PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK kel Rina

33
PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK Kelompok 4 : Rina Sulistya P 14020111130051 Annisa Azwar K 14020111130052 Agasetyo M 14020111130053 Anindia Novi A 14020111130054 ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013

Transcript of PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK kel Rina

PERMASALAHAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

Kelompok 4 :

Rina Sulistya P 14020111130051Annisa Azwar K 14020111130052Agasetyo M 14020111130053

Anindia Novi A 14020111130054

ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

Bab I

PENDAHULUAN

A. Standar Kompetensi

Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang

telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.

Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila

ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka

masuk dalam kategori norma hukum.

Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan,

tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu

kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan

atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode

etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya

kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan

melindungi perbuatan yang tidak professional.

Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat

dari kode etik yang dimiliki oleh para administrator

public. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada

beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode

etik bagi kalangan profesi lain masih belum ada, meskipun

banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai agama dan etika

moral pancasila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi

pegangan bekerja atau bertingkah laku., dan yang menjadi

masalah sebenarnya adalah bagaimana implementasi dari

nilai-nilai tersebut. Pendapat itu tidak salah, tetapi

harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah

memberikan peluang bagi para pemberi pelayanan untuk

mengenyampingkan kepentingan public. Kehadiran kode etik

itu sendiri lebih berfungsi sebagai control langsung sikap

dan perilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek

dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan tata

tertib yang ada. Di Amerika Serikat misalnya kesadaran

beretika dalam pelayanan public telah begitu meningkat

sehingga banyak profesi pelayanan public telah menetapkan

kode etiknya. Salah satu contoh yang relevan dengan

pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASI

(American Society for Public Administration). Nilai-nilai yang

dijadikan kode etik bagi administrator publik di Amerika

Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran,

ketabahan , dll.

Tujuan dari etika sendiri adalah memberitahukan

bagaimana kita dapat menolong orang atau manusia dalam

kebutuhan riil yang secara susila dapat

dipertanggungjawabkan. Etika umumnya adalah penerapan

prinsip-prinsip moral dalam kehidupan, sikap kritis dan

pandangan seseorang bisa menggunakan pedoman ideologi

Pancasila dan juga UUD 1945. Etika ialah dunia filsafat,

nilai, dan moral, sementara itu Administrasi ialah dunia

keputusan tindakan. Dimana etika lebih bersifat abstrak

dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan

administrasi adalah konkret dan harus mewujudkan apa yang

diinginkan.

Etika merujuk pada dua hal, pertama, berkenaan dengan

disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut

manusia beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan

pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri yang

berupa nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur

tingkah laku manusia. Etika juga tidak lepas dari moral,

yang mana antara etika dan moralitas saling berhubungan.

Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan

nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk

Etika dalam administrasi adalah bagaimana membuat

keterkaitan keduanya. Bagaimana gagasan administrasi

seperti efisiensi, ketertiban, kemanfaatan, produktifitas

dapat menjawab etika dalam prakteknya. Serta bagaimana

gagasan dasar etika dapat mewujudkan yang baik dan

menghindari hal yang buruk itu dapat menjelaskan hakekat

administrasi. Diperlukan etika dalam administrasi karena

ini akan memberikan contoh yang baik, sebab setiap orang

sebenarnya memiliki kesadaran masing-masing namun tidak

pernah menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam paper

ini akan menjelaskan tentang pengertian etika administrasi

publik dan juga permasalahan pada etika administrasi

publik.

B. Permasalahan

1. Bagaimana Pengertian Etika Administrasi Publik ?

2. Bagaiman Permasalahan Etika Administrasi Publik ?

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Etika Administrasi Publik

2. Mengerti Permasalahan Etika Administrasi Publik

Bab II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Administrasi Publik

1. Pengertian etika dan moral

Dalam  Ensiklopedi  Indonesia,  etika  disebut 

sebagai  “Ilmu  tentang  kesusilaan yang menentukan

bagaimana patutnya manusia hidup dalam  masyarakat; apa

yang baik dan apa yang buruk”. Sedangkan secara

etimologis, etika berasal dari kata ethos dalam bahasa

Yunani yang berarti kebiasaan atau watak

Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi

kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang

lebih baik (su). Etika menurut Bertens dalam (Pasolong,

2007:190) adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak.

Etika berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1988) dijelaskan

sebagai berikut :

Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan

tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan

akhlak.

