Peta Sektor Pertanian

101
LAPORAN PEMETAAN SEKTOR EKONOMI (SEKTOR PERTANIAN) Sebagai Bagian dari Pelaksanaan Program Kerja Inisiatif 2005 PENINGKATAN PERAN BANK INDONESIA DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI MELALUI PEMETAAN SEKTOR EKONOMI Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter

Transcript of Peta Sektor Pertanian

LAPORAN

PEMETAAN SEKTOR EKONOMI

(SEKTOR PERTANIAN)

Sebagai Bagian dari Pelaksanaan

Program Kerja Inisiatif 2005

PENINGKATAN PERAN BANK INDONESIA DALAM MENDORONG

PERTUMBUHAN EKONOMI MELALUI PEMETAAN SEKTOR

EKONOMI

Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa patut kita panjatkan seiring dengan telah selesainya penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian Tahun 2005. Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian merupakan salah satu upaya dari Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk dapat lebih memahami dengan baik kondisi, permasalahan dan prospek sektor pertanian pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya. Data dan informasi yang diperoleh dari laporan tersebut diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi Bank Indonesia dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya terutama yang terkait dengan upaya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Laporan ini merupakan bagian dari program kerja Inisiatif Bank Indonesia yaitu melakukan pemetaan sektor ekonomi.

Penyusunan Peta Sektor Ekonomi ini tidak terlepas dari dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak sbb:

1. Dewan Gubernur Bank Indonesia atas dukungannya dalam program kerja dimaksud.

2. Satuan kerja dan unit kerja internal Bank Indonesia sebagai anggota program kerja inisiatif yang salah satu kegiatannya adalah survei dimaksud.

3. Lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan peta sektor ekonomi.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki keterbatasan dan beberapa kelemahan dalam kualitas data dan informasi yang dihasilkan serta dalam interpretasinya. Oleh karena itu, untuk perbaikan kedepan kami sangat mengharapkan kritik dan saran membangun dari para pembaca. Kegiatan penggalian data dan informasi sektor usaha semacam ini akan dilakukan secara kontinu oleh Bank Indonesia dalam berbagai bentuk kegiatan yang berbeda.

Akhirnya harapan kami semoga laporan ini dapat menjadi rujukan atau referensi bagi Bank Indonesia, Pemerintah, Pelaku Usaha, Perbankan, Investor, Institusi Penelitian dan Pendidikan, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan upaya memperbaiki dan meningkatkan peran sektor usaha riil dalam proses pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Jakarta, Desember 2006

Halim Alamsyah Direktur

Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter – Bank Indonesia

DAFTAR ISI

Halaman

1.

1.1.

1.2.

1.3.

1.4.

1.5.

2.

2.1.

2.2.

2.3.

2.4

3.

3.1.

3.2.

3.3.

3.4.

4.

4.1.

5.

6.

7.

8.

8.1.

8.2.

8.3.

Output Sektor Pertanian

Sektor Pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB)

Sektor Pertanian di Beberapa Negara Lain

Komoditas Pertanian Food dan Non Food

Kegiatan Ekonomi menurut Struktur Rural – Urban

Komoditas Tradables dan Non-Tradables

Perkembangan Komoditas Tradables Pertanian

Ekspor Komoditas Pertanian Sebelum dan Sesudah Krisis

Perkembangan Ekspor Beberapa Komoditas Pertanian

Persaingan Ekspor Komoditas Pertanian

Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian

Produktivitas Pertanian

Luas Lahan dan Penggunaan Lahan Pertanian

Tenaga Kerja Menurut Sektor Ekonomi

Tenaga Kerja Menurut Gender

Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Pembiayaan Perbankan Terhadap Sektor Pertanian

Pembiayaan Formal Melalui Bank dan Non-Bank

Pembentukan Harga Output Sektor Pertanian

Output Pertanian Menurut Lokasi

Kebijakan Pemerintah Saat Ini

Komoditas Pertanian Unggulan

Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan

Profil Usaha Komoditas Pertanian

Profil Usaha Beberapa Komoditas Unggulan

1

1

6

8

10

11

14

14

17

20

21

23

23

24

25

27

29

29

32

34

36

38

38

41

43

DAFTAR TABEL

9.

9.1.

9.1.1.

9.1.2.

9.1.3.

9.1.4.

9.1.5.

9.1.6.

9.1.7.

9.1.8

9.2.

9.2.1.

9.2.2.

9.2.3.

9.2.4.

9.2.5.

9.2.6

9.3.

9.3.1.

9.3.2.

9.3.3.

10.

Hasil Kajian Lanjutan Terhadap Komoditi Unggulan Sektor Pertanian

Gambaran Umum Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Peternakan

Komoditas Padi

Komoditas Jagung

Komoditas Jeruk dan Pisang

Komoditas Unggas (Ayam)

Komoditas Sapi

Komoditas Kambing-Domba

Permasalahan dalam Meningkatkan Kapasitas Produksi

Kebijakan Peningkatan Kapasitas Produksi

Gambaran Umum Subsektor Perkebunan

Peluang Peningkatan Kontribusi dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Daya

Saing di Pasar Internasional

Permasalahan dalam Peningkatan Produksi Subsektor Perkebunan

Komoditas Kelapa Sawit

Komoditas Karet

Komoditas Kakao

Komoditas Tebu

Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Komoditas Unggulannya

Komoditas Tuna

Komoditas Udang

Komoditas Rumput Laut

Penutup

Lampiran

Matriks Permasalahan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Peternakan

Matriks Permasalahan Subsektor Perkebunan

Matriks Permasalahan Subsektor Perikanan

Potensi Pengembangan Komoditas Unggulan Subsektor Tabama dan

Peternakan

Lima (5) Besar Daerah Produsen Komoditas Unggulan Subsektor Perkebunan

Sentra Produksi Subsektor Perikanan

45

45

45

48

49

52

52

53

54

56

58

60

62

63

66

69

71

73

75

77

79

81

Halaman

Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Tabel 7.

Tabel 8.

Tabel 9.

Tabel 10.

Tabel 11.

Tabel 12.

Tabel 13.

Tabel 14.

Tabel 15.

Tabel 16.

Tabel 17.

Tabel 18.

Tabel 19.

Tabel 20.

Tabel 21.

Tabel 22.

Tabel 23.

Tabel 24.

Tabel 25.

Tabel 26.

Tabel 27.

Tabel 28.

Tabel 29.

Tabel 30.

Tabel 31.

Tabel 32.

Tabel 33.

Tabel 34.

Tabel 35.

PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Berlaku)

Pangsa Sub Sektor Pertanian

PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Konstan)

Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian

Pangsa Food dan Non Food

Pangsa PDB Menurut Daerah Rural dan Urban

Pangsa dan Peringkat Dunia Komoditas Pertanian Unggulan

Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian

Penggunaan Lahan Pertanian Antar Negara

Perkembangan Tenaga Kerja menurut Sektor Ekonomi

Produktivitas Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi

Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian Antar Negara

Kebutuhan Investasi Komoditas Pertanian Unggulan

Kebijakan Pemerintah 1970-2005

Komoditas Pertanian Tradables Ekspor Unggulan

Signifikansi Komoditas Pertanian Unggulan Terhadap Total Output Pertanian

Matriks Komoditas Pertanian Unggulan

Profil Usaha Beberapa Komoditas Pertanian Unggulan

Kondisi Jaringan Irigasi, 2006

Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung

Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Jeruk dan Pisang

Kinerja Komoditas Jeruk dan Pisang

Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Ayam Ras Pedaging

Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Sapi

Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Kambing/Domba

Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1996–2005

Perkembangan Konsumsi CPO Indonesia Tahun 1996–2005

Luas Areal dan Produksi Karet 1999 – 2004

Produksi dan Konsumsi Karet Indonesia, 2000 – 2005

Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia

Luas Areal Tebu dan Produksi Gula Berdasarkan Propinsi

Proyeksi Produksi Tuna, Cakalang dan Tongkol, Tahun 2005-2009

Proyeksi Luas Areal dan Produksi Udang Budidaya dan Penangkapan

Proyeksi Produksi Rumput Laut, Tahun 2005-2009

1

2

3

4

8

11

20

21

24

25

27

28

30

36

38

40

41

44

46

47

49

50

51

52

53

54

64

65

67

68

70

73

77

78

80

DAFTAR GRAFIK

HalamanGrafik 1.

Grafik 2.

Grafik 3.

Grafik 4.

Grafik 5.

Grafik 6.

Grafik 7.

Grafik 8.

Grafik 9.

Grafik 10.

Grafik 11.

Grafik 12.

Grafik 13.

Grafik 14.

Grafik 15.

Grafik 16.

Grafik 17.

Grafik 18.

Grafik 19.

Grafik 20.

Grafik 21.

Grafik 22.

Grafik 23.

Grafik 24.

Grafik 25.

Grafik 26.

Grafik 27.

Grafik 28.

Grafik 29.

Grafik 30.

Grafik 31.

Grafik 32.

Grafik 33.

Grafik 34.

Grafik 35.

Grafik 36.

Grafik 37.

Pangsa Sektor Ekonomi dalam PDB

Pertumbuhan Rata-rata PDB

Kontribusi Pertumbuhan PDB

Kontribusi Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian

Pangsa PDB Sektoral di Beberapa Negara Asia

Peran PDB Sektoral di Beberapa Negara Non-Asia

Perkembangan Peran Sektor Pertanian di Beberapa Negara

Indeks Pertanian Beberapa Negara

Indeks Komoditas Food, Non-Food dan Tenaga Kerja

Perkembangan Food dan Non-Food di Beberapa Negara Asia

Struktur Demografi menurut Rural-Urban

Pangsa Tradables dan Non-tradables

Komoditas Non-Tradables menurut Sektor Ekonomi

Komoditas Tradables menurut Sub Sektor

Volume Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000- 2005

Nilai Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000- 2005

Trade Balance Komoditas Food dan Non-Food

Pangsa dan Pertumbuhan Ekspor Komoditas Pertanian

Terhadap Total Ekspor Non-Migas

Negara Pengekspor Komoditas Pertanian Terbesar

Perkembangan Ekspor Komoditas Karet

Perkembangan Ekspor Komoditas CPO

Perkembangan Ekspor Komoditas Tekstil

Perkembangan Ekspor Komoditas Kayu dan Produk Kayu

Perkembangan Ekspor Komoditas Ikan Laut

Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian di Beberapa Negara Periode 1991-2003

Perkembangan Luas Lahan Pertanian

Perkembangan Tenaga Kerja Pertanian menurut Gender

Perkembangan Indeks Tenaga Kerja Pertanian

Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (1994-2003)

Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian

Perkembangan Bobot Inflasi Komoditas Pertanian

Pangsa Komoditas Pertanian dan Inflasi

Pangsa Terbesar Sektor Pertanian menurut Propinsi

Location Quotient Sektor Pertanian

Sebaran Komoditas Pertanian Menurut Rasio Backward dan Forward Linkage

Proses Produksi Usaha Pertanian

Pembiayaan Modal Kerja Usaha Pertanian

2

3

5

5

6

7

7

8

9

10

10

12

12

13

14

15

15

16

17

18

18

19

19

20

22

23

25

26

27

29

32

33

34

34

39

42

43

PENDAHULUAN

ndonesia dengan total luas lahan 181 juta hektar (86 persen merupakan lahan pertanian)

dan luas lautan diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 sangat potensial untuk

mengembangkan sektor pertanian, bahkan menjadikan pertanian sebagai salah satu pilar

pembangunan ekonomi di masa mendatang. Selain mengembangkan komoditas unggulan

untuk tujuan ekspor, output pertanian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan domestik

(domestic demand) dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa.

Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) periode 2000-2005, sektor pertanian memiliki

pangsa sebesar 14,9 persen. Pangsa pertanian tersebut menyusut secara gradual dari waktu

ke waktu sejak periode 1961-1965 yang pangsanya mencapai 57,8 persen. Fenomena ini

tidak hanya terjadi di negara-negara Asean tetapi juga di negara-negara maju seperti USA

dan Jepang, dimana sektor-sektor lain dalam perekonomian tumbuh lebih tinggi terutama

sektor industri (proses industrialisasi).

Menurut klasifikasi yang digunakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), tidak

terjadi perubahan komposisi antara kelompok makanan (food) dan bukan makanan (non-

food) dari total output sektor pertanian dalam kurun waktu lebih dari empat dasawarsa.

Namun dalam kelompok food, terjadi penurunan output tanaman bahan makanan,

sementara peternakan dan perikanan semakin meningkat. Produktivitas pertanian juga

terlihat meningkat antara lain disebabkan adanya mekanisasi pertanian, sehingga

pertumbuhan produksi pertanian sejak 1985 lebih tinggi dibandingkan dengan

pertumbuhan jumlah tenaga kerja pada sektor tersebut.

Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar (rata-

rata 44,2 persen), sebagaimana terjadi pula di negara-negara lain seperti Vietnam (67,9

persen), Thailand (57,6 persen) dan Philippina (40,5 persen). Hal inilah yang menyebabkan

produktivitas tenaga kerja pertanian jauh lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya,

meskipun terus mengalami peningkatan. Dibandingkan dengan beberapa negara lain,

produktivitas pertanian Indonesia juga termasuk rendah, jauh di bawah Philippina dan

Malaysia meski relatif sama dengan Thailand.

Secara demografis, terdapat indikasi adanya modernisasi wilayah ekonomi yang antara lain

ditunjukkan dengan peningkatan jumlah desa perkotaan (urban area), yang diikuti dengan

pergeseran tenaga kerja dari perdesaan (rural area) ke perkotaan. Output komoditas

pertanian masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dimana Jawa Timur menempati urutan

tertinggi (21,0 persen), Jawa Barat pada urutan kedua (13,6 persen), disusul Jawa Tengah

I

(11,9 persen), sementara urutan keempat dan kelima masing-masing adalah Sumatera Utara

dan Riau.

Berdasarkan pengelompokan komoditas tradables dan non-tradables (yaitu komoditas yang

memilki komponen ekspor dan impor), diketahui 39,5 persen output perekonomian

merupakan komoditas tradables dan sisanya non-tradables. Untuk komoditas pertanian

(baik primer maupun olahan), sebesar 47,6 persen merupakan komoditas tradables,

sementara sisanya adalah non-tradables.

Dari sisi perdagangan, volume ekspor komoditas pertanian primer dan olahan mengalami

peningkatan yang diikuti dengan kenaikan volume impor yang lebih tinggi, sehingga

menyebabkan transaksi perdagangan menjadi negatif (deficit trade balance). Namun apabila

dilihat dari nilainya, transaksi perdagangan komoditas pertanian masih mengalami surplus.

Saat ini, Indonesia menempati urutan ke-20 negara pengekspor terbesar komoditas

pertanian, namun masih di bawah Thailand dan Malaysia.

Volume ekspor karet terus mengalami pertumbuhan, meski sedikit turun pada saat krisis.

Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 pengekspor komoditas karet. Demikian juga

untuk komoditas CPO, Indonesia juga menempati urutan ke-2 dalam pangsa ekspor dunia.

Meski tekstil merupakan salah satu komoditas unggulan, namun ekspornya masih terlalu

besar dan hanya berada pada urutan ke-45 pangsa ekspor dunia. Sementara itu, ekspor

kayu Indonesia yang saat ini menempati urutan ke-7 mengalami penurunan ekspor sejak

2001. Ikan laut (baik ikan segar maupun awetan) merupakan salah satu komoditas

unggulan yang sangat prospektif. Ekspor ikan Indonesia berada di urutan ke-10 pangsa

ekspor dunia, namun masih di bawah Thailand dan Vietnam.

Banyak faktor menjadi penyebab belum optimalnya pengembangan sektor pertanian (baik

primer maupun olahan) di Indonesia, salah satunya adalah faktor pembiayaan yang masih

lemah terutama pembiayaan formal melalui perbankan. Dari total kredit bank, hanya sekitar

6 persen yang disalurkan pada sektor pertanian. Untuk pengembangan pertanian ke depan,

diperlukan alternatif pembiayaan selain perbankan, misalnya pengembangan lembaga

pooling fund dengan melibatkan institusi swasta dan dukungan dari pemerintah.

Kebijakan pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 3 dasawarsa (1970 s.d. 2005) dapat

dikelompokkan menjadi 3 aspek kebijakan, yaitu: kebijakan sumber daya lahan, kebijakan

infrastruktur, dan kebijakan insentif. Dalam periode tersebut, perkembangan pertanian

mengalami 3 fase pertumbuhan, yaitu: fase accelerating (1970an s.d. 1985), fase

decelerating (1985 s.d. 2000), dan fase rebounding (2001 s.d. 2005). Pada fase

accelerating, sektor pertanian memperoleh perhatian yang sangat besar dari pemerintah,

dimana pembangunan infrastruktur dan pembiayaan institusional melalui kredit-kredit

program menjadi suatu kebijakan yang menonjol pada masa itu (green revolution). Namun,

masa keemasan sektor pertanian tidak mampu bertahan lama, seiring dengan peran

pemerintah yang semakin menurun. Deregulasi perbankan pada periode 1980an tidak

mampu menyentuh sektor pertanian, sehingga pembiayaan dari perbankan tidak berpihak

kepada sektor tersebut.

Pada periode 2001 s.d. 2005, perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian mulai terlihat

dengan dikeluarkannya kebijakan pokok pembangunan sistem usaha agribisnis dan

peningkatan ketahanan pangan. Meski demikian, banyak kendala yang dihadapi

pemerintah dalam pengembangan sektor pertanian, terutama disebabkan oleh luas lahan

pertanian yang makin sempit, pendapatan tenaga kerja sektor pertanian rendah, dan

masalah ketersediaan bahan pangan.

Sejalan dengan upaya Pemerintah dalam pengembangan komoditas unggulan, Bank

Indonesia telah melakukan studi awal mengenai hal tersebut, baik yang dilakukan melalui

pengolahan data sekunder, diskusi dengan intansi/institusi terkait, maupun dari hasil Survei

Pemetaan Sektor Ekonomi (SPSE). Penentukan komoditas unggulan sektor pertanian

dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu: 1) Pendekatan kontribusi ekspor dan linkages, 2)

Pendekatan output, konsumsi, produksi, dan/atau struktur input, serta 3) Pendekatan

kebijakan pemerintah. Dengan ketiga pendekatan diatas, komoditas pertanian

dikelompokkan sebagai komoditas unggulan apabila setidaknya memenuhi 2 pendekatan.

Dengan kriteria tersebut, diperoleh 12 komoditas pertanian yang merupakan komoditas

unggulan, yaitu padi/beras, jagung, karet, kelapa sawit, kelapa, pisang, jeruk, hasil kayu,

sapi, unggas, kambing/domba, dan ikan/udang. Ke-12 komoditas pertanian unggulan

merupakan penggerak utama sektor pertanian dengan sumbangan lebih dari 80 persen

terhadap output sektor pertanian primer dan merupakan komoditas input yang dominan

terhadap sektor pertanian olahan (agro-industri).

Dari hasil SPSE yang dilakukan tahun 2005, diperoleh gambaran awal mengenai profil usaha

komoditas pertanian yang mencakup struktur biaya produksi, sumber bahan baku, orientasi

penjualan, dan masalah pembiayaan. Ditinjau dari sifat proses produksinya, usaha

komoditas pertanian lebih banyak yang bersifat independen (69%) dibandingkan atas dasar

pesanan (31%). Sementara dari proses produksinya, 47 persen unit usaha pertanian

melakukan usahanya dengan mengolah bahan mentah sampai barang setengah jadi, dan 46

persen mengolah bahan mentah sampai barang jadi.

Dari sisi bahan baku, sebagian besar unit usaha pertanian melakukan proses produksi

dengan bahan baku domestik. Hal ini juga terlihat dalam struktur biaya produksinya dimana

65 persen dari total biaya adalah biaya bahan baku, sementara biaya tenaga kerja 11 persen,

biaya bahan penolong 9 persen, dan biaya bunga 4 persen.

Sumber dana untuk pembiayaan modal kerja secara umum berasal dari dana non-perbankan

yaitu 64 persen, sementara perbankan hanya memberikan kontribusi sebesar 36 persen

dalam pembiayaan modal kerja usaha pertanian. Secara lebih rinci, pembiayaan modal kerja

perusahaan terutama berasal dari dana iternal (termasuk dari retained earnings) mencapai

50,3 persen, dari bank domestik sebesar 31,4 persen, dan dari individu pemilik/partner usaha

sebesar 6,9 persen.

Berdasarkan hasil penentuan komoditas unggulan sektor pertanian, terdapat 12 komoditas

yang merupakan komoditas unggulan dalam sektor pertanian, baik pertanian primer

maupun agro-industri. Sementara berdasarkan hasil kongres ISEI 2006, telah ditetapkan 10

komoditas unggulan termasuk didalamnya 5 komoditas unggulan pertanian (kelapa sawit,

kopi, karet, kakao, serta ikan dan udang).

Kajian lanjutan dilakukan terhadap komoditas unggulan hasil kajian sebelumnya, termasuk

beberapa komoditas unggulan pertanian hasil kongres ISEI dan dengan komoditas pertanian

yang memiliki peranan yang cukup signifikan dalam penghitungan inflasi. Komoditas yang

dipilih untuk kajian lanjutan adalah padi, jagung, jeruk, pisang, unggas (ayam), sapi,

kambing-domba, kelapa sawit, karet, kakao, tebu, ikan tuna, udang, dan rumput laut.

Dari hasil kajian lanjutan terhadap komoditas unggulan pertanian diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa meskipun sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam

bidang sosial-ekonomi, namun pembangunan sektor pertanian masih menghadapi beberapa

kendala / permasalahan. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian

adalah kurang tersedianya pembiayaan jangka panjang (investasi) dalam rangka penyediaan

dan perbaikan infrastruktur, perluasan lahan, dan penguatan kegiatan penelitian dan

pengembangan di sektor pertanian. Namun demikian, apabila dilihat berdasarkan sub

sektor, perbedaan karakteristik subsektor pertanian / komoditi yang ada dalam sektor ini

menyebabkan permasalahan yang dihadapi masing-masing subsektor / komoditi berbeda-

beda. Sehingga permasalahan pada sektor pertanian lebih tepat dilihat pada masing-masing

subsektor / per komoditi.

Hasil kajian peta sektor pertanian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi pemerintah, BI,

perbankan (kreditor) dan investor dalam mengambil keputusan untuk mengatasi

permasalahan di sektor pertanian.

PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI SEKTOR PERTANIAN

1. Output Sektor Pertanian

1.1. Sektor Pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB)

� Dalam kurun waktu hampir 4 (empat) dekade (Tabel 1 dan Grafik 1), sejak 1960

sampai dengan masa sebelum krisis ekonomi, pangsa sektor pertanian selalu

menempati urutan teratas dalam PDB namun dengan kecenderungan menurun.

Tabel 1. PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Berlaku)

(Miliar Rp)

1961-65 1966-70 1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05

1 Pertanian 4,149.7 921.9 2,738.7 7,541.9 17,891.5 33,915.5 59,677.0 159,029.3 313,020.1Rata-rata pangsa (%) 55.8 50.9 37.6 29.9 25.9 27.3 20.0 17.2 14.9

2 Pertambangan dan Penggalian 254.9 83.4 1,265.0 5,810.2 14,397.3 18,774.6 33,301.8 99,919.2 198,360.4Rata-rata pangsa (%) 3.6 3.7 13.8 21.3 21.3 14.9 11.6 10.4 9.3

3 Industri Pengolahan 541.6 165.9 687.3 1,725.6 2,693.9 5,102.3 57,942.3 242,994.5 611,457.1Rata-rata pangsa (%) 8.0 8.6 9.1 7.5 3.7 4.1 15.7 26.2 29.0

4 Perdagangan, Hotel dan Restoran 151.3 295.0 1,324.1 4,025.4 11,799.5 24,880.9 54,896.3 146,749.3 343,341.7Rata-rata pangsa (%) 2.4 11.4 17.7 15.8 17.0 19.9 18.0 15.9 16.2

5 Lainnya 414.8 79.5 334.9 1,319.0 4,464.2 8,428.4 21,511.1 54,482.2 130,234.4Rata-rata pangsa (%) 6.0 5.1 4.3 5.1 6.4 6.8 7.0 6.0 6.1

Produk Domestik Bruto 7,171.5 1,863.7 7,689.8 25,698.1 69,103.1 124,815.4 313,372.7 921,103.5 2,117,351.4

Sektor Ekonomi

Sumber : BPS (Diolah)

� Pada periode 1996-2000, pangsa sektor pertanian turun menjadi urutan kedua

sementara pangsa terbesar dalam PDB adalah sektor industri pengolahan, sejalan

dengan proses industrialisasi. Dengan berkembangnya sektor industri tersebut, sektor

perdagangan, hotel dan restoran juga semakin tumbuh sehingga pangsa sektor

pertanian semakin turun menjadi urutan ketiga pada periode 2001-2005, sementara

pangsa terbesar kedua ditempati oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Grafik 1. Pangsa Sektor Ekonomi dalam PDB

Sumber : BPS (Diolah)

� Pada periode 2001-2005, subsektor yang memiliki pangsa terbesar dalam sektor

pertanian adalah subsektor tanaman bahan makanan (51,1 persen), sementara

subsektor yang memiliki pangsa terkecil adalah subsektor kehutanan (6,2 persen).

