RESILIENSI PADA REMAJA YANG GAGAL DALAM SELEKSI TNI/POLRI
-
Upload
englishunesa -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of RESILIENSI PADA REMAJA YANG GAGAL DALAM SELEKSI TNI/POLRI
Resiliensi Remaja Yang Gagal Dalam Seleksi TNI/ POLRI
Mas Cahyo Kumara Jati [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana
gambaran resilience pada remaja yang gagal dalam
seleksi TNI/POLRI. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualiitatif studi kasus dengan partisipan
berjumlah enam orang dengan teknik purpose sampling
yang menghasilkan empat orang dan teknik snow ball
sampling yang menghasilkan dua orang partisipan. Proses
pengambilan data menggunakan teknik wawancara semi
terstruktur dengan pedoman wawancara. Data ini kemudian
dianalisis menggunakan TA (tematik analisis). Hasil
dari penelitian ini berhasil mengidentifikasi lima tema
utama (super-ordinat). Dan hanya satu tema (Coping
Resilience Strategies yang memiliki dua sub tema: mendekat
ada permasalahan dan dukungan) yang akan dibahas.
Keyword: Resilience, Remaja, Strategi Resiliensi
Pendahuluan
Piaget (Hurlock, 1991), secara psikologis, masa remaja
adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa
dibawah tingkat orang yang lebih tua, melainkan berada
dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak. Monks (dalam Santrock, 2003) masa remaja
akhir pada rentang usia 18-21 tahun. Merupakan masa
dimana seseorang mulai menghadapi krisis terhadap
penentuan karir mereka. Soetjipto (2002) karir
merupakan bagian dari perjalanan hidup seseorang,
bahkan bagi sebagian orang merupakan suatu tujuan
hidup. Mereka berusaha memilih dengan mengidentifikasi
kemampuan, minat dan bakat yang mendukung karir dimasa
depan setelah ia lulus sekolah. Sebagian besar dari
mereka memilih untuk kuliah, sebagian lainnya memilih
untuk terjun di dunia kerja, dan beberapa mencoba untuk
mendaftarkan diri sebagai calon TNI/PLRI, sebagian lagi
belum bisa menentukan pilihan untuk jenjang berikutnya.
Mereka yang sudah menentukan pilihan, akan
mempersiapkan dirinya terkait karir yang dipilih. Mulai
mencari informasi tentang kebutuhan kemampuan yang
harus dimiliki dan dilanjutkan dengan usaha untuk
mencapai karir yang dicita-citakan.
Mereka yang memilih untuk berkarir sebagai Polisi atau
TNI memiliki tantangan tersendiri karena terdapat
syarat dan ketentuan yang sangatlah kompleks, mulai
dari kemampuan fisik, kesehatan, psikologis, hingga
bidang akademik. Oleh karena itu didalam seleksi
TNI/POLRI memakan waktu yang sangat panjang, butuh
persiapan-persiapan latihan dan les akademik. Para
remaja yang ingin berkarir sebagai TNI/POLRI sudah
mempersiapkan dirinya sejak lama. Mereka menjaga
kesehatannya, mengatur pola makan, olahraga sebagai
latihan fisik mulai dari lari, renang, push up dan pull
up, dan rutinitas pemeriksaan kesehatan untu menjaga
kondisi tubuhnya. Dan tak lupa untuk belajar mengasah
kemampuan akademiknya. Hal ini sebagai upaya supaya
mereka lolos di seleksi penerimaan Polisi atau TNI.
Didalam seleksi penerimaan TNI/POLRI sangatlah ketat,
hal ini dikarenakan banyaknya pendaftar dan quota yang
diambil sangatlah sedikit tercatat di dalam tribbunnews
untuk pada april 2014 ini pendaftar POLRI mencapai
angka 17000 orang (seluruh nusantara) dan jumlah
penerimaan sendiri di hanya di ambil 3000 orang, belum
lagi faktor KKN yang masih diberlakukan. Maka remaja
haruslah mempersiapkan mental yang kuat untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Mereka
yang gagal dalam seleksi penerimaan TNI/POLRI harus
menunggu tahun depan untuk ikut seleksi kembali. Dan
kegagalan inilah yang sering menjadi tekanan bagi
remaja yang ingin menjadi TNI/POLRI dengan berbagai
alasan.
