pola konversi penggunaan lahan untuk zonasi ketahanan ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
Transcript of pola konversi penggunaan lahan untuk zonasi ketahanan ...
1
POLA KONVERSI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK ZONASI
KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN DI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA, INDONESIA
Oleh:
Rachmat Martanto
Yendi Sufyendi
Sri Kistiyah
KEMENTRIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2020
i
POLA KONVERSI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK ZONASI
KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN DI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA, INDONESIA
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
Rachmat Martanto
Yendi Sufyendi
Sri Kistiyah
Telah diseminarkan pada Seminar Hasil Penelitian pada Tanggal ...... November 2020 di hadapan Reviewer.
Mengetahui Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
M. Nazir Salim NIP. 197706012011011001
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ………......................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ................................................................................. 4
1.3 Tujuan penelitian.................................................................................... 4
1.4 Kegunaan/manfaat penelitian.................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6
2.1 Penelitian terdahulu……………………………………………............ 6
2.2 Hipotesis ................................................................................................ 8
III.METODE PENELITIAN ............................................................................... 9
3.1 Pola konversi penggunaan lahan ......................................................... 10
3.2 Ketahanan pangan berkelanjutan …....................................................... 11
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 15
4.1. Pola konversi penggunaan lahan ........................................................... 15
4.2. Ketahanan pangan ................................................................................. 17
V. KESIMPULAN ............................................................................................. 22
IV. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23
LAMPIRAN ........................................................................................................ 24
3
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Konversi penggunaan lahan merupakan fenomena yang banyak terjadi di dalam
kehidupan manusia saat ini, hal ini terjadi karena manusia selain membutuhkan pangan juga
membutuhkan lahan sebagai penopang kehidapan akan papan atau perumahan (Satria et al,
2018). Kebutuhan lahan sebagai bagian dari ruang untuk perumahan di muka bumi adalah
sarana manusia untuk melaksanakan segala aktivitasnya. Lahan merupakan kebutuhan dasar
bagi kelangsungan hidup manusia secara hayati (biotik) dan fisik untuk pembangunan (abiotik)
secara berkelanjutan (Soemarwoto, 1995). Manusia sebagai makluk hidup memerlukan lahan
sebagai tempat tumbuhnya tanaman untuk menopang kebutuhan pangan, sedangkan lahan juga
diperlukan untuk kebutuhan akan papan (perumahan), pangan dan papan merupakan dua faktor
yang saling bertentangan dalam kebutuhan lahan, karena keberlangsungan pangan selalu
tergerus dengan kebutuhan papan (perumahan).
Lahan pertanian yang ada untuk tanaman pangan, khususnya sawah adalah sangat
penting untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi 258,7 juta orang di Indonesia pada tahun
2017, sedangkan peningkatan populasi sekitar 3,4 juta orang setiap tahun, dan konversi lahan
sawah menjadi lahan non-pertanian dengan laju sekitar 96.500 ha (Mulyani, 2017). Sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk yang cukup besar di Indonesia menyebabkan
meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai keperluan termasuk untuk memproduksi bahan
pangan. Tekanan penduduk yang besar dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan industri
menimbulkan kompetisi penggunaan lahan di berbagai sektor yang tidak terkendali termasuk
sektor pertanian.
Sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara sosial-
ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke
penggunaan non pertanian akan menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek pembangunan.
Secara garis besar manfaat lahan pertanian dapat dibagi atas 2 kategori sebagai berikut: 1)
manfaat tidak langsung dan 2) manfaat langsung. Manfaat tidak langsung yaitu berbagai
kegiatan yang tercipta walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang
dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satu contohnya adalah terpeliharanya keragaman hayati
atau keberadaan beberapa jenis tanaman tertentu yang belum diketahui manfaatnya secara
langsung, tetapi di masa yang akan datang akan sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan
manusia (kelestarian alam dan lingkungan). Manfaat langsung dapat pula disebut sebagai use
values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada
sumberdaya lahan pertanian, sehingga dapat menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi dari
4
daerah tersebut. Namun demikian keinginan manusia untuk memperbaiki kehidupan ekonomi
tidak berarti manusia boleh mengorbankan kelestarian alam (Juhadi, 2007).
Budidaya pertanian (produktivitas lahan) merupakan pemanfaatan lahan secara
langsung yang paling aman karena akan menjaga ekosisten lingkungan. Beberapa faktor
pembatas terhadap lingkungan perlu diperhitungkan agar pengembangan wilayah membawa
hasil yang berkelanjutan (lestari). Pencegahan terhadap perubahan lingkungan berupa konversi
penggunaan lahan diharapkan dapat menekan urbanisasi untuk peningkatan ketahanan pangan.
Kurangnya lapangan kerja di pedesaan sebagai petani dapat mendorong terjadinya urbanisasi
dan urbanisasi seringkali menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi di daerah perkotaan
(Soerjani dkk, 2001)
Perkembangan pembangunan yang pesat dan tingginya laju pertumbuhan penduduk
merupakan faktor pendorong meningkatnya kebutuhan akan lahan baik di perkotaan maupun
di pedesaan, yang pada akhirnya akan terjadi penurunan ketahanan pangan di daerah tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan ketahanan pangan dipengaruhi oleh
konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non pertanian artinya semakin banyak
konversi penggunaan lahan maka ketahanan pangan semakin menurun (Irawan, 2005;
Sihaloho, 2007 dan Astuti, 2011)
Pola konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian merupakan salah satu
komponen dari tata-ruang wilayah dan pada akhirnya turut menentukan ketahanan pangan.
Konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian di Indonesia cenderung berpola
mengelompok (clustered), karena sebagian besar konversi penggunaan lahan dari pertanian ke
non pertanian mempunyai sifat menular atau ikutan. Ketanahan pangan sangat berpengaruh
terhadap konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian yang berpola ikutan
tersebut (Irawan, 2005: Martanto and Handayani, 2020). Konversi penggunaan lahan dari
pertanian ke non pertanian yang berpola acak (random) dan seragam (regular) cenderung akan
mempunyai ketahanan pangan yang berbeda dibandingkan dengan yang mengelompok.
