Review: Studi Ilmu Al-Qur'an

33
BAB I Al-Qur’an dan Wahyu Al-Qur’an dalam pengertian secara bahasa dapat diartikan sebagai masdar (infinitif) dari kata qara’a, qira’atan, qura’anan. Sedangkan dalam pengertian secara istilah yaitu kalam atau firman Allah Ta’ala yang diturunkan kepada hati nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak lain beliau adalah nabi terakhir di dunia dan dinilai sebagai ibadah bagi siapa pun yang membacanya. Dinamakan al-Qur’an pula secara cermat karena apa yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi Muhammad sebagai “wahyu” yaitu, suatu lafaz yang mengandung keseragaman makna wahyu yang diturunkan kepada semua nabi dan rasul, serta untuk memberikan pengertian dasar menurut bahasa sehubungan dengan maknanya sebagai pemberitahu yang bersifat rahasia dan sangat cepat. Lafaz wahyu pula digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah kepada para malaikat supaya mereka melaksanakan perintah tersebut dengan segera. Adapula sebagian ulama yang menyatakan bahwa dinamakan al-Qur’an karena dalam kitab ini telah mencakup pokok pembahasan dari kitab-kitab-Nya yang sebelumnya dan juga mencakup pokok pembahasan dari semua ilmu yang terlahir di dunia ini. Al-Qur’an dapat pula diartikan sebagai mukjizat dengan lafaz dan maknanya, serta sebagai mukjizat karena di 1

Transcript of Review: Studi Ilmu Al-Qur'an

BAB I

Al-Qur’an dan Wahyu

Al-Qur’an dalam pengertian secara bahasa dapat

diartikan sebagai masdar (infinitif) dari kata qara’a,

qira’atan, qura’anan. Sedangkan dalam pengertian secara

istilah yaitu kalam atau firman Allah Ta’ala yang

diturunkan kepada hati nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam yang tidak lain beliau adalah nabi terakhir di

dunia dan dinilai sebagai ibadah bagi siapa pun yang

membacanya. Dinamakan al-Qur’an pula secara cermat karena

apa yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi Muhammad

sebagai “wahyu” yaitu, suatu lafaz yang mengandung

keseragaman makna wahyu yang diturunkan kepada semua nabi

dan rasul, serta untuk memberikan pengertian dasar

menurut bahasa sehubungan dengan maknanya sebagai

pemberitahu yang bersifat rahasia dan sangat cepat. Lafaz

wahyu pula digunakan untuk menyebut firman Allah yang

berupa perintah kepada para malaikat supaya mereka

melaksanakan perintah tersebut dengan segera. Adapula

sebagian ulama yang menyatakan bahwa dinamakan al-Qur’an

karena dalam kitab ini telah mencakup pokok pembahasan

dari kitab-kitab-Nya yang sebelumnya dan juga mencakup

pokok pembahasan dari semua ilmu yang terlahir di dunia

ini.

Al-Qur’an dapat pula diartikan sebagai mukjizat dengan

lafaz dan maknanya, serta sebagai mukjizat karena di

1

dalamnnya mengandung tantangan kepada kaum kafir untuk

mendatangkan yang semisal dengannya. Dan dinilai ibadah

dengan membaca lafaz yang terkandung di dalam al-Qur’an,

sebab lafaz tersebut menukilkan kepada kita dengan cara

mutawatir. Maka hal tersebut merupakan keutamaan al-

Qur’an yang jika dipelajari oleh kaum muslim akan

mendapat pahala dari sisi Allah Ta’ala. Begitu pula

dengan orang-orang yang mengajarkannya, maka akan

mendapatkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.

A. Nama-nama Al-Qur’an

a. Al-Kitab ( اب� bahasa ال�كت����������� Aramia) dari kata kitabah

yaitu kitab bermakna gambaran huruf [al-Baqarah:

2]

b. Al-Qur’an ( ن� را� bahasaال�ق�������� Aramia) dari kata qira’ah

yaitu tilawah, bacaan.

c. Al-Furqan ( ان� bahasaال�ق�رق�������������� Armaia) yang berarti

memisahkan atau membedakan antara kebenaran dan

kebatilan [al-Furqan: 1]

d. Dzikrun ( ك�ر murniذ� bahasa Arab) yang berarti

kemuliaan [al-Anbiya: 10 dan 50]

e. Tanzil ( ل ي�� ن�ز� �murni bahasa Arab) yang berarti sesuatuت�yang diturunkan atau pun wahyu yang diturunkan

Allah ke dalam hati Rasul-Nya, Muhammad [asy-

Syu’ara: 129]

2

B. Sifat-sifat Al-Qur’an

1. Nur (ور yang berarti cahaya. [An-Nisa: 174] , (ن��2. Huda (ه�دى) , yang berarti petunjuk. [Yunus: 57]3. Syifa’ (اء ف� yang berarti obat. [Yunus: 57] , (ش�'4. Rahmah ( yang berarti rahmat. [Yunus: 57] , (رح�مة�5. Mau’idzah ( ة� yang berarti nasihat. [Yunus: 57] , (م�وع�ظ-6. Al-Majid (د ي2 yang berarti hormat. [al-Buruj: 21](ال�مج�7. Al-Aziz ( ي�8ز� yang berarti mulia. [Fushshilat: 41](ال�عر�8. Mubin ( ي2ن� ت� -yang berarti yang menerangkan. [Al(م������

Ma’idah: 15]

9. Busyra (ز yang (ب��ش' berarti kabar gembira. [Al-

Baqarah: 97]

10. Basyir ن�ز) .yang berarti pembawa kabar gembira(ب��ش����'[Fussilat: 3-4]

11. Naziir (ي�8ز Aد yang (ن������������ berarti pembawa peringatan.

[Fussilat: 3-4]

12. Mubarak(Cارك� (م�ت��������� yang berarti yang diberkati.

[Al-An’am: 92]

3

C. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadits Qudsi dan Hadits

Nabawi

Perlu diketahui sebelumnya bahwa yang dimaksud

dengan hadits qudsi yaitu hadits atau berita atau

kabar yang diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

atas kalam Allah Ta’ala dengan lafaz dari beliau

sendiri. Makna quds memiliki arti menyucikan Allah.

