RESILIENSI PADA REMAJA YANG GAGAL DALAM SELEKSI TNI/POLRI

22
Resiliensi Remaja Yang Gagal Dalam Seleksi TNI/ POLRI Mas Cahyo Kumara Jati S [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana gambaran resilience pada remaja yang gagal dalam seleksi TNI/POLRI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualiitatif studi kasus dengan partisipan berjumlah enam orang dengan teknik purpose sampling yang menghasilkan empat orang dan teknik snow ball sampling yang menghasilkan dua orang partisipan. Proses pengambilan data menggunakan teknik wawancara semi terstruktur dengan pedoman wawancara. Data ini kemudian dianalisis menggunakan TA (tematik analisis). Hasil dari penelitian ini berhasil mengidentifikasi lima tema utama (super-ordinat). Dan hanya satu tema (Coping Resilience Strategies yang memiliki dua sub tema: mendekat ada permasalahan dan dukungan) yang akan dibahas. Keyword: Resilience, Remaja, Strategi Resiliensi Pendahuluan Piaget (Hurlock, 1991), secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua, melainkan berada

Transcript of RESILIENSI PADA REMAJA YANG GAGAL DALAM SELEKSI TNI/POLRI

Resiliensi Remaja Yang Gagal Dalam Seleksi TNI/ POLRI

Mas Cahyo Kumara Jati [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana

gambaran resilience pada remaja yang gagal dalam

seleksi TNI/POLRI. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualiitatif studi kasus dengan partisipan

berjumlah enam orang dengan teknik purpose sampling

yang menghasilkan empat orang dan teknik snow ball

sampling yang menghasilkan dua orang partisipan. Proses

pengambilan data menggunakan teknik wawancara semi

terstruktur dengan pedoman wawancara. Data ini kemudian

dianalisis menggunakan TA (tematik analisis). Hasil

dari penelitian ini berhasil mengidentifikasi lima tema

utama (super-ordinat). Dan hanya satu tema (Coping

Resilience Strategies yang memiliki dua sub tema: mendekat

ada permasalahan dan dukungan) yang akan dibahas.

Keyword: Resilience, Remaja, Strategi Resiliensi

Pendahuluan

Piaget (Hurlock, 1991), secara psikologis, masa remaja

adalah usia dimana individu berintegrasi dengan

masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa

dibawah tingkat orang yang lebih tua, melainkan berada

dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam

masalah hak. Monks (dalam Santrock, 2003) masa remaja

akhir pada rentang usia 18-21 tahun. Merupakan masa

dimana seseorang mulai menghadapi krisis terhadap

penentuan karir mereka. Soetjipto (2002) karir

merupakan bagian dari perjalanan hidup seseorang,

bahkan bagi sebagian orang merupakan suatu tujuan

hidup. Mereka berusaha memilih dengan mengidentifikasi

kemampuan, minat dan bakat yang mendukung karir dimasa

depan setelah ia lulus sekolah. Sebagian besar dari

mereka memilih untuk kuliah, sebagian lainnya memilih

untuk terjun di dunia kerja, dan beberapa mencoba untuk

mendaftarkan diri sebagai calon TNI/PLRI, sebagian lagi

belum bisa menentukan pilihan untuk jenjang berikutnya.

Mereka yang sudah menentukan pilihan, akan

mempersiapkan dirinya terkait karir yang dipilih. Mulai

mencari informasi tentang kebutuhan kemampuan yang

harus dimiliki dan dilanjutkan dengan usaha untuk

mencapai karir yang dicita-citakan.

Mereka yang memilih untuk berkarir sebagai Polisi atau

TNI memiliki tantangan tersendiri karena terdapat

syarat dan ketentuan yang sangatlah kompleks, mulai

dari kemampuan fisik, kesehatan, psikologis, hingga

bidang akademik. Oleh karena itu didalam seleksi

TNI/POLRI memakan waktu yang sangat panjang, butuh

persiapan-persiapan latihan dan les akademik. Para

remaja yang ingin berkarir sebagai TNI/POLRI sudah

mempersiapkan dirinya sejak lama. Mereka menjaga

kesehatannya, mengatur pola makan, olahraga sebagai

latihan fisik mulai dari lari, renang, push up dan pull

up, dan rutinitas pemeriksaan kesehatan untu menjaga

kondisi tubuhnya. Dan tak lupa untuk belajar mengasah

kemampuan akademiknya. Hal ini sebagai upaya supaya

mereka lolos di seleksi penerimaan Polisi atau TNI.