Nilai mengenai benar dan salah yang dianut golongan

atau masyarakat

Bartens (2000) menggambarkan konsep etika dengan

beberapa arti, salah satu di antaranya dan biasa

digunakan orang adalah kebiasaan, adat istiadat, akhlak

dan watak. Bartens juga mengatakan bahwa didalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia karangan Purwadaminta Etika

dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas

akhlak (moral).

Dari memperhatikan beberapa sumber diatas, Bartens

berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika , yaitu

Sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral

sebagai pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok

dalam mengatur tingkah lakunya atau disebut dengan

sistem nilai.

Sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering

dikenal sebagai “kode etik”

Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk yang

acapkali disebut “filsafat moral”

Sedangkan , Secara etimologis, kata moral berasal

dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores,

yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592),

moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau

susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan

pengertian moral yang dari segi substantif materiilnya tidak

ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.

Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah

ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan

(akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian

akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai

(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan

merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari

dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan

dan direncanakan sebelumnya.

Maka dari itu, Etika dan moralitas memberi petunjuk

konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara

baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk

konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari

agama dan kebudayaan tertentu.

Dari  definisi  tersebut  dapat  disimpulkan 

bahwa  masalah  etika  selalu  berhubung-an dengan

kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau 

dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak

yang baik maupun  kebiasaan atau watak buruk. Watak baik

yang termanifestasikan dalam  kelakuan baik, sering

dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya. 

Sedangkan  watak  buruk  yang  termanifestasikan  dalam 

kelakuan  buruk, sering  dikatakan  sebagai  sesuatu 

yang  tidak  patut  patut  atau  tidak  sepatutnya.

Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi

publik (Pasolong, 2007 :193) diartikan sebagai filsafat

dan professional  standar (kode etik) atau right rules of

conduct (aturan berperilaku yang benar) yang sehatursnya

dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrasi

publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika

administrasi publik adalah aturan atau standar

pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau

pekerjaan manajemen ; aturan atau standar pengelolaan

yang merupakan arahan moral bagi administrator publik

dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat. Aturan

atau standar dalam etika administrasi negara tersebut

terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan,

ketatausahaan, dan hubungan masyarakat.

Apakah pengaruh etika dalam kebijakan publik, Etika

dalam administrasi publik hakikatnya tidak mempersoalkan

”benar atau salah” tetapi lebih menekankan kepada ”baik

dan buruk”. Dalam paradigma dikotomi politik dan

administrasi pemerintah memiliki 2 (dua) fungsi yang

berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi administrasi.

Fungsi politik berkaitan dengan pembuatan kebijakan

(public policy making) dan fungsi administrasi yang berkaitan

dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini

berarti kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada

kekuasaan politik sedangkan pelaksanaan atas kebijakan

politik ini merupakan kekuasaan dari administrasi

publik. Dalam kondisi ini administrasi publik dihadapkan

kepada sesuatu yang dilematis mengingat adanya dikotomi

antara politik dan administrasi. Kebijakan yang

dihasilkan dari konsensus politik harus bermain dalam

tataran ”benar atau salah” ketika dijalankan oleh

administrasi publik. Disinilah etika diperlukan untuk

dijadikan sebagai pedoman, referensi, dan petunjuk

tentang apa yang dilakukan dalam menjalankan kebijakan

politik ini. Etika disini juga dapat digunakan sebagai

standar penilaian terhadap perilaku Administrasi Negara

dalam menjalankan kebijakan politik apakah dilaksanakan

secara ”baik atau buruk” karena Administrasi Negara

bukan saja memiliki keterikatan dengan kebijakan politik

tapi lebih dari itu juga berkait dengan manusia dan

kemanusiaan.

2. Pengertian administrasi publik

Administrasi Publik menurut Chandler dan Plano

dalam Keban (2004: 3) adalah proses dimana sumber daya

dan personel publik diorganisir dan dikoordinasikan

untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan

mengelola (manage) keputusan-keputusan dalam kebijakan

publik. Chandler & Plano menjelaskan bahwa administrasi

public merupakan seni dan ilmu (art&science) yang

ditunjukan untuk mengatur “public affairs” dan melaksanakan

berbagai tugas yang ditentukan. Administrasi Publik

sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk memecahkan masalah

public melalui perbaikan-perbaikan terutama dibidang

organisasi, sumber daya manusia dan keuangan. Marshall

E. Dimock, Gladys O. Dimock, dan Louis W. Koenig (1960),

mengatakan bahwa administrasi publik adalah kegiatan

pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan politiknya.

