PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK kel Rina
Transcript of PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK kel Rina
PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK
Kelompok 4 :
Rina Sulistya P 14020111130051Annisa Azwar K 14020111130052Agasetyo M 14020111130053
Anindia Novi A 14020111130054
ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
Bab I
PENDAHULUAN
A. Standar Kompetensi
Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang
telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila
ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka
masuk dalam kategori norma hukum.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan,
tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu
kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan
atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode
etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya
kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan
melindungi perbuatan yang tidak professional.
Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat
dari kode etik yang dimiliki oleh para administrator
public. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada
beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode
etik bagi kalangan profesi lain masih belum ada, meskipun
banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai agama dan etika
moral pancasila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi
pegangan bekerja atau bertingkah laku., dan yang menjadi
masalah sebenarnya adalah bagaimana implementasi dari
nilai-nilai tersebut. Pendapat itu tidak salah, tetapi
harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah
memberikan peluang bagi para pemberi pelayanan untuk
mengenyampingkan kepentingan public. Kehadiran kode etik
itu sendiri lebih berfungsi sebagai control langsung sikap
dan perilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek
dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan tata
tertib yang ada. Di Amerika Serikat misalnya kesadaran
beretika dalam pelayanan public telah begitu meningkat
sehingga banyak profesi pelayanan public telah menetapkan
kode etiknya. Salah satu contoh yang relevan dengan
pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASI
(American Society for Public Administration). Nilai-nilai yang
dijadikan kode etik bagi administrator publik di Amerika
Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran,
ketabahan , dll.
Tujuan dari etika sendiri adalah memberitahukan
bagaimana kita dapat menolong orang atau manusia dalam
kebutuhan riil yang secara susila dapat
dipertanggungjawabkan. Etika umumnya adalah penerapan
prinsip-prinsip moral dalam kehidupan, sikap kritis dan
pandangan seseorang bisa menggunakan pedoman ideologi
Pancasila dan juga UUD 1945. Etika ialah dunia filsafat,
nilai, dan moral, sementara itu Administrasi ialah dunia
keputusan tindakan. Dimana etika lebih bersifat abstrak
dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan
administrasi adalah konkret dan harus mewujudkan apa yang
diinginkan.
Etika merujuk pada dua hal, pertama, berkenaan dengan
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut
manusia beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan
pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri yang
berupa nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur
tingkah laku manusia. Etika juga tidak lepas dari moral,
yang mana antara etika dan moralitas saling berhubungan.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk
Etika dalam administrasi adalah bagaimana membuat
keterkaitan keduanya. Bagaimana gagasan administrasi
seperti efisiensi, ketertiban, kemanfaatan, produktifitas
dapat menjawab etika dalam prakteknya. Serta bagaimana
gagasan dasar etika dapat mewujudkan yang baik dan
menghindari hal yang buruk itu dapat menjelaskan hakekat
administrasi. Diperlukan etika dalam administrasi karena
ini akan memberikan contoh yang baik, sebab setiap orang
sebenarnya memiliki kesadaran masing-masing namun tidak
pernah menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam paper
ini akan menjelaskan tentang pengertian etika administrasi
publik dan juga permasalahan pada etika administrasi
publik.
B. Permasalahan
1. Bagaimana Pengertian Etika Administrasi Publik ?
2. Bagaiman Permasalahan Etika Administrasi Publik ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Etika Administrasi Publik
2. Mengerti Permasalahan Etika Administrasi Publik
Bab II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Administrasi Publik
1. Pengertian etika dan moral
Dalam Ensiklopedi Indonesia, etika disebut
sebagai “Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan
bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; apa
yang baik dan apa yang buruk”. Sedangkan secara
etimologis, etika berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani yang berarti kebiasaan atau watak
Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi
kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang
lebih baik (su). Etika menurut Bertens dalam (Pasolong,
2007:190) adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.
Etika berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1988) dijelaskan
sebagai berikut :
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut golongan
atau masyarakat
Bartens (2000) menggambarkan konsep etika dengan
beberapa arti, salah satu di antaranya dan biasa
digunakan orang adalah kebiasaan, adat istiadat, akhlak
dan watak. Bartens juga mengatakan bahwa didalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia karangan Purwadaminta Etika
dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral).
