SEJARAH KONVERSI MADZHAB SYIAH DAN KHAWARIJ DI ...

81
SEJARAH KONVERSI MADZHAB SYIAH DAN KHAWARIJ DI HADRAMAUT TAHUN 916-1200 M Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) Oleh: OKTA RIADI NIM: 1110022000022 KONSENTRASI TIMUR TENGAH PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H / 2015 M

Transcript of SEJARAH KONVERSI MADZHAB SYIAH DAN KHAWARIJ DI ...

SEJARAH KONVERSI MADZHAB

SYIAH DAN KHAWARIJ DI HADRAMAUT

TAHUN 916-1200 M

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

OKTA RIADI

NIM: 1110022000022

KONSENTRASI TIMUR TENGAH

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H / 2015 M

i

ABSTRAK

Hasil studi penulis sejarah terdahulu tentang kedatangan Alawiyyin ke

Hadramaut pada abad ke-3 H telah berhasil melenyapkan kaum Khawarij sekte

Ibadiah di wilayah kekuasaan mereka sendiri, pada abad ke-7 H. Para penulis sejarah

berbeda pendapat tentang kedatangan mazhab Alawiyyin yang datang ke Hadramaut

dari Irak. Sebagian penulis sejarah berpendapat mereka Syiah, dan sebagiannya lagi

berpendapat mereka Syafi’i, betapapun seperti itu menurut Abdullah Haddad dalam

bukunya Jalan Menuju Kebahagia: “kaum Khawarij di Hadramaut termasuk ekstrem

dalam menerapkan hukum-hukum syariat, tentunya menurut mereka sendiri. Dan

sangat membenci Ali bin Abi Thalib dan keturunannya” dikarenakan latar belakang

sejarah setelah perang shiffin, jadi sudah barang tentu akan ada gesekan antara kedua

belah pihak. Hasil penelitian penulis sejarah terdahulu memberikan tantangan kepada

penulis, untuk menelusuri bagaimana proses konversi Syiah dan Khawarij terjadi.

Dikarenakan dari berbagai sumber tertulis belum ditemukan pembahasan akan

konversi Syiah dan Khawarij, jikapun ada sumber tersebut hanya membahasnya

sangat sedikit sekali.

Jadi studi ini ingin menjawab satu pertanyaan yaitu bagaimana proses

konversi Syiah dan Khawarij di Hadramaut pada abad ke 3 s/d 7 H. untuk menjawab

pertanyaan tersebut di gunakan metode histsoris, melalui suber tertulis dengan

pendekatan sosial agama.

Temuan penulis adalah, bahwa Syiah dan Khawarij berkonversi pada abad

yang berbeda. Konversi Syiah terjadi pada abad ketiga Hijriah, sedangkan konversi

Khawarij terjadi pada abad ketiga Hijriah dan mencapai kelimaksnya pada abad

ketujuh Hijriah, yang menjadikan Khawarij hilang sama sekali di Hadramaut. Kedua

kelompok ini berkonversi pada madzhab Sunni Syafi’i.

Kata Kuci: Syiah, Khawarij, Konversi, Hadramaut.

II

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas

segala kebesaran dan karunia-Nya yang telah menciptakan bumi dan alam semesta

beserta seluruh isinya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita para pengikutnya sampai akhir

zaman.

Skripsi yang berjudul “Sejarah Konversi Madzhab Syiah dan Khawarij di

Hadramaut Tahun 916-1200” ditulis dalam konteks untuk menyelesaikan studi

Strata (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Kebudayaan

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelesaikan Skripsi ini, tentunya banyak mendapatkan hambatan

dan tantangan. Namun, berkat usaha dan bantuan serta kerja sama yang penulis

dapatkan dari berbagai pihak, baik itu dukungan materil, maupun non materil,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis berterima

kasih kepada mereka yang telah membantu, membimbing dan menemani penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Prof. Dr. Oman Faturahman M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Kebudayaan

Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan

baik.

5. Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan serta masukan-masukan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik, serta

III

6. Awalia Rahma, M.A, selaku Dosen Penasehat Akademik, yang selalu

memberikan arahan serta motivasi dalam belajar.

7. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran

selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Orang tua tercinta; ayahanda Habiburrachman dan ibunda Tilawati yang

telah mengasuh, membimbing dengan sabar dan penuh kasih sayang, serta

senantiasa memberikan semangat dan mendoakan. Begitu juga ayunda

Lirih Anggriani, ayunda Fitria Ani, adinda Pachri dan adinda Hafida Hayu

Rachman. Khususnya adinda Pachri yang telah menggantikan sementara

posisi penulis menjadi tulang punggung keluarga pasca meninggalnya

ayahanda tercinta, guna menyelesaikan pendidikan strata satu penulis.

9. Kepada seluruh anggota Lembaga Robitoh Alawiyah, Institut Agama

Islam Jamiat Kheir, yang tidak dapat penulis tuliskan namanya satu-

persatu, yang telah menerima penulis dengan tulus dalam penyelesaikan

penelitian penulis. Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka.

10. Teman-teman SKI seperjuangan angkatan 2010. Yang tidak dapat penulis

sebutkan namanya satu-persatu, yang selama ini telah bersama-sama

memberikan kenangan terindah yang tidak akan terlupakan oleh penulis.

Semoga kebaikan-kebaikan yeng telah mereka berikan dapat bermanfaat

dan mendapatkan balasan serta limpahan dari Allah swt.

11. Seluruh dosen fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.

12. Seluruh Staf Akademik Fakultas Adab dan Humaniora.

13. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan

Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan

skripsi ini.

Semoga semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi

ini, mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan penulis menyadari bahwa skripsi

ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis

v

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN HALAMAN

A. Latar Belakang ............................................................... 1

B. Permasalahan .................................................................. 11

1. Pembatasan Masalah ................................................. 11

2. Perumusan Masalah .................................................. 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 11

D. Tinjauan Pustaka ............................................................. 12

E. Metode Penelitian ........................................................... 16

F. Sistematika Penulisan…………………………………. 20

BAB II SYIAH DAN KHAWARIJ DI HADRAMAUT

A. Khawarij di Hadramaut pra Kedatangan

Syiah dari Irak ................................................................. 21

1. Syiah di Yaman dan Khawarij di Hadramaut

serta Oman ................................................................ 21

2. Khawarij di Hadramaut ............................................. 26

3. Madzhab selain Khawarij di Hadramaut ................... 31

B. Kedatangan Syiah dari Irak ke Hadramaut .................... 33

1. Hijrahnya al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut .......... 33

2. Madzhab Imam Muhajir ........................................... 39

C. Hilangnya Syiah di Hadramaut ....................................... 41

vi

D. Hilangnya Khawarij di Hadramaut Pasca

Kedatangan Syiah dari Irak ............................................. 45

1. Golongan Sosial di Hadramaut ................................. 46

2. Madzhab Syafi’i di Hadramaut……………………. 49

BAB III KONVERSI MADZHAB SYIAH

DAN KHAWARIJ DI HADRAMAUT

A. Proses Konversi Madzhab Syiah dan

Khawarij di Hadramaut ................................................... 55

B. Faktor Terjadinya Konversi Madzhab

Syiah dan Khawarij di Hadramaut .................................. 64

C. Hasil Konversi Madzhab Syiah dan Khawarij ................ 65

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................... 66

B. Saran ............................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 69

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Islam terdapat beragam golongan seperti yang telah disebutkan

dalam sebuah Hadis, Nabi Muhammad Saw pernah berkata: Bani Israil terbagi

kedalam tujuh puluh satu atau dua golongan, begitu pula Kristen, tetapi umatku akan

terbagi ke dalam tujuh puluh tiga golongan.1 Begitulah Nabi Muhammad

menggabarkan perpecahan dalam agama islam.

Terjadinya perpecahan dalam Islam ditandai setelah peristiwa perang Shiffin

pada tahun 37 H.2 Perpecahan itu terjadi saat pasukan Muawiyah yang dipimpin oleh

Amr bin Ash nyaris mengalami kekalahan, kemudian Amr mengangkat al-Qur‟an

sebagai isyarat perdamaian. Usulan ini kemudian diterima, sehingga diadakan

perundingan yang hasilnya Ali diturunkan dari jabatannya sebagai Khalifah dan

Muawiyah diangkat menjadi Khalifah. Namun Dari kelompok Ali tidak sepenuhnya

mengikuti keputusan Ali, mereka yang sepakat kemudian disebut Syi‟ah sedangkan

yang tidak sepakat disebut Khawarij.3 Kemudian kepecahan islam disusul oleh

1 At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa at-Timirdzi, Ensiklopedia Hadits Kutub Assitah

Jilid VI, Kitabul Iman, 18 - Bab Maa Jaa-fii iftiraaqi Haadzihil Ummah, no. 2640, Penejemah Tim

Darussunnah Idris, Huda, dkk, Jakarta: Almahira, 2013, h. 874 2 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 98.

3 Abu Dza‟far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wal Mulk, Bagian: keenam,

Bairut Lebanon: Darul Fikr, 1989, h. 37

2

golongan-golongan yang lainnya, tetapi di sini penulis hanya akan membahas dua

golongan saja yaitu golongan Syiah4 dan Khawarij

5 yang berkonversi di Hadramaut.

Dua madzhab ini berkonversi di daerah Hadramaut yang geografisnya

hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, artinya pantai di antara desa-desa nelayan

Ain Bama‟bad dan Saihut, beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya.

Di sepanjang pantai hanya terdapat bukit-bukit. Segera setelah itu berdiri serangkaian

gunung, atau lebih tepat, dataran tinggi yang sangat luas yang memiliki beberapa

puncak, yang tertinggi adalah gunung al-Arsyah. Setelah melalui dataran tinggi itu,

turun ke dalam lembah yang luas atau lebih tepat ke dalam serangkaian lembah.

Kemudian kita berada di depan serangkaian gunung lagi yang mirip dengan yang

pertama. Pegunungan yang terakhir ini berbatasan dengan padang pasir Arab tengah.6

Penduduk Hadramaut berasal dari keturunan Ya‟run bin Qahtan bin Hud, jadi

mereka termasuk ras Arab Selatan dan disebut Arab Aribah atau Arab Asli, yang

4 Syi‟ah dalam terminologi bahasa Arab bermakna: Pihak, Puak, Kelompok, yang asalnya dari

kata Syayya’a ataupun tasyayya’a, yang artinya: berpihak, memihak, bergabung, menggabungkan diri

Demikianlah definisi syiah yang telah Itulah pengertian yang asli dari akar kata itu semenjak berabad-

abad lamanya sebelum bermula sejarah Islam. Tetapi akar-kata itu belakangan mepunyai pengeritian

tertentu. Setiap kali orang menyebut “syi‟ah” maka assosiasi pikiran setiap orang tertuju kepada

“syi‟ah – Ali” yaitu kelompok masyarakat yang memihak Ali4 dan amat memulikannya beserta

turunannya, dan kelompok itu lambat laun membangun dirinya menjadi aliran didalam Islam. Lihat,

Jousoef Sou‟yb Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-Aliran Sekta Syi’ah, Jakarta: Pustaka

Alhusna, 1982, h. 9 5 Adapun Khawarij secara bahasa; berasal dari kata bahasa Arab Kharaja yang berarti keluar,

muncul, timbul atau memberontak. Berdasarkan pengertian dari pengertian ini pula, khawarij berarti

setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam. Lihat, Prof. Dr. Harun Nasution, Theology

Islam, Cet II, Jakarta: UI Press, 1972, h 11. Definisi khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah

suatu sekte/kelompok /aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar menginggalkan barisan karena

ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (Tahkim), dalam perang shiffin

pada tahun 37 H/657 M, dengan kelompok bughat (Pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal

persengketaan khilafah. Lihat Amir Najjar, Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa falsafatan,

Penerjamah Afif Muhammad dkk., Bandung: Lentera, 1993, h. 5 6 L.W.C. van den Berg Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, Jilid III Penerjemah

Rahayu Hidayat , Jakarta: INIS ,1989, h. 7

3

dipertentangkan kepada Arab Musta’ribah yaitu keturunan Isma‟il, artinya ras Arab

Utara. Karena jarangnya orang Hadramaut berhubungan dengan orang asing,

kemungkinan besar ras penduduk negeri itu sangat murni.7 Kemudian ditambah oleh

keturunan dari Ahmad bin Isa (al-Muhajir)8 bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin

Ja‟far as-Shadiq9 yang berpindah dari Irak ke Hadramaut pada tahun 317 H dan

melahirkan kaum Alawiyyin yang bercampur dengan penduduk asli Hadramaut10

Kenapa al-Muhajir berpindah dari Irak (Basrah) ke hadramaut? Pada tahun

317 H Kekuasaan Islam dipimpin oleh Al-Muqtadir 296-320 H dari Dinasti

Abbasiyah.11

Di bawah pemerintahan Al-Muqtadir, terjadi kekacauan-kekacauan dan

pemberotakan-pembertontakan atas ketidakpuasan terhadap kepemimpinan yang

dipimpinnya.

Salah satu pemberontakan pada kepemerintahan Al-Muqtadir ialah

pemberontakan yang dipimpin oleh amir Ubaidillah Al-Mahdi, seorang tokoh turunan

Ali bin Abi Thalib dengan istrinya Fatimah binti Muhammad. Ia terpandang oleh

7 Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 33

8 Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada Ahmad bin Isa sejak

hijrahnya dari negeri Irak ke daerah Hadramaut, hanya al-Imam al-Muhajir yang khusus menerima

gelar tersebut meskipun banyak pula orang orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamanya

yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul 9 Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan (Bandung: Mizan,

1983), h. 13 10

Idrus Alwi al-Masyhur, Sejarah, Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad Saw di

Indonesia, Malysia, Timur tengah, India dan Afrika,Jakarta: Saraz Publishing, 2010, h. 21 11

Syeikh Muhammad Al-Khudori Muhadarati Tarikh al-Umam al-Islamiyah ad-Daulah al-

Abbasiyah Beirut–Lebanon : Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 2004, h. 307

4

sekta Syiah aliran Ismailiah, dan berhasil merebut ibu kota Qairawan pada tahun 296

H dan mengumumkan kekuasaan Daulat Fatimiah.12

Kemudian kerusuhan umum pada tahun 317 H di Ibukota. Muncul dari

kalangan rakyat dan mendapatkan dukungan dari kalangan prajurit, mereka menyerbu

ke dalam istana, menawan dan menurunkan Raja Al-Muqtadir kemudian

mengangkatnya kembali hanya sebagai aksi protes mereka. Hal tersebut disebabkan

penyalahgunaan kekuasaan oleh para wazir dan pejabat-pejabat istana yang

mempergemuk dan memperkaya dirinya. Sumber-sumber sejarah pada masa itu

menggambarkan, betapa wazir Abu Ali Muhammad ibn Khakan dengan dibantu

ketiga puteranya memperjual-belikan jabatan kepada siapapun yang berani membayar

sogokan lebih besar. Setiap pejabat itu lantas melakukan pemerasan terhadap rakyat,

secara halus maupun secara kasar, untuk mempertahankan kedudukannya. Sementara

itu kalangan prajurit sendiri tidaklah menerimakan pembayaranya secara teratur

karena diselewengkan oleh atasanya.13

Al-Muhajir merupakan salah satu keturunan dari Ahlul Bait dan Kondisi

Ahlul bait dibawah pemerintahan Dinasti Abbasiah tidak mendapatkan perlakuan

baik dibanding pada masa Dinasti Umayyah berkuasa. Padahal mereka juga

merupakan salah satu pihak yang ikut membangun kekhalifahan Abbasiyah.14

Sikap

manis al-Mamun kepada kelompok ini, yang bahkan bertindak lebih jauh dengan

mengenakan warna hijau atas kelompok Syiah serta menyatakan Imam Ridha sebagai

12

Jouesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Abbasiah, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 115 13

Ibid, h. 126 14

Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid III, Jakarta: Kalam Mulia, 2013

