval) mengingat kembali informasi yang telah

tersimpan.

Mekanisme Memori :

Mekanisme memori hendak menjelaskan cara kerja memori, mengapa kita

ingatsesuatu dan melupakan yang lainnya.

Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di

pahami dari sudut pandang subyek. Dimana teoritis interaksi

simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya

adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol,

(D.Mulyana, 2001: 70). Inti pada penelitian ini adalah mengungkap

bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang

merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses

komunikasi dengan sesama.

Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna

tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi yang diadakan

melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses

interaksi sosial.

Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada

objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu

dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek

fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau

peristiwa itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.Mulyana 2001:72).

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena

peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut.

Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan

termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia)

yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka

hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari

proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu

tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi

peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan

melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.

Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu

dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari

faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun

tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap

hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan

faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni

berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut

dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang

akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap

reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang

akan ia ucapkan.

Menurut pandangan Mead, perilaku manusia sebagai sosial

dan berbeda dengan perilaku hewan yang pada umumnya ditandai

dengan stimulus dan respon. Perilaku merupakan produk dari

penafsiran individu atas objek di sekitarnya.makna yang mereka

berikan kepada objek berasal dari interaksi sosial dan dapat

berubah selama interaksi itu berlangsung.

Hal tersebut di atas senada dengan apa yang bisa kita

lihat dari penampilan fisik atau budaya material kaum Punk.

Dimana pola pemaknaan yang terjadi dalam masyarakat terhadap kaum

Punk adalah berkonotasi negatif. Penampilan dengan gaya pakaian

yang terkesan kumal, penuh dengan aksesoris sangar seperti Peniti

yang dijadikan hiasan di wajah yang pada akhirnya membentuk

respon masyarakat kepadanya.

Konsep tentang “self ” atau diri merupakan inti dari teori

interaksi simbolik. Mead menganggap konsep diri adalah suatu

proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang

lain ( D. Mulyana, 2001:73 ).

Dalam Mind, Self and Society (1934) Mead pun menanyakan “bagaimana

seorang individu bisa keluar dari dirinya sendiri untuk menjadi objek lagi bagi dirinya

sendiri?”, lanjut Mead, “…melalui proses tingkah laku atau aktivitas sosial dimana

individu yang ada di simpulkan ……….individu mengalami dirinya sendiri semacam

itutidak secara langsung, dari perlakuan individu lain dari kelompok sosial yang sama

…..dia menjadi objek untuk dirinya sendiri seperti orang lain menjadi objek bagi

dirinya.”( R. Soeprapto, 2002:205).

Diri sendiri “ the self ”, dalam pandangan ahli

interaksionalisme simbolik merupakan obyek sosial dalam hubungan

dengan orang lain disebuah proses interaksi. Dengan demikian,

individu melihat dirinya sendiri ketika ia berinteraksi dengan

orang lain.

Bagi Mead, kesadaran akan “diri” berarti menjadi suatu

“diri” dalam pengalaman seseorang sejauh “suatu sikap yang

dimilikinya sendiri membangkitkan sikap serupa dalam upaya social

. kesadaran akan konsep “diri” akan muncul ketika individu

memasuki pengalaman dirinya sendiri sebagai suatu obyek.

Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang

baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19

yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus

berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI

merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional

(Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana

merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi,

yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40).

Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha

karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama

ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya

memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial

masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang

disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan

bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap

individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah

salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran

interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara

simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini

adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang

perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang

paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa

individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan

dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam

West- Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya

menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana

manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik

dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk

makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri

(Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan

bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di

tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap.

Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970)dalam Ardianto (2007:

136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain

untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan

individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi

simbolik, antara lain: (1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk

menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana

tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui

interaksi dengan individu lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan

untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut

pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme

simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang

mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya,

dan (3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang

diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu

ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam

perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada

akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di

tengah masyarakatnya.

”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert

Mead yang paling terkenal (Mead. 1934dalam West-Turner. 2008:

96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep

dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori

interaksi simbolik.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang

mendasari interaksi simbolik antara lain:

a. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

b. Pentingnya konsep mengenai diri,

c. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya

membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori

interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi,

karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya

di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses

interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara

bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya

Herbert Blumer (1969)dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-

asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap

manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain

kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya

”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi

simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui

individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial

dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan,

menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 101),

antara lain: Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui

interaksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang

penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan

hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi

ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap

individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan

pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema

ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan

dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan dengan tema

ini adalah:

1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan

sosial,

2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya

mengenai tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang

berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-asumsi

karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:

Tiga tema konsep pemikiran Mead

• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

• Pentingnya konsep diri,

• Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer

a. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang

diberikan orang lain pada mereka,

b. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia

c. Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,

d. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi

dengan orang lain,

e. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,

f. Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan

sosial,

g. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

D. IMPLIKASI DALAM ILMU/TEORI DAN METODOLOGI

Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa

teori atau ilmu dan metodologi berikut ini, antara lain: Teori

sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis

Abraham (1982)dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan

interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat sosial-

psikologis. Teori sosiologikal modern menekankan pada struktur sosial,

bentuk konkret dari perilaku individu, bersifat dugaan, pembentukan

sifat- sifat batin, dan menekankan pada interaksi simbolik yang

memfokuskan diri pada hakekat interaksi. Teori sosiologikal modern

juga mengamati pola-pola yang dinamis dari suatu tindakan yang

dilakukan oleh hubungan sosial, dan menjadikan interaksi itu sebagai

unit utama analisis, serta meletakkan sikap-sikap dari individu yang

diamati sebagai latar belakang analisis.