Pada umumnya akibat pembangunan, lahan yang tersedia di daerah perkotaan
maupun pedesaan semakin terbatas. Hal ini menimbulkan permasalahan lahan perkotaan dan
pedesaan, diantaranya peningkatan harga tanah dan penurunan ketahanan pangan yang tak
terkendali dan terjadinya konflik berbagai kepentingan. Kebutuhan lahan bagi industri dan
berbagai kegiatan ekonomi bersaing dengan kebutuhan tanah untuk perumahan yang terus
meningkat (Sari dkk, 2010).
Terjadinya laju perkembangan pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta
berdampak pada konversi penggunaan lahan, terutama perubahan lahan pertanian menjadi non
5
pertanian. Menurut Ritohardoyo (2009) bahwa lingkungan identik dengan lahan, aktivitas
manusia tidak dapat dilepaskan dengan lahan, baik lahan untuk budidaya pertanian,
pemukiman, maupun untuk industri. Aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan,
maka lahan untuk budidaya pertanian adalah foktor utama, namun konversi penggunaan lahan
selalu terjadi pada lahan budidaya pertanian.
Rencana pembangunan yang dicanangkan pemerintah pada hakekatnya merupakan
usaha pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk dilaksanakan secara sadar
dan bijaksana, sehingga diharapkan setiap tindakan manusia tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan. Namun kenyataannya, konversi penggunaan lahan pertanian memberikan dampak
yang kurang baik terhadap lingkungan yang berakibat terjadinya penurunan ketahanan pangan
(Martanto, 2020)
Sumberdaya alam berupa tanah (lahan) dan air yang ada dapat digunakan untuk
mendapatkan produktivitas pertanian, khususnya beras baik secara ekstensifikasi maupun
secara intensifikasi. Daerah Istimewa Yogyakarta tidak memungkinkan dilakukan peningkatan
produksi pertanian melalui ekstensifikasi karena Daerah Istimewa Yogyakarta penduduknya
dikelompokkan sebagai daerah sangat padat (Badan Pertanahan Nasional RI, 2009). Usaha
yang paling mungkin dilakukan untuk peningkatan produksi pertanian di Daerah Istimewa
Yogyakarta yaitu dengan intensifikasi, salah satunya dengan memperhatikan perencanaan
penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Kepemilikan lahan pertanian tidak dapat menjamin petani untuk dapat menghidupi
keluarganya, sehingga banyak petani menjual lahan karena lahan mempunyai nilai yang tinggi.
Petani banyak yang beralih profesi karena nilai lahan yang tinggi untuk menjualnya, pembeli
mempunyai kecenderungan mengkonversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Beberapa
pendapat menyimpulkan bahwa konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non
pertanian merupakan proses konversi secara ikutan, artinya apabila terdapat konversi
penggunaan lahan di suatu lokasi, maka akan diikuti beberapa konversi berikutnya yang
sifatnya ikutan dan terdapat hubungan negatip antara konversi lahan dari lahan pertanian ke
non pertanian dan ketahanan pangan, semakin banyak konversi penggunaan lahan dari lahan
pertanian ke non pertanian maka semakin turun ketahanan pangannya (Irawan, 2005; Astuti,
2011)
Salah satu permasalahan pembangunan yang dihadapi Indonesia termasuk juga di
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah peningkatan jumlah penduduk di setiap tahunnya.
Permasalahan tersebut secara tidak langsung memicu terjadinya konversi penggunaan lahan
berpola ikutan karena kebutuhan lahan oleh penduduk. Peningkatan pertambahan penduduk
6
mengakibatkan terjadinya peningkatan pembangunan untuk perumahan dan industri.
Pembangunan perumahan dan industri secara bersamaan akan menurunkan ketahanan pangan
karena terjadinya konversi penggunan lahan dari pertanian ke non pertanian.
1.2 Rumusan masalah
Sehubungan dengan hal tersebut di atas kiranya perlu dirumuskan mengenai
permasalahan penelitian sebagai berikut.
1. Apakah konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Daerah Istimewa
Yogyakarta terjadi berpola ikutan, randon, atau seragam?
2. Apakah faktor laju konversi penggunaan lahan, laju kepadatan penduduk, dan
produktivitas lahan dapat untuk menentukan arahan zonasi ketahanan pangan?
1.3 Tujuan penelitian
Dari perumusan masalah yang berkaitan dengan judul di atas, maka penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
1. menganalisis pola konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Daerah
Istimewa Yogyakarta;
2. menganalisis faktor pola konversi penggunaan lahan, kepadatan penduduk,
produktivitas lahan untuk zonasi ketahanan pangan berbagai bentuk.
1.4 Kegunaan/manfaat penelitian
Kegunaan penelitian pada umumnya dapat menyangkut manfaat penelitian bagi ilmu
pengetahuan khususnya zonasi nilai lahan di daerah penelitian.
1. Kegunaan penelitian bagi ilmu pengetahuan, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemikiran serta wawasan terhadap lingkup studi hubungan timbal balik antara
konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian terhadap zonazi ketahanan pangan.
Di samping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan perbendaharaan
kepustakaan tentang dampak suatu kegiatan pembangunan berupa konversi penggunaan
lahan terhadap zonasi ketahanan pangan untuk perencanaan tata ruanag wilayah.
2. Kegunaan penelitian bagi pembangunan pertanahan yaitu dapat memberikan arahan
pemanfaatan zonasi ketahanan pangan terhadap pemanfaatan lahan sesuai dengan
peruntukannya.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian terdahulu
Tanah (lahan) merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup hayati (biotik),
manusia sebagai penentu pembangunan harus dapat mempertahan lingkungan fisik (abitik)
secara berkelanjutan. Manusia juga mempunyai kemampuan untuk memilih, baik memilih
papan (rumah), sandang (pakaian) maupun pangan. Memilih merupakan ekspresi manusia
yang berkaitan dengan kebudayaan atau culture (Soemarwoto, 1995). Ketersediaan pangan
secara berkelanjutan adalah kondisi lingkungan berkaitan dengan fisik tanah (lingkungan
abiotik), kebutuhan pangan dan ketersediaan papan (rumah) merupakan dua faktor yang saling
bertentangan dalam kebutuhan tanah, disatu sisi ingin mempertahankan bagi kelangsungan
swasembada pangan, sisi lainnya dikonversi lahan dari pertanian ke non pertanian untuk
kebutuhan papan (perumahan dan industri).