5

saudaranya, tidak memberikan jaminan kuat yang bisa menolong mereka.15

Dimulai

dari al-Mutawakil, yang pada tahun 236 H meneruskan penganiayaan atas kelompok

Syiah sebagaimana dilakukan pada priode Umayyah.16

Almutawakil Sebagai Khalifah ke-sepuluh Abbasiah 232-247 H memiliki

pemahaman Sunni. Gerakan Sunni yang berada dibawa pimpinan Ahmad bin Hanbal

makin meperlihatkan pengaruh yang bertambah-tambah kuat terhadap Khalifah

Mutawakil. Gerakan sunni bertujuan “memulihkan” kembali ajaran Islam, terbebas

dari catur-akar dan catur-filsafat, seperti yang dianut oleh kalangan Salaf yakni

anutan pada masa sahabat-sahabat Nabi, dua abad yang silam.17

Pada tahun ketiga kepemerintahannya Al-Mutawakil mengeluarkan dekrit

ekstrim mengenai rakyat umum yang bukan Muslim, baik di Ibukota maupun seluruh

wilayah Islam pada masa itu. yang berbunyi wajibnya mengenakan sejenis baju luar

yang khusus untuk tanda pengenal. Dekerit itu telah membangkitkan reaksi dan

ketegangan yang bukan kecil. Tetapi hampir pada seluruh wilayah, dan dekrit ini

dijalankan secara paksa dan kekerasan. Sehingga memaksa sisa-sisa penganut agama

majusi mengungsi menuju anak benua India dan kemudian menetap dalam wilayah

Bombai, dan dikenal sampai kini dengan kaum Parsees.18

15

Abu Dza‟far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wal Mulk, Bagian: ketujuh,

Bairut Lebanon : Darul Fikr, 1987, h. 432 16

Philip K.Hitti History of The Arabs, Penerjemah R, Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet

Riyadi, Jakarta: Pt Serambi Ilmu Semesta, 2010, h. 556 17

Sou‟yb, Sejarah Daulat Abbasiah, h. 13 18

Abu Dza‟far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wal Mulk, Bagian:

kesepuluh, Bairut Lebanon : Darul Fikr, 1987, h. 21

6

Pada tahun berikutnya keluar dekrit khalifah Al-Mutawakil mengenai sekte

Syiah. Dekrit itu memerintahkan penghancuran dan perataan seluruh bangunan-

bangunan monument yang sangat dimuliakan kaum Syiah dan menjadi tempat ziarah

mereka itu. Ia menghancurkan kuburan Ali di Najaf dan kuburan Husain yang sangat

dimuliakan di Karbala19

termasuk bangunan monumen di Karbala, yang merupakan

lambang makam Husein. Bangunan tersebut beserta rumah rumah yang berada

sekitarnya dihancurkan dan diratakan dan kemudian dibajak, ditanami dan

selanjutnya dilarang untuk diziarahi. Dekrit tersebut membangkitkan reaksi dan

ketegangan yang tiada terkira untuk masa panjang selanjutnya.20

Pada akhir abad ke 3 H terjadi penumpasan Keluarga Alawi (Ahlul Bait) di

lembah Irak mengakibatkan satu cabang dari turunan Ismail bin Jafar Assadiq

melarikan diri ke lembah Sind (Pakistan Barat) dan berkembang aliran Ismailiah

disitu. Satu cabang lagi meluputkan diri ke Afrika dan akhirnya menetap dalam

wilayah Afrika Barat, pada suatu tempat bernama Sijilmas. Lambat-laun pengarunya

meluas dan lalu membangun benteng bernama Al Mahdiat, terletak pada perbatasan

Al-Jazair dengan Maroko sekarang ini.21

Ahmad bin Isa (al-Muhajir), beliau berangkat hijrah dari Irak ke Hijaz pada

tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali

al-Uraidhy, bersama putra bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal

dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama

19

Ibid, 36 20

Sou‟yb, Sejarah Daulat Abbasiah,h. 14 21

Ibid, h. 115

7

Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy turut pula dua anak lelaki dari

paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan

rombongan yang terdiri dari 70 orang. Al-Muhajir membawa sebagian dari harta

kekayaanya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain

ditinggalkan menetap di Irak.22

Kafilah itu tiba di kota Madinah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada

bulan Dzul-Hijjah tahun itu, kaum Qaramithah memasuki kota Makkah, dan

mencabut Hajar Aswad dari tempatnya di Ka‟bah kemudian membawanya pergi ke

Bahrain negeri asal mereka, dan baru 22 tahun kemudian mengembalikanya di tempat

semulanya23

pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk

menunaikan ibadah Haji. Di kota Makkah ia mendengar tentang peristiwa-peristiwa

menyedihkan berupa pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan yang terjadi ketika

kaum Qaramithah menyerbu ke sana. Oleh sebab itu setelah bermusyawarrah dengan

keluarganya, ia berangkat menuju Hadramaut24

yang dianggapnya negeri paling tepat

dikarenakan jauh dari jangkauan penguasa Abbasiah yang otoriter dan para

pemberontak lainya.25

Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di yaman

kemudian beliau meninggalkan anak pamanya yang bernama Muhammad bin

22

Idrus Alwi Al-Masyhur, Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, Jakarta: Al-Mustrasyidin,

2002, h. 15 23

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 14 24

Ibid, h. 15 25

Madjid Hasan Bahafdullah, dari Nabi Nuh a.s. Sampai Orang Hadramaut di Indonesia

Jakarta: Bania Publishing, 2010, h. 105

8

Sulaiman, datuk dari kaum al-Handal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju

Hadramaut dan menetap di Husaisah.26

Silsilah Nasab al-Muhajir27

Pra kedatangan Al-Muhajir dari Irak (Bagdad) sebagian besar orang di

wilayah Hadramaut menganut paham mazhab kaum Khariji (Khawarij) Ibadhiah.

Kaum Khariji sangat tegar dan ekstrem dalam menerapkan hukum syariat,

berdasarkan paham mereka sendiri, dan sangat membenci Imam Ali bin Abi Thalib,

keluarga dan pengikutnya.28

Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas, kaum Khariji pertama kali

merupakan kaum Khariji pasca perang Shiffin, menyatakan diri membelot dari Ali

maupun Mu‟awiyah. Kedua orang yang bertahkim dan semua pihak yang terlibat

26

Al-Masyhur, Sejarah Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia,

Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, h. 21 27

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 17 28

Ibid, h. 18

9

dalam tahkim. Mereka kemudian mengumandangkan semboyan “La hukma illa

Lillah” (Tiada hukum kecuali di sisi Allah). Menurut mereka, penerimaan Ali atas

pengangkatan Hakam – walaupun justru mereka memaksanya – berarti mengakui

manusia sebagai penetap hukum. Ali sahabat besar Nabi itu, mereka anggap kafir dan

halal darahnya. Pada akhirnya Ali bin Abi Thalib pun gugur ditebas pedang beracun

oleh Abdurrahman ibn Muljam ketika sedang sujud dalam salat Subuh di Masjid

Kufah pada bulan Ramadhan 28 H29

Abi Muhammad Zahrah menulis,

“Kaum Khawarij adalah orang-orang yang telah dikuasai oleh slogan-slogan

keimanan dan doktrin „la hukma illa lillah‟ dan „berlepas diri dari orang-orang zalim‟.

Dengan doktrin itu pula mereka menghalalkan darah kaum Muslim dan membanjiri

negeri Islam dengan darah serta mengobarkan api peperangan di segenap penjuru.”30

Kemudian kaum Khawarij menjadi suatu “Mazhab” tersendiri, yang terpecah

belah dalam berbagai sekte. Salah satu sektenya adalah Ibadhiah, yang didirikan di

Bashar oleh Abdullah bin Ibadh yang hidup pada abad ke 2 H / 8 M. Abdullah bin

Ibadh datang ke Yaman, dan konon tinggal di sana.31

Paham Ibadhiah telah masuk ke

Yaman pada abad ke 2 H / 8 M. Kaum Ibadhiah telah memproklamasikan Imamah

secara terang-terangan, diantara imam-imam mereka yang terkenal adalah Abu Ishaq

Al-Hadhrami (orang Hadhramaut)

29

M. Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi Bandung : Pt Remaja Rosdakarya, 2000, h. 92 30

Dr. Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij dalam Islam Jakarta, Lentera 1993, h. 59 31

Wilfred Madelung, ed., Warmer Daum “Islam in Yamen” dalam Yamen 3,000 Years of Art

and Civilization in Arabia Felix Austria: Pinguin Verlag, 1987, h. 174

10

Kedatangan al-Muhajir pada tahun 318 H di Hadramaut dengan status Ahlul

Bait dan mazhab yang dibawanya mendapatkan reaksi negatif dari kaum Khawarij di

Hadramaut. Tetapi selanjutnya berkat kesabaran dan usaha al-Muhajir dan Alwiyyin

dapat menggabungkan kedua Madzhab tersebut menjadi Madzhab Syafi‟i dan

diterima oleh masyarakat Hadramaut yang menganut paham Khawarij.

Alasan kenapa penulis mengambil tema Konversi antara Madzhab Syiah dan

Khawarij di Hadramaut, dikarenakan sejauh penulis temukan belum ada kajian yang

fokus terhadap proses konversi Syiah dengan Khawarij di Hadramaut.

B. Permasalahan

1. Pembatasan Masalah

Terkait dengan penulisan penelitian tentang KONVERSI MADZHAB SYIAH

DAN KHAWARIJ DI HADRAMAUT TAHUN 916 – 1200 M. penulis membatasi

berdasarkan dua hal pokok, pertama masalah ideologis yang bertolak belakang antar

Madzhab Syiah dan Mazhab Khawarij yang berkonversi di Hadramaut Kedua batasan

temporal berupa batasan tahun yang dimulai dari tahun 916 sampai dengan tahun

1200 M, ditahun itulah kedua golongan bertemu dan memulai negosiasi sehingga

berkonversi satu sama lain.

2. Perumusan Masalah

Masalah pokok dalam penulisan ini adalah bagaimana proses konversi

madzhab Syiah dan Khawarij di Hadramaut dengan sub masalah:

11

a. Siapa yang membawa Syiah dan Khawarij masuk ke Hadramaut?

b. Bagaimana kondisi sosial keagamaan di Hadramaut sebelum masuknya Syiah

dan Khawarij?

c. Apa hasil dari konversi madzhab Syiah dan Khawarij?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menguraikan proses konversi antara dua

golongan yang saling bertolak belakang yaitu golongan Syiah dan Khawarij yang

melahirkan madzhab Syafi‟i dari Suni. Dengan beberapa sub masalah sebagai

berikut: Siapa yang membawa Syiah dan Khawarij masuk ke Hadramaut, bagaimana

kondisi sosial keagamaan di Hadramaut sebelum masuknya Syiah dan Khawarij serta

apa hasil dari konversi madzhab Syiah dan Khawarij

Adapun kegunaan yang ingin penulis berikan melalui penulisan ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang masuknya Syiah dari Irak ke Hadramaut yang

bermadzhabkan Khawarij, serta proses dan hasil konversi antara kedua

Madzhab tersebut.

2. Menyumbangkan hasil pemikiran berupa karya sejarah dalam bentuk skripsi

bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas adab dan Humaniora, Prodi

Sejarah dan Kebudayaan Islam terkait dengan sejarah sosial keagamaan di

Hadramaut

12

3. Menjadi motivasi bagi para akademisi sejarah Islam di Indonesia untuk

mengkaji sejarah Hadramaut, yang paling banyak menyebar di Indonesia

dibanding dengan Negara Arab lainya.

D. Tinjauan Pustaka

Para penulis sejarah sepakat dengan kedatangan al-Muhajir dari Irak ke

Hadramaut dan pemahaman yang dianut oleh penduduk Hadramaut dengan madzhab

Khawarij. Hanya saja para penulis sejarah berbeda pendapat dalam pemahaman yang

dibawa dan disebarkan oleh al-Muhajir ke Hadramaut.

Menurut pendapat Allamah Sayyid Abdullah Haddad dalam bukunya

Thariqah Menuju Kebahagiaan. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa al-

Muhajir adalah seorang sunni bermazhab Syafi‟i. akan tetapi sudah barang tentu ia

tidak bertaklid buta kepada mazhab Syafi‟i mengingat bahwa ia sendiri adalah

seorang yang terkenal luas ilmunya, memiliki kemampuan melakukan istimbath (inti

sari) langsung dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Saw yang kedua duanya juga

merupakan dasar dan landasan utama pemikiran Imam Syafi‟i32

Namun sumber lainnya menyatakan bahwa ia mengikuti mazhab para

leluhurnya, para imam dari kalangan Ahlul Bait seperti Imam Ja‟far ash-Shadiq,

Imam Muhammad al-Baqir, dan Imam ali Zainal Abidin radhiallahu anhum,

32

Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, Penejamah:

Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1983, h. 16

13

berdasarkan pendapat ini pula ada beberapa pengarang buku yang menyebutkan Al-

Muhajir menganut mazhab Imamiyah.33

Menurut hasil study M. Hasyim Assagaf dalam bukunya Derita Putri-Putri

Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah , Terdapat perbedaan pendapat di kalangan

penulis sejarah tentang paham Ahmad Muhajir yang hijrah ke Hadramaut. Allamah

Abdurrahman bin Ubadillah Al-Saqqaf – dalam bukunya, Nasim Hajir – dan Sayyid

Hud bin Ali Al-Hamid – dalam bukunya, Tarikh Hadhramaut – berpendapat bahwa

“Imam Al-Muhajir adalah “pengikut Mazhab Syi‟ah Imamiah”. Pendapat ini dibantah

oleh Sayyid Ali bin Thahir Al-Haddad dan Abdullah Bilfaqih. (Muhammad Al-

Baqir). Perbedaan pendapat itu dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-

Syathiri dalam bukunya, Adwar Al-Tarikh Al-Hadhrami. Al-Syathiri sendiri

berpendapat bahwa para tokoh Alawi hingga permulaan abad ke-13 adalah imam-

imam mujtahid yang tidak mengikuti atau terikat pada salah satu mazhab. Namun,

dalam hasil ijtihad mereka sering terdapat kesesuaian dengan mazhab Syafi‟i. dalam

hal Akidah, Mereka Sepaham dengan para leluhur mereka sampai pada Ali bin Abi

Thalib r.a.34

Ditegaskan oleh abu Ferik ibn Muthalib dalam bukunya Sejarah Alawiyyin di

Indonesia bahwa kaum Alawi semula bermazhab Ahlulbait, yakni menganut Mazhab

Syiah Imamiah. Hemat Muhammad Al-Baqir Madzhab Ahlulbait terdahulu, tidak

33

Ibid, h. 18 34

Muhammad Ahmad as Syathiri, Sirah As-Salaf min Bani 'Alawy Al-Husainiyin Jeddah-

Saudi Arabia: Alam Al-Ma‟rifah 1405 H, h. 25

14

selalu dan tidak harus sejalan dengan Mazhab Syiah Imamiah yang dikenal

sekarang.35

Setelah melihat hasil konversi pada modern ini di Hadramaut, seperti

pembangunan makam-makam para wali dan ulama besar dengan cukup megah,

bahkan acapkali sangat mewah, dan ini sangat bertentangan dengan madzhab Ahlu

Sunnah yang tidak menyukainya, dan sebaliknya lebih sesuai dengan madzhab Syiah,

kemudian tradisi perayaan Asyura, Tabut Hasan-Husein, upacara-upacara ziarah ke

makam-makam para wali, peringatan-peringatan haul (hari wafat) mereka dan

sebagainya.36

Maka penulis berpendapat bahwasanya al-Muhajir mebawa

pemahaman madzhab Syiah dari Irak ke Hadramaut.

Dan diperkuat oleh Abdullah Haddad dalam bukunya Thariqah Menuju

Kebahagian kata yang penulis kutip dari buku itu seperti. “Dipilihnya mazhab Imam

Syafi‟i, juga kearena dianggap amat dekat dengan mazhab Ahlul Bait dalam

penyimpulan hukum-hukum Islam. Sebagaimana diketahui, Imam Syafi‟i sendiri

adalah dari keturunan Bani Muttalib yang bertemu dengan nasab Rasulullah saw.

Pada datuk beliau Abdu-Manaf bin Qusai. Kencintaan Imam Syafi‟i kepada Ahlul

Bait dikenal di mana-mana, seperti yang dikatakan dalam syairnya:

Wahai Ahlul-bait Rasulullah

Mencintaimu difardhukan Allah

Dalam al-Qur’an yang diwahyukan-nya.

35

M. Hasyim as Sagaf, Derita Putri-Putri Nabi, Bandung : Pt Remaja Rosdakarya, 2000, h.

94 36

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. l 51

15

Tidaklah sah salat seseorang

Yang tiada membaca salawat untukmu.

