KB sektor Kesehatan

41
1 Peranan Sektor Kesehatan dalam Pembangunan Keluarga Berencana dalam rangka Kajian lanjut hasil Background Study untuk penyusunan RPJMN 2015-2019

Transcript of KB sektor Kesehatan

1

Peranan Sektor Kesehatan dalam Pembangunan Keluarga Berencana

dalam rangka

Kajian lanjut hasil Background Study untuk penyusunan RPJMN 2015-2019

2

Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................................................ 2

Daftar Singkatan ............................................................................................................................................ 3

Bab 1. Pendahuluan ...................................................................................................................................... 5

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................... 5

1.2. Tujuan ........................................................................................................................................... 7

1.3. Metodologi .................................................................................................................................... 7

Bab 2. Analisis situasi .................................................................................................................................... 8

2.1. Sejarah perkembangan Keluarga Berencana ..................................................................................... 8

2.2. Kependudukan ................................................................................................................................. 10

2.3. Derajad kesehatan ibu ..................................................................................................................... 13

2.4. Situasi program KB di Sektor Kesehatan .......................................................................................... 20

2.4.1. Pelayanan KB di tingkat Masyarakat ......................................................................................... 20

2.4.2. Pelayanan KB di Puskesmas ...................................................................................................... 20

2.4.3. Pelayanan KB di Rumah Sakit .................................................................................................... 21

Bab 3. Pembangunan KB oleh Sektor Kesehatan ........................................................................................ 23

3.1. Program KB dalam upaya peningkatan kesehatan ibu .................................................................... 23

3.2. Peran institusi terkait dalam pelayanan kesehatan Ibu ................................................................... 23

Bab 4. Teknologi Program KB (dari sisi demand dan supply) ...................................................................... 30

4.1. Kualitas pelayanan KB ...................................................................................................................... 30

4.2. Pengembangan sumber daya manusia ............................................................................................ 30

4.3. Keamanan ber-KB............................................................................................................................. 31

4.4. Manajemen pelayanan KB ............................................................................................................... 32

4.5. Behavior change communication (BCC)/promotion counseling...................................................... 32

Bab 5. Isu Strategis, Permasalahan dan Tantangan .................................................................................... 34

Bab 6. KB dan BPJS ...................................................................................................................................... 36

Bab 7. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan KB 2015-2019 ................................................................. 38

Rujukan ....................................................................................................................................................... 41

3

Daftar Singkatan

AKI : Angka Kematian Ibu

ANC : Antenatal Care

ASFR : Age Specific Fertility Rate

BBLR : Berat Badan Lahir Rendah

BCC : Behavior Change Communication

BKIA : Bagian Kesehatan Ibu dan Anak

BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPS : Badan Pusat Statistik

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

CPR : Contraceptive Prevalence Rate

GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara

IMT : Indeks Massa Tubuh

IPM : Indeks Pembangunan Manusia

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Atas

IUD : Intrauterine Device

JKN : Jaminan Kesehatan Nasional

KB : Keluarga Berencana

KEK : Kurang Energi Kronis

KEMENKES : Kementerian Kesehatan

KH : Kelahiran Hidup

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

LILA : Lingkar Lengan Atas

LKBN : Lembaga Keluarga Berencana Nasional

MDG : Millenium Developemnt Goals

MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

MOP : Metode Opersai Pria

MOW : Metode Operasi Wanita

NTB : Nusa Tenggara Barat

NTT : Nusa Tenggara Timur

P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi

PELITA : Pembangunan Lima Tahun

PKBI : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

PKBRS : Pelayanan Keluarga Berencana di Rumah Sakit

PKRT : Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu

PLKB : Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana

PTT : Pegawai Tidak Tetap

PUS : Pasanagan Usia Subur

PUSKESMAS : Pusat Kesehatan Masyarakat

RI : Republik Indonesia

4

RIFASKES Riset Fasilitas Kesehatan

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

RPJMN : Rencana PembangunanJangka Menengah Nasional

RS : Rumah Sakit

RSAB : Rumah Sakit Anak dan Bersalin

SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

SDM : Sumber Daya Manusia

SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional

SKN : Sistem Kesehatan Nasional

SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional

TB : Tuberculosis

TFR : Total Fertility Rate

UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat

UNDP : United Nations Development Program

UU : Undang Undang

WHO : World Health Organization

WUS : Wanita Usia Subur

5

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Secara nasional, Indonesia mengalami perkembangan ekonomi yang baik pada satu dekade

terakhir. Pendapatan per kapita meningkat dari sekitar Rp 6 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar

Rp.32 juta rupiah pada tahun 2013, yang menjadikan Indonesia masuk dalam golongan negara

berpendapatan menengah serta menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia

Tenggara. Perkembangan ekonomi tersebut diikuti dengan peningkatan proporsi penduduk kelas

menengah. Proporsi penduduk dengan tingkat pengeluaran antara dua sampai 20 dolar Amerika

per hari dalam sepuluh tahun terakhir meningkat dari sekitar 37 persen menjadi 56,7 persen pada

2013. Proporsi penduduk miskin juga terus menurun dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi

11,25 pada Maret tahun 2014 (BPS, 2014). Sejalan dengan perkembangan tersebut, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga meningkat dari 0,540 pada tahun 2000 menjadi

0,684 pada tahun 2013 (UNDP, 2014).

Perkembangan ekonomi dan kesejahteraan tersebut, akan lebih baik jika issue kependudukan

dan keluarga berencana juga menunjang, artinya pertambahan penduduk yang disebabkan oleh

tidak berubahnya pengguna kontrasepsi satu dekade terakhir, tetap akan menjadi beban negara.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 juga memperlihatkan proporsi pengguna alat

kontrasepsi masih sekitar 60-an persen, bervariasi dari yang tidak ada yang ber-KB cara modern

(0.0%) di kabupaten Nduga (Provinsi Papua) sampai tertinggi (82,5%) di kabupaten Ogan

Komering Ilir Timur (Provinsi Sumatera Selatan).

Melihat variasi yang luar biasa dari pengguna kontrasepsi modern tersebut, sangat penting bagi

Indonesia untuk segera mengambil langkah kebijakan strategis agar pertumbuhan penduduk

dapat dikendalikan. Kita ketahui, berdasarkan hasil sensus 2010, penduduk Indonesia berjumlah

238.518.800 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun. Jumlah tersebut

diperkirakan akan mencapai 255,46 juta jiwa tahun 2015, dan akan menjadi 305,65 juta jiwa pada

tahun 2035 (BPS, 2013).

Analisis perlu dilakukan untuk menilai setiap kabupaten/kota di Indonesia untuk masa yang akan

datang menghadapi variasi kependudukan yang akan berdampak pada semua masalah

kesehatan. Diketahui bahwa jumlah penduduk jika menggunakan estimasi tahun 2013 yaitu

sejumlah 248.484.191 yang berkisar dari 6637 jiwa (kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat)

sampai dengan 5.192.754 jiwa (kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat).

Tabel berikut memperlihatkan jumlah penduduk untuk kabupaten/kota pada 6 region: Sumatera,

Jawa-bali, NTB-NTT, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku–Papua dengan kisaran <200.000;

200.000-500.000, 500.000-1.000.000, dan >1.000.000. Jumlah kabupaten/kota masih

menggunakan posisi tahun 2013, yaitu sejumlah 497 dari 33 provinsi1, ketika Riskesdas 2013

dilakukan.

1 Jumlah Provinsi di Indonesia menjadi 34, setelah Kalimantan Timur terbagi dua pada tahun 2012, menjadi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara; jumlah kabupaten menjadi 410, dan kota 98.

6

Tabel 1. Jumlah Kabupaten/Kota menurut Jumlah Penduduk dan Region, Indonesia 2013

Region

Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut jumlah penduduk

<200.000 200.000-500.000

500.000 -1.000.000

>1.000.000 Total

Sumatera 58 64 24 5 151

Jawa-Bali 10 15 39 63 127

NTB-NTT 10 18 2 1 31

Kalimantan 23 24 8 0 55

Sulawesi 34 36 2 1 73

Maluku-Papua 50 10 0 0 60

Indonesia 185 167 75 70 497

Sumber: Analisis SP 2010, dan Proyeksi Penduduk 2013.

Seperti pada kondisi tahun 2013, dimana jumlah kabupaten dengan penduduk terbanyak

masih terpusat di Jawa, maka diperkirakan pada tahun 2035, kondisi ini masih akan

sama. Peningkatan jumlah penduduk tentunya akan meningkatkan berbagai masalah

kesehatan.

Kecenderungan peningkatan urbanisasi juga akan mempengaruhi kondisi kesehatan

penduduk. Wilayah perkotaan mulai menjadi pilihan bagi penduduk untuk bermukim,

tercermin dari proporsi penduduk yang tinggal di kota meningkat dari 17,4 persen tahun

1971 menjadi 50,2 persen tahun 2010, dan akan menjadi 67 persen tahun 2035.

Gambar 1. Kecenderungan Urbanisasi 1971-2035.

Sisi positif, dari urbanisasi adalah dapat meningkatkan akses seseorang terhadap pendidikan,

kesehatan, dan lain-lain. Sisi negatif, terkadang urbanisasi tersebut cenderung tidak diikuti

dengan persiapan yang matang sehingga mereka tinggal di daerah kumuh. Daerah kumuh

perkotaan identik dengan masalah ketersediaan air bersih dan sanitasi yang pada akhirnya akan

berpengaruh ke status kesehatan masyarakat.

17.4

67.0

82.6

50.2

33.0

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

1971 1980 1990 2000 2010 2015 2020 2025 2030 2035

%

Kota Desa

7

1.2. Tujuan

Kajian berikut ini bertujuan untuk melengkapi background study yang sebelumnya telah dilakukan

agar terjadi pemahaman yang komprehensif mengenai keluarga berencana di Indonesia, dan

mengidentifikasi strategi dan program untuk mengurangi hambatan terkait peningkatan

penggunaan alat KB dari sektor kesehatan. Secara khusus, penggunaan alat kontrasepsi

merupakan indikator kependudukan dipilih acuan target akhir. Selain mencerminkan kondisi

pertumbuhan penduduk, pengguna alat kontrasepsi juga merupakan indikator strategis untuk

mengukur pembangunan kesehatan di masa depan.

Secara lebih spesifik, kajian ini melakukan:

– Peninjauan sejarah program Keluarga Berencana

– Analisis kondisi kependudukan di Indonesia dan derajat kesehatan ibu;

– Analisis situasi perkembangan program KB di sektor kesehatan;

– Tinjauan teknologi program KB dalam upaya peningkatan kesehatan ibu;

– Peran sektor kesehatn and sektor terkait dalam penyusunan berbagai rencana nasional

yang ditujukan untuk mencapai target,

– Identifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan dan

program kependudukan dilihat dari sektor kesehatan, serta gap dalam kebijakan/program

yang telah dilaksanakan;

– Penyusunan saran mengenai kebijakan dan program, serta langkah-langkah yang penting

untuk program KB, termasuk kerjasama antarlembaga.

Penyusunan kajian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada upaya keluargar

berencana dalam menangani isu kependudukan dan kesehatan. Selain itu, hasil kajian ini juga

diharapkan dapat menjadi bahan bagi intansi terkait dalam menyusun strategi dan memfasilitasi

Pemerintah.

1.3. Metodologi

Penyusunan tinjauan strategis keluarga berencana sektor kesehatan ini dilakukan melalui empat

tahapan analisis, yaitu:

(i) analisis situasi yang dilakukan berdasarkan sejarah KB serta permalasahan yang

dihadapi Indonesia dalam kaitannya dengan kesehatan ibu dan kesehatan reproduksi,

(ii) analisis kebijakan dan program apa saja yang sudah/sedang dilakukan untuk mengatasi

masalah tersebut; bagaimana hasil atau efektivitasnya? Instansi apa saja yang terlibat

dan apa peran dan tanggung jawab mereka? Bagaimana kapasitas mereka dalam

menangani masalah keluarga berencana terkait dengan masalah kependudukan dan

kesehatan ?