Dari memperhatikan beberapa sumber diatas, Bartens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika , yaitu
Sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral
sebagai pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya atau disebut dengan
sistem nilai.
Sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenal sebagai “kode etik”
Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk yang
acapkali disebut “filsafat moral”
Sedangkan , Secara etimologis, kata moral berasal
dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores,
yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592),
moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau
susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan
pengertian moral yang dari segi substantif materiilnya tidak
ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.
Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah
ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian
akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai
(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan
merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan
dan direncanakan sebelumnya.
Maka dari itu, Etika dan moralitas memberi petunjuk
konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara
baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk
konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari
agama dan kebudayaan tertentu.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa masalah etika selalu berhubung-an dengan
kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau
dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak
yang baik maupun kebiasaan atau watak buruk. Watak baik
yang termanifestasikan dalam kelakuan baik, sering
dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya.
Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam
kelakuan buruk, sering dikatakan sebagai sesuatu
yang tidak patut patut atau tidak sepatutnya.
Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi
publik (Pasolong, 2007 :193) diartikan sebagai filsafat
dan professional standar (kode etik) atau right rules of
conduct (aturan berperilaku yang benar) yang sehatursnya
dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrasi
publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika
administrasi publik adalah aturan atau standar
pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau
pekerjaan manajemen ; aturan atau standar pengelolaan
yang merupakan arahan moral bagi administrator publik
dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat. Aturan
atau standar dalam etika administrasi negara tersebut
terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan,
ketatausahaan, dan hubungan masyarakat.
Apakah pengaruh etika dalam kebijakan publik, Etika
dalam administrasi publik hakikatnya tidak mempersoalkan
”benar atau salah” tetapi lebih menekankan kepada ”baik
dan buruk”. Dalam paradigma dikotomi politik dan
administrasi pemerintah memiliki 2 (dua) fungsi yang
berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi administrasi.
Fungsi politik berkaitan dengan pembuatan kebijakan
(public policy making) dan fungsi administrasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini
berarti kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada
kekuasaan politik sedangkan pelaksanaan atas kebijakan
politik ini merupakan kekuasaan dari administrasi
publik. Dalam kondisi ini administrasi publik dihadapkan
kepada sesuatu yang dilematis mengingat adanya dikotomi
antara politik dan administrasi. Kebijakan yang
dihasilkan dari konsensus politik harus bermain dalam
tataran ”benar atau salah” ketika dijalankan oleh
administrasi publik. Disinilah etika diperlukan untuk
dijadikan sebagai pedoman, referensi, dan petunjuk
tentang apa yang dilakukan dalam menjalankan kebijakan
politik ini. Etika disini juga dapat digunakan sebagai
standar penilaian terhadap perilaku Administrasi Negara
dalam menjalankan kebijakan politik apakah dilaksanakan
secara ”baik atau buruk” karena Administrasi Negara
bukan saja memiliki keterikatan dengan kebijakan politik
tapi lebih dari itu juga berkait dengan manusia dan
kemanusiaan.
2. Pengertian administrasi publik
Administrasi Publik menurut Chandler dan Plano
dalam Keban (2004: 3) adalah proses dimana sumber daya
dan personel publik diorganisir dan dikoordinasikan
untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan
mengelola (manage) keputusan-keputusan dalam kebijakan
publik. Chandler & Plano menjelaskan bahwa administrasi
public merupakan seni dan ilmu (art&science) yang
ditunjukan untuk mengatur “public affairs” dan melaksanakan
berbagai tugas yang ditentukan. Administrasi Publik
sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk memecahkan masalah
public melalui perbaikan-perbaikan terutama dibidang
organisasi, sumber daya manusia dan keuangan. Marshall
E. Dimock, Gladys O. Dimock, dan Louis W. Koenig (1960),
mengatakan bahwa administrasi publik adalah kegiatan
pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan politiknya.