Tabel 2. Pangsa Sub Sektor Pertanian

(Dalam %)

1961-65 1966-70 1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05

1 Tanaman bahan makanan 64.8 63.9 59.7 59.1 60.9 61.3 55.6 52.7 51.12 Tanaman perkebunan 17.4 17.1 16.9 17.7 15.9 16.5 16.4 16.6 15.13 Peternakan dan hasil-hasilnya 6.7 6.0 7.0 7.1 10.5 10.3 11.0 10.8 12.64 Kehutanan 3.1 3.4 10.7 10.2 5.8 4.2 7.9 8.0 6.25 Perikanan 8.0 9.5 5.6 5.9 7.0 7.7 9.2 11.9 15.1

Sektor Pertanian 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Sub Sektor Pertanian

Sumber : BPS (Diolah)

Tabel 3. PDB Menurut Sektor Ekonomi (Harga Konstan)

(Miliar Rp, Pertumbuhan dalam %)

1 Pertanian 71,148.3 81,373.6 97,355.7 114,296.4 140,103.8 165,853.1 191,775.6 211,627.8 241,815.9Rata-rata pertumbuhan tahunan 1.4 3.8 3.1 4.0 4.1 3.0 2.9 1.4 3.3

2 Pertambangan dan Penggalian 30,019.5 45,048.9 88,885.4 121,456.5 115,723.9 116,039.0 140,114.2 163,408.4 165,980.1Rata-rata pertumbuhan tahunan 2.2 15.8 9.6 4.8 -2.1 2.6 4.6 1.9 -0.6

3 Industri Pengolahan 17,493.0 20,739.2 32,496.7 58,483.6 100,160.4 167,291.6 276,522.2 374,080.5 444,056.9Rata-rata pertumbuhan tahunan 1.9 7.7 10.1 15.1 9.4 10.7 10.5 3.1 5.0

4 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,270.4 16,651.8 48,096.3 68,474.9 97,592.6 135,701.1 196,003.1 230,977.8 259,911.0

Rata-rata pertumbuhan tahunan 0.8 95.3 9.8 7.5 5.6 8.4 7.4 0.3 5.6

5 Lainnya 37,738.5 45,983.1 71,865.0 124,011.2 185,499.3 246,865.7 364,810.0 420,390.0 475,994.9Rata-rata pertumbuhan tahunan 3.8 24.2 13.3 12.5 6.9 8.8 9.6 1.2 7.0

Produk Domestik Bruto 161,676.1 209,919.2 338,731.5 486,754.0 639,097.0 831,775.2 1,169,250.6 1,400,491.1 1,587,772.0Rata-rata pertumbuhan tahunan 1.9 10.0 7.9 7.7 4.4 6.5 7.3 0.9 4.7

Sumber : BPS (Diolah)

� Selama kurun waktu 40 tahun, hampir seluruh sektor ekonomi mengalami

pertumbuhan positif, namun pertumbuhan sektor pertanian relatif lebih lambat

dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti sektor industri pengolahan, sektor

perdagangan, hotel dan restoran serta sektor keuangan, persewaan dan jasa.

Grafik 2. Pertumbuhan Rata-rata PDB

-4.0

-2.0

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05

%

Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan

Perdagangan, Hotel dan Restoran Lainnya Produk Domestik Bruto

Sumber: BPS (diolah)

� Secara rata-rata, pertumbuhan sektor pertanian setelah krisis (2001-2005) yaitu

sebesar 3,3 persen cenderung lebih baik dibandingkan periode sebelum krisis (1990-

1997) yaitu 2,6 persen.

� Ditinjau dari kontribusi terhadap pertumbuhan PDB, sektor pertanian senantiasa

memberikan kontribusi positif kecuali pada tahun 1998 yang kontribusinya tercatat –

0,2 persen.

Tabel 4. Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian

(Dalam %)

Sumber: BPS (Diolah)

� Berdasarkan perkembangan subsektor, hampir seluruh subsektor pertanian

mengalami pertumbuhan yang positif, dengan pertumbuhan tertinggi pada sub

sektor peternakan dan perikanan.

� Secara rata-rata, pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan setelah krisis

(2001-2005) sebesar 2,5 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelum

masa krisis (1990-1997) yaitu 1,1 persen. Sebaliknya, sub sektor kehutanan

mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam pada masa setelah krisis yaitu -0,2

persen dibandingkan dengan masa sebelum krisis sebesar 2,1 persen.

Grafik 3. Kontribusi Pertumbuhan PDB

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

1961-65 1966-70 1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05

-8.0

-6.0

-4.0

-2.0

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan

4 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5 Lainnya 5 Produk Domestik Bruto

Pertumbuhan PDB - Skala kanan

%%

Sumber: BPS (diolah)

� Berdasarkan kontribusi terhadap pertumbuhan PDB, sektor pertambangan dan

penggalian mengalami penurunan sementara sektor industri pengolahan cenderung

meningkat. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang relatif stabil terhadap

pertumbuhan PDB.

Grafik 4. Kontribusi Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian

-3.0

-2.0

-1.0

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1961-65 1966-70 1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05

%

1 Tanaman bahan makanan 2 Tanaman perkebunan 3 Peternakan dan hasil-hasilnya 4 Kehutanan5 Perikanan 5 PDB Sektor Pertanian

Sumber : BPS (Diolah)

� Secara subsektor, kontribusi pertumbuhan sektor pertanian sampai dengan saat ini

disumbang oleh sub sektor tanaman bahan makanan, diikuti oleh sub sektor tanaman

perkebunan dan peternakan.

1.2. Sektor Pertanian di Beberapa Negara Lain

Grafik 5. Pangsa PDB Sektoral di Beberapa Negara Asia

0

20

40

60

80

100

91-93

94-96

97-99

00-03

Gov't & Banks

Fin, Insc, R-Estate & Business

Transport, Storage & Commun'c

Whole's & Retail, Rest's & Hotel

Construction

Electricity, Gas & Water

Manufacturing (Mfg)

Mining & Quarrying

Agriculture

% Malaysia

0

20

40

60

80

100

71-75

76-80

81-85

86-90

91-95

96-00

01-03

Service

Industry &Construction

Agriculture, Forestry& Fishery

% Vietnam

0

20

40

60

80

100

71-75

81-85

91-95

01-03

Others

Services

Public Adm & Defence

Sales Trade

Transport & Commn'c

Construction

Manufacturing

Mining and Quarrying

Agriculture

% Thailand

0

20

40

60

80

100

81-85

86-90

91-95

96-00

01-03

Finance & Other Services

Government Services

Trade

Transport, Storage & Commn'c

Electricity, Gas & Water

Construction

Manufacturing

Mining & Quarrying

Agri'c, Fishery, Forestry

% Philipina

Sumber : CEIC

� Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian nasional terjadi pula di

beberapa negara lain meskipun dengan besaran yang berbeda-beda. Hal ini sejalan

dengan fenomena industrialisasi.

� Di negara Asia seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam, terlihat bahwa

penurunan pangsa sektor pertanian diiringi dengan peningkatan pangsa sektor industri

pengolahan.

� Sementara untuk negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, pangsa sektor

pertanian yang menurun diimbangi dengan peningkatan pada sektor jasa perusahaan,

sementara di Meksiko sektor jasa publik meningkat secara pesat.

Grafik 6. Peran PDB Sektoral di Beberapa Negara Non-Asia

0

20

40

60

80

100

61-65

71-75

81-85

91-95

Government

Services

Finance, Ins'c & R-Estate

Retail Trade

Wholesale Trade

Transport & Public Utilities

Manufacturing

Construction

Mining

Agri, Forestry & Fishing

% Amerika S ik t

0

20

40

60

80

100

80-85

86-90

91-95

96-00

01-03

Taxes & Imp Bank Services

Public & Personal Service

Finance, Insc & R-Estate

Transport, Storage & Commn'c

Commerce, Rest's & Hotels

Construction

Manufacturing

Mining

Agri, Cattle, Forestry & Fishing

% Meksiko

0

20

40

60

80

100

81-85

86-90

91-95

96-00

01-02

Gov't & others

ServicesTransport & Commn'c

Real EstateFinance and Insurance

Whole's & Retail TradeElectricity, Gas & Water

ConstructionManufacturing

MiningAgri, Forestry and Fishing

% Japan Grafik 7. Perkembangan Peran Sektor Pertanian di beberapa Negara

0

10

20

30

40

50

80-85 86-90 91-95 96-00 01-03

Vietnam Indonesia Thailand MalaysiaMeksiko USA Japan

%

Sumber : CEIC

� Dengan demikian, kecenderungan penurunan pangsa sektor pertanian dalam PDB yang

terjadi di berbagai negara terutama disebabkan oleh akselerasi pertumbuhan sektor-

sektor non-pertanian yang relatif lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian. Meskipun

ke-7 negara tersebut bervariasi dalam skala ekonomi, namun mengalami fenomena

pergeseran sektoral yang relatif sama.

Grafik 8. Indeks Pertanian Beberapa Negara

0

20

40

60

80

100

120

140

1961 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003

Australia Indonesia JapanMalaysia Mexico PhilippinesThailand United States of America Viet Nam

Sumber: Agriculture Statistics, FAO

� Perkembangan Indeks Pertanian antar negara menggambarkan perkembangan produksi

pertanian di berbagai negara mengalami pertumbuhan positif, kecuali Jepang yang relatif

stabil selama 30 tahun terakhir.

1.3. Komoditas Pertanian Food dan Non-Food

Tabel 5. Pangsa Food dan Non Food

(Dalam %)

1961-65 1966-70 1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-05

1 Food 79.5 79.5 72.4 72.1 78.4 79.3 75.8 75.4 78.8

2 Non Food 20.5 20.5 27.6 27.9 21.6 20.7 24.2 24.6 21.2

Sektor Pertanian 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Sub Sektor Pertanian

Sumber: BPS(diolah berdasarkan konsep FAO)

� Pengelompokkan Food dan Non Food dilakukan sesuai dengan penggolongan yang

dilakukan oleh FAO. Kelompok Food terdiri dari sub sektor tanaman bahan makanan,

sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya, dan sub sektor perikanan. Kelompok Non Food

terdiri dari sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan.

� Dengan mengelompokkan sektor pertanian kedalam 2 (dua) kelompok yaitu: Food dan

Non Food, terlihat bahwa pangsa Food cenderung tidak mengalami perubahan yang

berarti, yaitu rata-rata 77 persen.

� Hal yang menarik untuk dicermati dalam kelompok food dimana pangsa sub sektor

tanaman bahan makanan cenderung turun, sementara peranan sub sektor peternakan

dan hasil-hasilnya, dan sub sektor perikanan semakin meningkat. Kondisi ini

mencerminkan adanya pergeseran variasi makanan yang dikonsumsi masyarakat dimana

makanan hasil peternakan dan perikanan semakin banyak dikonsumsi.

Grafik 9. Indeks Komoditas Food, Non-Food dan Tenaga Kerja

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

1961 1967 1973 1979 1985 1991 1997 2003

Indeks Food Indeks Non FoodIndeks Populasi Indeks TK-Pertanian

Sumber: BPS(diolah berdasarkan konsep FAO)

� Berbeda dengan kondisi pada periode 1960-1985, dalam 15 tahun terakhir komoditas

pertanian mengalami pertumbuhan lebih tinggi daripada jumlah orang yang bekerja

pada sektor tersebut. Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas

tenaga kerja pada sektor tersebut yang antara lain disebabkan adanya mekanisasi

pertanian. Sejalan dengan hal tersebut, mekanisasi pertanian berdampak pada

pertumbuhan komoditas Food yang lebih tinggi dibandingkan komoditas Non-Food.

Grafik 10. Perkembangan Food dan Non-Food di Beberapa Negara Asia

0

50

100

150

200

250

1961 1967 1973 1979 1985 1991 1997 2003

Indeks Food Indeks Non FoodIndeks Populasi Indeks TK-Pertanian

Thailand%

0

50

100

150

200

250

1961 1967 1973 1979 1985 1991 1997 2003

Indeks Food Indeks Non FoodIndeks Populasi Indeks TK-Pertanian

Malaysia%

Sumber: FAO, diolah

� Mekanisasi pertanian terjadi pula di Malaysia dan Thailand, bahkan dampaknya lebih

menonjol dibandingkan Indonesia. Serupa fenomena di Indonesia, komoditas Food di

Malaysia tumbuh lebih tinggi dibandingkan komoditas Non-Food, sementara di Thailand

terjadi sebaliknya dimana komoditas Non-Food tumbuh lebih tinggi.

1.4. Kegiatan Ekonomi menurut Struktur Rural-Urban

Grafik 11. Struktur Demografi menurut Rural-Urban

0%

20%

40%

60%

80%

100%

1970 1980 1990 2000 2003

Desa Rural Desa Urban Penduduk Rural

Penduduk Urban TK Rural TK Urban

Sumber: BPS(diolah berdasarkan konsep FAO)

� Berdasarkan struktur demografi rural-urban, terlihat adanya modernisasi wilayah

ekonomi yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah desa perkotaan (urban area),

yang diikuti dengan pergeseran aktivitas ekonomi. Hal tersebut juga dapat dilihat dari

meningkatnya jumlah tenaga kerja di wilayah urban.

� Walaupun demikian, kawasan rural memegang peranan penting khususnya melalui

sektor pertanian yang berkaitan dengan ketahanan pangan dan sumber devisa melalui

kegiatan ekspor.

Tabel 6. Pangsa PDB Menurut Daerah Rural dan Urban

(Dalam %)

Pertanian Industri Jasa Total Pertanian Industri Jasa Total

1984 1.53 17.94 35.57 55.03 18.56 10.5 14.22 43.281987 1.32 17.9 33.75 52.7 18.3 11.36 16.24 45.91990 1.29 18.55 30.36 50.2 17.37 11.56 20.19 49.121993 2.08 21.52 37.97 61.57 15.26 9.51 13.67 38.441996 1.79 21.87 37.39 61.05 13.77 10.3 14.89 38.961999 2.12 21.4 35.76 59.28 15.02 11.06 14.65 40.732002 2.75 25.53 40.08 68.36 13.34 6.91 11.38 31.63

Rata-rata 1.95 21.32 36.35 59.62 15.4 9.93 14.71 40.04

Urban RuralTahun

Sumber: SMERU Research Institute (diolah berdasarkan data BPS)

1.5. Komoditas Tradables dan Non-Tradables

� Pendekatan tradables dan non-tradables dilakukan dengan menggunakan Tabel I-O,

yaitu dengan mengelompokkan tradables sebagai output dan input perekonomian yang

memiliki komponen ekspor dan impor, sementara yang tidak memiliki komponen ekspor

dan impor dikelompokkan sebagai non-tradables. Komoditas pertanian mencakup hasil

produksi dari sektor pertanian dan hasil industri pengolahan yang berbasis pertanian

(agro-industri), yaitu industri makanan, tekstil, kayu, kertas, dan industri kimia.

Grafik 12. Pangsa Tradables dan Non-tradables

Pangsa Tradables dan Non-tradables Pangsa Tradables menurut Sektor

Tradables39,5%

Non-tradables60,5%

Agro-industri35,9%

Non-pertanian61,9%

Pertanian2,2%

Tradables

Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)

� Dari total ouput perekonomian, sebesar 39,5 persen merupakan output tradables dan

sisanya (60,5 persen) merupakan output non-tradables. Dari total output tradables,

sebesar 2,2 persen merupakan komoditas tradables dari sektor pertanian primer, 35,9

persen adalah komoditas tradables agro-industri, dan selebihnya (61,9 persen) adalah

komoditas tradables dari sektor lain.

Grafik 13. Komoditas Non-Tradables menurut Sektor Ekonomi

Agro-industri29,7%

Pertanian12,5%

Non Pertanian57,8%

Bangunan16,4%

Jasa-jasa14,8%

Perdagangan9,3%

Keuangan 5,2%

Lainnya12,1%

Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)

� Untuk komoditas non-tradables, sektor pertanian primer memegang peranan 12,5

persen dan agro-industri 29,7 persen, sementara sektor non-pertanian mencapai 57,8

persen. Dengan kata lain, sektor pertanian primer lebih banyak dikonsumsi di dalam

negeri (non-tradables) daripada sebagai komoditas tradables.

Grafik 14. Komoditas Tradables menurut Sub Sektor

11.1%

5.7%

12.0% 29.0%

20.3%21.9%

Pertanian primer Industri makanan, minuman & tembakau

Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki Industri barang kayu & hasil hutan lainnyaIndustri kertas & barang cetakan Industri kimia & barang dari karet

Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)

� Ditinjau dari komoditas pertanian primer, pangsa sektor pertanian hanya sebesar 8,4

persen. Sementara itu, ditinjau secara lebih luas yaitu komoditas pertanian primer dan

olahan, sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian

(40,6 persen).

� Secara sub sektor, industri tekstil menempati urutan pangsa terbesar komoditas

pertanian tradables yaitu 29,0 persen, diikuti oleh industri kimia dan karet (21,9 persen),

serta industri makanan (20,3 persen). Industri kayu dan industri kertas memiliki pangsa

komoditas tradables masing-masing sebesar 12,0 persen dan 11,1 persen. Sementara

itu, komoditas pertanian primer hanya memiliki pangsa 5,7 persen.

2. Perkembangan Komoditas Tradables Pertanian

2.1. Ekspor Komoditas Pertanian 2000 - 2005

� Pada tahun 2005 volume ekspor hampir mencapai 5 juta ton/tahun, meningkat

dibandingkan pada tahun 2000 sebesar 3,4 juta ton/tahun.

Grafik 15. Volume Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000 – 2005

-6.00

-4.00

-2.00

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

Ekspor (volume) Impor (volume) Neraca Perdagangan

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Juta ton

Sumber: BI (diolah)

� Peningkatan volume ekspor tersebut diikuti pula dengan kenaikan volume impor yang

tidak terlalu tinggi dari 7,1 juta ton/tahun pada tahun 2000, menjadi 7.6 juta ton/tahun

di tahun 2005.

� Meskipun dari sisi volume terjadi defisit, namun apabila dilihat dari sisi nilai, neraca

ekspor-impor (trade balance) komoditas pertanian masih mengalami surplus dari waktu

ke waktu. Pada tahun 2005 surplus perdagangan mencapai USD 2,3 milyar, atau

meningkat dari USD 282 juta pada tahun 2000.

Grafik 16. Nilai Ekspor-Impor Komoditas Pertanian 2000 – 2005

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

45,000

50,000

Ekspor (nilai) Impor (nilai) Neraca Perdagangan

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Juta US$

Sumber: BI (diolah)

Grafik 17. Trade Balance Komoditas Food dan Non-Food

Food Non Food-2,000

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Juta USD

Export Import Trade Balance

Sumber: BPS (diolah)

� Secara lebih rinci, baik komoditas food maupun non-food mengalami surplus yang

cenderung meningkat dalam 6 tahun terakhir sejak krisis. Sementara itu, trade balance

Food mencatat surplus lebih tinggi dibandingkan Non-Food.

Grafik 18. Pangsa dan Pertumbuhan Ekspor Komoditas Pertanian Terhadap Total Ekspor Non-Migas

Pangsa Ekspor Komoditas Pertanian Pertumbuhan Ekspor Komoditas Pertanian

0

5

10

15

20

25

1999 2000 2001 2002 2003 2004

%

Volume Nilai2000 2001 2002 2003 2004

-20

-10

0

10

20

30

Volume Nilai

Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)

� Dalam 6 tahun terakhir, pangsa ekspor komoditas pertanian terhadap total ekspor non-

migas meningkat secara gradual, sehingga pada 2004 pangsa volume ekspor pertanian

mencapai 11,6 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor pertanian mencapai 22,4 persen.

Sementara itu, pertumbuhan volume ekspor pertanian melambat sampai 2003, namun

meningkat lagi pada 2004, sehingga pertumbuhan nilai ekspor yang lebih tinggi daripada

pertumbuhan volume semata-mata disebabkan oleh faktor harga ekspor komoditas

pertanian pada periode tersebut.

� Dengan total ekspor komoditas pertanian sebesar 22,8 juta ton atau senilai USD 12,2

juta, Indonesia menduduki peringkat ke-20 negara eksportir terbesar komoditas

pertanian di bawah peringkat Thailand (ke-15) dan Malaysia (ke-16) yang luas lahan

pertaniannya jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Sementara itu, peringkat 10 besar

negara eksportir komoditas pertanian adalah negara-negara maju, kecuali Brasil di

peringkat ke-7. Sedangkan, peringkat pertama sampai dengan ke-3 secara berturut-

turut diduduki oleh Amerika Serikat, Perancis dan Belanda.

Grafik 19. Negara Pengekspor Komoditas Pertanian Terbesar

Indonesia

Irlandia

New Zealand

Meksiko

Malaysia

Thailand

Brasil

Spanyol

Belgia

Jerman

Belanda

Perancis

USA

0 20 40 60 80

20

19

18

17

16

15

7

6

5

4

3

2

1

Rank

Nilai Ekspor ($ Miliar)

Sumber: BPS (diolah)

2.2. Perkembangan Ekspor Beberapa Komoditas Pertanian

� Total ekspor komoditas pertanian yaitu tekstil dan produk tekstil, minyak kelapa sawit

(CPO), kayu dan produk turunannya, ikan olahan dan awetan, dan karet dan produk

karet olahan mencapai 31,5 persen dari total ekspor non-migas. Untuk produk tekstil,

persentase yang diekspor dari output domestik adalah sebesar 70,1 persen, sedangkan

untuk komoditas kayu dan karet masing-masing sebesar 71,0 persen dan 60,3 persen.

Sementara itu, untuk komoditas kelapa sawit (CPO) dan ikan masing-masing adalah 32,2

persen dan 56,6 persen dari output domestik komoditas tersebut.

Grafik 20. Perkembangan Ekspor Komoditas Karet

Perkembangan Volume Ekspor Karet Perkembangan Nilai Ekspor Karet

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Ribu Mt)

Thailand Indonesia Malaysia

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Juta USD)

Thailand Indonesia Malaysia

Sumber: FAO (diolah)

� Volume Ekspor karet Indonesia terus mengalami pertumbuhan, meski agak turun pada

periode krisis (1998-1999) dan meningkat lagi sejak tahun 2000. Dalam pangsa pasar

dunia, ekspor karet Indonesia menduduki peringkat ke-2 setelah Thailand, namun masih

lebih tinggi dari Malaysia. Meski terjadi kenaikan volume ekspor, namun nilai ekspor

karet turun pada periode 1996-2001 sebagai akibat turunnya harga karet dunia.

Grafik 21. Perkembangan Ekspor Komoditas CPO

Perkembangan Volume Ekspor CPO Perkembangan Nilai Ekspor CPO

02,0004,0006,0008,000

10,00012,00014,000

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Ribu Mt)

Malaysia Indonesia

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Juta USD)

Malaysia Indonesia

Sumber: FAO (diolah)

� Indonesia merupakan negara pengekspor CPO terbesar ke-2 setelah Malaysia. Volume

Ekspor CPO tumbuh dari sekitar 1,5 juta metric ton pada 1990-an menjadi 6,4 juta

metric ton pada 2003. Meski ekspor CPO Indonesia masih di bawah Malaysia, namun

pertumbuhannya lebih cepat yaitu sekitar 20 persen per tahun dibandingkan ekspor CPO

Malaysia yang hanya tumbuh sekitar 6 persen per tahun.

Grafik 22. Perkembangan Ekspor Komoditas Tekstil

Perkembangan Volume Ekspor Tekstil Perkembangan Nilai Ekspor Tekstil

010

2030

4050

6070

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Ribu Mt)

Indonesia Malaysia Thailand Viet Nam

05

10152025

3035

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Juta USD)

Indonesia Malaysia Thailand Viet Nam

Sumber: FAO (diolah)

� Komoditas tekstil mencakup produk serat sampai dengan produk olahan tekstil, seperti

pakaian jadi. Dari sisi volume, ekspor tekstil Indonesia hanya berada di peringkat ke-45

dunia, di bawah Vietnam dan Thailand, namun dari sisi nilai lebih tinggi dibandingkan

kedua negara tersebut.