Sumberdaya tanah pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara 7ocial-
ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke
penggunaan non pertanian akan menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek pembangunan.
Secara garis besar manfaat lahan pertanian dapat dibagi atas 2 kategori sebagai berikut: 1)
manfaat tidak langsung dan 2) manfaat langsung. Manfaat tidak langsung yaitu berbagai
manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan
eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satu contohnya adalah terpeliharanya
keragaman hayati atau keberadaan beberapa jenis tanaman tertentu belum diketahui
manfaatnya, tetapi di masa yang akan 7ocial mungkin akan sangat berguna untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Manfaat langsung dapat pula disebut sebagai use values, manfaat ini
dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada sumberdaya lahan pertanian,
sehingga dapat menggambarkan kehidupan 7ocial-ekonomi dari daerah tersebut, namun
demikian keinginan manusia untuk memperbaiki kehidupan ekonomi tidak berarti manusia
boleh mengorbankan kelestarian alam. (Munasinghe, 1992, dan Juhadi, 2007). Menurut
Callaghan (1992), manfaat langsung dari lahan sebagai use values (nilai penggunaan) pada
tanah pertanian dapat berupa 2 jenis manfaat berikut.
1. Luaran yang dapat dipasarkan, yaitu berbagai jenis produk dengan nilai terukur secara
7ocial7 dan diekspresikan dalam harga output yaitu berbagai produk pertanian dari kegiatan
eksploitasi pertanian termasuk biomass dari pasca panen (daun, jerami dan kayu). Jenis
manfaat ini bersifat individual, dalam pengertian manfaat yang diperoleh secara legal hanya
dapat dinikmati oleh para pemilik lahan.
8
2. Luaran dengan nilai tidak terukur secara jenis manfaat ini tidak hanya dapat dinikmati oleh
pemilik lahan tetapi dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas atau bersifat komunal.
Contohnya yaitu lahan sebagai media 8ocial8 (fisik) merupakan tempat tumbuhnya
tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan (swsembada pangan), wahana bagi
berkembangnya tradisi dan budaya pedesaan (culture).
Budidaya pertanian (produktivitas lahan) merupakan pemanfaatan lahan yang paling
aman karena akan menjaga ekosisten lingkungan, beberapa 8ocial pembatas terhadap
lingkungan perlu diperhitungkan agar pembangunan membawa hasil yang berkelanjutan
(lestari). Pencegahan terhadap perubahan lingkungan berupa konversi penggunaan lahan dapat
menekan urbanisasi, kurangnya lapangan kerja di pedesaan sebagai petani dapat mendorong
terjadinya urbanisasi dan urbanisasi seringkali menimbulkan berbagai masalah 8ocial-ekonomi
di daerah perkotaan (Soerjani, dkk., 2001)
Badan Pertanahan Nasional sejak tahun 1991 sudah menegaskan bahwa penataan
tanah sangat penting agar sumberdaya/kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat
dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat, dalam hal ini penataan tanah mencakup rencana umum
dan rencana detil mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan lahan, kewajiban
memelihara dan melestarikannya (Badan Pertanahan Nasional, 1992). Dengan demikian
Pemerintah sebenarnya telah membuat rencana umum tata ruang suatu daerah/wilayah sesuai
dengan kemampuan dan kesesuaian tanah, dengan tujuan pemanfaatan tanah dan air dapat
dilakukan secara optimal, namun pada kenyataannya banyak penggunaan lahan tidak sesuai
dengan peruntukannya.
Lahan pertanian (sawah) mempunyai peran utama dalam menjaga stabilitas suplai
pangan khususnya beras, meningkatkan fungsi ekologis, menciptakan aktivitas sosial dan
ekonomi masyarakat pedesaan, serta wahana pembentuk peradaban masyarakat berbasis
agraris (Susanto 2008). Namun keberadaan lahan mengalami berbagai tekanan, sehingga
luasnya mengalami penurunan per tahunnya, terutama di Jawa. Tanah sawah juga merupakan
salah satu sektor yang paling vital dalam kehidupan untuk menyangga sektor produksi pangan,
sektor ini tergantung pada lahan, baik secara jumlah maupun secara mutu kesuburannya.
Kebutuhan pangan melalui produksi pangan terutama padi di kemudian sangat diperlukan, hal
tersebut diperlukan sebanyak mungkin lahan yang subur. Lahan subur untuk produksi pangan
banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, oleh karena itu sangatlah ironis apabila lahan
pertanian yang subur di Pulau Jawa dan Bali digusur dan dikonversi penggunaan tanahnya dari
tanah pertanian menjadi tanah untuk pemukiman maupun industri (Bappenas, 2006).
9
Ketahanan pangan (produktivitas lahan) merupakan cerminan dari masyarakat secara
social-ekonomi, kepemilikan lahan pertanian tidak dapat menjamin petani untuk dapat
menghidupi keluarganya, sehingga banyak petani menjual lahannya karena lahan tersebut
mempunyai nilai tawar yang tinggi. Petani banyak yang beralih profesi karena nilai tawar lahan
yang tinggi untuk menjualnya, pembeli mempunyai kecenderungan mengkonversi lahan
pertanian menjadi non pertanian. Beberapa pendapat menyimpulkan bahwa konversi
penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non pertanian dan biasanya merupakan proses
konversi secara ikutan, artinya apabila terdapat konversi penggunaan tanah di suatu lokasi,
maka akan diikuti beberapa konversi berikutnya yang sifatnya ikutan dan terdapat hubungan
positip antara konversi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian dan nilai tawar lahan,
semakin banyak konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non pertanian maka
semakin tinggi pula nilai lahannya (Irawan, 2005; Sihaloho, Dharmawan, dan Rusli, 2007;
Rohmadiani, 2011; Astuti, 2011)
2.2 Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas , maka kemudian diajukan hipotesis sebagai berikut.
1. Konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian setiap Kabupaten/Kota di Daerah
Istimewa Yogyakarta dapat berpola ikutan.
2. Laju konversi penggunaan lahan, laju pertumbuhan penduduk, produktivitas lahan, dapat
ikut menentukan arahan zonasi ketahanan pangan di daerah Istimewa Yogyakartra.
10
III. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menentukan populasi
penelitian diperlukan bantuan citra satelit. Citra satelit yang digunakan adalah citra satelit
Landsat yang mempunyai resolusi sekitar spasial 30 meter, dan cukup baik untuk memetakan
penggunaan lahan di permukaan bumi dengan skala 1 : 25.000 (Jalzarika, 2008). Populasi yang
dimaksud adalah seluruh kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakart yang telah mengalami
konversi penggunaan lahan menjadi non pertanian dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019
(Citra Satelit LANDSAT Tahun 2009 dan Tahun 2019 pada Lampiran 1 dan Lampiran 2)
Sebagai pertimbangan daerah penelitian yaitu bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta cukup
tinggi terjadi konversi penggunaan lahan pertanian dari pertanian ke non pertanian karena
disamping sebagai perkembangan perkotaan di Pulau Jawa juga sebagai salah satu daerah
kunjungan wisata di Indonesia. Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara sensus
atau semua populasi penelitian diambil/diamati sebagai sampel (obyek penelitian), karena tiap
populasi/sampel mempunyai derajat dan kualifikasinya hampir sama atau setara, sehingga
semua sampel memiliki peluang sebagai sampel. Untuk lebih jelasnya peta Administrasi
sampai dengan tingkat kecamatan dapat dilihat pada Gambar 1 berikur.
Gamabar 1. Peta wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah pertanian di Daerah Istimewa memiliki peran strategis dalam mendukung
produktivitas pangan di Indonesia. Lahan pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta juga
memiliki karakteristik yang kompleks, baik dari segi fisik lahan, kondisi sosial-ekonomi, dan
masyarakat.
11
Data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok
berdasarkan tujuan penelitian sebagai berikut.
3.1 Pola konversi penggunaan lahan
Pola konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian pada penelitian ini dianalisis
pada tingkat kabupaten/kota dengan alasan bahwa tata-ruang wilayah di Indonesia
dilakukan dan diawali pada tingkat kabupaten/kota. Pola konversi penggunaan lahan
pertanian setiap kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakata didapat dengan
menghitung jarak pada setiap lokasi konversi penggunaan lahan melalui peta konversi
penggunaan lahan hasil interpretasi Citra Satelit Landsat. Kemudian dianalisis dengan
Continum Nearest Neighbour (CNN). Konversi penggunaan lahan hanya dibedakan dari
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019.
CNN ini digunakan untuk menentukan pola sebaran konversi penggunaan lahan apakah
mengikuti pola mengelompok, random atau seragam yang ditunjukkan dari besarnya nilai
Z atau Z-score (Novio et al, 2020). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis tetangga terdekat, dengan
beberapa tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu Mengumpulkan data
yang dibutuhkan untuk penelitian, menentukan batas-batas yang akan diteliti, mengubah
pola distribusi objek menjadi pola distribusi titik, memberikan nomor urut setiap titik
untuk memudahkan analisis, dan memberikan jarak terdekat, yaitu jarak dalam garis lurus
antara satu titik dengan titik lain yang merupakan tetangga terdekat dan dicatat besarnya
jarak tersebut. Selanjutnya untuk mengetahui pola permukiman menggunakan analisis data
menggunakan metode analisis tetangga terdekat dengan rumus sebagai berikut:
j
jZ = ……………………………………………….. (1)
Z : Nilai penyebaran Nearest Neighbour
uj : jarak rerata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangganya yang terdekat;
hj : jarak rerata yang diperoleh bila semua titik mempunyai pola random =1
2 p
p: kepadatan titik dalam tiap km2yaitu jumlah titik (n) dibagi dengan luas wilayah dalam km2(A).
sehingga menjadi :A
n.
Hasil perhitrungan Nilai Z menurut Novio dkk (2020) dinterpretasikan dengan
Continum Nearest Neighbour Analysis seperti pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pengelompokan sebaran konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non
pertanian berdasarkan nilai Z
12
No. Pola Z
1 Ikutan (mengelompok) < -1,65
2 Acak (Random) ≥-1,65 - < 1.65
3 Seragam ≥ 1.65
Untuk mempermudah menghitung pola konversi penggunaan lahan tiap kabupaten digunakan
fasilitas rumus (1) yang ada pada ArcGIS.
3.2 Ketahanan pangan berkelanjutan
Untuk mengetahui ketahanan pangan perlu adanya perhitungan yang saling berkaitan
yaitu: a) laju konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian dan b) laju
pertambahan penduduk karena penduduk perlu lahan untuk konsumsi makan setiap harinya.
a. Laju konversi lahan pertanian ke non pertanian didapat dengan bantuan Citra Satelit Lansat
akan didapatkan konversi lahan pertanian ke non pertanian tiap kecamatan.
b. Laju pertambahan penduduk akan didapatkan kebutuhan lahan akibat pertambahan
penduduk sebagai akibat lahan menghasilkan bahan pangan untuk konsumsi penduduk,
faktor yang sangat dominan dalan ketahanan pangan akibat konsumsi pangan oleh penduduk
adalah ketersediaan lahan, jumlah penduduk dan produktivitas lahan terhadap padi sawah
oleh Martanto dan Handayani (2020) dirumuskan sebagai berikut:
)kg/jiwa/th ( satu tahun dalampenduduk tiapberas konsumsi rerata
(kg/th) satu tahun dalamlahan produksiP =
Atau
K
R) x PlPr x x (L P=
...............................................(2)
P = jumlah penduduk (jiwa);
L= luas lahan (ha);
Pr = produktivitas lahan (kg/ha);
Pl = jumlah penanaman padi dalam setahun;
R = rendemen padi (dalam 1/100);
K = rerata konsumsi beras per jiwa dalam setahun (kg/jiwa/th).