Itulah cukup tanda keutamaanmu

Menurut pendapat L.W.C. Van den Berg dalam bukunya Hadramaut dan

Koloni Arab di Nusantara. Para Qodi (hakim) memiliki kekuasaan peradilan perdata

dan pidana. Mereka mengambil keputusan berdasarkan kitab undang-undang buatan

para ahli hukum mazhab Syafi‟i, yang diterapkan juga di Nusantara sebagai

kekuasaan hukum.37

Menurut hasil penelitian Van den Berg pada abad 18 M Hadramaut adalah

mazhab Syafi‟i. Islam mazhab itu adalah satu-satunya agama di Hadramaut, tidak ada

agama Kristen maupun Yahudi, dan kemungkinan besar sampai saat ini pun orang

kafir tidak diperbolehkan tinggal, walaupun hanya sementara, di wilayah itu, kecuali

dalam keadaan sangat khusus. Juga tidak terdapat orang Islam aliran lain seperti

Syi‟i, Wahabi, dan Zaidi.38

37

Van den Berg Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, Jilid III Penerjemah Rahayu

Hidayat , Jakarta: INIS ,1989 h. 30 38

Ibid, h. 55

16

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif

dengan format deskriptif analitis, dengan pendekatan sosial agama. Untuk

mengetahui tingkah laku keagamaan ketika masa lampau dan mengetahui kronologi

proses peristiwa konversi madzhab Syiah dan Khawarij di Hadramaut

Teori yang dianggap relevan oleh penulis dalam penelitian ini, yaitu teori

William James yang menyatakan “konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar

sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan

Tuhan dan muncul pula perasaan perduli kepada orang lain. Inti konversi dari

perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang

baru dipeluknya itu.”39

Adapun untuk proses konversi yang dianggap relevan oleh penulis ialah teori

Rogers yang menyatakan "an Innovation is an idea, Practice, or object that is

perceived as new by an individual or other unit of adoption", Bahwa inovasi

merupakan suatu ide praktis, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau unit

adopsi lainnya. Sedangkan pengertian difusi menurut Roger adalah “ Difussion is the

process / by which an innovation is communicated throgh certain channols over time

among the member of a social system: jadi difusi adalah merupakan proses dimana

39

William James, The Varieties of Religious Experience: A Study In Human Nature, New

York: Longmans 1902, h.123

17

motivasi tersebar atau di komunikasikan dalam waktu tertentu kepada anggota

system sosial. 40

Dan untuk hasil dari konversi yang dianggap relevan oleh penulis ialah teori

Horton Chester yang menyatakan Asimilasi merupakan proses sosial yang terjadi

pada tingkat lanjut. Proses tersebut ditandai dengan adanya upaya-upaya untuk

mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara perorangan atau kelompok-

kelompok manusia. Bila individu-individu melakukan asimilasi dalam suatu

kelompok, berarti budaya individu-individu kelompok itu melebur. 41

Masyarakat Hadramaut pada umumnya menganut aliran Khawarij Ibadhiah

yang sangat membeci Ali bin Abi Thalib beserta keturunanya pasca pecahnya perang

Shiffin, dengan datangnya Ahmad bin Isa sebagai keturunan dari Ali bin Abi Thalib

yang membawa aliran Syiah sudah tentu menghasilkan reaksi yang keras dari

Masyarakat Hadramaut yang mayoritas golongan Khawarij Ibadhiah, karena dari

itulah terjadi Negosiasi/Kompromi antara kedua pihak ini yang pada akhirnya

gologan Syiah berkonversi kepada Sunni madzhab Syafi‟i yang menurut mereka lebih

dekat kepada Syiah, golongan ini tak henti-hentinya mendakwahkan pemahaman

yang mereka anut sehingga seluruh golongan Khawarij berkonversi secara total ke

madzhab Syafi‟i. pada abad ke tujuh Hijriah hingga sekarang.

40

Everett M Rogers, Diffusions of Innovations Forth Edition, New York: Tree Press, 1995,

h. 138 41

Paul B. Horton Chester L. Hunt, Sosiologi, penerjamah: Aminuddin Ram, edisi IV, Jakarta:

Erlangga, 1990, h. 625

18

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data

yang meliputi 4 tahapan yaitu:42

Heuristik, berupa kegiatan mengumpulkan sumber sejarah. Adapun sumber

yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber, yaitu: sumber

primer yang bersifat tertulis, berupa sumber yang diterbitkan seperti biografi,

dokumen, naskah-naskah. kemudian wawancara dengan orang-orang Hadramaut

yang ada di Indonesia.

Adapun sumber data sekunder berupa pandangan, buku-buku terkait, tesis,

disertasi, majalah, surat kabar, jurnal serta sumber elektronik dari website milik

instasi resmi.

Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan penulis dengan menggunakan

metode penelusuran keperpustakaan (Library Research), yakni mengunjungi beberapa

lembaga yang memiliki koleksi buku maupun arsip terkait tema penelitian ini, seperti

lembaga Rabitoh Alawiyyah untuk memperoleh informasi langsung dari Habaib

Hadramaut terkait dengan tema yang penulis teliti, Perpustakaan Jamiatul Khair

untuk mencari buku-buku, hasil penelitian, tesis, jurnal, disertasi terkait dengan

Hadramaut, Perpustakaan Faultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Umum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mencari buku-buku maupun skripsi dengan tema

serupa.

42

Muhamad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, Bandung: Yrama Widya, 2011, Hal 31

19

Kemudian setelah mengumpulkan data-data, tahapan selanjutnya adalah kritik

sumber. Penulis berusaha membandingkan, menganalisis dan mengkritisi beberapa

sumber yang telah penulis dapat, baik sumber primer, skunder maupun sumber

elektronik guna mendapat sumber yang valid dan relevan dengan tema kajian.

Tahapan selanjutnya interpretasi data, yakni penulis melakukan analisa

sejarah untuk mengungkap masalah yang ada, dalam hal ini penulis berusaha melihat

fakta yang penulis dapat dari pengumpulan data dan kritik sumber, sehingga

memperoleh pemecahan atas masalah tersebut.

Terakhir penulis menuliskan hasil pemikiran dari penelitian serta memaparkan

hasil dari penelitian sejarah secara sistematika yang telah diatur dalam pedoman

penulisan skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga

baik dalam metode penulisnya. Tahapan terakhir ini disebut dengan historiografi.43

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri ke dalam lima Bab pembahasan.

Bab Pertama, membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan

dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan metode

penelitian, tinjauan serta sistematika penulisan

Bab Kedua, akan membahas Syiah dan Khawarij di Hadramaut dengan sub-

sub sebagai berikut: Khawarij di Hadramaut pra kedatangan Syiah dari Irak,

43

Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995, h.109

20

kedatangan Syiah dari Irak ke Hadramaut, hilangnya Syiah di Hadramaut, hilangnya

Khawarij di Hadramaut pasca kedatangan Syiah dari Irak

Bab Ketiga, akan membahas proses konversi Syiah dan Khawarij di

Hadramaut, serta membahas faktor apa saja yang mendorong Syiah dan Khawarij

berkonversi dan apa hasil konversi mereka.

Bab Keempat, berisi kesimpulan ditambah rekomendasi penulis kemudian

dilanjutkan dengan daftar pustaka.

21

BAB II

SYIAH DAN KHAWARIJ DI HADRAMAUT

A. Khawarij di Hadramaut pra kedatangan Syiah dari Irak

1. Syiah di Yaman dan Khawarij di Hadramaut serta Oman

Pada awal abad Hijriah daerah Yaman, Hadramaut dan Oman belum

memasuki pemetakan wilayah, seperti abad modern yang kita kenal sekarang.

Pemetakan wilayah tersebut terjadi setelah masa kolonialisme Eropa, pada abad ke-

19 Masehi.1 Diantara Yaman Utara dan Yaman Selatan (Hadramaut) terdapat sekat

pemisah yaitu lembah-lembah yang luas yang memisahkan kedua wilayah tesebut,

sedangkan dengan Oman, Hadramaut lebih dekat.2 Pada abad kedua Hijriah, Yaman

Utara dikuasai oleh golongan Syiah sedangkan Yaman Selatan3 (Hadramaut) dan

Oman dikuasai oleh golongan Khawarij.4 Didalam sub bab ini penulis akan

menguraikan kronologis sejarah Khawarij di Hadramaut dan Oman serta Syiah di

Yaman (berbeda dengan Syiah yang akan penulis bahas pada penguraian selanjutnya)

Pada pertengahan abad ke-2 H, Kharwarij Sekte Ibadhiah5 telah masuk ke

Hadramaut yang dipelopori oleh Abdullah bin Ibadh.6 Gerakan ini pertama kali

1 Samuel P. Hutington, The Class of Civilization Remaking of World Order, New York:

Touchstone, 1997, h 209 2 Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab Nusantara, h. 7

3 Umar Mauliddawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, h. 31

4 Hasyim Assaggaf, Derita Putri-Putri Nabi, h, 93

5 Al-Ibadhiah adalah salah satu paham Khawarij, mereka terpecah menjadi 20 aliran dan yang

paling dominan adalah al-Ibadhiah yang diambil dari nama pembesarnya, Abdullah bin Ibadh yang

didirikan di Bashar, dialah pelopor kelompok ini. lihat: Wilfred Madelung, ed., Warmer Daum “Islam

in Yamen” dalam Yamen 3,000 Years of Art and Civilization in Arabia Felix Austria: Pinguin Verlag,

1987, h. 174

22

muncul di bawah pimpinan Abdullah bin Yahya al-Alkindi (w. 130 H) yang

menjuluki dirinya sebagai Thalib al-Haq (pencari kebenaran). Dia adalah orang

pertama yang menjadi imam dan panutan bagi kelompok ibadhiyyin (pengikut aliran

al-Ibadhiah) di Hadramaut. Dia pula yang mempelopori gerakan revolusi melawan

pemerintahan Bani Umayyah, Marwan Bin Muhammad pada tahun 129 Hijriyah.7

Setelah menguasai wilayah Hadramaut dan menjadikan kota Shibam sebagai

pusat kepemimpinannya, al-Kindy melebarkan sayap ke San‟a dengan membawa

2000 pasukan khusus dan berhasil menguasainya. Lengkap sudah kekuasaan al-Kindy

di Hadramaut. Tetapi ia masih ingin memperluas wilayah kekuasannya sampai Hijaz,

yakni Makkah dan Madinah. Sesampainya di Makkah, tepat pada musim haji, al-

Kindy berhasil memperluas teritorialnya dengan menguasai Mekkah. Seorang

panglima perangnya, Abu Hamzah, berhasil menguasai Makkah dan melanjutkan

jejaknya ke Madinah. Kota itu berhasil dikuasai setelah terjadi pertempuran sengit di

daerah Qadid, dekat Madinah.8

Keberhasilan menguasai Hijaz tidak membuat dirinya terlena, dengan

berencana mengirim pasukan untuk menyerang pemerintahan Umawiyah di Syam

(sekarang Suriah dan sekitarnya). Tapi sebelum pasukan al-Kindi menyerang,

Marwan bin Muhammad, seorang pemegang tampuk kekuasaan dan pemerintahan

6 Ahmad Imron dan Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta Wali, Surabaya, Cahaya Ilmu, t.t,

h. 41 7 Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 93

8 Ahmad Imron dan Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta Wali, h. 41

23

Umawiyah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Abdul Malik bin Athiyah as-Sa‟di

dan berhasil mengalahkan pasukan Al-Kindy.9

Setelah pertempuran selesai, Abdul Malik pergi ke Sana‟a untuk membunuh

al-Kindy. Sampai di San‟a tepatnya di daerah Tubala, mereka bertemu dengan

pasukan Al-Kindy. Pertempuran pun terjadi untuk kedua kalinya, pasukan al-Kindy

mengalami kekalahan dan Al-Kindy terbunuh dalam pertempuran tersebut.10

Sepeninggal al-Kindy tampuk kekuasaan dipegang Abdullah bin Sa‟id al-

Hadrami. Selain Abdullah bin Sa‟id, ada tokoh al-Ibadhiah yang kharismatik pada

akhir abad ke-2 H, yaitu Muhammad bin Amr bin Abdullah al-Haritsy al-Hadrami.

pada awal hingga pertengahan abad ke-5 H, ada pula tokoh al-Ibadhiah yang cukup

ternama, dia adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Qais bin Sulaiman al-Hamdani al-

Hadhrami (454 H). Pada abad ke-6, aliran al-Ibadhiah melegenda di bawah

kepemimpinan keluarga an-Nu‟man, keturunan Bani ad-Daghar para penguasa kota

Shibam.11

Bertepatan dengan pemberontakan Khawarij di Hadramaut, pada tahun 130 H

di Oman, terjadi pula pemberontakan terhadap kekuasaan Muawiyah, mereka

mengangkat penguasa setempat menjadi Imam. Di Oman Imamah Ibadhiah berdiri

9 Ahmad Imron dan Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta Wali, h. 41

10 Ibid, h. 42

11 Amir al-Najjar, al-Khawarij Aqidatan wa Fikran wa Falsafatan. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1990,

h. 93

24

sendiri secara independen hingga tahun 280 H. dan berakhir ketika Oman diserang

pasukan Abbasiah tahun 400 H. kekuasaan Ibadhiah di sana berakhir.12

Al-Mas‟udi dalam kitab sejarahnya menuliskan, “dan Khawarij masuk ke

Hadramaut. Umumnya mereka adalah pengikut aliran Ibadhiah hingga saat ini (332

tahun, penulisan buku tersebut). Tidak ada perbedaan antara Khawarij yang ada di

Hadramaut dengan kelompok Khawarij yang ada di Oman hingga saat ini.”13

Sedangkan pada akhir abad ke-1H, hingga awal abad ke-2 H, Yahya bin

Husein ar-Russi berhasil mendirikan Daulah Syi‟ah Zaidiyah14

di Yaman Utara,

karena Daulah Abbasiyah saat itu mulai melemah. Daulah Zaidiyah ini dikenal juga

dengan Daulah Russia tau Daulah A‟imah yang menerapkan asas teokratik dalam

sistem pemerintahannya.15

Pertanyaanya, kenapa Syiah di Yaman dan Khawarij di Hadramaut serta

Oman tidak saling merebut kekuasaan sehingga ada salah satu kekuatan yang

menguasai daerah satu sama lainnya, Padahal kedua golongan tersebut saling bertolak

belakang dalam politik dan pemahaman? Menurut Hemat penulis dengan mengacu

pada pendapat Van der Berg tentang geografis16

Hadramaut, bahwasanya di antara

wilayah Yaman Utara dan Hadramaut tersebut terdapat sekat pemisah yang

merupakan lembah yang sangat luas, sebagai pemisah kekuasaan mereka masing-

12

Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 93 13

Abu Bakar al-Adni Ali-Masyhur, Biografi Ulama Hadramaut, Jakarta: Ma‟ruf, 2011, h. 20 14

yaitu kelompok dari para penganut faham Syiah yang ajarannya mendekati faham

Ahlusunnah Wal Jama‟ah dikutip dari Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh di

Indonesia, Malang: Pustaka Bayan, 2008, h. 10 15

Ayman Fuad Sayyid, Tarikh al-mazaahib al-diniyah fi bilad al-Yaman, Kairo : Dar Al-

Misriyah, 1988, h. 121 16

Van der Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 7

25

masing. Sehingga mencukupkan bagi masing-masing wilayah untuk tidak saling

mengganggu antara satu sama lain. Walaupun ada penulis sejarah seperti Abdul Qadir

Umar Mauladdawilah, dalam bukunya 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia,

menyatakan Khawarij saling berebut pengaruh dengan kelompok Zaidiyah, tetapi

hanya sebatas berebut pengaruh. Kemudian faktor yang lainya, dikarenakan kedua

kekuasaan ini terfokus kepada kekuatan besar yang sedang mereka hadapi yaitu

dinasti Umayyah dan Abbassiah.17

Pada tahun 1939 M kedatangan Inggris sempat menduduki pelabuhan Aden di

Hadramaut yang terletak di wilayah Selatan Yaman, saat itu Inggris menjadikan

kawasan sekitarnya sebagai negeri-negeri naungan guna memperkuat jajahannya di

Timur Tengah.18

Namun pada tahun 1967 M, perlawanan Yaman dengan bantuan Mesir berhasil

mengusir Inggris dari wilayah Aden. Sejak itulah kawasan di sekitar Pelabuhan Aden

yang disebut sebagai Yaman Selatan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Inggris,

dan saat ini dikenal dengan Republik Demokratis Rakyat Yaman.19

Melihat banyaknya persamaan dalam berbagai hal, akhirnya Yaman Utara dan

Yaman Selatan bersatu pada 22 Mei 1990 M. Penyatuan itu diharapkan mewujudkan

sebuah negara yang integral dan sejahtera, walaupun beberapa saat setelah itu masih

17

Nourouzzaman Shiddiqi, Syiah dan Khawarij dalam perpektif sejarah, Yogyakarat: Plp2m,

1985, h. 52 18

Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, Malang: Pustaka Basma, 2012,

h. 04 19

Ibid, h. 05

26

terjadi konflik. Sejak awal bersatu, Ali Abdullah Shaleh dikukuhkan sebagai presiden

pertama Yaman Utara dan Yaman Selatan (Hadramaut)20

Meskipun Hadramaut berada dibawa kekuasaan Yaman tetapi kehidupan di

Hadramaut tidak banyak dipengaruhi oleh sistem pemerintahan maupun tata

kehidupan di Yaman. Keadaan Hadramaut dan Yaman diibaratkan seperti keadaan

Indonesia dengan Timor Leste, ketika terjadi konflik di Timor Leste pada tahun 1999

M, masyarakat dunia mengira hal itu terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Padahal,

lokasi Timor Leste sangat jauh dari Jakarta.21

Menurut hemat penulis yang mengakibatkan Hadramaut bersatu menjadi

kesatuan Republik Yaman atau yang secara resmi bernama al-Jumhurriyah al-

Yamaniah adalah karena faktor kolonial Inggris yang pernah menjajah Yaman dan

Hadramaut, dan yang menjadikan Hadramaut tidak banyak dipengaruhi oleh sistem

pemerintahan maupun tata kehidupan di Yaman Utara adalah karena adanya sekat

pemisah antara kedua daerah tersebut yang merupakan lembah-lembah yang luas.