Mereka yang gagal dalam seleksi ini cenderung kecewa
dan putus asa, karena mereka merasa bahwa mereka telah
mempersiapkan semuanya dengan benar dan hati-hati,
usaha yang mereka lakukan dirasa sia-sia. Kegagalan ini
yang menjadi faktor utama begi mereka yang benar-benar
menginginkan profesi tersebut. Beberapa dari mereka
yang gagal cenderung malu dengan kegagalannya, ada juga
yang menyalurkan rasa kekecewaan sebagai akibat dari
kegagalan dengan mengubah pola hidupnya, seperti
merokok dan mengkonsumsi minuman beralkhohol, dan
banyak lainnya. Hal ini mereka lakukan sebagai upaya
untuk terbebas dari tekanan kegagalan yang dialaminya,
sebagian juga karena sikap pesimis terhadap cita-cita
menjadi TNI/POLRI.
Kegagalan ini cenderung membuat hidup mereka terpuruk,
mereka menjadi hilang tujuan dan akhirnya melakukan
hal-hal yang tidak bermanfaat dan merugikan diri mereka
sendiri. Kegagalan itu seolah menjadi pukulan keras
dalam hidup mereka. Proses yang direncanakan yang
memakan waktu lama hingga mempersiapkan segala hal yang
dibutuhkan, seolah-olah lenyap tidak ada hasil, yang
apabila ingin kembali harus memulai dari awal lagi.
Rencana yang tidak sesuai dengan kenyataan tersebut
tidak jarang menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan
bagi individu (Desmita, 2005). Mereka menjadi bingung
dengan pilihannya, sedangan untuk pilihan karir lain
mereka merasa tertinggal dari teman-teman sebayanya.
Berbeda individu berbeda pula cara menyikapi tekanan
dalam hidup. Tidak semua dari mereka yang gagal menjadi
polisi atau TNI kemudian menjadi terpuruk dan
bermasalah. Namun ada juga individu yang berusaha
sekuat tenaga untuk bangkit kembali dan menghadapi
kesulitan hidupnya dengan sikap yang positif (Sanni,
2009). Mereka terdorong untuk berusaha keluar dari
situasi-situasi sulit tersebut. Reaksi mereka
menunjukkan mereka mampu menyesuaikan dri dengan
keadaannya. Kegagalan itu tidak sepenuhnya menjadi
halangan bagi mereka untuk terus mengejar tujuan
hidupnya. Reivich & Shatte (2002) dalam bukunya “The
Resiliency Factor” resiliensi didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap
kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan, bertahan dalam keadaan tertekan, dan
bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau
trauma yang dihadapi dalam kehidupannya.
Sebagian dari mereka berjuang dan bertahan dengan
keinginan mereka untuk menjadi polisi atau TNI dengan
tetap menjaga keadaan tubuhnya, banya berlatih, dan
memperbaiki kekurangan mereka yang telah membuatnya
gugur dalam seleksi. Mereka beraktivitas seperti biasa,
menganggap bahwa kegagalan tersebut merupakan batu
loncatan untuk dirinya memperbaiki diri agar bisa
mengejar impiannya tersebut. Ada pula yang langsung
mencari alternative lain, seperti kuliah dan
sebagainya. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah
ditimpa kemalangan ataupun tekanan yang berat bukanlah
sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan
adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal
dengan istilah resiliensi (Tugade, M. M., Fredrickson,
B. L. and Feldman Barrett, L, 2004).
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk dapat
bangkit dengan sekuat tenaga dan menghadapi kesulitan
hidupnya dengan sikap positif, bahkan mampu mengatasi
kesulitan dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang
positif (Goodheart & Worell, 2006). Dengan kemampuan
resilien ini remaja yang telah gagal dalam seleksi
polisi atau TNI terdorong untuk mengembangkan sikap
positif dalam dirinya. Ia menjadi kembali percaya diri
untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Resiliensi
membuat seseorang memandang penderitaan sebagai
tantangan, kegagalan sebagai awal keberhasilan, dan
keputusasaan menjadi kekuatan. Seseorang yang memiliki
resiliensi terdorong untuk berkembang dan menadi lebih
baik.
Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang yang disebut
sebagai individu yang resilien, yaitu mereka yang
dapat bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan
memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Putrantie
(dalam Menara Untung, 2008:12) Maka secara umum
resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi
tantangan atau kondisi yang terpuruk. Resilience
sebagai kapasitas individu untuk tetap bertahan dan
berkembang pada kondisi yang menekan (adverse conditions)
dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali
pulih dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008).
Kapasitas resiliensi itu sebenarnya dimiliki setiap
orang. artinya setiap individu itu terlahir dengan
kemampuan untuk bertahan dari penderitaan, kekecewaan,
atau tantangan. Namun kemampuan itu berkembang seseuai
dengan individu masing-masing. Hal inilah yang kemudian
membedakan tiap individu dalam menyikapi permasalahan.
Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll, secara holistic, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Moleong, 2005).
Peneliti menggunakan metode studi kasus sebagai desain
dalam penelitian ini. Alasan peneliti menggunakan studi
kasus karena metode studi kasus berperan sebagai
penyelidik yang memegang teguh keutuhan dan
kebermaknaan karakteristik pada kejadian dalam
kehidupan nyata (Yin, 2005). Penelitian studi kasus
adalah suatu penelitian kualitatif yang berusaha
menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh
pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu,
kelompok, atau situasi (Emzir, 2010).
Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah
resiliensi remaja yang gagal dalam seleksi polisi atau
TNI. Studi kasus digunakan karena peneliti ingin
memperoleh pengalaman utuh yang mendalam mengenai
bagaimana remaja yang gagal dalam seleksi tersebut
mampu menjadi individu yang resilien, termasuk faktor-
faktor apa saja yang mendukung resiliensi mereka.
Partisipan
Teknik perekrutan partisipan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah purposive sampling. Dalam teknik
ini, peneliti menetapkan kriteria-kriteria partisipan
terlebih dahulu kemudian memilih partisipan berdasarkan
kriteria tersebut. Purposive sampling adalah teknik
penentuan sampel dengan kriteria tertentu. Enam
partisipan berhasil direkrut, yang masing-masing
partisipan direkrut oleh anggota kelompok yang
diketahui bahwa mayoritas dari partisipan merupakan
teman peneliti. Semua partisipan adalah remaja yang
pernah gagal dalam seleksi POLRI/TNI. Partisipan
lainnya direkrut dengan menggunakan strategi bola salju
(snow ball), dimana peneliti eminta bantuan dari salah
satu partisipan untuk diperkenalkan kepada partisipan
yang lainnya. Semua partisipan adalah laki-laki dalam
rentang usia 17-21 tahun. Kriteria inklusi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah partisipan harus
seorang remaja yang gagal dalam seleksi polri sekurang-
kurangnya satu tahun berjalan waktu setelah mereka
gagal, yang telah melakukan resiliensi.
Pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam (depth
interview) yang bersifat semi-terstruktur, wawancara semi
terstruktur memungkinkan peneliti untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang
diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya
(Moleong, 2005). Wawancara dilakukan untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami
individu berkenaan dengan topic yang diteliti dan
bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu-isu lain
yang berkaitan dengan topic tersebut (Poewandari,
2001:75). Wawancara sebagian besar berlangsung dalam
satu jam. Semua partisipan di tempat yang berbeda,
partisipan yang berstatus sebagai mahasiswa
diwawancarai dikampus dan partisipan yang bukan
mahasiswa di wawancarai di rumah mereka. Semua
partisipan telah diberi penjelasan singkat tentang
penelitian dan diberi informasi tentang ak mereka untuk
dapat membatalkan partisipan setiap saat, serta diberi
tahu tentang kerahasiaan data dari hasil wawancara yang
telah direkam. Wawancara dipandu oleh pedoman wawancara
yang terdiri dari 12 pertanyaan terbuka. Wawancara
dimulai dengan pertanyaan mengenai cerita terkait
kegagalan partisipan dalam seleksi TNI/POLRI, diikuti
dengan pertanyaan mengenai permasalahan yang terjadi,
dan pertanaan yang mengungkap cara resiliensi mereka
setelah gagal dari tes seleksi TNI/POLRI
Teknik Analisis Data
Analisis tematik (AT) digunakan sebagai metode
analisis. AT adalah metode untuk ‘mengidentifikasi,
menganalisis, dan melaporkan pola-pola (tema) dalam
data’ (Braun dan Clarke, 2006: 79). AT merupakan suatu
proses yang digunakan dalam mengolah informasi
kualitatif, dan memungkinkan penerjemahan
gejala/informasi kualitatif menjadi data kualitatif
seperti yang diperlukan oleh peneliti (Boyatzis,1998
dalam Poerwandari 2001). AT digunakan sebagai metode
analisis karena metode ini memungkinkan peneliti untuk
terlibat dengan kerangka teori dalam rangka untuk
mendapatkan analisis data yang lebih mendalam . semua
wawancara direkam dan ditranskripsi. Semua transkripsi
dibaca berulang-ulang dan diberi perhatian yang sama
selama proses pengkodean. Kode dari semua transkripsi
diperiksa apakah mereka bisa dikelompokkan dalam tema
utama, akhirnya tema utama transkripsi masing-masing
diatur dalam satu rangkaian tema super-ordinat. Tema yang
diidentifikasi juga bersifat semantik dalam arti bahwa
tema-tema tersebut diidentifikasi dalam level permukaan
dari data. Tujuan interretasi dalam penelitian ini
adalah untuk mengatur dan meringkas data untuk
mengidentifikasi pola-pola yang kemudian diteropong
menggunakan teori untuk mendapatkan signifikansi mereka
dan makna yang lebih luas. Teknik yang dipakai dalam
penelitian ini adalah uji kredibilitas dengan
triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah teknik
pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.
Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu.
Triangulasi data dengan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian kualitaif (Patton, dalam Moleong,
2005). Hal tersebut dapat dicapai dengan jalan: (1)
membandingkan data hasil pengamatan dangan data hasil
wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang
di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara
pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-
orang tentang situasi penelitian dengan apa yang
dikatakan sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan
dan perspektif seorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berada,
orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Jadi triangulasi berarti cara yang terbaik untuk
menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan
yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan
data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari
berbagai pandangan. Denga kata lain bahwa dengan
triangulasi, peneliti dapat me-recheck temuannya dengan
jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode,
atau teori. Untuk itu maka peneliti dapat melakukannya
dengan jalan:
1. Mengajukan berbagai macam versi pertanyaan,
2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data,
3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan
kepercayaan dapat dilakukan
Teknik triangulasi ini dipakai kerena, penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
wawancara dan observasi sebagaii alat pengumpul
data.
Analisis
Ada lima tema utama super-ordinat yang berhasil
diidentifikasi dalam studi ini: alasan mengikuti
seleksi, kegagalan ketika seleksi, dampak tiak lolos
dalam seleksi polri, strategi resiliensi, alasan
melakukan reseliensi. Dari lima tema super-ordinat
tersebut, hanya tema ‘strategi resiliensi’ (yang
terdiri dari dua tema: Mendekat pada permasalahan,
dukungan) yang selanjutnya akan dianalisis. Alasan
peneliti memilih super-ordinat tersebut adalah karena
tema super-ordinat yang dipilih tersebut membahas inti
dari penelitian ini.
Strategi resiliensi
Hal utama yang menjadi fokus dari tema ini adalah untuk
mengeksplorasi terkait bagaimana cara-cara yang di
pakai oleh enam remaja yang pernah gagal dalam seleksi
TNI/POLRI untuk menghadapi kegagalan, bangkit dari
keterpurukan dan kekecewaan mereka. Seluruh partisipan
melaporkan bahwa mereka merasa kecewa ketika menghadapi
kenyataan bahwa mereka tidak lolos seleksi. Kekecewaan
atas kegagalan tersebut telah memunculkan coping strategies.