Didalam seleksi penerimaan TNI/POLRI sangatlah ketat,

hal ini dikarenakan banyaknya pendaftar dan quota yang

diambil sangatlah sedikit tercatat di dalam tribbunnews

untuk pada april 2014 ini pendaftar POLRI mencapai

angka 17000 orang (seluruh nusantara) dan jumlah

penerimaan sendiri di hanya di ambil 3000 orang, belum

lagi faktor KKN yang masih diberlakukan. Maka remaja

haruslah mempersiapkan mental yang kuat untuk

menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Mereka

yang gagal dalam seleksi penerimaan TNI/POLRI harus

menunggu tahun depan untuk ikut seleksi kembali. Dan

kegagalan inilah yang sering menjadi tekanan bagi

remaja yang ingin menjadi TNI/POLRI dengan berbagai

alasan.

Mereka yang gagal dalam seleksi ini cenderung kecewa

dan putus asa, karena mereka merasa bahwa mereka telah

mempersiapkan semuanya dengan benar dan hati-hati,

usaha yang mereka lakukan dirasa sia-sia. Kegagalan ini

yang menjadi faktor utama begi mereka yang benar-benar

menginginkan profesi tersebut. Beberapa dari mereka

yang gagal cenderung malu dengan kegagalannya, ada juga

yang menyalurkan rasa kekecewaan sebagai akibat dari

kegagalan dengan mengubah pola hidupnya, seperti

merokok dan mengkonsumsi minuman beralkhohol, dan

banyak lainnya. Hal ini mereka lakukan sebagai upaya

untuk terbebas dari tekanan kegagalan yang dialaminya,

sebagian juga karena sikap pesimis terhadap cita-cita

menjadi TNI/POLRI.

Kegagalan ini cenderung membuat hidup mereka terpuruk,

mereka menjadi hilang tujuan dan akhirnya melakukan

hal-hal yang tidak bermanfaat dan merugikan diri mereka

sendiri. Kegagalan itu seolah menjadi pukulan keras

dalam hidup mereka. Proses yang direncanakan yang

memakan waktu lama hingga mempersiapkan segala hal yang

dibutuhkan, seolah-olah lenyap tidak ada hasil, yang

apabila ingin kembali harus memulai dari awal lagi.

Rencana yang tidak sesuai dengan kenyataan tersebut

tidak jarang menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan

bagi individu (Desmita, 2005). Mereka menjadi bingung

dengan pilihannya, sedangan untuk pilihan karir lain

mereka merasa tertinggal dari teman-teman sebayanya.

Berbeda individu berbeda pula cara menyikapi tekanan

dalam hidup. Tidak semua dari mereka yang gagal menjadi

polisi atau TNI kemudian menjadi terpuruk dan

bermasalah. Namun ada juga individu yang berusaha

sekuat tenaga untuk bangkit kembali dan menghadapi

kesulitan hidupnya dengan sikap yang positif (Sanni,

2009). Mereka terdorong untuk berusaha keluar dari

situasi-situasi sulit tersebut. Reaksi mereka

menunjukkan mereka mampu menyesuaikan dri dengan

keadaannya. Kegagalan itu tidak sepenuhnya menjadi

halangan bagi mereka untuk terus mengejar tujuan

hidupnya. Reivich & Shatte (2002) dalam bukunya “The

Resiliency Factor” resiliensi didefinisikan sebagai

kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap

kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam

kehidupan, bertahan dalam keadaan tertekan, dan

bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau

trauma yang dihadapi dalam kehidupannya.