(iii) analisis kesenjangan dalam kebijakan dan program untuk memahami kelemahan atau

kekurangn dalam kebijakan atau program yang telah dilakukan selama ini? serta

(iv) penyusunan rekomendasi untuk perbaikan program keluarga berencana sektor

kesehatan 2015-2019.

Adapun mekanisme penulisan dilakukan berdasarkan analisis kecenderungan dari data

Riskesdas, Rifaskes, SDKI, SP 2010, tinjauan pustaka, konsultasi, serta rapat-rapat dengan

pihak terkait.

8

Bab 2. Analisis situasi

2.1. Sejarah perkembangan Keluarga Berencana

Upaya membatasi kelahiran secara tradisional sudah dilakukan oleh masyarakat

Indonesia sejak tahun 1950-an ketika angka kematian bayi dan ibu melahirkan cukup

tinggi. Upaya mengatur kelahiran pada saat itu hanya terjadi dikalangan kelompok

tertentu saja, terutama dikalangan dokter. Pada waktu itu, para ahli kandungan berusaha

mencegah angka kematian dengan membentuk Bagian Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).

Pada tahun 1957, dibentuk Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia – PKBI yang

melakukan pelayanan yang masih sangat terbatas. Baru pada tahun 1967 PKBI diakui

sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Pada tahun yang sama Kongres

Nasional I – PKBI dilakukan, yang salah satu keputusan adalah mengembangkan dan

memperluas usaha keluarga berencana dan bekerjasama dengan instansi pemerintah.

Pada tahun yang sama, Presiden Republik Indonesia ikut menandatangani Deklarasi

Kependudukan Dunia yang berisi tentang pentingnya merencanakan jumlah anak, dan

menjarangkan kelahiran dalam berkeluarga.

Selanjutnya dikeluarkan instruksi Presiden pada tahun 1968 (Inpres No. 6, 1968) kepada

Menteri Kesejahteraan Rakyat yang isinya antara lain: i) membimbing, mengkoordinir

serta mengawasi segala aspirasi yang ada dalam masyarakat dibidang Keluarga

Berencana; ii) membentuk suatu Badan yang dapat menghimpun segala kegiatan di

bidang keluarga berencana yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan Inpres tersebut, Menkesra mengeluarkan Surat Keputusan tentang

pembentukan tim yang akan mengadakan persiapan untuk membentuk Lembaga

Keluarga Berencana. Tanggal 17 Oktober 1968 dibentuk Lembaga Keluarga Berencana

Nasional (LKBN).

Memasuki periode Pelita I (1969-1974) mulai dibentuk Badan Koordinasi Keluarga

Berencana (BKKBN) berdasarkan Keppres No.8. tahun 1970, kemudian disempurnakan

melalui Keppres no. 33 tahun 1972, dimana status BKKBN berubah menjadi lembaga

pemerintah non departemen yang berkedudukan langsung dibawah Presiden. Pada

periode Pelita I, program KB di masyarakat dikembangkan dengan pendekatan klinik,

karena masih banyak tantangan terhadap ide KB, sehingga pendekatan melalui

kesehatan.

Pelita II (1974-1979), pada periode ini pelaksanaan program KB nasional merubah

pendekatan yang semula berorientasi pada kesehatan, mulai melakukan integrasi

dengan sektor pembangunan lainnya, yang dikenal dengan pendekatan integratif. Pada

Pelita III (1979-1984), dilakukan pendekatan kemasyarakatan yang mendorong peran

dan tanggung jawab masyarakat untuk mempertahankan peserta KB yang sudah ada

9

serta meningkatkan jumlah peserta KB baru. Pada periode Pelita III dikembangkan pula

strategi operasional yang bertujuan mempercepat penurunan fertilitas, dikenal dengan

sebutan Panca Karya dan Catur Bhava Utama. Selain itu pada periode yang sama

dilakukan strategi KIE yang diintegrasikan dengan pelayanan kontrasepsi dalaan Bm

bentuk ‘Mass Campaign’ yang dikenal denga nama ‘Safari KB Senyum Terpadu’.

Pada Pelita IV (periode 1983-1988) dikembangkan pendekaakn tan baru melalui

koordinasi aktif. Program KB dilakukan dengan strategi pembagian wilayah untuk

mengantisipasi laju kecepatan program, dicanangkan KB Mandiri, dipopulerkan

kampanye lingkaran biru KB. Gerakan KB diteruskan pada periode Pelita V (1988-1993)

yang berupaya meningkatkan kualitas petugas dan sumberdaya manusia untuk

memberikan pelayanan KB. Strategi baru dilakukan, yaitu kampanye lingkaran emas,

dengan menawarkan lebih banyak lagi jenis kontrasepsi. Pada Lingkaran biru jenis

kontrasepsi masih sangat terbatas, pada lingkaran emas sampai 16 jenis.

Pada Pelita V ditetapkan UU No. 10 1992 tentang Perkembanagan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan pada GBHN 1993 difokuskan strategi gerakan

KB nasional untuk mewujudkan keluarga kecil yang sejahtera dengan menunda usia

perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan

kesejahteraan keluarga.

Memasuki Pelita VI (1993-1998) BKKBN ditetapkan setingkat dengan kementerian,

dengan fokus kegiatan diarahkan pada pelayanan KB dan pembangunan keluarga

sejahtera yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluaga untuk

meningkatkan kualitas keluarga. Kegiatan yang dikembangkan diarahkan pada tiga

gerakan: Gerakan Reproduksi Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga Sejahtera, dan

Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera.

Program KB mulai memudar memasuki periode reformasi, terjadi beberapa kali pimpinan,

sampai dengan diterbitkan UU No.52 tahun 2009 yang mengganti BKKBN dari Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional. Tindak lanjut dari UU no 52 tahun 2009 BKKBN direstrukrisasi

menjadi badan kependudukan, bukan lagi badan koordinasi.

Program KB selain dilakukan oleh BKKBN dan sektor kesehatan secara terintegrasi

menjadi bagian dari program KB nasional. Di sektor kesehatan, program KB menjadi

salah satu kegiatan dari program kesehatan ibu dan anak (KIA), dimana implementasi

kegiatannya antara lain memberikan penerangan dan motivasi keluarga berencana yang

seluas-luasnya kepada masyarakat maupun kelompok-kelompok masyarakat.

Pelaksanaan program KB di sektor kesehatan menjadi tanggung jawab Puskesmas yang

masuk pada kegiatan perawatan dalam pelayanan KIA dan KB. Kegiatan perawatan ini

10

dilakukan sepenuhnya oleh dokter, bidan atau perawat yang sekaligus melaksanakan

kegiatan pemeriksaan, penyuntikan, pelayanan KB, pengobatan dan lain-lain.

Dari Pelita I sampai dengan Pelita VI pelaksanaan program KB sektor kesehatan tidak

terpisahkan dengan BKKBN. Masalah muncul setelah Pelita VI berakhir, dan dimulainya

periode reformasi, dan berubahnya sistem perencanaan pembangunan jangka panjang

dan mulainya sistem desentralisasi.

2.2. Kependudukan

Maju tidaknya suatu negara, dinilai melalui indeks pembangunan manusia/IPM (human

development index/HDI). Konsep pembangunan manusia ini meletakkan manusia

sebagai pelaku pembangunan yang harusnya berkualitas. IPM diukur melalui tiga

indikator penting yang sangat mendasar dan bersifat universal yaitu umur harapan hidup,

income per capita, dan pendidikan. Jika kebutuhan mendasar ini terpenuhi diharapkan

manusia dapat hidup lebih panjang, sehat wal’afiat, dan sejahtera (wealthy and healthy).

Program keluarga berencana yang membatasi kelahiran dan menjarangkan kelahiran

dari pasangan usia subur, sangat berhubungan erat karena mempunyai dampak untuk

kemajuan ketiga indikator IPM ini.

Untuk menilai keberhasilan program keluarga berencana pada umumnya dilihat dari

angka fertilitas, penggunaan alat/cara KB, dan unmet need. Dampaknya akan terlihat

pada laju pertumbuhan penduduk, yang diharapkan terjadi kecenderungan menurun

yang artinya jumlah penduduk akan stabil atau tidak terjadi ledakan pertambahan

penduduk.

Indonesia sudah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 2.32 pada

periode 1971-1980 menjadi 1.97 pada periode 1980 – 1990, dan 1.45 pada periode 1990-

2000, akan tetapi terjadi kecenderungan meningkat menjadi 1.49 untuk periode 2000-

2010. (BPS, 2013). Kecenderungan angka fertilitas bisa diikuti dari SDKI, seperti yang

disajikan pada gambar 2. Terlihat ada kecenderungan penurunan yang cukup berarti dari

periode tahun 1981-1983, dari 4.3 menjadi 2.6 di periode tahun 1998-2002 dan stabil di

posisi 2.6 sampai periode 2003-2012. Dengan angka fertilitas yang stabil pada 2.6

selama 10 tahun terakhir menyebabkan jumlah kelahiran akan tetap meningkat terus dan

ini berdampak pada pertambahan penduduk. (SDKI, 2012).

Pada tabel 2 dapat dilihat kelompok umur 0-4 cenderung meningkat dari tahun 2010

sampai tahun 2014, kemudian mulai terjadi kecenderungan menurun pada tahun 2015.

Tabel 3 menunjukkan jumlah penduduk perempuan, dan yang harus menjadi fokus

perhatian program keluarga berencana adalah perempuan usia 10-14 sampai dengan

usia 50-54 tahun, yang jumlahnya akan menjadi 87 juta atau 34 persen dari total

penduduk pada tahun 2015. Biasanya yang menjadi perhatian untuk perempuan usia

reproduksi adalah 15-49 tahun yang berjumlah 69 juta atau 27 persen dari total

11

penduduk. Akan tetapi di Indonesia kelahiran sudah terjadi lebih dini yaitu pada usia 10-

14 tahun dan juga sampai dengan usia 50 54 tahun. (BPS, 2013).