Coping strategi with near a problem
Kebanyakan partisipant melaporkan bahwa mereka ikhlas
menerima kegagalan dan akan berusaha lagi, mencoba lagi
tahun depan dengan persiapan yang lebih matang.
“Yang pertama itu menyiapkan dari awal, palingtidak satu tahun sebelumnya disiapkan dari segifisik, mental dan semuanya dan juga, mempersiapkandirilah, pokok e itulah.” (P1)
“Iya jelas mbak, nanti kalau saya jadi nyoba lagibakal saya persiapkan dengan matang.[…] Kan sayasudah tau soal-soal seperti apa yang dikeluarkandi tes akademik jadi bakal saya pelajari itu. Biarbisa lolos waktu tes akademik.” (P2)
“[…]. Masa sedih terus, ya sudah senyum sajaketawa saja ikhlaskan, saya selalu percaya mbak
kalau Tuhan punya rencana yang lebih baik buatsaya nanti.” (P2)
“Tidak saya pikir mas, […] kembali seperti biasa.Jalani keseharian seperti biasa[…]” (P3)
“Saya cenderung lebih senang sih. Saya itutermasuk orang yang beruntung ya, telahmendapatkan kegagalan. Gak semua orang mengalamikegagalan. […]” (P4)
“[…] dan saya mempersiapkan lagi lebih matangdalam mengerjakan sesuatu.” (P5).
“Aku memandang hidup ku yang sekarang dankedepannya, aku kembali lagi seperti tadi, mungkinrejekiku itu gak disitu, masih banyak sesuatu yangkita lakukan selain itu […]” (P6)
Para partisipan memaknai kegagalan sebagai pengalamanyang mereka jadikan pembelajaran, supaya kesalahan dankekurangan pada kegagalan seleksti TNI/POLRI tahun yanglalu tidak terulang kembali di tahun depan saat merekamencoba mendaftarkan diri lagi.
Coping strategies with learning problem
Mempelajari keadaan dan mencari alternatif lain yangkebanyakan dilaporkan oleh partisipan dalam menghadapikegagalannya adalah dengan mempelajari masalah danmembuat tujuan baru.
“Itu, cepat lulus, cepat bekerja, pengen kesupervisor atau menjadi HRD” (P1)
“Pengen cepet lulus kuliah terus nyari kerja yangenak sesuai bidang saya mbak, ya olahraga ini.[…]” (P2)
“Kalau saya sekarang itu ya mas, mau daftar itu yamau, tapi saya mau fokus dulu sama kuliah. […]”(P3)
[…] setelah lulus mungkin saya akan daftar lagi,dan kalau ditolak saya berharap mendapatkanpekerjaan yang yang pantas, serta belajar daripengalaman yang sudah saya alami, […]” (P5)
“[…] aku optimis ke jalan yang lain. Aku merasaTuhan punya rencana lain aku udah berusahaberulangkali tapi gagal, emang gak bisa, ya udahberarti punya rencana lain buat kedepannya buataku.” (P6)
“Karena sudah empat kali juga. Jadi saya fokuspada kuliah saya juga sekarang. Mungkin sekarangsaya fokus pada kuliah, dan mungkin saya bisamencoba lagi setelah lulus. […]” (P4)
“Semua tidak bisa dipaksakan, kita berusaha kalaugak ada factor X itu ya gak jadi, bahkan adafactor X pun belum tentu jadi. Garis tangan tiaporang kan sudah ada yang ngatur. Jadi ya sayapasrah aja. Dinikmati aja hidup ini.” (P3).
Faktor X adalah kebanyakan faktor yang mebuatpartisipan gagal, faktor X yang dimaksud adalah uangpungli sebagai syarat lolos seleksi.
Support by around people
Dukungan orang-orang sekitar partisipan berdampak pulapada kecepatan resiliensinya, kebanyakan partisipan
melaporkan mendapatkan dukungan untuk bangkit kembali.Baik itu dukungan dari orang tua, teman dan pacar.