Dwight Waldo (1971), mendefinisikan administrasi public

adalah manajemen dan organisasi dari manusia-manusia dan

peralatannya guna mencapai tujuan pemerintah. Nicholas

Henry (1988) mendefinisikan administrasi public adalah

suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan praktek,

dengan tujuan mempromosi pemahaman terhadap pemerintah

dalam hubungannya dengan masyarakat yang diperintah dan

juga mendorong kebijakan public agar lebih responsif

terhadap kebutuhan social. Administrasi public berusaha

melembagakan praktik-praktik manajemen agar sesuai

dengan nilai efektivitas, efisiensi dan pemenuhan

kebutuhan masyarakat secara lebih baik.

Dari beberapa definisi administrasi publik diatas,

dapat disimpulkan bahwa administrasi publik adalah

kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau

lembaga dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan

dalam memenuhi kebutuhan publik secara efisien dan

efektif.

3. Landasan etika administrasi publik.

Sesungguhnya antara etika dan administrasi publik

mempunyai landasan yang berbeda. Etika merupakan

induknya filsafat nilai dan moral sedangkan administrasi

publik merupakan dunianya keputusan dan tindakan. Etika

bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan ”baik

dan buruk” sedangkan Administrasi Negara bersifat

konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan.

Menurut  Bertens etika adalah seperangkat nilai-nilai

dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari

seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah

lakunya. Sedangkan Darwin mengartikan etika sebagai

prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu

kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu

dalam berhubungan dengan individu lain dalam

masyarakat.  Darwin juga mengartikan Etika Birokrasi

(Administrasi Negara) sebagai seperangkat nilai yang

menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam

organisasi.Setidaknya dalam berorganisasi dikenal 3

(tiga) macam etika :

Etika Individu yakni menentukan baik atau buruk

perilaku orang perorangan (individu) dalam

hubungannya dengan orang lain. Etika inilah yang

justru harus dimiliki oleh orang yang menjadi

pengabdi masyarakat (public servant).

Etika Organisasi yakni etika yang berfungsi sebagai

aturan (ethics as rule) yang dicerminkan dalam struktur

organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk

di dalamnya sistem intensif dan disinsentif dan

sanksi-sanksi yang berdasarkan pada aturan.

Etika Profesi yang berkaitan dengan pekerjaan

seseorang, yang berlaku dalam suatu kerangka yang

diterima oleh semua yang secara hukum atau secara

moral mengikan mereka dalam kelompok profesi yang

bersangkutan.

Ketiga macam etika tersebut idealnya dapat diikuti

dan dipatuhi serta sekaligus dijadikan pedoman,

pegangan, referensi seseorang dalam melakukan hubungan

dengan orang dalam organisasi, dalam menjalankan tugas

organisasi dan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.

B. Permasalahan Etika Administrasi Publik

1. Legitimasi Kekuasaan

Salah satu agenda Reformasi dalam bidang

administrasi publik adalah mengupayakan terwujudnya Good

Governance yaitu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang

bersih, bertanggungjawab dan profesional yang ditandai

adanya aparat birokrasi pemerintah yang senantiasa

mengedepankan terpenuhinya public accountability and

responsibility. Untuk itu setiap aparat birokrasi pemerintah

yang ada diseluruh level pemerintahan harus memiliki

rasa kepekaan (responsiveness) terhadap kepentingan

masyarakat maupun terhadap masalah-masalah yang ada dan

harus dipecahkan di masyarakat, bertanggungjawab dalam

pelaksanaan tugas/pekerjaan, dan harus pula bersifat

representatif dalam pelaksanaan tugas. Hal ini berarti

dihindarinya penyalahgunaan wewenang ataupun tindakan

yang melampaui wewenang yang dimiliki baik ditinjau dari

berbagai peraturan yang berlaku maupun dari nilai-nilai

etika administrasi publik dan etika pemerintahan. Dan

perlu ditekankan pula bahwa Good Governance hanya akan

terwujud apabila setiap aparat birokrasi pemerintah

dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa melandasi

pengambilan kebijakan dengan prinsip ekonomis, efisien

dan efektif sebagai perwujudan tanggung jawab yang

bersifat obyektif, di samping adanya tanggung jawab yang

bersifat subyektif yaitu sikap tidak membedakan kelompok

sasaran pembangunan dan senantiasa berupaya mewujudkan

keadilan serta adanya keterbukaan/kejujuran.