2. Khawarij di Hadramaut

Yaman Hadramaut memiliki kontribusi besar dalam perjalan dan

perkembangan Islam. Semenjak awal risalah Islam sampai kepada penduduk Yaman

Hadramaut, mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam sukarela. Pada masa

Daulah Islamiyah, para mujahidin (para pembela islam) Yaman Hadramaut turut serta

20

Ibid 21

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, h. 39

27

dalam pembebasan Islam di Wilayah Syam, Mesir, Afrika Utara, Andalusia dan

Sebagainya.

Sejak dahulu masyarakat Yaman Hadramaut terkenal ramah dan memiliki ati

yang lembut. Kelembutan hati penduduk Yaman Hadramaut ini diakui oleh

Rasulullah SAW, ketika deligasi Yaman Hadramaut datang ke Kota Madinah,

Rasulullah saw bersabda: “Atakum ahlul Yaman Hadramaut, hum araqu afidatan wa

alyanu quluban yang artinya, “telah datang pada kalian penduduk Yaman Hadramaut,

mereka adalah orang yang paling lembut dan lunak hatinya.”22

Kemudian

diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman Hadramaut, dari

Abu Dzar al-Gifari, Nabi saw bersabda “kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri

Yaman Hadramaut karena disana banyak terdapat keberkahan. Karena sifat

keramahanya itulah, maka Negeri Yaman Hadramaut seringkali diperebutkan oleh

berbagai kekuasaan pemerintahan.23

Pada abad Ke-2 H Khawarij Ibadhiah memasuki Hadramaut, Khawarij

Ibadhiah adalah pengikutnya Abdullah bin Ibadh. Sudah penulis singgung dalam

pembahasan sebelumnya bahwa Abdullah bin Ibadh lah yang membawa Khawarij

Ibadhiah ke Hadramaut. Aliran ini paling dekat dengan aliran Sunni, dan

berpandangan jauh lebih toleran dibanding aliran-alirang Khawarij lainnya. Itulah

sebabnya – berbeda dengan aliran-aliran Khawarij lainnya – aliran ini masih sanggup

22

Muslim, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits Kutub Assitah,

Jilid III: Shahih Muslim I, Kitabul Iman, 21 – Bab Tafadul Ahlil Iman fiihi wa Rujhani Ahli Yaman

fiihi, no. 181, Penejamah Ferdinand Hamand dkk, Jakarta: Almahira 2012, h. 45 23

Aidarus Alwee Al-Mashoor, Sejarah, Silsilah dan Gelar Alawiyin Keturunan Imam Ahmad

bin Isa Al-Muhajir, (Jakarta: Maktab Daimi-Rabithah Alawiyah, 2010), h. 48

28

bertahan. Hingga kini, kelopok ini masih dapat ditemukan di Magrib (Maroko) dan

Amman. Ini disebabkan karena toleransi mereka terhadap orang-orang yang berbeda

pendapat dengan mereka.24

Kaum Ibadhiah memiliki majelis halaqah, yaitu majelis bawah tanah. Sebagai

bukti dari gerakan bawah tanah mereka, apabila mereka melakukan pertemuan, selalu

ada seseorang yang berdiri di depan pintu dengan mengigit seutas rantai yang dia

goncang-goncangkan bila datang seseorang yang dicurigai.25

Pada pertemuan seperti

itu, dikajilah masalah-masalah ushul dan furu‟, tauhid, syari‟ah, pandangan berbagai

aliran, bahasa, falak, fisika – di samping hukum terapan dan politik. Dengan itu,

mereka memasuki era perjuangan terbuka. Bila bekal dan pendukung mereka telah

memungkinkan, mereka segera melakukan gerakan. Gerakan ini pecah di Yaman dan

Magrib bahkan sanggup memproklamasikan Imamah secara terang-terangan pada

tahun 140 H.26

Jelaslah bahwa organisasi yang rapih dan kepemimpinan yang bijaksana yang

diterapkan oleh para pemimpin Ibadhiah inilah yang mendukung berkembangnya

mazhab ini. Sebab-sebab keberhasilan gerakan Ibadhiah pada periode tersebut

disimpulkan dengan baik oleh Mahdi Thalib dalam bukunnya al-Harakah al-

Ibadhiyyah fi al-Masyir al-Arabi sebagai berikut:27

24

Amir al-Najjar, al-Khawarij Aqidatan wa Fikran wa Falsafatan, Kairo: Dar al-Ma‟arif 1990,

h. 84 25

Ahmad bin Sa‟id bin Abd al-Wahid Al-Syamakhi, al-Siyar Hijr, Kairo: tp, tt, h. 124 26

Amir al-Najjar, al-Khawarij Aqidatan wa Fikran wa Falsafatan, h, 91 27

Mahdi Thalib Hasyim, al-Harakah al-Ibadhiyyah fi al-Masyir al-Arabi, Kairo: tp, 1981, h.

93 dan 95

29

Pertama, wawasan luas yang dimiliki Ibn Abi Karimah28

dan kajiannya yang

mendalam tentang daerah yang berkembang di lingkungan pemerintah Bani

Umayyah berikut kaitanya dengan pemerintahan pusat ketika Abu Ubaidah Muslim

bin Abi Karimah menangkap isyarat bahwa pemerintahan Bani Umayyah sedang

berada pada tahap kemerosotannya, dia pun mendorong para pengikut Ibadhiah di

Yaman untuk mempercepat pemberontakan mereka. Karena beberapa alasan, mereka

tidak pernah berpikir untuk melakukan pemberontakan dari Bashrah, kendati kota ini

merupakan pusat organisasi Ibadhiah. Alasan terpentingnya adalah karena di dekat

Basrah terdapat markas pemerintahan Bani Umayyah yang kuat, di samping adanya

kelompok-kelompok penentang (non-Ibadhiah) lainya.

Kedua, masalah kepemimpinan sosial pergerakan. Di Hadramaut terdapat

sejumlah syekh Ibadhiah yang merupakan anggota Majelis Pemusyawaratan. Mereka

berkemampuan tinggi dalam berorganisasi, yang dapat membantu Ibn Abi Kharimah,

seperti al-Dhamam bin al-Sa‟ib, Abi al-Hurr bin al-Hushain, dan Hajib yang

bertanggung jawab atas seluruh aktifitas yang kuat untuk pemberontakan di

Hadramaut pada tahun 129 H, di sepanjang masa kemerosotan dan menjelang

keruntuhan Daulat Bani Umayyah.

Ketiga, potensi intelektual Hadramaut yang sanggup melahirkan para

pendakwah Ibadhiah, dan simpati masyarakat di wilayah ini terhadap madzhab

Ibadhiah.

28

Ibn Abi Karimah ini adalah Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimah, pimpinan Majelis

gerakan bawah tanah Ibadhiah setelah meninggalnya pimpinan pertama mereka Jabir bin Zaid.

30

Keempat, keikhlasan dan loyalitas para pemimpin Ibadhiah Hadramaut yang

sangat tinggi terhadap Ibadhiah. Mereka mengabdikan hidup mereka untuk

mendakwahkan mazhab mereka tanpa motif duniawi apa pun. Ini terbukti dari

pernyataan seorang propagandis mereka yang bernama Salamah bin Sa‟id –

propagandis Ibadhiah yang pertama di Magrib. “Aku sangat berharap bahwa mazhab

ini, Ibadhiah, dapat muncul di Magrib biarpun barang sehari saja, dan sesudah itu aku

tidak peduli lagi bila ada yang memenggal leherku.”

Kelima, keandalan para dai Ibadhiah ketika mereka menjalani masa-masa

pergerakan rahasia, sekalipun harus menghadapi berbagai siksaan. Ini terlihat pada

tetap bungkamnya para juru dakwah mereka ketika dipaksa membuka mulut tentang

adanya organisasi bawah tanah mereka, sehingga para penguasa Bani Umayyah dan

Abbasiah tidak berdaya menghadapi kekuatan bawah tanah yang dimikian

tersembunyi itu.

Dan dari uraian Mahdi Thalib tersebut penulis dapat menginterprestasikan

bahwasannya Khawarij Ibadhiah di Hadramaut merupakan kekuatan terbesar

Khawarij Ibadhiah, dengan Basrah sebagai pusat pergerakannya.

Untuk prinsip-prinsip penting Ibadhiah adalah aliran Khawarij, yang

pendapatnya paling moderat dan toleran. Ibadhiah berpendapat, bahwa kaum Muslim

yang berbeda pendapat dengan mereka bukanlah musyrik tapi bukan pula mukmin.

Mereka sebut kafir, tapi kafir nikmat, bukan kafir dalam akidah. Sebab, mereka

bukanlah kafir terhadap Allah, melaikan tidak mengerti tentang Allah Swt. Itu

31

sebabnya mereka menghalalkan orang-orang Ibadhiah menghalalkan orang-orang

Ibadhiah menikah dan mewarisi dengan mereka.29

Ibadhiah tidak mengahalalkan

ghanimah (harta rampasan perang) orang-orang Islam yang mereka perangi, kecuali

binatang tunggangan, senjata, dan harta benda selain itu, haram dijadikan ghanimah.

Berdasarkan ketentuan itu maka penganut Ibadhiah mengembalikan emas dan perak

yang mereka rampas. Mereka juga mengharamkan membunuh orang yang tidak

sependapat dengan mereka secara sembunyi-sembunyi atau merampoknya. Mereka

baru membolehkan membunuh musuh mereka sesudah mereka mengemukakan

argument dan menyatakan perang. Negeri orang-orang Islam yang berbeda pendapat

dengan mereka adalah negeri tauhid, bukan negeri kafir,30

kecuali daerah yang

mereka jadikan pangakalan militer. Seterusnya, Ibadhiah juga mengakui kesaksian

orang yang berbeda pandangan dengan mereka.31

3. Madzhab selain Khawarij di Hadramaut

Masyarakat Hadramaut adalah masyarakat heterogen, kebanyakan dari

masyarakat Hadramaut masih terikat pada hukum-hukum kesukuan yang

bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, terdapat pula kelompok masyarakat

penganut Ibadhiah, cabang dari sekte Khawarij yang sangat membenci Ali bin Abi

Thalib.32

Kemudian sebagian dari mereka lagi merupakan penganut Ahlusunnah dan

29

Berbeda dengan Khawarij pada umumnya yang menyatakan mereka kafir tidak boleh untuk

dinikahi. 30

Sementara itu, para pembesar Khawarij sebelumnya mengatakan bahwa negri orang-orang

yang berbeda keyakinan dengan mereka adalah Negeri Musyrik 31

Muhammad bin Sa‟id bin Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Kairo, al-

Qahirah, 1980, h. 21 32

Hassyim Assagaf, Derita putri putri rasul, h. 95

32

Syiah. Namun jumlah kelompok Khawarij Ibadhiah lebih banyak dan cenderung

mendominasi.33

Menurut Abu Ferik dominasi ini terlihat dari penggunan istilah-

istilah dalam dialek sehari-hari masyarakat Hadramaut.34

Di Tarim dan Jubail terdapat beberapa ulama dan tokoh-tokoh wali dari

Ahlusunnah,35

sebagian besar mereka dari keluarga al-Khatib, Ba Fadhal36

Ba-abbad,

Bajammal, Bamakhramah, Basudan, Baras, Basyarhil, Baktsir, Al-Amudi dan lain-

lain.37

Dikutip dari Al-Sakhawi dari Al-Janadi, bahwa di Yaman Utara saat itu

terdapat madzhab Syafi‟i, Hanafiah, sebagian besar madzhab Zaidiyah dan madzhab

Usmaniyyah di Hadramaut. Madzhab Usmaniyah mereka adalah kaum Nawashib,

dan Madzhab Ismailiyah yang berada di gunung-gunung, serta kelompok-kelompok

kecil.38

Namun pun demikian menurut penulis dengan mengacu pada sumber-sumber

sejarah yang ada, dikatakan bahwa golongan Khawarij merupakan golongan yang

paling banyak terdapat di masyarakat di Hadramaut dan mereka mendominasi dan

menguasai politik diwilayah tersebut.

33

Abu Bakar al-Adni bin Ali Al-Masyhur, Biografi Ulama Hadramaut, Penerjamah: Hamid

Jafar Al-Qadri Jakarta, Ma;ruf 2011, h. 20 34

Ibid, h. 39 Pendapat yang serupa diajukan pula oleh Muhammad Al-Baqir dalam pengantar

tentang kaum Alawiyyin hlm 16 melarang umat bertaklid dalam hal keimanan adalah salah satu doktrin

Syi‟ah Imamiah” 35

Menurut Muhammad bin Salim Al-Bijjani, Negeri Jubail penduduknya mempunyai sifat yang

baik, mereka berasal dari suku Kindah dan Sodap. Negeri Jubail terletak di Wadi Du‟an yang

penduduknya bermadzhab Ahlusunnah dan Syi‟ah yang dikelilingi oleh penganut Ibadhiah. Dikutip

dari Aidarus Alwee Al-Mashoor, Sejarah, Silsilah dan Gelar Alawiyin Keturunan Imam Ahmad bin

Isa Al-Muhajir, Jakarta: Maktab Daimi-Rabithah Alawiyah, 2010, h. 41 36

Abu Bakar al-Adni, Biografi Ulama Hadramaut, h. 11 37

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagian, h. 21 38

Abu Bakar al-Adni, Biografi Ulama Hadramaut, h. 83

33

B. Kedatangan Syiah dari Irak ke Hadramaut.

1. Hijrahnya al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut

Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan, khususnya

di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara (fitnah). Kerajaan

Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi pemberontakan dan huru-

hara yang senantiasa timbul dan telah membuat seluruh dunia Islam bergolak laksana

periuk yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan keamanan

umum yang telah goyah selama bertahun-tahun. Semua itu membuat banyak orang -

terutama tokoh-tokoh yang menonjol - berhijrah meninggalkan kampung halamannya

mencari kediaman yang aman. Untuk lebih detailnya sudah penulis paparkan dalam

bab pendahuluan.

Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir.

Sebab Al Muhajir- seperti tokoh-tokoh Ahlul Bait yang lainnya selalu merasa

ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal

demikian makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana

musuh-musuh Alawiyin39

rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya

dan membantai mereka.40

Hal ini terutama akibat rasa khawatir bahwa di dalam

suasana kacau itu, kaum Alawiyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali

kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban mereka

adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait, keturunan Nabi

39

Alawiyyin adalah sebutan untuk keturunan Ali bin Abithalib 40

Sayid Muhammad Ahmad as-Syatiri Sirah as-Salaf min Bani Alawi al-Husaniyiin Jeddah: al-

Alim al-Marifah, 1985, h. 8

34

pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir mereka

(umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya.41

Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan

menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya untuk tidak

terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaran-pelajaran praktis

yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini. Karena itu, bergerak

di dalam lapangan politik - menurut pandangan mereka - akan selalu berakhir dengan

kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain

berpendirian, bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk

menyelamatkan umat, yang harus terus menerus berjuang sehingga tujuan tercapai,

atau mati bergelimang darah di tengah medan pertempuran.42

Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya

Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya

terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu memperingatkan

dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak melakukan perlawanan.