Grafik 23. Perkembangan Ekspor Komoditas Kayu dan Produk Kayu

Perkembangan Volume Ekspor Kayu Perkembangan Nilai Ekspor Kayu

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Ribu Cum)

Indonesia Malaysia Thailand

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Juta USD)

Indonesia Malaysia Thailand

Sumber: FAO (diolah)

� Ekspor kayu Indonesia sejak tahun 2001 terus mengalami penurunan, baik dari sisi

volume maupun nilai ekspor. Saat ini, ekspor kayu Indonesia menduduki peringkat ke-7

ekspor dunia dengan total ekspor mencapai 3,2 juta cum atau senilai USD 950 juta.

Grafik 24. Perkembangan Ekspor Komoditas Ikan Laut

Perkembangan Volume Ekspor Ikan Laut Perkembangan Nilai Ekspor Ikan Laut

0200400600800

1,0001,2001,4001,600

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Ribu Mt)

Indonesia Thailand Viet Nam

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

(Juta USD)

Indonesia Thailand Viet Nam

Sumber: FAO (diolah)

� Ekspor ikan laut Indonesia cenderung turun sejak 1998, namun masih menduduki

peringkat ke-10 dengan volume ekspor mencapai 397 ribu Mt atau senilai USD 1,5 miliar

pada 2003. Hal tersebut berbeda dengan Vietnam dimana ekspor ikan terus meningkat

sehingga pangsa ekspornya melebihi Indonesia, sementara negara pesaing lain di Asean

adalah Thailand yang berada di urutan ke-2.

2.3. Persaingan Ekspor Komoditas Pertanian

Tabel 7. Pangsa dan Peringkat Dunia Komoditas Pertanian Unggulan

Terhadap Output

Terhadap Ekspor Dunia

Kelapa sawit dan minyak olahan 32.1% 27.5% 2 Malaysia (1) - 58.4%

Karet dan produk karet olahan 60.3% 27.5% 2 Thailand (1) - 41.8%

Ikan olahan 56.6% 2.74% 10 Thailand (2) - 7.24%

Tekstil dan produk tekstil 70.1% 0.23% 45 India (12) - 1.69%

Kayu dan produk dari kayu 71.0% 2.02% 10 Malaysia (7) - 3.74%

Pangsa Ekspor

Kelompok KomoditasPeringkat

DuniaNegara-negara pesaing Asia (peringkat) - pangsa dunia

Sumber: Tabel IO 2000 dan FAO (diolah)

� Empat dari lima komoditas pertanian unggulan Indonesia menduduki urutan 10 besar

peringkat pangsa ekspor dunia. Kelapa sawit dan karet beserta produk turunannya

masing-masing menduduki peringkat ke-2 dan menguasai hampir 30 persen pangsa

ekspor dunia. Negara Asean pesaing untuk komoditas kelapa sawit adalah Malaysia

yang menduduki peringkat pertama dan menguasai 58,4 persen pangsa dunia. Untuk

komoditas karet, Thailand merupakan negara pengekspor terbesar dengan pangsa dunia

sebesar 41,8 persen.

� Ekspor komoditas ikan dan kayu masing-masing menduduki peringkat ke-10 negara

pengekspor terbesar dunia, namun pangsa yang dikuasai tidak lebih dari 3 persen.

Negara pesaing di Asean untuk komoditas ikan adalah Thailand, sementara untuk

komoditas kayu adalah Malaysia. Untuk ekspor komoditas tekstil, meskipun Indonesia

hanya menempati di urutan ke-45, namun berada di atas negara-negara Asean lainnya.

China dan India masing menempati peringkat ke-3 dan ke-12 negara pengekspor tekstil

terbesar di dunia.

2.4. Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian

Tabel 8. Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian

TahunPertumb. Ekspor

Pertanian

Pertumb. PDB

Elastisitas PeriodeRata-rata

Elastisitas

1991 11.42 9.26 1.23

1992 8.92 10.30 0.87 1993 6.38 8.76 0.73 1994 33.88 8.15 4.16 1995 13.39 9.46 1.42 1996 7.51 9.10 0.83

1997 3.14 5.63 0.56 1998 (17.01) (10.56) 1.61 1999 1.61 1.68 0.96 2000 (3.78) 4.15 (0.91)

2001 (11.62) 3.83 (3.03) 2002 42.12 4.38 9.63 2003 12.64 4.88 2.59

Paska Krisis

2.07

Sblm Krisis

1.40

Masa Krisis

1.28

Sumber: BPS dan FAO (diolah)

� Elastisitas pertumbuhan ekspor komoditas pertanian terhadap pertumbuhan PDB

sebelum krisis tercatat sebesar 1,40, kemudian turun menjadi 1,28 pada masa krisis, dan

meningkat tajam menjadi 2,07 pada paska krisis. Angka elastisitas paska krisis

menunjukkan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen akan mendorong

pertumbuhan ekspor komoditas pertanian sebesar 2,07 persen.

Grafik 25. Elastisitas Ekspor Komoditas Pertanian

di Beberapa Negara Periode 1991-2003

-

1.0

2.0

3.0

4.0

Elastisitas 2.84 1.75 1.69 1.59 1.10 0.41

Philippines Thailand USA Indonesia Vietnam China

E

Sumber: CEIC dan FAO (diolah)

� Elastisitas ekspor komoditas pertanian di beberapa negara Asean lainnya juga berkisar 1-

3. Dengan demikian, elastisitas pertumbuhan ekspor pertanian Indonesia (1,6) relatif

tidak jauh berbeda dengan negara-negara Asean yang cukup maju di bidang pertanian,

seperti Thailand (1,7). Negara Asean yang memiliki elastisitas tertinggi adalah Filipina

sebesar (2,84).

3. Produktivitas Sektor Pertanian .

3.1. Luas Lahan dan Penggunaan Lahan Pertanian

Grafik 26. Perkembangan Luas Lahan Pertanian

1981 2002

9.9%4.4%6.6%

14.7%64.4%

Lahan pertanian basah (arable land)Lahan perkebunan (permanent cropland)Ladang kering (permanent pasture)Hutan (forest and woodland)Penggunaan lahan lainnya

15.5%

7.2%11.3%

59.8%

6.2%

Lahan pertanian basah (arable land)Lahan perkebunan (permanent cropland)Ladang kering (permanent pasture)Hutan (forest and woodland)Penggunaan lahan lainnya

Sumber: FAO

� Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan penggunaan lahan pertanian.

Dari total lahan (land area) seluas 181.157 ribu hektar digunakan sebagai lahan pertanian

basah (arable land) sebesar 9,9 persen (1980) dan meningkat menjadi 11,3 persen

(2002). Sedangkan penggunaan lahan untuk tanah perkebunan (permanent crops) juga

mengalami peningkatan, dari 4,4 persen (1980) menjadi 7,3 persen (2002). Pada periode

yang sama, luas area hutan (forest and woodland) menyusut dari 64,4 persen menjadi

59,8 persen.

� Peningkatan penggunaan lahan pertanian di Indonesia, merupakan salah satu faktor

yang mendukung peningkatan produksi sektor pertanian sebagaimana ditunjukkan oleh

peningkatan Indeks Pertanian pada pembahasan terdahulu. Dalam jangka pendek,

peningkatan produksi bisa dilakukan dengan memanfaatkan 1,08 juta hektar lahan tidur

yang tersebar di 13 propinsi. Secara keseluruhan ada 38,7 juta hektar potensi lahan

pertanian yang belum dimanfaatkan, terdiri dari 16,7 juta hektar lahan basah (sawah)

dan 22 juta hektar lahan kering.

� Sebagian besar lahan yang belum dimanfaatkan ini diluar Jawa. Potensi pertanian lahan

basah terbesar di Papua, Sumatera dan Kalimantan, sedangkan untuk pertanian lahan

kering di Sumatera dan Kalimantan. Khusus untuk perluasan lahan kering tanaman

tahunan (perkebunan), potensi terbesar di Sumatera, Kalimantan dan Papua.

� Dalam periode 1981-1999 secara nasional terjadi konversi lahan pertanian ke non-

pertanian mencapai 1,63 juta hektar. Konversi ini sebagian besar terjadi di Jawa dimana

terjadi over utility lahan, dengan konversi lahan pertanian ke non-pertanian seluas 1 juta

hektar.

Tabel 9. Penggunaan Lahan Pertanian Antar Negara

Land Use

1981 2002 1981 2002 1981 2002 1981 2002

Indonesia 181,157 9.9 11.3 4.4 7.3 6.6 6.2 64.4 61.5

Malaysia 32,855 3.1 5.5 11.7 17.6 0.8 0.9 67.7 67.7

Philippines 29,817 17.5 19.1 14.8 16.8 3.5 5.0 41.1 45.6

Viet Nam 32,549 18.2 20.6 2.1 6.7 0.9 2.0 34.6 29.5

China 932,743 10.5 15.3 0.4 1.2 36.6 42.9 14.4 13.9

Mexico 190,869 12.1 13.0 0.8 1.3 39.0 41.9 24.8 25.4

Thailand 51,089 33.0 31.1 3.6 6.9 1.3 1.6 31.5 29.0

Japan 36,640 13.3 12.1 1.6 0.9 1.6 1.2 67.5 67.6

USA 915,896 20.6 19.2 0.2 0.2 25.9 25.5 32.0 32.2

India 297,319 54.8 54.4 1.8 2.8 4.1 3.7 22.7 22.8

Korea 9,873 20.8 17.1 1.4 2.0 0.6 0.6 66.5 65.5

Permanent Crops (%)

Permanent Pasture (%)

Forests and Woodland (%)

Land Area (1000Ha)

Arable Land (%)

Sumber: FAO (diolah)

� Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan untuk arable area dan permanent crops

yang serupa terjadi pada beberapa negara seperti Malaysia, Philipina, Vietnam, China

dan Meksiko, sebaliknya di Thailand, USA dan Jepang justru menunjukkan penurunan

penggunaan lahan tersebut.

3.2. Tenaga Kerja Menurut Sektor Ekonomi

� Sektor pertanian adalah sektor ekonomi yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Secara rata-rata, sektor pertanian mampu menyerap sebanyak 48,2 persen dari total

tenaga kerja yang bekerja di seluruh sektor ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor

pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam penyerapan tenaga kerja di

Indonesia (labor intensive).

Tabel 10. Perkembangan Tenaga Kerja menurut Sektor Ekonomi

(Ribu orang)

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Pertanian 37.092 54,7 39.787 54,7 38.470 49,5 35.932 42,9 39.490 44,5 41.140 44,8 40.608 43,3

Pertambangan dan Penggalian 339 0,5 501 0,7 627 0,8 789 0,9 617 0,7 772 0,8 1.035 1,1

Industri Pengolahan 5.611 8,3 7.431 10,2 9.061 11,7 10.720 12,8 11.030 12,4 11.897 13,0 11.070 11,8

Listrik, Gas dan Air 76 0,1 136 0,2 170 0,2 190 0,2 136 0,2 157 0,2 231 0,2

Bangunan 1.643 2,4 2.095 2,9 2.947 3,8 3.875 4,6 3.478 3,9 4.055 4,4 4.540 4,8

Perdagangan, Hotel dan Restoran 10.067 14,9 10.908 15,0 12.518 16,1 15.859 18,9 17.611 19,8 17.505 19,1 19.119 20,4

Pengangkutan dan Komunikasi 1.818 2,7 2.320 3,2 2.944 3,8 3.903 4,7 4.305 4,8 4.687 5,1 5.481 5,8

Keuangan, Persewaan dan Jasa 357 0,5 463 0,6 587 0,8 667 0,8 711 0,8 1.142 1,2 1.125 1,2

Jasa-jasa 10.784 15,9 9.161 12,6 10.443 13,4 11.825 14,1 11.398 12,8 10.400 11,3 10.513 11,2

Total 67.787 100 72.803 100 77.766 100 83.759 100 88.776 100 91.755 100 93.722 100

1995-1997 1998-2000 2001-2003 2004SEKTOR EKONOMI

1986-1988 1989-1991 1992-1994

Sumber : BPS

3.3. Tenaga Kerja Menurut Gender

Grafik 27. Perkembangan Tenaga Kerja Pertanian menurut Gender

Sebelum krisis Masa krisis Sesudah krisis

Pertumbuhan TK: 1,60% Pertumbuhan TK: 0,96% Pertumbuhan TK: 0,70%

P (39%)

L (61%)

P (42%)

L(58%)

L(57%)

P(43%)

Sumber: FAO

� Dalam kurun waktu 15 tahun tenaga kerja di sektor pertanian mengalami pertumbuhan

yang melambat. Pada periode sebelum krisis (1986-1997), secara rata-rata, tingkat

pertumbuhan tenaga kerja di sektor ini adalah sebesar 1,60 persen, sementara pada

periode krisis (1998-1999) menurun menjadi 0,96 persen dan pasca krisis (2000-2003)

sebesar 0,70 persen.

� Berdasarkan komposisi gender, tenaga kerja di sektor pertanian masih didominasi oleh

laki-laki, meskipun terdapat kecenderungan peningkatan komposisi tenaga kerja wanita

di sektor tersebut.

Grafik 28. Perkembangan Indeks Tenaga Kerja Pertanian

1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 200460

70

80

90

100

110

120

Indeks TK Pertanian Indeks Pertanian

%

Sumber: BPS (diolah)

� Dalam 15 tahun terakhir, sektor pertanian Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata

2,75 persen, sementara jumlah tenaga kerja sektor pertanian tumbuh rata-rata 0,82

persen, sehingga sektor pertanian memiliki elastisitas terhadap pertumbuhan tenaga

kerja sebesar 3,37 persen. Setiap pertumbuhan 1 persen tenaga kerja di sektor pertanian

akan meningkatkan PDB sektor tersebut sebesar 3,37 persen. Dibandingkan dengan

sektor-sektor lain yang rata-rata memiliki elastisitas kurang dari 2 persen, peran tenaga

kerja sektor pertanian relatif lebih tinggi dalam pembentukan pertumbuhan PDB.

� Pada 1994 terjadi pergeseran dimana output sektor pertanian tumbuh menjadi lebih

tinggi dari pada pertumbuhan tenaga kerja sektor tersebut. Hal tersebut

mengindikasikan intensifikasi sektor petanian yang dapat terjadi karena peningkatan

produktifitas tenaga kerja ataupun karena penambahan investasi barang modal pada

sektor tersebut.

� Dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di beberapa negara

Asia, terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Indonesia jauh

lebih tinggi dibandingkan Korea, Malaysia, dan Philipina namun masih lebih rendah

dibandingkan Vietnam dan Thailand.

Grafik 29. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (1994-2003)

2.2

4.5

4.7

11.1

19.9

22.3

40.5

44.2

57.6

67.9

0 20 40 60 80

Viet Nam

Thailand

Indonesia

Philippines

Mexico

Malaysia

Korea

Australia

Japan

USA

%

Sumber : BPS dan FAO (diolah)

3.4. Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Tabel 11. Produktivitas Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi

(Juta/orang)

Sektor Ekonomi Sebelum krisis Masa krisis Sesudah krisis

Pertanian 2.15 4.99 7.13

Pertambangan dan Penggalian 55.42 164.43 230.73

Industri Pengolahan 11.25 24.47 46.03

Listrik, Gas dan Air 30.66 73.51 99.75

Bangunan 9.67 18.65 25.46

Perdagangan, Hotel dan Restoran 5.18 9.39 16.83

Pengangkutan dan Komunikasi 8.61 12.81 20.71

Keuangan, Persewaan dan Jasa 62.86 112.76 142.47

Jasa-jasa 3.72 7.60 17.16

Total 5.70 11.65 20.24

Sumber : BPS (diolah)

� Meskipun penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia cukup tinggi, namun

produktivitas tenaga kerja pada sektor tersebut sangat rendah. Berdasarkan

produktivitas tenaga kerja yang dihitung dari rasio antara PDB (harga berlaku) dengan

jumlah tenaga kerja per sektor, menunjukkan bahwa produktivitas sektor pertanian lebih

rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya maupun produktivitas PDB secara rata-rata.

Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian sebelum krisis tercatat sebesar Rp2,15

juta/orang, jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas sektor industri pengolahan

(Rp11,25 juta/orang) ataupun dibandingkan produktivitas rata-rata PDB (Rp5,70

juta/orang).

� Sebagaimana produktivitas pada sektor-sektor lain, produktivitas tenaga kerja sektor

pertanian tetap meningkat pada masa krisis menjadi Rp4,99 juta/orang dan meningkat

lagi menjadi Rp7,13 juta/orang.

Tabel 12. Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian Antar Negara

No. Countries

1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 1979-81 2000-02 1979-81 2000-021. Indonesia 65,9 122,9 63,1 123,6 51,0 124,7 2.837,0 4.141,0 604,0 748,02. Malaysia 75,3 119,4 55,6 142,1 41,0 142,1 2.828,0 3.132,0 3.939,0 6.912,03. Thailand 79,1 124,3 79,7 123,5 64,5 135,3 1.911,0 2.654,0 616,0 863,04. Philipina 88,3 123,1 86,1 137,1 73,8 177,8 1.611,0 2.692,0 1.381,0 1.458,05. Vietnam 65,8 180,3 62,5 171,4 50,1 193,8 2.049,0 4.375,0 N.A 256,06. China 67,1 155,6 60,8 185,9 45,4 226,7 3.027,0 4.845,0 161,0 338,07. Japan 108,3 87,1 94,1 91,6 85,1 93,2 5.252,0 5.879,0 17.378,0 33.077,08. USA 98,6 118,3 94,5 122,5 89,0 123,6 4.151,0 5.830,0 20.672,0 53.907,09. Mexico 86,5 123,6 85,3 135,7 86,2 150,1 2.164,0 2.870,0 1.482,0 1.813,0

Note:*) Agriculture value added per worker (in USD)

kilogram/ha

Agricultural Productivity *)

Crop Production Index

Food Production Index

Livestock Production

Cereal Yield

Sumber : 2004 World Development Indicators – World Bank

� Dibandingkan dengan negara lain, produktivitas sektor pertanian Indonesia masih jauh di

bawah negera-negara lainnya, kecuali Vietnam dan China. Dalam kurun waktu 1979-

1981, negara dengan produktivitas sektor pertanian yang tertinggi adalah USA dan

Jepang, dan yang terendah adalah China. Pada dua dekade berikutnya, Jepang,

Malaysia, USA dan China mengalami peningkatan produktivitas hampir dua kali lipat

sementara Indonesia hanya mengalami peningkatan sebesar 25 persen.

4. Pembiayaan Perbankan terhadap Sektor Pertanian

� Dilihat dari perkembangan kinerja sektor pertanian dalam PDB, struktur demografis,

penyerapan tenaga kerja, perdagangan ekspor dan impor, perkembangan pembiayaan

dari perbankan serta mempertimbangkan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan,

maka sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang masih memerlukan

perhatian dari banyak pihak termasuk pemerintah dan pihak perbankan.

4.1. Pembiayaan Formal Melalui Bank dan Non-Bank

� Ketersediaan modal dalam pembiayaan suatu usaha termasuk usaha di bidang pertanian

(baik usaha primer maupun olahan) memiliki peran yang sangat penting. Terdapat

indikasi bahwa sektor pertanian Indonesia saat ini masih banyak yang pembiayaannya

diperoleh dari sektor informal ataupun pembiayaan secara informal (self-financing).

Pembahasan pembiayaan dalam laporan ini akan difokuskan pada pembiaayaan formal

dari sektor keuangan, khususnya perbankan.

Grafik 30. Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

(Miliar Rp)

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

Total Kredit Bank Umum 188,871 234,611 292,921 378,134 487,426 225,133 269,000 307,594 365,410 437,942 553,548 689,671

Pertanian 13,860 15,525 17,630 26,002 39,308 23,777 19,504 20,864 22,332 24,307 32,376 36,678

Pangsa (dalam %) 7.3 6.6 6.0 6.9 8.1 10.6 7.3 6.8 6.1 5.6 5.8 5.3

Pertumbuhan (dalam %) 12.0 13.6 47.5 51.2 -39.5 -18.0 7.0 7.0 8.8 33.2 13.3

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

%

Sumber: LBU Bank Indonesia

� Jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan

di atas 20 persen (kecuali masa krisis turun 53,8 persen). Pada tahun 1994, total kredit

perbankan mencapai Rp188,9 triliun meningkat menjadi Rp689,7 trilun pada 2005. Dari

jumlah tersebut, kredit yang disalurkan kepada sektor pertanian kurang dari 10 persen,

bahkan terdapat kecenderungan semakin menurun dalam periode tersebut, meskipun

secara nominal meningkat yaitu dari Rp13,9 trilun pada 1994 menjadi Rp36,7 triliun

pada 2005.

� Dilihat dari pertumbuhannya, secara rata-rata kredit perbankan tumbuh 16,1 persen per

tahun, sementara pertumbuhan kredit sektor pertanian tumbuh 12,3 persen per tahun,

dibawah pertumbuhan kredit sektor lain, seperti pada sektor pertambangan (36,3

persen), diikuti oleh sektor jasa (32,0 persen) dan sektor perdagangan (14,4 persen).

Tabel 13. Kebutuhan Investasi Komoditas Pertanian Unggulan

(Miliar Rp)

KOMODITAS PUBLIK PEMERINTAH SWASTA TOTAL

Total Tanaman Pangan 23.2 1,054.6 17,464.5 18,542.3 Padi - 616.6 14,147.6 14,764.2 Jagung 23.2 120.0 939.7 1,082.9 Kedelai - 318.0 2,377.2 2,695.2Total Hortikultura 2,751.2 154.2 4,894.8 7,800.2 Pisang 5.4 133.0 138.4 Jeruk 1,813.2 3.8 4,320.7 6,137.7 Bawang Merah 909.4 0.4 36.3 946.1 Anggrek 23.2 150.0 404.8 578.0Total Peternakan 23,250.0 5,600.0 22,450.0 51,300.0 Unggas 8,000.0 2,450.0 14,050.0 24,500.0 Sapi 13,500.0 2,500.0 8,000.0 24,000.0 Kado 1,750.0 650.0 400.0 2,800.0Total Perkebunan 26,841.4 6,654.5 34,604.3 68,100.2 Tanaman Obat 3,029.0 50.0 18,666.0 21,745.0 Cengkeh 767.5 85.5 182.2 1,035.2 Kelapa 221.0 647.8 916.8 1,785.6 Karet - 2,414.0 27.7 2,441.7 Kelapa sawit 18,226.4 1,699.2 7,556.6 27,482.2 Kakao 3,460.0 1,550.0 350.0 5,360.0 Tebu 1,137.5 208.0 6,905.0 8,250.5

JUMLAH 52,865.8 13,463.3 79,413.6 145,742.7

Sumber: Departemen Pertanian

� Berdasarkan hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Litbang)

Departemen Pertanian, pengembangan 17 komoditas agribisinis yang menjadi prioritas

dalam pembangunan pertanian periode 2005-2010 dibutuhkan investasi sebesar 145,7

triliun yang sebagian besar berasal dari swasta (54,4%), sementara investasi publik dan

pemerintah masing-masing 36,3% dan 9,2%.

5. Pembentukan Harga Output Sektor Pertanian

� Dalam pembentukan inflasi, komoditas pertanian barang-barang yang diklasifikasikan ke

dalam sektor pertanian lebih fluktuatif dibandingkan inflasi pada barang-barang sektor

non pertanian. Besarnya bobot inflasi komoditas pertanian bersifat musiman, hal ini

terlihat dengan tingginya bobot pada masa-masa mendekati hari raya keagamaan,

kemudian pada awal tahun sekitar bulan Februari dan Maret bobot inflasinya menurun

secara drastis.

Grafik 31. Perkembangan Bobot Inflasi Komoditas Pertanian

%

-3.0

-2.0

-1.0

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

FMAMJ J ASOND J F MAMJ J ASOND J FMAMJ J ASOND J FMAMJ J

2002 2003 2004 2005

Komoditas Pertanian Komoditas Non-Pertanian

Sumber: BPS, Inflasi Bulanan

� Sumbangan inflasi dari barang-barang yang diklasifikasikan ke dalam sektor non

pertanian terhadap inflasi umum lebih dominan dibandingkan sumbangan inflasi dari

barang-barang sektor pertanian. Sejalan dengan fenomena bobot inflasi komoditas

pertanian yang musiman, sumbangan inflasi dari barang-barang sektor pertanian

memuncak pada masa hari raya keagamaan (lebaran dan natal) yang dalam 4 tahun

terakhir ini jatuh di triwulan IV, sementara di awal tahun sumbangannya kecil bahkan

beberapa kali mencatat nilai negatif.

Grafik 32. Pangsa Komoditas Pertanian dan Inflasi

%

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

F MAMJ J ASOND J F MAMJ J ASOND J F MAMJ J ASOND J FMAMJ J

2002 2003 2004 2005

Komoditas Pertanian Komoditas Non-Pertanian

Sumber: BPS, Inflasi Bulanan

6. Output Pertanian menurut Lokasi

Grafik 33. Pangsa Terbesar Sektor Pertanian menurut Propinsi

0 5 10 15 20 25

JATIMJABAR

JATENGSUMUT

RIAUBANTEN

DKISULSELSUMSEL

LAMPUNG

%

Sumber: BPS (diolah)

� Menurut PDRB per Propinsi, terlihat bahwa output komoditas pertanian masih

terkonsentrasi di pulau Jawa, dimana Jawa Timur menempati urutan tertinggi (21,0

persen), Jawa Barat di urutan kedua (13,6 persen) dan Jawa Tengah (11,9 persen).