Dwight Waldo (1971), mendefinisikan administrasi public
adalah manajemen dan organisasi dari manusia-manusia dan
peralatannya guna mencapai tujuan pemerintah. Nicholas
Henry (1988) mendefinisikan administrasi public adalah
suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan praktek,
dengan tujuan mempromosi pemahaman terhadap pemerintah
dalam hubungannya dengan masyarakat yang diperintah dan
juga mendorong kebijakan public agar lebih responsif
terhadap kebutuhan social. Administrasi public berusaha
melembagakan praktik-praktik manajemen agar sesuai
dengan nilai efektivitas, efisiensi dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat secara lebih baik.
Dari beberapa definisi administrasi publik diatas,
dapat disimpulkan bahwa administrasi publik adalah
kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau
lembaga dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
dalam memenuhi kebutuhan publik secara efisien dan
efektif.
3. Landasan etika administrasi publik.
Sesungguhnya antara etika dan administrasi publik
mempunyai landasan yang berbeda. Etika merupakan
induknya filsafat nilai dan moral sedangkan administrasi
publik merupakan dunianya keputusan dan tindakan. Etika
bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan ”baik
dan buruk” sedangkan Administrasi Negara bersifat
konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan.
Menurut Bertens etika adalah seperangkat nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Sedangkan Darwin mengartikan etika sebagai
prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu
kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu
dalam berhubungan dengan individu lain dalam
masyarakat. Darwin juga mengartikan Etika Birokrasi
(Administrasi Negara) sebagai seperangkat nilai yang
menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam
organisasi.Setidaknya dalam berorganisasi dikenal 3
(tiga) macam etika :
Etika Individu yakni menentukan baik atau buruk
perilaku orang perorangan (individu) dalam
hubungannya dengan orang lain. Etika inilah yang
justru harus dimiliki oleh orang yang menjadi
pengabdi masyarakat (public servant).
Etika Organisasi yakni etika yang berfungsi sebagai
aturan (ethics as rule) yang dicerminkan dalam struktur
organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk
di dalamnya sistem intensif dan disinsentif dan
sanksi-sanksi yang berdasarkan pada aturan.
Etika Profesi yang berkaitan dengan pekerjaan
seseorang, yang berlaku dalam suatu kerangka yang
diterima oleh semua yang secara hukum atau secara
moral mengikan mereka dalam kelompok profesi yang
bersangkutan.
Ketiga macam etika tersebut idealnya dapat diikuti
dan dipatuhi serta sekaligus dijadikan pedoman,
pegangan, referensi seseorang dalam melakukan hubungan
dengan orang dalam organisasi, dalam menjalankan tugas
organisasi dan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.
B. Permasalahan Etika Administrasi Publik
1. Legitimasi Kekuasaan
Salah satu agenda Reformasi dalam bidang
administrasi publik adalah mengupayakan terwujudnya Good
Governance yaitu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, bertanggungjawab dan profesional yang ditandai
adanya aparat birokrasi pemerintah yang senantiasa
mengedepankan terpenuhinya public accountability and
responsibility. Untuk itu setiap aparat birokrasi pemerintah
yang ada diseluruh level pemerintahan harus memiliki
rasa kepekaan (responsiveness) terhadap kepentingan
masyarakat maupun terhadap masalah-masalah yang ada dan
harus dipecahkan di masyarakat, bertanggungjawab dalam
pelaksanaan tugas/pekerjaan, dan harus pula bersifat
representatif dalam pelaksanaan tugas. Hal ini berarti
dihindarinya penyalahgunaan wewenang ataupun tindakan
yang melampaui wewenang yang dimiliki baik ditinjau dari
berbagai peraturan yang berlaku maupun dari nilai-nilai
etika administrasi publik dan etika pemerintahan. Dan
perlu ditekankan pula bahwa Good Governance hanya akan
terwujud apabila setiap aparat birokrasi pemerintah
dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa melandasi
pengambilan kebijakan dengan prinsip ekonomis, efisien
dan efektif sebagai perwujudan tanggung jawab yang
bersifat obyektif, di samping adanya tanggung jawab yang
bersifat subyektif yaitu sikap tidak membedakan kelompok
sasaran pembangunan dan senantiasa berupaya mewujudkan
keadilan serta adanya keterbukaan/kejujuran.