Gambar 2. TFR Indonesia 1981-2012

Tabel 2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur 2010-2015

Umur Tahun

2010 2011 2012 2013 2014 2015

0-4 23,454.40 23,680.90 23,852.70 23,994.20 24,086.80 24,065.50

5-9 22,518.00 22,632.40 22,767.30 22,931.90 23,109.50 23,330.40

10-14 22,165.60 22,230.10 22,280.90 22,309.80 22,360.20 22,461.50

15-19 21,558.10 21,678.30 21,812.10 21,931.20 22,024.70 22,095.40

20-24 20,939.40 21,039.00 21,148.70 21,250.70 21,352.40 21,447.90

25-29 20,589.90 20,636.60 20,646.60 20,663.80 20,716.30 20,810.40

30-34 19,987.20 20,105.90 20,240.50 20,348.10 20,430.90 20,448.30

35-39 18,514.10 18,829.00 19,104.30 19,365.90 19,587.10 19,816.10

40-44 16,564.30 16,958.40 17,332.80 17,683.20 18,004.70 18,295.10

45-49 14,165.30 14,585.10 15,015.20 15,447.00 15,867.40 16,266.50

50-54 11,479.50 11,980.00 12,440.60 12,877.20 13,313.70 13,766.50

55-59 8,546.30 9,015.20 9,515.70 10,026.00 10,518.10 10,972.70

60-64 6,156.70 6,432.50 6,753.40 7,116.80 7,518.80 7,955.30

65-69 4,651.20 4,775.60 4,908.50 5,062.80 5,253.40 5,489.60

70-74 3,375.50 3,469.40 3,565.30 3,661.70 3,757.00 3,852.00

75+ 3,853.30 3,942.30 4,040.60 4,147.80 4,263.80 4,388.50

Total 238,518.80 241,990.70 245,425.20 248,818.10 252,164.80 255,461.70

Sumber: BPS, 2013

4.3

3.33.0

2.9 2.8 2.6 2.6 2.6

3.7

2.82.6

2.3 2.4 2.4 2.32.4

4.5

3.6

3.23.2

3.02.7 2.8 2.8

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1981-1983 1984-1987 1988-1991 1992-1994 1995-1997 1998-2002 2003-2007 2008-2012

TF

R

Tahun rujukan

Kota+Desa

Kota

Desa

12

Tabel 3. Jumlah penduduk perempuan 2010-2015

Umur Tahun

2010 2011 2012 2013 2014 2015

0-4 11,405.70 11,538.80 11,636.80 11,726.10 11,785.40 11,792.10

5-9 10,975.80 11,026.20 11,093.80 11,166.80 11,252.20 11,356.00

10-14 10,832.00 10,850.40 10,872.00 10,888.50 10,911.90 10,954.30

15-19 10,657.60 10,695.70 10,733.60 10,763.60 10,786.90 10,806.40

20-24 10,404.50 10,446.90 10,498.70 10,542.00 10,583.90 10,618.60

25-29 10,340.10 10,346.50 10,328.00 10,315.20 10,318.10 10,354.90

30-34 9,998.20 10,080.70 10,167.60 10,238.00 10,280.70 10,279.20

35-39 9,196.00 9,358.90 9,505.60 9,648.20 9,784.50 9,922.20

40-44 8,242.30 8,433.30 8,616.00 8,789.00 8,950.50 9,099.70

45-49 7,067.60 7,284.80 7,500.50 7,712.80 7,918.20 8,114.40

50-54 5,646.60 5,928.60 6,186.70 6,427.70 6,663.10 6,900.80

55-59 4,167.60 4,389.80 4,649.20 4,927.10 5,198.50 5,445.60

60-64 3,127.50 3,251.10 3,382.10 3,531.60 3,714.10 3,937.80

65-69 2,462.40 2,519.20 2,587.90 2,666.80 2,753.20 2,846.00

70-74 1,856.20 1,904.20 1,949.90 1,995.10 2,042.00 2,092.80

75+ 2,286.00 2,333.20 2,385.80 2,443.60 2,506.40 2,574.20

Total 118,666.10 120,388.30 122,094.20 123,782.10 125,449.60 127,095.00

Sumber: BPS, 2013

Bukti ini dapat dilihat pada gambar 3, hasil Riskesdas 2010 dan 2013 yang menunjukkan

kejadian kehamilan pada usia 10-14 tahun dan 50-54 tahun.

Gambar 3. Persentase perempuan 10-54 tahun menurut status kehamilan,

Riskesdas 2010 dan 2013

Sumber: Riskesdas 2010, 2013

0.0

1

1.9

0

6.0

4

6.0

4

4.8

0

3.0

0

1.1

1

0.6

3

0.5

9

0.0

2

1.9

7

5.7

5

6.4

6

4.6

2

2.4

8

0.7

3

0.0

9

0.0

3

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54

2010 2013

13

Jika tidak diantisipasi oleh program keluarga berencana, kejadian kehamilan akan

meningkat terus utamanya pada kelompok muda 10-14 tahun dan 15-19 tahun, mereka

akan menjadi penyumbang angka kelahiran yang tinggi, dengan kurun waktu reproduksi

yang lebih panjang.

Seperti terlihat pada gambar 4, sebenarnya perkawinan muda umur 10-14 tahun pada

penduduk sudah terjadi pada tahun 2000-an. Dan dari SDKI 2012, kejadian kelahiran

pada perempuan usia 15-19 tahun di perkotaan adalah 32 per 1000 perempuan, dan di

perdesaan lebih tinggi lagi yaitu 69 per 1000, atau secara nasional adalah 48 per 1000.

Gambar 4.

Presentase penduduk status kawin usia 10-35 tahun, Susenas 2004, 2010, 2012

Sumber: Atmarita, Analisis dari Susenas 2004, 2010, 2012

2.3. Derajad kesehatan ibu

Mewujudkan derajad kesehatan ibu yang setinggi-tingginya adalah satah satu agenda

pembangunan yang tercakup dalam tujuan pembangunan millennium (MDG’s 1990-

2015) yang akan berakhir dan dilanjutkan ke Sustainable Development Goals (SDG

2016-2030). Tahun 2014 adalah tahun terakhir fase pembangunan jangka menengah

nasional (RPJMN) 2010-2014, yang akan dilanjutkan ke fase berikutnya RPJMN 2015-

2019.

Indikator yang disepakati pada MDG’s untuk menilai meningkatnya kesehatan ibu, yaitu

target 5a. mengurangi 75 persen angka kematian ibu dalam kurun waktu 1990-2015, dan

target 5b adalah tercapainya akses universal terhadap layanan kesehatan reproduksi: 1)

CPR/kesertaan keluarga berencana aktif; 2) tingkat kelahiran remaja/ASFR 15-19; 3)

cakupan ANC; dan 4) unmet need, sepertinya masih jauh dari target yang ditetapkan.

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

2004 2010 2012

14

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI 2012 maupun Riskesdas 2013 posisi terakhir indikator dimaksud diatas dapat dilihat pada tabel 4. Pada saat ini berbagai estimasi menunjukkan masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Pertama, estimasi dari SDKI yang menunjukkan angka 359 (berkisar dari 239 – 478) per 100.000 kelahiran hidup. (SDKI, 2012). Kedua, adalah dari sensus penduduk 2010 yang memberi estimasi antara 316-366 per 100.000 kelahiran hidup (sesudah adjustment). (BPS, 2014). Sementara WHO mengeluarkan estimasi terbaru tahun 2013 adalah sebesar 190 (120-300) per 100.000 kelahiran hidup. Namun, apapun sumber yang kita pakai, mereka memberikan satu informasi yang sama bahwa AKI di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, berada di kisaran 200 – 400 per 100.000 kelahiran hidup. (WHO, 2014).

Tabel 4

Target dan Pencapaian Kesehatan Ibu

Indikator Tahun 1990 Target RPJMN

Tahun 2014

Target MDGs

Tahun 2015 Pencapaian Tahun 2012/2013

AKI (per 100,000 kelahiran hidup)

390 118 102 359 (239-478) - (SDKI 2012);

346 (316-366) - (SP 2010)

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih

40,7% 90% 90% 78,7% - (SDKI 2012);

87,1% - (Riskesdas 2013)

CPR pada perempuan menikah usia 15-49 tahun, saat ini, semua cara

49,7% 66% 61,9% (SDKI 2012);

59,7% (Riskesdas 2113)

CPR pada perempuan menikah usia 15-49 tahun, saat ini, cara modern

47,0% 60,1% 65% 57,9% (SDKI 2012);

59,3% (Riskesdas 2013)

ASFR* usia 15-19 tahun (per 1000 remaja perempuan usia 15-19 tahun)

67 30 30 48 - (SDKI 2012)

Cakupan pelayanan antenatal

1 kunjungan 75% 95% 95% 95,7% - (SDKI 2012);

95,4% (Riskesdas 2013)

4 kunjungan (ANC1-1-2) 56 % 90% 90% 73,5% - (SDKI 2012);

70,4% (Riskesdas 2013)

Unmet need 12,7% 6,5% 5% 11.4% - (SDKI 2012)

Keterangan:

* ASFR = Age Specific Fertility Rate

Sumber: 1) Riskesdas 2007, 2010, 2013, 2) SDKI, 2012

AKI adalah indikator dampak dari berbagai upaya yang ditujukan untuk meningkatkan

derajad kesehatan ibu. Kematian ibu bisa dicegah jika dari awal ibu sudah sehat dan

sudah dapat dilakukan persiapan, terutama pada saat kehamilan bahkan sebelum

kehamilan. Pencegahan kehamilan, dapat dilakukan dengan mengurangi kehamilan,

kejadian empat terlalu misalnya bisa dihindari (terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak

15

anak, terlalu sering) dengan menggunakan kontrasepsi. Dalam hal ini peran program

keluarga berencana menjadi sangat penting, yang ditunjukkan dari indikator pada tabel

4 di atas, yaitu CPR, ASFR, dan unmet need yang masih jauh dari yang diharapkan.

Kesertaan KB, walaupun CPR sudah hampir 60 persen (gambar 5), yang perlu

dikuatirkan adalah kesertaan KB menurut kelompok umur, yang menurut Riskesdas 2013

adalah seperti yang terlihat pada gambar 6. (Kemenkes, 2013).

Gambar 5

Proporsi penggunaan KB WUS kawin menurut Provinsi, Riskesdas 2013

Gambar 6

Proporsi penggunaan KB WUS kawin menurut kelompok umur, Riskesdas 2013

Tampak umur berisiko tinggi untuk kematian penggunaan KB lebih rendah, tidak sampai

50 persen (15-19 tahun, 45-49 tahun). Sedangkan tabel 5 menunjukkan penggunaan

55.8

59.7

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

Papu

a

Ma

luku

NT

T

Paba

r

Kep.R

iau

Sum

ut

Ma

lut

Ace

h

Sulb

ar

Suls

el

Sultra

Sum

bar

DK

I

DIY

Ria

u

Kaltim

NT

B

Sulteng

IND

ON

ES

IA

Bante

n

Jatim

Jate

ng

Bali

Jaba

r

Babe

l

Goro

nta

lo

Sulu

t

Kals

el

Sum

sel

Beng

ku

lu

Kalteng

Jam

bi

Kalb

ar

La

mpu

ng

2010 2013

46.059.8 63.0 65.3 66.1 58.9

40.4

14.0

15.820.8 22.4 22.3

27.6

42.3

40.024.4

16.2 12.3 13.5 13.5 17.3

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49

Sekarang pakai Pernah KB Tidak Pernah

16

MKJP/Metode Kontrasepsi Jangka Panjang menurut karakteristik yang juga sangat

rendah, yaitu hanya 10,2 persen. (Kemenkes, 2013).

Tabel 5

Proporsi Penggunaan MKJP menurut karakteristik, Riskesdas 2013

Karakteristik MKJP

Kel. Umur

15-19 3.2

20-24 5.4

25-29 6.8

30-34 9.8

35-39 12.8

40-44 13.9

45-49 12.4

Tempat tinggal

Kota 11.2

Desa 9.2

Tingkat pendidikan

Tidak Sekolah 7.2

Tidak Tamat SD 8.7

Tamat SMP 9.1

Tamat SMP 8.7

Tamat SMA 11.8

D1-D3+ 18.1

Kuintil indeks kepemilikan

Terbawah 7.7

Menengah bawah 8.9

Menengah 9.5

Menengah atas 9.9

Teratas 14.0

Cakupan pelayanan antenatal, walaupun sudah hampir sesuai target, yang masih perlu

dipertanyakan adalah kualitas yang diberikan oleh para tenaga kesehatan, apakah ketika

mereka menemukan kasus-kasus kehamilan seperti anemia, hipertensi, oedema, dll

langsung dilakukan intervensi. Apalagi jika kasus-kasus kehamilan tersebut datang

melakukan pemeriksaan kehamilan tidak pada awal trimester. Pada tabel 4 di atas

cakupan pelayanan antenatal untuk 4 kunjungan, dengan asumsi-asumsi 1 kali pada

trimester I, 1 kali pada trimester 2, dan 2 kali pada trimester ke 3, itu hanya 73,5 persen,

artinya ada 26,5 persen ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan ANC 1-1-2. (Kemenkes,

2013).

Perkawinan muda dan kurang gizi dapat menyebabkan tingginya kejadian kematian ibu,

dan risiko tingginya kematian neonatal. Mereka tidak siap untuk hamil, pertama karena

17

secara biologis memang belum siap, kedua adalah faktor lain yang memperberat seperti

kurang gizi atau penyakit infeksi yang menyertai, seperti TB-paru, pneumonia, atau diare

yang cenderung masih cukup dominan.