Sebagian dari mereka berjuang dan bertahan dengan

keinginan mereka untuk menjadi polisi atau TNI dengan

tetap menjaga keadaan tubuhnya, banya berlatih, dan

memperbaiki kekurangan mereka yang telah membuatnya

gugur dalam seleksi. Mereka beraktivitas seperti biasa,

menganggap bahwa kegagalan tersebut merupakan batu

loncatan untuk dirinya memperbaiki diri agar bisa

mengejar impiannya tersebut. Ada pula yang langsung

mencari alternative lain, seperti kuliah dan

sebagainya. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah

ditimpa kemalangan ataupun tekanan yang berat bukanlah

sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan

adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal

dengan istilah resiliensi (Tugade, M. M., Fredrickson,

B. L. and Feldman Barrett, L, 2004).

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk dapat

bangkit dengan sekuat tenaga dan menghadapi kesulitan

hidupnya dengan sikap positif, bahkan mampu mengatasi

kesulitan dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang

positif (Goodheart & Worell, 2006). Dengan kemampuan

resilien ini remaja yang telah gagal dalam seleksi

polisi atau TNI terdorong untuk mengembangkan sikap

positif dalam dirinya. Ia menjadi kembali percaya diri

untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Resiliensi

membuat seseorang memandang penderitaan sebagai

tantangan, kegagalan sebagai awal keberhasilan, dan

keputusasaan menjadi kekuatan. Seseorang yang memiliki

resiliensi terdorong untuk berkembang dan menadi lebih

baik.

Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang yang disebut

sebagai individu yang resilien, yaitu mereka yang

dapat bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan

memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Putrantie

(dalam Menara Untung, 2008:12) Maka secara umum

resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang

untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi

tantangan atau kondisi yang terpuruk. Resilience

sebagai kapasitas individu untuk tetap bertahan dan

berkembang pada kondisi yang menekan (adverse conditions)

dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali

pulih dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008).

Kapasitas resiliensi itu sebenarnya dimiliki setiap

orang. artinya setiap individu itu terlahir dengan

kemampuan untuk bertahan dari penderitaan, kekecewaan,

atau tantangan. Namun kemampuan itu berkembang seseuai

dengan individu masing-masing. Hal inilah yang kemudian

membedakan tiap individu dalam menyikapi permasalahan.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dll, secara holistic, dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah (Moleong, 2005).

Peneliti menggunakan metode studi kasus sebagai desain

dalam penelitian ini. Alasan peneliti menggunakan studi

kasus karena metode studi kasus berperan sebagai

penyelidik yang memegang teguh keutuhan dan

kebermaknaan karakteristik pada kejadian dalam

kehidupan nyata (Yin, 2005). Penelitian studi kasus

adalah suatu penelitian kualitatif yang berusaha

menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh

pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu,

kelompok, atau situasi (Emzir, 2010).

Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah

resiliensi remaja yang gagal dalam seleksi polisi atau

TNI. Studi kasus digunakan karena peneliti ingin

memperoleh pengalaman utuh yang mendalam mengenai

bagaimana remaja yang gagal dalam seleksi tersebut

mampu menjadi individu yang resilien, termasuk faktor-

faktor apa saja yang mendukung resiliensi mereka.

Partisipan

Teknik perekrutan partisipan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah purposive sampling. Dalam teknik

ini, peneliti menetapkan kriteria-kriteria partisipan

terlebih dahulu kemudian memilih partisipan berdasarkan

kriteria tersebut. Purposive sampling adalah teknik

penentuan sampel dengan kriteria tertentu. Enam

partisipan berhasil direkrut, yang masing-masing

partisipan direkrut oleh anggota kelompok yang

diketahui bahwa mayoritas dari partisipan merupakan

teman peneliti. Semua partisipan adalah remaja yang

pernah gagal dalam seleksi POLRI/TNI. Partisipan

lainnya direkrut dengan menggunakan strategi bola salju

(snow ball), dimana peneliti eminta bantuan dari salah

satu partisipan untuk diperkenalkan kepada partisipan

yang lainnya. Semua partisipan adalah laki-laki dalam

rentang usia 17-21 tahun. Kriteria inklusi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah partisipan harus

seorang remaja yang gagal dalam seleksi polri sekurang-

kurangnya satu tahun berjalan waktu setelah mereka

gagal, yang telah melakukan resiliensi.

Pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam (depth

interview) yang bersifat semi-terstruktur, wawancara semi

terstruktur memungkinkan peneliti untuk menemukan

permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang

diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya

(Moleong, 2005). Wawancara dilakukan untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami

individu berkenaan dengan topic yang diteliti dan

bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu-isu lain

yang berkaitan dengan topic tersebut (Poewandari,

2001:75). Wawancara sebagian besar berlangsung dalam

satu jam. Semua partisipan di tempat yang berbeda,

partisipan yang berstatus sebagai mahasiswa

diwawancarai dikampus dan partisipan yang bukan

mahasiswa di wawancarai di rumah mereka. Semua

partisipan telah diberi penjelasan singkat tentang

penelitian dan diberi informasi tentang ak mereka untuk

dapat membatalkan partisipan setiap saat, serta diberi

tahu tentang kerahasiaan data dari hasil wawancara yang

telah direkam. Wawancara dipandu oleh pedoman wawancara

yang terdiri dari 12 pertanyaan terbuka. Wawancara

dimulai dengan pertanyaan mengenai cerita terkait

kegagalan partisipan dalam seleksi TNI/POLRI, diikuti

dengan pertanyaan mengenai permasalahan yang terjadi,

dan pertanaan yang mengungkap cara resiliensi mereka

setelah gagal dari tes seleksi TNI/POLRI

Teknik Analisis Data

Analisis tematik (AT) digunakan sebagai metode

analisis. AT adalah metode untuk ‘mengidentifikasi,

menganalisis, dan melaporkan pola-pola (tema) dalam

data’ (Braun dan Clarke, 2006: 79). AT merupakan suatu

proses yang digunakan dalam mengolah informasi

kualitatif, dan memungkinkan penerjemahan

gejala/informasi kualitatif menjadi data kualitatif

seperti yang diperlukan oleh peneliti (Boyatzis,1998

dalam Poerwandari 2001). AT digunakan sebagai metode

analisis karena metode ini memungkinkan peneliti untuk

terlibat dengan kerangka teori dalam rangka untuk

mendapatkan analisis data yang lebih mendalam . semua

wawancara direkam dan ditranskripsi. Semua transkripsi

dibaca berulang-ulang dan diberi perhatian yang sama

selama proses pengkodean. Kode dari semua transkripsi

diperiksa apakah mereka bisa dikelompokkan dalam tema

utama, akhirnya tema utama transkripsi masing-masing

diatur dalam satu rangkaian tema super-ordinat. Tema yang

diidentifikasi juga bersifat semantik dalam arti bahwa

tema-tema tersebut diidentifikasi dalam level permukaan

dari data. Tujuan interretasi dalam penelitian ini

adalah untuk mengatur dan meringkas data untuk

mengidentifikasi pola-pola yang kemudian diteropong

menggunakan teori untuk mendapatkan signifikansi mereka

dan makna yang lebih luas. Teknik yang dipakai dalam

penelitian ini adalah uji kredibilitas dengan

triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah teknik

pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.

Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data itu.

Triangulasi data dengan sumber berarti membandingkan

dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

dalam penelitian kualitaif (Patton, dalam Moleong,

2005). Hal tersebut dapat dicapai dengan jalan: (1)

membandingkan data hasil pengamatan dangan data hasil

wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang

di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara

pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-

orang tentang situasi penelitian dengan apa yang

dikatakan sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan

dan perspektif seorang dengan berbagai pendapat dan

pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berada,

orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara

dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Jadi triangulasi berarti cara yang terbaik untuk

menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan

yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan

data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari

berbagai pandangan. Denga kata lain bahwa dengan

triangulasi, peneliti dapat me-recheck temuannya dengan

jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode,

atau teori. Untuk itu maka peneliti dapat melakukannya

dengan jalan:

1. Mengajukan berbagai macam versi pertanyaan,

2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data,

3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan

kepercayaan dapat dilakukan

Teknik triangulasi ini dipakai kerena, penelitian

ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan

wawancara dan observasi sebagaii alat pengumpul

data.

Analisis

Ada lima tema utama super-ordinat yang berhasil

diidentifikasi dalam studi ini: alasan mengikuti

seleksi, kegagalan ketika seleksi, dampak tiak lolos

dalam seleksi polri, strategi resiliensi, alasan

melakukan reseliensi. Dari lima tema super-ordinat

tersebut, hanya tema ‘strategi resiliensi’ (yang

terdiri dari dua tema: Mendekat pada permasalahan,

dukungan) yang selanjutnya akan dianalisis. Alasan

peneliti memilih super-ordinat tersebut adalah karena

tema super-ordinat yang dipilih tersebut membahas inti

dari penelitian ini.