Peringatan dan nasihat diberikan secara terus menerus, sehingga akhirnya merasa

puas dan yakin akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan

perlawanannya.43

41

Perseteruan antara Ahlul bait dan kaum Quraisy di gambarkan juga oleh Muhammad Husain

Haekal, Umar bin Khattab Sebuah Telaah mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatanya

masa itu. penerjamah: Ali Audah, Bogor: Litera AntarNusa, 2002, h. 806 42

Sayid Muhammad Ahmad as-Syatiri Sirah as-Salaf min Bani Alawi al-Husaniyiin, h. 9 43

Ibid

35

Kemudian Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri

yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah

sekadar dapat hidup aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan

kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman,44

setelah

menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di daerah-

daerah lain, berupa pemberontakan, huru-hara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu

menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati.45

Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bahwa Al Muhajir hanya

bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan masyarakat

di sekitarnya. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru

ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya.

Menurut pendapatnya al-Imam Habib Ali bin Abubakar as-Sakran di dalam

kitab al-Barqah al-Masyiqah:46

“berkat hijrahnya al-Imam al-Muhajir ke Hadramaut,

maka selamatlah anak cucu beliau dari berbagai kerusakan akidah, fitnah, kegelapan

bid‟ah, penentangannya dan para pengikutnya.

Menurut hemat penulis, faktor-faktor kepindahan al-Muhajir dari Irak ke

Hadramaut disebabkan karena:

- Suasana politik yang yang gawat di kota Basrah dan juga di seluruh

penjuru negeri Irak. Pemerintah Abbasiyah menerima penentangan dan

44

Madjid Hasan Bahafdullah, dari Nabi Nuh a.s. sampai Orang Hadramaut di Indonesia, h.

105 45

Sayid Muhammad Ahmad as-Syatiri Sirah as-Salaf min Bani Alawi al-Husaniyiin, h. 10 46

Habib Ali bin Abubakar as-Sakran , al-Barqah al-Masyiqah, h. 33

36

serangan dari golongan pemberontak seperti dari kaum Zinji, Qaramithah

serta beberapa kelompok lainya.

- Timbulnya berbagai fitnah, bencana dan kedengkian dikalangan

masyarakat Irak, dalam masalah agama serta juga perebutan politik.

- Berlakunya penghinaan terhadap para golongan keterunannya Alawiyyin

serta beratnya berbagai tekanan yang mereka rasakan.

- Adanya gerakan Sunni. Pada masa pemerintahan Almutawakil, Dinasti

Abbasiah. Gerakan sunni bertujuan “memulihkan” kembali ajaran Islam,

terbebas dari catur-Akar dan catur-Filsafat, seperti yang dianut oleh

kalangan Salaf yakni anutan pada masa sahabat-sahabat Nabi dua abad

yang silam

- Terjadi deskriminasi agama dan aliran, yang menyebabkan golongan

Syiah ditindas, terutama ulama dari kalangan Ahlulbait

Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti

berbagai keyakinan bid‟ah yang sangat buruk yang ketika itu melanda sebagian besar

masyarakat yang berada di Irak. Kemudian beliaupun berhijrah ke Hadramaut dan

menetap di Kota Tarim. Dari sinilah akhirnya muncul keturunan al-Imam al-Muhajir

hamba-hamba Allah yang berakhlak mulia serta berbudi pekerti luhur.”47

Al-Muhajir berangkat pada tahun 317 H meninggalan Basrah bersama

istrinya, Zainab binti Abdullah bin Hasan bin Ali al-Uraidhi, putranya yang bernama

Abdullah beserta isterinya, Ummul-Banin binti Muhammad bin Isa, dan putera (cucu

47

Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, h. 87

37

al-Muhajir) bernama Ismail (Basri). Ikut bersama mereka sebanyak 70 orang keluarga

lainya dan para pengikut mereka. Tiga orang putranya yang lain, Muhammad, Hasan

dan Ali serta saudara laki-laki al-Muhajir bernama Muhammad bin Isa tetap di Irak

untuk mengelola tanah-tanah perkebunan milik keluarga mereka.48

Kafilah itu tiba dikota Madinah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada

bulan Dzul-Hijjah tahun itu, kaum Qaramithah memasuki kota Makkah, dan

mencabut Hajar Aswad dari tempatnya di Ka‟bah kemudian membawanya pergi ke

Bahrain negeri asal mereka, dan baru 22 tahun kemudian mengembalikannya di

tempatnya semula.49

Pada tahun berikutnya (318 H), Imam al-Muhajir menunaikan ibadah haji dan

ketika tawaf mengusapkan tanggannya di tempat Hajar Aswad yang kosong itu. Di

kota Makkah ia mendengar tentang peristiwa-peristiwa menyedihkan berupa

pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan yang terjadi ketika kaum Qaramithah

menyerbu ke sana. Oleh sebab itu, setelah bermusyawarah dengan keluarganya, ia

berangkat meninggalkan Hijaz menuju Hadramaut yang diaanggapnya negeri paling

tepat.50

Imam Ahmad al-Muhajir memiliki kekayaan amat besar ketika masih di Irak.

Diriwayatkan bahwa ketika sampai di Hadramaut, ia membawa serta tigabelas ekor

onta yang mengangkut emas dan perak, sebagian dari kekayaannya di Irak. Padahal

dalam perjalannnya yang memakan waktu lebih dari satu tahun itu, ia telah

48

Idrus Alwi al-Masyhur, menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, h. 15 49

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 14 50

Ibid, h. 15

38

mengeluarkan biaya-biaya yang tidak sedikit51

. Ketika masuk ke Hadramaut beliau

melaui arah negeri Yaman52

, disebutkan dalam kitab Al-Masyra‟ ar-Rawi, bahwa

kota pertama yang di singgahinya di hadramaut adalah al-Hajrain. Dan dari beberapa

sumber menyatakan kota yang pertama kali ia singgahi adalah Jubail,53

dimana

penduduknya mempunyai sifat yang baik dan mereka menerima dengan senang hati

kedatangan Imam al-Muhajir. Jubail terletak di Wadi Du‟an yang penduduknya

bermadzhab Ahlussunnah dan Syi‟ah yang dikelilingi oleh penganut madzhab

Ibadhiah. Penduduk Jubail berasal dari suku Kindah dan Sodap, tidak lama kemudian

Imam Ahmad al-Muhajir pindah ke Hajrain.54

Di sana ia membeli rumah dan tanah

perkebunan korma seharga 1500 Dinar. Beberapa waktu kemudian, ia meniggalkan

kota itu dan menghadiahkan rumah dan perkebunan tersebut kepada seorang

pengikutnya bernama Syawih.55

Al-Muhajir bersama keluarganya untuk sementara

tinggal di perkampungan bani Jusyair dan dari sana berangkat lagi dan akhirnya

menetap di desa Husaisah dekat kota Tarim56

Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti-hentinya berjuang

melawan kaum Ibadhiah yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Yaitu

setelah gagal berdialog dengan mereka secara baik, sehingga terpaksa senjata harus

51

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 15 52

Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, h. 91 53

Ibid, h. 92 54

Al-Mashoor, Sejarah, Silsilah & Gelar Alawiyin Keturunan Imam Ahamd bin Isa al-

Muhajir, h. 40 55

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h.15 56

Al-Allamah Muhammad bin Abubakar as-Syilli, al-Masyra‟ ar-Rawi fi Manaqib as-Sadah

al-Kiram al-Ba‟alawi, Jilid I tahun 1319 H. h, 124

39

berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah mendapat

dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dau'an yang bersimpati kepada Ahlulbait

Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran) diterima

kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka, yang

akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah.

2. Madzhab Imam Muhajir

Didalam pembahasan inilah yang sangat menyulitkan penulis, karena

banyaknya sumber yang berlainan dan bertentangan, tetapi penulis akan mengambil

dari salah satu sumber yang paling banyak di sepakati oleh sumber-sumber skunder,

yaitu pendapat Sayid Muhammad Ahmad Assyatihiri. Sebelum penulis

mengemukakan pendapat Ahmad Assyatiri penulis akan memaparkan pendapat

sejarawan-sejarawan lainnya.

Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa Al-Muhajir adalah seorang

Sunni bermadzhab Sayfi‟i. akan tetapi sudah barang tentu ia tidak bertaklid buta

kepada mazhab Sayfi‟i, mengingat ia sendiri adalah seorang yang terkenal luas

ilmunya, memiliki kemampuan melakukan istimbath (inti sari) langsung dari al-

Qur‟an dan Sunnah Nabi saw yang kedua-duanya juga merupakan dasar dan landasan

utama pemikiran Imam Syafi‟i r.a57

Namun sumber lainya seperti al-Allamah Abdurrahman bin Ubaidillah

Assaqqaf dalam bukunya Nasim Hajir, Sayid Saleh bin Ali al-Hamid dalam

57

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 17

40

bukunnya Tarikh Hadramaut, menyatakan bahwa ia mengikuti mazhab para

leluhurnya, para Imam dari kalangan Ahlul Bait seperti Imam Ja‟far ash-Shadiq,

Imam Muhammad al-Baqir, dan Imam Ali Zainal Abidin r.a. Berdasarkan pendapat

ini pula ada beberapa pengarang buku yang menyebutkan bahwa Al-muhajir

menganut madzhab Imamiyah.58

Meskipun begitu mazhab Imam-imam Ahlul Bait

terdahulu tidak selalu dan tidak harus sejalan dengan mazhab Syi‟ah Imamiah yang

dikenal sekarang.)59

Menurut hemat penulis Syi‟ah disini bukanlah Syiah para

pendukung/panatisme Ahlulbait yang jauh menyeleweng.60

Ada pula beberapa sumber juga yang menyatakan Imam al-Muhajir

bermadzhabkan Suni-As‟ariyah61

Dan menurut Sayid Muhammad Ahmad Assyatihiri bahwa “Imam al-Muhajir

merupakan salah satu Imam-imam mujtahid (dalam artian tidak mengikuti atau terikat

dengan salah satu mazhab) seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-

masing tokoh terkenal dengan gelar “Imam” seperti Imam al-Muhajir, Imam Alawi

bin Ubaidllah dan lain-lain. Namun Ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan

58

Menurut al-Alamah Abdurrahman bin Ubaidillah Assaqaf dalam bukunya Nasim Hajir dan

Sayid Saleh bin Ali al-Hamid dalam bukunya Tarikh Hadramaut, al-Imam al-Muhajir mengikuti

Mazhab Imamiyah. Tetapi pendapat tersebut dibantah oleh para penulis lainnya, seperti Sayid Alwi bin

Thahir al-Haddad dan Sayid Abdullah Bilfaqih. (Keterangan ini dikutip dari buku Adwar at-Tarikh al-

Hadrami karangan Muhammad Ahmad as-Syatiri) 59

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 18 60

Prof. Dr. Ikhsan Illahi Zhahiri, M.A. Asyiah wa Sunnah, (Surabaya: Pt bin Ilmu, 1985), h.

66 menyatakan “lihatlah, Ali jauh dari pengaruh didikan pendukung Ahlulbait, yang berjiwa (yahudi)

terus menerus mencaci sahabat-sahabat Rasulullah Saw. Kenapa mereka begitu jauh menyeleweng.” 61

Ahmad Imron dan Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta wali, h. 42

41

Imam as-Syafi‟i dalam bagian terbesar madzhabnya. Adapun aspek-aspek aqidah

mereka, sama seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.”62

Menurut hemat penulis Imam Ahamd bin Isa (al-Muhajir) menganut paham

Imamiah atau Syiah yang moderat tetapi imam muhajir memiliki kemampuan untuk

berijtihad sendiri dengan keilmuanya yang cukup mumpuni dalam bidang ke

agamaan. Yang tidak mesti harus mengikuti madzhab Syiah Seutuhnya.

C. Hilangnya Syiah di Hadramaut

Kaum Khawarij dari kelompok Abadhiyah adalah salah satu kelompok

masyarakat Hadramaut yang terbilang keras dan konsisten dalam menerapkan

hukum-hukum syariat Islam, tentunya berdasarkan penafsiran kelompok mereka

sendiri, salah satunya dengan kuatnya dotrin kebencian kelompok ini atas Imam Ali

bin Abi Thalib, keluarga, serta para pengikutnya.63

Sudah tentu dengan kedatangan Syiah dari Irak ke Hadramaut akan

mendapatkan gesekan dari kaum Khawarij Ibadhiah sebagai penganut terbanyak di

Hadramaut.

Di dalam konversi Syiah di Hadramaut ini para penulis sejarah masih berbeda

pendapat akan kejadian dan waktu konversi ini, penulis akan memaparkan pendapat-

pendapat para penulis sejarah akan argument mereka mengenai waktu konversinya.

62

Ahmad as-Syatiri, Sirah as-Salaf min Bani Alawi al-Husaniyiin, h. 12 63

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagian,h. 18

42

Sayid Muhammad Ahmad Assyatiri dalam bukunya Tarikh as-Salaf min bani

Alawiyyi al-Husainiyyin membagi kaum Alaiyin kepada 4 tahap, dalam tahap

pertama ia menjelaskan “tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-imam

mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab) seperti

diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh terkenal degan gelar

“Imam” seperti Imam Al-Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain. Namun,

ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam As Syafi‟i dalam bagian terbesar

madzhabnya adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti para leluhur mereka

sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Kemudian dalam tahap kedua As Syathiri menyatakan “kaum Alawiyin

adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi‟i, namun mereka tidak bertaklid

kepada Syafi‟i dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu mereka meninggalkan

pendapat Syafi‟i. Dalam soal-soal tauhid kaum Alawiyin adalah penganut al-Asy‟ari,

namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy‟ari dalam beberapa hal, seperti

mengenai sahnya taklid dalam soal imam”.

Menurut Allamah Sayyid Abdullah Haddad dalam bukunya Thariqah Menuju

Kebahagiaan, mengatakan “daerah Hadramaut waktu itu sebagian besarnya dikuasai

oleh mazhab kaum Khawarij dari kelompok Ibadhiah yang sangat tegar dan ekstrem

dalam menerapkan hukum-hukum syariat – berdasarkan penafsiran mereka sendiri

tentunya – di samping membenci Imam Ali bin Abi Thalib, keluarganya serta para

pengikutnya. Itulah sebabnya kaum Alawiyyin di sana, lambat laun sepakat

mengikuti aliran Ahlussunnah wal Jama‟ah, dalam hal ini, mazhab Syafi‟i di bidang

43

fiqh dan Abul Hasan al-Asy‟ari di bidang ushuluddin, mengingat bahwa sikap seperti

ini diharapkan dapat memperlancar penyiaran ajaran Islam sepenuhnya serta

mengurangi kebencian kaum Ibadhiah terhadap mereka.”

Mereka tidak sepenuhnya sejalan dengan Abul-Hasan al-Asy‟ari dibidang

ushul, seperti semisalnya dalam hal sahnya bertaklid kepada orang lain dalam soal

iman; demikian pula dengan Imam Syafi‟i dalam bidang furu‟, seperti dalam masalah

hukum fiqh yang berkaitan dengan transaksi-transaksi kerjasama di bidang

persawahan dan perkebunan. Adakalanya dalam satu masalah mereka bersesuaian

dengan mazhab Imamiyah dalam masalah dibolehkanya membangun makam-makam

para wali dan syuhada dengan kubah megah di atasnya. Akan tetapi dalam masalah

lainnya mereka bertentangan dengan mazhab Imamiyah, sementara bersesuaian

dengan mazhab Syafi‟i, seperti dalam masalah kafa‟ah (kufu) dalam perkawinan

antara seorang wanita keturunan Bani Hasyim dengan calon suaminya.64

Demikian

pula dalam soal penilaian terhadap tokoh-tokoh penting para Sahabat Nabi Saw.

Seperti Abu Bakar, Umar, Thalhah, Zubair dan Aisyah misalnya. Kaum Alawiyyin di

Hadramaut sangat menghormati bahkan mengagumkan mereka. Betapapun mereka

mereka mengakui hak imamah bagi Imam Ali bin Abi Thalib dan betapapun besarnya

kecintaan mereka kepadanya dan Imam-imam dari kalangan Ahlul Bait lainnya,

namun tokoh-tokoh Alawiyyin melarang dengan keras ditujukannya kecaman-

64

Menurut mazhab Syafi‟i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, seorang wanita keturunan

Bani Hasyim (yaitu keluarga Nabi saw) tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain

keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-wali)-nya.

Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya

dengan selain Bani Hasyim, maka mereka berdosa, Sebaliknya, Mazhab Malik dan Imamiyah tidak

mempersyaratkan adanya kafa‟ah (kesepadanan) baca, karangan Abdurrahman al-Jaziri, Al-FIqhu

alal-Mazahib al-Arba‟ah, h. 56-61

44

kencaman yang dapat mengurangi penghormatan orang kepada para Sahabat Nabi

tersebut. Sikap seperti itu tentunya bersesuaian dengan mayoritas Ahlussunah dan

bertentangan dengan sebagian besar kaum Syiah yang tidak perlu merasa segan

sedikit pun untuk mengecam – seiring kali dengan cara yang amat tajam dan keras –

terhadap tindakan para sahabat yang menurut mereka telah bertindak keterlaluan dan

tak termaafkan, karena telah merampas hak kekuasaan politik dan kepemimpinan

umum atas umat sepeninggal Nabi Saw. Dari pemiliknya yang sah seta satu-satunya

pengemban wasiat beliau, yakni Imam Ali r.a

Dipilihnya mazhab Imam Syafi‟i juga karena dianggap amat dekat dengan

mazhab Ahlul Bait dalam penyimpulan hukum-hukum Islam. Sebagaimana diketahui,

Imam Syafi‟i sendiri adalah dari keturunan Bani Muthalib yang bertemu dengan

nasab Rasulullah Saw. Pada datuk beliau abdu Manaf bin Qushai. Kecintaan Imam

Syafi‟i kepada Ahlulbait dikenal di mana-mana, seperti yang dinyatakan dalam

syairnya:

Wahai Ahlul-bait Rasulullah

Mencintaimu difardhukan Allah

Dalam al-Qur‟an yang diwahyukan-Nya.

Tidaklah shalat seseorang

Yang tidak membaca salawat untukmu.

Itulah cukup tanda keutamaanmu

Demikian kuat kencintaanya kepada mereka, sehingga ada sebagian dari

kalangan Nawashib (para pembenci Ahlul Bait) menuduhnya sebagai seorang

Rafidhi, yakni sebutan penghinaan bagi kelompok Syi‟ah yang amat ekstrem, yang

45

membenci Abu Bakar dan Umar radhiallahu „anhuma. Karena merasa sumpek

dengan tuduhan murah seperti itu, ia berkata menentang dalam syairnya:

Jika mencintai keluarga Muhammad

Disamakan dengan aliran kau Rafidhi,

Biarlah seluruh penghuni alam bersaksi

Bahwa au adalah seorang Rafidhi!

Jadi menurut hemat penulis, berkonversinya Syiah di Hadramaut adalah pada

masa al-Muhajir lambat laun Syiah di Hadramaut berkonversi kemadzhab Syafi‟i,

adapun sebab berkonversinya al-Muhajir dari Syiah ke Sunni Syafi‟i adalah karena

adanya gesekan antara Syiah dengan Khawarij di Hadramaut. Serta Syafi‟i lebih

dekat dengan hasil ijtihad yang diambil oleh al-Muahajir dan Syafi‟i pun merupakan

pencinta keturunan Nabi Muhammad Saw.

D. Hilangnya Khawarij di Hadramaut pasca kedatangan Syiah dari Irak

Setelah berkonversinya Syiah ke madzhab Syafi‟i, dalam perkembangan

selanjutnya dikarenakan kebijaksanaan yang ditempuh oleh keluarga-keluarga

Alawiyyin di Hadramaut tersebut, di samping akhlak nabawiyyah yang menghias diri

mereka sperti keramahtamahan, kedermawanan, kejujuran, tawadhu‟ dan takwa,

segera mendantangkan hasil sangat mengagumkan. Banyak dari penduduk di

pelosok-pelosok yang tadinya amat membenci Ahlul Bait, karena belum mengenal

mereka, kini hatinya melunak. Banyak pula orang yang tadinya tidak mengetahui

sesuatu tentang Islam kecuali namanya saja, kini datang belajar ketentuan-ketentuan

agamannya dari kaum Alawiyyin, sehingga dari mereka muncul ulama-ulama besar

46

diberbagai bidang ilmu. Beberapa keluarga terkemuka – bukan Alawiyyin – di sana,

yang sudah sejak semula tergolong Ahlussunnah, menjalin hubungan erat dengan

kaum Alawiyyin, baik dibidang ilmu maupun kekeluargaan. Mereka bukan saja

belajar dari tokoh-tokoh ulama Alawiyyin, tetapi sebagian mereka kemudian bahkan

menjadi syekh-syekh (guru-guru) bagi sebagian kaum Alawiyyin sendiri. 65

Perlahan-lahan Khawarij mulai terkikis dan berkonversi ke madzhab Syafi‟i,

dan mencapai kelimaksnya pada abad ke-7 Hijriah.66

kaum Khawarij yang kekuatan

politiknya telah terpukul, akhirnya terbawa arus dakwah kaum Alawi yang ditopang

oleh ulama-ulama yang tangguh. Yang mengakibatkan lenyapnya Khawarij di

Hadramaut, mereka berkoversi ke madzhab Syafi‟i. dan pada akhirnya, seluruh

penduduk Hadramaut memeluk Islam menurut madzhab Syafi‟i seperti yang

diajarkan kaum Alawiyyin, keunggulan mereka dalam bidang ilmu dan akhlak yang

didukung oleh nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw, menyebabkan

mereka sangat dihormati. 67

1. Golongan Sosial di Hadramaut

Kedatangan masyarakat Irak ke wilayah Hadramaut telah menyebabkan

terjadinya perubahan sosial dalam tata kehidupan masyarakat Hadramaut, golongan

Sayid adalah kelompok masyarakat kelas pertama dalam kehidupan sosial di wilayah

Hadramaut. Berdasarkan studi Van den Berg dalam bukunya Hadramaut dan Koloni

65

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagian, h. 21 66

Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, h. 11 67

Hasyim Assegaf, Derita Putri-putri Nabi h. 96

47

Arab di Nusantara, penduduk Hadramaut dibetuk dari golongan yang berbeda,

berikut ini adalah komposisi penduduk di Hadrmaut berdasarkan strata sosial68

:

1. Golongan Sayid

2. Suku-suku

3. Golongan menengah

4. Golongan budak

Golongan Sayid adalah keturunan al-Husain, cucu Muhammad SAW. Mereka

bergelar Habib, jamak dari kata Habaib dan anak perempuan mereka Habibah.

Sedangkan kata Sayid adalah jamak dari kata Sadah, perempuannya adalah Syarifah.

Penggunaan nama Habib, Habibah, Syarif dan Syarifah hanya digunakan sebagai

atribut atau keterangan saja.

Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut, mereka

termasuk kelompok bangsawan dalam strata sosial masyarakat Hadrmaut, mereka

sangat dihormati, memiliki pengaruh agama dan moral bagi masyrakat Hadramaut.

Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga atau qabilah, dan banyak diantara mereka

yang mempunyai pemimpin turun menurun dengan gelar Munsib69

.

Suku-suku atau qabilah, jamak dari kata qabail adalah bagian yang paling

menarik dari populasi Hadramaut. Sebenarnya mereka membentuk kelas yang

dominan dan semua lelaki dewas menyandang senjata. Pada mulanya mereka

68

Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 23 69

Munsib merupakan perluasan dari tugas „Naqib‟ yang mulai digunakan pada zaman Imam

Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang Naqib adalah mereka yang

terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim. Menukil dari buku Ahmad Imron dan

Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi sejuta wali, h, 185

48

berkelompok dalam keluarga-keluarga (fakhilah, jamak: fakhail) yang terpisah yang

terdiri beberapa cabang (jama‟ah).

Kepala suku disebut Muqaddam, sedangkan kepala keluarga atau cabang

disebut Abu. Para pemimpin itu adalah penguasa daerah. Mereka tinggal di puri yang

dijaga kuat oleh sebuah garnisun yang dibentuk dari anggota keluarga yang terdekat

dan mereka budak-budak dari puri mereka memerintah kota atau desa yang berada di

sekitarnya.

Golongan menengah adalah penduduk bebas baik di kota maupun di desa;

mereka bukan anggota suku mana pun, bukan pula sayid dan tidak menyandang

senjata. Dipundak merekalah kekuasaan para penguasa daerah diterapkan. Mereka

terdiri dari:

a. Pedagang

b. Pengrajin

c. Petani

d. Pembantu

Van den Berg menyebutkan semacam golongan ningrat yang khas, yang

bergelar Syaikh (jamak: Masyaikh, feminism: Syaikhah) gelar yang mengabdi pada

ilmu. Namun disamping itu, ada dua suku dan beberapa keluarga golongan menengah

yang berhak menyandang gelar yang sama secara turun temurun. Kedua suku itu

adalah suku Baraik dan Amud.Yang terakhir ini menyandang gelar tersebut karena

49

mereka keturunan para cendikiawan yang paling dihormati di Hadramaut. Ahmad bin

Isa, yang dijuluki Amud ad-Din.

Sayid merupakan penahan ampuh tekanan para penguasa pada golongan

menengah. Perlu ditambahkan bahwa berkat pengaruh mereka pulalah Hadramaut

masih memiliki pemerintahan yang cukup merdeka. Dengan sendirinya para sayid

adalah yang paling berkepentingan untuk mempertahankan kekuatan hukum Islam,

karena hukum akan berakibat hilangnya penghormatan rakyat yang percaya bahwa

mereka adalah keturunan putri Nabi besar. Di kota-kota yang agak besar tinggal para

Qadi yang memiliki wakil di desa. Para Qadi dipilih oleh penguasa daerah, yang

sebelumnya telah meminta pendapat para sayid dan para cendikiawan terkenal. Para

wakil di desa diangkat oleh Qadi sediri.Para Qadi memiliki kekuasaan peradilan

perdata dan pidana. Mereka mengambil keputusan berdasarkan kitab undang-undang

buatan para ahli hukum mazhab Syafi‟i.

2. Madzhab Syafi’i di Hadramaut

Islam Madzhab Syafi‟i merupakan satu-satunya di Hadramaut, tidak ada agama

Kristen maupun Yahudi, dan kemungkinan besar sampai kini pun orang kafir tidak

diperbolehkan tinggal, walaupun hanya sementara, di wilayah itu kecuali dalam

keadaan sangat khusus. Juga tidak terdapat orang Islam aliran lain seperti Syi‟i,

Wahabi, dan Zaidi.70

70

Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 56

50

Penulis sejarah sepakat bahwa yang menyebarkan madzhab Syafi‟i di

Hadramaut dari kalangan kaum Alawiyin keturunan al-Muhajir Ahmad bin Isa.

Aliran para keturunan al-Muhajir adalah Ahlusunnah wal Jama‟ah mazhab Safi‟i di

bidang fiqh dan Abul Hasan al-Asy‟ari di bidang ushuluddin.71

Tetapi meninggalkan

paham Al-Asy‟ari dalam beberapa hal, termasuk sahnya taklid dalam hal iman.72

Kemudian tasawuf73

pun sangat popular di Hadramaut, baik di kalangan Alawiyyin

maupun keluarga-keluarga lainya.74

Namun tasawuf disana – terutama di kalangan Alawiyyin – tidaklah mengikuti

tarekat-tarekat tertentu secara ketat, tidak pula ada tarekat-tarekat khusus yang

mereka ciptakan, kendati mereka mengakui lebih dekat kepada tareka-tarekat

Jailaniyah, Syadziliyah dan Junaidyah yang menurut anggapan mereka bertumpu atas

amal saleh yang tulus demi Allah Swt berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Saw.

Mereka juga menghindarkan diri dari segala lambang dan upacara-upacara ritual yang

meng-ada-ada seperti yang diriwayatkan dari beberapa tokoh sufi dan dipraktekan

oleh tarekat-tarekat tertentu di daerah Maghrib (Afrika-Utara) Mesir, Sudan, Persia

dan India75

.

Tasawuf di Hadramaut yang berintikan ibadah, zikir, akhlak dan zuhud, lebih

banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan disampaikan secara langsung

71

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h 56 72

Hassyim Assagaf, Derita putri putri rasul, h. 94 73

Tasawuf adalah ilmu-Hal (ilmu tentang keadaan) dan bukan Ilmu-Maqal (ilmu yang

terucapkan).Intinya ialah menghias diri dengan akhlak mulia yang diriwayatkan dalam Sunnah

Nabawiyah. 74

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h 21 75

Ibid, h. 22

51

oleh syekh (guru) kepada murid-muridnya dari pada diperbincangkan dan dipelajari

secara teoritis.76

Tokoh-tokoh sufi di kalangan Alawiyyin memilih jalan tengah dalam aliran

tasawuf mereka. Tidak bersifat ekstrem tetapi tidak pula mengabaikan ajaran-

ajarannya yang murni dan belandaskan al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad Saw

serta praktek-praktek para sahabat dan tabi‟in. Mereka melarang murid-murid mereka

membaca kitab-kitab tasawuf yang memuat ucapan-ucapan membingungkan

(syathahat) atau yang mengesankan paham wahdatul-wujud (semacam panteisme

atau doktrin kemanunggalan Tuhan dengan hamban-Nya) seperti dapat dijumpai

dalam karangan-karangan Ibn Arabi. Abdul-Karim al-Kailani dan yang seperti itu.77

Dalam bidang tasawuf, meskipun ada nuansa Ghazali, namun di Hadramaut

menemukan bentuknya yang khas yaitu tasawuf sunni salaf Alawiyin yang sejati.78

Di Hadramaut sendiri akidah dan madzhab Sunni Syafi‟i terus berkembang

sampai sekarang tanpa berkurang sedikitpun. Hadramaut kini menjadi kiblat kaum

Sunni yang ideal terutama bagi kaum Alawiyin, karena kemutawatiran sanad serta

kemurnian agama dan akidahnya.79

Sementara itu, penyebaran Islam terus dilakukan secara intensif dengan

perluasan pendidikan yang akhirnya dalam bentuk madrasah yang berkembang

76

Ibid 77

Ibid, h. 23 78

Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, h. 93 79

Ibid

52

dengan pesat. Sekolah-sekolah agama di Tarim dan Seiun kemudian menjadi terkenal

hingga menggoda pelajar-pelajar dari luar Hadramaut.80

Di Hadramaut terdapat makam Nabi Hud a.s dan makam itu sering diziarahi

pada tiap tahunnya diadakan setelah selesai panen kurma. Ziarah makam Hud

menjadi tradisi setiap tahunya pada setiap bulan Sya‟ban, yang dipimpin oleh Syekh-

syekh di Hadramaut.81

Tradisi ziarah ini memiliki ritualnya sendiri.

Pada akhir abad ke 14 H terjadi kemunduran intelektual dan spiritual dibanding

pada priode sebelum-sebelumnya, sedikit demi sedikit mereka telah meninggalkan

“isi” ajaran dan mencukupkan diri dengan “kulit”–nya. Pendidikan akhlak,

pengajaran ilmu dan latihan keterampilan diabaikan.

Majelis-majelis ilmu – kecuali dikit sekali daripadanya, hanya cukup diisi

dengan pembacaan kitab-kitab tertentu secara sepintas lalu serta syair-syair (qasidah

berisi munajat dan salawat) yang dinyanyikan dengan berbagai irama dan lagu, tanpa

diiringi pembahasan-pembahasan tentang al-Qur‟an al-Karim serta ilmu-ilmu yang

berkaitan dengannya. Hadis Nabi Saw (terutama yang terhimpun dalam kitab Shahih

Bukhari) dibaca secara rutin, namun hanya dengan target mengkhatamkannya pada

bulan-bulan tertentu, tanpa upaya meneliti kesahihan sanad dan matannya, serta arti

dan hikmahnya, apalagi mengamalkan ajaran-ajarannya, serta arti dan hikmahnya,

apalagi mengamalkan ajaran-ajarannya serta menerapkan hukum-hukum yang dapat

disimpulkan darinya. Sejarah hidup Nabi Saw, yang sangat diringkas (biasa disebut

80

Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 96 81

Ahmad Imron dan Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta Wali, Jakarta: Cahaya Ilmu, t.t, h.

45

53

Maulid Nabi) dibaca di majlis-majlis tertentu semata-mata karena asyik dengan irama

membacannya yang merdu dan membangkitkan kesyaduan di hati, tetapi – sayangnya

– tanpa usaha sistematis untuk memahami, menghayati dan meneladaninnya.

Peringatan-peringatan hari wafat para wali dan ulama besar diselenggarakan di mana-

mana secara amat meriah, menghabiskan biaya amat besar, semata-mata demi

melestarikan tradisi turun-menurun di samping mengharapkan “berkah”, tanpa diikuti

dengan upaya-upaya serius untuk menghidupkan kembali peninggalan ilmu dan amal

orang-orang yang diperingati atau mengabadikan nama-nama mereka dalam bentuk

lembaga-lembaga ilmu sosial, agama dan sebagainya.