Tahapan pendugaan ketahan pangan dilakukan dengan cara menyusun (membangun)
prediksi mathematik berdasarkan pengamatan masa lalu. Alasan penggunaan prediksi adalah
untuk perencanaan penggunaan lahan menuju lahan berkelanjutan (ketahanan pangan).
Prediksi variabel luas lahan pertanian, produktivitas lahan, tingkat swasembada beras dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode time series analysis. Time series adalah
sekumpulan pengamatan yang dibentuk secara berurutan berdasarkan waktu tertentu (Wei,
13
1990), time series dapat digunakan untuk melakukan peramalan nilai yang akan datang baik
untuk jangka panjang maupun jangka pendek berdasarkan pengamatan waktu di masa lalu.
Pengurangan luas lahan sawah bersifat permanen, hal ini menyebabkan masalah
ketahanan pangan yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu
tertentu secara time series (tahun ke 0 hingga tahun ke n) akan bersifat kumulatif. Disamping
itu, pertambahan penduduk atau peningkatan kepadatan penduduk memerlukan lahan untuk
memenuhi kebutuhan pangan (lahan pertanian) dan lahan sebagai tempat tinggal (lahan non
pertanian). Dalam memenuhi kebutuhan pangan di suatu daerah diharapkan dapat terpenuhi
secara swasembada pangan (ketahanan pangan), namun demikian bila tak mencukupi dapat
didatangkan (impor) dari daerah lain. Laju perubahan penggunaan lahan dan laju pertambahan
penduduk merupakan faktor atau variabel yang saling menguatkan terhadap penyempitan lahan
atau bisa dikatakan bahwa laju perubahan penggunaan lahan dan laju pertambahan penduduk
mempunyai hubungan timbal-balik artinya, perubahan penggunaan lahan berpengaruh
terhadap kepadatan penduduk dan kepadatan penduduk juga berpengaruh terhadap perubahan
penggunaan lahan.
Seandainya selama kurun waktu tersebut (tahun ke n) tidak terjadi peningkatan
produktivitas lahan dan intensitas tanam padi, maka produksi padi per tahun sepenuhnya
tergantung pada luas lahan pertanian yang tersedia, demikian pula seandainya selama kurun
waktu tersebut (tahun ke n) tidak terjadi peningkatan kepadatan penduduk, maka produksi padi
per tahun sepenuhnya mengandalkan ketersediaan lahan pertanian tanpa memperhitungkan
kebutuhan lahan pertanian bagi kegiatan untuk tempat tinggal maupun peningkatan kebutuhan
lahan sawah bagi penduduk. Hasil penelitian berkaitan dengan laju perubahan penggunaan
lahan dan laju pertambahan penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dibuat limit
ketahanan pangan di setiap papulasi (kecamatan) pada daerah penelitian.
Untuk membuat zonasi ketahanan pangan pada kabupaten/kota berpola pengelompok
perlu dibuat arahan ketahanan pangan sesuai dengan limit ketahanan pangan menjadi 3 zonasi
(daerah) yaitu: 1) daerah perkotaan (daerah/kecamatan tersebut diarahkan untuk
pemukima/perkotaan) 2) daerah penyangga (daerah/kecamatan antara perkotaan dan
daerah/kecamatan untuk ketahanan pangan dan 3) daerah/kecamatan untuk pertanian abadi
(pertanian berkelanjuatan), sedangkan pembagian zonasi dengan kriteria penentuan limit
ketahanan pangan seperti pada Tabel 2 berikut.
14
Tabel 2. Kriteria penentuan limit ketahanan pangan
No. Zona (daerah) Kriteria
1
Zona perkotaan
Limit ketahanan pangan yang berasal dari titik potong atau koordinat (X,Y) dari
laju pertambahan penduduk (Y=aX +C) dan laju konversi penggunaan lahan dari
pertanian ke non pertanian (Y=aX+C) mempunyai nilai X dan Y negatip (-)
2
Zona penyangga
Zona yang bisa menjadi daerah perkotaan dan daerah pertanian berkelanjutan,
maka limit ketahanan pangan yang berasal dari titik potong atau koordinat (X,Y)
dari laju pertambahan penduduk (Y=aX +C) dan laju konversi penggunaan lahan
dari pertanian ke non pertanian (Y=aX+C) mempunyai nilai X negatip (-) dan Y
positip (+) atau sebaliknya nilai X pasitip (+) dan Y negatip (-)
3
Zona pertanian
berkelanjutan
Limit ketahanan pangan yang berasal dari titik potong atau koordinat (X,Y) dari
laju pertambahan penduduk (Y=aX +C) dan laju konversi penggunaan lahan dari
pertanian ke non pertanian (Y=aX+C) mempunyai nilai X dan Y positip (+)
Arahan penggunaan lahan berdasarkan limit ketahanan pangan di Daerah Istimewa
Yogyakarta kemudian dibuatlah sebaran (arahan) zonasi ketahanan pangan, harapan dari hasil
penelitian ini adalah pada tiap kabupaten/kota berpola ikutan (mengelompok), sehingga
diperlukan adanya zonasi ketahanan pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Zonasi ketahanan
pangan ini bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas pangan melalui
lahan pertanian berkelanjutan. Sedangkan diagram alirnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Diagram alir penelitian
15
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penentuan konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian ditentukan dengan
cara tumpang-susun dari dua Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009 dan Peta Penggunaan Lahan
Tahun 2019 dari Citra Satelit LANDSAT Tahun 2009 dan Tahun 2019. Peta penggunaan lahan
pertanian dan non pertanian dari Citra Satelit LANDSAT Tahun 2009 dan Tahun 2019 dapat
dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4, sedangkan Peta Konversi Penggunaan Lahan
Pertanian ke Non Pertanian dari hasil tumpang-susun seperti pada Gambar 1 berikut.