“Orang tua mungkin juga kecewa ya mbak karenaharapan biar anaknya jadi polisi itu gagal tapibeliau berdua sampai sekarang masih terus memberisemangat dan support kok mbak […]” (P2)
“Mereka ya ngomong, “kejadian ini jadikan tolakukur untuk ke depannya kalau kamu ikut lagi”. Gituaja pesannya […]” (P3)
“gak popo wes (tidak masalah) kuliah ae, kamu lhobisa kuliah dan mendapat ilmu disini. Gak masalah,tetep semangat” […] (P4)
“[…] aku menerima nasihat dari kakak aku, kasaranjawane ngene om dalan sing gede ora nang kunu tok(singkatnya jalan itu banyak) ya sudah setelah itubaru sugesti diri sendiri, gini sing iso mangan ki gakPNS tok (yang bisa makan tidak hanya PNS saja),gak polisi tok, nah dari situ muncul optimis lagibuat usaha yang mungkin bisa kita tembus […]” (P6)
“[…] aku gak pernah disalahkan, mereka mensupportaku kayak gini “umur kamu masih muda, masih adakesempatan selanjutnya […]” (P6)
Pembahasan
Penelitian ini di fokuskan pada remaja yang pernah
gagal dalam seleksi TNI/POLRI. Sampel penelitian ini
tidak dapat dilihat sebagai wakil dari semua remaja
yang pernah gagal dalm seleksi. Namun dalam riset
kualitatif, sampel representatif tidak selalu
diperlukan jika peneliti berupaya untuk menjelajahi
kompleksitas topik tertentu yang bersifat spesifik
(Smith, 2003). Bahkan, sampel homogen kecil dalam
penelitian ini memungkinkan peneliti untuk
mengeksplorasi kekayaan dan kompleksifitas dari
strategi resiliensi para partisipan secara mendalam dan
rinci.
Lima dari enam partisipan melaporkan bahwa mereka masih
tetap berkeinginan untuk mencoba lagi, mereka masih
ingin mewujudkan cita-citanya sebagai seorang polisi
ataupun TNI. Lima dari partisipan tersebut melaporkan
akan berusaha dengan mempersiapkan diri secara lebih
matang daripada sebelumnya. Dengan belajar dari
pengalaman kegagalan mereka, partisipan melaporkan
memiliki keyakinan yang lebih untuk lolos dalam seleksi
dari pada sebelumnya, mungkin karena mereka merasa
mempunyai pengalaman terkait tes-tes seleksi, sehingga
mereka mereasa tahu akan kekurangan masing-masing dan
berusaha untuk menyempurnakan kekurangannya tersebut.
Lima partisipan melaporkan bahwa ia menerima kegagalan
dengan ikhlas. Menurut interpretasi peneliti, ikhlas
yang dilaporkan partisipan hanyalah sebuah defense
sebagai bentuk sistem pertahanan diri demi mendapatkan
keseimbangan psikologis (Ego). Block (dalam Chandra,
2009: 2) dengan nama ego resilience, yang diartikan sebagai
kemampuan umum yang melibatkan penyesuaian diri yang
tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekana internal
maupun eksternal. Secara spesifik, ego resiliensi
adalah satu dari sumber kepribadian yang berfungsi
membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun
jangka panjang, dimana sumber daya tersebut
memungkinkan untuk memodifikasi tingkat karakter dan
cara mengekspresikan pengendalian ego yang mereka
lakukan. Partisipan berusaha menekan perasaan tidak
menyenangkan kedalam alam bawah sadar mereka, perasaan
tidak menyenangkan tersebut tidak lain adalah perasaan
kecewa atas kegagalan yang pernah mereka alami.
Bagaimanapun juga peneliti yakin perasaan kecewa pasti
akan muncul kembali apabila mereka masih dalam keadaan
tidak nyaman dengan hidup mereka sampai keinginan untuk
menjadi polisi terpenuhi. Hal ini didukung oleh lima
partisipan yang melaporkan bahwa mereka masih ingin
mencoba lagi tahun depan. Bagi peneliti pernyataan
ingin mencoba tahun depan adalah sebuah bentuk
ketidakpuasan akan hasil yang ia capai, dan peneliti
percaya bahwa partisipan akan selalu memikirkannya.