Selain itu, upacara-upacara keagamaan lainnya serta upacara-upacara

kekeluargaan, perkawinan, kematian, dan sebagainya hampir selalu diselenggarakan

secara besar-besaran dan menghabiskan harta tidak sedikit. Sudah tentu hal ini

menyebabkan kehancuran perekonomian banyak keluarga, terutama yang kurang

mampu karena terseret oleh arus tradisi, sementara mereka tidak menyadari bahwa

yang demikian itu bertentangan dengan agama.82

Kendati madzhab Syafi‟i kenyataanya ada beberbagai tradisi “berbau Syi‟ah”

seperti pembangunan makam-makam para wali dan ulama besar dengan cukup

megah, bahkan acapkali sangat mewah, tak syak lagi bertentangan dengan madzhab

kebanyakan Ahlus-sunnah yang tidak menyukainya, dan sebaliknya, lebih sesuai

dengan madzhab Ahlul Bait yang tidak berkeberatan terhadapnya, juga tradisi

perayaan Asyura, Tabut Hasan-Husein, hari Rebo Wekasan (Rabu terakhir bulan

82

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 36

54

Shafar), upacara-upacara ziarah ke makam-makam para wali, peringatan-peringatan

haul (hari wafat) mereka dan sebagainya.83

83

Ibid, h. 51

55

BAB III

KONVERSI MADZHAB SYIAH DAN MASYARAKAT KHAWARIJ

A. Proses Konversi Madzhab Syiah dan Khawarij di Hadramaut

Konversi madzhab Syiah terjadi pada masa al-Muhajir, pada abad ke 3 H

yang kemudian di ikuti oleh keturunan dan pengikutnya.1 Sedangkan konversi

Khawarij Ibadhiah terjadi secara perlahan-lahan dan bertahap dari abad ke 3 H hingga

mencapai klimaksnya pada abad ke-7 H.2

Mengenai proses konversi yang terjadi antara Khawarij dan Syiah, hal ini

penulis sejarah berbeda pendapat tentang terjadinya perperangan diantara kedua belah

pihak. Ada yang berpendapat, peperangan dimenangkan oleh Syiah,3 Ada juga yang

berpendapat dimenangkan oleh Khawarij,4 dikarenakan Syiah kalah jumlah.

Kemudian sebagiannya lagi berpendapat tidak terjadi kontak senjata diantara

keduanya.5 Tapi mereka berperang dalam memperebutkan pengaruh antara satu sama

lainya.

Asy-Syathiri dalam bukunya Tarikh al-Adwar al- Hadrami menyatakan tidak

pernah terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Menurutnya, dari sekian

banyak referensi sejarah tidak satupun yang memaparkan terjadinya kontak senjata di

1 Abu Feriq Muthalib, Sejarah Singkat Tentang Alawiyyin di Indonesia, Jakarta: Thariq Syihab,

tt, h. 6- 7 2 Umar Mauladdawilah, Tarim kota Pusat Peradaban Islam, h. 4

3 Abu Bakar al-Adni, Biografi Ulama Hadramaut, 24

4 Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, 95

5 Muhammad Ahmad As-Syathir, Sekilas Sejarah Salaf Al-Alawiyyin, h. 12

56

antara kedua belah pihak. Demikian juga para penulis sejarah Hadramaut dari kurun

terakhir.6

Adapun Sayid Muhammad Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh dalam

kitabnya al-Muhajir,7 menyatakan terjadinya perang Bharan

8

Sayid Abdur-Rahman bin Ubaidillah mengatakan bahwa al-Muhajir dan

putra-putranya terus menyampaikan argumen-argumen kepada Ibadhiah sampai

mereka kehabisan dalil dan pegangan. Disebutkan juga bahwa al-Muhajir

melumpuhkan kekuasaan Ibadhiah dengan cara melancarkan argument-argumen yang

membuktikan kesalahan mazhab mereka. Syekh Salim bin Basri mengatakan: al-

Muhajir membuka kedok bid’ah Khawarij dan membuktikan kesalahanya. Dua

pendapat ini didukung pula oleh al-Faqih al-Muqaddam9.

Betapun juga, dalam kenyataannya, daerah Hadramaut waktu itu sebagian

besarnya dikuasai oleh mazhab kaum Khariji dari kelompok Ibadhiah yang sangat

6 Asy-Syathiri menukil dari Sayid al-Allamah Abdullah bin Muhammad as-Saqqaf dalam

komentar beliau untuk kitab Rihlatul-Asywaq al-Qawiyyah karangan Ba Kathir. Disana disebutkan,

terjadi bentrok senjata antara mereka. Dinyatakan: sebuah pertempuran terjadi di Bahran ketika al-

Muhajir masih tinggal di Hajren. Saat itu kekuasaan Ibadhiah runtuh. Lalu, al-Muhajir pindah dari

Hajren menuju kampung Bani Jusyair. Lantas, asy-Syathiri mengatakan: Akan tetapi saya

menghubungi as-Saqqaf dan memintanya untuk menyebutkan referensi pendapatnya, namun dia tidak

menjawab. Sebagian orang menisbatkan pendapat ini kepada al-Marhum Ahamad bin Hasan al-Attas,

dan belum diketahui referensi aslinya. Muhammad bin Aqil bin Yahya mengatakan di komentarnya

atas kita Diwan Ibni Syihab, bahwa al-Muhajir dan anak cucunya sampai abad ke 6 H memerangi

kaum Ibadhiah kemudian mereka melepaskan senjata. Tapi, pendapat ini belum diketahui referensinya.

Boleh jadi mereka mengambil kesimpulan bahwa Bani Alawiyyin selalu menggunakan senjata untuk

perang dan gerilya. Tapi, pendapat semacam ini tidak bisa langsung diterima tanpa ada bukti tertulis,

karena bersenjata barangkali itu hanya tradisi atau untuk membela diri semata (Al-Adwar: 1/150) 7 Muhammad Diya Shihab, Al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa ibn Muhammad Ali al-Aridhi

ibn Jafar al-Shadiq Malah wa Linaslih walil al-Aimmah min Aslafih min Fadhail wa al-Ma’athir,

Jeddah: Dar al-Shuruq 1980 8 Bahran adalah padang pasir terletak di antara Hajren dan desa Sadbah. Penduduknya dari

Kabilah Kindah. 9 Menukil dari buku Abu Bakar al-Adni, Biografi Ulama Hadramaut,h. 25

57

tegar dan ekstrem dalam menerapkan hukum-hukum syariat – berdasarkan penafsiran

mereka sendiri tentunya – disamping sangat membenci Imam Ali bin Abi Thalib,

keluarganya serta para pengikutnya. Itulah sebab kaum Alawiyyin di sana, lambat

laun sepakat mengikuti aliran Ahlusunnah wal Jama’ah, dalam hali ini, mazhab Safi’i

di bidang fiqh dan abul Hasan al-Asy’ari di bidang ushuluddin, mengingat bahwa

sikap seperti ini diharapkan dapat mempelancar penyiaran ajaran Islam sepenuhnya

serta mengurangi kebencian kaum Ibdhiah terhadap mereka.10

Suatu peristiwa yang mempengaruhi perubahan pandangan keagamaan di

Hadhramaut terjadi pada abad 3 H ketika Ahmad Al-Muhajir tiba dari Bashrah11

Di

Hadramaut, para Muhajir itu mula-mula tinggal di Hajarain di Lembah Du’an,

kemudian pindah ke Tarim. Mereka membangun masjid-mesjid dan madrasah.12

Kita dapat melihat bahwa al-Imam al-Muhajir menanamkan manhaj al-

Nubuwwah al-Muhammadiyah, melayani dunia Islam berdasarkan kitabullah dan

sunnah Rasulullah Saw dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dalam

menjalankan ajaran Rasulullah Saw yang tumbuh pada setiap kelompok madzhab

inilah pengertian al-Imamah menurut madrasah bani Alawi, yang hal itu tidak

memerlukan penetapan hujjah baik dalam bentuk nash maupun pendapat-pendapat

lisan. Dengan sikap yang jauh dari kesewenang-wenangan al-Muhajir berhasil

membangun madrasah Bani Alawi di Hadramaut yang terukil baik secara nyata dan

tertanam pada hati masyarakat setempat, anak-anaknya dan keturuananya yang

10

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 18 11

Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 94 12

Ibid

58

memiliki sifat jujur, jauh dari sikap taqiyah. Permasalahan inilah yang terputus sejak

dahulu, akan tetapi hingga saat itu Hadramaut telah dipenuhi oleh kecenderungan

berpikir kepada paham imamah yang murni yaitu imamah al-Mustofa saw sebagai

dasar membangun asas-asas syariah dan adab-adabnya, paham imamah inilah yang

dilahirkan kembali oleh al-Imam al-Muhajir melalui perantaraan ilmu, amal dan

akhlaq kenabianya, jauh dari sikap ashobiyah madzhab. Terpeliharaanya, keamanan

dan keternangan di semua tempat dan waktu di Hadramaut, semuanya disebabkan

manhaj Islam dan kepemimpinan al-Muhajir.13

Adapun sistem pendidikan yang digunakan di Hadramaut pun juga demikian

juga, yaitu sama dengan system di pesantren, ma’had ma’had yang berada di

Indonesia. Selain kurikulum yang sama, akidah yang dianut juga demikian,

Ahlusunnah Wal jama’ah dan berjalan atas madzhab al-Imam Syafi’i14

Di Hajren al-Muhajir ditemani dan dibela oleh para tertua dari kabilah Afif.

al-Muhajir membeli rumah dan kebun kurma di Hajren, lalu dihibahkan kepada

sahayanya yang bernama Syuwaiyah sebelum beliau pindah meninggalkan Hajren.15

Setelah keluar dari Hajren, al-Muhajir singgah dan bertempat tinggal di

kampung bani Jusyair di dekat desa Bur. Di desa ini, penduduknya pada saat itu

sudah sunni. Di situ al-Muhajir sempat berdakwah dengan penuh sabar dan santun.

13

Al-Mashoor, Sejarah, Silsilah & Gelar Alawiyin Keturunan Imam Ahamd bin Isa al-

Muhajir, h. 45 14

Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, h. 91 15

Abu Bakar al-Adni, Biografi Ulama Hadramaut, h. 22

59

Lalu, beliau pindah lagi ke desa al-Husayyisah.16

Disana beliau membeli tanah

perkebunan yang dinamakan Shuh di atas desa Bur. Pada periode ini al-Muhajir

banyak menarik perhatiaan orang di daerah itu sehingga mereka banyak mengikuti

langkah Sang Imam, kecuali beberapa golongan dari Khawarij. Hal ini yang

menyebabkan al-Muhajir mendatangi mereka untuk memberikan pemahaman yang

baik.17

Imam Muhajir aktif berdialog dengan para pengikut Ibadhiah, dengan

bijaksana dan teladan yang mulia. Cara beliau menjadi daya tarik tersendiri bagi para

lawan diskusi-nya. Sehingga menumbuhkan simpati di hati mereka. Ibadhiah sendiri

memang merupakan aliran yang mau berdialog tentang paham mereka. Mereka juga

banyak berdikusi dengan para ulama dalam berbagai hal. Dan, Imam al-Muhajir

sendiri merupakan sosok yang ahli dalam hal meyakinkan lawan bicara. Hal ini juga

diungkapkan oleh Sayid as-Syathiri dalam kitabnya al-Adwar18

Dengan kedatangan al-Muhajir dan kuturunannya sebagai penerus

dakwahnya, aliran Ibadhiah perlahan-lahan terkikis dan habis di Hadramaut.

Digantikan mazhab Imam asy-Syafi’i dalam hal amaliah dan Imam di Asy’ari dalam

hal akidah.19

16

Sebuah desa di antara Tarim dan Seiyun, desa yang makmur. Beliau membeli sebagian

besar tanah di daerah Shun. Daerah ini merupakan benteng yang terkenal. Di dalamnya terdapat sumur

yang terletak di atas kota Bur. Sumur ini digali oleh Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir

dan dipagari dengan bebatuan besar. Di setiap batu ada ukiran nama beliau. Al-Husayyisah sekarang

tak berpenduduk dan rusak diceritakan bahwa al-Husayyisah rusak di tangan Aqil bin Isa al-Shabirati

pada tahun 837 17

Abu Bakar al-Adni, Biografi Ulama Hadramaut,h. 23 18

Ibid, h. 123 19

Ibid, h. 24

60

Kaum Khariji – yang ciri khasnya adalah fanatisme dan kebencian kepada

Imam Ali bin Abi Thalib – tentu tidak mudah menerima kegiatan dakwah kaum

Alawi. Paham mereka bertentangan keras dengan paham Syi’ah yang mengakui Ali

sebagian Imam. Tidak terelakan, bentrokan fisik sering terjadi. Suasana demikian

tentu tidak banyak memberikan peluang bagi kegiatan dakwah para Alawi. Hingga

menjelang akhir abad ke 12, kaum Alawi hanya berjumlah beberapa orang.

Dengan ilmu dan bukti-bukti beliau memberikan pemahaman kepada ahlu

bid’ah dan ahlu sunnah di sana sehingga Allah swt mepertemukan kedua kelompok

yang bertikai itu di bawah kemuliaan al-Muhajir.20

Setelah wafatnya al-Muhajir, dakwahnya diteruskan oleh anaknya al-Imam

Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, beliau telah mendirikan kaidah kaidah ilmu dan

syariah dan da’wah kejalan Allah Swt berdasarkan manhaj berpikir yang telah

diterima bulat oleh para ulama ahlu sunnah di Hadramaut, dimana saat itu terdapat

ulama dari keluarga Abi Fadhol dan dari keluarga al-Khatib di negeri Tarim,

sebagaimana sama halnya dengan kaum Khawarij dan beberapa ulama mereka yang

mengambil hujjah serta keterangan-keterangan dari uslub yang diajarkan oleh

ayahnya dengan cara akhlaq yang mulia tanpa mendahulukan rasa fanatik dan hawa

nafsu, sehingga keadaan Hadramaut berubah menjadi negeri Ahlu Sunnah dikarena

beliau, begitu pula pada zaman ayahnya21

20

Al-Mashoor, Sejarah, Silsilah & Gelar Alawiyin Keturunan Imam Ahamd bin Isa al-

Muhajir, h. 44 21

Ibid, h. 51

61

Dalam perkembangan selanjutnya, kebijaksanaan yang ditempuh oleh

keluarga-keluarga Alawiyyin di Hadramaut tersebut, di samping akhlak nabawiyah

yang menghias diri mereka seperti keramahtamahan, kedermawanan, kejujuran,

tawadhu’ dan takwa, segera mendatangkan hasil sangat mengagumkan. Banyak dari

penduduk di pelosok-pelosok yang tadinya amat membenci Ahlul Bait, karena belum

mengenal mereka, kini hatinya melunak. Banyak pula orang yang tadinya tidak

mengetahui sesuatu tentang Islam kecuali namanya saja, kini datang belajar ketentuan

ketentuan agamanya dari kaum Alawiyin, sehingga dari mereka muncul ulama-ulama

besar di berbagai bidang ilmu. Beberapa keluarga terkemuka – bukan alawiyyin – di

sana, yang sudah sejak semula tergolong Ahlus – Sunnah, menjalin hubungan erat

dengan kaum Alawiyyin, baik di bidang ilmu maupun kekeluargaan. Mereka bukan

saja belajar dari tokoh-tokoh ulama Alawiyyin, tetapi sebagian mereka kemudian

bahkan menjadi syekh-syekh (guru-guru) bagi sebagian kaum Alawiyyin sendiri.