Jadi apabila seseorang meriwayatkan hadits qudsi,

maka dia meriwayatkan dengan mengatakan: “Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan tentang apa yang

diriwayatkan dari Tuhannya...” atau dengan

mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda: Allah Ta’ala telah berfirman...” atau dengan

mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda: Allah Ta’ala berfirman...”

Adapun pengertian hadits nabawi, yaitu hadits

atau berita atau kabar yang disandarkan kepada Nabi

Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik berupa

perkataan, perbuatan, ketetapan atau persetujuan,

sifat fisik dan sifat akhlak beliau.1 Hadits nabawi

memiliki dua sifat, yaitu tauqifi dan taufiqi. Yang

dimaksud dengan hadits nabawi bersifat tauqifi yaitu

yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari

wahyu, kemudian beliau menjelaskan dengan kata-kata

beliau sendiri kepada manusia. Sedangkan yang

dimaksud dengan hadits nabawi bersifat taufiqi yaitu

yang disimpulkan oleh Rasulullah dengan pertimbangan

ى 1 ُلق� ى و خ��ُ ْلق� و وص�ف� خ��َ Oي�8ز ا ق�ر و ت�� Oعل ا و ف�� Oول ا ة و س�لم م�ن� ق� ى� ص�لى ال�لة ع�لي� ب� لى ال�ن� cف� ا ي� ض�� Oم�ا ا4

dan ijtihad tentang pemahaman beliau terhadap al-

Qur’an.

Walaupun sama-sama memiliki nilai penting dalam

menentukan hukum syari’at yang datang dari Allah

Ta’ala, tetapi diantara al-Qur’an dengan hadits qudsi

terdapat perbedaan yang memang tidak dapat

dipungkiri lagi yang meliputi:

1. Al-Qur’an mengandung tantangan kepada kaum kafir

untuk mendatangkan yang semisal dengan al-Qur’an

tersebut, sedangkan hadits qudsi tidak mengandung

yang demikian.

2. Al-Qur’an dinisbahkan kepada Allah Ta’ala,

sedangkan hadits qudsi terkadang diriwayatkan

dengan disandarkan kepada Allah Ta’ala dari

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

3. Seluruh isi al-Qur’an dinukil secara mutawatir

dan kepastiannya pun mutlak, sedangkan hadits

qudsi mayoritasnya merupakan hadits ahad dan

kepastiannya pun masih dalam dugaan.

4. Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah dalam segi

lafaz dan maknanya, sedangkan hadits qudsi

merupakan wahyu dari Allah dalam segi makna dan

lafaznya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

5. Membaca al-Qur’an dinilai sebagai ibadah dan

dibaca di dalam shalat. Disebutkan pula dalam

sebuah hadits jika membaca setiap huruf ayat al-

Qur’an mendapatkan pahala sebanyak sepuluh kali

5

lipat. Sedangkan pembacaan hadits qudsi bukan

termasuk ibadah dan tidak dibaca di dalam shalat.

6

BAB II

Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah Ta’ala yaitu Lauh

Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia secara sekaligus,

kemudian diturunkan dari langit dunia ke bumi secara

berangsur-angsur merupakan salah satu kemukjizatan yang ada

padanya (al-Qur’an). Hal ini merupakan proses turunnya al-

Qur’an sebagai wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam sebagai utusan yang mulia.

Adapun hikmah dibalik rahasia diturunkannya al-Qur’an

secara sekaligus ke langit dunia ialah untuk memuliakan al-

Qur’an dan memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai

utusan yang menerima wahyu tersebut, yaitu dengan

memberitahukan kepada penghuni tujuh langit bahwa al-Qur’an

merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir

dan umat yang paling mulia.

Selain itu pula, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-

angsur dari langit dunia ke bumi selama dua puluh tiga tahun

memiliki hikmah tersendiri bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam yaitu untuk memantapkan dan memperteguh hati beliau

karena setiap peristiwa yang terjadi selalu disusul dengan

turunnya ayat-ayat baru yang dirasa oleh beliau sebagai hal

yang dapat meringankan penderitaan yang beliau hadapi dan

sebagai hiburan serta motivasi beliau untuk terus mendakwahkan

Islam serta agar al-Qur’an mudah dihafal.

Adakalanya ayat al-Qur’an turun lima ayat sekaligus dan

ada pula yang sepuluh ayat sekali turun. Atau adapula kurang

7

atau lebih dari itu. Begitulah al-Qur’an turun berangsur-

angsur. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membacanya perlahan-

lahan, sedang para sahabat membacanya sedikit demi sedikit.

Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan sehubungan dengan peristiwa,

baik yang bersifat individu atau sosial yang terjadi selama

kurun waktu 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah. Kadangpula

wahyu turun untuk mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

wa Sallam tentang orang kafir yang sesungguhnya hanya menolak

dan membangkang kebenaran.