Tabel 6. Proporsi KEK perempuan 15-49 tahun,

Riskesdas 2007-2013

Umur (tahun) Hamil Tidak Hamil

2007 2013 2007 2013

15-19 31.3 38.5 30.9 46.6

20-24 23.8 30.1 18.2 30.6

25-29 16.1 20.9 13.1 19.3

30-34 12.7 21.4 10.2 13.6

35-39 12.6 17.3 8.9 11.3

40-44 10.3 17.6 7.9 10.7

45-49 5.6 20.7 8.1 11.8

Pada tabel 6 di atas menunjukkan proporsi perempuan umur 15-49 tahun (hamil atau

tidak hamil) yang kurang energi kronis (KEK) berdasarkan hasil pengukuran lingkar

lengan atas (Lila) < 23,5 cm. Ada kecenderungan meningkat cukup tinggi untuk semua

kelompok umur dari tahun 2007 ke tahun 2013. (Kemenkes, 2008; Kemenkes 2013)

Masalah gizi lainnya seperti anemia, juga bisa menjadi faktor penyebab tidak langsung

kematian ibu, dan juga jika ibu pendek (tinggi badan<145 cm), maka risiko untuk

melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), selain risikonya juga tinggi

untuk meninggal, jika disertai dengan komplikasi penyakit menular maupun tidak

menular.

Riskesdas 2013 memperlihatkan prevalensi anemia untuk ibu hamil adalah 37,1 persen,

tidak ada perbedaan prevalensi anemia ibu hamil di perkotaan (36,4%), dengan

perdesaan (37,8%). Sementara, proporsi wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun dengan

tinggi badan rata-rata <145 cm adalah 8,1 persen (ibu hamil), dan 8,3 persen (ibu tidak

hamil).Variasi antar provinsi dapat dilihat pada gambar 7 berikut, yang menunjukkan

variasi yang sangat lebar antar provinsi, mulai dari <10 persen, sampai yang tertinggi

hampir mencapai 30 persen. (Kemenkes, 2013).

18

Gambar 7. Proporsi WUS 15 49 tahun pendek (<145 cm) menurut provinsi, 2013

Sumber: Atmarita, analisis Riskesdas 2013

Riskesdas 2013 mengumpulkan data yang bisa mewakili sampai tingkat kabupaten,

masalah gizi lainnya yang juga dapat menjadi penyebab tidak langsung untuk kematian

ibu, adalah kurus. Kurus didefinisikan sebagai ibu mempunyai indeks massa tubuh (IMT)

<18,5. Disebut kurus kemungkinan intake makanan yang dikonsumsi sehari-hari tidak

mencukupi, atau tidak sesuai dengan kebutuhan. Jika kondisi ini terjadi pada kehamilan

maka kehamilan mempunyai risiko tinggi pada janin atau ibu hamil.

Gambar 8 menunjukkan besaran masalah WUS 15-49 tahun yang kurus menurut provinsi

dan variasinya antar kabupaten/kota.

Gambar 8

Proporsi WUS 15-49 tahun kurus (IMT<18,5) menurut variasi kabupaten di 33 provinsi, 2013

Sumber: Atmarita, Analisis Riskesdas 2013.

8.1 8.3

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

Su

msel

Ba

li

Ke

p.

Ria

u

Ma

luku

Lam

pun

g

DK

I

Ba

nte

n

Ka

ltim

Su

ltra

Su

lte

ng

NT

B

Ka

lba

r

DIY

Ma

lut

Su

lut

Pa

pu

a

Indo

nesia

Aceh

Jate

ng

Su

mb

ar

Su

lse

l

Ria

u

Ke

p.B

ab

el

Su

mu

t

Su

lba

r

Pa

ba

r

NT

T

Jab

ar

Ka

lte

ng

Jatim

Jam

bi

Be

ng

kulu

Go

ronta

lo

Ka

lse

l

Hamil Tidak Hamil

19

Provinsi Nusa tenggara timur menunjukkan prevalensi kurus yang sangat tinggi (>20%),

dan variasi antar kabupaten yang juga cukup lebar antar 12,5-35 persen, berikut adalah

Maluku (15%), dengan varasi antar kabupaten antara 10-25 persen. Provinsi dengan

besaran masalah kurus antar kabupaten, yang cukup lebar adalah Nusa Tenggara Barat,

dan Sulawesi Barat. (Kemenkes, 2013)

Perempuan memasuki usia untuk dapat mulai bereproduksi ditandai dengan mulainya

haid pertama, untuk perempuan di Indonesia menurut Riskesdas 2010, umur haid

pertama adalah 9-10 tahun (1,5%), 11-12 tahun (20,9%), dan 13-14 tahun (37,5%).

Dengan adanya 0,1-0,2 persen perempuan sudah menikah pada usia 10-14 tahun, maka

masalah kesehatan menjadi sangat penting. Diare dan ISPA atau kombinsi penyakit

infeksi ini (diare, ISPA, pneumonia, TB-paru dan batuk) adalah penyakit infeksi yang

mungkin menjadi kontribusi tidak langsung untuk kesehatan ibu menjadi tidak optimal

ketika konsepsi, disertai masalah anemia, dan kurang gizi lainnya.

Pada tabel 7 berikut mempresentasikan hasil riskesdas 2007 dan 2013 untuk perempuan

10-18 tahun yang sakit diare dan ISPA, dan juga kombinasi sakit diare, ISPA, pneumonia,

batuk, dan TB-paru, dan juga pendek untuk tahun 2013.

Tabel 7

Proporsi perempuan 10-18 tahun yang sakit tahun 2007 dan 2013

Umur (tahun)

Diare ISPA Sakit Pendek

2007 2013 2007 2013 2013 2013 10 8.3 5.6 28.3 26.3 35.0 33.7 11 8.8 6.2 25.9 25.2 34.1 35.8 12 8.5 5.9 24.0 24.3 33.3 34.9 13 7.7 5.2 23.4 23.4 31.4 34.1 14 7.4 6.2 22.1 20.5 29.7 32.8 15 7.4 6.8 21.0 21.3 30.5 29.7 16 7.5 5.9 21.1 21.9 30.9 26.0 17 7.6 7.1 20.8 22.3 31.6 23.3 18 8.8 6.8 20.3 20.7 30.3 26.2

Sumber: Atmarita, Analisis Riskesdas 2007 dan 2013.

Dari uraian di atas masalah kesehatan ibu masih sangat memprihatinkan, perlu upaya-

terintegrasi dan komprehensif untuk meningkatkan kesehatan ibu di Indonesia. Program

KB sangat diperlukan untuk ikut berpartisipasi dalam hal menunda kelahiran atau

menjarangkan kelahiran, agar generasi berikutnya tidak bermasalah dan kesehatan ibu

menjadi lebih baik.

20

2.4. Situasi program KB di Sektor Kesehatan

Pada Sektor Kesehatan, program KB menjadi bagian dari upaya prioritas penurunan AKI

bersamaan dengan:

i) peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan antenatal,

ii) peningkatan pelayanan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan,

iii) peningkatan pelayanan pencegahan komplikasi kehamilan/kebidanan;

iv) pelayanan KB berkualitas,

v) peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu, responsif gender;

vi) kegiatan manajemen program kesehatan ibu.

Program KB di sektor Kesehatan dilaksanakan melalui sistem pelayanan kesehatan

komprehensif yang telah ada, mulai dari tingkat masyarakat, Puskesmas dan yang sederajat

dalam pelayanan kesehatan dasar sampai dengan Rumah Sakit dalam pelayanan kesehatan

rujukan.

2.4.1. Pelayanan KB di tingkat Masyarakat

Pelayanan KB di tingkat masyarakat dilaksanakan melalui Upaya Kesehatan Bersumberdaya

Masyarakat (UKBM) melalui jejaring pelayanan dibawah supervisi Puskesmas seperti Posyandu,

Polindes, Poskesdes, Pos KB Desa, Pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi (P4K), kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan seperti PKK,

Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak (KP-KIA), dll.

Jenis pelayanan KB ditingkat masyarakat mencakup penyuluhan KB, pelayanan kontrasepsi

sederhana seperti pil ulang dan kondom oleh kader, pos KB Desa; pil dan suntikan di Posyadu

meja-5, di Polindes, Poskesdes; pada P4K dilakukan penyuluhan KB dan identifikasi penggunaan

KB pasca salin, serta mengupayakan agar masyarakat memilih metode KB jangka panjang

(MKJP).

Tenaga pelayanan KB di tingkat masyarakat terdiri dari Bidan, Perawat, untuk pelayanan

kontrasepsi dan KIE medis, dan oleh Kader untuk penyuluhan KB. Monitoring pelaksanaan

program KB di tingkat masyarakat dilakukan oleh puskesmas terintegrasi dengan kegiatan

kesehatan ibu dan anak.

Kendala yang dirasakan dalam pelayanan KB di tingkat masyarakat ini adalah kurangnya tenaga

PLKB yang dapat membantu bidan dalam pelaksanaan penyuluhan tentang pentingnya KB.

2.4.2. Pelayanan KB di Puskesmas

Pelaksanan pelayanan Keluarga Berencana yang dilakukan di Puskesmas menjadi bagian dari

program pelayanan Kesehatan Ibu yang meliputi: 1) pelayanan pemasangan alat kontrasepsi, 2)

penanganan komplikasi kontrasepsi, dan 3) konsultasi keluarga berencana dengan pelayanan

KIE medis KB. Secara nasional menurut Riset fasilitas kesehatan (Rifaskes) 2011 yang dilakukan

Badan Litbang Kesehatan, 61,3 persen Puskesmas melakukan ketiga pelayanan KB tersebut

secara lengkap, 34,8 persen tidak lengkap, dan 3,9 persen tidak ada informasi.(Kemenkes 2012)

Secara rinci, pelayanan pemasangan alat kontrasepsi dilakukan di 88 persen Puskesmas, yaitu

pemasangan pelayanan alat kontrasepsi mantap (IUD, Susuk, Vasektomi). Untuk pelayanan

penanganan komplikasi kontrasepsi dilakukan di 64,5 persen Puskesmas, dan untuk pelayanan

21

konsultasi KB dilakukan di 95,8 persen Puskesmas. Masing-masing kegiatan pelayanan KB di

Puskesmas tersebut bervariasi untuk masing-masing provinsi (Rifaskes, 2011).

Selain informasi kegiatan pelayanan KB yang dilakukan Puskesmas, dikumpulkan pula informasi

pelatihan tenaga kesehatan terkait dengan pelayanan program KB. Rifaskes 2011 mencatat

persentase Puskesmas yang tenaganya mendapat pelatihan yang dilakukan pada tahun 2009

dan 2010, adalah sebagai berikut:

i) Pelatihan program pelayanan KB dilakukan di 45,4 persen Puskesmas, dengan variasi

antar provinsi dari yang terendah di Maluku (23,0%), dan yang tertinggi di Gorontalo

(92,3%).

ii) Pelatihan pemasangan alat kontrasepsi dilakukan di 50,8 persen Puskesmas, dengan

variasi antar provinsi yang terendah di Maluku (21,7%), dan yang tertinggi di Riau

(70,3%)

iii) Pelatihan penanganan kompliksi kontrasepsi dilakukan di 24,6 persen Puskesmas,

dengan variasi antar provinsi dari yang terendah di Maluku (7,5%) , dan yang tertinggi

di Nusa Tenggara Barat (38,9%).

iv) Pelatihan lengkap ketiganya adalah di 22,1 persen Puskesmas, yang bervariasi antara

5,6 persen (Provinsi Maluku) sampai 36,2 persen (Provinsi Nusa Tenggara Barat).