Mereka itulah tokoh-tokoh wali dan ulama besar dari keluarga-keluarga Bafadhl, Ba-

abbad, Bajammal, Bamakhramah, Basudan, Baras, Basyarhil, Baktsir, Al-Amudi dan

lain-lain.22

Suatu perubahan mendasar yang mengubah sejarah Hadramaut terjadi pada

masa Al-Faqih Al-Muqaddam (w. 1254) yang secara tegas menyatakan diri penganut

Mazhab Syafi’i, diikuti oleh semua kalangan sayyid Hadramaut. Kaum Alawi yang

semula bermadzhab Ahlulbait, baru memperoleh sukses dalam menghadapi kaum

22

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 21

62

Ibadhiah setelah Al-Faqih Al-Muqaddam memilih Mazhab Syafi’i. “ia beralih

mazhab” kata Abu Ferik, “Laksana Kompromi”

Sementara itu, penyebaran Islam terus dilakukan secara intensif dengan

perluasan pendidikan, yang akhirnya dalam bentuk madrasah yang berkembang

dengan pesat. Sekolah-sekolah agama di Tarim dan Seiun kemudian menjadi terkenal

hingga menggoda pelajar-pelajar dari luar Hadramaut.23

Pada umumnya tokoh-tokoh ulama kaum Alawiyyin sejak permulaan abad ke-

7 H menerapkan ajaran-ajaran tasawuf yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh

Abu Mad-yan (seorang Suffi terkemuka di Maghrib) kepada Al-Faqih al-Muqaddam

Muhammad bin Ali bin Muhammad (Shahib Mirbath) bin Ali (Khali’ Qasam) bin

Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir, sejak itu,

tasawuf menjadi sangat popular di Hadramaut, baik di kalangan Alawiyyin maupun

keluarga-keluarga lainya.24

Namun tasawuf disana – terutama di kalangan Alawiyyin – tidaklah

mengikuti tarekat-tarekat tertentu secara ketat, tidak pula ada tarekat-tarekat khusus

yang mereka ciptakan, kendati mereka mengakui lebih dekat kepada tareka-tarekat

Jailaniyah, Syadziliyah dan Junaidyah yang menurut aggapan mereka bertumpu atas

amal saleh yang tulus demi Allah Swt berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

Mereka juga menghindarkan diri dari segala lambang dan upacara-upacara ritual yang

meng-ada-ada seperti yang diriwayatkan dari beberapa tokoh sufi dan dipraktekan

23

Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 96 24

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 22

63

oleh tarekat-tarekat tertentu di daerah Maghrib (Afrika-Utara) Mesir, Sudan, Persia

dan India.25

Tasawuf di Hadramaut yang berintikan ibadah, zikir, akhlak dan zuhud, lebih

banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan disampaikan secara langsung

oleh syekh (guru) kepada murid-muridnya dari pada diperbincangkan dan dipelajari

secara teroritis.26

Tokoh-tokoh sufi di kalangan Alawiyyin memilih jalan tengah dalam aliran

tasawuf mereka. Tidak bersifat ekstrem tetapi tidak pula mengabaikan ajaran-

ajarannya yang murni dan belandaskan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw

serta praktek-praktek para Sahabat dan tabi’in. mereka melarang murid-murid mereka

membaca kitab-kitab tasawuf yang memuat ucapan-ucapan membingungkan

(syathahat) atau yang mengesankan paham Wahdatul-Wujud (semacam panteisme

atau doktrin kemanunggalan Tuhan dengan hamban-Nya) seperti dapat dijumpai

dalam karangan-karangan Ibn Arabi, Abdul-Karim al-Kailani dan yang seperti itu.27

Pada akhirnya pada abad ke-7 Hijriah kaum Khariji, yang kekuatan politiknya

telah terpukul, akhirnya terbawa arus dakwah kaum Alawi yang ditopang oleh ulama-

ulama yang tangguh. Akhirnya, penduduk Hadramaut memeluk Islam menurut

mazhab Syafi’i seperti yang diajarkan kaum Alawi. Keunggulan mereka dalam

25

Ibid 26

Ibid 27

Ibid, h. 23

64

bidang ilmu dan akhlak yang didukung oleh nasab mereka sebagai keturunan Nabi

Muhammad Saw, menyebabkan mereka sangat dihormati.28

B. Faktor terjadinya konversi Madzhab Syiah dan Khawarij di Hadramaut

Karena memiliki latar belakang sejarah yang sama dari perang Shiffin yang

membuat keduanya bertolak belakang menjadikan dua kelompok ini berseteru.

Menurut hemat penulis setelah memaparkan argument-argumen para penulis sejarah

pada pembahasan sebelumnya. Maka dapat disimpulkan faktor-faktor koversi

Mmdzhab Syiah dan Khawarij di Hadramaut sebagai berikut:

Syiah yang sedikit jumlahnya, sesampai di Hadramaut dari Irak. Terpaksa

harus berpindah ke Sunni dikarenakan Khawarij yang ekstrem mendominasi

Hadramaut bertentangan dengan Syiah, tidak memberikan peluang bagi kegiatan

dakwah kaum Syi’i. Konversi ini pun diharapakan dapat mengurangi rasa benci kaum

Khariji terhadap mereka. Menjadikan kegiatan dakwah mereka tidak terlalu berat.

Meskipun kebencian kaum Khariji terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib masih ada.

Sementara itu, kegiatan dakwah Syiah yang telah menjadi Sunni terus

dilakukan secara intensif dengan perluasan pendidikan, yang akhirnya dalam bentuk

madrasah yang berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah agama di Tarim dan

Sei’un kemudian menjadi terkenal hingga menggoda pelajar-pelajar dari luar

Hadramaut. Khawarij yang kekuatan politiknya telah terpukul, akhirnya terbawa arus

dakwah Syiah yang terlah berkonversi ke Sunni yang ditopang oleh ulama-ulama

28

Hasyim Assagaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 95 96

65

yang tangguh. Akhirnya, penduduk Hadramaut memeluk Islam menurut madzhab

Sunni seperti yang di ajarkan kaum Alawi. Keungulan mereka dalam bidang ilmu dan

akhlak yang didukung oleh nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw,

menyebabkan mereka sangat terhormat.

Kemudian faktor yang lainya ialah, terdapat kesamaan diantara kedua-duanya.

Kedua-duanya (Moderat) lebih medekati kepada Sunni, menjadikan konversi Syiah

dan Kawarij tidak terlalu berat bagi mereka.

C. Hasil Konversi Madzhab Syiah dan Khawarij

Konversi Syiah terjadi pada masa al-Muhajir kepada Madzhab Sunni Syafi’i,

Dipilihnya mazhab Imam Syafi’i juga karena dianggap amat dekat dengan mazhab

Ahlulbait dalam penyimpulan hukum-hukum Islam. Sebagaimana diketahui, Imam

Syafi’i sendiri adalah dari keturunan Bani Muthalib yang bertemu dengan nasab

Rasulullah Saw. Pada datuk beliau Abdu-Manaf bin Qushai. Kecintaan Imam Syafi’i

kepada Ahlulbait dikenal di mana-mana.29

Kemudian disusul dengan konversi Khawarij. Dikarenakan Khawarij yang

telah kalah pengaruh oleh keturunan al-Muhajir yang telah berkonversi kepada

madzhab Syafi’i, terkikis habis pada abad ketujuh Hijriah. Akhirnya di Hadramaut

secara keseluruhan bermadzhabkan Sunni Syafi’i yang bercampur dengan Syi’i.

29

Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, h. 20

66

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dipenutup ini penulis akan menyimpulkan atas apa yang telah penulis

paparkan di atas, sebagai jawaban dari pertanyaan yang penulis buat pada proposal

skripsi penulis

1) Dari hasil studi penulis dari beberapa sumber primer atau pun skunder, penulis

menyimpulkan bahwa Abdullah bin Ibadh lah yang membawa aliran Khawarij

Ibadiah ke Hadramaut dan Imam Ahmad bin Isa (al-Muhajir) yang membawa

mazhab Syiah dari Irak tetapi Imam al-Muhajir sendiri terlepas dari madzhab

Syiah yang ekstrem seperti yang kita ketahui pada masa modern ini, selayaknya

nenemoyangnya al-Muhajir Ali bin Abi Thalib yang terlepas dari pendukung

panatisme Ahlul Bait yang begitu jauh menyeleweng, al-Muhajir berijtihad

sendiri tetapi sering kali ijtihadnya sama seperiti Imam Syafi’i.

2) Sebelum masuknya Khawarij Ke Hadramaut, masyarakat Hadramaut merupakan

pengikut Islam yang tulus dan setia pada pemimpinnya, selalu memenuhi

pangilan perang (Jihad) kapanpun dibutuhkan. Dan sebelum masuknya Syiah ke

Hadramaut Khawarij sekte Ibadhiah yang mendominasi di Hadramaut.

3) Sebelum datangnya Syiah ke Hadramaut waktu itu sebagian besar Hadramaut

dikuasai oleh madzhab Kaum Khawarij dari kelompok Ibadiah yang sangat tegar

dan ekstrem dalam menerapkan hukum-hukum syariat berdasarkan penafsiran

67

mereka sendiri tentunya, ketika dua kelompok ini bertemu sudah barang tentu

tidak ada keharmonisan antara kedua belah pikah dikarenakan kedua kelompok

ini memiliki latar belakang sejarah ketika perang shiffin.

Syiah pada masa al-Muhajir pelahan-lahan berpindah ke madzhab Sunni Syafi’i,

kepindahannya disetujui dan dikuti oleh keturunan dan pengikutnya. Kepindahan

ini tidak langsung menyurutkan kebencian kaum Khawarij dikarenakan

kebencian mereka kepada Ali bin Abi Thalib serta keturunannya, tetapi berkat

kesabaran, kelembutan, akhlak mulia, dan ilmu yang luas, perlahan lahan mereka

luluh dan tunduk, mengikuti ajaran yang didakwakan oleh al-Muhajir berserta

anak cucunya sehingga pada masa al-Faqih al-Muqaddam kaum Khawarij benar-

benar habis dari Hadramaut.

Pada abad ke tujuh Hijriah di Hadaramaut rata bermadzhabkan Sunni Syafi’i, di

Hadramaut tidak ada agama lain kecuali agama Islam aliran Syafi’i, tidak

ditemukan agama Kristen, Hindu, Budha, Majusi, bahkan Islam aliran Syiah,

Ibadiah dan Wahabi tidak ditemukan di Hadramaut

68

B. Saran

Semoga keterangan-keterangan yang telah ditulis dapat membantu menjawab

sejumlah pertanyaan yang sering diajukan oleh para peneliti sejarah masuknya Islam

di Indonesia. Yakni sekitar kenyataan adanya berbagai tradisi “berbau Syiah” yang

diwarisi turun temurun di Nusantara ini, kendatipun menurut mereka, Islam masuk ke

Indonesia dari daerah-daerah yang bermadzhab Syafi’i, dan bahwa yang berkembang

di Indonesia adalah mazhab Syafi’i pula. Dalam kenyataanya masih ada tradisi yang

“Berbahu Syiah” seperti pembangunan makam-makam para wali dan ulama besar

dengan cukup megah, bahkan seringkali sangat mewah, yang sudah pasti sangat

bertentangan dengan madzhab kebanyakan Ahlusunnah yang tidak menyukainya, dan

sebaliknya, lebih sesuai dengan mazhab Ahlulbait yang tidak keberatan terhadapnya,

Juga tradisi perayaan Asyura, Tabut Hasan-Husein, hari Rebo Wekasan (Rabu

terakhir bulan Shafar), upacara-upacara ziarah kemakam-makam para wali,

peringatan-peringatan haul (hari wafat) mereka dan sebagainya.

Dan saran dari penulis Agar ada sejarawan-sejarawan yang melanjutkan dan

menyempurnakan tulisan yang sudah penulis paparkan hingga tersebarnya ke

Nusantara.

69

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka

Tarbiah, 2006

Azhari, Ali al-Ahli al-Husainiyin al-Yamani Al. Sayid Muhammad bin. Natr ad-

Durra al-Maknun min Fadoil al-Yaman al-Maimun, Bairut-Lebanon: Darul

Manahil, 1987

Bahafdullah, Madjid Hasan. dari Nabi Nuh a.s. Sampai Orang Hadramaut di

Indonesia, Jakarta: Bania Publishing, 2010

Berg, Van den Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, Jilid III Penerjemah

Rahayu Hidayat , Jakarta: INIS ,1989

Buchori, Didin Saefuddin. Metodologi Studi Islam. Bogor, Granada Sarana Pustaka,

2005

Haddad, Allamah Sayyid Abdullah. Thariqah Menuju Kebahagiaan, Bandung:

Mizan, 1983

Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid III, Jakarta: Kalam

Mulia, 1967

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab Fiqih Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

1997

Hasib, Kholil. Menghadang Ekspansi Syiah di Nusantara, Surabaya: Bina Aswaja,

2012

Hasyim, Mahdi Thalib. al-Harakah al-Ibadhiyyah fi al-Masyir al-Arabi, Kairo: tp,

1981

Hitti, Philip K. History of The Arabs, Penerjemah R, Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi, Jakarta: Pt Serambi Ilmu Semesta, 2010

Hunt, Paul B. Horton Chester L. Sosiologi, penerjamah: Aminuddin Ram, edisi IV,

Jakarta: Erlangga, 1990

Imron, Ahmad. dan Hary, Syamsul. Hadramaut, Bumi Sejuta Wali, Jakarta: Cahaya

Ilmu, t.t)

Kaf, Saqof bin Ala’ Al. Dirosah fi Nasab as-Sadah Bani Alawi, Riwayah al-Imam al-

Muhajir Ahmad bin Isa, Madinah al-Munawarah: t.p, 1989

70

Khalid, Khalid Muhammad. Abnai ar-Rasuul fi Karbala, t.p, 1968

Khudori, Syeikh Muhammad Al. Muhadarati Tarikh al-Umam al-Islamiyah ad-

Daulah al-Abbasiyah Beirut–Lebanon : Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 2004

Madelung, Wilfred. ed., Warmer Daum “Islam in Yamen” dalam Yamen 3,000 Years

of Art and Civilization in Arabia Felix, Austria: Pinguin Verlag, 1987

Mashoor, Aidarus Alwee Al. Sejarah, Silsilah & Gelar Alawiyin Keturunan Imam

Ahamd bin Isa al-Muhajir, (Jakarta: Maktab Daimi-Rabithah Alawiyah, 2010)

Masyhur, Al-Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali Al. Biografi Ulama Hadramaut,

Jakarta: Maruf, 2011

Masyhur, Idrus Alwi Al. Sejarah, Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad Saw

di Indonesia, Malysia, Timur tengah, India dan Afrika, Jakarta: Saraz

Publishing, 2010

Mauladdawilah, Abdul Qadir Umar. 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, Malang:

Pustaka Bayan dan Pustaka Basma, 2008

Mauladdawilah, Abdul Qadir Umar. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, Malang:

Pustaka Basma, 2012

Muhamad, Arif. Pengantar Kajian Sejarah, Bandung: Yrama Widya, 2011

Muthalib, Abu Feriq. Sejarah Singkat Tentang Alawiyyin di Indonesia, Jakarta:

Thariq Syihab, tt,

Najjar, Amir Al. al-Khawarij Aqidatan wa Fikran wa Falsafatan, Kairo: Dar al-

Ma’arif 1990

Rogers, Everett M. Diffusions of Innovations Forth Edition, New York: Tree Press,

1995

Sagaf, M. Hasyim As. Derita Putri-Putri Nabi, Bandung : Pt Remaja Rosdakarya,

2000

Sayyid, Ayman Fuad. Tarikh al-mazaahib al-diniyah fi bilad al-Yaman, Kairo : Dar

Al-Misriyah, 1988

Scott, John. Teory Sosial Masalah-Masalah Pokok dalam Sosiologi, Penerjamah:

Ahmad Lintang Lazuardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012

Shihab, Muhammad Diya. Al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa ibn Muhammad Ali al-

71

Aridhi ibn Jafar al-Shadiq Malah wa Linaslih walil al-Aimmah min Aslafih

min Fadhail wa al-Ma’athir, Jeddah: Dar al-Shuruq 1980

Soe’yb, Joesoep. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekte Syi’ah,

Jakarta: Pustaka Al-Husna 1982

Sou’yb, Jouesoef. Sejarah Daulat Abbasiah, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977

Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam Bandung: Pustaka Setia, 2008

Syamakhi, Ahmad bin Sa’id bin Abd al-Wahid Al. al-Siyar Hijr, Kairo: tp, tt

Syathiri, Muhammad Ahmad As. Sirah As-Salaf min Bani 'Alawy Al-Husainiyin

Jeddah-Saudi Arabia: Alam Al-Ma’rifah 1405 H

Syilli, Muhammad bin Abu Bakar aS. al-Masyra’ ar-Rawi fi Manaqib as-Sadah al-

Kiram al-Ba’alawi, Jilid I tahun 1319 H.

Tabari, Abu Dza’far Muhammad bin Jarir at. Tarikh al-Umam wal Mulk, Bagian:

keenam, Bairut Lebanon: Darul Fikr, 1989

Zhahiri, Ikhsan Ilahi, Syiah dan Sunnah, Surabaya: Bina Ilmu 1985