Dewasa ini para pejabat administrasi banyak yang
terjerat dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan
etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta
tindakan asusila lainnya. Korupsi berasal dari kata
Latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang berarti
penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral,
kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau
kecurangan. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia,
korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang
negara, perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain. Ada dua macam korupsi yaitu
korupsi uang dan korupsi waktu (Kumorotomo : 2008).
Menurut KPK, suap adalah setiap orang yang memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya. Pemerasan adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri. Gratifikasi adalah hadiah yang
diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara di luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu
bisa berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket, fasilitas wisata, fasilitas
perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan
seksual.
Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan
yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan
melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan
(concealment). Korupsi merupakan tindakan yang merugikan
negara, secara langsung maupun tidak langsung
(Kumorotomo, 1999 :179).
Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas
menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi
birokrasi yang ke atas tampak dari kebiasaan sebagian
besar pejabat untuk melapor kepada atasan dengan
bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan
menganggap bahwa segala sesuatu yang direncanakan oleh
pusat itu baik untuk diterapkan di tingkat lokal. Yang
menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya
bertugas melapor pada eksekutif puncak, siapa yang akan
mengawasi eksekutif puncak itu sendiri (Kumorotomo, 1999
: 207).
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah
juga sering kali bermasalah, baik dari segi kualitas
barang yang tidak sesuai maupun adanya unsur Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara pejabat pemerintah
dengan para penyedia barang atau jasa. Upaya untuk
memberantas praktek-praktek KKN dalam proses pengadaan
barang dan jasa berkembang semakin kuat dengan semakin
tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat dan
pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan peran
serta masyarakat, terutama dalam bentuk pengawasan
terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selama ini, kurangnya pengawasan oleh masyarakat
pada proses pengadaan barang dan jasa, antara lain
disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Di samping itu, tidak tersedianya mekanisme pengawasan
dan mekanisme untuk menyampaikan pengaduan atas dugaan
penyimpangan pada suatu proses pengadaan barang dan jasa
semakin memperkecil keinginan, peran dan partisipasi
masyarakat untuk melakukan fungsi pengawasan.
Pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan
jasa di instansi pemerintah semakin diperkuat dan
dipertegas oleh pemerintah melalui peraturan Instruksi
Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut mengamanatkan
bahwa proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan ketentuan
dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 sehingga berbagai
peluang kebocoran dan kemungkinan terjadinya pemborosan
keuangan negara, baik yang berasal dari APBN maupun APBD
dapat dicegah.
Di samping itu etika juga mempengaruhi bukan saja
perilaku para penyelenggara administrasi publik tetapi
perilaku dari masyarakat yang menjadi objek penetapan
kebijakan. Birokrasi sebagai penyelenggara administrasi
publik bekerja atas dasar kepercayaan yang diberikan
oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa rakyat berharap
adanya jaminan bahwa dalam menjalankan dan memanfaatkan
kekuasaannya etika senantiasa dijadikan dasar bagi para
pemimpin. Apabila etika yang ada pada pemimpin tersebut
tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat
maka legitimasi tidak akan mampu tercapai. Seperti kasus
Aceng Fikri sebagai pejabat negara mestinya yang
bersangkutan bisa memberikan contoh kepada publik namum
malah memetahkan kepercayaan publik. Dalam sumpah janji
kepala daerah, Aceng memiliki kewajiban taat pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat
2 yang menyatakan setiap perkawinan harus dicatatkan.
2. Birokrasi dan Kekuasaan
Etika perlu dikembangkan, terutama dalam
pelaksanaan birokrasi pemerintahan, dimana etika
administrasi memiliki fungsi sesuai penerapan pada
bidangnya tersebut. Etika ini akan membuat seseorang
bisa berdisiplin, bertanggung jawab atas semua sikap dan
perbuatan yang dilakukan. Etika dalam birokrasi
pemerintahan sangatlah penting, dalam hal ini untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan dalam struktur
birokrasi pemerintahan dan dapat mengoptimalkan kinerja
birokrasi dalam melakukan pelayanan pada masyarakat.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang
artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal
dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau
kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril
dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan
batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti
aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai
suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-
nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008).
Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat,
yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah
atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam
perikehidupan manusia ( Simorangkir : 1978 ).
Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi
terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian
banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren
Bennis yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan
memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi
tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah,
terutama di negara-negara berkembang yang harus dipacu
dengan kedisiplinan.
Alasan dari pentingnya etika dalam birokrasi adalah
ketika dihadapkan pada kenyataan yang jauh dari harapan,
dimana aparatur di birokrasi diharapkan bekerja dengan
penuh rasa tanggung jawab, kejujuran, dan adil. Realitas
yang nyata, sama sekali para aparatur tidak mencerminkan
kondisional yang bermoral dan beretika. Ada beberapa
alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan
dalam upaya pengembangan pemerintahan yang efisien,
tanggap, dan akuntabel.
Sebagaimana yang di gambarkan sebelumnya bahwa
budaya birokrasi yang selama ini di dengar adalah budaya
lamban, prosedural, KKN, dan selalu mementingkan
kepentingan pribadi menjadi sebuah masalah besar yang
harus dicari jalan keluarnya, karena ini juga merupakan
sesuatu yang penting dimana budaya sangat mempengaruhi
akan kinerja serta budaya juga sangat menentukan posisi,
posisi disini terkait dengan sampai dimana para birokrat
memainkan kewenangan yang dimiliki dan juga bagaimana
memanfaatkan kewenangan itu bukan untuk kepentingan
pribadi dan juga kelompok tetapi tidak lain hanyalah
untuk kepentingan masyarakat.
Max Weber dalam tulisannya Sofyan Efendi sendiri
menggambarkan tentang bagaimana budaya birokrat yang
kurang mempertahankan faktor lingkungan birokrasi
pemerintahan negara kurang memiliki perhatian terhadap
perubahan lingkungan karena, secara konseptual ketika
Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep
birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi
birokratis diasumsikan sebagai bentuk organisasi yang
cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan
tugas-tugas yang bersifat pasif . Dengan demikian bentuk
dan budaya organisasi harus berubah bila tugas
organisasi dan lingkungannya berubah.
Di era sekarang ini para birokrat hanyalah sekedar
sebagai sebuah organisasi yang akan menjalankan
kebijakan dari politisi sehingga bekerjanya birokrat
dapatlah ditentukan dari tekanan-tekanan yang dilakukan
oleh para politisi. Sebagaimana yang ditulis oleh Bapak
Wasito Utomo bahwa buruknya pelayanan birokrasi adalah
disebabkan oleh faktor-faktor yang kait-mengait bukan
disebabkan oleh faktor tunggal. Maka masalahnya menjadi
kompleks, pemecahannya pun dan pula akar penyebabnya
masing-masing harus di ketahui dan dianalisis secara
tepat. Secara teoritik, konsepsional sering dikatakan,
bahwa tidaklah mudah untuk mengubah atau mereform
birokrasi atau birokrat. Hal ini disebabkan oleh karena
para birokrasi atau birokrat terikat oleh Political
authority; diorganisir secara hirarkhis dan birokratis,
serta memiliki monopoli. Hal-hal tersebutlah sering
menciptakan apa yang dinamai budaya birokrasi.
Dari apa yang di jabarkan mengenai budaya birokrasi
selama ini olehnya karena birokrasi menginginkan untuk
menghapus sterotip budaya yang kurang bagus, maka dari
itu birokrasi seharusnya melakukan beberapa hal di
antaranya :
Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur
rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya
dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar
sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan.
Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara
budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan
mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan
publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas
membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua
orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip
kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan
diperlakukan dengan sama pentingnya.
Birokrasi bertindak profesional terhadap publik.
Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent).
Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan
tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan
informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan
bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility)
lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau
kelompok kepentingan yang datang. Melakukan
pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses
demokratisasi.
Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani
publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau
membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah
urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan
rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit
and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan
karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang
memberikan reward merit system (memberikan penghargaan
dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan
spoil system (hubungan kerja yang kolutif,
diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan
punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap
netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak
memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan
partai politik tertentu.