Selanjutnya, Rifaskes 2011 juga mengumpulkan informasi tentang keberadaan pedoman

program keluarga berencana yang meliputi 1) panduan praktis pelayanan kontrasepsi; 2)

panduan audit medik pelayanan KB; 3) panduan baku klinis KB; 4) pedoman pelayanan

kesehatan reproduksi terpadu; 5) panduan kontrasepsi darurat; dan 6) panduan penanggulangan

efek samping/kompliasi kontrasepsi. Sekitar 62 persen memiliki panduan praktis pelayanan

kontrasepsi, kemudian berturut-turut panduan Baku Klinis KB (40,2%), dan Panduan

penanggulangan efek samping/komplikasi kontrasepsi (36,9%). Hanya 22,0 persen Puskesmas

yang memiliki lengkap ke 6 jenis pedoman/panduan pelayanan KB tersebut.

Dilaporkan pula dari Rifaskes 2011 tentang Puskesmas yang menerima pengawasan, evaluasi

dan bimbingan secara lengkap untuk pelayanan KB terkait dengan ketiga kegiatan pokok tersebut

di atas, yaitu hanya 36,5 persen, dengan variasi terendah di Maluku (2,2%) dan tertinggi di Jawa

timur (67,5%).

2.4.3. Pelayanan KB di Rumah Sakit

Upaya kesehatan dalam mendukung program KB di Rumah Sakit adalah berkaitan dengan upaya

untuk mendukung pelayanan KB paska persalinan dan pasca keguguran. Pelayanan ini

mencakup semua jenis alat/obat kontrasepsi baik jangka panjang maupun jangka pendek,

penanganan efek samping, komplikasi, dan penanganan masalah kesehatan reproduksi.

Sasaran pelayanan KB di RS adalah pasangan usia subur, klien yang mengalami kegagalan dan

komplikasi kontrasepsi, klien pasca persalinan dan pasca keguguran, serta pasangan yang

mengalami masalah kesehatan reproduksi.

Pelayanan KB terbagi menjadi tiga yaitu pelayanan KB lengkap, pelayanan KB sempurna, dan

pelayanan KB paripurna. Pelayanan KB lengkap adalah pelayanan KB yang meliputi pelayanan

kontrasepsi kondom, pil KB, suntik KB, AKDR/IUD, pemasangan atau pencabutan implant, MOP,

serta penanganan efek samping dan komplikasi pada tingkat tertentu. Palayanan KB Sempurna

adalah pelayanan KB yang meliputi pelayanan KB lengkap dengan MOW, penanganan

22

kegagalan dan pelayanan rujukan. Pelayanan KB paripurna adalah pelayanan KB yang meliputi

pelayanan kontrasepsi sempurna ditambah penanganan masalah kesehatan reproduksi dan

sebagai pusat rujukan.

Adapun jumlah RS yang ada saat ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Kategori Kepemilikan RS Umum RS Khusus Total

RS Publik Pemerintah 772 94 866 Swasta, non profit 539 201 740 RS Privat Swasta 473 251 724 BUMN 59 7 66

Total 1843 553 2396 Sumber: Dirjen BUK, Kemenkes, online, 20 November 2014

Jumlah RS di atas perlu dievalauasi lagi untuk ketersediaannya dalam memberikan pelayanan

KB di RS, khususnya terkait dengan Pasca Persalinan dan pasca keguguran yang tidak segera

menggunakan kontrasepsi. Karena biasanya, jika keluar RS dengan kondisi tidak menggunakan

kontrasepsi, maka mereka memberikan kontribusi cukup besar terhadap tingginya unmet need,

dan meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan. Pelayanan KB di RS sangat potensial

memberikan sumbangan pencapaian target program KB nasional, dan menurunkan AKI.

23

Bab 3. Pembangunan KB oleh Sektor Kesehatan

3.1. Program KB dalam upaya peningkatan kesehatan ibu

Target nasional berkaitan dengan Pelayanan KB dalam rangka pelayanan kesehatan ibu

pada RPJMN 2015-2019, yang merupakan kelanjutan RPJMN 2010-2014 berdasarkan

pertimbangan kondisi tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 7

Target Nasional yang Berkaitan dengan Pelayanan Keluarga Berencana

Indikator dampak dan luaran

Pelayanan KB

Kondisi

Tahun 2010 2014

Target RPJMN

Tahun 2015-2019

AKI (per 100.000 KH) 346 306

TFR 2,6 2,3

ASFR usia 15-19 tahun (per 1000 remaja

perempuan usia 15-19 tahun) 48 30

CPR cara modern 59.3% 65%

Kehamilan yang tidak diinginkan 17% <10%

Unmet need 11.4% 8%

Target di atas memerlukan kerja keras dari kementerian lembaga terkait. Untuk AKI

diharapkan menjadi 306 pada tahun 2019 dari kondisi tahun 2010-2014 yang masih

diestimasikan 346 per 100.000 KH. Untuk TFR diambil berdasarkan proyeksi dari posisi

2,6 tahun 2010, yang diperkirakan akan menjadi 2,3 pada tahun 2019.Target ASFR usia

15-19 tahun pada tahun 2019, menggunakan target MDG’s 2015. Demikian halnya untuk

CPR pada tahun 2019, menggunakan target MDG’s 2015, yaitu 65 persen. Kehamilan

yang tidak diinginkan diantara PUS (perkosaan, kurangnya pengetahuan tentang

kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan janin, usia ibu masih terlalu muda,

atau masalah ekonomi) cenderung meningkat (SDKI 2007 menunjukkan 17%),

diharapkan pada akhir tahun 2019 menjadi kurang dari 10 persen. Untuk unmet need

dengan posisi 11,4 persen pada tahun 2012, diharapkan bisa menjadi 8 persen pada

tahun 2019.

3.2. Peran institusi terkait dalam pelayanan kesehatan Ibu

Dari uraian analisis situasi, diketahui masalah kesehatan ibu demikian kompleks, mulai

dari remaja, bahkan anak. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan ibu adalah

semua upaya terkait untuk meningkatkan kesehatan ibu berikut dengan faktor-faktor yang

berpengaruh, seperti pelayanan keluarga berencana dalam upaya pengaturan dan

penjarangan kehamilan dan kelahiran, peningkatan pendidikan dan pengetahun

perempuan, perbaikan status kesehatan dan gizi perempuan.

24

Berdasarkan Undang-Undang RI no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada bagian

ketujuh: Keluarga Berencana, pasal 78 menyebutkan bahwa:

(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan

kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang

sehat dan cerdas.

(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas

pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana

yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundangundangan.

UU 52 tahun 2009 yang mengamanatkan tentang perkembangan kependudukan dan

permbangunan keluarga dengan pertimbangan sebagai berikut:

i) Pembangunan nasional mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan

termasuk perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur

ii) Penduduk sebagai modal dasar dan faktor dominan pembangunan harus menjadi

titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan karena jumlah penduduk yang

besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang cepat akan memperlambat

tercapainya kondisi yang ideal

iii) Keberhasilan dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan

mengembangkan kualitas penduduk serta keluarga akan memperbaiki segala

aspek pembangunan dan kehidupan masyarakat untuk lebih maju, mandiri, dan

berdampingan dengan bangsa lain

iv) Dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga

berkualitas dilakukan upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka

kematian, pengarahan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan

pengaturan perkawinan serta kehamilan.

UU 52 tahun 2009 tersebut, menjadi panduan Rencana Strategis Kementerian

Kesehatan Tahun 2010-2014 yang dituangkan ke dalam visi Kementerian Kesehatan

adalah menciptakan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Untuk mewujudkan

visi terebut ditetapkanlah misi Kementerian Kesehatan untuk (1) meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan

masyarakat madani; (2) melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin

tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan; (3)

menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; dan (4) menciptakan

tata kelola kepemerintahan yang baik. Untuk mewujudkan misi tersebut, Kementerian

Kesehatan mengembangkan strategi sebagai berikut:

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global.

2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan

25

preventif. 3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk

mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. 4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata

dan bermutu. 5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat

kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.

6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.

Di tingkat Provinsi dan Kabupaten, program KB menjadi bagian dari program-program

dalam bidang bina kesehatan masyarakat di Dinas Kesehatan setempat. Bidang ini

mempunyai tugas pokok yaitu menyelenggarakan program promosi kesehatan dan

UKBM (upaya kesehatan berbasis masyarakat), peningkatan gizi masyarakat, serta

kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Konsep program pelayanan di bidang bina kesehatan

masyarakat sebenarnya cukup komprehensif, jika implementasinya dilakukan secara

terintegasi. Pada pelayanan kesehatan ibu, misalnya pelayanan kesehatan dilakukan

mulai dari ibu hamil, ibu bersalin, pelayanan kesehatan maternal dengan pencegahan

komplikasi, perlindungan kesehatan reproduksi, dan Keluarga berencana.

Implementasi program dari Bidang Bina Kesehatan ini dilakukan melalui Pusat

Kesehatan Masyarakat [Puskesmas] sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang

tersedia di setiap kecamatan di Indonesia (Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan

Masyarakat). Implementasi dari strategi Kementerian Kesehatan dillakukan melalui 6

Upaya Kesehatan Wajib Puskesmas yang meliputi: i) Upaya Promosi Kesehatan, ii)

Upaya Kesehatan Lingkungan, iii) Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga

Berencana, iv) Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat, dan vi) Upaya Pencegahan dan

Pemberantasan Penyakit Menular dan Upaya Pengobatan.

Pelayanan KB yang termasuk upaya kesehatan wajib di Puskesmas ini terkait dengan

strategi percepatan penurunan AKI. Kementerian Kesehatan menetapkan 9 provinsi

dengan populasi terbanyak sebagai fokus program, yaitu Sumatera Utara, Sumatera

Selatan, Lampung, Banten, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Kesembilan provinsi ini juga merupakan bagian dari

10 provinsi penyangga utama dalam intensifikasi penggarapan pembangunan KB yang

ditetapkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN]. Satu

provinsi lainnya adalah Nusa Tenggara Timur. Bentuk implementasi program,

sebenarnya sama dengan apa yang sudah diuraikan sebelumnya, hanya dilakukan lebih

intensif dengan sistem monitoring dan evaluasi yang lebih ketat.

Penyelenggaraan Pelayanan KB merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Nasional

26

[SKN]. SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen

program kementerian secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan yang dimaksud

dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah dengan memperhatikan otonomi daerah

dan otonomi fungsional di bidang kesehatan.

Sebagai bagian dari SKN maka Pelayanan KB juga diselenggarakan secara berjenjang

di berbagai tingkat administratif. Sebagaimana dinyatakan dalam SKN, Pelayanan KB

juga ditekankan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat,

profesionalisme sumber daya manusia kesehatan, serta upaya promotif dan preventif

tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.

Dua institusi Kementerian Kesehatan dan BKKBN adalah pelaku utama untuk

meningkatkan pelayanan KB dalam konteksi pelayanan kesehatan ibu, disamping

kementerian lainnya seperti kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk

meningkatkan pendidikan perempuan dalam upaya menunda perkawinan muda,

Kementerian sosial untuk perlindungan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan,

Kementerian agama, maupun Kementerian Dalam Negeri. Pembagian peran

kementerian lembaga terkait ini perlu dikoordinasikan oleh Bappenas dan Kementerian

keuangan untuk pengaturan efisiensi penganggaran, supaya tidak terjadi tumpang tindih.