Strategi resiliensi

Hal utama yang menjadi fokus dari tema ini adalah untuk

mengeksplorasi terkait bagaimana cara-cara yang di

pakai oleh enam remaja yang pernah gagal dalam seleksi

TNI/POLRI untuk menghadapi kegagalan, bangkit dari

keterpurukan dan kekecewaan mereka. Seluruh partisipan

melaporkan bahwa mereka merasa kecewa ketika menghadapi

kenyataan bahwa mereka tidak lolos seleksi. Kekecewaan

atas kegagalan tersebut telah memunculkan coping strategies.

Coping strategi with near a problem

Kebanyakan partisipant melaporkan bahwa mereka ikhlas

menerima kegagalan dan akan berusaha lagi, mencoba lagi

tahun depan dengan persiapan yang lebih matang.

“Yang pertama itu menyiapkan dari awal, palingtidak satu tahun sebelumnya disiapkan dari segifisik, mental dan semuanya dan juga, mempersiapkandirilah, pokok e itulah.” (P1)

“Iya jelas mbak, nanti kalau saya jadi nyoba lagibakal saya persiapkan dengan matang.[…] Kan sayasudah tau soal-soal seperti apa yang dikeluarkandi tes akademik jadi bakal saya pelajari itu. Biarbisa lolos waktu tes akademik.” (P2)

“[…]. Masa sedih terus, ya sudah senyum sajaketawa saja ikhlaskan, saya selalu percaya mbak

kalau Tuhan punya rencana yang lebih baik buatsaya nanti.” (P2)

“Tidak saya pikir mas, […] kembali seperti biasa.Jalani keseharian seperti biasa[…]” (P3)

“Saya cenderung lebih senang sih. Saya itutermasuk orang yang beruntung ya, telahmendapatkan kegagalan. Gak semua orang mengalamikegagalan. […]” (P4)

“[…] dan saya mempersiapkan lagi lebih matangdalam mengerjakan sesuatu.” (P5).

“Aku memandang hidup ku yang sekarang dankedepannya, aku kembali lagi seperti tadi, mungkinrejekiku itu gak disitu, masih banyak sesuatu yangkita lakukan selain itu […]” (P6)

Para partisipan memaknai kegagalan sebagai pengalamanyang mereka jadikan pembelajaran, supaya kesalahan dankekurangan pada kegagalan seleksti TNI/POLRI tahun yanglalu tidak terulang kembali di tahun depan saat merekamencoba mendaftarkan diri lagi.

Coping strategies with learning problem

Mempelajari keadaan dan mencari alternatif lain yangkebanyakan dilaporkan oleh partisipan dalam menghadapikegagalannya adalah dengan mempelajari masalah danmembuat tujuan baru.

“Itu, cepat lulus, cepat bekerja, pengen kesupervisor atau menjadi HRD” (P1)

“Pengen cepet lulus kuliah terus nyari kerja yangenak sesuai bidang saya mbak, ya olahraga ini.[…]” (P2)

“Kalau saya sekarang itu ya mas, mau daftar itu yamau, tapi saya mau fokus dulu sama kuliah. […]”(P3)

[…] setelah lulus mungkin saya akan daftar lagi,dan kalau ditolak saya berharap mendapatkanpekerjaan yang yang pantas, serta belajar daripengalaman yang sudah saya alami, […]” (P5)

“[…] aku optimis ke jalan yang lain. Aku merasaTuhan punya rencana lain aku udah berusahaberulangkali tapi gagal, emang gak bisa, ya udahberarti punya rencana lain buat kedepannya buataku.” (P6)

“Karena sudah empat kali juga. Jadi saya fokuspada kuliah saya juga sekarang. Mungkin sekarangsaya fokus pada kuliah, dan mungkin saya bisamencoba lagi setelah lulus. […]” (P4)

“Semua tidak bisa dipaksakan, kita berusaha kalaugak ada factor X itu ya gak jadi, bahkan adafactor X pun belum tentu jadi. Garis tangan tiaporang kan sudah ada yang ngatur. Jadi ya sayapasrah aja. Dinikmati aja hidup ini.” (P3).

Faktor X adalah kebanyakan faktor yang mebuatpartisipan gagal, faktor X yang dimaksud adalah uangpungli sebagai syarat lolos seleksi.

Support by around people

Dukungan orang-orang sekitar partisipan berdampak pulapada kecepatan resiliensinya, kebanyakan partisipan

melaporkan mendapatkan dukungan untuk bangkit kembali.Baik itu dukungan dari orang tua, teman dan pacar.