Sementara itu, urutan ke-4 dan ke-5 masing ditempati oleh Sumatera Utara dan Riau.

Grafik 34. Location Quotient Sektor Pertanian

Sumber: BPS, Tabel Input-Output (diolah)

� Sementara itu dengan menggunakan Location Quotient (LQ) atas dasar data PDRB 2004,

diketahui bahwa sektor pertanian di daerah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur dan

Kalimantan Tengah memiliki keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan daerah-

daerah lainnya. Jika dilihat secara subsektor, untuk subsektor tanaman bahan makanan,

daerah Nusa Tenggara Timur, Bengkulu dan Lampung unggul dibandingkan dengan

daerah-daerah lainnya. Sementara untuk perkebunan, 3 daerah yang memiliki LQ

terbesar adalah Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Untuk

peternakan, LQ terbesar dimiliki oleh daerah Nusa Tenggara Timur kemudian diikuti oleh

Lampung dan Sulawesi Tenggara. Untuk kehutanan Kalimantan Tengah, Riau dan

Sulawesi Tengah. Perikanan Maluku, Sulawesi Tenggara dan Bangka-Belitung.

7. Kebijakan Pemerintah Saat Ini

� Dalam kurun waktu lebih dari 3 dasawarsa (1970 – 2005), pokok-pokok kebijakan

pemerintah dapat dikelompokkan menjadi 3 aspek kebijakan, yaitu: kebijakan sumber

daya lahan, kebijakan infrastruktur, dan kebijakan insentif. Dalam periode tersebut,

perkembangan pertanian mengalami 3 fase pertumbuhan, yaitu:

- Fase accelerating : periode 1970an s.d. 1985

- Fase decelerating : periode 1985 s.d. 2000

- Fase rebounding : periode 2001 s.d. 2005

Tabel 14. Kebijakan Pemerintah 1970-2005

1. Pemberdayaan lahanpertanian lebih diutamakanpada lahan sawah.

1. Pembangunan irigasi yangturut berperan dalamtercapainya swasembadaberas tahun 1984.

1. Intervensi pemerintah dalambentuk kebijakan harga, saranaproduksi dan kebijakanperdagangan.

2. Adanya konversi dari lahanpertanian ke lahan nonpertanian.

2. Pada masa reformasipembangunan irigasi menurun.

2. Pengembangan komoditasstrategis: beras, jagung, kedelai,ayam ras, susu, sapi, danberbagai komoditas perkebunan.

3. Kemampuan lahan sawahsebagai penggerakekonomi pedesaansemakin melemah.

3. Tahun 2003, pemerintahmenyediakan sekitar Rp 4,76trilyun untuk pembangunanirigasi.

3. Kebijakan tarif dan subsidi pupukkurang efektif, sehingga munculmasalah penyelundupan, sepertiberas dan gula.

INFRASTRUKTUR INSENTIFSUMBER DAYA LAHAN

Sumber: BI, BPS, Deptan (diolah)

� Pada periode 1970an s.d. 1985 dimana sektor pertanian mengalami fase accelerating

dapat dijadikan referensi kebijakan dimana pada saat itu sektor pertanian memperoleh

perhatian yang sangat besar dari pemerintah. Adapun kebijakan yang paling menonjol

pada masa tersebut adalah pembangunan infrastruktur dan pembiayaan institusional

melalui kredit-kredit program. Dengan pertumbuhan rata-rata lebih dari 4 persen per

tahun, periode tersebut sering disebut sebagai green revolution.

� Masa keemasan sektor pertanian nampaknya tidak mampu bertahan lama, sejalan

dengan semakin menurunnya peran pemerintah dalam menumbuhkembangkan sektor

pertanian. Deregulasi perbankan pada periode 1980an tidak mampu menyentuh sektor

pertanian, sehingga pembiayaan dari perbankan tidak banyak berpihak kepada sektor

tersebut. Kondisi ini diperparah dengan semakin memburuknya pembangunan

infrastruktur pertanian yang seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah.

� Pada periode 2001 – 2005, pemerintah mulai menunjukkan perhatiannya pada sektor

pertanian dengan kebijakan pokok pembangunan sistem usaha agribisnis dan

peningkatan ketahanan pangan. Adapun sasaran utama kebijakan tersebut adalah:

- Meningkatkan kapasitas produksi pertanian

- Mengentaskan kemiskinan di sektor pertanian dan wilayah pedesaan

- Meningkatkan pendapatan rumah tangga tani

- Memantapkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan nasional

- Meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian

- Meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap devisa negara

� Namun demikian, dalam periode tersebut pengembangan sektor pertanian menghadapi

banyak kendala, terutama dalam hal:

- Luas lahan pertanian semakin berkurang

- Pendapatan tenaga kerja sektor pertanian rendah

- Ketersediaan bahan pangan

8. Komoditas Pertanian Unggulan

8.1. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan

� Dalam menentukan komoditas unggulan sektor pertanian, digunakan 3 pendekatan

yaitu: 1) Pendekatan Kontribusi Ekspor dan Linkage, 2) Pendekatan Konsumsi, Produksi,

dan/atau Struktur Input, serta 3) Pendekatan Kebijakan Pemerintah.

Tabel 15. Komoditas Pertanian Tradables Ekspor Unggulan

Kelompok Komoditas Komoditas% dari Total

Ekspor Backward Linkage

Forward Linkage

Pakaian jadi 1.25 0.53Barang-barang rajutan 1.34 0.56Tekstil 1.24 1.02Benang 1.19 1.49Permadani, tali dan tekstil lain 0.99 0.67Kayu lapis dan sejenisnya 1.06 0.71Industri kertas budaya 1.33 1.26Perabot RT dari kayu, rotan dan bambu 1.20 0.52Bahan bangunan dari kayu 1.14 0.55Bubur kertas 1.34 1.96Barang cetakan 1.14 0.73Karet olahan 1.05 0.87Damar sintetis, bahan plastik & serat 1.03 1.91Barang-barang dari karet 1.18 0.78

Kelapa Sawit Industri Minyak Nabati Dan Hewani 2.74 1.11 1.60Ikan (termasuk tuna) Ikan olahan & awetan 1.96 1.11 1.06

Karet dan produk karet olahan

Kayu dan produk dari kayu

Tekstil dan produk tekstil 12.25

11.25

3.29

Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2000 (diolah)

� Dengan menggunakan pendekatan pertama, komoditas pertanian unggulan

dikelompokkan berdasarkan komoditas pertanian yang memberikan kontribusi ekspor

terbesar serta memiliki backward/forward linkage yang relatif kuat.

� Hampir seluruh komoditas pertanian primer memiliki derajat penyebaran (backward

linkage) dan daya kepekaan (forward linkage) yang relatif rendah (BL, FL <1), kecuali

komoditas ternak yang memiliki BL>1. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas pertanian

primer di Indonesia tidak memilki daya dorong yang cukup kuat terhadap pertumbuhan

sektor-sektor lain serta belum mampu menciptakan permintaan yang tinggi dari sektor-

sektor lain.

� Namun apabila dilihat dari komoditas pertanian olahan (agro-industri), industri kimia dan

karet, industri makanan dan industri kertas memilki backward dan forward linkage yang

cukup besar, sementara industri tekstil dan industri kayu memiliki backward linkage yang

cukup besar, namun forward linkage-nya tidak terlalu besar.

Grafik 35. Sebaran Komoditas Pertanian Menurut Rasio Backward dan Forward Linkage

tabama

karetkelapa

kebun lainnyaternak

kayu

hutan

ikan_lautikan_darat udang

tambang

migas in_makanan

minyaknabati

in_tekstil

in_kayu

in_kertas

in_kimiakaret

in-semen

in_logam

in_transport

in_dlllistrikair bangunan

perdagangan

angkutankeuangan

jasa

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Rasio Backward Linkage

Ras

io F

orw

ard

Lin

kag

e

Sumber: BPS, Tabel IO (diolah)

� Sebagai contoh, komoditas kelapa sawit dan produk olahannya memiliki rasio backward

linkage 1,1 yang berarti setiap pertumbuhan 1 persen produksi komoditas kelapa sawit

akan menarik tumbuhnya input dari komoditas lain sebesar 1,1 persen. Sedangkan rasio

forward linkage komoditas kelapa sawit sebesar 1,6 berarti bahwa setiap pertumbuhan 1

persen produksi kelapa sawit akan mendorong kenaikan produksi komoditas lain sebesar

1,6 persen.

� Dengan menggunakan pendekatan pertama tersebut, terdapat 5 kelompok komoditas

pertanian unggulan yaitu: 1) Tekstil dan produk tekstil, 2) Minyak nabati, termasuk

minyak kelapa sawit (CPO), 3) Kayu dan produk turunannya, 4) Ikan olahan dan awetan,

dan 5) Karet dan produk karet olahan.

� Dengan pendekatan kedua, komoditas pertanian dikatakan unggulan apabila output

besar, konsumsi domestiknya tinggi dan/atau menjadi input yang dominan bagi sektor

industri pengolahan yang berbasis pertanian. Dengan pendekatan tersebut, terdapat 14

komoditas pertanian yang memenuhi kriteria unggulan, yaitu: padi, jagung, umbi-

umbian, sayuran, buah-buahan, karet, kelapa, kelapa sawit, ternak, unggas, daging

potong, kayu, ikan dan hasil laut, dan udang.

Tabel 16. Signifikansi Komoditas Pertanian Unggulan Terhadap Total Output Pertanian

SUBSEKTOR KOMODITAS% THD

OUTPUT PERTANIAN

PENGGUNAAN

Tanaman Padi 18.5 Input beras (91,9%), bibit (4,4%)

bahan makanan Jagung 3.5 Konsumsi (37,8%), pakan ternak (21,8%), kopi giling (14,3%),

minyak nabati (8,2%), tepung (6,6%), bibit (4,5%)

Umbi-umbian 2.9 Konsumsi (70,0%), restoran (10,6%), pakan ternak (7,5%), bibit (2,4%)

Sayuran 4.5 Konsumsi (70,8%), restoran (11,9%), jasa kesehatan (4,0%), bibit (4,0%)

Buah-buahan 7.4 Konsumsi (70,8%), restoran (4,8%), jasa kesehatan (2,4%), bibit (1,8%)

Tanaman Karet 3.9 Industri karet remah/asap (57,3%), alas kaki (22,4%), bibit (16,3%)

perkebunan Kelapa 2.2 Konsumsi (39,7%), industri minyak (35,8%), kopra (12,3%)

Kelapa sawit 1.7 Industri minyak (78,0%), sabun (13,5%), kosmetik (3,1%)

Peternakan Ternak 3.2 Daging potong (72,6%), konsumsi (12,2%)

Unggas 11.6 Konsumsi (56,6%), Unggas potong (16,2%)

Daging potong 8.7 Konsumsi (63,4%), restoran (23,5%), industri kulit (5,6%)

Kehutanan Kayu 5.6 Kayu lapis (30,2%), bangunan (24,7%), kayu gergajian (19,4%),

industri kayu lain (9,8%), industri kertas (3,2%)

Perikanan Ikan & hasil laut 7.2 Konsumsi (49,8%), ikan olahan (28,6), ikan kering (6,9%), ekspor (7,2%)

restoran (5,6%)

Udang 3.6 Konsumsi (63,0%), bibit (11,0%), udang olahan (10,9%),

udang kering (6,9%)

Total 84.5

Sumber: BPS, Tabel IO (diolah)

� Pendekatan ketiga terkait dengan komoditas pertanian yang telah ditetapkan oleh

Pemerintah sebagai komoditas unggulan. Sebagaimana tertuang dalam rencana

pelaksanaan pembangunan pertanian periode 2005 – 2010, Departemen Pertanian

secara khusus memprioritaskan pengembangan 17 komoditas agribisnis. Komoditas

tersebut meliputi padi, jagung, kedelai, pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, kelapa

sawit, karet, cengkeh, kelapa, tanaman obat, kakao, tebu, unggas, kambing/domba, dan

sapi.

� Dari ketiga pendekatan diatas, komoditas pertanian dikelompokkan sebagai komoditas

unggulan apabila setidaknya memenuhi 2 pendekatan. Dengan kriteria tersebut,

terdapat 12 komoditas pertanian unggulan yang merupakan penggerak utama dalam

pertumbuhan sektor pertanian, baik pertanian primer maupun agro-industri.

Tabel 17. Matriks Komoditas Pertanian Unggulan

KOMODITAS PERTANIAN

PENDEKATAN TRADABLES & FORWARD-BACKWARD

LINKAGES

PENDEKATAN KONSUMSI,

PRODUKSI & INPUT

PRIORITAS PEMERINTAH

KOMODITAS UNGGULAN

Padi/beras - V V V

Jagung - V V V

Kedelai - - V -Tekstil (kapas) V - - -Karet V V V V

Kelapa sawit V V V VKelapa - V V VKakao - - V -

Tebu - - V -Cengkeh - - V -

Pisang - V V VJeruk - V V VKayu/produk kayu V V - V

Tanaman obat - - V -Bawang merah - - V -

Anggrek - - V -

Sapi - V V V

Unggas - V V V

Kambing/domba - V V V

Ikan & udang V V - V

Sumber: BI, BPS, Deptan (diolah)

8.2. Profil Usaha Komoditas Pertanian

(Berdasarkan hasil Survei Pemetaan Sektor Ekonomi – SPSE)

� Dari hasil SPSE yang dilaksanakan Bank Indonesia tahun 2005, khususnya terhadap

perusahaan yang menjalankan usaha komoditas pertanian, diperoleh gambaran awal

mengenai profil usaha, struktur biaya produksi, orientasi penjualan, dan masalah

pembiayaan.

� Ditinjau dari sifat proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan responden, pada saat

ini sedikit lebih banyak yang bersifat independen atau melakukan produksi atas dasar

perencanaan sendiri atau tidak ditentukan oleh pembeli/prinsipal atau sebagainya (69%)

dibandingkan atas dasar pesanan (30%). Sementara apabila ditinjau dari proses

produksinya, 47 persen unit usaha pertanian melakukan usahanya dengan mengolah

bahan mentah sampai barang setengah jadi, dan 46 persen unit usaha mengolah bahan

mentah sampai barang jadi.

Grafik 36. Proses Produksi Usaha Pertanian

Sifat Proses Produksi Proses Produksi

Lainnya

Produsen a/d pesanan

Produsen Independen

(69%)

(30%)

(1%)

Bhn mentah sampai brg

1/2 jadi

Bhn 1/2 jd sampai

barang jadi

Bhn mentah sampai

barang jadi

(46%)(47%)

(2%)

Sumber: Hasil SPSE Bank Indonesia

� Dari sisi bahan baku, diketahui bahwa sebagian besar unit usaha pertanian melakukan

proses produksi dengan bahan baku domestik. Hal ini juga terlihat dalam struktur biaya

produksinya dimana 65 persen dari total biaya adalah biaya bahan baku, sementara biaya

tenaga kerja 11 persen, biaya bahan penolong 9 persen, dan biaya bunga 4 persen.

� Ekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam bentuk barang jadi, sementara untuk

impor didominasi oleh bahan baku. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan

produksi komoditas pertanian secara nasional memiliki nilai tambah yang cukup tinggi.

� Dalam menjalankan usaha pertanian, sumber dana untuk membiayai modal kerja secara

umum berasal dari dana non-perbankan yaitu 64 persen, sementara perbankan hanya

memberikan kontribusi sebesar 36 persen dalam pembiayaan modal kerja usaha

pertanian. Secara lebih rinci, pembiayaan modal kerja perusahaan terutama berasal dari

dana internal (antara lain retained earnings) mencapai 50,3 persen, dari bank domestik

sebesar 31,4 persen, dan individu pemilik/partner usaha sebesar 6,9 persen.

Grafik 37. Pembiayaan Modal Kerja Usaha Pertanian

31.4

1.1 3.9 2.8 3.6 6.9

50.3

0

10

20

30

40

50

60

Bank Domestik Bank Milik AsingBank Diluar Negeri Penjualan SahamKeluarga Pemilik IndividuDana Internal

(%)

Sumber: Hasil SPSE Bank Indonesia

8.3. Profil Usaha Komoditas Pertanian

� Sebagaimana diuraikan diatas, terdapat 12 komoditas pertanian unggulan yang menjadi

penggerak utama sektor pertanian. Komoditas-komoditas tersebut memberikan

sumbangan lebih dari 80 persen terhadap output sektor pertanian primer dan

merupakan komoditas input yang dominan terhadap sektor agro-industri.

� Sementara itu, dari hasil SPSE 2005 dapat disajikan gambaran awal mengenai profil

usaha beberapa komoditas pertanian, yaitu: karet, kelapa sawit, kayu, sayuran dan buah-

buahan, serta ikan dan udang. Profil beberapa komoditas pertanian dari hasil SPSE

tersebut diharapkan dapat menjadi preliminary study yang dapat dimanfaatkan dalam

penelitian di lapangan dalam bentuk indepth study pada tahun 2006. Penelitian tersebut

akan dilakukan bekerjasama dengan instansi/institusi yang terkait dalam pengembangan

sektor pertanian di Indonesia.

Tabel 18. Profil Usaha Beberapa Komoditas Pertanian Unggulan

KOMODITAS

PROFIL

Domestik 100% 0.0 25.0 0.0 4.8 15.4

Ekspor >50% 91.3 33.3 50.0 95.2 53.9

Domestik 100% 100.0 91.3 70.0 61.9 76.9

Impor >50% 0.0 0.0 20.0 14.3 7.7

Bahan Baku 78.7 68.4 53.9 57.5 59.0

Bahan Penolong 4.4 7.7 17.2 11.4 10.0

Biaya Tenaga Kerja 9.0 10.1 12.0 11.3 12.2

Biaya Bunga 2.4 3.4 3.6 3.0 3.6

Lainnya 5.5 10.4 13.3 16.8 15.2

84.8 74.8 82.3 71.2 72.2

Dana Internal 43.6 70.2 67.5 38.6 35.1

Bank Domestik 41.4 24.2 8.4 27.4 38.1

Lainnya 15.0 5.5 24.1 34.0 26.8

Dana Internal 84.5 66.4 69.3 62.1 53.3

Bank Domestik 5.5 25.4 5.8 20.7 29.7

Lainnya 10.0 8.2 24.9 17.2 17.0

Manajemen 11.0 11.8 10.3 7.1 13.8

Tenaga Kerja Ahli 18.4 32.4 33.1 18.6 24.2

Tenaga Kerja Kurang Ahli 70.6 55.7 56.6 74.2 62.0

ASEANLebih Buruk

Lebih Buruk

Lebih Baik

Kurang Lebih Sama

Lebih Buruk

INTERNASIONALLebih Buruk

Kurang Lebih Sama

--Lebih Buruk

Kurang Lebih Sama

SAYURAN & BUAH

HASIL KARET

KELAPA SAWIT

HASIL KAYU

IKAN & UDANG

SUMBER PEMBIAYAAN

KOMPOSISI TENAGA KERJA

POSITIONING

MODAL KERJA

INVESTASI

ORIENTASI PENJUALAN

PRODUKSI

BAHAN BAKU

STRUKTUR BIAYA

KAPASITAS TERPAKAI (NORMAL)

Sumber: Hasil SPSE Bank Indonesia

PETA SEKTOR PERTANIAN

9. Hasil Kajian Lanjutan Terhadap Komoditi Unggulan Sektor Pertanian

� Berdasarkan hasil penentuan komoditas unggulan sektor pertanian, terdapat 12

komoditas yang merupakan komoditas unggulan dalam sektor pertanian, baik pertanian

primer maupun agro-industri. Sementara berdasarkan hasil kongres Ikatan Sarjana

Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 2006, telah ditetapkan 10 komoditas unggulan termasuk

didalamnya 5 komoditas unggulan pertanian (kelapa sawit, kopi, karet, kakao, serta ikan

dan udang).

� Kajian lanjutan dilakukan terhadap komoditas unggulan hasil kajian sebelumnya,

termasuk beberapa komoditas unggulan pertanian hasil kongres ISEI dan komoditas

pertanian yang memiliki peranan yang cukup signifikan dalam penghitungan inflasi.

Komoditas yang dipilih untuk kajian lanjutan adalah sebagai berikut: padi, jagung, jeruk,

pisang, unggas (ayam), sapi, kambing-domba, kelapa sawit, karet, kakao, tebu, ikan

tuna, udang, dan rumput laut.

� Untuk pembahasan selanjutnya, komoditas padi, jagung, jeruk, pisang, unggas (ayam),

sapi, kambing-domba akan dikategorikan dalam subsektor tanaman bahan makanan dan

peternakan. Sementara untuk komoditas kelapa sawit, karet, kakao dan tebu termasuk

dalam subsektor perkebunan dan komoditas ikan tuna, udang dan rumput laut termasuk

dalam subsektor perikanan.

9.1. Gambaran Umum Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Peternakan

� Hasil analisis model Input-Output menunjukkan bahwa komoditas padi dan industri

penggilingan padi, komoditas peternakan (sapi, domba, kambing dan peternakan

ruminansia besar dan kecil lainnya) dan industri pemotongan hewan, serta industri

unggas merupakan industri kunci nasional. Industri kunci nasional adalah industri yang

mampu membangkitkan dan mendorong industri lainnya yang pada akhirnya dapat

memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

9.1.1. Komoditas Padi

� Produksi padi mengalami perlambatan pertumbuhan sejak pertengahan tahun 1980-an,

dan sejak awal tahun 1980-an laju pertumbuhannya telah di bawah laju pertumbuhan

penduduk atau produksi beras per kapita terus menurun hingga saat ini. Laju

pertumbuhan produksi padi pada periode 1980-1989 sebesar 5,32% per tahun turun

menjadi 1,04% per tahun pada periode 2000-2005. Sementara pertumbuhan produksi

padi pada tahun 2005 tercatat sebesar 0,12%. Penurunan produksi beras ini

menyebabkan swasembada beras yang diraih tahun 1984 tidak dapat dipertahankan

secara berkelanjutan dan Indonesia harus melakukan impor beras.

� Hasil analisis menunjukkan bahwa kecenderungan penurunan laju pertumbuhan produksi

padi adalah akibat dari kombinasi beberapa faktor yaitu : (a) penurunan luas baku lahan

sawah, khususnya di Jawa; (b) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas lahan.

Penurunan luas baku lahan sawah adalah akibat dari konversi lahan untuk peruntukan di

luar sektor pertanian. Cara yang paling mungkin untuk meningkatkan luas baku lahan

sawah adalah melalui pembukaan lahan sawah. Stagnasi atau bahkan penurunan

produktivitas padi adalah konsekuensi dari tidak berkembangnya inovasi baru dan

semakin memburuknya kesuburan lahan. Selain itu, peningkatan produksi padi juga

dihadapkan pada masalah kerusakan jaringan dan sumber air irigasi. Dari 6,7 juta hektar

jaringan irigasi yang dibangun, 1,5 juta hektar (22%) diantaranya rusak.

Tabel 19. Kondisi Jaringan Irigasi, 2006

KONDISI KEANDALAN AIR PRASARANA TERBANGUN

JUMLAH UNIT RUSAK BERAT

RUSAK RINGAN WADUK

NON WADUK

Jaringan irigasi 6.771.826 hektar 341.327 1.178.548 719.173 6.052.653

(0,05%) (17,4%) (10,62) (89,38)

Bendung 11.547 buah 49 - - -

(0,24%)

Waduk 273 buah 14 5 - -

(5,1%) (1,8)

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Usaha tani padi cukup menguntungkan secara finansial serta memiliki keunggulan

komparatif. Sistem pemasaran gabah – beras juga cukup efisien, namun dengan marjin

pemasaran cenderung meningkat. Hal ini terutama adalah akibat dari peningkatan biaya

transportasi dan refleksi dari struktur mata rantai pemasaran yang panjang. Isu kebijakan

utama dalam hal pemasaran ialah menjaga stabilitas harga musiman.

� Berdasarkan kecenderungan historis, dan bila program revitalisasi industri perberasan

nasional tidak efektif, diperkirakan produksi beras akan mengalami pertumbuhan negatif

pada periode 2006 – 2010. Produksi beras pada 2006 diperkirakan sebesar 30,6 juta ton

dan turun menjadi 27,5 juta ton pada 2010. Dalam kondisi demikian Indonesia akan

terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang semakin besar. Hal ini tentu akan

berdampak negatif terhadap ketahanan pangan nasional, dan dapat mengganggu

kestabilan harga (inflasi) mengingat peranan beras dalam penghitungan inflasi cukup

besar (sekitar 5,2%).