Disamping kementerian lembaga di atas upaya untuk peningkatan kesehatan ibu perlu

juga melibatkan badan-badan organisasi non-pemerintah di tingkat pusat maupun

daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan juga lembaga-lembaga mantra

pembangunan internasional, nasional, maupun lokal di tingkat provinsi dan

kebupaten/kota.

a. Peran Kementerian Kesehatan

Pelayanan KB adalah bagian dari implementasi pendekatan life cycle yang menggunakan

prinsip continuum of care dalam upaya peningkatan derajat kesehatan ibu. Peningkatan

akses dan kualitas pelayanan kesehatan dimulai sejak masa pra-hamil, kehamilan,

persalinan dan nifas, bayi, balita, hingga remaja dan wanita usia subur. Untuk masa pra-

hamil, program ditujukan pada pemahaman PUS untuk merencanakan kehamilan

dengan baik dan terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan, dan juga disarankan

untuk penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan penggunaan

kontrasepsi non-hormonal. Untuk PUS juga diperlukan Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Terpadu (PKRT) di Puskesmas. Pelayanan KB kepada ibu hamil diberikan terintegrasi

dengan pelayanan antenatal, antara lain melalui Kelas Ibu Hamil, penggunaan buku KIA,

Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), dan konseling KB

pasca-persalinan pada saat kunjungan antenatal. Segera sesudah bersalin, pelayanan

KB diberikan dalam bentuk konseling dan pelayanan KB pasca persalinan.

27

b. Peran BKKBN

Pelayanan KB berperan sangat strategis dalam upaya komprehensif untuk menurunkan

AKI, dan pengaturan kependudukan terkait dengan tingkat fertilitas. Dengan program

pelayanan KB yang komprehensif berarti ada upaya mengatur kelarhiran anak, jarak dan

usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi dan perlindungan sesuai

dengan hak-hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Pelayanan KB tidak

saja ditujukan untuk ibu tapi keluarga, terutama peran suami juga harus mempunyai

kedudukan yang sama dengan istri dalam melaksanakan KB untuk menentukan cara KB

yang diminati bersama.

c. Peran kementertian pendidikan dan kebudayaan

Integrasi yang dilakukan adalah upaya yang berorientasi pada perubahan sikap, perilaku

keluarga dan masyarakat. Anak dan generasi muda adalah target utama yang diharapkan

ke depan memiliki nilai Perilaku Hidup Berwawasn Kependudukan sebagai wujud

manusia Indonesia yang resional, cerdas, dan bertanggungjawab. Dengan demikian

sinergisitas program Keluarga Berencana dengan Pendidikan adalah memasukak

kurikulum tentang kependudukan dan keluarga berencana untuk mendidik generasi

muda agar paham sehingga terjadi perubahan pola pikir generasi muda mengenai

pentingnaya keluarga berencana, antara lain upaya terkait dengan penundaan usia

perkawinan, pengetahuan tentang penjarangan kehamilan, serta keluarga kecil bahagia

dan sejahtera.

d. Peran Kementerian Agama

Keterlibatan Kementerian Agama dalam program Keluarga Berencana bertujuan sama

yaitu dalam rangka mwwujudkan kelaurga kecil dan sejahtera. Kementerian Agama

melalui pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha and Konghucu dapat

melakukan pembinaan masyarakat termasuk diantaranya penyuluhan program keluarga

sakinah, keluarga berencana bagi calon pengantin.

e. Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana adalah untuk

mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pada semua aspek kehidupan menuju

kelaurga yang mandiri, sehat, dan sejahtera. Kementerian pemberdayaan perempuan

perlu melakukan upaya-upaya terkait dengan peningkatan kualitas hidup perempuan

(pendidikan, kesehatan, ekonomi) dan perlindungan terhadap perempuan, antara lain:

i) upaya peningkatkan akses pelayanan KB dan peningkatan peran kaum laki-

laki ber KB;

ii) upaya peningkatan akses pelayanan kesehatan reproduksi remaja dalam

pendewasaan usia perkawinan berbasis gender;

iii) upaya peningkatan kesejahteraan keluarga di berbagai bidang kehidupan

(sosial budaya ekonomi dan pendidikan)

28

iv) upaya peningkatan partidipasi masyarakat dalam pemberdayaan perempuan

dan keluarga berencana

v) upaya peningkatan kesejateraan dan perlindungan anak

vi) upaya menghaspus berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak

f. Peran Kementerian Sosial

Kementerian Sosial menetapkan visinya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, yang

dapat diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan

sosial selutuh warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,

sehingga dapat melakukan fungsi sosialnya. Dalam hal ini Kementerian Sosial

berkepentingan untuk mensukseskan program keluarga berencana dalam mewujudkan

keluarga mandiri, sehat, dan sejahtera. Integrasi program kementerian sosial dengan

program keluarga berencana bisa dalam bentuk, antara lain:

i) Upaya peningkatan aksesibiltas perlindungan sosial untuk menjamin

pemenuhan kebutuhan dasar, misalnya dalam Program Keluarga Harapan,

yang memfokuskan pada keluarga miskin

ii) Upaya pengembangan perlindungan sosial dan jaminan sosial bagi

masyarakat

iii) Upaya perlindungan masyarakat dari segala risiko sosial, perlakuan salah,

tindak kekerasan, dan eksploitasi sosial

g. Peran Kementerian Dalam Negeri

Dalam menuju Keluarga Sejahtera, Kementerian Dalam Negeri sangat berperan melalui

pelaksanaan 10 program PKK. Gerakan PKK sebagai wadah aktivitas sosial

kemasyarakatan bagi keluarga sangat perlu untuk mengembangkan potensi keluarga

sebagai wahana utama dalam mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas.

Program keluarga berencana sangat membutuhkan peran aktif PKK di lapangan melalui

bantuan kader serta jajaran pemerintah di desa yang didukung pemerintahan kecamata,

kabupaten, dan provinsi.

h. Peran institusi non-pemerintah

Lembaga-lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat

dan keluarga berencana seyogyanya memberikan dukungan teknis pelayanan keluarga

berencana dan kesehatan reporduksi, yang belum dilakukan secara optimal oleh

lembaga pemerintah. Bentuk kegiatanya antara lain:

i) penyelanggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan keseharan reproduksi

ii) operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB dalam upaya peningkatan

partisipasi pria

iii) penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hdiup

ibu, bayi dan anak

29

iv) membantu pemerintah dalam penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB dan

kesehatan reproduksi, termasuk unmet need

v) membantu pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi

untuk institusi terkait.

vi) melakukan penyuluhan pentingnya keluarga berencana dan kesehatan

reproduksi

vii) melakukan dukungan dalam peningkatan kesetaraan dan keadilan gender

viii) membantu pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan

keluarga berencana.

30

Bab 4. Teknologi Program KB (dari sisi demand dan supply)

4.1. Kualitas pelayanan KB

Kementerian Kesehatan bersama dengan BKKBN harus dapat memberikan pelayanan

KB kepada PUS dengan akses dan kualitas pelayanan yang baik. Artinya pelayanan KB

tersedia pada semua level administrasi dengan standar prosedur pelayanan yang sama.

Untuk menyediakan pelayanan yang standar tersebut maka dibutuhkan pelatihan untuk

semua petugas yang terlibat mulai dari petugas di tingkat masyarakat (Polindes,

Poskesdes), sampai ke tingkat Provinsi, baik di RS maupun di Dinas Kesehatan.

Program pelayanan Keluarga Berencana perlu meyakinkan bahwa setiap individu atau

PUS mempunyai pengetahuan yang cukup dan benar untuk memilih semua cara KB.

Perlu dipertimbangkan tentang kepuasan pengguna KB, dan dievaluasi terus menerus

untuk PUS yang tidak ber-KB (discontinue). Dari SDKI 2012, misalnya diketahui

discontinuation rate untuk semua alasan adalah 27.1 persen, tertinggi untuk penggunaan

PIL (40,7%), diukuti kondom laki-laki (31,2%), dan injeksi (24,7%). Sementara ada 13

persen yang juga mengganti cara ber-KB.

Metode Kontrasepi Jangka Panjang (MKJP) dan/atau kontrasepsi non-hormonal yang

masih rendah perlu dipertimbangkan juga untuk ditingkatkan. Program pelayanan KB

perlu memperhatikan keberadaan supply untuk kebutuhan (demand) masyarakat yang

sudah mau memilih cara sterilisasi misalnya, apakah pelayanan tersebut sudah tersedia

dari RS ketika mereka mau memilih cara tersebut.

Antisipasi peningkatan kualtias pelayanan KB dapat dilakukan dengan melakukan:

i) Menyediakan pelayanan KB sesuai standard di setiap tingkat administrasi

ii) Mengembangkan database yang dapat dimonitor terus menerus untuk

ketersedian SDM yang terlatih di semua tingkat administrasi

iii) Menyediakan logistik yang cukup sesuai demand masyarakat

iv) Mengembangkan rencana aksi untuk mengurangi unmet need

v) Melatih petugas secara berkala untuk meningkatkan kualitas pelayanan KB

4.2. Pengembangan sumber daya manusia

Kualitas sumber daya sebagai pelaku dalam pemberian pelayanan KB kepada

masyarakat sangat diperlukan. Sistem pelayanan yang terstandar perlu dilakukan oleh

tenaga terlatih untuk kepentingan melakukan identifikasi alat KB yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Pengembangan sumber daya diutamakan mulai dari tenaga yang

memberikan pelayanan langsung untuk masyarakat. Untuk pelaksanaan pelayanan

31

kesehatan dan KB diperlukan SDM yang mencukupi dalam jumlah dan jenis, dan

kualitasnya, serta terdistribusi merata.

Sebelum masuk periode reformasi terdapat tenaga PLKB di tingkat desa yang dapat

bekerja sama dengan tenaga kesehatan, utamanya bidan dan perawat melalui

Posyandu, atau pelayanan Puskesmas lainnya. Hal ini perlu diaplikasikan kembali,

ketersediaan PLKB akan membantu tenaga kesehatan yang sudah banyak dengan

berbagai kegiatan pelayanan kesehatan lainnya, minimal membantu dalam memberikan

penyuluhan agar masyarakat ber-KB, menjarangkan/menunda kehamilan, dll. Pada

masa sebelum reformasi, setiap 1 orang PLKB ditetapkan dapat bertugas di 2 desa.

Dengan jumlah desa yang sudah 80.000-an maka dibutuhkan sekurangnya 40.000

PLKB, dan ini akan membantu petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan.

Untuk tenaga kesehatan, khususnya bidan yang fungsinya memberikkan pelayanan

kesehatan termasuk KB kepada seluruh masyarakat. Menurut IBI pada tahun 2013

diketahui ada sejumlah lebih dari 175.000 bidan, dengan distribusi berdasarkan

keanggotaan IBI sebagai berikut:

i) bekerja di RS: 11.632;

ii) bekerja di RS, RSAB, RS Swasta: 17.133;

iii) bekerja di Puskesmas: 57.489;

iv) bekerja di Desa/Poskesdes 10.793;

v) bidan PTT biasa: 23.137;

vi) bidan PTT terpencil: 10.808;

vii) praktik mandiri: 35.333;

viii) institusi lain: 1.549;

ix) Pendidikan: 7.250.

Lebih lanjut dari IBI menyatakan baru sekitar 11.000-an bidan delima, yang artinya sudah

lulus kualifikasi bidan. Tidak dijelaskan kemampuan bidan di desa dalam memberikan

pertolongan persalinan dan pelayanan KB sesuai standar atau belum, karena terkendala

dengan sarana tempat tinggal yang bergabung menjadi Poskesdes.

Jika PLKB dan bidan berkualitas ini tersedia, maka diharapkan mereka bisa bekerja sama

dalam memberikan pelayanan kesehatan dan KB pada masyarakat.

4.3. Keamanan ber-KB

Keamanan ber-KB adalah suatu kondisi dimana masyarakat memilih alat/cara KB dan

merasa nyaman menggunakannya. Jika masyarakat tahu dan merasa aman, maka

tujuan program KB yang sebenarnya untuk mencegah terjadinya ledakan penduduk bisa

tercapai. Target atau CPR yang tidak tercapai pada saat ini, diasumsikan bahwa masih

ada masyarakat yang tidak menggunakan alat kontrasepsi, kemungkinan mereka tidak

32

tahu, atau alatnya tidak tersedia, atau mereka tidak mampu untuk membeli, selain

kemungkinan ada faktor budaya, atau merasa tidak aman.