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang
berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus
seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi
dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak
yang terjadi belakangan ini tentunya sangat
bertentangan dengan etika dan moralitas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan etika dalam
birokrasi pemerintahan seperti yang telah disebutkan
di atas melibatkan beberapa profesi yang melakukan
pelanggaran terhadap etika seperti pejabat
administrasi negara, anggota legislatif, jaksa,
hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain
sebagainya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang
terjadi di dalam konteks etika berasal dari seluruh
elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif harus mematuhi etika
jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi
pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk
keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan
untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi
pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari
masyarakat.
3. Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata Yunani yakni demos dan
kratos. Demos artinya rakyat,sedangkan kratos berarti
pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan
rakyat, yaitu pemerintahan dimana rakyatnya memeganga
peranan yang sangat menentukkan. Dari kutipan pengertian
tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada
konsep kehidupan negara atau masyarakat, di mana warga
negara dewasa turut berpatisipasi dalam pemerintahan
melalui wakilnya yang dipilih melalui pemilu. Pemerintah
di negara demokrasi juga mendorong dan menjamin
kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat
setiap warga Negara, menegakkan rule of law, adanya
pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok
minoritas; dan masyarakat yang warga negaranya saling
memberi peluang yang sama untuk mendapatkan kehidupan
yang layak.
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas
kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan
bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan negara, rakyat yang menentukan kehendak
negara dan rakyat yang akan menentukan pula bagaimana
berbuatnya (Joeniarto, 1984 :17).
Maka dalam sistem pemerintahan yang memakai asas
kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat menempati
kedudukan yang paling tinggi. Setiap anggota dewan
perwakilan, kepala negara, menteri dan segenap aparatur
negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak
rakyat dalam arti yang luas.
Demokrasi harus bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat luas, serta untuk kesejahteraan dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat. Demokrasi bukan hanya
terkait dengan peristiwa unjuk rasa, silang pendapat,
dan pemungutan suara. Tetapi, demokrasi juga adalah
bagaimana cara penyampaian yang patut, pantas,
proporsional, dan pada tempatnya. Demokrasi dalam
pengertian yang utuh terdiri atas demokrasi sebagai
cara, demokrasi sebagai tujuan, dan demokrasi sebagai
nilai-nilai. Demokrasi sebagai cara berhubungan dengan
mekanisme dan prosedur, seperti unjuk rasa dan pemilihan
umum. Demokrasi sebagai tujuan berkenaan dengan
pencapaian kesejahteraan dan keadilan. Sedangkan,
demokrasi sebagai nilai dan etika berkaitan dengan
peneguhan prinsip damai, tanpa kekerasan, kebebasan dan
kesetaraan, toleransi, serta sejumlah etika lain.
Sebagai warga Negara yang baik, kita hendaknya
tidak hanya menonjolkan aspek demokrasi yang pertama,
tetapi juga harus menerapkan prinsip keselarasan dengan
aspek kedua dan ketiga, yaitu demokrasi sebagai tujuan
dan demokrasi sebagai nilai serta etika, Presiden dalam
suatu pidatonya pernah menjelaskan, bahwa demokrasi di
Indonesia pada saat ini sedang berkembang baik. Bahkan,
kebebasan berpendapat serta berekspresi di depan publik
semakin baik.
Bab III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar
membedakan antara etika perorangan (personal ethics) dan etika
organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk
dalam perilaku individual seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain dalam organisasi. Etika organisasi
menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban
(obligations) organisasi itu sendiri, serta menggariskan
konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu
dibentuk.
Dalam masalah etika itu sendiri tergantung dari sisi
budaya dan kebudayaan yang terdapat dalam suatu lingkungan
dimana budaya sangat mempengaruhi bagaimana penggunaan
etika tersebut. Yang menjadi sulit adalah bagaimana etika
birokrasi mengikuti kebiasaan yang dilakukan birokrasi
yaitu mengikuti keinginan politik yang sulit karena etika
secara organisasi tidak lagi menemui esensinya karena
parameter yang ditetapkan dan keputusan-keputusan yang
diambil akan bernuansa politik, yang terkadang
bertentangan dengan konstitusi. Seharusnya birokrasi harus
menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak
konstitusional apalagi yang bertentangan dengan
konstitusi.