Tabel 20. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Luas panen (000 ha) 11.731 11.732 11.600 11.444 11.264 11.059

Produktivitas (kg/ha) 4.587 4.574 4.535 4.467 4.372 4.250

Produksi gabah (000 ton) 53.814 53.063 51.896 56.319 48.352 46.025

Produksi beras* (000 ton) 30.609 30.182 29.518 28.621 27.503 -

Total Konsumsi (000 ton) 31.130 31.528 31.935 32.254 32.479

Surplus (Defisit) (000 ton) (521) (1.346) (2.417) (3.633) (4.976)*) Konversi gabah – beras = 0.632 dan hilang 10%.

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Pada masa sebelum krisis, harga gabah tumbuh lebih cepat daripada harga beras.

Sementara pasca krisis, harga gabah tumbuh lebih lambat dari harga beras. Hal ini

menunjukkan ongkos pemasaran beras (termasuk laba pedagang) semakin tinggi. Harga

gabah dan beras cenderung stabil pada periode tahun 2000-2004, tidak hanya dibanding

masa krisis yang merupakan masa puncak instabilitas, tapi juga dibandingkan dengan

masa sebelum krisis. Harga gabah yang diterima petani jauh lebih tidak stabil daripada

harga beras yang dibayar konsumen. Peningkatan pangsa harga konsumen yang diterima

oleh petani padi (perbaikan efisiensi pemasaran) dan stabilisasi harga gabah yang

diterima petani tersebut merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan

produksi padi/beras dan meningkatkan pendapatan petani padi.

9.1.2. Komoditas Jagung

� Produksi jagung terus mengalami pertumbuhan tinggi dan akseleratif. Pada periode

2000-2005, komoditas jagung secara rata-rata tumbuh 5,13% pertahun, atau meningkat

dibandingkan 3,96% pada 1990-1999. Pertumbuhan produksi yang tinggi tersebut

terutama berasal dari pertumbuhan produktivitas sebagai refleksi dari pesatnya inovasi

teknologi. Berbeda dengan padi yang mengandalkan lembaga penelitian pemerintah,

teknologi jagung terutama ditopang oleh sistem inovasi swasta, tepatnya perusahaan

multi–nasional di bidang perbenihan dan agrokimia. Benih jagung hibrida dengan potensi

produktivitas yang amat tinggi dan terus meningkat merupakan kunci dan akselerasi

pertumbuhan produksi jagung.

� Selain di didorong oleh inovasi teknologi, pertumbuhan produksi jagung yang akseleratif

tersebut juga disebabkan oleh peningkatan permintaan jagung dalam negeri untuk

industri pakan ternak. Industri pakan ternak berkembang pesat karena ditarik oleh

pertumbuhan pesat usaha peternakan intensif, utamanya peternakan ayam ras.

Permintaan jagung untuk pakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan

usaha peternakan intensif. Selain itu, usahatani jagung tidak saja layak secara finansial,

tetapi juga kompetitif sehingga jagung juga potensial untuk diekspor.

� Masalah pokok sisi penawaran jagung ialah ketidakstabilan produksi, yang terutama

berasal dari masalah luas panen. Luas panen tanaman jagung secara rata-rata tumbuh

0,8% pada 2000-2005, atau cenderung menurun dibandingkan 1,60% pada 1990-

1999, namun cenderung meningkat dibandingkan 0,63% pada 1970-1979. Akar

penyebab turunnya luas panen jagung adalah berfluktuasinya harga jagung yang

diterima petani sehingga pada saat harga jagung menurun, petani melakukan konversi

tanahnya untuk komoditas lain . Dengan demikian, stabilisasi harga jagung di tingkat

petani merupakan isu kebijakan pokok yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

� Hasil proyeksi menunjukkan bahwa untuk periode tahun 2006 – 2010, produksi jagung

akan terus tumbuh pesat dan akseleratif, melampaui laju peningkatan permintaan,

sehingga akan terjadi surplus produksi yang semakin tinggi.

Tabel 21. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Luas panen (000 ha) 3.916 4.206 4.498 4.789 5.077

Produktivitas (kg/ha) 3.569 3.692 3.822 3.962 4.112

Produksi (000 ton) 13.978 15.527 17.194 18.978 20.875

Konsumsi (000 ton) 13.510 14.232 15.005 15.756 16.623

Surplus (defisit) (000 ton) 468 1.295 2.189 3.222 4.252

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Harga jagung di tingkat konsumen meningkat lebih cepat daripada harga jagung di

tingkat produsen. Pada tahun 1984-1989 harga gabah lebih tinggi 25% daripada harga

jagung, namun pada tahun 2000-2004 selisih harga gabah dengan jagung kurang dari

8%, ini berarti insentif harga untuk usahatani jagung terus meningkat. Inilah salah satu

alasan produksi jagung meningkat lebih cepat dalam tiga dekade terakhir. Sejak tahun

2000 harga jagung di tingkat produsen lebih stabil. Di sisi lain, harga jagung di tingkat

konsumen semakin tidak stabil. Kecenderungan ini jelas tidak menguntungkan bagi

konsumen jagung.

9.1.3. Komoditas Jeruk dan Pisang

� Setelah mengalami penurunan produksi pada 1990-an, produksi jeruk meningkat pesat

pada tahun 2000-an. Pada 1990-an, produksi jeruk rata-rata sebesar 502 ribu ton,

meningkat pesat menjadi 1,2 juta ton pada 2000-an. Walaupun mengalami peningkatan

produksi yang cukup signifikan, pengembangan komoditas jeruk masih menghadapi

permasalahan yang cukup serius antara lain instabilitas produksi terutama gagal panen

akibat serangan hama dan penyakit.

� Walaupun lebih rendah dari periode 1990-1999, laju pertumbuhan produktivitas jeruk

yang mencapai 9,48%, pada periode 2000-2004 sudah tergolong tinggi, yaitu dengan

produktivitas sebesar 22,28 ton per hektar.

� Masalah daya saing jeruk tidak terletak pada ongkos produksi tetapi pada mutu yang

masih rendah. Selain itu, usahatani jeruk juga membutuhkan modal investasi yang cukup

besar sementara pada umumnya petani tidak punya akses terhadap lembaga perbankan.

� Hasil proyeksi menunjukkan bahwa berdasarkan data historis peningkatan produksi jeruk

lebih cepat dari peningkatan permintaan domestik sehingga Indonesia akan surplus jeruk

dalam jumlah yang terus meningkat. Hal ini dapat pula dipandang sebagai peluang untuk

mengembangkan industri pengolahan jeruk dalam negeri dan memacu ekspor jeruk.

Tabel 22. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Jeruk dan Pisang

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

1. Jeruk

Produksi (000 ton)

Konsumsi (000 ton)

Surplus (defisit)

3.275

2.446

829

4.242

2.622

1.620

5.617

2.825

2.792

7.609

3.056

4.553

10.511

3.306

7.205

2. Pisang

Produksi (000 ton)

Konsumsi (000 ton)

Surplus (defisit)

5.174

5.131

43

5.331

5.264

67

5.492

5.401

91

5.659

5.542

117

5.830

5.686

14

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Setelah terus menurun selama periode tahun 1984-1999, stabilitas harga jeruk di tingkat

produsen meningkat tajam pada periode tahun 2004-2005. Berbeda dengan di tingkat

konsumen, stabilitas harga jeruk di tingkat produsen adalah yang terburuk selama dua

dekade terakhir. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga jeruk di tingkat produsen

cenderung makin stabil pada level riil yang rendah. Kecenderungan demikian tentu tidak

kondusif bagi upaya pemacuan produksi jeruk di dalam negeri.

� Marjin pemasaran jeruk secara riil meningkat secara tajam pada periode 2000-2004, hal

ini mengindikasikan semakin menurunnya pangsa harga konsumen yang diterima oleh

petani jeruk. Pada tahun 2000, pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani jeruk

adalah sebesar 90% dan turun menjadi hanya sekitar 74% pada tahun 2004. Faktor lain

yang cukup signifikan meningkatkan marjin pemasaran jeruk adalah retribusi daerah,

pungutan tidak resmi dan pola perdagangan jeruk antar daerah yang meningkatkan

ongkos transportasi.

Tabel 23. Kinerja Komoditas Jeruk dan Pisang

URAIAN 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2004

1. Jeruk

Luas Panen (ha) 35.156 64.494 45.512 49.781

Produktivitas (ton/ha) 5,21 7,06 12,34 22,28

Pertumbuhan (%/thn) 4,77 -3,10 12,50 9,48

2. Pisang

Luas Panen (ha) 253.253 162.873 78.309 81.267

Produktivitas (ton/ha) 7,16 12,83 44,09 53,07

Pertumbuhan (%/thn) 3,22 7,15 10,27 1,30

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Laju pertumbuhan produksi pisang terus meningkat secara konsisten. Masalah pokok

pada aspek produksi pisang ialah sifat produsennya yang dominan, usahatani keluarga

dan posisi usahatani pisang sebagai usahatani sampingan saja. Selain itu, tanaman pisang

juga amat rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Dengan sifat demikian, tanpa

ada upaya khusus, peningkatan produksi pisang diperkirakan akan tetap lambat dan

tidak secepat laju peningkatan permintaannya.

� Produktivitas komoditas pisang pada periode 2000-2004 mengalami peningkatan sebesar

1,3% per tahun, atau jauh menurun dari sebesar 10,27% per tahun pada 1990-1999.

� Harga riil pisang cenderung meningkat konsisten baik di tingkat konsumen maupun di

tingkat produsen. Harga pisang di tingkat konsumen meningkat lebih cepat daripada di

tingkat produsen yang mengindikasikan peningkatan marjin pemasaran. Kecenderungan

harga pisang ditingkat produsen yang semakin stabil dan meningkat secara riil

merupakan indikasi prospek pasar yang baik untuk usahatani pisang. Insentif harga

tersebut diperkirakan akan berperan signifikan dalam mendorong peningkatan produksi

pisang di masa mendatang. Namun demikian, peningkatan harga produsen yang lebih

lambat dan lebih stabil dari harga konsumen merupakan indikasi ketidaksempurnaan

pemasaran pisang.

9.1.4. Komoditas Unggas (Ayam)

� Usaha ternak ayam ras pedaging baru berkembang pada pertengahan 1970-an, tumbuh

amat cepat dan kini menjadi tulang punggung subsektor peternakan. Setelah

mengalami masa krisis pada periode 1998 – 1999, usaha ternak ayam ras pedaging kini

telah pulih total dan tumbuh amat pesat. Usaha ternak ayam ras terutama ditopang oleh

sektor swasta baik dari segi inovasi teknologi maupun dari segi modal dan pemasaran.

Usahatani dapat berkembang pesat atas kemampuan sendiri dengan fasilitasi terbatas

dari pemerintah.

Tabel 24. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Ayam Ras Pedaging

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (000 ton) 1.079 1.361 1.774 2.396 3.358

Konsumsi (000 ton) 1.150 1.535 2.094 2.918 4.107

Surplus (defisit) (71) (174) (320) (522) (649)

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Harga ayam di tingkat pedagang besar pada lima tahun terakhir cenderung tidak stabil.

Ketidakstabilan harga ayam di tingkat konsumen meningkat jauh lebih kecil dari harga di

tingkat pedagang besar. Ini mengindikasikan adanya ketidaksempurnaan pasar.

Instabilitas harga yang tinggi merupakan resiko pasar yang tidak kondusif bagi

perkembangan usaha ternak ayam.

9.1.5. Komoditas Sapi

� Produksi daging sapi potong meningkat relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan

permintaan. Kondisi ini menyebabkan impor daging sapi mengalami peningkatan.

Masalah pokok untuk komoditas sapi potong adalah penurunan laju pertumbuhan

populasi yang berkelanjutan sejak dekade 1980-an. Bahkan pada periode tahun 2000-an,

populasi sapi potong menurun secara absolut.

� Usahaternak sapi potong didominasi oleh usahaternak tradisional dan pada umumnya

hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak sapi potong cukup menguntungkan secara

finansial, namun membutuhkan modal yang cukup besar, sementara peternak tidak

memiliki akses terhadap kredit perbankan. Semakin terbatasnya padang penggembalaan

juga merupakan kendala utama bagi usaha ternak sapi potong.

� Hasil proyeksi menunjukkan bahwa tanpa ada upaya yang dapat meningkatkan produksi

secara signifikan, Indonesia akan terus mengalami defisit daging sapi dalam jumlah yang

semakin besar dan ketergantungan impor yang semakin tinggi.

Tabel 25. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Sapi

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (000 ton) 372 380 388 396 405

Konsumsi (000 ton) 513 547 587 633 684

Surplus (defisit) (141) (167) (199) (237) (279)

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Khusus untuk daging sapi, data yang digunakan adalah harga perdagangan besar di tiga

propinsi produsen utama, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Harga

perdagangan besar di daerah produsen utama dipandang berkorelasi kuat dan oleh

karenanya dapat mengindikasikan dinamika dari harga sapi di tingkat produsen

(peternak). Harga konsumen diwakili oleh data di Jakarta yang merupakan konsumen

utama daging sapi. Jakarta merupakan daerah pemasaran sapi dari berbagai propinsi di

Indonesia. Dari data tersebut diperoleh gambaran bahwa terdapat dinamika harga sapi

antar wilayah yang mengindikasikan telah terjadi perubahan mendasar dalam pola

perdagangan sapi antar pulau. Perubahan pola perdagangan sapi antar pulau tersebut

juga telah mendorong persaingan antara pedagang. Hal inilah yang menyebabkan harga

sapi di sentra produksi seperti Nusa Tenggara Barat meningkat lebih cepat daripada di

Jakarta yang merupakan wilayah pemasaran akhir utama. Perubahan pemasaran sapi

tersebut menguntungkan peternak di wilayah sentra produksi. Harga sapi yang stabil dan

meningkat secara riil di wilayah sentra produksi seharusnya menjadi insentif yang baik

bagi peternak.

9.1.6. Komoditas Kambing-Domba

� Permasalahan yang dihadapi oleh usahaternak kambing dan domba serupa dengan

permasalahan pada usaha ternak sapi potong. Usahaternak sapi dan domba dilakukan

oleh usaha keluarga dan hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak kambing dan

domba juga menghadapi permasalahan permodalan. Selain itu, semakin langkanya

padang pengembalaan juga menjadi kendala bagi usaha ternak kambing dan domba.

� Hingga lima tahun mendatang, produksi daging kambing dan domba masih tetap

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hasil proyeksi menunjukan,

produksi daging kambing dan domba masih di bawah permintaan domestik. Tanpa ada

program yang dapat meningkatkan produksi secara nyata sangat sulit bagi Indonesia

dapat menjadi negara pengekspor daging kambing dan domba.

Tabel 26. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Kambing/Domba

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (000 ton) 58 57 56 55 54

Konsumsi (000 ton) 59 60 61 62 64

Surplus (defisit) (000 ton) (1) (3) (5) (7) (10)

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

� Harga kambing tergolong yang paling stabil diantara semua komoditas ternak. Ini adalah

refleksi dari pola pemasaran kambing yang tergolong bebas, berbeda dari komoditas

peternakan lainnya yang tersegmentasi dalam kawasan lokal/terbatas (tidak ada

perdagangan antar pulau). Selain itu, karena tidak ada impor kambing atau domba

sehingga harga domestik tidak dipengaruhi oleh harga dunia. Secara umum, harga yang

cenderung stabil dan meningkat secara riil dapat menjadi insentif yang kondusif bagi

perkembangan usaha ternak kambing dan domba.

9.1.7. Permasalahan dalam Meningkatkan Kapasitas Produksi

� Berdasarkan perkembangan kondisi komoditas sub sektor tabama dan peternakan di

atas, hal penting perlu dilakukan di bidang produksi adalah meningkatkan kapasitas

produksi.

� Untuk meningkatan kapasitas produksi di masa mendatang, terdapat beberapa resiko

yang perlu diperhatikan. Faktor resiko pertama adalah berkaitan dengan sumberdaya

lahan dan air. Dalam jangka pendek dan panjang Indonesia menghadapi empat ancaman

serius yang berkaitan dengan sumberdaya lahan dan air yaitu peningkatan laju konversi

baik di Jawa maupun Luar Jawa, rusaknya jaringan irigasi, rusaknya beberapa sistem

hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena

itu, dalam jangka pendek dan panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi

tekanan pemanfaatan lahan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui

pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang

tinggi pula, meningkatkan alokasi fiskal untuk pembangunan jaringan irigasi dan

pencetakan sawah baru, perbaikan sistem hidrologi DAS yang rusak, sedangkan untuk

mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan kerjasama

antar petani.

� Faktor resiko kedua adalah kemampuan produksi industri pupuk nasional yang makin

menurun karena usia pabrik sudah tua dengan tingkat efisiensi yang rendah sekitar 70

persen. Selain itu, masalah lain adalah kelangkaan pasokan gas sebagai bahan baku

terbesar produksi pupuk urea juga menjadi faktor resiko yang menghadang keberhasilan

peningkatan produksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peremajaan industri

pupuk nasional.

� Faktor resiko ketiga adalah sistem perbenihan nasional. Selain mutu benih nasional

belum memenuhi standar mutu yang baik, juga kuantitas benih belum seluruh komoditas

berkembang. Mungkin hanya padi dan jagung yang relatif berkembang dan itupun

belum memenuhi standar yang diharapkan. Akibat mutu benih nasional yang kurang

baik, petani melakukan penangkaran sendiri (contoh petani padi). Kondisi yang demikian

dinilai kurang baik dilihat dari aspek kemurnian dan mutu produksi, sehingga akan

menghambat peningkatan kapasitas produksi. Oleh karena itu, maka disarankan agar

pemerintah membangun sistem perbenihan nasional yang bermutu.

� Selain arah pengembangan peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi juga

diupayakan melalui ekstensifiksi dimana potensi lahan pengembangan tersebar di

propinsi Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Untuk padi, padi gogo dan jagung masing-

masing 12, 5 dan 7 juta hektar; jeruk dan pisang masing-masing 5 dan 13 juta hektar;

dan untuk padang pengembalaan 3 juta hektar.

� Berdasarkan hasil analisa terhadap subsektor tabama, pembiayaan investasi khususnya

untuk infrastruktur (perbaikan dan perluasan irigasi, pembukaan lahan, transportasi desa-

kota, riset dan teknologi) merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan

kapasitas produksi. Namun karena sifat pembiayaan investasi merupakan pembiayaan

jangka panjang, dan sektor pertanian memiliki resiko yang cukup tinggi, sebagian besar

investasi dilakukan oleh pemerintah dan hanya sedikit investor yang berminat untuk

menyediakan pembiayaan. Sementara itu, kemampuan permodalan juga merupakan

faktor penting lainnya untuk meningkatkan produksi. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa sebagian besar sumber pembiayaan usahatani berasal dari petani sendiri. Dengan

keterbatasan modal yang dimiliki petani, maka pembiayaan usahatani jelas tidak akan

memadai. Akses petani terhadap pembiayaan dari perbankan juga terbatas karena

usahatani yang dikelola petani walaupun memiliki kelayakan ekonomi yang cukup baik,

namun usahatani tersebut dinilai tidak layak dibiayai bank (bankable), sehingga

penyerapan kredit perbankan untuk sektor pertanian sangat kecil.

9.1.8. Kebijakan Peningkatan Kapasitas Produksi

� Berdasarkan masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas

produksi dan prospek pasar domestik yang masih terbuka lebar serta lahan untuk

pengembangan lebih lanjut masih tersedia, maka disusun pokok-pokok kebijakan antara

lain sebagai berikut:

� Peningkatan kapasitas produksi industri perberasan nasional tidak cukup

dilakukan dengan memberikan dukungan harga gabah, subsidi pupuk, subsidi

benih dan subsidi kredit modal kerja. Kebijakan pemerintah harus diorientasikan

dari fokus kebijakan harga ke fokus peningkatan kapasitas produksi, yakni: (a)

rehabilitasi dan ekstensifikasi infrastruktur irigasi; (b) pembukaan lahan sawah

baru; (c) memacu inovasi teknologi, termasuk revitalisasi sistem penelitian dan

pengembangan pertanian serta sistem diseminasi inovasi pertanian dengan

deregulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investor swasta.

� Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan

produksi jagung ialah: (a) Stabilisasi harga di tingkat petani; (b) Menciptakan iklim

yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta dalam industri perbenihan dan

agrokimia; dan (c) Menjamin praktek persaingan yang sehat dalam bisnis benih,

agrokimia dan pemasaran jagung.

� Kebijakan pokok yang dapat dilakukan pemerintah untuk mempertahankan

pertumbuhan produksi jeruk: (a) Akselerasi peningkatan luas tanam jeruk melalui

pengembangan sistem perbenihan penyediaan modal investasi dan dukungan

infrastruktur usahatani; (b) Peningkatan efisiensi pemasaran jeruk melalui

pengembangan sistem pemasaran berbasis rantai pasok, perbaikan infrastruktur

pemasaran dan deregulasi pemasaran; (c) Pengembangan sistem pencegahan

serangan hama dan penyakit; (d) Perbaikan kualitas produk; dan (e)

Pengembangan industri pengolahan domestik dan memacu ekspor.

� Kebijakan yang perlu dilakukan untuk memacu laju pertumbuhan produksi pisang

ialah: (a) Membangun sistem pencegahan serangan hama dan penyakit; (b)

Pengembangan usahatani pisang komersial dan terspesialisasi; (c) Peningkatan

kualitas produk; dan (d) Pengembangan rantai pasok terkelola.

� Untuk pengembangan usahaternak ayam ras pedaging, kebijakan pemerintah

yang dapat ditempuh adalah: (a) Membangun sistem pencegahan dan

pemberantasan penyakit menular (terutama penyakit flu burung); (b)

Pengembangan struktur industri perunggasan yang bersaing dan pencegahan

praktek persaingan yang tidak sehat; (c) Peningkatan peran usaha peternakan

rakyat.

� Kebijakan yang disarankan untuk meningkatkan produksi daging sapi potong

ialah: (a) Peningkatan populasi sapi potong melalui pengembangan usahaternak

intensif dan usaha pembibitan sapi; (b) Pengembangan sistem usaha integrasi sapi

dan tanaman; dan (c) Pemetaan sistem pemasaran sapi.

� Beberapa kebijakan yang dapat digunakan untuk memacu produksi kambing dan

domba : (a) Pengembang usahaternak kambing dan domba skala komersial; (b)

Pengembangan sistem integrasi ternak kambing/domba dengan tanaman; (c)

Pengembangan sistem perbenihan ternak kambing dan domba.

� Berkaitan dengan permodalan, dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi

sub sektor tabama dan peternakan terutama dalam jangka panjang, kebutuhan

pendanaan tidak terbatas pada kebutuhan permodalan namun juga kebutuhan

investasi. Untuk itu, perlu dikembangkan sistem perkreditan pertanian yang

dikelola oleh sistem perbankan pertanian yang kuat sehingga akses petani

terhadap pembiayaan perbankan dan permodalan meningkat sehingga dapat

meningkatkan produksi. Selain itu, perlu juga dipikirkan alternatif pendirian

lembaga pembiayaan khusus untuk sektor pertanian, termasuk pembiayaan

kepada sub sektor tabama dan peternakan.

9.2. Gambaran Umum Subsektor Perkebunan

� Produk-produk perkebunan termasuk minyak kelapa sawit (CPO), karet, kakao, dan gula

telah berperan penting dalam perekonomian nasional melalui pertumbuhan ekonomi,

penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan, pengurangan kemiskinan,

perolehan devisa (kecuali gula), penyediaan bahan baku industri, dan ketahanan pangan

(khusus gula dan CPO).

� Dalam hal pertumbuhan ekonomi, PDB subsektor perkebunan tumbuh secara konsisten

yaitu 4,5% pada 2004, dan diperkirakan tumbuh sebesar 6,19% pada 2006. Dengan

komposisi yang sebagian besar (sekitar 85%) merupakan usaha perkebunan rakyat di

pedesaan, sektor perkebunan menampung lebih dari 17,5 juta tenaga kerja yang berarti

mempunyai kontribusi terhadap pengurangan kemiskinan dan menjadi sumber

pendapatan di pedesaan. Devisa yang dihasilkan dari subsektor perkebunan adalah rata-

rata USD4,5 milyar per tahun, bahkan pada 2006 diperkirakan lebih dari USD6 milyar.

Minyak goreng dan gula merupakan kebutuhan pokok yang berkaitan dengan inflasi dan

ketahanan pangan.

� Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan

paling konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan, areal

perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per tahun pada periode 1994–2004, dan

mencapai lebih dari 16 juta ha pada 2004. Dari beberapa komoditas perkebunan yang

penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu), kelapa

sawit dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya

dengan laju pertumbuhan diatas 5% per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari kedua

komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan

komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong

perluasan areal komoditas tersebut.