“Orang tua mungkin juga kecewa ya mbak karenaharapan biar anaknya jadi polisi itu gagal tapibeliau berdua sampai sekarang masih terus memberisemangat dan support kok mbak […]” (P2)

“Mereka ya ngomong, “kejadian ini jadikan tolakukur untuk ke depannya kalau kamu ikut lagi”. Gituaja pesannya […]” (P3)

“gak popo wes (tidak masalah) kuliah ae, kamu lhobisa kuliah dan mendapat ilmu disini. Gak masalah,tetep semangat” […] (P4)

“[…] aku menerima nasihat dari kakak aku, kasaranjawane ngene om dalan sing gede ora nang kunu tok(singkatnya jalan itu banyak) ya sudah setelah itubaru sugesti diri sendiri, gini sing iso mangan ki gakPNS tok (yang bisa makan tidak hanya PNS saja),gak polisi tok, nah dari situ muncul optimis lagibuat usaha yang mungkin bisa kita tembus […]” (P6)

“[…] aku gak pernah disalahkan, mereka mensupportaku kayak gini “umur kamu masih muda, masih adakesempatan selanjutnya […]” (P6)

Pembahasan

Penelitian ini di fokuskan pada remaja yang pernah

gagal dalam seleksi TNI/POLRI. Sampel penelitian ini

tidak dapat dilihat sebagai wakil dari semua remaja

yang pernah gagal dalm seleksi. Namun dalam riset

kualitatif, sampel representatif tidak selalu

diperlukan jika peneliti berupaya untuk menjelajahi

kompleksitas topik tertentu yang bersifat spesifik

(Smith, 2003). Bahkan, sampel homogen kecil dalam

penelitian ini memungkinkan peneliti untuk

mengeksplorasi kekayaan dan kompleksifitas dari

strategi resiliensi para partisipan secara mendalam dan

rinci.

Lima dari enam partisipan melaporkan bahwa mereka masih

tetap berkeinginan untuk mencoba lagi, mereka masih

ingin mewujudkan cita-citanya sebagai seorang polisi

ataupun TNI. Lima dari partisipan tersebut melaporkan

akan berusaha dengan mempersiapkan diri secara lebih

matang daripada sebelumnya. Dengan belajar dari

pengalaman kegagalan mereka, partisipan melaporkan

memiliki keyakinan yang lebih untuk lolos dalam seleksi

dari pada sebelumnya, mungkin karena mereka merasa

mempunyai pengalaman terkait tes-tes seleksi, sehingga

mereka mereasa tahu akan kekurangan masing-masing dan

berusaha untuk menyempurnakan kekurangannya tersebut.

Lima partisipan melaporkan bahwa ia menerima kegagalan

dengan ikhlas. Menurut interpretasi peneliti, ikhlas

yang dilaporkan partisipan hanyalah sebuah defense

sebagai bentuk sistem pertahanan diri demi mendapatkan

keseimbangan psikologis (Ego). Block (dalam Chandra,

2009: 2) dengan nama ego resilience, yang diartikan sebagai

kemampuan umum yang melibatkan penyesuaian diri yang

tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekana internal

maupun eksternal. Secara spesifik, ego resiliensi

adalah satu dari sumber kepribadian yang berfungsi

membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun

jangka panjang, dimana sumber daya tersebut

memungkinkan untuk memodifikasi tingkat karakter dan

cara mengekspresikan pengendalian ego yang mereka

lakukan. Partisipan berusaha menekan perasaan tidak

menyenangkan kedalam alam bawah sadar mereka, perasaan

tidak menyenangkan tersebut tidak lain adalah perasaan

kecewa atas kegagalan yang pernah mereka alami.

Bagaimanapun juga peneliti yakin perasaan kecewa pasti

akan muncul kembali apabila mereka masih dalam keadaan

tidak nyaman dengan hidup mereka sampai keinginan untuk

menjadi polisi terpenuhi. Hal ini didukung oleh lima

partisipan yang melaporkan bahwa mereka masih ingin

mencoba lagi tahun depan. Bagi peneliti pernyataan

ingin mencoba tahun depan adalah sebuah bentuk

ketidakpuasan akan hasil yang ia capai, dan peneliti

percaya bahwa partisipan akan selalu memikirkannya.