Dewasa ini para pejabat administrasi banyak yang

terjerat dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan

etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta

tindakan asusila lainnya. Korupsi berasal dari kata

Latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang berarti

penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral,

kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau

kecurangan. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia,

korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang

negara, perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan

pribadi atau orang lain. Ada dua macam korupsi yaitu

korupsi uang dan korupsi waktu (Kumorotomo : 2008).

Menurut KPK, suap adalah setiap orang yang memberi

atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya. Pemerasan adalah pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan

diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang

memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran

dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya sendiri. Gratifikasi adalah hadiah yang

diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara di luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu

bisa berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman

tanpa bunga, tiket, fasilitas wisata, fasilitas

perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan

seksual.

Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan

yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan

melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),

ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan

(concealment). Korupsi merupakan tindakan yang merugikan

negara, secara langsung maupun tidak langsung

(Kumorotomo, 1999 :179).

Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas

menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi

birokrasi yang ke atas tampak dari kebiasaan sebagian

besar pejabat untuk melapor kepada atasan dengan

bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan

menganggap bahwa segala sesuatu yang direncanakan oleh

pusat itu baik untuk diterapkan di tingkat lokal. Yang

menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya

bertugas melapor pada eksekutif puncak, siapa yang akan

mengawasi eksekutif puncak itu sendiri (Kumorotomo, 1999

: 207).

Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah

juga sering kali bermasalah, baik dari segi kualitas

barang yang tidak sesuai maupun adanya unsur Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara pejabat pemerintah

dengan para penyedia barang atau jasa. Upaya untuk

memberantas praktek-praktek KKN dalam proses pengadaan

barang dan jasa berkembang semakin kuat dengan semakin

tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat dan

pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan peran

serta masyarakat, terutama dalam bentuk pengawasan

terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Selama ini, kurangnya pengawasan oleh masyarakat

pada proses pengadaan barang dan jasa, antara lain

disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan pemahaman

masyarakat tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Di samping itu, tidak tersedianya mekanisme pengawasan

dan mekanisme untuk menyampaikan pengaduan atas dugaan

penyimpangan pada suatu proses pengadaan barang dan jasa

semakin memperkecil keinginan, peran dan partisipasi

masyarakat untuk melakukan fungsi pengawasan.

Pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan

jasa di instansi pemerintah semakin diperkuat dan

dipertegas oleh pemerintah melalui peraturan Instruksi

Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi.  Inpres tersebut mengamanatkan

bahwa proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus

dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan ketentuan

dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 sehingga berbagai

peluang kebocoran dan kemungkinan terjadinya pemborosan

keuangan negara, baik yang berasal dari APBN maupun APBD

dapat dicegah.

Di samping itu etika juga mempengaruhi bukan saja

perilaku para penyelenggara administrasi publik tetapi

perilaku dari masyarakat yang menjadi objek penetapan

kebijakan. Birokrasi sebagai penyelenggara administrasi

publik bekerja atas dasar kepercayaan yang diberikan

oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa rakyat berharap

adanya jaminan bahwa dalam menjalankan dan memanfaatkan

kekuasaannya etika senantiasa dijadikan dasar bagi para

pemimpin. Apabila etika yang ada pada pemimpin tersebut

tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat

maka legitimasi tidak akan mampu tercapai. Seperti kasus

Aceng Fikri sebagai pejabat negara mestinya yang

bersangkutan bisa memberikan contoh kepada publik namum

malah memetahkan kepercayaan publik. Dalam sumpah janji

kepala daerah, Aceng memiliki kewajiban taat pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat

2 yang menyatakan setiap perkawinan harus dicatatkan.

2. Birokrasi dan Kekuasaan

Etika perlu dikembangkan, terutama dalam

pelaksanaan birokrasi pemerintahan, dimana etika

administrasi memiliki fungsi sesuai penerapan pada

bidangnya tersebut. Etika ini akan membuat seseorang

bisa berdisiplin, bertanggung jawab atas semua sikap dan

perbuatan yang dilakukan. Etika dalam birokrasi

pemerintahan sangatlah penting, dalam hal ini untuk

mengatasi permasalahan-permasalahan dalam struktur

birokrasi pemerintahan dan dapat mengoptimalkan kinerja

birokrasi dalam melakukan pelayanan pada masyarakat.