Untuk itu diperlukan edukasi, advoksai dan promosi tentang KB kepada masyarakat.

Edukasi tentang KB itu sangat penting dan mendesak, diharapkan dapat disampaikan

kepada masyarakat sedini mungkin melalui kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah-

sekolah, misalnya. Advokasi dan promosi KB juga harus menyesuaikan dengan budaya

setempat. Pada daerah terpencil mungkin bisa dijangkau dalam bentuk leaflet, poster,

dan lain sebagainya, sedangkan untuk daerah tidak terpencil, atau perkotaan dapat

menggungkan terknologi komunikasi yang ada saat ini, seperti televise, radio, sms, atau

bentuk media online lainnya.

Kajian perlu terus dilakukan untuk mengetahui mengapa masyarakat tidak ber-KB agar

ditemukan cara atau teknologi terbaru, misalnya dalam menghambat kehamilan yang

aman.

4.4. Manajemen pelayanan KB

UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan

Keluarga menyebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran

anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi,

perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga

berkualitas.

Untuk melaksanakan amanat tersebut diperlukan alat kontrasepsi yang sampai pada

masyarakat sesuai sasaran dan tepat waktu. Antisipasi pokok persoalan perlu segera

dilakukan mulai dari tersedianya alat kontrasepsi di masyarakat sampai kompetennya

tenaga kesehatan untuk melayani masyarakat tesebut. Dengan demikian keterbatasan

akses dan kualitas pelayanan KB dapat diatasi.

Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah:

i) Penyediaan alat, obat kontrasepsi untuk kebutuhan PUS sampai desa.

ii) Menyediakan tenaga dan meningkatkan kapasitasnya untuk melakukan

penyuluhan/konseling KB

iii) Melakkan pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi

kemasyarakatan dalam pelayanan KB

iv) Melakukan standarisasi dan sertifikasi kepada tenaga pelayanan KB

4.5. Behavior change communication (BCC)/promotion counseling

Untuk memberikan kesadaran atau meningkatkan pengetahuan seluruh masyarakat,

tentang pentingnya kesehatan reproduksi sehingga mereka mau ber-KB sangat

diperlukan. Masyarakat disini adalah semua kelompok umur dari laki-laki maupun

33

perempuan, atau keluarga secara utuh. Pengetahuan masyarakat tentang pentingnya

ber-KB selain untuk pengaturan dan penjarangan kehamilan, dan pencegahan beberapa

penyakit infeksi yang berhubungan dengan penyakit kelamin masih sangat terbatas. BCC

yang komprehensif sangat diperlukan untuk mengurangi AKI. Seyogyanya diperlukan

suatu keterkaitan antar pendekatan pelayanan KB dan kegiatan BCC di semua

komponen kesehatan reproduksi. BCC sebagai salah satu komponen strategi komunikasi

sangat diperlukan untuk peningkatan pelayanan KB. BCC ini seyogyanya dilakukan

dengan pertimbangan sosial dan budaya masyarakat.

Adapun pendekatan BCC yang dapat dilakukan untuk perubahan perilaku masyarakat

antara lain:

i) Menyampaikan informasi yang bertujuan untuk merubah tingkat kesadaran

masyarakat dengan cara kampanye yang bersifat nasional tentang pentingnya

keluarga berencana. Kampanye ini tentunya melibatkan seluruh institusi yang

berkepentingan untuk suksesnya KB.

ii) Memperkuat penyampaian informasi yang diperlukan untuk meningkatkan

pengetahuan pada masyarakat tentang KB, bisa didukung dengan peraturan

pemerintah setempat

iii) Berupaya untuk merubah kebiasaan/budaya/persepsi yang salah dari

masyarakat ke pengetahuan dan perilaku yang positif tentang KB.

iv) Menciptakan suasana lingkungan yang bertujuan merubah kebiasaan negatif

menjadi pengetahuan dan kesadaran positif

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk terlaksananya BCC seperti diatas mungkin bisa

dilakukan melalui:

i) Advokasi yang merupakan bagian dari mobilisasi sosial untuk para perencana

program, pembuat kebijakan di seluruh intitusi terkait

ii) Capacity building untuk pengembangan media penyampaian pesan melalui

radio, televisi, atau poster, brosur, leaflet, dll

Sebagai bagian dari semua kegiatan BCC, ada hal penting untuk kondisi Indonesia yang

akan datang yaitu penundaan usia perkawinan, hal ini tentunya ditargetkan pada remaja

perempuan. Kegiatan terkait dengan tujuan ini bisa dilakukan bersamaan dengan

kegiatan BCC yang sudah diuraikan sebelumnya. Akan tetapi perlu advokasi yang

ditujukan pada pemuka agama, politikus, dan para ketua LSM dalam rangka menurunkan

proporsi perkawinan dini. Adapun pelaku dari BCC ini di lapangan adalah tenaga

kesehatan, utamanya dokter bidan dan perawat, yang dibantu oleh PLKB.

34

Bab 5. Isu Strategis, Permasalahan dan Tantangan

Hasil analisis situasi menunjukkan adanya beberapa masalah strategik, seperti masih

tingginya kejadian kehamilan dan persalinan pada remaja perempuan usia 15-19 tahun,

dan masih tingginya kejadian kehamilan yang tidak diinginkan akibat tingginya unmet

need dan ketidakberlangsungan penggunaan kontrasepsi, yang ditandai dengen CPR

yang tidak bisa mencapai sesuai yang ditargetkan. Dampaknya adalah AKI yang

cenderung meningkat, dan TFR yang cenderung stabil di posisi 2.6 dalam 10 tahun

terakhir.

Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen para pemangku kepentingan, baik pemerintah

dan non-pemerintah dalam penyelenggaraann pelayanan KB. Rendahnya pengguna

MKJP menunjukkan masih rendahnya permintaan atas pelayanan KB, atau belum

optimalnya ketersediaan, keterjangakauan, dan kualitas pelayanan KB, termasuk

pelayanan KIE dan konseling pada masyarakat.

Strategi pelaksanaan Program Keluarga Berencana mengikuti sistem desentralisasi,

dengan memprioritaskan lokasi-lokasi kebupaten dimana ketersediaan sumber daya

untuk pelayanan KB sangat terbatas. Pada saat ini terdapat fasilitas pelayanan

kesehatan primer sebanyak kurang lebih 9.510 Puskesmas, diantaranya adalah

Puskesmas perawatan, dan 23.059 Pustu, yang didukung upaya kesehatan bersumber

masyarakat yang meliputi 51.996 Poskesdes dan Polindes. Fasilitas pelayanan

kesehatan sekunder dan tersier yang tersedia meliputi 833 Rumah Sakit Pemerintah,67

Rumah Sakit BUMN, 721 Rumah Sakit Swasta non-profit, dan 548 Rumah Sakit Swasta.

Ketersediaan tenaga kesehatan sebagai pemberi Pelayanan KB semakin membaik,

walaupun belum mencapai target yang diinginkan dan belum merata di seluruh wilayah

Indonesia. Target yang diinginkan adalah tersedianya 100 bidan per 100.000 penduduk.

Saat ini baru tersedia 49,5 bidan per 100.000 penduduk. Provinsi Aceh dan Bengkulu

memiliki rasio yang terbaik, yaitu masing-masing 193,4 dan 142,3 bidan per 100.000

penduduk. Rasio terendah ditemukan di DKI Jakarta dan Jawa Barat, masing-masing

21,5 dan 23,5 bidan per 100.000 penduduk. Target ketersediaan dokter umum yang

diinginkan adalah 40 per 100.000 penduduk. Saat ini di tingkat nasional baru tersedia

13,6 dokter umum per 100.000 penduduk. Rasio terbaik terdapat di Sulawesi Utara dan

Yogyakarta, yaitu masing-masing 38,7 dan 35,5 dokter umum per 100.000 penduduk.

Sementara rasio terendah terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur, yaitu masing-masing

6,4 dan 7,4 dokter umum per 100.000 penduduk.

Adapun isu strategis yang sudah dicanangkan pada peringatan Hari Keluarga Nasional

tahun 2014 ini, yang pada intinya mengingatkan kembali peran keluarga untuk

memantapkan kembali program Kependudukan, Keluarga Berencana dan pembangunan

kesehatan di Indonesia. Program-program terdahulu yang diarahkan pada pengendalian

jumlah penduduk dan pengaturan jarak kelahiran, peningkatan kualitas penduduk hingga

35

peningkatan pembinaan keluarga meliputi Balita, Anak, Remaja dan lansia. Diharapkan,

kondisi saat ini, dimana desentralisasi/otonomi daerah sudah diberlakukan selama

hampir 15 tahun, maka pemerintah daerah kedepan lebih mendukung prioritas program

kependudukan, kesehatan, dan keluarga berencana dengan lebih memperhatikan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Momentum pemantapan program kependudukan dan Keluarga Berencana sangat erat kaitannya dengan upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Keberhasilan KB, akan berpengaruh terhadap penurunan peluang kehamilan atau pengaturan kehamilan guna menghindari faktor resiko penyulit kehamilan dan persalinan, seperti 4 Terlalu dan 3 Terlambat. Faktor resiko 4 terlalu, seperti: terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat merupakan kondisi yang sebisa mungkin dihindari ketika hamil, oleh karena itu pengaturan kehamilan sangatlah perlu dilakukan dengan pemantapan program Keluarga Berencana. Hasil analisis pada uraian sebelumnya memperlihatkan bahwa dalam kondisi keberlebihan tenaga bidan di Puskesmas, yang belum terdistribusi merata di seluruh desa, dan minimnya jumlah PLKB hampir di seluruh Provinsi di Indonesia perlu diantisipasi. Dilain pihak, pemilihan cara KB pada masyarakat juga perlu ditingkatkan, yang saat ini menjadi kendala yang cukup berarti (MKJP masih rendah), yang akan memberikan potensi terjadinya kehamilan dengan kondisi berisiko tinggi, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada peningkatan AKI. Selain itu upaya konseling KB harus dilakukan secara terus-menerus tidak saja hanya pada perempuan, tapi juga pada kelompok pria atau seluruh anggota keluarga, dengan memperhatikan isu sosial budaya setempat. Beberapa isu strategis yang harus dilakukan adalah mengatasi beberapa hal terkait dengan:

1) Pencapaian target dan indikator yang belum optimal 2) Meningkatkan akses dan lualitas pelayanan kesehatan ibu yang belum optimal 3) Mencegah kelahiran yang terjadi pada remaja 4) Meningkatkan ketersediaan, penyebaran dan kualitas sumber daya manusia

kesehatan 5) Meningkatkan ketersedian, keterjangkauan, pemerataan dan kualitas farmasi

serta alat kesehatan 6) Penyediaan kecukupan alokok di fasilitas kesehatan yang memberi pelayanan

KB 7) Menguatkan pelayanan kesehatan rujukan yang berkualitas 8) Mensinergiskan tujuan nasional dalam rencana pembangunan daerah 9) Desentralisasi: tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan daerah 10) Komitment stakeholder (legistlatif dan eksekutif) di setiap tingkatan 11) Peningkatan pemberdayaan masyarakat 12) Penguatan manejemen data dan sistem informaso 13) Pengembangan pembiayaan kesehtana dalam JKN 14) Monitoring dan evaluasi di setiap level.

36

Bab 6. KB dan BPJS

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang implementasinya secara nasional per 1 Januari

2014. Program ini ditujukan untuk memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang

komprehensif, mulai dari pelayanan preventif seperti imunisasi dan keluarga berencana

hingga pelayanan penyakit katastropik seperti penyakit jantung dan gagal ginjal. Baik

institusi pelayanan pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan untuk

program tersebut selama mereka menandatangni sebuah kontrak kerja sama dengan

pemerintah.