Namun adapun Subhi as-Shalih dalam bukunya menyatakan

bahwa ia tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan

bahwa al-Qur’an diturunkan tiga kali. Mula-mula di Lauh

Mahfudz, selanjutnya ke Baitul ‘Izzah (Rumah Kemuliaan) di

langit dunia (langit lapisan pertama), dan terakhir diturunkan

secara terpisah dan berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa

tertentu. Sebab, turunnya al-Qur’an secara demikian itu

termasuk sesuatu yang ghaib, yang hanya dapat diterima

berdasarkan keyakinan akan kebenaran Kitabullah dan Sunnah

Rasul-Nya (bukan lagi kenyataan turunnya wahyu itu sendiri).2

Bahkan ada yang mendengar dari kaum Yahudi bahwa kitab Taurat

diturunkan kepada Nabi Musa ‘Alaihissalaam secara sekaligus.

Karena itu tidak mengherankan jika mereka menanyakan tentang

alasan al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Dan

mereka pun ingin agar al-Qur’an diturunkan sekaligus. Hal ini

pula disebutkan di dalam al-Qur’an:

“Orang-orang kafir mempertanyakan, ‘mengapa al-Qur’an tidak diturunkan

kepadanya (Muhammad) sekaligus?’ Demikianlah, (al-Qur’an Kami turunkan secara2 Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: PustakaFirdaus) hal 60

8

berangsur-angsur) untuk memperteguh hatimu (wahai Muhammad) dan Kami

membacakannya secara tartil (perlahan-lahan, jelas dan sebagian demi sebagian).

Tiap mereka datang kepadamu membawa suatu permasalahan, Kami selalu

datangkan kepadamu kebenaran dan penafsiran yang sebaik-baiknya.” [QS Al-

Furqan: 32-33]

A. Pemeliharaan al-Qur’an pada masa Rasulullah Shallallahu

‘Alaihi wa Sallam

Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

pemeliharaan al-Qur’an dilakukan dengan cara dihafalkan

dan dipahami. Hal inilah yang dimaksud dalam firman Allah

Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam surat Al-

Qiyamah ayat 16-19.

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena

hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah

mengumpulkannya di dadamu dan (membuatmu pandai) membacanya.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu.

Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”

Dengan cara dihafalkan yaitu dengan sebab pada masa

itu bangsa Arab memang memiliki daya hafal yang kuat. Hal

tersebut karena mayoritas diantara mereka adalah buta

huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syiair-

syair dan silsilah mereka lakukan dengan catatan di hati

mereka.

Jadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

mendapatkan wahyu maka beliau mendengarkannya, kemudian

menghafalkannya di dalam hati dan dipahami dengan benar.

Setelah itu beliau melafazkan wahyu tersebut kepada para

9

sahabat, sehingga mereka pun menghafalkan ayat al-Qur’an

dari beliau.

Adapun dengan cara penyusunan secara tertulis,

beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat para sahabat yang

terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, ‘Ubay bin Ka’abdan

Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya dalam sebuah riqa’,

yaitu jamak dari kata rug’ah yang berarti lembaran kulit,

lembaran daun atau lembaran kain. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-ayat

yang ada pada setiap surat dalam berbagai shahifah yang

jumlahnya tidak terhitung. Juga tidak perlu menghimpun

semua cara pencatatan al-Qur’an di dalam satu mushaf.

Sebab, para penghafal dan pembaca al-Qur’an banyak sekali

jumlahnya. Dan karena para sahabat menghafal al-Qur’an di

dalam dada sesuai petunjuk beliau. Beliau pun juga

mengatakan bahwa urutan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan

kehendak serta petunjuk Allah Ta’ala.

B. Pemeliharaan al-Qur’an pada masa Abu Bakr as-Shiddiq

Radhiyallahu ‘anhu

Ketika banyak para penghafal al-Qur’an yang terbunuh

pada peperangan melawan kaum murtad pada tahun ke-12 H,

Umar bin Khattab mengusulkan agar mengumpulkan dan

membukukan al-Qur’an. Hal tersebut karena dikhawatirkan

al-Qur’an akan musnah seiring dengan banyaknya para

penghafal Qur’an yang mati syahid. Awalnya Abu Bakr

menolak usulan tersebut dengan alasan bahwa hal

tersebut tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu

10

‘Alaihi wa Sallam dan tidak pula dianjurkan oleh beliau.

Namun akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu hati Abu

Bakr untuk menerima usulan tersebut.

Kemudian Abu Bakr mengingat kedudukan Zaid bin

Tsabit dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan

kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang

terakhir kali. Dan Abu Bakr pun mengutusnya untuk mulai

mencari ayat al-Qur’an yang terdapat di pelepah kurma,

keping-kepingan batu dan dari para penghafal al-Qur’an

yang jumlahnya tidak banyak. Hingga lembaran-lembaran

yang sudah terkumpul tersebut diserahkan kepada Abu

Bakr, kemudian dia simpan hingga wafatnya. Sesudah itu

berpindah ke tangan Umar bin Khattab, selaku khalifah

sesudah Abu Bakr. Namun setelah wafatnya Umar,

lembaran-lembaran tersebut berada di tangan Hafshah

binti Umar.

C. Pemeliharaan al-Qur’an pada masa Utsman bin ‘Affan

Radhiyallahu ‘anhu

Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan

penduduk Irak, diantara orang ikut perang yaitu

Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan

dalam cara-cara membaca al-Qur’an. Ada sebagian dari

bacaan tersebut yang bercampur dengan kesalahan, tetapi

masing-masing mempertahankan pendapatnya dalam bacaan

tersebut. Bahkan sampai saling mengkafirkan satu sama

lain diantara mereka. Melihat kenyataan tersebut,

Huzaifah melaporkannya kepada Utsman bin ‘Affan.