Jadi, andai etika birokrasi berjalan dengan baik maka
pemerintahan yang ada sekarang ini akan baik-baik pula.
Seperti kita lihat dalam Prinsip-prinsip good governance
yaitu partisipasi, penegakan hukum, transparansi,
kesertaraan, daya tanggap, wawasan ke depan,
akuntabilitas, pengawasasan, efisien dan efektifitas, dan
profesionalisme. Maka moral dalam birokrasi akan berjalan
dengan mulus.
B. Saran
Permasalahan etika . dimensi etika dianalogikan
dengan sistem sensor pada administrasi publik. Dimensi ini
dapat berpengaruh pada dimensi-dimensi lain dan sangat
mempengaruhi tercapai tidaknya tujuan administrasi publik
pada umumnya, dan tujuan organisasi publik pada khususnya.
Karena itu dimensi ini dianggap sebagai dimensi strategis
dasar administrasi publik.
Dalam literature publik dan ilmu politik selalu
diingatkan sistem etika dari administrasi publik (Henry,
1995: 400-401). Memang dari hari ke hari selalu muncul
pelanggaran etika atau missconduct dalam instansi pemerintah
termasuk pemerintah Indonesia. Di Amerika Serikat
sekalipun banyak penjabat publik yang terlibat dalam
perilaku yang tidak terpuji. Denni F.Thompson, professor
dari Harvard University, menyatakan bahwa skandal etika
ini memang semakin meluas, tidak saja disebabkan oleh
semakin banyak aturan yang membatasi moral pejabat tetapi
juga oleh semakin banyak tuntutan publik agar pejabat
publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka
tuntut. Etika dapat menjadi suatu faktor yang mensukseskan
tetapi juga sebaliknya menjadi pemicu dalam menggagalkan
tujuan kebijakan, struktur organisasi, serta manajemen
publik. Bila moralitas para penyususn kebijakan publik
rendah, maka kualitas kebijakan yang dihasilkan pun sangat
rendah. Begitu juga apabila struktur organisasi publik
yang disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu
yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan publik, makan
struktur organisasi tersebut tidak akan efektif.
Didalam proses manajemen misalnya, kebobrokan
moralitas atau etika dari mereka yang merencanakan,
mengimplementasikan, dan memonitor serta mengevaluasi
pelayanan publik akan sangat berpengaruh pada hasil akhir.
Dengan kata lain tingkatmoralitas atau etika para pemberi
pelayanan publik akan mempengaruhi pencapaian hasil.
Upaya perbaikan moralitas dalam kebijakan, organisasi
dan manajemen sangat potensial dalam membantu penghematan
biaya baik dalam bidang pelayanan publik maupun
pembangunan. Berbagai bentuk tindakan amoral diantara para
administrator dan pejabat publik Indonesia yang hanya
menguntungkan kepentingan mereka dan kroni-kroninya, telah
merugikan Negara selama beberapa dasawarsa, dan membuat
perekonomian Negara bertambah terpuruk dengan beban utang
yang semakin membengkak.
Menyangkut mengartikan kembali kewibawaan para
birokrat, maka dari itu ditekankan pada bagaimana etika
ini menjadi batasan yang selama ini kewibawaan birokrasi
dibangun dengan menggunakan etika perorangan. Maka dalam
pembahasan ini lebih melihat etika secara organisasi
dimana dibangun dari sistem yang kita gunakan dan juga
dari bagaimana tipe kepemimpinan yang digunakan oleh
pemimpin saat ini.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan
kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan
baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita
menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia-manusia
yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat
kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan
segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya
dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang
mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir
ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang
birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai,
akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang
bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.slideshare.net/allomartins/etika-administrasi-dan-
birokrasi-10-20587130
http://ragazzacorp.blogspot.com/2012/12/etika-administrasi-
publik-definisi.html
Pasolog, Harbani.Teori Administrasi Publik
enam dimensi strategis administrasi publik.
http://anggerinacihatcie.blogspot.com/2010/12/wajah-
birokrasi-di-indonesia-dalam.html
http://jhansem.wordpress.com/2009/03/10/etika-administrasi-
negara-publik/