Perspektif interaksional (Interactionist perspective)

merupakan salah satu implikasi lain dari interaksi simbolik,

dimana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu

digunakan pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal sebagai

perspektif interaksional (Hendariningrum. 2009). Perspektif ini

menekankan pada pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari

interaksi sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol-

simbol yang pada akhirnya akan dimaknai secara kesepakan bersama

oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.

Konsep definisi situasi (the definition of the situation)

merupakan implikasi dari konsep interaksi simbolik mengenai

interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas

(1968)dala m Hendariningrum (2009). Konsep definisi situasi

merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa

interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response)

terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi

situasi mengganggap bahwa setiap individu dalam memberikan suatu

reaksi terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dari individu

tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan

tertentu, dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan

mentah-mentah”, tetapi perlu dilakukan proses selektif atau

proses penafsiran situasi yang pada akhirnya individu tersebut

akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya.

Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi

berikutnya dari interaksi simbolik yang merupakan buah karya

Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, dimana

konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses

komunikasi untuk menafsirkan peristiwa dan membagi penafsiran-

penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas dibangun

secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308).

Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya

dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead (West-Turner 2008:

105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan

manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan

peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan

individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu

lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.

Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri,

merupakan bentuk kepedulian dari Ron Harrě, dimana diri

dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya,

individu dalam belajar untuk memahami diri dengan menggunakan

sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang

tentang diri sebagaiperson merupakan sebuah konsep yang

diturunkan dari gagasan-gagasan tentangpersonhood yang

diungkapkan melalui proses komunikasi (LittleJohn. 2005: 311).

Teori dramatisme (Dramatism theory) merupakan implikasi

yang terakhir yang akan dipaparkan oleh penulis, dimana teori

dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh

interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan teori ini adalah

Kenneth Burke (1968). Teor ini memfokuskan pada diri dalam suatu

peristiwa yang ada dengan menggunakan simbol komunikasi.

Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang memainkan

peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan

dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita

tertentu (Ardianto. 2007: 148).

FENOMENOLOGI

Adalah studi mengenai bagaimana manusia mengalami kehidupannya didunia. Studi ini melihat objek dan peristiwa dari perspektif orang yang mengalami. Relaitas dalam fenomenologi selalu merupakan bagian dari pengalaman sadar seseorang.Pendekatan ini merupakan suatu langkah maju terhadap aliran yang menganggap bahwa suatu realitas terlepas dari kesadaran atau persepsi manusia.

Maurice Merleu-Ponty, seorang fenomenologis terkenal, mengungkapkan pandangannya;Seluruh pengetahuan saya tentang dunia, bahkan pengetahuan ilmiahsaya, diperoleh dari sudut pandang saya sendiri, atau dari beberapa pengalaman yang tampa menggunakan sudut pandang saya sendiri akan menyebabkan simbol-simbol ilmiah menjadi tidak berarti. Untuk kembali kepada hal-hal tersebut adalah kembali kepada dunia yang mendahului pengetahuan, dimana pengetahuan selalu bicara.

Fenomenologi menempatkan pengalaman nyata sebagai data dasar daripengetahuan. Fenomenologi juga menghindari penerapan ketentuan kategori teoritis,”fenomenologi berarti membiarkan segala sesuatumengungkapkan dirinya sendiri, tanpa memaksakan kategori kita kepada mereka”.

Tiga prinsip dasar fenomenologi dikemukakan oleh Stanley Deetz;1. Pengetahuan haruslah sadarPengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, tetapi diekspresikan dalam pengalaman sadar itu sendiri.2. Makna diberikan pada sesuatu atas dasar potensinya bagi tindakan seseorang

Bagaimana seseorang berhubungan dengan suatu ojek akan menentukanmakna tersebut.3. Bahasa merupakan perantara bagi munculnya maknaKita mengalami banyak hal melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengunkapkan hal-hal tersebut.

Fenomenologi terbagi menjadi dua kubu;Edmund Husserl, mengajarkan bahwa fenomenologi dapat menjadi suatu disiplin ilmu, dengan menggunakan kesadaran jernih, orang dapat mengungkap kebenaran.Martin Heidegger, mengajarkan bahwa pengetahuan yang pasti adalahtidak mungkin dan bahwa manusia tidak dapat memisahkan diri mereka dari pengalaman subjektif