11

Hingga Utsman pun mengambil keputusan untuk menyalin

lembaran-lembaran pertama yang dikumpulkan pada masa

Abu Bakr dan menyatukan umat Islam pada lembaran-

lembaran tersebut dengan bacaan yang tepat. Kemudian

Utsman mengirimkan seorang utusan untuk meminjamkan

lembaran-lembaran Qur’an yang berada di tangan Hafshah

binti Umar. Dan Hafshah pun menyerahkannya.

Selanjutnya Utsman memanggil Zaid bin Tsabit al-

Anshari, dan tiga orang dari suku Quraisy, yaitu

Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdullah bin

Haris bin Hisyam agar menyalin dan memperbanyak mushaf.

Jika ada perselisihan diantara mereka, maka hendaklah

Zaid bin Tsabit menulis dalam bahasa Quraisy. Karena

al-Qur’an diturunkan dalam logat mereka. Mushaf yang

disusun itulah yang menyatukan pula kaum muslimin, yang

kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani atau

Mushaf Imam.

Setelah penyalinan selesai, Utsman mengembalikan

lembaran-lembaran asli kepada Hafshah binti Umar.

Kemudian Utsman mengirimkan mushaf tersebut ke berbagai

wilayah dan memerintahkan agar mushaf lainnya dibakar.

Tak hanya sampai disini perkembangan al-Qur’an, tata cara

pengucapan yang tepat dan baku pun dilakukan dengan cara

memberikan ketentuan harakat pada al-Qur’an, seperti

menciptakan tanda-tanda tertentu seperti syakl (harakat) dan

nuqtoh (titik). Adapula beberapa tokoh yang berpartisipasi

dalam penyempurnaan mushaf ini yaitu, Abul Aswad ad-Duali,

12

‘Ubaidillah bin Ziyad, dan Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.

Hal ini pula yang dianggap sebagai permulaan ilmu I’rabil

Qur’an.

Namun setelah banyak orang yang menandai mushafnya dengan

berbagai tanda untuk memisahkan ayat yang satu dengan yang

lain, mereka berani untuk menamai tiap awal surat al-Qur’an,

sehingga sulit dicegah upaya orang untuk memperindah dan

memperelok bentuk susunan mushaf. Kemudian muncul khothat

(penulisan). Seluruh dunia Islam pun menyambut dan menerima

baik mushaf tersebut, hingga banyak dicetak setiap tahunnya

berjuta-juta eksemplar, dan merupakan satu-satunya mushaf yang

bereda di kalangan umat muslim, karena para ulama di berbagai

daerah sudah menyetujui dan mengakui kecermatan yang sempurna.

Sampai pada akhir abad ke-3 H para ulama masih berbeda

pendapat mengenai penggunaan tanda-tanda titik. Kemudian pada

zaman selanjutnya, banyak muslim yang menggunakan tanda baca

titik dan syakl pada penulisan mushaf. Mereka yang dahulu

mengkhawatirkan terjadinya perubahan nash al-Quran karena

ditulis dengan tanda-tanda syakl dan titik, sekarang malah

mengkhawatirkan terjadinya salah baca pada orang-orang awan

yang tidak mengerti, jika penulisan mushaf tanpa dibubuhi

tanda-tanda baca.

Para sahabat yang lain pun setelah itu terus melanjutkan

usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-Qur’an dan

penafsiran ayat-ayat yang berbeda-beda diantara mereka, sesuai

dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahaminya.

Hal ini disebabkan karena perbedaan waktu yang panjang dan

13

tidak bertemunya mereka bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam.

Diantara para ahli tafsir yang terkenal dari para sahabat

yaitu Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin

Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin

Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin

Zubair.

Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah

bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Tetapi hal

tersebut tidak berarti penafsiran yang mutlak tentang Al-

Qur’an yang sempurna, karena hal tersebut masih terbatas pada

makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih

samar dan penjelasan yang masih global. Kemudian di kalangan

para tabi’in terdapat suatu kelompok yang terkenal karena

mengambil ilmu ini dari para sahabat. Di samping itu pula,

mereka pun bersungguh-sungguh dalam melakukan ijtihad dalam

menafsirkan ayat.

Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal

yaitu Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah (mantan budak Ibn

Abbas), Tawus bin Kisan al-Yamani, dan Atha’ bin Rabah.

Kemudian diantara murid-murid Ubay bin Ka’ab yang terkenal di

Madinah yaitu Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin

Ka’ab al-Qurazi. Selanjutnya, diantara murid-murid Abdullah

bin Mas’ud di Irak yang terkenal yaitu ‘Alqamah bin Qais,

Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri

dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

Dan yang diriwayatkan dari mereka meliputi ilmu tafsir,

ilmu Garibil Qur’an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki dan

14

Madani, ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua ini tetap

didasarkan pada riwayat dengan cara dikte.

Kemudian pada abad kedua Hijriyah, terjadi masa pembukuan

hadits dengan segala bab yang bermacam-macam. Diantara para

ahli hadits tersebut yaitu Yazid bin Harun as-Sulami (wafat

117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah

(wafat 197 H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H), dan

‘Abdurrazaq bin Hammam (wafat 112 H).

Langkah mereka pun diikuti oleh segolongan ulama. Mereka

menyusun tafsir al-Qur’an yang kebih sempurna berdasarkan

susunan ayat. Yang paling terkenal diantara mereka yaitu Ibn

Jarir at-Tabari (wafat 310 H).

D. ‘Tujuh Huruf’

Banyak para ulama dan sahabat yang berbeda pendapat

tentang ‘tujuh huruf’ yang dimaksud, namun adapula yang

menyatakan bahwa bilangan ‘tujuh’ bukanlah bilangan dalam

arti sebenarnya, maka dapat kita berpendapat bahwa

perbedaan itu hanya megenai dialek, kita hanya menemukan

adanya kelainan sifat dalam pengucapan satu lafaz.