� Sejalan dengan pertumbuhan areal, produksi perkebunan juga meningkat dengan

konsisten dengan laju 5,9% per tahun dalam 25 tahun terakhir atau 7,09% pada dekade

terakhir. Seperti juga areal, pertumbuhan produksi tercepat dicapai oleh tanaman kakao

dengan laju 9,2% per tahun dan kelapa sawit dengan laju peningkatan produksi sekitar

11,4% per tahun. Perkembangan produksi tanaman lainnya berkisar antara 0,5-5%,

kecuali tanaman tebu dan teh yang mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi

gula disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal seperti penurunan

produktivitas dan bias kebijakan pemerintah, maupun pasar gula internasional yang

sangat distortif sehingga harga gula terus mengalami penurunan.

� Secara umum, laju pertumbuhan konsumsi dalam negeri relatif cepat untuk komoditi

CPO, karet, dan kakao dan relatif lambat untuk gula, kopi, dan teh. Karet dan CPO

bahkan tumbuh diatas 10% per tahun pada dekade terakhir. Lambatnya laju konsumsi

domestik untuk ketiga komoditi adalah indikasi bahwa industri hilir perkebunan belum

berkembang karena menyangkut masalah teknologi, hambatan pasar (entry barrier),

dukungan kebijakan yang belum optimal, serta jiwa kewirausahaan yang belum

berkembang.

� Produk tanaman perkebunan umumnya berorientasi ekspor dimana lebih dari 50%

produksi, kecuali gula, adalah diekspor. Sebagai contoh, proporsi produksi dari kopi dan

karet yang diekspor pada tahun 2004 masing-masing adalah 68,74% dan 96,13%.

Kinerja ekspor komoditas perkebunan Indonesia juga tumbuh dengan relatif stabil walau

dukungan kebijakan ekspor belum maksimal. Dari segi nilai, ekspor komoditas

perkebunan meningkat 6,52% per tahun yang menunjukkan bahwa nilai ekspor

berkembang lebih cepat dari volume ekspor. Namun dalam dekade terakhir, fenomena

ini berbalik dimana volume berkembang lebih cepat dibandingkan dengan nilai. Hal ini

memberi indikasi adanya kecenderungan melemahnya harga komoditas perkebunan

primer Indonesia di pasar internasional.

� Walaupun impor komoditas primer perkebunan Indonesia terus meningkat, volume dan

nilainya relatif masih kecil, kecuali impor gula. Sebagai contoh, impor CPO Indonesia

meningkat dengan laju 12,04% per tahun pada dekade terakhir, dengan volume impor

adalah sekitar 350 ribu ton pada tahun 1999 atau sekitar 6,15% dari produksi. Secara

umum, impor komoditas perkebunan Indonesia relatif masih kecil sehingga belum

merupakan pesaing yang signifikan untuk pasar domestik Indonesia.

� Seperti kebanyakan komoditas pertanian, harga produk perkebunan primer mengalami

fluktuasi yang cukup tajam di pasar internasional. Pada saat ini harga komoditas

perkebunan secara umum relatif tinggi seperti karet yang sampai melebihi USD2/kg,

demikian juga dengan gula dengan harga USD400/ton. Namun demikian, fluktuasi

harga tampaknya sudah menjadi karakter produk primer perkebunan, seperti tercermin

dari nilai koefisien keragaman harga tahunan yang cukup tinggi yaitu antara 18% untuk

karet sampai dengan 42% untuk teh. Fluktuasi harga ini berkaitan dengan fluktuasi

harga di pasar internasional berhubungan dengan faktor siklus biologis tanaman

khususnya untuk tanaman keras, iklim, dan kondisi ekonomi (harapan harga).

9.2.1. Peluang Peningkatan Kontribusi dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Daya

Saing di Pasar Internasional

� Subsektor perkebunan memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi. Indonesia memiliki potensi untuk melakukan perluasan lahan perkebunan

secara signifikan. Hal ini tidak dimiliki oleh negara pesaing, seperti Malaysia dan

Thailand. Selain itu, upah tenaga kerja yang relatif lebih murah akan membuat biaya

produksi menjadi relatif lebih rendah sehingga produk perkebunan Indonesia mempunyai

kecenderungan semakin kompetitif di masa mendatang.

� Produk perkebunan Indonesia pada masa mendatang diperkirakan memiliki prospek

pasar yang cerah di pasar internasional dengan daya saing yang semakin meningkat.

Paling tidak ada tiga faktor fundamental yang melandasi pemikiran tersebut. Faktor

pertama adalah keberhasilan Pertemuan World Trade Organization (WTO) Tingkat

Menteri di Hongkong pada bulan Desember 2005 yang menyepakati bahwa semua

bentuk subsidi ekspor pada sektor pertanian sudah harus dihapuskan paling lambat

tahun 2013. Penghapusan subsidi tersebut akan mengurangi kemampuan negara maju

untuk mengekspor produk pertanian seperti gula dan minyak nabati. Hal ini akan

memperbesar peluang pasar produk CPO Indonesia serta peningkatan produksi gula

Indonesia. Faktor kedua adalah negara pesaing, baik negara maju seperti Eropa Barat dan

Amerika, dan negara berkembang seperti Brazil yang secara konsisten menghadapi

tekanan untuk melakukan reformasi sektor pertanian dengan mengurangi dukungan

harga, subsidi, dan proteksinya secara substansial. Situasi ini akan meningkatkan daya

saing produk perkebunan Indonesia sekaligus mengurangi perlakuan yang tidak fair dari

negara maju, seperti untuk kasus kakao, kopi dan gula. Faktor fundamental ketiga

adalah kenaikan harga bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil (BBM).

Kecenderungan kenaikan harga BBM merupakan kecenderungan jangka panjang yang

tidak dapat dihindarkan mengingat BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat

diperbaharui. Jika ini benar, biofuel yang menggunakan bahan baku produk pertanian

seperti CPO dan tebu, akan terus berkembang. Di samping itu, karet sintetis yang

berbahan baku minyak bumi daya saingnya semakin lemah sehingga akan meningkatkan

peluang pasar karet alam Indonesia.

� Dengan perubahan fundamental tersebut serta dukungan kebijakan pemerintah yang

lebih kondusif, subsektor perkebunan diperkirakan akan berkembang secara lebih pesat.

Sebagai contoh, Indonesia berpeluang untuk melakukan perluasan areal kelapa sawit

sekitar 2 juta ha untuk jangka antara 5-10 tahun ke depan, atau tumbuh antara 7-9%

per tahun. Industri gula juga berpeluang tumbuh dengan laju sekitar 6-7% per tahun

sampai dengan tahun 2014. Untuk karet, peluang pasar akan semakin terbuka dengan

peluang perluasan sekitar 300-500 ribu ha untuk periode 2006-2010 atau sekitar 2-3%

per tahun. Untuk produk penyegar seperti kakao dan kopi, peluang peningkatan

produksi dan ekspor diperkirakan diatas 3% per tahun.

9.2.2. Permasalahan dalam Peningkatan Produksi Subsektor Perkebunan

� Upaya untuk merealisasikan peluang peningkatan produksi dan ekspor perkebunan

dengan memanfaatkan kekuatan dan potensi yang dimiliki Indonesia, tampaknya masih

banyak menghadapi masalah, baik yang berkaitan dengan pengembangan industri hulu

maupun hilir. Beberapa masalah yang perlu mendapat penanganan yang antara lain

adalah (i) rendahnya produktivitas hasil dibandingkan produktivitas hasil negara lain; (ii)

mutu yang masih rendah/belum sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan

pemerintah dan sering tidak konsisten; (iii) ekonomi biaya tinggi; (iv) kebijakan

pemerintah yang belum menciptakan iklim usaha yang kondusif; dan (v) hambatan

perdagangan (tarif dan non-tarif) dan persaingan tidak sehat di pasar internasional.

� Berkaitan dengan rendahnya produktivitas pada industri hulu, terutama disebabkan oleh

komposisi tanaman yang masih didominasi tanaman asal biji/bibit tidak unggul/bibit palsu

dan sudah berumur tua, dan ketersediaan sarana produksi terutama bibit unggul

bermutu dan pupuk yang masih terbatas. Selanjutnya masalah mutu yang rendah dan

tidak konsisten disebabkan oleh (i) teknologi pengolahan yang ada belum memberi

insentif bagi pelaku usaha terutama petani untuk meningkatkan mutu; (ii) kebijakan

pemerintah tentang mutu (SNI) belum mencerminkan adanya sinergisme/koordinasi antar

lembaga di sektor pertanian dan industri.

� Ekonomi biaya tinggi merupakan masalah lain yang menghambat. Masalah ini berkaitan

dengan (i) mahalnya harga input (bibit, pupuk dan obat-obatan); (ii) tingginya beban

pelaku usaha termasuk petani dalam menanggung beban bunga pinjaman, pajak,

retribusi dan pungutan-pungutan, serta perijinan investasi; (iii) tingginya biaya transpor

dari kebun hingga pelabuhan atau ke lokasi industri pengolahan (primer dan hilir).

� Sejalan dengan hal diatas, iklim usaha perkebunan juga belum kondusif sebagai akibat

dari (i) pelaku usaha masih ragu tentang kepastian/perlindungan hukum dan jaminan

keamanan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, jaminan keamanan dari konflik

sosial dengan masyarakat lokal soal lahan; (ii) khusus untuk perusahaan perkebunan

kelapa sawit, adanya tekanan yang berkaitan dengan isu lingkungan (iii) ego sektoral dan

konflik kepentingan Pusat dan Daerah (iv) inkonsistensi penerapan payung

kebijakan/peraturan, seperti Revitalisasi Pertanian, UU No.18 Tahun 2004 Tentang

Perkebunan, dan UU/Perda Tentang Tata Ruang.

� Di pasar internasional, produk perkebunan Indonesia menghadapi berbagai hambatan

perdagangan (tarif dan non-tarif). Beberapa instrumen kebijakan yang menghambat

antara lain: (i) non-tariff/technical barriers yang diterapkan negara pengimpor minyak

sawit (Eropa, India dan negara pengimpor lainnya); (ii) automatic detention oleh Amerika

Serikat dan perlakuan diskriminasi (special and differential treatment) oleh negara-negara

Eropa Barat serta holding orders oleh Australia untuk kakao, tarif impor eskalasi di

negara-negara maju (iii) hegemoni/penguasaan perusahaan multinasional atau

transnasional di pasar internasional, terutama untuk karet, kakao, dan teh sehingga pasar

menjadi bersifat buyer’s market; (iv) proteksi dan/atau subsidi produksi oleh negara-

negara produsen utama, Eropa Barat, Amerika, Thailand, Brazil, Ghana dan Pantai

Gading.

� Dalam pengembangan industri hilir perkebunan, ada beberapa masalah mendasar seperti

(i) beban pajak pertambahan; (ii) dominasi perusahaan multinasional/transnasional yang

cenderung menerapkan multisourcing dalam penggunaan bahan baku melalui

mekanisme internal transaction; (iii) belum memadainya fasilitas/insentif bagi pelaku

usaha untuk menanamkan modalnya di industri hilir perkebunan (bunga, pajak, retribusi

dan pungutan-pungutan); (iv) lemahnya penelitian dan pengembangan bidang industri

hilir perkebunan; (v) mahalnya sebagian besar teknologi industri hilir perkebunan; dan (vi)

dominasi perusahaan multinasional/ transnasional penghasil produk jadi perkebunan

terhadap teknologi industri hilir perkebunan.

� Mengingat investasi di bidang usaha perkebunan merupakan investasi yang berjangka

panjang dan memerlukan jumlah yang besar, maka diperlukan alternatif pembiayaan

terutama untuk kredit investasi dengan mempertimbangkan masa grace period. Hal lain

yang harus dipertimbangkan adalah bukan hanya meningkatkan efisiensi dari investasi

yang sudah ada saat ini, tetapi juga investasi baru yang mengisi pasar komoditas

perkebunan yang baru, yang diperkirakan akan semakin terbuka pada masa yang akan

datang. Kebutuhan pembiayaan subsektor perkebunan juga diperlukan untuk membiayai

pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM serta

penelitian/pengembangan teknologi perkebunan. Sehingga kebutuhan akan alternatif

pembiayaan sektor perkebunan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja

sektor ini.

9.2.3. Komoditas Kelapa Sawit

� Areal terluas untuk kelapa sawit berada di Sumatera, yaitu mencapai 76,47% diikuti

Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 19,80% dan 2,31%. Pada tahun 2005, luas

areal perkebunan rakyat mencapai 3.873 ribu ha (31,11%), perkebunan negara seluas

2.049 ribu ha (16,46 %) dan perkebunan besar swasta seluas 6.528 ribu ha (52,43%).

Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya

hanya perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan

perkebunan swasta. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun 1996

hingga tahun 2005 tumbuh sangat pesat dengan rata-rata pertumbuhan 10,66% per

tahun. Pertumbuhan areal terbesar dipegang oleh perkebunan swasta (11,99% per

tahun) diikuti pertumbuhan areal perkebunan rakyat (11,19%) dan perkebunan negara

(5,25%).

� Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga mengalami

peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi 12.450 juta ton

CPO pada tahun 2005. Dalam 10 tahun terakhir, produksi CPO Perkebunan Besar Swasta

mendominasi komposisi produksi. Komposisi produksi CPO rata-rata secara berurutan

adalah Perkebunan Rakyat sebesar 2.480 ribu ton (29,93%), Perkebunan Besar Negara

sebesar 1.813 ribu ton (21,88%) dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 3.993 ribu ton

(48,19%).

Tabel 27. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1996–2005

PRODUKSI MINYAK SAWIT (RIBU TON)

TAHUN PERKEBUNAN RAKYAT (PR)

PERKEBUNAN MILIK NEGARA (PBN)

PERKEBUNAN BESAR SWASTA (PBS)

JUMLAH

1996 1.133 1.707 2.058 4.898

1997 1.283 1.587 2.579 5.449

1998 1.345 1.501 3.084 5.930

1999 1.544 1.468 3.439 6.451

2000 1.906 1.461 3.644 7.011

2001 2.798 1.519 4.079 8.396

2002 3.426 1.608 4.588 9.622

2003 3.517 1.750 5.173 10.44

2004 3.745 1.981 6.079 11.80

2005*) 3.873 2.049 6.528 12.45

Pertumbuhan (%/th) 14,63 2,05 13,69 10,92

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2006)

Keterangan : *) Sementara

� Konsumsi domestik CPO yang merupakan komoditas primer masih belum berkembang.

Konsumsi CPO di dalam negeri sebagian besar untuk pangan (80%-85%) dan sisanya

industri oleokimia (15%-20%). Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri

adalah sekitar 11,07% per tahun. Laju pertumbuhan konsumsi CPO dunia diproyeksikan

mencapai sekitar 5,0% per tahun hingga tahun 2010. Peningkatan yang signifikan

terutama akan terjadi pada negara yang sedang berkembang seperti di China, Pakistan,

dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan konsumsi

dengan laju sekitar 8% per tahun, sedangkan China, Eropa Barat, dan Pakistan

diproyeksikan akan tumbuh dengan laju masing-masing 7,4%, 6,7%, 7,7% per tahun.

Tabel 28. Perkembangan Konsumsi CPO Indonesia Tahun 1996–2005

TAHUN KONSUMSI (JUTA TON)

JUMLAH PENDUDUK (JUTA)

KONSUMSI/KAPITA (KG)

1996 2,53 198.320 12,76

1997 2,84 201.353 14,10

1998 2,83 204.393 13,85

1999 2,90 206.517 14,04

2000 2,93 205.843 14,23

2001 2,86 208.725 13,70

2002 2,93 212.003 13,82

2003 3,17 215.286 14,72

2004 3,36 217.854 15,42

2005 3,57*) 219.142 16,29

Pertumbuhan (%/tahun) 3,90 1,12 2,75

Sumber: ISTA Mielke GmbH (2005) dan Badan Pusat Statitistik (2006), diolah.

Keterangan : *) Sementara

� Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional (CIF

Rotterdam) sejak tahun 1996 sampai dengan 2005 menunjukkan kecenderungan yang

berfluktuasi. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan

perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Walaupun terdapat pengaruh

musim, pembentukan harga CPO internasional yang dilakukan melalui mekanisme pasar

bebas dan berpusat di Rotterdam sangat ditentukan oleh penawaran dan permintaan

CPO internasional, disamping terkait dengan harga minyak nabati lain (minyak kedele)

dan pergerakan harga sebelumnya. Harga CPO di Rotterdam ini menjadi rujukan bagi

pembentukan harga di pasar domestik (Jakarta dan Medan), termasuk di bursa

komoditas.

� Dalam kaitan kebijakan, berbagai kebijakan areal dan produksi telah diterapkan oleh

pemerintah. Pola-pola lama yang sudah tidak dilanjutkan lagi diantaranya adalah

Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan Perkebunan Besar Nasional (PBN). Pengembangan

perkebunan saat ini dilakukan melalui penerapan 5 pola, yaitu (1) pola koperasi usaha

perkebunan (Pola KUP), (2) pola patungan koperasi sebagai majoritas pemegang saham

dan investor sebagai minoritas pemegang saham (Pola Pat K-I), (3) pola patungan

investor sebagai mayoritas pemegang saham dan koperasi sebagai minoritas pemegang

saham (Pola Pat I-K), (4) pola built, operated, and transferred (Pola BOT), dan (5) pola

bank tabungan negara (Pola BTN). Pola pengembangan perkebunan ini lebih berdimensi

pada penerapan nilai keadilan dan sekaligus pula mengutamakan efisiensi, produktivitas,

dan peran serta masyarakat dalam satu paket kebijakan. Indonesia juga telah memiliki

Undang-undang khusus tentang perkebunan, yaitu UU No. 18 Tahun 2004 disamping

aturan perundang-undangan lainnya.

9.2.4. Komoditas Karet

� Areal karet Indonesia terluas di dunia, dengan luas areal mencapai sekitar 3,28 juta

hektar pada tahun 2005. Perkebunan karet di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh

perkebunan karet rakyat (85%), dan sisanya merupakan perkebunan besar swasta dan

negara. Perkebunan karet rakyat tersebar di 12 propinsi di Indonesia, namun propinsi

utama karet rakyat Indonesia adalah Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan

Barat, dan Sumatera Utara.

� Dari sisi produksi, Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua

setelah Thailand, dengan produksi sekitar 2,27 juta ton pada tahun 2005. Perkebunan

karet rakyat memberikan kontribusi produksi sekitar 81% (1,7 juta ton), sementara

produksi perkebunan besar negara dan swasta masing-masing mencapai sekitar 197 ribu

ton (9%), dan 208 ribu ton (10%).

� Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia menunjukkan respon sejalan dengan

perkembangan harga karet alam dunia. Pada periode tahun 1982–2000 dimana harga

karet alam dunia masih relatif rendah, pertumbuhan produksi karet alam Indonesia rata-

rata adalah sekitar 3,8% per tahun. Sementara itu pada periode 2000-2005, dimana

harga karet alam dunia telah melonjak cukup tinggi, pertumbuhan produksi karet alam

Indonesia meningkat tajam sekitar 8,7% per tahun.

Tabel 29. Luas Areal dan Produksi Karet 1999 – 2004

TAHUN LUAS AREAL (000 HA)

PRODUKSI (000 TON)

PRODUKTIVITAS (KG/HA/TH)

2000 3.372 1.501 646

2001 3.345 1.607 686

2002 3.318 1.630 696

2003 3.290 1.792 764

2004 3.262 2.066 839

2005 3.279 2.271 842

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

� Sebagai negara produsen karet alam terbesar kedua di dunia, Indonesia berpotensi besar

untuk menjadi produsen utama dalam dekade mendatang. Hal ini sangat mungkin

dicapai karena Indonesia mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk

meningkatkan produksi, baik melalui pengembangan areal baru maupun peningkatan

produktivitas dengan meremajakan areal tanaman karet tua dengan menggunakan klon-

klon unggul terbaru.

� Konsumsi karet alam domestik relatif masih relatif rendah bila dibandingkan dengan

negara-negara produsen karet alam dunia lainnya. Pada tahun 2004 konsumsi domestik

baru mencapai sekitar 196 ribu ton (sekitar 9,5% dari total produksi), atau meningkat

sekitar 25% dari konsumsi tahun 2003. Konsumsi karet alam domestik pada tahun 2005

meningkat menjadi sekitar 217 ribu ton (9,7%), dan pada tahun 2006 diperkirakan

menjadi sekitar 242 ribu ton. Secara umum, tingkat pertumbuhan konsumsi karet alam

domestik selama enam tahun terakhir (2000–2005) adalah sekitar 9,72%.

Tabel 30. Produksi dan Konsumsi Karet Indonesia, 2000 – 2005

TAHUN PRODUKSI (000 TON) KONSUMSI (000 TON)

2000 1.501 139 (9,26)

2001 1.607 142 (8,84)

2002 1.630 145 (8,89)

2003 1.792 156 (8,70)

2004 2.066 196 (9,49)

2005 2.271 221 (9,73)

Pertumbuhan (%/thn) 8,63 9,72

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

� Harga karet alam di pasar internasional sangat berfluktuasi. Dalam satu dasawarsa

terakhir, harga karet alam pernah mencapai titik terendah pada bulan Nopember 2001,

yang mencapai sekitar USD0,46 cent/kg. Menurunnya harga karet alam dunia sejak

pertengahan tahun 1997 mendorong ketiga negara produsen utama karet alam dunia

yakni Thailand, Indonesia dan Malaysia untuk melakukan kerjasama tripartite dibidang

produksi dan pemasaran karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartite

antara tiga negara produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran

dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik.

� Agar diperoleh percepatan pembangunan agribisnis perkaretan nasional diperlukan

dukungan kebijakan sebagai berikut: 1) Penciptaan iklim investasi yang makin kondusif

antara lain melalui pemberian kemudahan dalam proses perijinan; pembebasan pajak (tax

holiday) selama tanaman atau pabrik belum berproduksi; pemberian rangsangan kepada

perajin industri hilir karet untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan

mempunyai prospek pasar yang cerah; penciptaan perangkat kepastian hukum dan

keamanan baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan; penghapusan berbagai

pungutan dan pemberian keringan beban yang memberatkan pelaku agribisnis karet;

menghilangkan hambatan yang mengganggu mekanisme pasar melalui pemerataan

pembangunan infrastruktur dan penciptaan regulasi yang kondusif bagi pembangunan

perkebunan, misalnya melalui penyederhanaan prosedur/birokrasi dan keringanan pajak;

2) Pengembangan sarana dan prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat

transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik); 3) Penyediaan dana

pengembangan komoditas dengan menghidupkan kembali pungutan dari hasil

produksi/ekspor karet yang sangat diperlukan untuk membiayai pengembangan industri

hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet serta penelitian dan

pengembangan teknologi di bidang perkaretan.

9.2.5. Komoditas Kakao

� Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat selama 20 tahun

terakhir khususnya areal perkebunan kakao rakyat. Areal perkebunan kakao berkembang

cukup pesat dari 92.797 ha pada tahun 1985 menjadi 992.191 ha pada tahun 2004 atau

berkembang lebih dari 10 kali lipat dalam waktu 19 tahun.

� Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kakao Indonesia meningkat pesat dari

33.798 ton tahun 1985 menjadi 650 ribu ton tahun 2004 atau meningkat lebih dari 19

kali lipat dalam waktu 19 tahun. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi

kakao tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ke tiga

dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

� Perkebunan kakao Indonesia sebagian besar (89,6%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya

5,0% dikelola perkebunan besar negara serta 5,4% perkebunan besar swasta. Jenis

tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra

produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera

Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Irian Jaya dan Lampung.

Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara

khususnya di Jawa Timur dan Sumatera Utara.

� Konsumsi kakao/cokelat Indonesia relatif masih sangat rendah dan baru bangkit setelah

mengalami kemerosotan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997.

Pada tahun 1996/97 dan 1997/98, konsumsi cokelat Indonesia sebesar 12 ribu ton,

kemudian turun menjadi 9 ribu ton pada tahun 1998/99 dan 8,4 ribu ton pada tahun

1999/00. Selanjutnya konsumsi cokelat berangsur-angsur naik hingga mencapai 12 ribu

ton pada tahun 2003/04. Dengan total konsumsi sebesar 12 ribu ton tersebut berarti

konsumsi cokelat per kapita masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah yaitu 0,055

kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut sangat jauh dibawah tingkat konsumsi rata-

rata kakao dunia yang mencapai 0,565 kg/kapita/tahun.