Figure 1. Map of land use conversion distribution in each subdistrict of
Daerah Istimewa Yogyakarta Province
1. Pola konversi penggunaan lahan
Pola konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian pada tingkat
kabupaten/kota dengan menggunakan Citra Satelit LANDSAT Tahun 2009 dan 2019 seperti
pada Gambar 1 diatas merupakan gambaran tata-ruang wilayah di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pada perhitungan seperti pada Rumus 1 dan dengan menggunakan ArcGis didapat
hasil seperti Gambar 2 sebagai berikut.
16
Gambar 2. Grafik pola konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian pada setiap
kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pola konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian semua kabupaten dan
kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seperti pada Gambar 2 dengan menggunakan
Rumus 1 dan bantuan pengolahan dengan ArcGIS sehingga sesuai dengan pengelompokan
pada Tabel 1 (Nilai Z) setiap kabupaten/kota adalah ikutan (mengelompok) dengan hasil
seperti pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil pengelompokan sebaran konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non
pertanian berdasarkan Nilai Z
No. Kabupaten/Kota Pola Z
1 Bantul Ikutan (mengelompok) -2,99
2 Gunungkidul Ikutan (mengelompok) -11,21
3 Kulonprogo Ikutan (mengelompok) -4,50
4 Sleman Ikutan (mengelompok) -7,63
5 Yogyakarta Ikutan (mengelompok) -3,43
Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non
pertanian untuk semua kabupaten/kota di Prvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
mengelompok antinya sekali ada konversi penggunaan lahan pada lahan pertanian sifatnya
ikutan dan semakin lama semakin banyak. Konversi penggunaan lahan yang mengelompok ini
menunjukkan bahwa belum adanya tata ruang yang mengacu pada aturan dalam konversi
penggunaan lahan, hal ini akan memicu terjadinya penurunan ketahanan pangan.
17
2. Ketahanan pangan berkelanjutan
Dalam menentukan ketahanan pangan pada daerah penelitian dianalisis dengan
penggunakan Rumus 2 dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Jumlah penduduk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019................... (P).
2. Rerata Komsumsi beras 97,6 kg/kapita/tahun (Arifin dkk, 2018)........................... (K).
3. Rendemen gabah kering giling di Indonesia: 64,02 % (Statistik Indonesia, 2018).. (R).
4. Rerata produktivitas lahan tahun 2019 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.. (Pr).
5. Pola tanam di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2 x setahun…….................. (Pl)
dan hasilnya seperti pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Limit ketahanan pangan pada setiap kecamatan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
No.
Kecamatan
Lahan pertanian (sawah)
(ha) 2019
Laju pertambah-
an penduduk
(jiwa)
Produktivi- tas Lahan (Kg/ha)
Kebutuhan lahan
karena penduduk
(ha)
Laju lahan akibat
pertambah- an
penduduk dari Rumus
2 (ha)
Laju konversi
penggunaan lahan dari
Rumus 2 (ha/tahun)
X Waktu (bulan)
Y Lahan (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Playen 2319.90 759.00 4060 1151.33 14.25 15.00 -18757.7 -21123.70
2 Patuk 963.24 457.11 4060 646.80 8.58 9.68 -3462.37 -1829.44
3 Sanden 1004.82 256.11 5761 423.03 3.39 5.81 -2884.05 -391.40
4 Tegalrejo 13.24 249.00 5182 546.67 3.66 1.42 -2857.97 -325.66
5 Semin 3422.49 902.56 4060 1072.97 16.95 27.63 -2637.88 -2652.03
6 Ngawen 1193.88 388.33 4060 659.32 7.29 9.86 -2501.61 -860.60
7 Girimulyo 699.65 357.22 5834 328.06 4.67 6.76 -2131.93 -501.16
8 Moyudan 1366.11 310.33 5379 477.22 4.40 9.45 -2111.38 -296.55
9 Wonosari 3017.77 991.22 4060 1645.96 18.61 26.83 -2002.43 -1459.50
10 Nanggulan 1234.55 416.78 5834 404.91 5.45 10.70 -1894.08 -454.62
11 Kotagede 2.45 351.00 5182 504.71 5.16 1.28 -1551.07 -162.66
12 Samigaluh 900.02 422.00 5834 372.10 5.51 9.68 -1520.34 -326.47
13 Mantrijeron
7.93 462.89 5182 521.21 6.81 0.36 -954.62 -20.46
14 Gondomanan
0.19 217.00 5182 220.38 3.19 0.01 -829.52 -0.27
15 Gondokusuman
1141.04 -275.00 5182 629.84 -4.05 0.34 -1397.75 1101.03
16 Wates 971.74 587.11 5834 643.87 7.67 12.12 -883.43 79.13
17 Sentolo 1262.46 663.44 5834 659.77 8.67 17.44 -824.17 64.42
18 Kretek 875.18 188.89 5761 408.36 2.50 10.74 -680.17 266.70
19 Kalibawang 781.32 427.78 5834 400.49 5.59 12.49 -662.31 92.01
20 Kokap 85.50 618.44 5834 479.39 8.08 0.84 -653.23 39.52
21 Prambanan 1193.64 787.89 5996 685.83 10.02 19.51 -641.80 150.13
22 Godean 1941.57 451.00 5740 928.91 5.99 26.87 -582.05 638.41
23 Turi 1171.98 463.67 5583 508.91 6.33 23.31 -468.62 261.69
18
24 Gedangsari 527.58 485.22 4060 744.09 9.11 3.26 -444.00 407.02