Diantara pendapat-pendapat para ulama, yang menjadi

pendapat yang kuat yaitu yang menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa

dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna

yang sama.

Walaupun demikian, lafaz al-Qur’an tetap satu,

sekalipun bermacam-macam pengucapan dan dan bacaannya dan

perbedaannya tidak keluar dari tujuh kenyataan berikut:

15

Pertama, perbedaan i’rab (berubah-ubahnya kedudukan

kata atau lafaz di dalam kalimat), baik yang merubah

makna ataupun tidak.

Kedua, perbedaan penulisan huruf, baik yang meerubah

makna tanpa perubahan bentuk huruf itu sendiri,

maupun yang mengakibatkan perubahan bentuk huruf

tetapi tidak mengubah makna.

Ketiga, perbedaan kata nama, baik kata tunggal, dua,

atau jamak, penggolongannya ke dalam jenis laki-laki

atau perempuan.

Keempat, perbedaan pergantian suatu kata dengan kata

lain pad aghalibnya terjdai pada kata-kata sinonim,

yang mengenai makna pada dialek masing-masing

kabilah.

Kelima, perbedaan lafaz, mana yang ditempatkan di

awal kalimat ataupun di akhir kalimat menurut

susunan dan keserasian bahasa arab secara khusus.

Keenam, perbedaan tentang penambahan atau

pengurangan kata penghubung.

Ketujuh, perbedaan dialek dalam mengucapkan huruf.

Hikmah diturunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf:

1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang

tidak bisa baca-tulis, dimana setiap kabilah

memiliki dialek masing-masing, namun belum terbiasa

menghafal syari’at, apalagi menjadikannya tradisi.

2. Sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an bagi naluri

atau watak dasar kebahasaan orang Arab, dimana yang

16

dengannya memiliki banyak pola susunan bunyi yang

sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa

yang telah menjadi naluri bahasa orang Arab.

3. Sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek

makna dan hukum-hukumnya, sebab setiap perubahan

bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata

memberikan peluang luas untuk menyimpulkan berbagai

hukum yang terkandung di dalamnya.

17

BAB III

Ilmu-Ilmu Al-Qur’an

Ilmu-ilmu al-Qur’an atau yang biasa disebut dengan ulumul

quran merupakan ilmu yang membahas tentang masalah-masalah

yang berkaitan dengan al-Qur’an dari aspek asbabun nuzul atau

yang disebut juga dengan sebab-sebab turunnya al-Qur’an;

pengumpulan dan penertiban al-Qur’an; pengetahuan tentang

surat-surat Makiyah dan Madaniyah; nasikh dan mansukh; muhkam dan

mutasyabih; dan lain-lainnya yang berhubungan dengannya (al-

Qur’an). Kadang ilmu ini pula dinamakan dengan usulut tafsir

(dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan

beberapa masalah yang harus diketahui oleh para mufasir

sebagai sandaran dalam menafsirkan al-Qur’an.

Ilmu-ilmu ini pun muncul seiring dengan perkembangan

zaman dari masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga masa modern

sekarang ini.

A. Ilmu Asbabun Nuzul

Ilmu asbabun nuzul dapat diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari sebab turunnya ayat al-Qur’an untuk

menerangkan status (hukum)nya pada saat terjadi

turunnya dalam bentuk peristiwa maupun pertanyaan.

Maka di dalam al-Qur’an, tidak semua ayat memiliki

asbabun nuzul. Karena tidak semua ayat al-Qur’an

yang diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dan

kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Disebabkan

pula adanya beberapa ayat yang memiliki satu sebab

18

dan beberapa peristiwa yang terekam dalam satu ayat.

Tetapi ada pula yang diturunkan sebagai permulaan,

tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam,

dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan

sosial.

Asbabun nuzul dapat menerangkan tentang siapa

ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak

diterapkan kepada orang lain karena dorongan

permusuhan dan perselisihan.

Ada kalanya kita harus mencari sumber dari

hadits-hadits shahih dan kitab ilmu tafsir yang

ditulis oleh para ahli tafsir untuk mengetahui

asbabun nuzul.

Adapun keutamaan-keutamaan dalam mengetahui

asbabun nuzul, yaitu:

a. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu

hukum dan perhatian syara’ terhadap

kepentingan umum dalam menghadapi segala

peristiwa, karena sayangnya kepada umat.

b. Mengkhususkan atau membatasi hukum yang

diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila

hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum.

c. Apabila lafaz yang diturunkan itu lafaz

yang umum dan dapat dalil atas

pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai

asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu

hanya terhadap yang selain bentuk sebab.

19

d. Mengetahui sebab nuzul merupakan cara

terbaik untuk memahami makna al-Qur’an dan

menyingkap kesamaran yang tersembunyi

dalam ayat-ayat yang tidak dapat

ditafsirkan tanpa mengetahui sebab

nuzulnya.

B. Ilmu Makki dan Madani

Makki dan Madani ini merupakan identifikasi dari

nama-nama surat yang terkandung dalam al-Qur’an.

Adapun pengertian dari Makki yaitu surat atau ayat-

ayat yang diturunkan pada periode dakwah Nabi

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di kota Mekkah dan sekitarnya

serta terjadi sebelum hijrah beliau, dan ayat-ayat

itu pun ditujukan kepada penduduk kota Mekkah.

Sedangkan Madani yaitu surat atau ayat-ayat yang

diturunkan pada periode dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam di kota Madinah dan sekitarnya serta terjadi

sesudah hijrah beliau, dan ayat-ayat itu pun

ditujukan kepada penduduk kota Madinah.