Strategi yang digunakan selanjutnya adalah mempelajari
masalah dan berusaha membuat tujuan lain. Semua
partisipan melaporkan bahwa ia berusaha mempelajari
masalah yang terjadi, termasuk melakukan instropeksi
diri terkait kemampuan-kemampuan yang dimiliki.
Kemudian berlanjut pada pengambilan keputusan terkait
tujuan hidup yang baru, yang didukung oleh kemampuan-
kemampuan yang dimilikinya saat ini. Pada tahap ini
partisipan merasa bahwa mereka cita-cita sebagai
polisi/TNI tidak sesuai dengan mereka. Mereka mulai
menginstropeksi diri dan belajar, sekaligus berusaha
mencari tahu passion yang dimilikinya guna mendapatkan
keyakinan bahwa memang itulah tujuan hidupnya, tujuan
yang sesuai dengan kemampuannya. Pada posisi seperti
ini partisipan sebenarnya mulai ragu dan tidak yakin
pada keberhasilannya untuk lolos dalam seleksi
TNI/POLRI. Sehingga mereka mencari alternatif/cadangan
tujuan sebagai bentuk resiliensinya.
Cepat lembatnya resiliensi tidak hanya di pengaruhi
oleh faktor internal akan tetapi dukungan faktor
eksternal yang juga berpengaruh dalam kecepatan dan
efektifitas resiliensi itu sendiri. Windle (dalam
Reivich, K & Shatte, A. 2002:24) menyebut bahwa
resiliensi muncul dari interaksi yang signifikan antara
faktor resiko dan faktor pendukungnya (eksternal).
Faktor internal berkaitan dengan bagaimana individu
memaknai sebuah peristiwa sedangkan faktor internal
adalah terkait bagaimana orang-orang mempengaruhi
individu. Semua partisipan melaporkan bahwa ia mendapat
dukungan dari orang-orang sekitar, dan hal itu membantu
menyadarkan mereka untuk bangkit dari keterpurukan.
Daftr Pustaka
Braun, Virginia and Clarke, Victoria (2006).
Using Thematic Analysis in Psychology.
Qualitative Research in Psychology, 3, 77-101.
Candra, S. (2009). Resiliensi. download tanggal 12 juni
2014, diakses dari
http:///rumah belajarpsikologi.com/indeks.php/resil
iensi.html
Desmita, (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Emzir. (2010). Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data.
Jakarta: Rajawali Press
Goodheart, C. D. (2006). An integrated view of girls’
and women’s health: Psychology, physiology, and
society. In J. Worrell and C. D. Goodheart (Eds.),
Handbook of girls’ and women’s psychological health (pp. 3-
14). Oxford: Oxford University Press.
Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan: Suatu
pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta:
Erlangga
Moleong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan
ke dua puluh satu. Bandung: PT Rosdakarya Offset
Menara, U. (2008). Hubungan antara self efficacy dan resilience
pada mahasiswa psikologi UIN Malang. Skripsi pada strata
1 fakultas Psikologi UIN Maliki Malang: tidak
diterbitkan
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk
Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Santrock, Jhon, W. (2003). Life-Span development:
Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The resilience factor:
7 skills for overcoming life’s inevitable
obstacles. New York: Random House, Inc.
Sanni, Indah Kartika. (2009). Hubungan dukungan sosial
dengan resiliensi pada remaja SMU 1 Pangkah Tengah [On-
Line]
http://rac.uii.ac.id/server/document/Private/
2010080403355403320092- hubungan%20antra%20dukungan
%20sosial...pdf
Tanggal Akses 14 Juni 2014
Smith, J. A. and Eatough, V. (2007). Interpretative
Phenomenological Analysis. In E. Lyons And A.
Coyle (Eds). Analysing Qualitative Data In Psychology (pp.
35-50). London: Sage
Sutjipto, (2002). Minat Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA)
terhadap Kewirausahaan.[On-line]
Http://www.depdiknas.go.id/jurnal/45/sutjipto.htm
Di akses tanggal 13 Juni 2014
Tugade, M. M., Fredrickson, B. L. and Feldman Barrett,
L. (2004), Psychological Resilience and Positive
Emotional Granularity: Examining the Benefits of