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang

artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal

dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau

kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril

dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan

batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti

aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai

suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-

nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008).

Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat,

yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah

atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam

perikehidupan manusia ( Simorangkir : 1978 ).

Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi

terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian

banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren

Bennis yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan

memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi

tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah,

terutama di negara-negara berkembang yang harus dipacu

dengan kedisiplinan.

Alasan dari pentingnya etika dalam birokrasi adalah

ketika dihadapkan pada kenyataan yang jauh dari harapan,

dimana aparatur di birokrasi diharapkan bekerja dengan

penuh rasa tanggung jawab, kejujuran, dan adil. Realitas

yang nyata, sama sekali para aparatur tidak mencerminkan

kondisional yang bermoral dan beretika. Ada beberapa

alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan

dalam upaya pengembangan pemerintahan yang efisien,

tanggap, dan akuntabel.

Sebagaimana yang di gambarkan sebelumnya bahwa

budaya birokrasi yang selama ini di dengar adalah budaya

lamban, prosedural, KKN, dan selalu mementingkan

kepentingan pribadi menjadi sebuah masalah besar yang

harus dicari jalan keluarnya, karena ini juga merupakan

sesuatu yang penting dimana budaya sangat mempengaruhi

akan kinerja serta budaya juga sangat menentukan posisi,

posisi disini terkait dengan sampai dimana para birokrat

memainkan kewenangan yang dimiliki dan juga bagaimana

memanfaatkan kewenangan itu bukan untuk kepentingan

pribadi dan juga kelompok tetapi tidak lain hanyalah

untuk kepentingan masyarakat.

Max Weber dalam tulisannya Sofyan Efendi sendiri

menggambarkan tentang bagaimana budaya birokrat yang

kurang mempertahankan faktor lingkungan birokrasi

pemerintahan negara kurang memiliki perhatian terhadap

perubahan lingkungan karena, secara konseptual ketika

Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep

birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi

birokratis diasumsikan sebagai bentuk organisasi yang

cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan

tugas-tugas yang bersifat pasif . Dengan demikian bentuk

dan budaya organisasi harus berubah bila tugas

organisasi dan lingkungannya berubah.

Di era sekarang ini para birokrat hanyalah sekedar

sebagai sebuah organisasi yang akan menjalankan

kebijakan dari politisi sehingga bekerjanya birokrat

dapatlah ditentukan dari tekanan-tekanan yang dilakukan

oleh para politisi. Sebagaimana yang ditulis oleh Bapak

Wasito Utomo bahwa buruknya pelayanan birokrasi adalah

disebabkan oleh faktor-faktor yang kait-mengait bukan

disebabkan oleh faktor tunggal. Maka masalahnya menjadi

kompleks, pemecahannya pun dan pula akar penyebabnya

masing-masing harus di ketahui dan dianalisis secara

tepat. Secara teoritik, konsepsional sering dikatakan,

bahwa tidaklah mudah untuk mengubah atau mereform

birokrasi atau birokrat. Hal ini disebabkan oleh karena

para birokrasi atau birokrat terikat oleh Political

authority; diorganisir secara hirarkhis dan birokratis,

serta memiliki monopoli. Hal-hal tersebutlah sering

menciptakan apa yang dinamai budaya birokrasi.

Dari apa yang di jabarkan mengenai budaya birokrasi

selama ini olehnya karena birokrasi menginginkan untuk

menghapus sterotip budaya yang kurang bagus, maka dari

itu birokrasi seharusnya melakukan beberapa hal di

antaranya :

Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur

rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya

dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar

sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan.

Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara

budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan

mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan

publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas

membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua

orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip

kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan

diperlakukan dengan sama pentingnya.

Birokrasi bertindak profesional terhadap publik.

Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent).

Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan

tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan

informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan

bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility)

lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau

kelompok kepentingan yang datang. Melakukan

pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses

demokratisasi.

Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam

meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani

publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau

membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah

urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan

rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit

and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan

karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang

memberikan reward merit system (memberikan penghargaan

dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan

spoil system (hubungan kerja yang kolutif,

diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan

punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap

netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak

memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan

partai politik tertentu.

Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang

berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus

seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi

dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak

yang terjadi belakangan ini tentunya sangat

bertentangan dengan etika dan moralitas.

Kasus-kasus yang berhubungan dengan etika dalam

birokrasi pemerintahan  seperti yang telah disebutkan

di atas melibatkan beberapa profesi yang melakukan

pelanggaran terhadap etika seperti pejabat

administrasi negara, anggota legislatif, jaksa,

hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain

sebagainya.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang

terjadi di dalam konteks etika berasal dari seluruh

elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun

yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif,

legislatif maupun yudikatif harus mematuhi etika

jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi

pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk

keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan

untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi

pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari

masyarakat.

3. Demokrasi

Demokrasi berasal dari kata Yunani yakni demos dan

kratos. Demos artinya rakyat,sedangkan kratos berarti

pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan

rakyat, yaitu pemerintahan dimana rakyatnya memeganga

peranan yang sangat menentukkan. Dari kutipan pengertian

tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada

konsep kehidupan negara atau masyarakat, di mana warga

negara dewasa turut berpatisipasi dalam pemerintahan

melalui wakilnya yang dipilih melalui pemilu. Pemerintah

di negara demokrasi juga mendorong dan menjamin

kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat

setiap warga Negara, menegakkan rule of law, adanya

pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok

minoritas; dan masyarakat yang warga negaranya saling

memberi peluang yang sama untuk mendapatkan kehidupan

yang layak.

Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas

kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan

bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam

pemerintahan negara, rakyat yang menentukan kehendak

negara dan rakyat yang akan menentukan pula bagaimana

berbuatnya (Joeniarto, 1984 :17).

Maka dalam sistem pemerintahan yang memakai asas

kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat menempati

kedudukan yang paling tinggi. Setiap anggota dewan

perwakilan, kepala negara, menteri dan segenap aparatur

negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak

rakyat dalam arti yang luas.

Demokrasi harus bermanfaat bagi kepentingan

masyarakat luas, serta untuk kesejahteraan dan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat. Demokrasi bukan hanya

terkait dengan peristiwa unjuk rasa, silang pendapat,

dan pemungutan suara. Tetapi, demokrasi juga adalah

bagaimana cara penyampaian yang patut, pantas,

proporsional, dan pada tempatnya. Demokrasi dalam

pengertian yang utuh terdiri atas demokrasi sebagai

cara, demokrasi sebagai tujuan, dan demokrasi sebagai

nilai-nilai. Demokrasi sebagai cara berhubungan dengan

mekanisme dan prosedur, seperti unjuk rasa dan pemilihan

umum. Demokrasi sebagai tujuan berkenaan dengan

pencapaian kesejahteraan dan keadilan. Sedangkan,

demokrasi sebagai nilai dan etika berkaitan dengan

peneguhan prinsip damai, tanpa kekerasan, kebebasan dan

kesetaraan, toleransi, serta sejumlah etika lain.

Sebagai warga Negara yang baik, kita hendaknya

tidak hanya menonjolkan aspek demokrasi yang pertama,

tetapi juga harus menerapkan  prinsip keselarasan dengan

aspek kedua dan ketiga, yaitu demokrasi sebagai tujuan

dan demokrasi sebagai nilai serta etika, Presiden dalam

suatu pidatonya pernah menjelaskan, bahwa demokrasi di

Indonesia pada saat ini sedang berkembang baik. Bahkan,

kebebasan berpendapat serta berekspresi di depan publik

semakin baik.

Bab III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar

membedakan antara etika perorangan (personal ethics) dan etika

organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk

dalam perilaku individual seseorang dalam hubungannya

dengan orang lain dalam organisasi. Etika organisasi

menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban

(obligations) organisasi itu sendiri, serta menggariskan

konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu

dibentuk.

Dalam masalah etika itu sendiri tergantung dari sisi

budaya dan kebudayaan yang terdapat dalam suatu lingkungan

dimana budaya sangat mempengaruhi bagaimana penggunaan

etika tersebut. Yang menjadi sulit adalah bagaimana etika

birokrasi mengikuti kebiasaan yang dilakukan birokrasi

yaitu mengikuti keinginan politik yang sulit karena etika

secara organisasi tidak lagi menemui esensinya karena

parameter yang ditetapkan dan keputusan-keputusan yang

diambil akan bernuansa politik, yang terkadang

bertentangan dengan konstitusi. Seharusnya birokrasi harus

menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak

konstitusional apalagi yang bertentangan dengan

konstitusi.