Adapun perbedaan antara surat Makki dan Madani

serta ciri khas dalam tema, berikut penjelasannya.

Dari sisi turunnya; surat Makiyah diturunkan sebelum

hijrah, meskipun bukan di Mekkah. Sedangkan surat

Madaniyah diturunkan sesudah hijrah, meskipun bukan

di Madinah.

Dari sisi tempat turunnya; surat Makiyah diturunkan di

kota Mekah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan

20

Hudaibiyah. Sedangkan surat Madaniyah diturunkan di

kota Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan

Sil’.

Dari sisi mukhathab (orang yang diajak bicara); surat

Makiyah menyeru kepada penduduk Mekah, sedangkan

surat Madaniyah menyeru kepada penduduk Madinah.

Segi/

AspekMakki Madani

Ciri

khas

tema

Ajakan kepada tauhid dan

beribadah hanya kepada

Allah, pembuktian mengenai

risalah, kebangkitan dan

hari pembalasan, hari kiamat

dan kengeriannya, neraka dan

siksanya, surga dan

nikmatnya, argumentasi

terhadap orang musyrik

dengan menggunakan bukti

rasional dan ayat kauniyah.

Menjelaskan ibadah,

muamalah, had,

kekeluargaan, warisan,

jihad, hubungan sosial,

baik di waktu damai

maupun perang, kaidah

hukum dan masalah

perundang-undangan.

Ciri

khas

tema

Peletakan dasar umum bagi

perundang-undangan dan

akhlak mulia yang menjadi

dasar terbentuknya suatu

masyarakat; dan menyingkapan

dosa orang musyrik dalam

pertumpahan darah, memakan

harta anak yatim secara

Seruan kepada para ahli

kitab kalangan Yahudi

dan Nasrani untuk masuk

Islam, penjelasan

mengenai penyimpangan

mereka terhadap kitab

Allah, permusuhan

mereka terhadap

21

zalim, penguburan hidup bayi

perempuan dan tradisi buruk

lainnya.

kebenaran setelah ilmu

datang kepada mereka.

Ciri

khas

tema

Menyebutkan kisah para nabi

dan umat terdahulu sebagai

pelajaran bagi mereka, dan

sebagai hiburan bagi Nabi

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Menyingkap perilaku

orang munafik,

menganalisis

kejiwaannya, membuka

kedoknya dan ia

berbahaya bagi agama.

C. Ilmu Qiraat

Qiraat merupakan masdar (infinitif) dari kata

qara’a yang memiliki arti ‘bacaan’. Adapun menurut

istilah ilmiah, ilmu qiraat merupakan salah satu

mazhab (aliran) pengucapan al-Qur’an yang dipilih

oleh masing-masing imam qurra’ sebagai ciri khas

mereka dalam melantunkan ayat suci al-Qur’an agar

terdengar lebih indah dan mengajarkannya kepada

orang-orang muslim menurut cara mereka dengan

berpedoman kepada masa para sahabat.

Berikut diantara nama-nama imam yang

meriwayatkan ilmu qiraat:

a) Abdullah bin Katsir ad-Dari (wafat 210 H)

di Mekkah;

b) Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat

120 H) di Madinah;

c) Abdullah bin al-Yahshabi atau yang dikenal

dengan nama Ibnu Amir (wafat 118 H);

22

d) Zayyan bin al-‘Ala bin ‘Amar atau yang

dikenal dengan nama Abu ‘Amr (wafat 154

H);

e) Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami (wafat 205

H);

f) Hamzah bin Ibnu Habib az-Zayyat Maula

‘Ikrimah bin Rabi’ at-Taimi (wafat 188 H);

dan

g) ‘Ashim bin Anin Nujud al-Asadi (wafat 127

H).

D. Ilmu Muhkamat dan Mutasyabih

Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan, yaitu

mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang

benar dengan berita yang salah, dan urusan yang

lurus dari urusan yang sesat. Dengan pengertian

inilah Allah Ta’ala mensifati al-Qur’an bahwa

seluruhnya adalah muhkam sebagaimana dalam surat Hud

ayat 1. Sedangkan mutasyabih secara bahasa berarti

tidak dapat dibedakan dari dua hal yang serupa,

yaitu mutamatsil (sama) dalam perkataan dna keindahan.

Dengan pengertian ini pula lah Allah Ta’ala mensifati

al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih

sebagaimana dalam surat az-Zumar ayat 23.

Mengenai hal ini terdapat banyak perbedaan

pendapat, tetapi yang terpenting adalah:

23

a. Muhkam merupakan ayat yang mudah diketahui

maksudnya, sedang mutasyabih hanya

diketahui maksud oleh Allah Ta’ala sendiri.

b. Muhkam merupakan ayat yang hanya

mengandung satu wajah, sedang mutasyabih

mengandung banyak wajah.

c. Muhkam merupakan ayat yang maksudnya dapat

diketahui secara langsung tanpa memerlukan

keterangan lain, sedangkan mutasyabih

memerlukan penjelasan dengan merujuk

kepada ayat-ayat yang lain.

E. Ilmu Nasikh dan Mansukh

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti

izalah (menghilangkan), sedangkan dalam istilahnya

yaitu mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan

dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Sedangkan yang

dimaksud dengan mansukh yaitu hukum syara’ yang

diganti oleh hukum syara’ yang lain. Naskh dalam al-

Qur’an memiliki tiga macam: naskh tilawah dan hukum;

naskh hukum dan tilawahnya tetap; dan naskh tilawah

dan hukumnya tetap.

Adapun hikmah naskh, yaitu:

a. Memelihara kepentingan hamba.

b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat

sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah

dan perkembangan kondisi umat manusia.