Masalah kependudukan dan keluarga berencana masih menjadi perhatian pemerintah,

apalagi di era JKN. Permenkes No.71 tahun 2013 yang menjamin bahwa pelayanan

kontrasepsi adalah termasuk pelayanan dasar sehingga mendapat porsi pembiayaan

yang cukup. Kerja sama antara BKKBN dengan (BPJS) kesehatan ini diperlukan sebagai

upaya peningkatan pelayanan KB. Bentuk pelayanan KB melalui BPJS meliputi

konseling, kontrasepsi dasar, kontrasepsi jangka panjang (vasektomi dan tubektomi),

dan pelayanan KB bagi peserta yang telah terdaftar pada BPJS kesehatan. Yang akan

ditanggung dalam BPJS kesehatan adalah untuk jasa layanannya di fasilitas kesehatan

dasar maupun lanjutan (RS) yang masuk dalam sistem JKN. Termasuk pemasangan

maupun pelepasan alat kontrasepsi seperti metode operasi wanita (MOW) dan metode

operasi pria (MOP).

BKKBN ditugaskan untuk menyediakan alat kontrasepsi bagi peserta BPJS Kesehatan,

khusus penerima bantuan iuran (PBI), yaitu 86,4 juta jiwa. Keberadaan program JKN

adalah peluang bagi program KB, selain itu kepastian cakupan kepesertaan KB lebih

besar lagi bagi masyarakat miskin. BKKBN bertugas menggerakkan secara berjenjang

mulai dari perwakilan BKKBN provinsi dan Satuan Kerja sama dan koordinasi dengan

Dinas Kesehatan di setiap provinsi, kabupaten, dan kota dan Puskesmas di wilayah

kerjanya dalam pelaksanaan program KB melalui pertemuan berkala, bimbingan teknis

dan surpevisi terpadu.

Adapun tugas lain dari BKKBN dalam BPJS kesehatan adalah menyediakan dan

mendistribusikan materi komunikasi, informasi dan edukasi untuk penggerakan

pelayanan KB dan kesehatan reprodusi, sarana penunjang pelayanan kontrasepsi serta

menjamin kersediaan alat dan obat kontrasepsi seusia dengan kebutuhan pelayanan KB

ke seluruh fasilitas pelayanan yang terintegrasi dan bekerja sama dengan BPJS

kesehatan.

Dalam pelaksanaanya masih disadari masih belum sempurna, proses penyempurnaan

program terus dilakukan untuk memberikan pelayanan kesehatan dan keluarga

berencana yang lebih baik ke masyarakat. Untuk itu pemerintah dan pemerintah daerah

37

melalui dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota serta RS membuka berbagai

saluran pengaduan dan permintaan inforrmasi dari masyarakat sebagai langkah untuk

terus menyempurnakan program ini.

Pelayanan KB yang masuk dalam JKN menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN) ini akan berdampak kepada kualitas penduduk yang semakin baik.

Masyarakat Indonesia sehat, pelayanan KB lebih terjamin, dan diharapkan SDM juga

semakin baik.

.

38

Bab 7. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan KB 2015-2019

Berdasarkan indikator pelayanan kesehatan ibu yang masih belum banyak berubah,

maka strategi program Pelayanan Keluarga Berencana tahun 2015-2019 perlu dilakukan

lebih komprehensif lagi. Memperhatikan permasalahan yang sudah diuraikan pada

analisis situasi, maka pertimbangan strategi kedepan, khususnya untuk RPJMN 2015-

2019 seyogyanya berupaya untuk:

i) Menekan angka kelahiran remaja dengan cara meningkatkan partisipasi

sekolah minimal sampai tamat SMA, sehingga dapat terjadi penundaan

perkawinan yang terjadi diusia remaja. Peran ini dilakukan oleh sektor

pendidikan.

ii) Meningkatkan status gizi anak dan remaja agar pada saat konsepsi mereka

pada kondisi kesehatan optimal, tidak anemia, sakit-sakitan, atau kurang gizi

lainnya. Peran ini dilakukan oleh berbagai sektor, utamanya sektor kesehatan

untuk hal-hal yang terkait dengan program spesifik kesehatan, dan sektor

lainnya yang berkaitan dengan program sensitif, seperti ansipasi kemiskinan,

dan pemberdayaan keluarga atau masyarakat, dan juga peningkatan

pendidikan.

iii) Menekan kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), dengan

tujuan mengurangi “4 terlalu”: terlalu muda (<20 tahun), terlalu tua (>35 tahun),

terlalu banyak (.4 anak), dan terlalu dekat (<2 tahun). Strategi ini dapat

dilakukan oleh kesehatan yang akan berperan dalam memberikan promosi

kesehatan terkait meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi. Dapat

juga sektor lain, seperti Pendidikan, BKKBN, dan Pemberdayaan perempuan

terlibat untuk upaya ini.

iv) Mencegah komplikasi kehamilan, dengan mengupayakan peningkatan kualitas

pelayanan antenatal. Strategi ini dilakukan oleh Kesehatan dengan

mengutamakan pada peningkatan kompetensi bidan agar pelayanan yang

diberikan dapat lebih berkualitas.

v) Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan. Upaya ini mutlak dilakukan

oleh sektor kesehatan dengan membenahi fasilitas kesehatan yang ada,

memperbaiki sistem rujukan, dan peningkatan kompetensi bidan maupun

dokter.

vi) Mempromosikan penggunaan MKJP dan/atau non-hormonal sesuai dengan

kelompok usia PUS. Upaya ini dapat dilakukan oleh BKKBN, Kesehatan,

Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan, atau LSM swasta untuk menjelaskan

berbagai pilihan alat/cara kontrasepsi yang sesuai.

vii) Memperhatikan keterjangkauan pelayanan KB pada daerah-daerah sulit,

kepulauan, terisolir, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini dilakukan secara

terintegrasi antara Kesehatan, BKKBN, serta LSM swasta.

viii) Memberikan pelayanan KB yang berkualitas, terhindar dari komplikasi,

ketidakberlangsungan, dan kegagalan kontrasepsi. Upaya ini dilakukan secara

terintegrasi antara Kesehatan, BKKBN, serta LSM swasta.

39

ix) Meningkatkan kompetensi tenaga yang memberikan pelayanan KB dengan

melakukan pelatihan secara periodik. Upaya ini sangat diperlukan dalam

rangka memberikan pelayanan kesehatan dan KB yang berkualitas. Institusi

kesehatan berkepentingan untuk melakukan upaya ini dan bekerja sama

dengan institusi pendidikan

x) Meningkatkan sarana dan prasarana, alat dan obat kontrasepsi, ketersediaan

pedoman pelayanan dalam upaya untuk menjaga mutu. Upaya ini dilakukan

secara terintegrasi antara kesehatan dan BKKBN.

xi) Melakukan advokasi terus menerus kepada seluruh pimpinan pada institusi

terkait tentang kependudukan, KB dan ketahanan keluarga, serta

KIE/penyuluhan melalui mass media, poster, dll ke seluruh lapisan masyarakat

yang dapat dilakukan melalui organisasi kemasyarakatan, Posyandu,

dasawisma, dll. Upaya ini dilakukan oleh seluruh sektor terkait.

Usulan strategi kedepan tersebut di atas dapat dijabarkan sesuai dengan tugas pokok

dan fungsi institusi terkait kedalam perencanaan program 2015-2019. Berbagai bentuk

implementasi program ditujukan untuk mencegah kematian ibu, dan ledakan penduduk,

yang ditandai dengan indikator yang sudah disepakati bersama, seperti AKI dan TFR.

Untuk sektor kesehatan, implementasi program KB dilaksanakan melalui system

pelayanan kesehatan komprehensif dan terintegrasi mulai dari tingkat masyarakat,

Puskesmas dan yang sederajat sampai dengan tingkat Rumah Sakit sebagi dukungan

rujukan, dengan prinsip pelaksanaan Continuum of Care dalam upaya peningkatan

kesehatan ibu, mulai dari remaja dan pasangan usia subur (PUS). Adapun upaya konkrit

untuk sektor kesehatan antara lain:

Di tingkat Masyarakat:

1. Penguatan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM), melalui posyandu,

Polindes, Poskesdes

2. Penguatan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan

Komplikasi (P4K) dan penguatan peran Kepala Desa, Camat

3. Penguatan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan seperti PKK dengan

Dasa wismanya, Kelompok Peminat KIA (KP-KIA), dll

Di tingkat Puskesmas dan yang sederajat: tetap mengacu pada pelayanan kesehatan

wajib di Puskesmas, dimana pelayanan KB menjadi bagian dari pelayanan KIA

1. Meningkatkan keberadaan Puskesmas pada daerah terpencil, terisolir,

perbatasan, dan kepulauan.

2. Menambah jumlah Puskesmas pada daerah padat penduduk.

3. Memperhatikan/memfokuskan keberadaan tenaga kesehatan pada daerah padat,

terpencil, terisolir, perbatasan, dan kepulauan, serta peningkatan kapasitas

tenaga kesehatan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dan KB yang

berkualitas dan merata.

40

4. Meningkatkan koordinasi antara puskesmas dengan institusi pelayanan KB

swasta yang sederajat dengan puskesmas

Upaya konkrit di atas dapat dilaksanakan jika jumlah tenaga kesehatan bidan, maupun

dokter ditambah dua kali lipat dari jumlah yang ada sekarang, sehingga pada tahun 2019

dapat mencapai minimal 50.000 dokter umum, dan 300.000 bidan. (Rasio ideal yang

dibutuhkan penduduk untuk pelayanan kesehatan: 1 dokter melayani 5000 penduduk; 1

bidan melayani 850 penduduk). Tenaga kesehatan tersebut harus semuanya profesional,

agar pelayanan dapat dilakukan berkualitas dan merata ke seluruh pelosok Indonesia.

Di tingkat Rumah sakit:

Setiap RS dipastikan tersedia pelayanan PKBRS dengan sarana yang memadai seperti

alat kontrasepsi, konseling, dan sistem monitoringnya. Oleh karena itu diperlukan:

a. Koordinasi BKKBN setempat dengan RS pemberi pelayanan IUD, Post partum

untuk follow up akseptor setelah pulang dari RS

b. Konseling tentang KB sangat penting diberikan kepada ibu-ibu hamil mulai dari

perawatan kehamilan pada waktu ANC/antenatal care dan juga PNC/Postnatal

Care, sehingga setiap ibu pasca persalinan sudah menggunakan kontrasepsi

sebelum pulang dari RS

c. Pelatihan konseling dan medis teknis untuk provider tentang KB PP (Pasca

Persalinan) & KB PK (Pasca keguguran) khususnya Insersi IUD Post Partum.

d. Menyediakan IUD dan IUD KIT di Rumah sakit dan menyediakan materi KIE

tentang KB di RS

41

Rujukan

1. UNDP 2014. Human Development Report, 2014

2. BPS 2014. Laporan Kemiskinan, WEB BPS, online, 2014

3. BPS, 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Bappenas, BPS, UNFPA,

Jakarta 2013.

4. BPS, 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025. Bappenas, BPS, UNFPA,

Jakarta, 2005.

5. Kemenkes 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

6. Kemenkes 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

7. Kemenkes 2012. Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011 untuk

Puskesmas.

8. Kemenkes 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

9. Kemenkes 2013. Rencana Aksi Nasional Pelayanan Keluarga Berencana 2014-

2015.

10. Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN), Kementerian Kesehatan dan MEASURE DHS, ICF Internasional. 2013.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Calverton, Maryland, USA: BPS

dan MEASURE DHS, ICF Internasional.

11. UU RI nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga.

12. WHO. 2014. Trends in Maternal Mortality: 1990 to 2013. Geneva: WHO.

13. Badan Pusat Statistik. Presentasi Kecenderungan AKI, Razali, unpublished, 2014.