Jadi, andai etika birokrasi berjalan dengan baik maka

pemerintahan yang ada sekarang ini akan baik-baik pula.

Seperti kita lihat dalam Prinsip-prinsip good governance

yaitu partisipasi, penegakan hukum, transparansi,

kesertaraan, daya tanggap, wawasan ke depan,

akuntabilitas, pengawasasan, efisien dan efektifitas, dan

profesionalisme. Maka moral dalam birokrasi akan berjalan

dengan mulus.

B. Saran

Permasalahan etika . dimensi etika dianalogikan

dengan sistem sensor pada administrasi publik. Dimensi ini

dapat berpengaruh pada dimensi-dimensi lain dan sangat

mempengaruhi tercapai tidaknya tujuan administrasi publik

pada umumnya, dan tujuan organisasi publik pada khususnya.

Karena itu dimensi ini dianggap sebagai dimensi strategis

dasar administrasi publik.

Dalam literature publik dan ilmu politik selalu

diingatkan sistem etika dari administrasi publik (Henry,

1995: 400-401). Memang dari hari ke hari selalu muncul

pelanggaran etika atau missconduct dalam instansi pemerintah

termasuk pemerintah Indonesia. Di Amerika Serikat

sekalipun banyak penjabat publik yang terlibat dalam

perilaku yang tidak terpuji. Denni F.Thompson, professor

dari Harvard University, menyatakan bahwa skandal etika

ini memang semakin meluas, tidak saja disebabkan oleh

semakin banyak aturan yang membatasi moral pejabat tetapi

juga oleh semakin banyak tuntutan publik agar pejabat

publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka

tuntut. Etika dapat menjadi suatu faktor yang mensukseskan

tetapi juga sebaliknya menjadi pemicu dalam menggagalkan

tujuan kebijakan, struktur organisasi, serta manajemen

publik. Bila moralitas para penyususn kebijakan publik

rendah, maka kualitas kebijakan yang dihasilkan pun sangat

rendah. Begitu juga apabila struktur organisasi publik

yang disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu

yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan publik, makan

struktur organisasi tersebut tidak akan efektif.

Didalam proses manajemen misalnya, kebobrokan

moralitas atau etika dari mereka yang merencanakan,

mengimplementasikan, dan memonitor serta mengevaluasi

pelayanan publik akan sangat berpengaruh pada hasil akhir.

Dengan kata lain tingkatmoralitas atau etika para pemberi

pelayanan publik akan mempengaruhi pencapaian hasil.

Upaya perbaikan moralitas dalam kebijakan, organisasi

dan manajemen sangat potensial dalam membantu penghematan

biaya baik dalam bidang pelayanan publik maupun

pembangunan. Berbagai bentuk tindakan amoral diantara para

administrator dan pejabat publik Indonesia yang hanya

menguntungkan kepentingan mereka dan kroni-kroninya, telah

merugikan Negara selama beberapa dasawarsa, dan membuat

perekonomian Negara bertambah terpuruk dengan beban utang

yang semakin membengkak.

Menyangkut mengartikan kembali kewibawaan para

birokrat, maka dari itu ditekankan pada bagaimana etika

ini menjadi batasan yang selama ini kewibawaan birokrasi

dibangun dengan menggunakan etika perorangan. Maka dalam

pembahasan ini lebih melihat etika secara organisasi

dimana dibangun dari sistem yang kita gunakan dan juga

dari bagaimana tipe kepemimpinan yang digunakan oleh

pemimpin saat ini.

Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan

kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan

baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita

menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia-manusia

yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat

kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang

menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan

segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya

dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang

mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir

ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang

birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai,

akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang

bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.slideshare.net/allomartins/etika-administrasi-dan-

birokrasi-10-20587130

http://ragazzacorp.blogspot.com/2012/12/etika-administrasi-

publik-definisi.html

Pasolog, Harbani.Teori Administrasi Publik

enam dimensi strategis administrasi publik.

http://anggerinacihatcie.blogspot.com/2010/12/wajah-

birokrasi-di-indonesia-dalam.html

http://jhansem.wordpress.com/2009/03/10/etika-administrasi-

negara-publik/