24

c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk

mengikutinya atau tidak.

d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi

umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal

yang lebih berat maka di dalamnya terdapat

tambahan pahala, dan jika beralih ke hal

yang lebih ringan maka ia mengandung

kemudahan dan keringanan.

25

BAB IV

TAFSIR DAN I’JAZ AL-QUR’AN

A. Tafsir Al-Qur’an

Tafsir dalam pengertian secara bahasa yaitu

menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan

makna yang abstrak. Sebagaimana dalam surat al-furqan

ayat 33, bahwa maksud dari kata ‘tafsiiran’ adalah

“paling baik penjelasan dan perinciannya”. Sedangkan

tafsir menurut istilah yaitu ilmu yang membahas tentang

cara pengumpulan lafaz-lafaz al-Qur’an, tentang petunjuk-

petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri

maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan

baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang

melengkapinya. Pengertian inilah yang didefinisikan oleh

Abu Hayyan.

Adapun ta’wil, yaitu berasal dari kata ‘aul’ yang

berarti kembali ke asal. Namun dalam pengertian secara

istilah dan maknanya memiliki dua makna: ta’wil kalam

dengan pengertian suatu makna yang kepadanya mutakallim

(pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya,

atau suatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan.

Dan ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan

maknanya.

Namun demikian terdapat perbedaan antara tafsir dan

ta’wil, yaitu:

a. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah

menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya,

26

maka ta’wil dan tafsir merupakan dua kata yang

berdekatan atau sama maknanya.

b. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi

yang dimaksudkan dari suatu perkataan, maka

ta’wil dari talab (tuntutan) merupakan esensi

perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil

khabar adlaah esensi sesuatu yang diberitakan.

c. Dikatakan tafsir adalah apa yang telah jelas di

dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam

sunnahyang shahih karena maknanya telah jelas

dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang

disimpulkan para ulama.

d. Dikatakan tafsir jika digunakan lebih banyak

dalam menerangkan lafaz dan mufradat (kosa

kata), sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai

dalam menjelaskan makna dan susunan kalimat.

Tafsir pun dibagi ke dalam dua bagian, yaitu tafsir bil-

ma’tsur dan tafsir bir-ro’yi.

1. Tafsir bil-Ma’tsur

Tafsir bil-ma’tsur merupakan tafsir yang

berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih

menurut urutan yang telah disebutkan di muka

dalam syarat-syarat mufasir, yaitu menafsirkan

al-Qur’an dengan al-Qur’an, dan dengan sunnah

karena ia berfungsi untuk menjelaskan

Kitabullah. Adapun di dalam buku Studi Ilmu-

Ilmu Al-Qur’an karangan Manna Khalil al-Qattan

27

mengungkapkan bahwa fatsir al-Qur’an yang

didasari atas dalil-dalil sahih yang dinukilkan

dengan hadits-hadits shahih secara tertib mulai

tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an ataupun

dengan assunnah karena hal tersebut datang

untuk menjelaskan kitab Allah yang satu, yaitu

al-Qur’an, dengan apa yang diriwayatkan dari

para sahabat karena mereka lah orang yang

paling tahu tentang kitab Allah yang diturunkan

kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka

melihat langsung kejadian tersebut dengan apa

yang dikatakan oleh orang-orang tabi’in karena

umumnya mereka adalah orang yang menerima hal

tersebut dari para sahabat. Selain itu disini

akan dikemukakan kitab-kitab yang termasuk

golongan tafsir bil-ma’tsur:

a. Jam’ul Bayan Fii Tafsir Qur’an oleh Ibnu

Jarir at-Thabari (310 H)

b. Al-Kasyfu wal Bayan’an Tafsiril Qur’an oleh

Imam Ahmad Ibnu Karim ats-Tsabit (427 H)

c. Ma’alimut Tanzil oleh Imam Husain ibnu

Mas’ud al-Baghawi (516 H)

2. Tafsir bir-ro’yi

Tafsir bil-ra’yi merupakan tafsir yang di

dalamnya menjelaskan maknanya mufasir hanya

berpegang pada pemahaman sendiri dan

penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada rayuan

28

semata. Tafsir ini pula didasarkan pada sumber

ijtihad dan pemikiran para mufasir terhadap

tuntuan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya.

Adapun di dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an

karya Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa

tafsir ini merupakan penafsiran yang dilakukan

oleh para mufasir dengan menerangkan makna

hanya dnegan berlandaskan kepada pemahaman yang

sesuai dengan jiwa syari’ah dan yang

berlandaskan nas-nasnya. Maka sebenarnya

menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad

semata tanpa ada dasar yang shahih adalah

haram, tidak boleh dilakukan. Sebagaimana Allah

Ta’ala berfirman:

“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai pengetahuan tentangnya.” [al-Isra’: 36]

Adapun kitab-kitab yang termasuk tafsir

bil-ro’yi yaitu:

a. Tafsir Mafatihul Ghaib oleh Faruddin ar-

Razi (606 H)

b. Anwam at-Tanzil wa Haqiqatul Takwil oleh

Imam Abul Barakat

c. Madarikut Tanzil Fii Ma’arit Tanzil oleh

Imam al-Khazin (741 H)

Adapun tafsir yang masih terpuji dan tercela yang

telah diterangkan dari kalangan ulama, yaitu isra’iliyat yang

merupakan berita-berita yang diceritakan oleh Ahli Kitab29

yang masuk Islam, dimana beberapa berita ini diterima

oleh para sahabat selama hal tersebut tidak berhubungan

dengan akidah dan tidak pula berkaitan dengan hukum.