Tabel 31. Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia

PRODUKSI (TON) TAHUN

PR PBN PBS JUMLAH

1970 487 1.061 190 1.738

1975 801 3.074 46 3.921

1980 1.058 8.410 816 10.284

1985 8.997 20.512 4.289 33.798

1990 97.418 27.016 17.913 142.347

1995 231.992 40.933 31.941 304.866

2000 363.628 34.790 22.724 421.142

2001 476.924 33.905 25.975 536.804

2002 511.379 34.083 25.693 571.155

2003 634.877 32.075 31.864 698.816

2004* 585.955 32.881 32.042 650.878

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Keterangan: *) data sementara,

PR = Perkebunan Rakyat,

PBN= Perkebunan Besar Negara,

PBS = Perkebunan Besar Swasta.

� Di Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditas yang tidak diatur tataniaganya oleh

pemerintah, sehingga harga kakao di tingkat petani ditentukan oleh mekanisme pasar

dan petani juga bebas menjual hasil panennya. Meskipun demikian, struktur pasar

komoditas kakao yang terbentuk cukup bervariasi dari yang bersifat monopsoni sampai

bersaing bebas.

� Pembentukan harga kakao dunia ditentukan oleh tingkat produksi, konsumsi biji kakao

dan posisi stok kakao dunia. Perkembangan harga kakao dunia sangat tergantung pada

perkiraan dari masing-masing variabel penentu harga kakao tersebut. Apabila perkiraan

produksi konsumsi menunjukkan adanya surplus, maka harga kakao dunia bergerak

turun dan sebaliknya harga kakao dunia bergerak naik jika produksi konsumsi

diperkirakan mengalami defisit.

� Kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas kebun dapat

dilakukan melalui rehabilitasi dan intensifikasi serta perluasan areal dengan

menggunakan klon unggul. Rehabilitasi kebun dapat dilakukan dengan cara sambung

samping ataupun penyulaman kebun dengan bahan tanam klon unggul. Sementara,

intensifikasi dilakukan dengan penerapan sistem budidaya sesuai dengan anjuran

khususnya pemberian pupuk, pemangkasan bentuk dan pemberantasan hama dan

penyakit tanaman secara terpadu dan menyeluruh.

� Selanjutnya, permasalahan rendahnya mutu produksi kakao berkaitan dengan masalah

sosial ekonomi petani, insentif harga dan ketersediaan sarana pengolahan ditingkat

petani. Untuk mengatasi permasalahan ini, selain perlu adanya bantuan teknis dan

pendanaan, juga perlu dukungan kebijakan. Program perbaikan mutu produksi dilakukan

dengan penerapan SNI wajib fermentasi biji kakao. Program penerapan SNI wajib dapat

dilaksanakan setelah fasilitas pendukungnya terpenuhi. Disamping itu perlu adanya

program pendampingan dan mediasi agar pelaku bisinis khususnya pedagang kakao mau

memberikan insentif yang wajar bagi petani yang melakukan upaya perbaikan mutu

kakao. Upaya perbaikan mutu tersebut perlu diikuti dengan program atau penyusunan

rencana kerja untuk meniadakan potongan harga otomatis (automatic detention).

9.2.6. Komoditas Tebu

� Secara nasional total areal dan produksi tebu berkembang sangat dinamis mengikuti

dinamika berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik. Sejalan dengan kebijakan

pergulaan yang bersifat suportif dan stabilisasi (1970–1996), pemerintah berusaha

mendorong perkembangan areal dan produksi tebu/gula. Pada tahun 1985 areal tebu

sudah mencapai 340.229 ha dan terus meningkat mencapai puncaknya tahun 1996

mencapai 446.533 ha, atau meningkat dengan laju 5,2% per tahun. Produksi juga

meningkat secara konsisten dengan laju 2,8% per tahun. Namun produktivitas dalam

bentuk rendemen cenderung menurun dengan laju –1,4% per tahun. Produksi gula

nasional kembali mencapai puncaknya pada tahun 1994 dengan volume produksi 2,4

juta ton. Pada tahun 2005, produksi meningkat dengan laju 8,5% per tahun.

� Konsumsi gula di sisi lain terus meningkat, kecuali pada masa krisis ekonomi yang

mengalami penurunan. Secara umum, konsumsi gula meningkat dengan laju 3,4% per

tahun selama periode stabilisasi. Ketika krisis ekonomi terjadi, konsumsi menjadi stagnan,

bahkan menurun dengan laju –0,2% per tahun pada periode 1997-2002. Setelah

perekonomian nasional pulih kembali, konsumsi gula mulai meningkat dengan laju

1,98% per tahun pada periode 2002–2005. Pada tahun 2005 konsumsi mencapai 3,5

juta ton dan konsumsi per kapita pada kisaran 16,0 kg per kapita.

� Sebelum liberalisasi industri gula nasional yang dimulai tahun 1997, harga gula di tingkat

petani ditentukan oleh pemerintah melalui Bulog yang dikenal sebagai harga provenue.

Harga provenue ditetapkan pemerintah dengan mempertimbangkan target harga eceran,

inflasi, biaya transpor, dan harga pupuk. Jika inflasi meningkat sebesar 1% maka harga

tingkat petani meningkat sekitar 0,84%, jika harga pupuk naik sebesar 1% maka harga

tingkat petani juga meningkat sekitar 0,60%. Pada tahun 1998–2002, pemerintah

melepas harga gula petani pada mekanisme pasar bebas yang mengacu pada harga gula

di pasar internasional. Selanjutnya pemerintah menerapkan kebijakan tataniaga impor

gula pada bulan September 2002 yang mengubah pembentukan harga di tingkat petani

seperti harga provenue, disebut harga patokan petani (HPP) yang merupakan harga gula

minimum di tingkat petani. HPP tersebut dijamin oleh perusahaan swasta yang bekerja

sama dengan kelembagaan petani dan PTPN.

� Mekanisme dan perkembangan harga gula eceran pada dasarnya identik dengan yang

terjadi pada harga tingkat petani. Sampai dengan tahun 1997 harga eceran tetap di

bawah kendali pemerintah sehingga harga eceran pada dasarnya sama dengan harga

provenue ditambah dengan biaya pemasaran. Dengan demikian, harga eceran menjadi

stabil terkendali dengan laju peningkatan sama dengan harga provenue sekitar 6,6%

per tahun. Setelah tahun 1997, pembentukan harga di tingkat eceran lebih banyak

ditentukan oleh harga gula impor, walaupun HPP yang ditentukan pemerintah juga

mempunyai pengaruh.

� Harga gula di pasar internasional cukup fluktuatif. Harga gula yang tinggi terjadi pada

awal tahun 1970-an dan tertinggi terjadi pada tahun 1974 yaitu sebesar USD 660/ton.

Pada dekade terakhir sebelum 2004, harga gula cenderung menurun dengan laju

penurunan sekitar 6,97% per tahun. Penurunan harga yang berkepanjangan ini

terutama disebabkan oleh peningkatan stok gula dunia sebagai dampak dari proteksi dan

subsidi yang dilakukan beberapa negara. Harga terendah pada dekade terakhir terjadi

pada tahun 1999 yaitu sebesar USD 114/ton.

� Semenjak tahun 2004, industri gula dunia mulai mengalami titik balik yang ditunjukkan

oleh peningkatan harga gula yang dipicu oleh defisit stok gula dunia antara 1–3 juta ton

dan harga minyak bumi yang melambung diatas USD 70/barrel. Melambungnya harga

minyak bumi tersebut telah mendorong penggunaan tebu sebagai bahan bakar alternatif

(etanol), terutama oleh negara Brazil. Pada tahun 2006, harga gula melambung tinggi di

atas USD400/ton.

Tabel 32. Luas Areal Tebu dan Produksi Gula Berdasarkan Propinsi

AREAL (HA) PRODUKSI (TON) PROPINSI

1980 2005

PANGSA 2005 (%)

1980 2005

PANGSA 2005 (%)

Jawa Timur 193.071 179.708 47,0 892.790 1.092.640 48,7

Jawa Tengah 62.309 32.613 8,5 358.529 152.236 6,8

Jawa Barat 21.008 22.726 5,9 68.240 123.110 5,5

DI Yogyakarta 5.550 9.339 2,4 26.028 30.423 1,4

Jawa 281.938 244.386 64,0 1.345.587 1.398.409 62,4

Lampung 12.237 102.848 26,9 38.693 694.192 31,0

Sumatera Selatan 0 12.297 3,2 0 55.637 2,5

Sumatera Utara 453 9.359 2,4 332 40.636 1,8

Sulawesi Selatan 5.244 5.472 1,4 26.314 26.162 1,2

Lainnya 16.045 7.721 2,0 32.674 27.275 1,2

Luar Jawa 33.979 137.697 36,0 98.013 843.902 37,6

Indonesia 315.917 382.083 100,0 1.443.600 2.242.311 100,0

Sumber : Ditjenbun (2005), diolah

� Beberapa kebijakan berkaitan dengan komoditas tebu yang dapat dilakukan antara lain

kebijakan perdagangan, kebijakan infrastruktur, kebijakan pendanaan dan investasi

dalam penyediaan sarana produksi.

9.3. Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Komoditas Unggulannya

� Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi perikanan yang sangat besar.

Sekitar 70% dari luas wilayah adalah lautan, dengan cakupan area mencapai sekitar 5,8

juta km2, yang membuat garis pantai sepanjang 81.000 km dan mengelilingi lebih dari

18.000 pulau. Didukung oleh iklim dan keadaan geografisnya, Indonesia memiliki

keanekaragaman dan produktivitas biota laut yang tinggi. Dari berbagai komoditas yang

potensinya yang telah berhasil diidentifikasi, diperkirakan perairan Indonesia mampu

memproduksi 6,4 juta ton ikan pertahun. Di antara komoditas-komoditas tersebut,

banyak di antaranya yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, misalnya tuna,

udang, dan rumput laut. Apabila dikelola dengan baik, komoditas-komoditas tersebut

mampu menopang peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.

� Selama kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir, penawaran maupun permintaan ketiga

komoditas tersebut (udang, tuna dan rumput laut) cenderung terus menunjukkan

peningkatan. Rata-rata pertumbuhan produksi ketiga komoditas tersebut masing-masing

sebesar 3,22%; 2,78%, dan 11,79%. Sementara itu, permintaan ketiga komoditas

tersebut mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2,10%, 3,02%, dan 10,07%.

� Hasil analisis Tabel I-O memperlihatkan bahwa peran ekonomi dari kegiatan usaha

komoditas udang, tuna dan rumput laut memiliki keterkaitan (linkages) yang tinggi

dengan sektor ekonomi lainnya dalam perekonomian nasional baik secara keterkaitan ke

belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (forward linkages). Besaran

nilai rata-rata koefisien keterkaitan ke belakang (backward linkages) untuk udang, tuna

dan rumput laut adalah masing-masing 1,46, 1,34, dan 1,44. Sementara rata-rata

koefisien keterkaitan ke depan (forward linkages) masing-masing mendekati nilai 1.

� Ketiga komoditas revitalisasi perikanan tersebut juga memiliki keunggulan komparatif

yang lebih besar dari rata-rata dunia. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

menunjukkan bahwa nilai indeks RCA untuk komoditas udang, tuna dan rumput laut

adalah berturut-turut sebesar 2,97; 8,43 dan 29,81). Angka-angka RCA yang

kesemuanya lebih besar dari satu menunjukkan bahwa berdasarkan pemetaan daya saing

ketiga komoditas unggulan tersebut memiliki keunggulan komparatif yang sangat baik

dalam perdagangan internasional.

� Hasil-hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah untuk

merevitalisasi industri perikanan dengan menempatkan udang, tuna dan rumput laut

sebagai komoditas unggulan merupakan hal yang tepat. Hal ini membawa implikasi

perlunya dukungan upaya pengembangan investasi usaha budidaya dan penangkapan

ketiga komoditas unggulan tersebut termasuk usaha-usaha turunannya seperti usaha di

industri pengolahan hasil perikanan maupun perdagangan ekspor komoditas perikanan.

� Terlepas dari berbagai potensi di atas, sektor perikanan masih menghadapi beberapa

kendala seperti minimnya infrastruktur khusus perikanan seperti pelabuhan, stasiun

penyediaan bahan bakar solar, irigasi perikanan.

� Selain itu, petani/nelayan seringkali dihadapkan kepada kesulitan untuk menyediakan

agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak perbankan pada saat

mengajukan kredit permodalan. Resiko produksi pada bisnis perikanan menyangkut

siklus produksi perikanan yang musiman, sehingga hasilnya seringkali tidak dapat

diperhitungkan dengan pasti. Hal inilah yang menyebabkan pihak perbankan enggan

menyediakan modal bagi perkembangan bisnis di sektor tersebut. Di samping resiko

produksi yang tergantung musim terutama hasil perikanan tangkap, juga mengandung

resiko harga yang tinggi. Tidak adanya kepastian harga dan sangat berfluktuatif

menyebabkan pendapatan nelayan dan petani ikan tidak dapat diperkirakan dengan

tepat. Karakteristik resiko pada bisnis perikanan yang demikian dan disertai dengan

status ekonomi petani ikan dan nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara

ekonomi, membuat mereka sulit untuk memenuhi syarat-syarat perbankan. Untuk

mengatasi masalah permodalan tersebut perlu dipertimbangkan bentuk alternatif

pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik usaha perikanan.

9.3.1. Komoditas Tuna

� Komoditas Tuna (termasuk cakalang) adalah salah satu komoditas unggulan di sektor

perikanan. Tingkat produksi Tuna masih sangat mungkin untuk ditingkatkan, terutama di

kawasan Timur Indonesia, meskipun pengembangan komoditas ini harus dilakukan

dengan selektif karena data menunjukkan bahwa usaha penangkapan sejumlah jenis

tuna, khususnya tuna besar telah menunjukkan penurunan.

� Potensi ikan pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional mencapai 1.165,36 ribu ton.

Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dimasa mendatang bagi

kepentingan pembangunan perikanan nasional. Dari 9 Wilayah Pengelolaan Perikanan

(WPP) di Indonesia, semua WPP -selain WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa- sebagian

besar masih memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Di WPP Selat

Malaka dan WPP Laut Jawa, tingkat pemanfatan sudah melebihi potensi yang ada

(overfishing). Potensi ikan pelagis besar di WPP Selat Malaka mencapai 27,67 ribu ton

sedangkan tingkat produksinya telah mencapai 36,27 ribu ton. Begitu pula halnya yang

terjadi di WPP Laut Jawa, produksi ikan pelagis besar mencapai 137,82 ribu ton

sedangkan potensinya hanya sekitar 55 ribu ton.

� Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang pula industri

pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan sentra

pendaratan tuna seperti Muara Baru-Jakarta, Pelabuhan Ratu–Jawa Barat, Cilacap-Jawa

Tengah, Benoa–Bali dan Bitung–Sulawesi Utara. Industri pengolahan dimaksud pada

umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi

(fresh whole gilled and gutted); produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole

gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak (frozen steak); dan produk dalam kaleng

(canned tuna).

� Konsumsi tuna pada tahun 2006 sebesar 629.782 ton, diproyeksikan meningkat menjadi

694.943 ton pada tahun 2009. Sedangkan ekspor tuna pada tahun 2006 sebesar

113.293 ton, pada tahun 2009 meningkat menjadi 134.673 ton. Dengan demikian,

permintaan total tuna pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 743.460 ton, dan pada

tahun 2009 meningkat menjadi 829.616 ton.

� Harga domestik tuna di Indonesia, disamping dipengaruhi oleh harga ekspor dan nilai

tukar rupiah terhadap USD juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak

yang berdampak mengurangi supply tuna. Hal yang sama juga terjadi pada saat nilai

tukar rupiah terhadap USD meningkat, dimana volume ekspor tuna meningkat, dan

supply domestik berkurang, untuk kemudian mendorong peningkatan harga domestik.

Tabel 33. Proyeksi Produksi Tuna, Cakalang dan Tongkol, Tahun 2005-2009

TAHUN PRODUKSI

TUNA (TON)

PRODUKSI CAKALANG

(TON)

PRODUKSI TONGKOL

(TON)

PRODUKSI TOTAL

SEBELUM REVITALISASI

(TON)

PRODUKSI TOTAL SETELAH

REVITALISASI (TON)

2005 185.654 258.180 281.733 725.567 -

2006 192.976 270.233 291.261 754.470 863.305

2007 200.298 274.445 297.197 771.940 885.111

2008 207.620 277.760 306.222 791.602 907.393

2009 214.942 283.979 313.255 812.176 930.916

Rata-rata 200.298 272.919 297.934 771.151 896.681

Pertumbuhan (%) 3.60 2.34 2.62 2.78 2.48

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, data hasil olahan.

9.3.2. Komoditas Udang

� Udang dipilih menjadi komoditas unggulan untuk program revitalisasi karena posisi

Indonesia saat ini merupakan salah satu di antara sedikit negara yang memiliki potensi

produksi yang sangat besar.

� Rata-rata produksi udang Indonesia selama periode tahun 1999-2003 mencapai 400.551

ton. Tahun 2002, produksi udang mengalami penurunan mencapai 400.672 ton, hal ini

disebabkan oleh turunnya produksi udang hasil tangkapan. Produksi udang hasil

tangkapan paling besar dari Propinsi Riau sebesar 42.284 ton pada tahun 1999, dan dari

Propinsi Sumatera Utara sebesar 38.914 ton pada tahun 2003. Sementara itu, untuk

udang hasil budidaya rata-rata produksi selama 5 tahun (1999-2003) mencapai 157.213

ton. Produksi udang hasil budidaya paling besar dari Propinsi Jawa Timur sebesar 21.279

ton pada tahun 1999, dan dari Propinsi Jawa Barat sebesar 35.185 ton pada tahun 2003.

Berbeda halnya dengan produksi udang hasil tangkapan, ternyata dari hasil budidaya

mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode tersebut.

Tabel 34. Proyeksi Luas Areal dan Produksi Udang Budidaya dan Penangkapan

PRODUKSI UDANG (TON)

TAHUN AREAL

TAMBAK (HA)

BUDIDAYA PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN TOTAL

TOTAL SETELAH

REVITALISASI

2005 468.993 192.189 33.305 266.751 492.245 -

2006 480.987 201.148 34.709 274.392 510.249 577.501

2007 492.981 209.557 36.113 281.902 527.572 586.415

2008 504.976 217.580 37.518 289.339 544.437 595.257

2009 516.970 225.330 38.922 296.738 560.990 604.060

Rata-rata 492.981 209.161 36.113 281.824 527.099 590.808

Pertumbuhan (%)

2,41 3,90 3,82 2,63 3,22 1,49

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, data hasil olahan.

� Konsumsi udang diproyeksikan meningkat dari 338.288 ton pada tahun 2006 menjadi

366.273 ton pada tahun 2009. Sementara itu, ekspor udang pada tahun 2006

diproyeksikan sebesar 130.807 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 143.129

ton. Permintaan total udang pada tahun 2006 sebesar 469.095 ton, pada tahun 2009

meningkat menjadi 509.402 ton. Total permintaan udang setiap tahunnya masih berada

dibawah tingkat produksinya; sebagai contoh, pada tahun 2009 diperkirakan terjadi

kelebihan produksi sebesar 51.588 ton. Kecenderungan tersebut mengindikasikan

adanya peluang untuk meningkatkan ekspor sebesar rata-rata 36% per tahun.

� Untuk komoditas udang, harga domestik ditentukan oleh harga ekspor dan jumlah

produksi udang, yaitu apabila harga ekspor meningkat maka peningkatan harga tersebut

akan ditransmisikan secara langsung ke harga domestik. Hal ini ditunjukkan oleh

kecenderungan yang memperlihatkan adanya hubungan antar peningkatan harga ekspor

dan volume ekspor udang Indonesia yang cenderung meningkat. Kecenderungan yang

ada juga menunjukkan bahwa peningkatan ekspor tersebut mengakibatkan supply di

dalam negeri menurun, dan mengakibatkan adanya kenaikan harga domestik. Hal yang

sama terjadi; apabila produksi udang meningkat maka harga domestik cenderung

menurun.

9.3.3. Komoditas Rumput Laut

� Rumput laut dipilih sebagai komoditas unggulan revitalisasi karena memiliki daya serap

tenaga kerja yang tinggi, teknologi budidaya yang mudah, masa tanam yang pendek

(hanya 45 hari) atau quick yield dan biaya per unit produksi sangat murah.

� Indonesia memiliki 5 propinsi utama penghasil rumput laut, yaitu Propinsi Bali, NTB, NTT,

Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Dalam periode 7 tahun (1997 – 2003), produksi

rata-rata tahunan tertinggi dicapai oleh Propinsi Bali (91.656 ton, basah), kemudian

Sulawesi Selatan (26.025 ton, basah) dan NTB (19,190 ton, basah). Selama kurun waktu

tersebut, produksi rumput laut di kelima propinsi utama cenderung meningkat dengan

kenaikan rata-rata 31 s.d 1,6%. Besarnya kisaran kenaikan rata-rata tersebut

menunjukkan bahwa produksi rumput laut di daerah tersebut cenderung tidak stabil.

Hampir semua propinsi utama penghasil rumput laut tersebut mengalami gejolak

produksi. Ketidakstabilan produksi rumput laut ini disebabkan oleh dominannya faktor

alam pada budidaya yang bersifat water-based aquaculture ini dimana seharusnya

menuntut campur tangan manusia yang relatif tinggi.

� Produksi rumput laut Indonesia pada Tahun 2001 mencapai 255.233 ton (basah), dan

cenderung meningkat selama 4 tahun sejak tahun 1998. Tahun 1998 produksi rumput

laut di kelima propinsi utama tersebut, dan propinsi lainnya, umumnya anjlok hingga ke

tingkat yang paling rendah. Pada tahun 2002 produksi rumput laut turun 223.080 ton

dan meningkat kembali pada tahun 2003 sebesar 233.156 ton.

� Konsumsi rumput laut pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 447.731 ton, dan pada

tahun 2009 menjadi 608.747 ton. Sementara itu, ekspor rumput laut pada tahun 2006

diproyeksikan sebesar 55.974 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 71.539 ton.

Dengan demikian, permintaan total rumput laut pada tahun 2006 sebesar 503.705 ton,

dan pada tahun 2009 diproyeksikan meningkat menjadi sebesar 680.286 ton.

� Untuk komoditas rumput laut kondisi di lapangan menunjukkan bahwa harga rumput

laut di tingkat petani banyak ditentukan oleh standar mutu yang ditentukan oleh

kalangan industri (pabrikan). Kondisi lapangan juga menunjukkan bahwa harga rumput

laut di tingkat petani sangat rendah, terutama karena panjangnya mata rantai. Selain itu,

rendahnya harga pada komoditas rumput laut disebabkan adanya praktek yang

mengarah pada pasar oligopoli, sehingga harga tersebut banyak dipengaruhi oleh

pembeli dari kalangan industri dengan tingkat harga yang rendah.

Tabel 35. Proyeksi Produksi Rumput Laut, Tahun 2005-2009

Tahun Luas Areal

Rumput Laut (Ha)

Luas Areal Revitalisasi

Rumput Laut (Ha)

Produksi Rumput Laut

Sebelum Revitalisasi

(Ton)

Produksi Rumput Laut

Setelah Revitalisasi

(Ton)

2005 29.923 - 448.845 -

2006 33.580 4.800 503.706 727.706

2007 37.504 4.800 562.566 831.306

2008 41.428 7.200 621.426 943.826

2009 45.352 7.200 680.286 1.060.286

Rata-rata 37.557 6.000 563.366 890.781

Pertumbuhan (%) 9.87 11.11 9.87 11.79

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, data hasil olahan.

10. Penutup

� Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian. Peran penting sektor

pertanian dalam pembangunan ekonomi terletak dalam beberapa hal seperti penopang

pertumbuhan ekonomi dan penyedia lapangan kerja nasional, penyedia kebutuhan

pangan masyarakat, penghasil devisa, dan pendorong tumbuhnya sektor industri.

� Meskipun memegang peranan yang penting, pembangunan sektor pertanian masih

menghadapi beberapa kendala / permasalahan. Secara umum permasalahan yang

dihadapi oleh sektor pertanian adalah kurang tersedianya pembiayaan jangka panjang

(investasi) dalam rangka penyediaan dan perbaikan infrastruktur, perluasan lahan, dan

penguatan kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor pertanian. Sehubungan

dengan hal tersebut, perlu dikembangkan alternatif pembiayaan jangka panjang sektor

pertanian, antara lain melalui pendirian lembaga pembiayaan khusus sektor pertanian.

� Namun, perbedaan karakteristik subsektor pertanian / komoditi yang ada dalam sektor ini

menyebabkan permasalahan yang dihadapi masing-masing subsektor / komoditi

berbeda-beda. Sehingga permasalahan pada sektor pertanian lebih tepat dilihat pada

masing-masing subsektor / per komoditi.

� Berdasarkan hasil kajian peta sektor pertanian yang dihasilkan oleh Bank Indonesia,

prioritas kebijakan sub sektor tabama dan peternakan sebaiknya diarahkan untuk

mencapai ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan impor, sementara untuk

sub sektor perkebunan dan perikanan prioritas kebijakan diarahkan pada peningkatan

ekspor.