25 Temon 1090.44 552.78 5834 384.74 7.22 32.22 -338.71 180.88
26 Seyegan 1237.90 657.33 5517 704.16 9.08 30.11 -304.65 473.59
27 Sedayu 880.23 355.11 5761 630.42 4.70 14.94 -292.69 515.82
28 Bambanglip
uro 934.48 505.56 5761 554.13 6.69 26.42 -231.34
425.17
29 Tempel 1394.42 559.22 5841 709.21 7.30 43.24 -228.75 570.10
30 Cangkringa
n 833.70 345.33 5640 423.15 4.67 27.89 -212.13
340.64
31 Pundong 698.14 471.22 5761 475.11 6.23 20.27 -190.65 376.05
32 Pandak 820.85 479.89 5761 688.21 6.35 15.72 -169.90 598.31
33 Pakem 1057.52 324.33 5463 524.47 4.53 57.57 -120.59 478.99
34 Jetis 988.98 806.00 5761 774.69 10.66 32.18 -119.50 668.48
35 Berbah 921.35 444.67 6090 685.77 5.57 32.26 -105.91 636.65
36 Piyungan 977.23 408.11 5761 692.44 5.40 37.72 -105.75 644.85
37 Ngemplak 1364.56 387.44 5919 804.08 4.99 74.65 -96.55 763.93
38 Kalasan 1392.84 678.78 6025 1040.81 8.59 55.14 -90.74 975.88
39 Sleman 1215.65 749.78 5862 903.87 9.75 51.18 -90.31 830.49
40 Imogiri 966.92 -297.44 5761 840.75 -3.94 15.57 -77.62 866.21
41 Bantul 794.58 3898.67 5761 851.64 51.58 28.76 -30.00 722.69
42 Dlingo 538.94 448.11 5761 523.13 5.93 12.62 -28.37 509.11
43 Pleret 633.78 544.56 5761 637.36 7.21 23.14 2.70 638.98
44 Ngaglik 1106.06 -543.44 5848 1264.30 -7.08 77.63 22.42 1251.07
45 Pengasih 669.18 803.11 5834 684.69 10.49 16.23 32.43 713.05
46 Sewon 843.25 -506.78 5761 1320.59 -6.71 50.79 99.63 1264.92
47 Mlati 812.47 -994.22 5836 1202.73 -12.99 27.46 115.79 1077.43
48 Banguntapa
n 539.07 -895.56 5761 1481.32 -11.85 74.81 130.48
1352.48
49 Depok 330.00 -6576.11 5493 1697.22 -91.26 30.50 134.75 672.47
50 Gamping 631.25 -363.44 5888 1211.09 -4.71 29.75 201.95 1131.91
51 Kasihan 435.31 -816.00 5761 1369.81 -10.80 27.47 293.03 1106.16
52 Nglipar 718.10 435.56 4060 630.97 8.18 4.90 318.63 848.10
53 Semanu 1585.71 946.22 4060 1131.25 17.77 1.58 336.87 1629.96
54 Ponjong 1396.58 770.22 4060 1065.20 14.46 3.77 371.87 1513.33
55 Umbulharjo 43.74 -761.78 5182 1028.02 -11.21 6.23 677.30 395.56
56 Karangmojo
1824.95 903.44 4060 1068.27 16.96 7.68 978.68 2451.65
57 Minggir 7.46 369.11 5420 458.27 5.19 10.47 1023.86 901.19
58 Panjatan 1278.63 633.44 5834 510.85 8.28 3.71 2018.05 1902.71
59 Srandakan 575.82 294.00 5761 413.06 3.89 3.03 2274.56 1150.40
60 Paliyan 1599.24 447.22 4060 621.60 8.40 3.25 2277.91 2215.49
61 Galur 1216.42 439.22 5834 432.13 5.74 2.32 2750.41 1747.47
62 Pajangan 296.71 354.22 5761 476.86 4.69 5.32 3418.16 1811.90
63 Lendah 817.10 565.00 5834 542.65 7.38 6.95 7617.58 5228.87
Jumlah 61567.82 18761.89 341237 46523.18 285.17 1286.83 -183.64 41875.34
Keterangan:
19
: Zona Permukiman
: Zona Penyangga
: Zona pertanian berkelanjutan
Dari seluruh kecamatan yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 78
kecamatan, akan tetapi yang memenuhi syarat sebagai populasi sebanyak 63 kecamatan seperti
pada Tabel 4, hal ini dikarenakan beberapa sampel yang tidak memenuhi syarat didaerah
penelitian yaitu tidak mempunyai lahan pertanian (sawah) dan ini semua terdapat di Kabupaten
Gunungkidul. Dari Tabel 4 akan didapatkan titik potong atau koordinat (X,Y) dari laju
pertambahan penduduk (Y=aX + C) dan laju konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non
pertanian (Y=aX + C). Koordinat (X,Y) merupakan limit ketahanan pangan artinya limit
ketahanan pangan daerah/kecamatan (zona) tersebut hanya bisa memenuhi pangan (beras)
untuk penduduknya atau bukan merupakan zona surplus dan tidak daerah minus dalam
ketahanan pangannya. Limit ketahanan pangan terhadap sumbu X negatip (-) dan sumbu Y
negatip (-), maka zona tersebut adalah zona minus artinya secara lahan dan waktu (grafik)
merupakan zona yang mempunyai ketahanan pangan buruk, sehingga zona ini diarahkan
menjadi zona permukiman yang berjumlah 14 kecamatan dari seluruh populasi (Tabel 4). Limit
ketahanan pangan pada sumbu X positip (+) dan sumbu Y negatip (-) atau sebaliknya, maka
zona tersebut adalah zona penyangga artinya secara lahan dan waktu merupakan zona yang
mempunyai ketahanan pangan sedang, sehingga zona ini dapat diarahkan menjadi zona
permukiman atau zona lahan pertanian berkelanjutan sesuai dengan kondisi, situasi dan
kebijakan daerah setempat dan terdapat 28 kecamatan (Tabel 4). Sedangkan Limit ketahanan
pangan pada sumbu X positip (+) dan sumbu Y positip (+), maka daerah tersebut adalah zona
untuk lahan pertanian berkelanjutan artinya secara lahan dan waktu merupakan zona yang
mempunyai ketahanan pangan baik, sehingga zona ini dapat diarahkan menjadi lahan pertanian
berkelanjutan dan terdapat 21 kecamatan (Tabel 4). Untuk lebih jelasnya grafik ketahanan
pangan untuk setiap zona (kecamatan) seperti pada Gambar 3 berikut.