Strategi yang digunakan selanjutnya adalah mempelajari

masalah dan berusaha membuat tujuan lain. Semua

partisipan melaporkan bahwa ia berusaha mempelajari

masalah yang terjadi, termasuk melakukan instropeksi

diri terkait kemampuan-kemampuan yang dimiliki.

Kemudian berlanjut pada pengambilan keputusan terkait

tujuan hidup yang baru, yang didukung oleh kemampuan-

kemampuan yang dimilikinya saat ini. Pada tahap ini

partisipan merasa bahwa mereka cita-cita sebagai

polisi/TNI tidak sesuai dengan mereka. Mereka mulai

menginstropeksi diri dan belajar, sekaligus berusaha

mencari tahu passion yang dimilikinya guna mendapatkan

keyakinan bahwa memang itulah tujuan hidupnya, tujuan

yang sesuai dengan kemampuannya. Pada posisi seperti

ini partisipan sebenarnya mulai ragu dan tidak yakin

pada keberhasilannya untuk lolos dalam seleksi

TNI/POLRI. Sehingga mereka mencari alternatif/cadangan

tujuan sebagai bentuk resiliensinya.

Cepat lembatnya resiliensi tidak hanya di pengaruhi

oleh faktor internal akan tetapi dukungan faktor

eksternal yang juga berpengaruh dalam kecepatan dan

efektifitas resiliensi itu sendiri. Windle (dalam

Reivich, K & Shatte, A. 2002:24) menyebut bahwa

resiliensi muncul dari interaksi yang signifikan antara

faktor resiko dan faktor pendukungnya (eksternal).

Faktor internal berkaitan dengan bagaimana individu

memaknai sebuah peristiwa sedangkan faktor internal

adalah terkait bagaimana orang-orang mempengaruhi

individu. Semua partisipan melaporkan bahwa ia mendapat

dukungan dari orang-orang sekitar, dan hal itu membantu

menyadarkan mereka untuk bangkit dari keterpurukan.

Daftr Pustaka

Braun, Virginia and Clarke, Victoria (2006).

Using Thematic Analysis in Psychology.

Qualitative Research in Psychology, 3, 77-101.

Candra, S. (2009). Resiliensi. download tanggal 12 juni

2014, diakses dari

http:///rumah belajarpsikologi.com/indeks.php/resil

iensi.html

Desmita, (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Emzir. (2010). Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data.

Jakarta: Rajawali Press

Goodheart, C. D. (2006). An integrated view of girls’

and women’s health: Psychology, physiology, and

society. In J. Worrell and C. D. Goodheart (Eds.),

Handbook of girls’ and women’s psychological health (pp. 3-

14). Oxford: Oxford University Press.

Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan: Suatu

pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta:

Erlangga

Moleong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan

ke dua puluh satu. Bandung: PT Rosdakarya Offset

Menara, U. (2008). Hubungan antara self efficacy dan resilience

pada mahasiswa psikologi UIN Malang. Skripsi pada strata

1 fakultas Psikologi UIN Maliki Malang: tidak

diterbitkan

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk

Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga

Pengembangan Sarana Pengukuran Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia.

Santrock, Jhon, W. (2003). Life-Span development:

Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The resilience factor:

7 skills for overcoming life’s inevitable

obstacles. New York: Random House, Inc.

Sanni, Indah Kartika. (2009). Hubungan dukungan sosial

dengan resiliensi pada remaja SMU 1 Pangkah Tengah [On-

Line]

http://rac.uii.ac.id/server/document/Private/

2010080403355403320092- hubungan%20antra%20dukungan

%20sosial...pdf

Tanggal Akses 14 Juni 2014

Smith, J. A. and Eatough, V. (2007). Interpretative

Phenomenological Analysis. In E. Lyons And A.

Coyle (Eds). Analysing Qualitative Data In Psychology (pp.

35-50). London: Sage

Sutjipto, (2002). Minat Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA)

terhadap Kewirausahaan.[On-line]

Http://www.depdiknas.go.id/jurnal/45/sutjipto.htm

Di akses tanggal 13 Juni 2014

Tugade, M. M., Fredrickson, B. L. and Feldman Barrett,

L. (2004), Psychological Resilience and Positive

Emotional Granularity: Examining the Benefits of

Positive Emotions on Coping and Health. Journal of

Personality, 72: 1161–1190.

Yin K. Robert. (2005). Studi Kasus, Desain dan Metode.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.