� Hasil kajian peta sektor pertanian yang dihasilkan oleh Bank Indonesia ini diharapkan

dapat menjadi masukan bagi pemerintah, BI, perbankan (kreditor) dan investor dalam

mengambil keputusan untuk mengatasi permasalahan di sektor pertanian.

Lam

pir

an 1

Sekt

or

Pert

ania

n –

Mat

riks

Su

b S

ekto

r Ta

bam

a d

an P

eter

nak

an

AS

PEK

MA

SA

LA

HK

EB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTIN

DA

K L

AN

JU

T

Pengendalia

n k

onvers

i la

han

Penera

pan k

ete

ntu

an k

onvers

i

lahan irigasi

Pem

bukaan lahan s

aw

ah b

aru

Pem

bukaan lahan d

an P

em

buata

n

pera

tura

n r

encana t

ata

ruang d

an

tata

guna lahan

Inte

nsifikasi p

em

anfa

ata

n lahan

saw

ah

Perb

aik

an d

an p

erluasa

n s

ara

na

irig

asi

Revitalis

asi litbang:

mendoro

ng

pera

n s

wast

a d

ala

m b

isnis jasa

litbang d

an input

inovatif

Dere

gula

si litbang &

indust

ri

perb

enih

an

Pro

gra

m inovasi v

arieta

s unggul

baru

dip

erc

epat

Alo

kasi d

ana p

enelit

ian p

erb

aik

an

varieta

s padi dip

erb

esa

r

Perb

aik

an d

an p

erluasa

n s

ara

na

irig

asi

Perb

aik

an d

an p

em

bangunan

sara

na jala

n d

an a

ngkuta

n

pedesa

an

PRO

DUKSI

Penuru

nan p

ert

um

buhan p

roduks

i:

- p

enggunaan lahan p

ert

ania

n k

e

non p

ert

ania

n

- k

ete

rsedia

an b

ibit u

nggul

- s

ara

na p

roduks

i (p

upuk,

irigasi

,

dll)

Masa

lah infr

ast

rukt

ur

(sepert

i

sara

na irigasi

, ja

lan, pela

buhan,

dll)

.

AS

PEK

MA

SA

LA

HK

EB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTIN

DA

K L

AN

JU

T

Sis

tem

tra

nsport

asi dan

dis

trib

usi yang e

fisie

nPerb

aik

an d

an p

em

bangunan

sara

na jala

n d

an a

ngkutan

pedesaan

Kaji

ula

ng r

etribusi dan p

ungutan

terk

ait p

em

asa

ran h

asil pert

ania

n

Pengem

asa

n d

an p

erg

udangan

Belu

m a

da k

ebijakan p

em

erintah

yang k

husus

menangani m

asala

h

pengem

asa

n d

an p

erg

udangan

kom

oditi pert

ania

n

Kebijakan p

em

erinta

h t

erlalu

fokus

pada k

ebija

kan h

arg

a d

asa

r gabah

dan s

ubsidi pupuk (

khusus

untuk

subse

kto

r ta

bam

a)

Kebijakan r

evitalis

asi indust

ri

perb

era

san t

erp

adu

Perlu k

ajian u

lang k

ebija

kan s

ubsid

i

pupuk d

an H

DG

Info

rmal price m

aker

(te

rutam

a

untuk k

om

oditi su

bsekto

r tabam

a)

Penin

gkatan e

fisie

nsi pem

asara

n

dan s

tabilitasi harg

a g

abah

Perb

aik

an d

an p

em

bangunan

sara

na jala

n d

an a

ngkutan

pedesaan

Kaji

ula

ng r

etribusi dan p

ungutan

terk

ait p

em

asa

ran h

asil pert

ania

n

Bia

ya d

istr

ibusi yang b

esar

(teru

tam

a d

ari p

rodusen k

e

konsum

en)

DIS

TRIB

USI /

PEM

ASARAN

HARGA

Pangsa h

arg

a g

abah y

ang d

iterim

a

peta

ni m

inim

um

dan tid

ak s

tabil

AS

PEK

MA

SA

LA

HK

EB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTIN

DA

K L

AN

JUT

Invest

asi y

ang m

inim

(te

ruta

ma

untu

k p

engem

bangan infr

atr

uktu

r

dan p

engem

bangan indust

ri p

asc

a

panen)

Melib

atk

an s

ekto

r sw

ast

a d

ala

m

sekto

r pert

ania

n

Rendahnya p

enyera

pan m

odal kerja

(teru

tam

a p

ada s

ubse

kto

r ta

bam

a)

Kre

dit K

eta

hanan P

angan

Dere

gula

si p

rogra

m k

redit s

ekto

r

pert

ania

n

Berk

aitan d

engan p

erm

odala

n,

dala

m r

angka

menin

gka

tkan

kapasi

tas

pro

duks

i su

b s

ekt

or

tabam

a d

an p

ete

rnaka

n teru

tam

a

dala

m jangka

panja

ng, ke

butu

han

pendanaan tid

ak

terb

ata

s pada

kebutu

han p

erm

odala

n n

am

un

juga k

ebutu

han inve

stasi

.

Perlu d

ikem

bangka

n s

iste

m

perk

reditan p

ert

ania

n y

ang

dik

elo

la o

leh s

iste

m p

erb

anka

n

pert

ania

n y

ang k

uat se

hin

gga

aks

es

peta

ni te

rhadap

pem

bia

yaan p

erb

anka

n d

an

perm

odala

n m

enin

gka

t se

hin

gga

dapat m

enin

gka

tkan p

roduks

i.

Perlu juga d

ipik

irka

n a

ltern

atif

pendiria

n lem

baga p

em

bia

yaan

khusu

s untu

k se

ktor

pert

ania

n,

term

asu

k pem

bia

yaan k

epada

sub s

ekt

or

tabam

a d

an

pete

rnaka

n.

PEM

BIA

YAAN

AS

PE

KM

AS

ALA

HK

EB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MT

IN

DA

K L

AN

JU

T

TEKN

OLO

GI

Tin

gkat

adopsi

teknolo

gi yang r

endah d

i

tingkat

peta

ni

Mem

perk

uat

penelit

ian d

an

pengem

bangan (

R &

D)

Pro

gra

m p

enyulu

han d

an

pendam

pin

gan

Belu

m a

da a

rah/p

riorita

s kebijakan

sekto

r pert

ania

n y

ang jela

s

Perlu v

isi dan m

isi yang jela

s

mengenai pengem

bangan s

ekto

r

pert

ania

n

Tid

ak a

da k

ebijakan y

ang t

erp

adu a

nta

r

depart

em

en (

fragm

enta

si k

ebijakan)

Koord

inasi

kebijakan

KEBIJ

AKAN

PEM

ERIN

TAH

Sekt

or

Pert

ania

n –

Mat

riks

Su

b S

ekto

r Pe

rkeb

un

an

AS

PEK

MA

SA

LA

HK

EB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTIN

DA

K L

AN

JU

T

Adanya s

ert

ifik

asi bib

it u

nggul

Penyedia

an b

ibit u

nggul berm

utu

dengan h

arg

a y

ang t

erjangkau

Penguatan r

iset s

ektor

perk

ebunan

Penin

gkatan t

eknolo

gi pengola

han

Pers

ain

gan

Penin

gkatan a

kses d

an p

erluasan

pasar

ekspor

(antara

lain

mela

lui

mark

et intelligence d

an

penyebara

n info

rmasi pasar)

Pem

bentukan p

eru

sahaan

gabungan a

ntara

BU

MN

dan

sw

asta u

ntuk b

ers

ain

g

menghadapi peru

sahaan

multin

asio

nal

Perlu d

ikem

bangkan industr

i hilir

perk

ebunan

PRO

DUKSI

Rendahnya p

roduktivitas p

ada

industr

i hulu

, te

ruta

ma k

arena:

kom

posis

i ta

nam

an y

ang m

asih

did

om

inasi ta

nam

an a

sal biji/bib

it

tidak u

nggul/bib

it p

als

u d

an

beru

mur

tua, kete

rbata

san s

ara

n

pro

duksi dan p

upuk y

ang m

asih

terb

ata

s

Laju

pert

um

buhan p

roduksi yang

lebih

rendah d

ibandin

gkan d

engan

laju

pert

um

buhan k

onsum

si,

teru

tam

a u

ntu

k k

om

oditi CPO

,

kare

t dan k

akao

ham

bata

n p

erdagangan (

tarif d

an

non tarif)

, te

ruta

ma y

ang

ditera

pkan n

egara

pengim

por

min

yak s

aw

it.

DIS

TRIB

USI / P

EM

ASARAN

Pengem

bangan lem

baga

penunja

ng e

kspor

AS

PEK

MA

SA

LA

HK

EB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTIN

DA

K L

AN

JU

T

HARGA

Harg

a p

roduk p

rim

er

mengala

mi

fluktu

asi y

ang c

ukup t

aja

m d

i pasa

r

inte

rnasional

Masih

mengik

uti h

arg

a p

asar

inte

rnasio

nal

Kerj

asam

a d

engan n

egara

pro

dusen u

tam

a u

ntu

k m

enja

ga

kesta

bilan h

arg

a p

roduk.

Belu

m m

em

adain

ya f

asilit

as/

inse

ntif

bagi pela

ku u

saha u

ntu

k

menanam

kan m

odaln

ya d

i in

dust

ri

hilir

perk

ebunan

Pem

berian inse

ntif

invest

asi,

sepert

i keringanan b

unga d

an

paja

k

Mem

erlukan invest

asi jangka p

anja

ng

dala

m jum

lah y

ang b

esa

r dan

mem

pert

imbangkan g

race p

eriod.

Mengem

bangkan a

ltern

atif

pem

bia

yaan s

ekto

r perk

ebunan.

TEKNO

LO

GI

Teknolo

gi pengola

han b

elu

m

mem

berikan inse

ntif

bagi pela

ku

untu

k m

enin

gkatk

an m

utu

pro

duk.

Kebijakan m

utu

(SNI)

dari

pem

erinta

h.

Perlu a

danya k

oord

inasi a

nta

r

lem

baga d

i se

kto

r pert

ania

n d

an

indust

ri b

erk

aitan d

engan m

utu

pro

duk.

Konflik

kepentingan p

em

erinta

h

pusa

t dan d

aera

h

Kura

ngnya k

epast

ian h

ukum

dan

jam

inan k

eam

anan y

ang b

erk

aitan

dengan p

em

anfa

ata

n lahan,

jam

inan

keam

anan d

an k

onflik

sosial dengan

masy

ara

kat

lokal

Peneta

pan U

U N

o.

18 t

enta

ng

Perk

ebunan s

ebagai payung

uta

ma p

engam

bangan

perk

ebunan

Inkonsist

ensi p

enera

pan p

ayung

kebija

kan/p

era

tura

n

Pem

erinta

h p

erlu m

enerp

akan

kebijakan s

ecara

konsis

ten

KEBIJ

AKAN P

EM

ERIN

TAH

Revitalisasi Pert

ania

n, UU N

o. 18

tahun 2

004 tenta

ng

perk

ebunan,d

ll

PEM

BIA

YAAN

Sekt

or

Pert

ania

n –

Mat

riks

Su

b S

ekto

r Pe

rika

nan

ASP

EKM

ASA

LAH

KEB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTI

ND

AK

LA

NJU

T

Min

imny

a in

frast

rukt

ur :

- Pe

labu

han

- Iri

gasi

Per

ikan

an-

Stas

iun

pen

gisi

an

baha

n ba

kar

sola

r

Perlun

ya in

vest

asi un

tuk

mem

bia

yai p

emba

ngu

nan

infr

ast

rukt

ur.

Peng

emba

nga

n in

frast

rukt

ur t

erse

but

mem

erlu

kan

pend

anaa

n y

ang

cu

kup b

esar

sehi

ngg

a di

perlu

kan

adany

a du

kung

an le

mba

ga

keuan

gan,

yang

sec

ara

efe

ktif

dapat

mem

bantu

real

isas

i pe

mba

nguna

n in

fras

truk

tur

dim

aksu

d

Ove

rfis

hing

di b

ebe

rapa

dae

rah

pen

angka

pan,

teru

tam

a un

tuk

kom

oditi T

una

Penga

lihan

dae

rah

pen

angka

pan

yang

masi

h u

nder

fis

hin

g

Pen

urun

an p

rodu

ksi u

dang

ta

ngk

apan

Keb

ijaka

n pe

mer

inta

h ya

ng

men

duk

ung

usah

a pe

rtam

baka

n ud

ang

bai

k ol

eh

raky

at m

aupu

n sw

asta

.

Penin

gka

tan

prod

uksi

bud

iday

a ud

ang

.

Ket

idak

stabi

lan

prod

uks

i ter

uta

ma

unt

uk k

omodi

tas

rum

put

laut

kar

ena

dom

inann

ya f

akto

r al

am

dan

kur

angn

ya k

emam

puan

pet

ani

dal

am m

eng

elol

a k

egia

tan

pro

duks

i

Penyu

luhan

pet

ani m

engen

ai

penge

lola

an

kegi

atan

pro

duk

si

rum

put

laut

PRO

DU

KSI

ASP

EKM

ASA

LAH

KEB

IJA

KA

N /

PRO

GRA

MTI

ND

AK

LA

NJU

T

Lem

ahny

a sis

tem

dist

ribus

i pe

mas

aran

inte

rnas

iona

l

Perlu

jarin

gan

inte

rnas

iona

l yan

g m

empu

men

jem

bata

ni in

dust

ri pe

ngol

ahan

sub

sekt

or p

erik

anan

de

ngan

pas

ar d

unia

.

Sara

na d

an in

frast

rukt

ur

trans

port

asi m

asih

bur

uk s

ehin

gga

men

yeba

bkan

mah

alny

a bi

aya

trans

port

asi.

Perb

aika

n sa

rana

tran

spor

tasi.

Ham

bata

n ta

riff

dan

non

tarif

f m

enyu

litka

n pe

netra

si pa

sar

Indo

nesia

Perlu

dila

kuka

n up

aya

peni

ngka

tan

mut

u ha

sil s

ubse

ktor

pe

rikan

an s

ehin

gga

prod

uk

perik

anan

dap

at m

emili

ki m

utu

yang

bai

k da

n se

raga

m, t

erse

dia

seca

ra te

ratu

r dan

sin

ambu

ng

serta

dap

at d

isedi

akan

sec

ara

mas

al.

Pang

sa p

asar

Indo

nesia

mas

ih

rend

ah

DIS

TRIB

USI

/ PE

MA

SARA

N

ASP

EKM

ASA

LAH

KEB

IJA

KA

N /

PR

OG

RA

MTI

ND

AK

LA

NJU

T

HA

RGA

Mes

kipu

n In

done

sia

mer

upak

an

prod

usen

bes

ar,

mas

alah

dom

estik

m

enye

babk

an h

arga

dite

ntuk

an

oleh

mitr

a in

tern

asio

naln

ya

PEM

BIA

YA

AN

Fasi

litas

per

mod

alan

unt

uk s

ekto

r pe

rikan

an m

asih

min

im a

tau

mas

ih

kura

ng m

embu

ka a

kses

ter

hada

p us

aha-

usah

a pe

rikan

an

Peng

emba

ngan

mek

anis

me

pend

anaa

n se

cara

man

diri

(Lem

baga

Mitr

a M

ina

- M

ina

Ven

tura

- A

sura

nsi P

etan

i Ika

n da

n N

elay

an)

Ada

nya

skim

pem

biay

aan

dari

lem

baga

keu

anga

n ya

ng d

apat

m

empe

rcep

at p

emba

ngun

an

perik

anan

, kh

usus

nya

yang

di

arah

kan

pada

pem

bang

unan

in

fras

truk

tur

pend

ukun

gnya

TEK

NO

LOG

ITe

knol

ogi b

udid

aya

(mis

al v

anam

e)

men

ganc

am e

ksis

tens

i tek

nolo

gi

budi

daya

loka

l

DK

P te

lah

mem

iliki

lem

baga

ris

et

perik

anan

yan

g ka

pasi

tasn

ya d

apat

di

anda

lkan

Perlu

nya

peng

uata

n le

mba

ga

riset

di s

ubse

ktor

per

ikan

an,

term

asuk

ris

et m

enge

nai

tekn

olog

i bud

iday

a

KEB

IJAK

AN

PEM

ERIN

TAH

Ada

nya

kebi

jaka

n re

vita

lisas

i, ya

ng

di d

alam

nya

mem

berik

an p

riorit

as

besa

r te

rhad

ap t

iga

kom

odita

s (T

una,

Uda

ng d

an B

udid

aya

Rum

put

Laut

)

Lam

pir

an 2

Pote

nsi

Pen

gem

ban

gan

Ko

mo

dit

as U

ng

gu

lan

Su

bse

kto

r Ta

bam

a d

an P

eter

nak

an

PRO

PIN

SIPa

di

Jag

un

gJe

ruk

Pisa

ng

P.Pe

ng

gem

bal

aan

Bal

i12

9,01

316

,220

16,2

209,

262

Ban

gka

Bel

itu

ng

105,

663

Ban

ten

214,

159

27,6

7727

,677

Ben

gku

lu16

3,84

412

3,79

012

3,79

0 D

I Yo

gya

kart

a10

1,40

28,

283

8,28

3 D

KI J

akar

ta11

,267

7,40

47,

404

Go

ron

talo

82,0

8176

,585

76,5

8592

,799

Jab

ar1,

186,

601

361,

007

361,

007

Jam

bi

428,

716

238,

410

16,8

2823

8,41

0 J

aten

g1,

503,

083

157,

245

157,

245

108,

123

Jat

im1,

567,

708

522,

276

522,

276

438,

082

Kal

bar

493,

373

2,36

9,75

51,

762,

105

2,36

9,75

5 K

alse

l89

3,95

087

2,05

713

9,06

387

2,05

7 K

alte

ng

1,09

6,97

51,

570,

823

2,38

2,72

11,

570,

823

Kal

tim

447,

004

5,35

8,26

252

0,51

55,

358,

262

Lam

pu

ng

628,

329

808,

761

808,

761

Mal

uku

296,

165

140,

695

140,

695

62,9

12 M

alu

ku U

tara

267,

405

114,

945

114,

945

143,

941

NA

D58

0,47

910

2,46

410

2,46

415

1,36

9 N

TB15

3,86

632

6,78

932

6,78

933

1,18

9 N

TT19

9,17

878

2,62

120

3,43

178

2,62

198

5,65

4 P

apu

a9,

550,

816

4,17

6,73

34,

680,

123

28,2

68 R

iau

447,

533

273,

136

273,

136

Su

lsel

1,16

5,77

934

2,99

713

3,93

334

2,99

719

9,30

1 S

ult

eng

539,

499

118,

012

118,

012

73,4

65 S

ult

ra37

1,12

847

9,26

447

9,26

448

1,14

4 S

ulu

t12

1,33

716

,859

16,8

59 S

um

bar

483,

305

151,

728

182,

969

151,

728

Su

mse

l1,

386,

946

1,57

3,25

726

2,79

91,

573,

257

Su

mu

t98

4,37

91,

102,

135

47,0

231,

102,

135

126,

022

JU

MLA

H25

,600

,983

22,2

20,1

905,

651,

387

22,7

23,5

803,

231,

531

Lam

pir

an 3

Lim

a (5

) B

esar

Dae

rah

Pro

du

sen

Ko

mo

dit

as U

ng

gu

lan

Su

bse

kto

r Pe

rkeb

un

an

Kel

apa

Saw

it

2004

Pr

op

insi

Pr

od

uks

i (to

n)

Luas

Are

al (

Ha)

Su

mat

era

Uta

ra

3.1

92.8

30

954

.854

Ri

au

3.1

89.0

87

1

.370

.284

Ja

mbi

790

.781

4

57.4

52

Sum

ater

a Se

lata

n

975

.686

5

15.3

72

Kal

iman

tan

Bara

t

830

.351

4

55.8

13

Kak

ao

2004

Pr

op

insi

Pr

od

uks

i (to

n)

Luas

Are

al (

Ha)

Su

mat

ra U

tara

51.

093

6

4.29

8

Jaw

a Ti

mur

15.

622

3

5.97

5

Sula

wes

i Ten

gah

13

6.77

5

184

.552

Su

law

esi S

elat

an

18

4.47

0

217

.400

Su

law

esi T

engg

ara

11

0.51

7

175

.349

Sum

ber

: Sta

tistik

Ditj

enbu

n 20

05–2

006

Kar

et

2004

Pr

op

insi

Pr

od

uks

i (to

n)

Luas

Are

al (

Ha)

Su

mat

era

Uta

ra

402.

977

456.

782

Sum

ater

a se

lata

n 37

9.31

6 63

0.79

5 Ri

au

261.

507

426.

294

Jam

bi

210.

628

418.

302

Kal

iman

tan

Bara

t 20

0.55

2 36

7.26

7

Teb

u

2004

Pr

op

insi

Pr

od

uks

i (to

n)

Luas

Are

al (

Ha)

Ja

wa

Tim

ur

901.

179

150.

111

Lam

pung

71

0.26

0 96

.260

Ja

wa

Teng

ah

167.

083

37.1

13

Jaw

a Ba

rat

114.

222

21.1

41

Sum

ater

a Se

lata

n 56

.170

11

.657

Sum

ber

: Sta

tistik

Ditj

enbu

n 20

05–2

006

Lam

pir

an 4

Sen

tra

Pro

du

ksi S

ub

sekt

or

Peri

kan

an

Tun

a. C

akal

ang

. To

ng

kol

Pro

du

ksi r

ata-

rata

(to

n/t

ahu

n)

Lo

kasi

(W

ilaya

h P

eng

elo

laan

Per

ikan

an)

Tu

na

Cak

alan

g

Ton

gko

l La

ut C

ina

Sela

tan

64

3.

419

29.2

34

Laut

Jaw

a

0 0

37.0

05

Sela

t M

akas

sar

& la

ut F

lore

s

18.6

91

34.0

04

37.7

14

Laut

Ban

da

15.6

48

27.9

43

4.15

9 La

ut S

eram

. Lau

t H

alm

aher

a da

n Te

luk

Tom

ini

44.4

27

77.1

22

30.2

29

Laut

Sul

awes

i Sam

uder

a Pa

sifik

17

.482

29

.280

8.

632

Laut

Ara

fura

2.

179

6.02

7 2.

606

Sam

uder

a H

indi

a

55.1

15

44.4

98

98.8

72

Ud

ang

W

ilaya

h

Rata

-Rat

a 19

99-2

003

Peri

kan

an T

ang

kap

Su

mat

era

Uta

ra

34.

808

Ri

au

41.

769

Ja

mbi

1

8.06

9

Jaw

a Ti

mur

1

0.58

4

Kal

iman

tan

Bara

t

16.

595

K

alim

anta

n Se

lata

n 32

.005

Kal

iman

tan

Tim

ur

15.

223

Pa

pua

1

5.35

1

Lain

nya

5

8.93

5

Tota

l 24

3.33

8 Pe

rika

nan

Bu

did

aya

Sum

ater

a U

tara

1

9.81

7

Sum

ater

a Se

lata

n

10.

249

La

mpu

ng

21.

802

Ja

wa

Bara

t

19.

651

Ja

wa

Teng

ah

11.

391

Ja

wa

Tim

ur

19

.180

K

alim

anta

n Ti

mur

9

.698

Su

law

esi S

elat

an

19.

301

La

inny

a

26.

124

To

tal

157

.213

TO

TAL

4

00.5

51

Sum

ber

: Dire

ktor

at J

ende

ral P

erik

anan

Tan

gkap

(200

1 –

2005

); D

irekt

orat

Jen

dera

l Per

ikan

an B

udid

aya

(200

1 –

2005

)

Ru

mp

ut

Lau

t

Po

ten

si P

rod

uks

i

Ind

ust

ri

Loka

si

E. C

ott

on

ii

Loka

si

Pen

go

lah

an

(t

on

/tah

un

)

(t

on

/tah

un

) N

AD

10

4.10

0 N

usa

Teng

gara

Tim

ur

1.00

0 Su

mse

l 2

.000

Su

law

esi U

tara

10

.500

D

KI

1.8

00

Sula

wes

i Ten

gah

10

6.30

0 Ja

bar

dan

Bant

en

2.40

0 Su

law

esi S

elat

an

26.5

00

Jaw

a Te

ngah

5

.200

Su

law

esi T

engg

ara

83.0

00

Jaw

a Ti

mur

29

.500

M

aluk

u

206.

600

Bali

18.

100

Papu

a

501.

900

Nus

a Te

ngga

ra B

arat

12

.000

Su

mbe

r: P

usat

Ris

et P

engo

laha

n Pr

oduk

dan

Sos

ial E

kono

mi K

elau

tan

dan

Perik

anan

, 200

4