20
Gambar 3. Grafik limit ketahanan pangan pada setiap kecamatan di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta
Pada Gambar 3 merupakan gambaran ketahanan pangan pada setiap kecamatan, nomor
1 sampai dengan nomor 63 sesuai dengan nomor kecamatan pada Tabel 4. Zonasi ketahanan
pangan pada Gambar 3 dapat dibuat peta zonasi limit ketahanan pangan setiap kecamatan di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai kriteria penentuan limit ketahanan pangan pada
Tabel 2 dan hasilnya seperti pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Peta zonasi ketahanan pangan pada setiap kecamatan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
Terjadinya limit ketahanan pangan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
melihat koordinat dari jumlah seluruh kecamatan (populasi) yaitu (-183.64, 41875.34).
Koordinat ini menunjukkan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ketahanan
pangannya terjadi pada 183,64 bulan yang lalu dengan posisi lahan yang ada sebesar 41875,34
ha, hal ini menunjukkan bahwa pada saat ini lahan yang ada sudah tidak dapat memenuhi
kebutuhan pangannya karena jumlah penduduk yang ada, serhingga harus mendatangkan
pangan (beras) dari daerah lain.
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta masih terdapat zona pertanian berkelanjutan, untuk mempertahankan zona
21
pertanian berkelanjutan ini perlu adanya kebijakan dari pemerintah daerah untuk melarang
dengan sangsi yang tegas tidak boleh dilakukan konversi penggunaan lahan dari pertanian
(sawah) ke non pertanian (non sawah) agar tetap terjaga ketersediaan pangan di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Disamping sangsi yang tegas terhadap pelaku konversi
penggunaan lahan di zona lahan pertanian berkelanjutan juga adanya perlakuan terhadap zona
penyangga pada lahan pertanian untuk menjadi zona lahan pertanian berkelanjutan, namun
pada beberapa daerah tertentu pada zona penyangga yang karena kepentingan nasional tetap
dibolehkan untuk di konversi. Perlakuan lainnya yang dimungkinkan untuk meningkatkan
ketahanan pangan yaitu dengan meningkatkan produksi pertanian secara intensifikasi dan
penekanan terhadap peningkatan pertambahan penduduk melal;ui program “Keluarga
Berencana”.
22
IV. KESIMPULAN
Rerata laju konversi penggunaan lahan dari pertanian (sawah) ke non Pertanian (non
sawah) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 1286.83 setiap tahun. Pola konversi
penggunaan lahan pertanian ke non pertanian untuk semua kabupaten/kota adalah
mengelompok hal ini menunjukkan belum adanya tata ruang wilayah yang memadai.
Zonasi ketahanan pangan berdasarkan limit ketahanan pangan terdapat 14 kecamatan
merupakan zona permukiman (zona lahan pertanian boleh dikonversi), zona penyangga
sebanyak 28 kecamatan dan 21 kecamatan yang merupakan zona pertanian abadi (pertanian
berkelanjutan). Zonasi ketahanan pangan berdasarkan limit ketahanan pangan paling tidak
dapat mempertahankan kondisi ketahanan pangan pada saat ini yaitu masih terdapat lahan
pertanian sebesar 42240.01 dan terdapat kekurangan bahan pangan untuk memenuhi penduduk
sebesar 61568 jiwa dan harus mendatangkan bahan pangan beras dari daerah lain.
23
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B., Achsani, N.A., Martianto, D., Sari, L. D., Firdaus, A.H., 2018. Modeling the Future
of Indonesian Food Consumption: Final Report, Research Report submitted to the
National Development Planning Agency (Bappenas), World Food Programme (WFP)
and Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO)
Astuti. D. I.. 2011. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu
Sungai Ciliwung. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas
Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Statistik Indonesia (Statistical Yearbook of Indonesia), 2018. Badan Pusat Statistik, BPS-
Statistics Indonesia.
Badan Pertanahan Nasional RI. 2009. Pedoman peraturan perundang-undangan. Pusat Hukum
dan Hubungan Masyarakat. Badan Pertanahan Nasional. Republik Indonesia. Jakarta.
BPS, 2020, Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Statistics of Daerah
Istimewa Yogyakarta Province)
Irawan, B., 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor
Determinan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni
2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Jalzarika. A.. 2008. Peranan Citra Satelit Landsat untuk berbagai Aplikasi Geodesi dan
Geomatika di Indonesia. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Jakarta.
Juhadi. 2007. Pola-pola Pemanfaatan Lahan dan Degradasi Lingkungan pada Kawasan
Perbukitan. Jurnal Geografi. Volume No. 1 Januari 2007. Jurusan Geografi. FIS
UNNES. Semarang.
Mulyani, A., Nursyamsi, D., Syakir, M., 2017. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan untuk
Pencapaian Swasembada Beras Berkelanjutan, Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol 11,
No 1 (2017)
Novio, R., Mariya, S., Wijayanto, B., 2020. The spatial pattern analysis of settlements area in
Batusangkar City Tanah Datar Regency, Jurnal Pendidikan Geografi: Kajian, Teori,
dan Praktik dalam Bidang Pendidikan dan Ilmu Geografi, ISSN: 0853-9251 (p) and
2527-628X (e), Volume 25, Nomor 1, Jan 2020, Halaman: 80-87
Ritohardoyo. S.. 2009. Penggunaan dan Tata Guna Lahan. Fakultas Geografi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Martanto, R., Handayani, I G. A. K. R., 2020. Classification of Sustainable Food Agricultural
Land for Food Security in Bali, Indonesia, Journal: Talent Development &
Excellence, Vol.12, No.2s, 2020, 1237-1253, ISSN 1869-0459 (print)/ ISSN 1869-
2885 (online), © 2020 http://www.iratde.com
Sari. D.K.. Nugroho. H.. Hendriawaty. S.. dan Ginting. M.. 2010. Pemodelan Harga Tanah
Perkotaan Menggunakan Metode Geostatistika. Jurnal Rekayasa LPPM Itenas. No.2
Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Bandung.
Soemarwoto. O. 1995. Ekologi. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Soerjani. M.. Ahmad. R.. Munir. R.. 2001. Lingkungan: Sumberdaya dan Kependudukan
dalam Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Wei, W.W.S.,1990, Time Series Analysis: Univariate And Multivariate Methods, Addison-
Wesley Publishing Co.,USA.