Kemudian tafsir Sufi, yang serupa berusaha untuk membawa nas-

nas ayat kepada arti yang tidak sejalan dnegan arti

lahiriyah, dan tenggelam dalam ta’wil-ta’wil batil yang

jauh serta menyeret kepada kesesatan-kesesatan seperti

ilhad (atheism) dan penyimpangan. Kemudian ada juga tafsir

Isyari, yaitu jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan

menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan

istinbat yang baik dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan

oleh zahir bahasa Arab serta didukung oleh bukti

keshahihannya, tanpa pertentangan maka ia dapat diterima.

Kemudian pula ada Gara’ibut Tafsir yaitu tafsir yang janggal,

merupakan kata-kata yang janggal atau asing yang sering

dikemukakan oleh para ahli tafsir sekalipun hal tersebut

membuatnya menyimpang dari jalan lurus dan menempuh jalan

berbahaya. Mereka membebani diri sendiri dengan hal-hal

yang tidak mampu dikerjakan dan memeras pikiran mereka

untuk sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali melalui

tauqifi (penjelasan dari Nabi). Maka mereka tampil dengan

membawa kedunguan dan kesesatan yang dipandang hina oleh

akal mereka sendiri.

Adapun ilmu-ilmu yang harus diketahui, dipahami

dengan baik oleh para mufassir adalah usuulut tafsiir

(dasar-dasar tafsir) yang mana mencakup ilmu-ilmu al-

Qur’an seperti: ilmu asbabun nuzul, ilmu turunnya al-

Qur’an, ilmu pengumpulan dan penertiban al-Qur’an, ilmu

30

makki dan madani, ilmu muhkam dan mutasyabih, ilmu ‘aam

dan khash, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu mutlaq dan

muqoyyad, ilmu mantuq dan mafhum, ilmu qasam al-Qur’an,

ilmu tafsir dan ta’wil, kisah-kisah yang terdapat di

dalam al-Qur’an, ilmu amtsalul qur’an, ilmu qiraat.

B. I’jaz (Mikjizat Al-Qur’an)

Pembahasan selanjutnya yaitu i’jaz atau yang dikenal

pula dengan sebutan mukjizat, yang memiliki arti

menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum

merupakan ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, dan

merupakan lawan dari kemampuan. Dalam hal ini yaitu

menampakkan kebenaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam

pengakuannya sebagai Rasul dengan menampakkan kelemahan-

kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizat yang

abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan-kelemahan generasi

setelah mereka. Dan mukjizat adalah suatu hal yang luar

biasa yang disertai tantangan dan selamat dari

perlawanan.

Kadar kemukjizatan al-Qur’an pun akan disebutkan di

bawah ini:

a. Golongan Mu’tazilah berpendapat bawha

kemukjizatan al-Qur’an merupakan hal yang

berkaitan dengan keseluruhan al-Qur’an, bukan

dengan sebagiannya, atau dengan setiap suratnya

secara lengkap.

b. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian kecil

atau sebagian besar dari al-Qur’an baik itu

31

tidak penuh satu surat, maka hal tersebut pula

dapat dikatakan sebagai mukjizat al-Qur’an,

sebagaimana didasari dari surat at-Tur ayat 34:

“maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal

Qur’an..”

c. Ulama yang lain berpendapat bahwa kemukjizatan

al-Qur’an itu cukup dengan hanya satu surat

lengkap saja, sekalipun ia pendek, atau dengan

ukuran satu surat, baik satu ayat atau beberapa

ayat.

Bahkan kemukjizatan al-Qur’an pun mempengaruhi aspek

tata bahasa, aspek ilmiah dan aspek tasyri’ (penetapan

hukum). Para penyair suku Arab yang handal dan

profesional pun tidak dapat menandingi tata bahasa al-

qur’an yang lebih indah daripada kata-kata yang diuntai

oleh mereka sendiri. Subhanallah!

Sedangkan dalam aspek ilmiah yaitu bukan terletak

pada kecakupan akan teori-teori ilmiah yang selalu baru

dan berubah serta menrupakan hasil usaha manusia dalam

penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak apda

dorongannya untuk berpikir menggunakan akal sehat yang

telah diciptakan Allah Ta’ala. Bahkan al-Qur’an

membangkitkan pada diri setiap muslim akan kesadaran

ilmiah untuk memikirkan, memahami, dan menggunakan akal

sehat, sebagimana yang telah tersebut dalam surat al-

Qur’an: “demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar

kamu berpikir” [al-Baqarah: 219]

32

Adapun kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek tasyri’

atau penetapan hukum yang sangat erat kaitannya dengan

memulai dari personal individu, karena individu merupakan

batu-bata masyarakat, dan menegakkan pendidikan individu

di atas penyucian jiwa dan rasa pemikulan tanggung jawab.

Al-Qur’an menyucikan individu tersebut dengan akidah

tauhid yang menyelamatkannya dari belenggu perbudakan

hawa nafsu dan syahwat, menjadi hamba yang taat dan

ikhlas kepada Allah Ta’ala dan hanya menjadikan-Nya

sebagai Tuhan Yang Satu dengan menempuh jalan yang lurus.

Kemudian berpindah dari pendidikan individu ke

pendidikan keluarga, karena keluarga adalah menih

masyarakat, hingga datanglah pendidikan sistem

pemerintahan yang mengatur masyarakat dengan menetapkan

kaidah-kaidah dasar hukum Islam dari panduan al-Qur’an

dalam bentuk yang paling baik dan ideal dengan

pengontrolan agama, seperti sabar, jujur, adil, berbuat

baik, santun, maaf dan tawadhu’.

33